• Tidak ada hasil yang ditemukan

EKSISTENSI WAKIL KELOMPOK DALAM GUGATAN CLASS ACTION DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EKSISTENSI WAKIL KELOMPOK DALAM GUGATAN CLASS ACTION DI INDONESIA"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

EKSISTENSI WAKIL KELOMPOK DALAM

GUGATAN CLASS ACTION DI INDONESIA

Jamin Ginting* Abstract

Supreme Court Regulation (Penna) No. 1 Year 2002 about class action procedure had settled the mean of representative of class as a legal standing in class action procedure. Definition of representative of class is one person or more that has or have the same fact, law problem and the same sue with all member of the group. The definition above means that ORNOP/LSM (independent organization non government) can not be a representative of class in the class action sue but have right to sue only by the law. The government as a representative of class action sue just for the public interest, even though the governemt is not a member or part of the group.

Keynotes : Class Action, Gugatan Perwakilan, Wakil Kelompok, ORNOP/LSM, Perma

No. 1 Tahun 2002, UU No. 23 Tahun 1997, UU No. 8 Tahun 1999, UU No. 18 Tahun 1999, UUNo. 41 Tahun 1999.

Pendahuluan

Gugatan Class action/ Perwakilan Kelompok telah diakui keberadaannya dalam acara peradilan di Indonesia dengan dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1 Tahun 2002 (Perma No. 1/2002) tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok, pada tanggal 26 April 2002. Langkah yang diambil oleh

Mahkamah Agung Republik Indonesia ini adalah sebagai wujud dari peran Mahkamah Agung untuk mengatur acara peradilan yang belum cukup diatur oleh peraturan perundang-undangan yang ada.

Sebelum diberlakukannya Perma No. 1/2002 tersebut, ada beberapa peraturan perundang-undangan yang memberikan kesempatan kepada masyarakat

(2)

untuk mengajukan permohonan gugatan perwakilan antara lain UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No.

18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, namun demikian dari beberapa kasus yang diajukan berdasarkan perundang-undangan tersebut di atas lebih banyak gugatan yang tidak diterima oleh hakim dengan alasan gugatan class action belum ada dasar hukumnya di Indonesia dan dalam sistem hukum Indonesia yang menganut sistem hukum kontinental tidak mengenal gugatan class action sehingga walaupun perundang-undangan materiil tersebut di atas memberikan legal standing untuk kelompok masyarkat menggugat secara gugatan kelompok tetapi tidak ada hukum acaranya/hukum formal, hal ini menurut Luhut M.Pangaribuan1 menjadikan

hukum ibarat burung tanpa sayap.

Permasalahan yang mendasar adalah siapa yang dapat menjadi wakil kelompok untuk mengajukan gugatan class action di Pengadilan ?

Ada beberapa perbedaan pengertian terhadap pihak yang berwenang menjadi wakil kelompok (Legitima Persona

Standi in Judicio) untuk

mengajukan gugatan class action dalam Perma No. 1/2002 dengan beberapa perundangan-undangan yang memberikan kepada masyarakat kesempatan untuk mengajukan permohonan gugatan perwakilan sebagaimana disebutkan di atas. Istilah yang digunakan untuk gugatan class

action diantara

perundang-undangan tersebut juga berbeda-beda, misalnya dalam UU Pengelolaan Lingkungan Hidup menggunakan istilah gugatan perwakilan sedangkan UU Perlindungan Konsumen menggunakan istilah gugatan kelompok.

1 Luhut M. Pangaribuan, Eksistentsi

Gugatan Class Action dalam Sistem Hukum Indonesia, makalah disajikan dalam

Seminar "Kita Gugat Menggugat Dalam Class Action", Jakarta 2002, him. 6

Berikut adalah analisis beberapa perundang-undangan yang memuat hukum materiil tentang gugatan class action sebelum diberlakukannya Perma No. 1 Tahun 2002 tentang Acara

(3)

Gugatan Perwakilan Kelompok/

Class Action :

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH)

Dalam Pasal 37 UUPLH dan penjelasannya menyebutkan ada 2 pihak yang mempunyai kewenangan sebagai wakil masyarakat yang dirugikan untuk mengajukan guguatan class action yaitu masyarakat yang dirugikan dan instansi pemerintah yang bertanggung jawab dibidang lingkungan hidup. Masyarakat yang menjadi perwakilan kelompok dalam penjelasan Pasal 37 ayat (1) UUPLH harus memiliki 3 hal dalam permohonan gugatannya ke Pengadilan yaitu : a. Hak kelompok kecil

masyarakat untuk bertindak mewakili mereka sendiri dan sekelompok masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan;

b. pihak yang diwakili dalam jumlah besar; dan

c. atas dasar adanya kesamaan permasalahan, fakta hukum dan tuntutan yang ditimbulkan karena pencemaran dan/atau

penge-rusakan lingkungan hidup.

Kelompok kecil masyarakat yang bertindak sebagai wakil kelompok harus juga merupakan orang atau masyarakat yang memiliki kesamaan permasalahan, fakta hukum dengan masyarakat yang diwakilinya sehubungan dengan tuntutan yang ditimbulkan karena pencemaran dan/atau pengerusakan lingkungan hidup. Ketentuan Pasal 37 ayat (2) mengenai kewenangan instansi pemerintah sebagai wakil kelompok dalam gugatan perkara lingkungan hidup, akan diatur selanjutnya dengan Peraturan Pemerintah yang sampai saat ini belum ada.

Pasal 38 UUPLH juga memberikan hak gugat kepada organisasi lingkungan yang memenuhi syarat2 untuk maju

ke Pengadilan mewakili perlindungan dan pelestarian terhadap lingkungan hidup, tetapi hak gugat tersebut terbatas pada

2 Adapun syarat dimaksud adalah Pasal 38 ayat 3 yaitu : a) berbentuk badan hukum atau yayasan; b) dalam anggaran dasar organisasi lingkungan hidup yang bersangkutan menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup; dan c) telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.

(4)

tuntutan untuk hak melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaraan nil.

Dengan demikian dalam UUPLH terdapat 3 pihak yang memiliki legitima standi injudicio dalam mengajukan gugatan ke pengadilan sehubungan dengan permasalahan Hngkungan hidup yaitu a) masyarakat dengan mengajukan gugatan perwakilan

{Private Class Action)*; b)instansi

permerintah yang bertanggung jawab di bidang Hngkungan hidup

mewakili masyarakat yang menderita karena akibat pencemaran dan/atau perusakan Hngkungan hidup {Public Class

Action)4 dan c) organisasi Hngkungan hidup untuk

3 Private class action adalah class action yang diajukan terhadap pelanggaran hak-hak perorangan yang dialami oleh sejumlah besar orang. Class action ini diajukan oleh perorangan, yaitu oleh seseorang atau beberapa orang yang menjadi bagian dari suatu kelompok atas dasar kesamaan permasalahan, hukum dan tuntutan. (E. Sundari, Pengajuan

Gugatan secara Class Action,

Yogyakarta, Univ. Atmajaya Yogyakarta, 2001, hal. 23).

4 Public class action adalah class action yang diajukan terhadap pelanggaran kepentingan publik. Class action ini

kepentingan pelestarian fungsi Hngkungan hidup.

Dengan demikian wakil kelompok dalam gugatan class

action dibidang Hngkungan hidup

hanya diberikan kepada masyarakat dan istansi pemerintah terkait, sedangkan organisasi Hngkungan hidup bukan merupakan perwakilan masyarakat yang dirugikan sebagaimana yang disyaratkan dalam Perma No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok, yang mempunyai kewenangan mewakili kelompok masyarakat, tetapi memiliki hak gugat untuk kepentingan dan pelestarian Hngkungan hidup secara umum, karena Hngkungan hidup tidak dapat membela dirinya sendiri untuk perlindungan pelestariannya sehingga diperlukan oranganisasi yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ay at (3) untuk membela kepentingan dan pelestarian Hngkungan hidup itu sendiri.

diajukan oleh instansi pemerintah yang mempunyai kepasitas (biasanya oleh Jaksa Penuntut Umum sebagai wakil negara ), di mana instansi pemerintah tersebut bukan anggota atau bagian dari suatu kelompok yang diwakilinya yang secara langsung dirugikan. (Ibid)

(5)

Undang-Undang Notnor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK)

Pasal 46 ayat (1) huruf b UUPK

beserta penjelasannya menyebutkan bahwa sekelompok

konsumen yang mempunyai kepentingan serta fakta yang sama dapat mengajukan gugatan terhadap pelaku usaha secara class

action, kesamaan fakta tersebut

dapat dilihat dari adanya perjanjian-perjanjian atau bukti-bukti yang sama. Selain sekelompok konsumen tersebut, berdasarkan Pasal 46 ayat (1) huruf c dan d, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LSM) yang memenuhi syarat untuk mengajukan gugatan serta permerintah dan atau instansi terkait untuk mengajukan gugatan terhadap pelaku usaha yang melakukan pelanggaran sehingga menyebabkan kerugian pada para konsumen dapat mengajukan gugatannya sehubungan dengan permasalahan perlindungan konsumen.

konsumen yang dirugikan atau hali warisnya; b) sekelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama (private

class action); c) lembaga

perlindungan konsumen swadaya masyarakat; dan d) pemerintah dan atau instansi terkait (public

class action). Menurut E.

Sundari5, yang dapat mengajukan

gugatan perwakilan (class action) hanyalah sekelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama, sebagaimana penjelasan Pasal 46 ayat (1) bahwa gugatan kelompok atau class action harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum, salah satu diantaranya adalah adanya bukti transaksi. Pemerintah ataupun LSM dapat menggugat tetapi bukan melalui prosedur

class action tetapi mendapat hak

gugat untuk kepentingan umum. Undang-Undang Notnor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (UUJK)

Pasal 38 ayat 1 UUJK disebutkan bahwa masyarakat Dengan demikian UUPK juga

memiliki 4 pihak yang berhak menggugat, yaitu a) seorang

5 E. Sundari, Pengajuan Gugatan secara

Class Action, Univ. Atmajaya

(6)

yang dirugikan akibat penyelenggaraaan pekerjaan konsktruksi berhak mengajukan gugatan ke pengadilan secara a) orang perseorangan; b) kelompok orang dengan pemberian kuasa; dan c) kelompok orang tidak dengan kuasa melalui gugatan perwakilan. Penjelasan Pasal 38 ayat (1) UUJK disebutkan, bahwa yang dimaksud dengan "hak mengajukan gugatan perwakilan" dalam UUJK ini adalah hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, faktor hukum dan ketentuan yang ditimbulkan karena kerugian atau gangguan sebagai akibat kegiatan penyelenggaraan konstruksi.

Dengan demikian setiap tindakan pemberi jasa konstruksi yang mengakibatkan kerugian bagi masyarakat dapat diajukan gugatan melalui gugatan perwakilan. Permasalahan dalam UUJK adalah khusus untuk gugatan perwakilan tidak dapat menuntut pembayaran ganti rugi. Pasal 39 UUJK menyebutkan bahwa gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) adalah tuntutan untuk melakukan

tindakan tertentu dan atau berupa biaya atau pengeluaran nyata, dengan tidak menutup kemungkinan tuntutan lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Penjelasan Pasal 39 UUJK disebutkan khusus untuk gugatan perwakilan yang diajukan oleh masyarakat tidak dapat berupa tuntutan membayar ganti rugi, melainkan hanya terbatas gugatan lain, yaitu :

a. memohon kepada pengadilan agar salah satu pihak dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi untuk melakukan tindakan hukum tertentu yang

berkaitan dengan kewajibannya atau tujuan dari

kontrak kerja konstruksi; b. menyatakan seseorang (salah

satu pihak) telah melakukan perbuatan melanggar hukum

karena melanggar kesepakatan yang telah

ditetapkan bersama dalam kontrak kerja konstruksi; dan c. memerintahkan seseorang

(salah satu pihak) yang melakukan usaha/kegiatan jasa konstruksi untuk

membuat atau memperbaiki

atau mengadakan penyelamatan bagi para

pekerja jasa konsruksi.

(7)

Yang dimaksud dengan "biaya atau pengeluaraan nyata/riil" adalah biaya yang nyata-nyata dapat dibuktikan sudah dikeluarkan oleh masyarakat dalam kaitan dengan akibat kegiatan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Dengan demikian kerugian lain yang belum secara nyata dikeluarkan oleh masyarkat seperti kerugian yang akan timbul kemudian ataupun keuntungan yang semestinya akan didapatkan tetapi tidak sebagai akibat kegiatan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi tidak dapat dimohonkan dalam gugatan khusus untuk gugatan perwakilan.6 Padalah tujuan utama

yang paling esensi dalam gugatan perwakilan kelompok oleh masyarakat yang dirugikan adalah persoalan gati rugi.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUK)

Bab XI Pasal 71 sampai Pasal 73 UUK ini diberi judul gugatan perwakilan, legitima standi in

6 Menurut Sudaryono, hal ini sangat bertentangan dengan tujuan diadakannya gugatan secara class action, tujuan utama

judicio sebagai wakil kelompok

diberikan kepada masyarakat dan organisasi bidang kehutanan. Pasal 71 menyebutkan bahwa 1) masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke Pengadilan dan atau melaporkan ke penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan kehidupan masyarakat; 2) hak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 terbatas pada tuntutan terhadap kerusakan hutan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 73 UUK memberikan hak kepada organisasi bidang kehutanan untuk mengajukan gugatan perwakilan untuk kepentingan pelestarian fungsi hutan, esensi dari gugatan perwakilan dari organisasi bidang kehutanan ini adalah dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan hutan. Organisasi bidang kehutanan yang dapat

yang paling esensi dalam gugatan class

action oleh masyarakat yang dirugikan

adalah persoalan ganti rugi (Sudaryatmo,

Gugatan Class Action dalam Praktek Peradilan di Indonesia, makalah

disampaikan pada seminar "Kiat gugat menggugat dalam class action, Jakarta 2002, him. 17)

(8)

mengajukan gugatan perwakilan tersebut harus berbentuk badan hukum, dalam anggaran dasar organisasi tersebut dengan tegas menyebutkan tujuan didirikannya organisasi untuk kepentingan pelestarian fungsi hutan dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya. Wakil kelompok dalam Perma Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok (Perma No. 1/2002)

Pasal 1 huruf b Perma No. 1/ 2002, menyebutkan bahwa wakil kelompok adalah satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang mengajukan gugatan dan sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya. Selain dirinya sendiri,

wakil kelompok juga mewakili kepentingan pihak lainnya yang lebih banyak jumlahnya, yang juga turut dirugikan. "Gugatan perwakilan kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili kelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta

atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud" (Pasal 1 huruf a Perma No. 1/2002).

Dengan demikian pihak yang tidak menderita kerugian tidak dapat mewakili kelompok yang dirugikan untuk mengajukan gugatan mewakili kelompok masyarakat yang dirugikan karena tidak mempunyai kekuatan hukum sebagai orang yang mempunyai hak mewakili kelompok tersebut berdasarkan Pasal 1 huruf b Perma No. 1/2002. Pihak yang mewakili kelompok masyarakat yang dirugikan tersebut juga harus memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakilinya, memiliki kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar hukum yang digunakan yang bersifat substansial, serta kesamaan jenis tuntutan dengan para anggota kelompok yang diwakilinya, dengan demikian akan tercipta efisiensi waktu dan biaya dalam memeriksa gugatan tersebut, hal inilah merupakan salah satu implementasi dari Pasal 4 ay at 2 UU No. 14 Tahun 1970 tentang pokok kehakiman bahwa 72 Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. II, NoJ, Maret 2003

(9)

peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.

Wakil kelompok harus jujur dan sungguh-sungguh untuk melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakilinya, dengan demikian apa yang dituntut oleh wakil kelompok benar-benar merupakan kepentingan kelompok, bukan kepentingan wakil kelompok secara pribadi saja.

Kriteria kejujuran dan kesungguhan ini dalam Perma No.

1/2002 tidak ada, hakim hanya bisa menolak permohonan class

action dari wakil kelompok karena

mempertimbangakan kejujuran dan kesungguhan wakil kelompok pada pemeriksaan awal untuk menetapkan sah tidaknya gugatan perwakilan kelompok. Negara yang menganut anglo saxon seperti Amerika juga tidak memberikan rincian mengenai kriteria kejujuran dan kesungguh-an dari wakil kelompok. Kriteria untuk wakil yang dianggap jujur dan benar-benar mewakili kepentingan kelompoknya sepenuhnya menjadi wewenang

hakim/judge made law7, misalnya

7 Michael Dore, Law of Toxic Torts,

meliputi 3 hal, a) ada kewenangan dari wakil tersebut untuk mewakili kelompoknya, b) kemampuan keuangan dan intelektual dari wakil untuk mewakili kelompoknya dan c) ada konsistensi antara tuntutan wakil dengan kelompok yang diwakilinya. Inggris dan Australia tidak mensyaratkan bahwa wakil yang maju haruslah jujur dan

benar-benar mewakili kepentingan kelompoknya, hanya

saja antara wakil dan anggota kelompok yang diwakilinya harus mempunyai permasalahan, fakta hukum dan tuntutan yang sama.

Beberapa kasus sehubu-ngan desehubu-ngan kewenasehubu-ngan wakil kelompok dalam gugatan class

action:

1) Pemadaman listrik se Jawa Bali oleh PLN (Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 134/Pdt.G/

1997/PN.Jkt.Sel)

YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) sebagai penggugat selain bertindak untuk dirinya sendiri, juga sekaligus

dalam E. Sundari, Pengajuan Gugatan

cecara Class Action, Univ. Atmajaya

(10)

mewakili masyarakat konsumen listrik lainnya, yang menjadi korban dan mengalami kerugian karena pemadaman listrik di sebagian wilayah Jawa Bali pada tanggal 13 April 1999, tanpa pemberitahuan dari Pihak PLN sebelumnya. Adapun anggota kelompok yang diwakili oleh YLKI adalah seluruh warga masyarakat yang terkena pemadaman listrik se Jawa Bali dengan tuntutan ganti kerugian yang diakibatkan oleh pemadaman listrik tersebut:

a) Dasar hukum gugatan Dasar hukum tuntutan dari YLKI adalah a) Pasal 15 ay at (1) huruf n UU No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan, yang menyebutkan bahwa pemegang kuasa usaha ketenagalistrikan dan memegang ijin usaha ketenagakerjaan untuk kepentingan umum, wajib memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat; b) Pasal 26 ayat (2)

huruf b PP No. 10 Tahun 1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Listrik, ditentukan bahwa masyarakat yang telah mendapat tenaga listrik memunyai hak untuk mendapat tenaga listrik

secara terus menerus dengan mutu dan keadaan yang baik;

Dalam eksepsi YLKI mendasarkan pada UU Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun 1970, antara lain a) Pasal 4 ayat 2, bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan; b) Pasal 5 ayat 2, bahwa dalam perkara perdata, pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederahana, cepat dan biaya ringan. Maka YLKI berpendapat bahwa gugatan dengan mekanisme perwakilan kelompok (class action) adalah langkah yang tepat untuk memenuhi ketentuan hukum di atas.

b) Putusan pengadilan dan pertimbangan hukum

Pengadilan menyatakan gugatan tidak dapat diterima dengan alasan yang pada intinya mengatakan bahwa gugatan class

action tidak dikenal dalam sistem

hukum di Indonesia dan UU No. 15 Tahun 1985 sebagai dasar gugatan dan peraturan lainnya tentang ketenaga listrikan, tidak ada pasal yang mengatur hak

(11)

masyarakat/konsumen listrik mengajukan gugatan perwakilan/

class action. Pada saat perkara ini

diperiksa, peraturan materiil mengenai gugatan perwakilan hanya terdapat dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan hukum acara yang mengatur tentang gugatan class action belum ada, tetapi setidaknya hakim harus menggali hukum dari doktrin-doktrin tentang gugatan perwakilan.

Hal lain yang.cukup menarik dalam kasus ini adalah badan hukum YLKI menjadi wakil kelompok dalam mengajukan gugatan di Pengadilan karena kedudukannya sebagai pihak yang juga menderita dan memiliki fakta hukum yang sama dengan pihak yang diwakilinya dan hal ini diterima oleh Pengadilan dengan menolak eksepsi dari PT. PLN tentang kedudukan YLKI sebagai wakil dari kelompok tersebut, walaupun perihal kriteria wakil kelompok belum ada ketentuan hukumnya pada saat itu.

2) PT. Bentoel vs R.O. Tambunan, SH (Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 533/Pdt.G/1987/

PN.Jkt.Pst., serta Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No. 158/Pdt/1989/ PT.DKI Jakarta)

Kasus ini diajukan oleh R.O. Tambunan atas nama pribadi dan sekaligus untuk kepentingan orang Iain, yakni para orang tua, remaja dan generasi muda di seluruh Indonesia yang sama-sama dirugikan akibat mengkonsumsi rokok Bentoel yang mengandung nikotin yang menyebabkan gangguan kesehatan penggugat pribadi serta para orang tua, remaja dan generasi muda diseluruh Indonesia terhadap PT. Bentoel, Pemda DKI, Pemerintah cq. Dirjen Hak Cipta dan Radio Prambros (tergugat I, II, III dan IV), dalam gugatan ini penggugat tidak menyebutkan secara tegas gugatannya adalah class action dan identitas dari kelompok yang diwakilinya juga tidak disebutkan secara satu persatu.

a. Dasar hukum gugatan R.O tambunan mengatakan bahwa Pihak PT. Bentoel telah melakukan perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata), hingga menyebabkan kerugian pada penggugat pribadi serta para orang tua serta remaja dan

(12)

generasi muda di seluruh Indonesia yang diwakilinya akibat tidak adanya pengawasan oleh instansi pemerintah yang terkait terhadap kandungan nikotin dalam produksi rokok Bentoel, akibat iklan rokok Bentoel dari Radio Prambos serta akibat menghisap kandungan nikotin dari rokok tersebut.

b. Putusan pengadilan dan pertimbangan hukum Hakim tidak terlebih dahulu memutuskan kewenangan dari penggugat untuk bertindak (dalam eksepsi tergugat) mewakili kelompok secara class action tetapi langsung memeriksanya bersamaan dengan pokok perkara dan memutuskannya secara bersama dengan eksepsi tergugat, yaitu bahwa pengadilan menolak eksepsi dari para tergugat dan dalam pokok perkara, menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya.

Pertimbangan hakim bahwa hubungan hukum antara wakil kelompok dengan masyarakat yang diwakilinya tidak jelas, karena tidak didasari dengan adanya surat kuasa sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 123 HIR. Suatu gugatan yang diajukan demi

kepentingan umum atau demi kepentingan masyarakat atau demi kepentingan sekelompok masyarakat, yang tidak memerlukan surat kuasa, yaitu yang disebut actio popularis, memang ada pada umumnya dikenal dalam lapangan hukum publik tetapi tidak dapat diterapkan dalam kasus ini yang tujuannya memperoleh ganti rugi atas dasar hak keperdataan.

Penggugat memohonkan banding terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tetapi putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut. Dalam kasus ini terlihat bahwa hakim mengakui adanya gugatan secara perwakilan kelompok yang disebut dengan

actio popularis, tetapi hanya pada

lingkup hukum publik bukan perdata. Memang harus diakui bahwa lingkup kelompok yang diwakili terlalu luas yaitu seluruh remaja, orang tua dan generasi muda di Indonesia, serta tidaknya adanya prosedur ikut serta dalam gugatan (opt' in) maupun menolak

(opt'out) dan belum adanya aturan

hukum acara untuk gugatan secara wakil kelompok tersebut menjadi

(13)

kendala bagi hakim untuk mengabulkan gugatan tersebut. 3) Perkara "12-15 Mei

Berdarah", dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 323/Pdt.G/1998/

PN.Jkt.Pst.

Penggugat adalah 5 buah ORNOP seperti SNB, PBHI, ELSAM, SPI menggugat Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah sampai dengan Negara RI (Pemerintah RI) atas terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masyarakat Solo pada peristiwa tanggal 12-15 Mei 1998 di Jakarta dan Solo, dengan tanpa memperoleh kuasa terlebih dahulu dari kelompok yang diwakilinya yaitu pihak yang dirugikan kepentingannya adalah masyarakat Jakarta dan Solo yang

mengalami kerugian nyawa dan benda serta ketakutan akibat peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang menimpa mereka pada tanggal 12-15 Mei 1998. a. Dasar hukum gugatan

Penggugat mendalilkan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh para tergugat pada tanggal

12-15 Mei 1998 tersebut merupakan perbuatan melawan

hukum hingga menyebabkan hilangnya ribuan nyawa dan kerugian harta benda milik masyarakat dan menutut ganti kepada tergugat secara tanggung renteng, yaitu kerugian materiil sebesar 2 (dua) trilyun rupiah dan immaterial 50 (lima puluh) trilyun rupiah serta meminta pemerintah memohon maaf dan memulihkan keamanan dan ketertiban.

b. Putusan hakim dan pertimbangan hukum

Hakim menilai bahwa karena yang melakukan tindakan sebagai wakil kelompok adalah 5 ORNOP yang tidak mengalami sendiri secara langsung peristiwa yang dijadikan dasar hukum dan tidak mendapat surat kuasa dari mereka yang mewakilinya sehingga hal ini bukan merupakan gugatan class

action sebagaimana yang

didalilkan oleh para penggugat tetapi merupakan hak gugat dari ORNOP Atas dasar pertimbahan hukum tersebut hakim dalam amar putusannya menyatakan bahwa gugatan para penggugat tidak dapat diterima. Putusan hakim ini sudah merupakan putusan yang sesuai dengan ketentauan gugatan

class action karena syarat sebagai

wakil kelompok adalah seseorang atau lebih yang juga turut

(14)

menderita kerugian dan mempunyai kesamaan fakta hukum dan tuntutan dengan pihak yang diwakilinya.

4) Perkara "Jamsostek", Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara No. 149/ G.TUN/1997/ PTUN-Jakarta

Penggugat adalah 104 orang peserta Jamsostek sebagai manusia pribadi peserta Jamsostek dan mewakili kepentingan seluruh peserta Jamsostek di Indonesia dalam gugatannya menyebutkan melakukan gugatan class action terhadap Direktur Utama, Direktur Keuangan dan Investasi dan Kepala Divisi Investasi PT. Jamsostek, atas penggunaan dana milik peserta Jamsostek dipergunakan oleh para tergugat untuk kepentingan lain diluar kepentingan program Jamsostek atau investasi yang mendukung program Jamsostek.

a. Dasar hukum gugatan

Penggugat menyatakan bahwa karena tindakan penggunaan dana peserta Jamsostek tersebut tidak tepat maka penggugat memohon agar surat keputusan perintah

membayar dari para tergugat yang merugikan para penggugat dan peserta Jamsostek lainnya dinyatakan batal demi hukum, serta tuntutan agar para tergugat mencabut surat-surat keputusan yang tidak sah dan merugikan para penggugat dan para peserta Jamsostek lainnya sehubungan dengan dana peserta Jamsostek tersebut.

b. Putusan pengadilan dan pertimbangan hukum Hakim tidak terlebih dahulu memberikan penetapan terhadap dikabulkannya perkara tersebut secara class action, melainkan memeriksa dan memutus bersama-sama dengan pokok perkaranya. Hakim menyatakan bahwa gugatan para penggugat tidak dapat diterima adapun pertimbangan hakim adalah bahwa gugatan dengan prosedur

class action sebagaimana

didalilkan oleh penggugat tidak dikenal dalam sistem hukum Eropa Kontinental dimana Indonesia adalah salah satu penganut sistem hukum tersebut. Meskipun dalam UU Pengelolaan Lingkungan Hidup No 23 Tahun 1997 telah diatur prosedur class

action untuk menyelesaikan

sengketa lingkungan, akan tetapi

(15)

ketentuan tersebut tidak dapat diberlakukan pada penyelesaian sengketa lainnya. Sayangnya terhadap gugatan ini pemohon tidak melakukan gugatan baru di pengadilan yang berkompetensi untuk mengadili perkara tersebut yaitu pada peradilan umum. 5) Perkara "Kenaikan harga

LPG", Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 550/Pdt.G/ 2000/PNJkt.PSt. Gugatan diajukan setelah diberlakukannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK No. 8/1999). Perwakilan Konsumen LPG melalui kuasa hukumnya Komite Advokasi Pemakai Anti Kenaikan LPG (Kapak LPG) secara resmi melakukan gugat perdata secara

class action melawan Pertamina

(tergugat I) dan DKPP (tergugat II) terhadap kenaikan LPG sebesar 40 persen oleh Pertamina.

a. Dasar hukum gugatan 1) Dasar hukum bidang substansi berdasarkan UUPK No.8/1999 Pasal 2, bahwa perlindungan konsumen berdasarkan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen

serta kepastian hukum. Pasal 3 huruf a, b,c, d dan e; Pasal 4 huruf b, c, d,e ,g dan h; Pasal 7 huruf a, b dan c; dan

- Pasal 1365 KUHPerdata 2) Dasar hukum bidang hukum

acara

- Pasal 4 ayat 2 UU No. 14 Tahun 19780 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman, bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.

- Pasal 46 UUPK No. 8/ 1999, ayat (1) huruf b, bahwa gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama; ayat (2), bahwa gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) haruf b, c atau d diajukan ke pengadilan umum.

(16)

b. Putusan pengadilan dan pertimbangan hukum Pada sidang terbuka majelis hakim mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian dengan menerima gugatan masyarakat konsumen LPG di Jabotabek, menyatakan tergugat I (Pertamina) dan tergugat II (DKPP) melakukan perbuatan melawan hukum, menyatakan surat keputusan yang menaikkan harga LPG tersebut adalah tidak sah dan cacat hukum dan menghukum tergugat untuk membayar ganti rugi kepada para penggugat.

Dasar hukum bahwa pertamina telah melakukan perbuatan hukum in casu pasal -pasal UU Perlindungan Kosumen, antara lain Pasal 4 huruf b, c, dan d, Pasal 7 a, b, c, dan d, Pasal 12 dan juga Pasal 5 dan 13 UU No. 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara.

Badan hukum sebagai wakil kelompok dalam gugatan class

action

Pengertian wakil kelompok dalam Pasal 1 huruf b Perma No. 1/2002, jelas bahwa yang boleh

bertindak sebagai wakil kelompok adalah orang (manusia) sebagai subyek hukum, bukan badan hukum. Peraturan-peraturan tersebut di atas yang menggunakan upaya class action (UU Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Perlindungan Konsumen, UU Jasa Konstruksi, UU Kehutanan) juga hanya menyebutkan manusia atau kelompok manusia yang dapat menjadi wakil kelompok dalam pengajuan gugatan secara class

action, walaupun dalam hukum

perdata dikenal adanya subyek hukum yang terdiri dari manusia dan badan hukum.

Semestinya badan hukumpun dapat menjadi wakil kelompok dalam gugatan class action, asal memenuhi syarat adanya kesamaan kepentingan dengan kelompok yang diwakilinya. Artinya, badan hukum yang maju ke pengadilan harus mengalami kerugian yang langsung diderita, sebagaimana juga dialami oleh seluruh anggota kelompok yang diwakilinya, memiliki kesamaan fakta hukum, tuntutan dan badan hukum yang majuk ke Pengadilan tersebut harus merupakan bagian dari kelompok yang diwakilinya.

(17)

Misalnya gugatan yang dilakukan oleh YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) terhadap PLN (Perusahaan Listrik Negara) terhadap pemadaman aliran listrik se Jawa dan Bali pada tanggal 13 April 1997 selama kurang lebih delapan jam, secara tiba-tiba tanpa ada pemberitahuan. YLKI merupakan salah satu konsumen listrik PLN se Jawa dan Bali, maka berdasarkan fakta tersebut YLKI berhak menjadi wakil kelompok dalam mengajukan class action, karena YLKI merupakan bagian dari kelompok yang diwakilinya, hanya saja gugatan class action ini tidak diterima oleh hakim dengan alasan tidak ada hukum acara yang mengatur dan tidak sesuai dengan sistem hukum acara Indonesia yang menganut sistem hukum Eropah Kontinental yang tidak mengenal presedur berperkara secara class action. Dalam perkembangannya, pada beberapa kasus di Inggris serta dalam beberapa ketentuan hukum materiil di Kanada dan Amerika Serikat, membolehkan corporation menjadi wakil kelompok dalam

class action8. Praktek peradilan di

8 Ontario Law Reform Commission, dalam E. Sundari, Pengajuan Gugatan

Australia juga menunjukkan bahwa gugatan oleh atau terhadap asosiasi, perkumpulan dan badan hukum diperbolehkan. Dengan demikian prinsip yang menyatakan bahwa wakil kelompok dalam class action hanyalah manusia saja, dapat disimpangi.

Perbedaan Gugatan Perwakilan Kelompok dengan Hak Gugat Organisasi Non Pemerintah (ORNOP)/Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)

Wakil kelompok dalam class

action harus dibedakan dengan

ORNOP/LSM yang dalam beberapa undang-undang diberi hak gugat mewakili kepentingan orang banyak misalnya para konsumen di wakili oleh YLKI, bidang perlindungan lingkungan misalnya WALHI, dan beberapa

ORNOP/LSM lainnya. Sebagaimana disebutkan di atas

wakil kelompok dalam class

action haruslah dari kelompok

yang mempunyai kepentingan dan mengalami kerugian yang sama dengan kelompok yang diwakilinya, sedangkan cecara Class Action, Univ. Atmajaya

(18)

organisasi lingkungan, organisasi konsumen, organisasi jasa konstruksi, organisasi kehutanan dan lain sebagainya, bukan pihak yang mengalami kerugian atau permasalahan secara nyata. Hak untuk mengajukan gugatan yang diberikan undang-undang kepada ORNOP/LSM tersebut bertujuan agar ORNOP/LSM terkait bertanggung jawab secara genaral (umum) terhadap seluruh permasalahan dibidangnya masing-masing. Misalnya Organisasi Lingkungan adalah pihak yang mempunyai kepentingan untuk melestarikan dan melindungi lingkungan dari kerusakan dan pencemaran, organisasi konsumen merupakan pihak yang mempunyai kepentingan untuk melindungi konsumen secara keseluruhan dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha dan organisasi-organisasi lainnya. ORNOP/LSM memang memiliki hak gugat sehubungan dengan maksud dan tujuan ORNOP/LSM tersebut didirikan tetapi tidak dapat menjadi wakil kelompok untuk mengajukan gugatan Class action.

Berikut adalah beberapa perbedaan konsep dari gugatan perwakilan kelompok dalam class action dengan hak gugat oleh ORNOP/LSM (public

interest organization)9 yaitu :

No. 1.

Gugatan Class action

Gugatan Kelompok/c/ow action terdiri dari unsur wakil kelas (class representatives) yang berjumlah satu orang atau lebih dan anggota kelas (class member) yang pada umumnya berjumlah besar

Gugatan LSM

LSM yang mengajukan gugatan bukan mewakili kelompok masyarakat tertentu tetapi lebih pada untuk tujuan kepentingan umum (general), misalnya LSM yang mewakili gugatan demi kepentingan Lingkungan Hidup yang perlu diperjuangkan karena akan merusak ekosistem secara umum, karena lingkungan hidup itu sendiri tidak dapat memperjuangkan kepentingannya sendiri karena sifatnya in-animatif, maka diperlukan pihak yang memperjuangkannya yaitu LSM tersebut.

9 Susanti Adi Nugroho, Class Action, Latar Belakang dan Permasalahan dalam Praktek, makalah disajikan dalam seminar "Kiat Gugat Menggugat dalam Class Action", Jakarta 2002, him. 6

(19)

Wakil kelas dan Anggota kelas kedua-duanya merupakan pihak korban atau yang mengalami kerugian nyata

mengaiarru Kerugian nyata

Tuntutan yang dimintakan pada umunya berupa ganti kerugian

LSM sebagai penggugat bukan sebagai pihak yang mengalami kerugian nyata.

Perwakilan penggugat harus memenuhi syarat A dequacy of Representation (Kelayakan Wakil) yaitu Kualitas, Bonafiditas dan Integritas

Tuntutannya pada umumnya adalah rehabilitasi dan penolakan tindakan tertentu yang merugikan lingkungan hidup.

Esistentensi sebagai penggugat hams sesuai dengan maksud dan tujuan didirikannya LSM tersebut

Wakil kelompok tidak dipersyaratkan memperoleh surat kuasa dari anggota kelompok

Dalam Pasal 4 Perma No. 1 Tahun 2002, disebutkan "Untuk mewakili kepentingan hukum anggota kelompok, wakil kelompok tidak dipersyaratkan memperoleh kuasa khusus dari anggota kelompok". Dengan demikian wakil kelompok dapat bertindak dengan atau tanpa surat kuasa khusus dari kelompok yang diwakilinya, tetapi wakil kelompok tersebut berkewajiban untuk memberitahukan perihal adanya gugatan tersebut kepada seluruh anggota kelompok yang diwakilinya. Dengan demikian seluruh kelompok diharapkan mengetahui adanya gugatan yang diajukan oleh wakil kelompok tersebut sekaligus mengatasnamakan kepentingan

mereka. Pemberitahuan kepada para anggota kelompok tersebut sekaligus meminta persetujuan kepada anggota tersebut untuk membuat pernyataan ikut masuk dan setuju dengan gugatan tersebut {opt'in) atau tidak ikut serta dalam gugatan yang diwakili tersebut {opt'out), langkah ini akan sangat mendukung legitimasi

persona standi injudicio dari wakil

kelompok dalam gugatan class

action untuk mewakili pihak lain.

Tanpa adanya prosedur pemeritahuanpun sebenarnya wakil yang maju ke pengadilan sudah mempunyai kekuatan hukum untuk mewakili karena tidak dipersyaratkan untuk memperoleh surat kuasa khusus dari anggota kelompoknya, tetapi kekuatan hukum mewakili tersebut akan lebih kuat apabila ada dukungan secara langsung dari orang-orang yang kepentingannya ikut diwakili.

(20)

Dengan adanya pemberita-huan tersebut paling tidak orang-orang yang ikut diwakili kepentingannya tidak mengajukan keberatan terhadap keberadaan wakil kelompok yang maju ke pengadilan.

Kesimpulan

Kewenangan wakil kelompok dalam gugatan class action berbeda dengan hak gugat yang dimiliki oleh ORNOP ataupun LSM. Wakil kelompok dalam gugatan class action merupakan pihak yang memiliki legitima

persona standi in judicio karena

merupakan pihak yang dirugikan dan memiliki persamaan fakta atau peristiwa dan dasar hukum serta jenis tuntutan dengan anggota kelompoknya sedangkan ORNOP maupun LSM memiliki hak gugat berdasarkan undang-undang demi kepentingan masyarakat/ konsumen, perlindungan dan pelestarian terhadap lingkungan dan kepentingan lainnya yang bersifat umum {public).

Dengan adanya kesamaan kepentingan antara para wakil yang maju dengan seluruh warga yang diwakili sebenarnya sudah memberikan legitima persona

standi in judicio dari para walik

tersebut dalam mewakili kepentingan seluruh warga. Namun demikian, dengan dilakukannya pemberitahuan yang diikuti dengan pernyataan persetujuan dari para warga yang diwakilinya, maka akan lebih mendukung kewenangan daripada wakil kelompok.

Daftar Pustaka Buku dan Makalah

Sundari, Pengajuan Gugatan

secara Class Action, Univ.

Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta2001.

Dore, Michael, Law of Toxic

Torts, Clark Boardman

Company, Ltd., New York , 1987

Nugroho, Susanti Adi, Class

Action, Tatar Belakang dan Permasalahan dalam Praktek,

makalah disajikan pada seminar "Kiat Gugat Menggugat Dalam Class

Action, Jakarta, 2002.

Santosa, Mas Achmad, Manfaat,

Refleksi dan Komparasi Class Action, makalah disajikan

pada seminar "Kiat Gugat

(21)

Menggugat Dalam Class

Action, Jakarta, 2002.

Sudaryatmo, Gugatan Class

Action dalam Praktek Peradilan di Indonesia,

makalah disajikan pada seminar "Kiat Gugat Menggugat Dalam Class

Action, Jakarta, 2003.

Pengaribuan, Luhut M., Eksistensi

Gugatan Class Action dalam Sistem Hukum Indonesia,

makalah disajikan pada seminar "Kiat Gugat Menggugat Dalam Class

Action, Jakarta, 2003.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Undang-Undang No. 18 Tahun

1999 tentang Jasa Konstruksi Peraturan Mahkamah Agung RI

No. 1 Tahun 2002 tentang

Acara Gugatan Perwakilan Kelompok

Putusan-Putusan Pengadilan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta

Selatan No. 134/Pdt.G/1997/ PN.Jkt.Sel

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 533/Pdt.G/1987/ PN.Jkt.Pst., jo Putusan Pengadilan Tinggi DK1 Jakarta No. 158/Pdt/1989/ PT.DKI Jakarta

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 323/Pdt.G/1998/

PN.Jkt.Pst.

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 550/Pdt.G/ 2000/ PN.Jkt.PSt.

Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara No. 149/G.TUN/

Referensi

Dokumen terkait

Hak tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang yang memberikan kedudukan istimewa kepada seseorang kreditur terhadap kreditur-kreditur lain. Hak

BRI tidak mengklasifikasikan efek-efek dan Obligasi Rekapitalisasi Pemerintah sebagai aset keuangan dimiliki hingga jatuh tempo, jika dalam tahun berjalan atau dalam kurun

Pendidikan berdasarkan pendekatan ilmiah adalah pengertian pendidikan yang dipandang berdasarkan satu disiplin ilmu tertentu, misalnya menurut psikologi, sosiologi, politik,

KESAN PEMBERIAN DIET BUAH PITAYA MERAH DAN LOVASTATIN TERHADAP PROFIL LIPID, JUMLAH ANTIOKSIDAN KESELURUHAN DAN MALONDIALDEHID PADA TIKUS YANG DIARUH HIPERKOLESTEROLEMIK Pengenalan

Lalu, dengan adanya RPP KEK akan memberikan kemudahan dalam hal pelayanan perizinan dan non perizinan antara lain: Perizinan berusaha dan perizinan lainnya dilaksanakan

Mengelola Transaksi Sistem Informasi Posyandu + POSYAND U POSYAND U POSYAND U POSYAND U POSYAND U 3 Merekapitulasi Laporan dan Monitoring 1 PASIEN 2 POSYANDU 3 PUSKESMAS 4

UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Jadwal Ujian Skripsi November 2015

Penelitian (Syahindra et al., 2020) pada masa pandemic kemandirian anak ditanamkan melalui pemberian tugas dari guru. Konsep pembelajaran anak usia dini adalah belajar yang