• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. sesamanya merupakan suatu kebutuhan bagi setiap manusia. Itulah sebabnya,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. sesamanya merupakan suatu kebutuhan bagi setiap manusia. Itulah sebabnya,"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia memiliki naluri untuk bergaul dengan sesamanya semenjak dilahirkan dan disosialisasikan dalam kehidupan masyarakat. Hubungan dengan sesamanya merupakan suatu kebutuhan bagi setiap manusia. Itulah sebabnya, individu menjalin hubungan dengan individu atau kelompok yang lain, sebab manusia tidak dapat bertahan hidup tanpa berhubungan dengan individu atau kelompok yang lainnya.

Hubungan antara individu dengan individu atau individu dengan kelompok juga disebut dengan interaksi sosial. Interaksi adalah dasar dari proses sosial, yang menuju pada hubungan yang dinamis antara individu dengan individu ataupun dengan kelompok. Manusia selalu hidup bersama-sama, hidup beikelompok membentuk suatu komunitas, yang mempunyai adat-istiadat yang mengatur tatanan kehidupan anggota komunitasnya. Norma-norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat mengikat kehidupan masyarakat, dan apabila ada yang melanggar aturan yang berlaku maka akan diberikan sanksi kepada individu ataupun kelompok yang melanggarnya.

(2)

Masyarakat merupakan suatu kesatuan individu yang dipandang dalam keseluruhannya satu dengan yang lain, berada dalam interaksi yang berulang tetap. Interaksi itu terjadi kalau satu individu dalam masyarakat berbuat sedemikian rupa, sehingga menimbulkan suatu reaksi dan individu atau individu-idividu yang lain (Koentjaraninyat, 1974 : 104). Suatu hal yang penting dalam memahami interaksi sosial dalam masyarakat majemuk adalah, bagaimana individu atau kelompok untuk menyesuaikan diri dengan latar belakang ekonomi yang berbeda; lingkungan yang berbeda, suku yang berbeda, agama yang berbeda, dan adat istiadat yang berbeda. Kemajemukan masyarakat terutama bercorak adanya keragaman adat-istiadat dan kesenjangan ekonomi yang sangat tajam.

Norma-norma atau kaedah-kaedah yang dimiliki oleh setiap suku dalam berinteraksi berbeda tetapi pada prinsipnya dikembalikan pada konsep nilai, yang merupakan pandangan relatif abstrak mengenai apa yang baik dan apa yang buruk. Nilai-nilai atau sistem nilai merupakan abstraksi dalam berinteraksi. Di lain pihak nilai tersebut mempunyai pengaruh yang besar terhadap pola pikir, sikap, kaedah-kaedah maupun pola tingkah laku manusia.

Jadi, pola interaksi sosial tertentu, termasuk yang dimiliki oleh penduduk lokal dalam menanggapi kehadiran warga pendatang, timbul atas dasar nilai-nilai yang berkembang dalam suatu golongan etnis yang berinteraksi. Tidak jarang kejadian bahwa pola interaksi sosial yang menjadi golongan khas suku etnis tertentu, dipergunakan di dalam segala macam konteks pergaulan hidup. Hal semacam ini dapat dimengerti, sebab pola semacam ini melembaga di dalam diri seseorang atau

(3)

suatu kelompok, ditumbuhkan oleh faktor pendidikan di rumah sejak kecil (pendidikan non fonnal). Dengan demikian agak sulit untuk mengetengahkan konsep pola interaksi sosial yang berlaku umum bagi semua warga masyarakat Indonesia. Dalam beberapa kasus, timbul konflik yang tajam antara masyarakat lokal dengan warga pendatang. Baik itu disebabkan oleh perebutan dominasi sektor perekonomian maupun penguasaan aset-aset strategis. Sebut saja misalnya di Aceh (antara warga lokal Aceh dengan pendatang yang berasal dari etnis Jawa) atau Sampit (antara warga lokal Dayak dengan pendatang yang berasal dari etnis Madura).

Beralih pada konteks penelitian, masyarakat Pancurbatu memiliki penduduk yang majemuk, yaitu suku Karo sebagai penduduk asli. Selain itu, juga terdapat suku Jawa, Batak Toba, dan Tionghoa yang berdiam di sana, dengan adat istiadat, agama, dan latar belakang ekonomi yang berbeda, tetapi sejauh ini terjadi interaksi yang harmonis. Jika interaksi tidak berjalan dengan harmonis pastinya akan menyebabkan konflik. Namun sebaliknya, apabila interaksi berjalan dengan harmonis maka akan terjadi integrasi dalam masyarakat.

Masyarakat yang merantau ke Pancurbatu pada umumnya adalah untuk mencari kehidupan yang lebih baik dari kampung halaman sebelum dia merantau. Untuk dapat melakukan hal ini, mereka harus beradaptasi dengan norma-norma atau kaedah-kaedah yang berlaku di mana ia merantau. Terlebih lagi mengingat bahwa jalinan interaksi antara masyarakat pendatang dengan penduduk yang asli mempunyai latar belakang berbeda.

(4)

Masyarakat yang merantau ke Pancurbatu memiliki pekerjaan yang berbeda- beda, ada yang berdaghang, bertani, dan sebagainya. Interaksi masyarakat pendatang/ perantau dengan penduduk asli menarik untuk diteliti. Terutama menyangkut heterogenitas masyarakaty yang cukup tinggi. Seperti telah diuraikan diatas, komposisi masyarakat Pancurbatu terdiri atas suku Karo sebagai penduduk asli, suku Jawa, Batak Toba, Tionghoa, dan masih banyak lagi lainnya. Kondisi yang demikian sangat rawan menimbulkan konflik karena adanya perbenturan kebudayaan maupun kepentingan, namun sejauh ini di Pancurbatu belum pernah terjadi konflik yang berarti, sehingga patut dicermati faktor-faktor apa saja yang mengintegrasikan masyarakat lokal dengan pendatang.

Bukan hanya itu saja, proses asimilasi dan akulturasi yang terjadi pada masyarakat Pancurbatu pun menarik untuk diteliti. Bagaimana akhirnya proses interaksi dalam jangka waktu yang lama mengakibatkan penerimaan unsur kebudayaan pendatang atau justru mengakibatkan perubahan pada unsur kebudayaan lokal.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka timbul beberapa pokok permasalahan yang hendak dibahas dalam penelitian ini, antara lain:

1. Bagaimanakah pola interaksi antara etnis Tionghoa dengan etnis Karo di Pancurbatu?

2. Faktor-faktor apa saja yang mengintegrasikan etnis Tionghoa dengan etnis Karo di Pancurbatu?

(5)

3. Bagaimanakah gambaran proses asimilasi atau akulturasi yang berlangsung di Pancurbatu antara kebudayaan etnis Tionghoa dengan etnis Karo ?

1.3 TujuanPenelitian

Sedangkan mengenai tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Untuk mendapatkan data dan fakta serta menggambarkan bagaimana berlangsungnya pola interaksi antara etnis Tionghoa dengan etnis Karo di Pancurbatu.

b. Untuk menggambarkan faktor-faktor yang mengintegrasikan etnis Tionghoa dengan etnis Karo di Pancurbatu.

c. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui hambatan-hambatan yang mungkin merintangi berlanjutnya keharmonisan antara etnis Tionghoa dengan etnis Karo di Pancurbatu.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat-manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah:

a. Manfaat Teoritis

Dapat memberikan kontribusi berupa informasi (data, fakta, analisis) terhadap studi-studi yang terkait dengan kajian interaksi sosial. Walaupun penelitian ini berkisar pada pola interaksi etnis Tionghoa dengan etnis Karo di Pancurbatu, namun sedikit banyak dapat digeneralisasi secara umum.

(6)

 Memberikan masukan dalam bentuk bacaan untuk memperkaya wawasan setiap individu yang membaca hasil penelitian ini tentang pola interaksi etnis Tionghoa dengan etnis Karo.

 Bagi penulis sendiri adalah menambah wawasan dan pengetahuan tentang pola interaksi etnis Tionghoa dengan etnis Karo.

1.5 KajianPustaka

1.5.1 INTERAKSI SOSIAL DAN INTERAKSIONISME SIMBOLIK

Bentuk paling mendasar dari proses sosial adalah interaksi sosial, oleh karena interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Menurut Gillin dan Gillin interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan antara orang perorangan dengan kelompok-kelompok manusia (Soekanto; 1987: 51). Apabila dua orang bertemu, interaksi sosial dimulai; pada saat itu mereka saling menegur, berjabat tangan, saling berbicara atau bahkan berkelahi. Aktivitas semacam itu merupakan bentuk-bentuk dari interaksi sosial. Walupun orang-orang yang bertatap muka tersebut tidak saling berbicara atau tidak saling menukar tanda-tanda, interaksi sosial telah terjadi, oleh karena masing-masing sadar akan adanya pihak lain yang menyebabkan pembahan-penibahan dalam perasaan maupun syaraf orang-orang bersangkutan, yang disebabkan oleh misalnya bau keringat, minyak wangi, suara berjalan dan sebagainya. Kesemuanya itu

(7)

menimbulkan kesan di dalam pikiran seseorang, yang kemudian menentukan tindakan apa yang akan dilakukannya (Soekanto, 1987: 51).

Suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat, yaitu (Soekanto, 1987: 53-54):

1. Adanya kontak sosial (social-contant) 2. Adanya komunikasi.

Kata kontak berasal dan bahasa Latin con atau cum (yang berarti bersama- sama) dan tango (yang berarti menyentuh); jadi artinya secara harfiah adanya "bersama-sama menyentuh". Secara fisik, kontak baru terjadi apabila terjadi hubungan badaniyah, sebagai gejala sosial itu tidak perlu berarti suatu hubungan badaniyah, oleh karena orang tidak dapat mengadakan hubungan dengan pihak lain tanpa menyentuh, seperti misalnya, dengan berbicara dengan pihak lain tersebut. Apabila dengan perkembangan teknologi dewasa ini, orang-orang dapat berhubungan satu dengan lainnya melalui telepon, telegraf, radio-radio, surat, dan seterusnya, yang tidak memerlukan suatu hubungan badaniah. Kingsley Davis mengatakan bahwa hubungan badaniah tidak perlu menjadi syarat utama terjadinya kontak (Soekanto; 1987:54).

Kontak sosial dapat berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu:

o Antara orang-perorangan, misalnya apabila anak kecil mempelajari kebiasaan- kebiasaan dalam keluarga. Menurut MJ. Herskovits proses demikian terjadi meliputi socialization, yaitu suatu proses, dimana anggota masyarakat yang

(8)

baru mempelajari norma-norma dan nilai-nilai masyarakat dimana ia menjadi anggota (Soekanto; 1987: 51).

o Antara orang perorangan dengan suatu kelompok manusia atau sebaliknya, misalnya apabila seseorang merasakan bahwa tindakan-tindakannya berlawanan dengan norma-norma masyarakat atau apabila suatu partai politik memaksa anggota-anggotanya untuk menyesuaikan diri dengan ideologi dan programnya.

o Antara suatu kelompok manusia dengan kelompok manusia lainnya. Umpamanya, dua partai politik mengadakan kerja sama untuk mengalahkan partai politik yang ketiga di dalam pemilihan umum. Atau apabila dua buah perusahaan bangunan mengadakan suatu kontrak untuk membuat jalan raya, jembatan dan seterusnya di suatu wilayah yang baru dibuka. (Soekanto; 1987: 54-55).

Dalam interaksi sosial, ada asumsi teoretis yang diistilahkan dengan interaksionisme simbol. Herbert Blumer menyampaikan rumusan yang paling ekonomis menurutnya dari asumsi-asumsi interaksionisme simbol dimana hal ini berhubungan dengan mind, self, dan society sebagai berikut: (1). Manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna-makna yang dimiliki benda-benda itu bagi mereka, Makna-makna itu merupakan hasil dari interaksi sosial dalam masyarakat manusia, dan (3). Makna-makna dimodifikasikan dan ditangani melalui suatu proses

(9)

penafsiran yang digunakan oleh setiap individu dalam keterlibatannya dengan tanda- tanda yang dihadapinya.

Demikian pula sebuah simbol dilihat sebagai sesuatu yang tidak bemilai bagi dirinya sendiri, tetapi oleh sesuatu yang dapat dikerjakan dengannya. Leslie White menambahkan bahwa semua tingkah laku manusia bennula dalam penggunaan simbol-simbol. Simbol adalah sesuatu yang nilai atau maknanya diberikan kepadanya oleh mereka yang mempergunakannya. Simbol digunakan dalam proses interaksi sosial.

Lebih lanjut, Gilin dan Gilin membedakan dua macam proses yang timbul sebagai akibat adanya interaksi sosial, yaitu:

1. Proses sosial yang asosiatif (procesess of assosiation) yang terbagi ke dalam tiga bentuk khusus lagi, yakni:

a. akomodasi, b. asimilasi, dan c. akulturasi.

2. Proses sosial yang disosiatif (procesess of dissociation) yang mencakup: a. Persaingan

b. Persaingan yang meliputi "contravention"dan pertentangan atau pertikaian (conflict) (Soekanto; 1987: 59).

Lain halnya dengan Kimball Young, bentuk-bentuk proses sosial menurutnya terbagi atas :

(10)

Oposisi (opposition) yang mencakup persaingan (competition) dan pertentangan atau pertikaian (conflict).

1. Kerja sama (co-operation) yang menghasilkan akomodasi (accomodation) dan

2. Differentiation yang merupakan suatu proses di mana orang perorangan di dalam masyarakat memperoleh hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang

berbeda dengan orang-orang lain dalam masyarakat atas dasar perbedaan usia, seks, dan pekerjaan (Soekanto; 1987: 59-60).

Soerjono Soekanto memperinci proses-proses interaksi sosial yang pokok adalah:

PROSES SOSIAL YANG ASOSIATIF

a. Kerja sama

Bentuk-bentuk kerja sama dapat dijumpai pada semua kelompok manusia. Kebiasaan-kebiasaan dan sikap-sikap demikian dimulai semenjak masa kanak-kanak di dalam kehidupan keluarga atau kelompok-kelompok kekerabatan. Kerja sama timbul karena orientasi orang perorangan terhadap kelompoknya (yaitu in-group-nya) dan kelompok lainnya (yang merupakan out-group-nya). Kerja sama tersebut mungkin akan bertambah kuat apabila ada bahaya dari luar yang mengancam atau ada tindakan-tindakan dari luar yang menyinggung kesetiaan secara tradisionil atau institusionil telah

(11)

tertanam di dalam kelompok-kelompok tersebut, dalam diri seorang atau segolongan orang (Soekanto; 1987:61)

Menurut C.H. Cooley betapa pentingnya ftmgsi kerja sama:

"kerja sama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut melalui kerja sama; kesadaran akan adanya kepentingan-kepentingan kerja sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta yang penting dalam kerja sama yang berguna."

(Soekanto; 1987:61).

b. Akomodasi

Menurut Gillin dan Gillin akomodasi adalah suatu pengertian yang dipergunakan untuk menggambarkan suatu proses sosial yang sama artinya dengan pengertian adaptasi (adaption) yang dipergunakan oleh ahli-ahli biologi untuk menunjuk pada suatu proses di sekitarnya

(Soekanto; 1987: 63).

Akomodasi merupakan suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan, sehingga lawan-lawan tersebut kehilangan kepribadiannya. Tujuan dari akomodasi dapat berbeda-beda sesuai dengan situasi yang dihadapinya, yaitu:

- Untuk mengurangi pertentangan antara orang-perorangan atau kelompok- kelompok manusia sebagai akibat perbedaan faham.

(12)

Untuk mencegah meledaknya suatu pertentangan, untuk sementara untuk atau secara temporer.

- Akomodasi kadang-kadang diusahakan untuk memungkinkan terjadinya keija sama antara kelompok-kelompok sosial yang sebagai akibat faktor-faktor sosial psikologis dan kebudayaan, hidupnya terpisah seperti, misalnya yang dijumpai pada masyarakat-masyarakat yang mengenal sistem berkasta.

- Mengusahakan peleburan antara kelompok-kelompok sosial yang terpisah, misalnya, melalui perkawinan campuran atau asimilasi dalam arti yang luas (Soekanto; 1987:64).

Menurut Kimbal Young dan Richard. W. Mack akomodasi sebagai suatu proses, dapat mempunyai beberapa bentuk, yaitu:

1. Coercion, adalah suatu bentuk akomodasi yang prosesnya dilaksanakan

oleh karena adanya paksaan.

2. Compromise, adalah suatu bentuk akomodasi, di mana pihak-pihak yang

terlibat masing-masing mengurangi tuntutannya, agar tercapai suatu penyelesaian terhadap perselisihan yang ada.

3. Arbitration, merupakan suatu cara untuk mencapai compromise apabila

pihak-pihak yang berhadapan, masing-masing tidak sanggup untuk mencapainya sendiri.

(13)

4. Mediation, hampir menyerupai arbitration, pada mediation diundanglah

pihak ketiga yang netral dalam soal perselisihan yang ada

5. Conciliation, adalah suatu usaha untuk mempertemukan keinginan-

keinginan pihak-pihak yang berselisih, bagi tercapainya suatu persetujuan bersama.

6. Toleration, yang juga sering dinamakan tolerant-participation. ini

merupakan suatu bentuk akomodasi tanpa persetujuan yang formal.

7. Stalemate, merupakan suatu akomodasi, dimana pihak-pihak yang bertentangan karena mempunyai kekuatan yang seimbang, berhenti pada suatu titik tertentu dalam melakukan pertentangannya.

8. Adjudication, yaitu penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan

Soekanto; 1987: 65-66).

PROSES-PROSES YANG DISOSIATIF

Proses-proses yang disosiatif sering pula disebut sebagai oppositional

processes yang seperti halnya kerja sama, dapat diketemukan pada setiap masyarakat,

walaupun bentuk dan arahnya ditentukan oleh kebudayaan dan sistem sosial masyarakat tersebut. Suatu oposisi dapat diartikan sebagai cara berjuang melawan seseorang atau sekelompok manusia, untuk mencapai tujuan tertentu. Oposisi atau proses-proses yang disosiatif dapat dibedakan dalam tiga bentuk, yaitu:

(14)

1. Persaingan (competition)

Menurut Gillin dan Gillin persaingan atau competition dapat diartikan sebagai proses sosial, di mana orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia yang saling bersaing, mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian publik (baik perorangan maupun kelompok manusia) dengan cara usaha-usaha menarik perhatian publik atau dengan mempertajam prasangka yang telah ada, tanpa mempergunakan ancaman atau kekerasan (Soekanto; 1987: 78).

Persaingan-persaingan yang tidak bersifat pribadi, yang berlangsung bersaing adalah kelompok-kelompok manusia; orang perorangan tersangkut juga, akan tetapi sebagai anggota kelompok, persaingan semacam ini akan menghasilkan beberapa bentuk persaingan, yaitu antara lain:

 Persaingan di bidang ekonomi.

 Persaingan dalam bidang kebudayaan.

 Persaingan untuk mencapai suatu kedudukan dan peranan yang tertentu dalam masyarakat, dan,

 Persaingan karena perbedaan ras, sebenarnya merupakan juga persaingan di bidang kebudayaan.

2. Contravention

Contravention ditandai oleh gejala-gejala adanya ketidak pastian mengenai diri seseorang atau suatu rencana dan perasaan tidak suka yang disembunyikan, kebencian atau keraguan terhadap kepribadian seseorang. Menurut Leopold von

(15)

Wiese dan Howard Becker proses contravention mencakup lima sub-proses, yaitu; - Proses yang umum dari contravention meliputi perbuatan-perbuatan seperti

penolakan; keengganan; perlawanan, perbuatan menghalang-halangi protes, gangguan-gangguah, perbuatan kekerasan dan perbuatan mengacaukan rencana pihak lain.

- Bentuk-bentuk dari contravention yang sederhana seperti misalnya menyangkal pemyataan orang lain di muka umum, memaki-maki orang lain, melalui surat-surat selebarann, mencerca, memfitnah, melemparkan beban pembuktian kepada pihak lain, dan seterusnya.

- Bentuk-bentuk contravention yang bersifat intensif yang mencakup umpamanya mengumumkan rahasia pihak lain, perbuatan khianat dan seterusnya.

- Contravention yang bersifat taktis ; misalnya mengejutkan lawan,

mengganggu atau membingungkan pihak lain (Soekanto; 1987: 83-84).

3. Pertentangan atau Pertikaian

Pribadi-pribadi maupun kelompok manusia yang menyadari adanya perbedaan- perbedaan misalnya ciri-ciri badaniyah, emosi, unsur-unsur kebudayaan, pola- pola perlakuan, dan seterusnya dengan pihak lain, dapat mengakibatkan dipertanjamnya perbedaan yang ada tadi sehingga menjadi seuatu pertentangan atau pertikaian

(16)

proses sosial dimana orang-perorangan atau kelompok manusia berusaha untuk memenuhi tujuannya denganjalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan/atau kekerasan (Soekanto; 1987: 86). Menurut Leopold von Wiese dasn Howard Becker sebab musabab atau akar-akar dari pertentangan adalah antara lain:

1. Perbedaan antara orang-perorangan 2. Perbedaan kebudayaan

3. Bentrokan antara kepentingan-kepentingan

4. Perubahan-perubahan sosial (Soekanto; 1987: 86-87) 1.5.2 MASYARAKAT MAJEMUK INDONESIA

Furnivall melihat masyarakat majemuk terpecah-pecah ke dalam kelompok- kelompok orang yang terisolasi, dan perpecahan kehendak sosial tercermin di dalam perpecahan permintaan sosial. Di dalam agama dan musik, dalam soal kebaikan dankeindahan, tidak ada standar bersama untuk seluruh seksi-seksi dalam komunitas, dan standarnya menurun ke dalam suatu tingkat tertentu ketika persetujuan bersama dicapai. Peradaban merupakan proses belajar bersama dalam kehidupan sosial bersama, tetapi dalam masyarakat majemuk, manusia mengalami penurunan peradaban.

Furnivall melihat bahwa ciri dasar pokok masyarakat majemuk adalah:

1. Adanya keanekaragaman dewan/kelompok sosial yang membuat masyarakat sulit membentuk kesatuan hidup bersama secara sosial dan politik.

(17)

2. Tidak ditemukan adanya kehendak bersama (common will) atau menurut

istilah teknis Fumivall "permintaan sosial yang sama" (common social

demand).

Menurut Fumivall, masyarakat majemuk adalah masyarakat yang hidup berdampingan satu sama lain, namun tidak terikat/ tergabung dalam satu kesatuan unit politik. Sedangkan menurut Nasikun beberapa factor yang menyebabkan Indonesia sebagai masyarakat yang majemuk, yaitu: -struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh dua cirinya yang bersifat unik. Secara horizontal, ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan kedaerahan. Secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan yang cukup tajam. Perbedaan-perbedaan suku bangsa, perbedaan agama, adat dan kedaerahan sering kali disebut sebagai ciri masyarakat yang bersifat majemuk. " (Dalam Sistem Sosial Indonesia : Arief, Brahmana, dan Pardamean; 2003:81)

Nasikun menyatakan terdapat beberapa faktor yang menimbulkan terjadinya kemajemukan masyarakat Indonesia, yaitu antara lain:

 Keadaan/ geografis yang membagi wilayah Indonesia atas kurang lebih 3000 pulau yang terserak di suatu daerah ekuator sepanjang kurang lebih 3000 mil dari utara ke selatan. Faktor ini merupakan yang sangat besar pengaruhnya terhadap terciptanya pluralitas suku bangsa.

 Kenyataan bahwa Indonesia terletak di antara Samudera Indonesia dan Samudera Pasifik, kenyataan letak yang demikian sangat mempengaruhi

(18)

terciptanya pluralitas agama di dalam masyarakat Indonesia, melalui pengaruh kebudayaan bangsa lain yang menyentuh masyarakat Indonesia.  Iklim yang berbeda dan struktur tanah yang tidak sama diantara berbagai

daerah di Kepulauan Nusantara ini, merupakan faktor yang menciptakan pluralitas regional Indonesia. Perbedaan curah hujan dan kesuburan tanah merupakan kondisi yang menciptakan lingkungan ekologis yang berbeda di Indonesia, yakni daerah pertanian sawah (wet rice cultivation). Perbedaan lingkungan ekologis menjadi sebab bagi terjadinya kontras antara Jawa dan luar Jawa di dalam lingkungan kependudukan, ekonomi dan sosial budaya.

Kemajemukan suatu masyarakat dapat kita lihat secara horizontal maupun secara vertical muncul dalam bentuk perbedaan suku, agama, kedaerahan, perbedaan tingkat pendidikan dan perbedaan latar belakang agama. Menurot R. WilUam Liddle integrasi nasional mencakup dua dimensi, yaitu:

1. Dimensi Horizontal, yaitu berupa masalah oleh karena adanya perbedaan suku, ras, agama, dan lain-lain. Dimensi ini sering pula disebut sebagai masalah yang disebabkan oleh pengaruh-pengaruh ikatan primordial, yang ada dan hidup dalam sebuah masyarakat yang bias membahayakan kelangsungan proses integrasi nasional bilamana ia sampai menjelma menjadi perasaan loyalitas yang lebih tinggi terhadap kelompok-kelompok sub-nasional semacam itu dari pada kepada kesatuan bangsa itu sendiri.

2. Dimensi Vertikal, berupa masalah yang ditimbulkan oleh muncul dan berkembangnya semacam jurang pemisah (gap) antara golongan elit. (Arief,

(19)

Brahmana, dan Pardamean, 2003: 117). Dimensi vertikal dalam hal ini yang menjadi permasalahan yang akan diteliti pada masyarakat Pancurbatu adalah latar belakang ekonomi dan perbedaan tingkat pendidikan.

Kemajemukan masyarakat diperlukan adanya kesadaran para anggota kelompok bahwa mereka itu mempunyai hak yang sama untuk tinggal menetap di wilayah yang sama, sebut saja misalnya di Pancurbatu. Kemajemukan masyarakat di Indonesia khususnya di Pancurbatu berwujud pada latar belakang yang berbeda, yaitu suku, agama, keturunan atau daerah asal. Perbedaan latar belakang kehidupan pada suatu masyarakat dapat menyebabkan konflik atau sebaliknya integrasi. Myren Weiner memberikan arti integrasi sebagai berikut:

1. Integrasi Nasional, mungkin menunjuk pada proses penyatuan berbagai kelompok budaya dan sosial ke dalam suatu kesatuan wilayah, dan pada pembentukan suatu identitas nasional. Apabila integrasi digunakan dalam arti seperti digunakan dalam arti seperti ini maka biasanya mengandaikan adanya suatu masyarakat yang secara etnis majemuk, yang masing-masing kelompok masyarakatnya memiliki bahasa dan sifat-sifat kebudayaan sendiri-sendiri, tetapi masalah ini mungkin juga terdapat dalam suatu sistem politik yang sebelumnya saling terpisah dan berbeda satu sama lain.

2. Integrasi Wilayah, sering digunakan dalam arti yang serupa itu untuk menunjukkan masalah pembentukan wewenang kekuasaan nasional pusat di atas unit-unit atau wilayah-wilayah politik yang lebih kecil mungkin beranggotakan suatu kelompok budaya sosial tertentu.

(20)

3. Integrasi Elit-Massa, sering digunakan untuk menunjukkan pada masalah hubungan pemerintah dengan yang diperintah. Terkandung didalamnya pemikiran yang sudah tidak asing lagi mengenai "jurang-pemisah" antara elit dengan massa, yang ditandai oleh perbedaan-perbedaan yang menyolok antara aspirasi-aspirasi dan nilai-nilai tertentu.

4. Integrasi Nilai, kadang-kadang juga digunakan untuk menunjukkan adanya konsensus nilai yang minimum yang diperlukan untuk memelihara tertib sosial. mi bisa berupa nilai-nilai tujuan seperti keadilan dan persamaan, keinginan akan pembangunan ekonomi, penghayatan bersama akan sejarah, pahlawan dan simbol-simbolnya, dan umumnya merupakan persetujuan masyarakat mengenai tujuan yang dimginkan. Atau mungkin berupa nilai- nilai sarana, yaitu mengenai sarana dan prosesnya mencapai tujuan itu dan menyelesaikan konflik. Disini permasalahannya adalah norma-norma hukum, dengan legetimasi dan prosedur pelaksanaannya atau singkatnya, pelaksanaan yang dikehendaki dan tidak dikehendaki.

5. Integrasi Tingkah Laku Integratif, kapasitas orang-orang di dalam suatu masyarakat untuk berorganisasi demi mencapai tujuan bersama. Pada tingkat yang paling sederhana, semua masyarakat mempunyai kapasitas untuk menciptakan suatu organisasi yang disebut "keluarga" (kinship) yaitu suatu alat untuk mengembangkan diri dan memelihara serta mensosialisasikan generasi mudanya. Oleh karena kebutuhan - kebutuhan dan keinginan- keinginan lainnya muncul di dalam suatu masyarakat, kita bisa

(21)

mempertanyakan adakah kapasitas untuk mendirikan organisasi-organisasi baru guna melaksanakan tujuan-tujuan baru, bisa berkembang.

1.5.3 Etnis Tionghoa di Indonesia

Indonesia adalah negara yang multikultural dan multi etnis, akan tetapi golongan keturunan yang paling sulit kedudukannya dalam masyarakat Indonesia adalah masyarakat etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa memiliki kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan-kebudayaan yang dimiliki pada umumnya masyarakat di Indonesia, dan khususnya mempunyai keyakinan keagamaan yang lain sama sekali dari masyarakat yang terdapat di Indonesia (Suparlan, 1978).

Keberadaan etnis Tionghoa sebagai etnis minoritas juga sering kurang menguntungkan dalam konteks relasi minoritas - mayoritas. Etnis minoritas selalu menjadi sasaran prasangka dan diskriminasi dari kalangan mayoritas. Beberapa kali etnis Tionghoa menjadi sasaran pengganti (displacement), kambing hitam bagi rakyat yang frustrasi di era pemerintahan Orde Baru yang represif dalam bentuk kerusuhan anti Tionghoa yang sempat marak. Kedudukan sebagai minoritas bagaimanapun selalu rawan, baik itu dalam posisi sebagai minoritas yang lemah maupun minoritas yang kuat.

Secara umum etnis Tionghoa di Indonesia membuat lingkungannya sendiri untuk dapat hidup secara "eksklusif dengan tetap mempertahankan kebudayaan atau tradisi leluhur. Ong Hok Kham (dalam Ning, 1992) menyatakan bahwa ekslusivisme orang Tionghoa itu disebabkan oleh kehendak mereka sendiri, bukan disebabkan oleh pemisahan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia sebagai kelompok minoritas. Jika

(22)

memang demikian, maka alam pemikiran etnis Tionghoa itu masih seperti pola pikirmasa silam pada masa penjajahan.

Etnis Tionghoa adalah salah satu kelompok masyarakat non pribumi yang bermigrasi ke Indonesia. Mereka memasuki Indonesia melalui gelombang-gelombang migrasi yang besar dari Malaysia dan Dataran Cina. Mereka didatangkan karena tenaganya dibutuhkan di perkebunan-perkebunan tembakau yang telah dibuka oleh pemerintah Kolonial Belanda (Suryadinata, 1984).

Kedudukan istimewa etnis Tionghoa mengakibatkan kehidupan mereka terpisah dari kelompok masyarakat pribumi. Keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia menimbulkan berbagai masalah dibandingkan dengan keberadaan orang asing lainnya seperti orang Arab, mdia, Eropa, dan sebagainya. Di Indonesia telah terjadi beberapa peristiwa tindak kerusuhan antara etnis Tionghoa dengan pribumi.

Penyebab kerusuhan tersebut sebahagian besar berkisar pada masalah ekonomi, yang menunjukkan bahwa golongan pribumi merasa tidak puas akan pemerataan pendapatan dan pemerataan kegiatan usaha.

Jika dilihat dari format negara Indonesia yang indigenous nation (negara suku) maka sudah selayaknya format yang pas adalah menempatkan etnis Tionghoa sama kedudukannya dengan suku-suku lainnya (Suryadinata, 1999). Di zaman Orde Lama, Bung Karno pernah memunculkan ide bahwa orang Tionghoa adalah salah satu suku di Indonesia yang setara dengan suku Jawa, Sunda, Minang, Batak dan sebagainya. Dengan demikian orang Tionghoa telah menjadi orang Indonesia Sejati.

(23)

tanpa asimilasi total. Namun akibat meletusnya pemberontakan G30S PKI ide tersebut kandas untuk diwujudkan ( Suryadinata, 1993). Bahkan di era Orde Baru, orang Tionghoa harus melakukan asimilasi total dengan meleburkan identitas etnisnya ke dalam identitas etnis Indonesia (Susetyo, 2002).

Tungadi (1980) menyatakan bahwa faktor-faktor penghambat integrasi antara orang Tionghoa dengan pribumi, antara lain karena adanya perbedaan orientasi, adat istiadat, bahasa, agama, struktur ekonomi, serta partisipasi dalam bidang politik. Sebaliknya, di Thailand menurut Skinner (1960) proses integrasi orang Tionghoa cepat beijalan, karena mereka sudah meninggalkan adat istiadat budaya Tionghoa bahkan hampir semua generasi mudanya secara sempurna berasimilasi dengan masyarakat Thai dan memakai nama, adat, nilai orang Thai, dan menghilangkan identitas kesetiaan pada tanah leluhurnya.

Sumatera Utara adalah salah satu propinsi yang banyak dihuni oleh etnis Tionghoa. Hubungan antar etnis Tionghoa dengan penduduk pribumi diwamai situasi yang kurang harmonis, dan cenderung mengarah kepada situasi konflik. Peristiwa 10 Desember 1966 tentang pembubaran PKI di Konsulat RRC di Medan, yang berbuntut matinya seorang pemuda Aceh, sehingga menimbulkan amarah penduduk pribumi dengan membunuh orang Tionghoa lebih kurang 200 orang. Demonstrasi mahasiswa USU Medan pada tahun 1980 yang "berbau” rasial yaitu sentimen anti keturunan Tionghoa. Kejadian ini merupakan bukti adanya tindak kekerasaan terhadap etnis Tionghoa. Bruner (1974) menyatakan semua kelompok etnis Indonesia khususnya Sumatera Utara menghadapi permasalahan dengan kelompok etnis Tionghoa.

(24)

Di beberapa daerah dimana terdapat orang Tionghoa dan pribumi hidup dalam satu wilayah, pada umumnya diakui bahwa hubungan sosial diantara mereka kurang harmonis, sehingga masih terbentuk stereotipe-stereotipe yang kuat tentang etnis Tionghoa di Indonesia. Sebaliknya etnis Tionghoapun mempunyai stereotipe tertentu tentang orang pribumi meskipun jarang dilontarkan secara terbuka. Orang selalu beranggapan bahwa karakteristik atau perilaku tiap individu berlaku sama dalam satu kelompok primordial. Oleh karena itu, permasalahan kecil pada tingkat individu dapat meluas pada tingkat kelompok etnis sehingga akibatnya dapat menjadi masalah suku, agama dan ras (SARA).

Stereotipe biasanya terbentuk atas dasar kejadian yang sudah ada sebelumnya,

kemudian diperkuat oleh pengamatan pribadi secara sepintas yang biasanya berkonotasi negatif. Pengamatan mi hanya melihat dari sisi luamya saja tanpa mengetahui latar belakang sikap dan perilaku yang membentuknya sehingga

stereotipe bisa menumbuhkan fanatisme dan kecurigaan yang akhirnya akan

menyebabkan masing-masing kelompok menutup diri dan memperkuat stereotipe tersebut. Sifat tertutup seperti ini tentu menghambat komunikasi yang sangat diperlukan dalam proses pembauran, sebab komunikasi merupakan salah satu syarat mutlak untuk terjadinya interaksi sosial yang harmonis, yang pada gilirannya dapat menumbuhkan rasa saling menghormati antar orang Tionghoa dengan pribumi.

Setiap kelompok etnis biasanya mempunyai pandangan atau penilaian terhadap orang lain diluar kelompok etnisnya. Stereotipe (prasangka) dipunyai oleh masing-masing etnis mengenai golongan etnis lainnya yang ada di wilayahnya.

(25)

Walaupun warga masing-masing etuis itu mempunyai stereotipe mengenai etnis lainnya, tetapi hubungan kerja sama dan hubungan sosial etnis yang berbeda tetap berlangsung.

Menurut Suryadinata (1980) salah satu pencetus stereotipe terhadap etnis Tionghoa adalah disebabkan selain jumlah mereka yang makin lama semakin besar, juga disebabkan peranan mereka yang menonjol dalam kehidupan ekonomi di negara Indonesia.

Akibat kelebihan mereka dalam bidang ekonomi, maka persepsi warga negara Indonesia asli (pribumi) terhadap mereka selalu bersifat negatif, karena ada anggapan bahwa mereka memperoleh kekayaan secara tidakjujur, sehingga timbullah tuduhan- tuduhan seperti : sombong, licik dalam berusaha, suka memberi hadiah/menyogok untuk melicinkan usaha, hidup secara eksklusif, tinggal di pusat kota dalam gedung tembok yang berpagar besi dari luar dan dalam, seolah-olah menganggap semua warga pribumi sebagai pencuri/ orang-orang nakal.

Warga masyarakat Tionghoa selain sebagai pedagang, buruh juga bekerja sebagai karyawan di pabrik atau industri, seperti pabrik plastik, kayu lapis, bir dan industri pengecoran logam miliki Tionghoa. Mereka yang bekerja sebagai karyawan pabrik itu pada umumnya mempunyai penghasilan yang cukup, seperti tampak dari bangunan rumah mereka dan perlengkapannya. Gaji di pabrik atau perusahaan lainnya antara karyawan pribumi dengan karyawan etnis Tionghoa tidak sama besamya dan pada umumnya gaji karyawan Tionghoa lebih besar dibandingkan karyawan pribumi.

(26)

Pada umumnya etnis Tionghoa masih berorientasi pada budaya leluhumya, seperti mempercayai arwah leluhumya, yang tampak dari kebiasaan untuk menyediakan sesajen kepada nenek moyang. Sesajen berupa air, kue apem merah, pisang, jeruk dan apel. Sesajen yang dipilih dari buah-buahan yang terbaik itu akan diganti sekali seminggu. Pada waktu-waktu tertentu mereka juga selalu membuang bunga rampai di persimpangan jalan, yang tujuannya adalah untuk mengucapkan rasa syukur kepada arwah nenek moyang yang telah memberikan rezeki kepada mereka selama ini.

Sebahagian besar etnis Tionghoa di Kota Medan masih menggunakan bahasa Tionghoa dalam pergaulan sehari-hari. Hanya sebahagian kecil yang menggunakan bahasa campuran Tionghoa dan bahasa Indonesia (Cushman & Gungwu, 1991:136- 137).

Dalam kegiatan berdagang, etnis Tionghoa di Kota Medan Sumatera Utara sangat gigih dan ulet. Barang dagangan yang biasa dijual adalah barang-barang elektronik, pakaian, sepatu dan bahan kebutuhan pokok sehari-hari. Salah satu kelebihan dari system berdagang etnis Tionghoa adalah selalu ramah, tidak cepat marah walaupun barang dagangannya tidak jadi dibeli serta kadangkala lebih murah harganya dari dagangan orang pribumi. Hal ini disebabkan prinsip dagang etnis Tionghoa yaitu menjual barang dengan untung yang kecil tetapi barang banyak terjual, sehingga perputaran uang tetap berjalan dengan cepat (Cohen, 1992 :135).

(27)

Pedagang etnis Tionghoa biasanya akan selalu berbelanja kepada grosir milik etnis Tionghoa juga, karena itu harga yang diberikan grosir lebih murah dibandingkan bagi pedagang pribumi atau masyarakat setempat.

Ketika berbelanja dengan pedagang etnis Tionghoa di Kota Medan, pada umumnya orang pribumi harus hati-hati kalau tidak mau tertipu. Kadangkala pedagang Tionghoa pertama sekali menawarkan harga barang dagangannya tiga kali lipat atau bahkan samapai lima kali lipat dari harga normal suatu barang. Jika berbelanja dengan etnis Tionghoa seringkali masyarakat pribumi harus terlebih dahulu tahu harga normal suatu barang dan biasanya yang menjadi harga standart adalah harga yang terdapat di swalayan (Sunarto, 1993:136).

Sterotipes (prasangka - prasangka) tersebut sebenarnya dapat berkurang apabila batas-batas social yang menghambat terwujudnya hubungan baik apabila suatu arena interaksi yang dapat mengakomodasi sikap-sikap yang tidak bersahabat. Hal ini dapat dilakukan pada tingkat kelurahan seperti menyambut hari kemerdekaan, gotong-royong, karang taruna, atau kegiatan olah raga yang melibatkan semua golongan etnis atau bahkan dengan perkawinan campur etnis Tionghoa dengan etnis pribumi yang sudah barang tentu yang seagama. Kegiatan tersebut mungkin dapat menjembatanai sikap-sikap yang tidak bersahabat sehingga dapat lebih lunak.

Di sisi lain, ada anjuran pemerintah agar warga negara keturunan Tionghoa mengganti nama-nama mereka yang sesuai/ "berbau" Indonesia asli. Penggunaan huruf atau bahasa Tionghoa tidak boleh digunakan di sekolah-sekolah. Akan tetapi,

(28)

masih saja terdapat jurang (gap) antara pribumi dan non-pribumi Tionghoa, sehingga masih potensial untuk sewaktu-waktu dapat menimbulkan benturan – benturan kembali.

1.6 Definisi Konsep

Adapun yang menjadi definisi konsep adalah : • Interaksi Sosial

Yakni cara-cara berhubungan yang dilihat apabila orang perorangan dan kelompok-kelompok sosial sating bertemu dan menentukan sistem serta bentuk-bentuk hubungan tersebut atau apa yang akan terjadi apabila perubahan-perubahan yang menyebabkan goyahnya pola-pola kehidupan yang telah ada.

• Pola Interaksi

Menurut Gillin dan Gillin ada dua macam proses yang timbul sebagai akibat adanya interaksi sosial, yaitu :

- Proses sosial yang asosiatif (procesess of assosiation) yang terbagi ke dalam tiga bentuk khusus lagi, yaitu:

a. Akomodasi b. Asimilasi, dan c. Akulturasi

- Proses sosial yang diasosiatif (procesess of dissociation)yang mencakup:

(29)

a. Persaingan

b. Persaingan yang meliputi “contravention” dan pertentangan atau pertikaian (conflict) (Soekanto; 1987:59).

• Lembaga Sosial

Pranata/lembaga sosial adalah seperangkat norma yang terinstitusionalisasi

(institutionalized), yaitu : (1) telah diterima sejumlah besar anggota sistem

sosial ; (2) ditanggapi secara sungguh-sungguh ; (3) diwajibkan, dan terhadap pelanggarnya dikenakan sanksi tertentu.

• Struktur Sosial

Struktur sosial adalah perilaku sosial elementer dalam hubungan sosial sehari-hari. Konsep Struktur sosial menekankan pada pola perilaku individu dan kelompok, yaitu pola perilaku berulang – ulang yang menciptakan hubungan antar individu dan antar kelompok dalam masyarakat. Struktur sosial dapat pula merujuk pada kesalingterkaitan antar institusi.

• Masyarakat Lokal

Adalah masyarakat yang tinggal dan menetap di Pancurbatu sebelum masyarakat perantau datang dan menetap. Dalam hal ini adalah suku Karo.Warga Pendatang Masyarakat pendatang adalah penduduk yang tinggal dan menetap di Pancurbatu, yang kampung halaman berada di luar Pancurbatu yang

(30)

mempunyai suku, agama, dan kebudayaan yang berbeda. Dalam hal ini masyarakat pendatang adalah etnis Tionghoa.

Jenis Penelitian

Penelitian akan dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan format deskriptif. Penelitian ini dilakukan demi memberikan gambaran yang lebih detil mengenai suatu gejala atau fenomena. Hasil akhir dari penelitian biasanya berupa deskripsi tekstual, tipologi atau pola-pola mengenai fenomena yang sedang dibahas.

Tujuan Penelitian deskriptif ialah :

a. Menggambarkan/mendeskripsikan suatu fenomena atau mekanisme sebuah proses.

b. Menciptakan seperangkat kategori atau pola. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini terletak di Pancurbatu, Kecamatan Pancurbatu, Kabupaten Deliserdang. Adapun alasan dalam pemilihan lokasi penelitian ini adalah :

• Masyarakat Pancurbatu mempunyai latar belakang kehidupan masyarakat yang majemuk, agak berbeda dengan daerah lain di Sumatera Utara.

• Masyarakat yang tinggal di Pancurbatu mempunyai kehidupan yang harmonis walaupun memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda.

Unit Analisis dan Informan

Unit analisis adalah seluruh masyarakat yang bertempat tinggal di lokasi penelitian. Untuk memudahkan penelitian maka ditetapkan kriteria tertentu.

(31)

Diharapkan dengan demikian akan diperoleh informan yang mengetahui banyak tentang pola interaksi etnis Tionghoa dengan etnis Karo di Pancurbatu. Sehingga dapat memberikan informasi bagi peneliti dalam menjawab permasalahan penelitian. Adapun yang dianggap sebagai responden kunci adalah :

1. Kepala Desa Pancurbatu

2. Ketua adat serta tokoh masyarakat desa Pancurbatu, Kabupaten Deliserdang. Sedangkan yang menjadi responden biasa adalah :

 Masyarakat lokal, dalam hal ini yaitu etnis Karo.

 Masyarakat etnis Tionghoa yang telah menetap minimal 3 tahun di Pancurbatu.

Teknik Pengumputan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui beberapa tahap penyusunan oleh peneliti yang digolongkan menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder.

Data Primer

a. Observasi Langsung

Observasi langsung adalah pengamatan yang dilakukan secara langsung pada objek yang diobservasi, dalam arti bahwa pengamatan tidak menggunakan “media-media transparan” (Bungin, Burhan, 2001:143). Yang dimaksud dalam hal ini bahwa peneliti secara langsung melihat atau mengamati. Bagaimana pola interaksi etnis Tionghoa dengan etnis Karo di Pancurbatu ini.

(32)

Wawancara Mendalam

Yang sering juga disebut dengan wawancara atau kuesioner lisan, adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara (interview) [Arikunto, 2004:132]. Wawancara mendalam (depth interview) yaitu dengan menggunakan daftar pertanyaan (interview guide) kepada infonnan yang telah ditentukan.

Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber data kedua atau sumber-sumber dari data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, dan untuk tahap selanjutnya. Data sekunder diperoleh dengan cara studi kepustakaan, peneliti mendapat suatu landasan teori yang kuat untuk mendukung penulisan ini dari berbagai literature seperti buku-buku serta dokumen-dokumen yang berhubungan dengan penelitian ini. 1.11 Interpretasi Data

data yang diperoleh terlebih dahulu dievaluasi untuk memastikan obyektifitas (kesesuaian dengan kebenaran) dan relevasi dengan masalah yang diteliti. Temuan dalam penelitian tersebut direduksi (diedit), diinterpretasikan atau ditafsirkan, dan diorganisasikan.

Hasil pengumpulan data selanjutnya direduksi, yang mencakup kegiatan mengiktisarikan hasil pengumpulan data selengkap mungkin dan memilah-milahnya kedalam suatu konsep, kategori, atau tema tertentu. Seperangkat hasil reduksi data kemudian diorganisasikan ke dalam suatu bentuk (display data), ini sangat dibutuhkan untuk memudahkan upaya pemaparan dan penegasan kesimpulan, tujuan

(33)

Akhirnya adalah untuk memahami bagaimana pola interaksi etnis Tionghoa dengan etnis Karo di Pancurbatu

1.12. Analisis Data

Tabel 1

JADWAL KEGIATAN PENELITIAN

Kegiatan Bulan 1 Bulan 2 Bulan 3 Bulan 4

Pra Penelitian - Penyusuan Proposal

- Perbaikan Proposal Х

Persiapan :

- Pengurusan Izin Х

- Persiapan Instrumen Penelitian Х

Penelitian : - Observasi Х Х - Wawancara Х Х Х Х Pasca Penelitian : - Analisa Data Х Х Х - Penyusunan Laporan Х Х Х

Referensi

Dokumen terkait

tidak melakukan sesuatu). Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dijelaskan kebijakan publik yang berkaitan dengan pemerintahan, apapun yang dilakukan atau tidak

etika seseorang yang telah saya bantu atau ketika orang-orang yang mana saya menaruh harapan yang sangat besar terhadapnya, memperlakukan saya dengan semena-mena, saya akan

Bila 100 mL contoh larutan jenuh masing masing garam Pb berikut ini, manakah yang mengandung konsentrasi ion Pb 2+ (aq) paling tinggiA. Berikut ini, manakah pernyataan yang

Hasil inversi tomografi dengan menggunakan data waktu tempuh gelombang S menunjukkan bahwa data S yang dipakai dalam studi ini mempunyai signal to noise ratio (S/N) yang cukup

Oleh karena itu, substrat yang digunakan sebagai sampel dalam mengisolasi bakteri proteolitik dapat diperoleh dari berbagai tempat yang banyak mengandung protein

Mahkamah Konstitusi tidak berwenang memeriksa permohonan Pemohon Bahwa dengan menyimak dengan seksama keterangan Pemohon pada persidangan tanggal 22 Desember 2008

Koefisien dummy3 yang menunjukkan parameter negatif menunjukkan bahwa perusahaan tidak bertumbuh pada kondisi krisis memiliki nilai IOS lebih tinggi dari pada kondisi pasca

Suryono, 2005, Mikrokontroler ISP MCS-5,Lab Elektronika & Instrumentasi Fisika Undip. Suryono, 2005, Workshop Elektronika Dasar, Lab Elektronika & Instrumentasi Fisika