• Tidak ada hasil yang ditemukan

GUGATAN CLASS ACTION DALAM SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP (Tinjauan Yuridis Atas Perma Nomor 1 Tahun 2002)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "GUGATAN CLASS ACTION DALAM SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP (Tinjauan Yuridis Atas Perma Nomor 1 Tahun 2002)"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

JURNAL BERAJA NITI ISSN : 2337-4608 Volume 3 Nomor 3 (2014)

http://e-journal.fhunmul.ac.id/index.php/beraja © Copyright 2014

GUGATAN CLASS ACTION DALAM SENGKETA LINGKUNGAN

HIDUP (Tinjauan Yuridis Atas Perma Nomor 1 Tahun 2002)

Manventus Amos1 (Manventus_amos@yahoo.com) La Sina2 (la_sina61@yahoo.co.id) K. Wisnu Wardana3 (wisnuwardana@fhunmul.ac.id) Abstrak

Dalam peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002, gugatan Perwakilan Kelompok (class action) didefenisikan sebagai suatu tata cara atau prosedur pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan atas diri sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang mewakili kesamaan fakta atau kesamaan dasar hukum dan kesamaan tuntutan antara wakil kelompok dan anggota kelompok lainya. Beberapa permasalahan yang akan ditelusuri dalam penelitian ini, yaitu berhubungan dengan kedudukan hukum perwakilan kelompok dalam sengketa lingkungan hidup, serta kendala gugatan perwakilan kelompok dalam sengketa lingkungan hidup.Sedangkan tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini, yakni:untuk memahami kedudukan penggugat perwakilan kelompok dalam sengketa lingkungan hidup, dan mengetahui kendala gugatan perwakilan kelompok dalam sengketa lingkungan hidup.

Beberapa saran yang perlu diperhatikan oleh berbagai pihak yang memiliki kewenangan dan kepentingan dalam perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup, sebagai berikut:Pemerintah atau Pemerintah Daerah (Provinsi atau Kabupaten/Kota), perlu melakukan publikasi terhadap permasalahan lingkungan hidup terutama yang merugikan masyarakat;Lembaga Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Lembaga Pendidikan Hukum, perlu melakukan sosialisasi terkait gugatan perwakilan kelompok (Perma Nomor 1 Tahun 2002) dalam sengketa lingkungan hidup kepada masyarakat; serta LSM yang bergerak dibidang lingkungan hidup, selain memiliki kapasitas dalam mengajukan gugatan

legal standing, juga perlu melakukan sosialisasi terhadap gugatan perwakilan kelompok.

Kata kunci : Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action)

1

Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman 2

Dosen Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman 3

(2)

Pendahuluan :

Lingkungan hidup Indonesia yang dianugerahkan Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia merupakan karunia dan rahmat-Nya yang wajib dilestarikan dan dikembangkan kemampuannya, agar dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat dan bangsa Indonesia serta makhluk hidup lainnya demi kelangsungan dan peningkatan kualitas hidup itu sendiri. Secara ekologis makhluk hidup dan benda-benda abiotis lainnya berada dalam hubungan saling ketergantungan dan saling keterkaitan antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu semua organisme dan makhluk hidup serta benda-benda abiotis lainnya harus memperoleh martabat yang sama. Cara pandang ini mengandung makna bahwa dalam pengelolaan lingkungan hidup dituntut adanya penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan yang sama terhadap hak yang sama untuk hidup dan berkembang yang tidak hanya berlaku bagi semua makhluk hayati tetapi juga bagi yang non hayati. Hak semua bentuk kehidupan untuk hidup adalah sebuah hak universal yang tidak bisa diabaikan. Manusia sebagai salah satu spesies dalam ekosistem harus mengakui bahwa kelangsungan hidupnya dan spesies lainnya tergantung dari kepatuhannya pada prinsip-prinsip ekologis.4

Dalam rangka mendayagunakan sumber daya alam untuk memajukan kesejahteraan umum seperti termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan untuk mencapai kebahagiaan hidup berdasarkan Pancasila, perlu diusahakan pelestarian lingkungan hidup yang serasi dan seimbang untuk menunjang

4

Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang Tentang Pengelown Lingkungan Hidup Jakarta, 2009., Halaman 22

(3)

pembangunan yang berkesinambungan dilaksanakan dengan kebijaksanaan terpadu dan menyeluruh serta memperhitungkan kebutuhan generasi sekarang dan mendatang. Untuk menjamin adanya kepastian hukum agar masyarakat mempunyai kesadaran untuk turut serta dalam melestarikan lingkungan mereka, pemerintah telah menyiapkan perangkat hukum khususnya hukum lingkungan untuk menjerat para pencemar dan perusak lingkungan hidup. Undang-Undang yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Lingkungan Hidup (UULH ) serta Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) dan telah disempurnakan dengan Undang-Undang yang terbaru yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH).5

Namun pengalaman kita saat ini secara nyata memperlihatkan kepada kita bahwa semakin maraknya usaha pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam telah berdampak terhadap persoalan lingkungan hidup. Semakin berkurangnya area hutan alam akibat konversi lahan sawit dan pertambangan batu bara adalah contoh nyata yang ada di sekitar kita. Meningkatnya orientesi kebijakan yang condong kepada usaha pemanfaatan kekayaan alam untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, bersamaan dengan itu meninggalkan jejak kelam terhadap stabilitas lingkungan hidup kita. Kebijakan MP3EI (Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia) sebagaimana dicanangkan oleh pemerintah, juga meneguhkan eksploitasi sumber daya alam dengan dalih

5

Sutrisno., Politik Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup., JURNAL HUKUM Nomor 3 VOL. 18 JULI 2011., Halaman 445

(4)

pembangunan. Dampak kerusakan lingkungan hidup yang timbul akibat kebijakan pembangunan ini, tentu saja lambat laun akan merambat kepada persoalan lingkungan secara global di masa yang akan datang.

Kerusakan Lingkungan hidup di Indonesia, semakin hari semakin memprihatinkan. Masalah banjir akibat pendangkalan sungai, masalah area pertambangan yang tidak direklamasi sebagaimana yang terjadi di Samarinda sendiri pun telah menimbulkan korban. Masalah lumpur lapindo di Sidoarjo adalah bukti bahwa pengerusakan alam lingkungan hidup tengah berlangsung. Bahkan, telah membahayakan hidup dan kehidupan setiap makhluk hidup di dalam dan sekitarnya, termasuk kehidupan generasi di masa datang. Padahal, hakekat lingkungan hidup merupakan kehidupan yang melingkupi tata dan nilai-nilai kehidupan yang ada di dalamnnya. Tata dan nilai yang menjaga keberlanjutan lingkungan hidup dan sumber daya alam dan keadilan sosial bagi kehidupan manusia atas HAL (Hak Atas Lingkungan) saat ini dan generasi yang akan datang. Demikian pula yang perlu dipertegas adalah lingkungan hidup

Pembahasan :

1. Kedudukan Hukum Perwakilan Kelompok di Dalam Sengketa Lingkungan Hidup

Pasal 1 angka 25 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengartikan “Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang timbul dari kegiatan yang berpotensi dan/atau telah berdampak pada lingkungan hidup”.Sengketa lingkungan adalah perselisihan atau percekcokan atau konflik antara dua

(5)

pihak/subyek hukum atau lebih yang dikarenakan oleh dugaan adanya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan (potensial) atau memang karena telah terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan

(factual). Fokus dari penyebab sengketa ini adalah pencemaran/perusakan lingkungan dan dugaan terhadapnya. Bentuk-bentuk konflik/sengketa lingkungan yang sering muncul penyebabnya adalah: (a) pencemaran (terutama pencemaran air dan udara termasuk kebisingan); (b) perubahan tata guna lahan (land use); (c) gangguan keamanan dan kenyamanan

(insecure and amenity).6 Sengketa lingkungan (“environmental disputes”) merupakan “species” dari “genus” sengketa yang bermuatan konflik atau kontroversi di bidang lingkungan yang secara leksikal diartikan “Dispute a conflict or conroversy; a conflict of claims or rights; an assertion of a right, claim, or demand on oneside, met by contrary claims or allegations on the other” Terminologi “penyelesaian sengketa” rujukan bahasa inggrisnya pun beragam: “dispute resolution”, “conflict management”, conflict settlement”, “conflict intervention”.7

Sengketa lingkungan hidup dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu: 1) sengketa yang berkaitan dengan perlindungan lingkungan; 2) sengketa yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam; dan 3) sengketa yang muncul akibat pencemaran atau perusakan lingkungan. Sengketa yang

6Sudharto Hadi P., Pengertian dan Prinsip-Prinsip Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, Seminar Sosialisasi PP Nomor. 54 Tahun 2000, Kerjasama antara PSLH-Lemlit UNS dengan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan UNU Surakarta, 25 September 2000., Halaman 3

7

TM. Lutfi Yazid., Penyelesaian Sengketa Lingkungan (environmental Dispute Resolution), Surabaya: Airlangga University Press-Yayasan Adikarya IKAPI-Ford Foundation., 1999., Halaman 9

(6)

berkaitan dengan upaya perlindungan lingkungan pada umumnya terjadi antara pihak yang ingin memanfaatkan sumber daya alam untuk memenuhi kepentingan ekonomi di satu sisi dan pihak yang berkepentingan atau berkewajiban untuk melindungi lingkungan dan sumber daya alam di sisi lain. Sengketa yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam pada umumnya terjadi karena ada pihak yang merasa akses mereka terhadap sumber daya tersebut terhalangi, sedangkan sengketa akibat pencemaran atau perusakan lingungan pada umumnya terjadi antara pihak

pencemar/perusak dengan pihak yang menjadi korban

pencemaran/perusakan.

Penyelesaian sengketa lingkungan dapat dilakukan di dalam dan di luar pengadilan. Hal ini telah dijamin dalam undang-undang yang mengatur tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, yakni UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH 2009). Hal yang sama juga diatur dalam undang-undang yang berlaku sebelumnya, yakni UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH 1997) dan UU Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUKPPLH 1982). Khusus terhadap penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan diluar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.8

8

Pasal 85 ayat (2) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berbunyi : “(2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.”

(7)

Dalam perkembangan sejarah perlindungan hukum di Indonesia, khusus mengenai perlindungan hukum melalui gugatan perwakilan (class action) dan hak gugat organisasi (legal standing/ius standi) sedang hangat-hangatnya dibicarakan baik dalam kalangan akademik, maupun di kalangan penasehat hukum, lembaga swadaya masyarakat dan di kalangan badan peradilan sendiri. Oleh karena baru mengenal konsep gugatan perwakilan (class action), maka masih banyak kalangan praktisi hukum memberikan pengertian gugatan perwakilan (class action) identik atau sama dengan pengertian hak gugat organisasi (legal standing/ius standi) padahal pengertian gugatan perwakilan (class action) berbeda dengan pengertian gugatan organisasi (legal standing). Perbedaan yang prinsipil antara gugatan perwakilan (class action) dengan hak gugat organisasi (legal standing)

antara lain, dalam gugatan perwakilan (class action) adalah:

1. Seluruh anggota kelas (class representatives dan class members) sama-sama langsung mengalami atau menderita suatu kerugian;

2. Tuntutannya dapat berupa ganti kerugian berupa uang (monetary damage) dan/atau tuntutan pencegahan (remedy) atau tuntutan berupa perintah pengadilan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (injunction) yang sifatnya deklaratif.

Sedangkan dalam hak gugatan organisasi (legal standing), adalah:

1. Oganisasi tersebut tidak mengalami kerugian langsung, kerugian dalam konteks gugatan organisasi (legal standing) lebih dilandasi suatu pengertian kerugian yang bersifat publik.

(8)

2. Tuntutan organisasi (legal standing) tidak dapat berupa ganti kerugian berupa uang, kecuali ganti kerugian yang telah dikeluarkan organisasi untuk penanggulangannya objek yang dipermasalahkannya dan tuntutannya hanya berupa permintaan pemulihan (remedy) atau tuntutan berupa perintah pengadilan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (injunction) yang bersifat deklaratif.

Dalam Peraturan Makamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok, gugatan Perwakilan Kelompok (Class Actions) didefinisikan sebagai suatu tata cara atau prosedur pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya sangat banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau kesamaan dasar hukum dan kesamaan tuntutan antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya. Substansi utama yang mewadahi gugatan perwakilan baik itu berupa class action maupun secara legal standing adalah keduanya berada pada ranah hukum perdata dan merupakan bentuk pengajuan gugatan dalam bentuk perwakilan. Hal ini sesuai dengan Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dimana pada bagian ke tiga mengatur tentang Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Peradilan dan kemudian dijabarkan lewat pasal 87 sampai dengan pasal 92. Class Action diajukan masyarakat melalui prosedur perdata yang diwakili oleh satu atau sejumlah orang yang bertindak sebagai pihak penggugat. Hal ini sesuai

(9)

dengan unsur-unsur penggugat pada gugatan class action itu sendiri yaitu Wakil Kelompok (Class Represntatif) dan Anggota Kelompok (Class Members). Class Representatif diartikan sebagai satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang mengajukan gugatan sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya. Untuk menjadi wakil kelompok tidak disyaratkan adanya suatu surat kuasa khusus dari anggota kelompok. Saat gugatan class action diajukan ke pengadilan maka kedudukan dari wakil kelompok sebagai penggugat aktif. Class Members diartikan sebagai

sekelompok orang dalam jumlah yang banyak yang menderita kerugian yang kepentingannya diwakili oleh wakil kelompok di pengadilan. Apabila class action diajukan ke pengadilan maka kedudukan dari anggota kelompok adalah penggugat pasif. Kedua hal tersebut (penggugat) adalah dasar pembeda yang paling kentara pada gugatan class action dan legal standing, walaupun keduanya adalah sama-sama bentuk pengajuan gugatan perdata yang dilakukan secara perwakilan kelompok.

2. Kendala Gugatan Perwakilan Kelompok Dalam Sengketa Lingkungan Hidup

Sebagaimana diketahui bahwa agar hukum dan peraturan benar-benar berfungsi secara efektif, senantiasa dikembalikan pada penegakan hukumnya. Fokus perhatian proses penegakan hukum (enforcement of law) pada warga masyarakat adalah sedikit banyak adapun menyangkut masalah

(10)

derajat kepatuhan. Secara umum proses penegakan hukum (enforcement of law) dikatakan efektif menurut Soerjono Soekanto adalah:9

a) Faktor hukum itu sendiri; b) Faktor penegak hukum;

c) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; d) Faktor masyarakat;

e) Faktor kebudayaan.

Pendapat lain yang dilontarkan oleh Wignjosoebroto menegaskan bahwa efektif bekerjanya hukum perlu adanya:10

a) Struktur organisasi pelaksanan/penegak kaedah yang efektif menjamin terlaksananya sanksi mana kala ada yang melanggar; dengan bekerjanya organisasi yang efektif itu, kaedah-kaedah hukum dapat dijamin mempunyai kekuatan pengendali warga masyarakat.

b) Adanya kesadaran dan kerelaan para warga masyarakat yang tengah dikaedahi atau diatur.

Sebagaimana bagi dunia peradilan, kehadiran gugatan perwakilan kelompok sebagai cara penyelesaian sengketa di pengadilan adalah penting dalam penegakkan hukum. Berkembangnya praktek gugatan perwakilan kelompok di Indonesia akan mengurangi jumlah perkara di pengadilan, yang pada giliranya sudah barang tentu akan mengurangi beban perkara yang masuk ke pengadilan dan pada akhirnya akan berimbas pula pada efektifnya

9Aldian Harikhman., Op.Cit., Halaman 18 10Ibid., Halaman 18

(11)

kerja majelis hakim dalam memeriksa, mempertimbangkan dan memutuskan perkara, karena dengan sedikit perkara majelis hakim akan lebih konsentrasi dalam menghadapi perkara dipengadilan.

Perma Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok menjadi pedoman bagi penegak hukum, baik hakim maupun advokat dalam mengahadapi masalah penyelesaian sengketa melalui mekanisme secara khusus mengenai gugatan perwakilan kelompok. Mengenai penegak hukum khususnya hakim mempunyai kedudukan dan peran. Kedudukan tersebut sebenarnya merupakan suatu wadah, yang isinya adalah hak-hak dan kewajiban tertentu. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban tadi merupakan peran atau rule. Mengenai gugatan dengan mekanisme perwakilan kelompok, hakim wajib berpedoman pada hukum acara perdata Indonesia dan ketentuan yg berlaku mengenai acara guagatan perwakilan kelompok. Pada Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 masalah penyelesaian sengketa lingkungan hidup diatur pada bagian ke tiga Undang-undang ini. Dimana secara perdata Undang-undang-Undang-undang ini membatasi aturan-aturan mengenai pengajuan gugatan oleh pihak-pihak tertentu saja, sebagai upaya pencegahan dan usaha pelestarian lingkungan hidup,yaitu:

1. Hak Gugat Masyarakat (Class Action)

Pasal 91 (1) menyebutkan bahwa: “masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup”. Selanjutnya dalam

(12)

pasal 91 (2) disebutkan bahwa: “gugatan dapat diajukan apabila terdapat kesamaan fakta atau peristiwa, dasar hukum, serta jenis tuntutan diantara wakil kelompok dan anggota kelompoknya”.

2. Hak Gugat Organisasi Lingkungan Hidup (Legal Standing)

Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup (pasal 92 ayat 1).

Menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok menyebutkan bahwa jumlah yang banyak itu sehingga tidak efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dalam satu gugatan. Gugatan dengan prosedur gugatan perwakilan kelompok harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1. Numerosity, yaitu gugatan tersebut menyangkut kepentingan orang banyak, sebaiknya orang banyak itu diartikan dengan lebih dari 10 orang; sehingga tidaklah efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan sendiri-sendiri atau bersama-sama dalam satu gugatan;

2. Commonality, yaitu adanya kesamaan fakta (question of fact) dan kesamaan dasar hukum (question of law) yang bersifat subtansial, antara perwakilan kelompok dan anggota kelompok; misalnya pencemaran; disebabkan dari sumber yang sama, berlangsung dalam waktu yang

(13)

sama, atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh tergugat berupa pembuangan limbah cair di lokasi yang sama;

3. Tipicality, yaitu adanya kesamaan jenis tuntutan antara perwakilan kelompok dan anggota kelompok. Persyaratan ini tidak mutlak mengharuskan bahwa penggugat mempunyai tuntutan ganti rugi yang sama besarnya, yang terpenting adalah jenis tuntutannya yang sama, misalnya tuntutan adanya biaya pemulihan kesehatan, dimana setiap orang bisa berbeda nilainya tergantung tingkat penyakit yang dideritanya; 4. Adequacy of Representation, yaitu perwakilan kelompok merupakan perwakilan kelompok yang layak, dengan memenuhi beberapa persyaratan:

a) Harus memiliki kesamaan fakta dan atau dasar hukum dengan anggota kelompok yang diwakilinya;

b) memiliki bukti-bukti yang kuat; c) jujur;

d) Memiliki kesungguhan untuk melindungi kepentingan dari anggota kelompoknya;

e) Mempunyai sikap yang tidak mendahulukan kepentingannya sendiri dibanding kepentingan anggota kelompoknya; dan

f) Sanggup untuk menanggulangi membayar biaya-biaya perkara di pengadilan.

(14)

Adapun tujuan dan manfaat pengajuan gugatan class action (gugatan kelompok) adalah sebagai berikut:

a. Agar supaya proses berperkara lebih ekonomis dan biaya lebih efisien. Tidaklah ekonomis bagi penggugat, tergugat, bahkan pengadilan sekalipun jika harus melayani gugatan yang sejenis satu persatu. Manfaat ekonomis ini tidak saja hanya dirasakan oleh penggugat, akan tetapi juga oleh tergugat, sebab dengan pengajuan gugatan secara class action, tergugat hanya satu kali mengeluarkan biaya untuk melayani gugatan para pihak-pihak yang merasa dirugikan. Biaya pengacara melalui mekanisme class action akan jauh lebih murah dari pada gugatan yang diajukan oleh masing-masing individu, yang kadang-kadang tidak sesuai dengan ganti kerugian yang diterima (judicial economy);

Penutup : Kesimpulan

Adapun beberapa kesimpulan terhadap pembahasan permasalahan gugatan perwakilan kelompok dalam sengketa lingkungan hidup pada penelitian ini, yaitu:

1) Class Action atau gugatan perwakilan kelompok diajukan masyarakat melalui prosedur perdata yang diwakilkan oleh satu atau sejumlah orang yang bertindak sebagai pihak penggugat. Kedudukan hukum gugatan perwakilan kelompok terdiri dari Wakil Kelompok (Class Representatif) dan Anggota Kelompok (Class Members). Class Representatif diartikan sebagai satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang mengajukan

(15)

gugatan dan sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya (Pasal 1 huruf B Perma Nomor 1 Tahun 2002 tentang Gugatan Perwakilan Kelompok ). Untuk menjadi wakil kelompok tidak disyaratkan adanya suatu surat kuasa khusus dari anggota kelompok (pasal 4 Perma Nomor 1 Tahun 2002 tentang Gugatan Perwakilan Kelompok). Saat gugatan perwakilan kelompok diajukan ke pengadilan, maka kedudukan hukum dari wakil kelompok sebagai penggugat aktif. Class Members diartikan sebagai sekelompok orang dalam jumlah yang banyak yang menderita kerugian yang kepentingannya diwakili oleh wakil kelompok di pengadilan (Pasal 1 huruf C Perma Nomor 1 Tahun 2002 tentang Gugatan Perwakilan Kelompok) Apabila gugatan perwakilan kelompok diajukan ke pengadilan maka kedudukan hukum dari anggota kelompok adalah penggugat pasif.

2) Adapun kendala yang ditemukan dalam pelaksanaan gugatan perwakilan kelompok, terutama dalam hal penyelesaian sengketa lingkungan hidup, yaitu: [a] Kurangnya Sosialisasi tentang Perma Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok; [b] Kurangnya Kesadaran Masyarakat Menggunakan Gugatan Perwakilan Kelompok dalam Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup; [c] Ketidak cermatan Penggugat dalam Menyusun Gugatan Tanpa Melakukan Pendefenisian Kelompok Secara Rinci dan Spesifik; [d] Dalam masyarakat terjadi kerancuan antara gugatan perwakilan kelompok dan legal standing. Masyarakat pada umumnya masih menyamakan antara dua lembaga itu,

(16)

padahal masing-masing lembaga itu memiliki tujuan yang bisa sangat berbeda.

Saran

Dalam rangka perlindungan dan pengolahan lingkungan hidup diharapkan kepedulian dari masyarakat baik secara individu dan kelompok serta bentuk-bentuk organisasi lingkungan hidup untuk dapat terus perduli dan berperan aktif guna menjaga dan memelihara kelestarian Lingkungan Hidup dari segala kegiatan dan usaha yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan hidup tersebut.

Daftar Pustaka : A. Buku:

Gamal Pasya.,dkk., Sistem Pendukung Negosiasi Multi Tataran Dalam Pengelolaan SDA Secara Terpadu: Dari Konsep Hingga Praktek., World Agroforestry Centre - ICRAF SE Asia, PO Box 161, Bogor 16001 Iwan J. Aziz, dkk (Edt).,Pembangunan Berkelanjutan, Peran dan Kontribusi Emil

Salim., PT.Gramedia., Jakarta: 2010

Koesnadi Hardjasoemantri., Hukum Tata Lingkungan., Edisi VIII.,Cetakan ke-19., Gadjah Mada University Press.,Yogyakarata: Juni 2005

N.H.T.Siahaan.,Hukum Lingkungan Dan Ekologi Pembangunan.,Edisi Kedua., Jakarta; Erlangga.,2004

Rachmad K. Dwi Susilo., Sosiologi Lingkungan., Cetakan ke-3., PT. Rajagrafindo Persada., Jakarta: Rajawali Press, 2012

Takdir Rahmadi., Hukum Lingkungan di Indonesia., PT. Rajagrafindo Persada., Jakarta: Rajawali Pres, 2013

TM. Lutfi Yazid., Penyelesaian Sengketa Lingkungan (environmental Dispute Resolution), Surabaya: Airlangga University Press-Yayasan Adikarya IKAPI-Ford Foundation., 1999

(17)

B. Peraturan Perundang-undangan:

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Ganti Kerugian Akibat Pencemaran Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup

Republik Indonesia, Perma Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.

C. Dokumen Hukum, Hasil Penelitian, Thesis, Disertasi:

Aldian Harikhman., Gugatan Perwakilan Kelompok Dalam Penyelesaian Sengketa Perdata Di Pengadilan Negeri Padang., Artikel Penelitian., Program Pascasarjana Universitas Andalas Padang., 2012., Dibawah Bimbingan: Kurnia Warman dan Bachtiar Abna.

Lampiran Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Ganti Kerugian Akibat Pencemaran Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup

Laporan Akhir: Kajian Kearifan Lokal Masyarakat Di Desa Sabang Mawang, Sededap dan Pulau Tiga Kecamatan Bunguran Barat Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau., BPP-PSPL UNRI., Pekanbaru.,November 2005.,Tim Penyusun.

Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Jakarta, 2009

So Woong Kim., Kebijakan Hukum Pidana Dalam Upaya Penegakan Hukum Lingkungan Hidup., Tesis (Disusun Dalam Rangka Memenuhi Persyaratan Program Magister Ilmu Hukum)., Pembimbing: Nyoman Serikat Putra Jaya,Program Magister Ilmu Hukum Program Pasca sarjana Universitas Diponegoro Semarang: 2009 D. Artikel, Jurnal, Koran, Internet:

Efektivitas Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Indonesia., Rekomendasi Kebijakan., Kerjasama antara: Van Vollenhoven Institute, Universitas Leiden dan BAPPENAS.,Jakarta, Februari 2011

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM., Kursus HAM untuk Pengacara X., Bahan Bacaan Materi: mekanisme Class Action., 2005

Sutrisno., Politik Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup., Jurnal Hukum Nomor 3 Vol. 18 Juli 2011

Sudharto Hadi P., Pengertian dan Prinsip-Prinsip Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup., Seminar

Sosialisasi PP Nomor 54 Tahun 2000, Kerjasama antara PSLH-Lemlit UNS dengan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan UNU Surakarta., 25 September 2000

Referensi

Dokumen terkait

Mengelola Transaksi Sistem Informasi Posyandu + POSYAND U POSYAND U POSYAND U POSYAND U POSYAND U 3 Merekapitulasi Laporan dan Monitoring 1 PASIEN 2 POSYANDU 3 PUSKESMAS 4

Jika demikian, ternyata ayunan dari sistem presidensial dengan kombinasi dari multipartai yang terjadi di era kepemimpinan pemerintahan Presiden SBY --- untuk menghinda-

Tog du själv eller en anhörig pengar som inte tillhörde dig eller gjorde du något annat olagligt för ditt penningspelande under år 2017. Finns det i ditt liv en person som skulle

KESAN PEMBERIAN DIET BUAH PITAYA MERAH DAN LOVASTATIN TERHADAP PROFIL LIPID, JUMLAH ANTIOKSIDAN KESELURUHAN DAN MALONDIALDEHID PADA TIKUS YANG DIARUH HIPERKOLESTEROLEMIK Pengenalan

Hal ini serupa dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Inne Pratiwi (2012) yang menyebutkan bahwa usia rerata perempuan (63 tahun) yang mengalami STEMI

Selain mempersiapkan siswa dengan melaksanakan membuka pelajaran dan membimbing siswa selama proses belajar mengajar guru juga perlu untuk mengetahui capaian siswa dan

Pembentukan Komite Pengembangan Masyarakat pada pertengahan tahun 2011 di lima desa ring satu oleh JOB PPEJ dianggap lebih transparan dalam penentuan pagu anggaran

BRI tidak mengklasifikasikan efek-efek dan Obligasi Rekapitalisasi Pemerintah sebagai aset keuangan dimiliki hingga jatuh tempo, jika dalam tahun berjalan atau dalam kurun