• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumberdaya Perikanan Laut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumberdaya Perikanan Laut"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sumberdaya Perikanan Laut

Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya alam yang didukung oleh sumberdaya manusia, modal, teknologi dan informasi yang mencakup seluruh potensi laut maupun di perairan daratan yang dapat didayagunakan untuk kegiatan usaha perikanan ( Setyohadi 1997).

Pengelolaan sumberdaya perikanan laut dihadapkan pada tantangan yang timbul karena faktor-faktor yang menyangkut perkembangan penduduk, perkembangan sumberdaya dan lingkungan, Perkembangan, teknologi dan ruang lingkup internasional. Sumberdaya perikanan laut termasuk pada kriteria sumberdaya alam yang dapat diperbaharui, namun demikian pemanfaatan sumberdaya ini harus tetap rasional untuk menjaga kesinambungan produksi dan kelestarian sumberdaya.

Sumberdaya hayati laut yang sudah dimanfaatkan meliputi ikan (Species), kelompok udang (Crustacea), binatang berkulit lunak (mollusca) dan rumput laut. Sebagai suatu negara yang terletak di daerah tropis, Indonesia tergolong dalam perikanan multi species. Sumberdaya perikanan dikelompokkan menjadi kelompok sumberdaya perikanan demersal dan pelagis (Direktorat Jendral Perikanan 1997).

Menurut Naamin (1987) secara umum sumberdaya hayati laut dapat dikelompokkan kedalam 4 kelompok yakni :

(1) Sumberdaya ikan demersal, yaitu jenis ikan hidup di atau dekat perairan (2) Sumberdaya pelagis kecil, yaitu jenis ikan yang berada di sekitar permukaan. (3) Sumberdaya ikan pelagis besar, yaitu jenis ikan oseanik yang beruaya sangat

jauh (tuna dan cakalang) dan.

(4) Sumberdaya udang dan biota laut non ikan lainnya.

Pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan Indonesia belum optimal, dimana tingkat pemanfaatan untuk ikan-ikan pelagis kecil baru sekitar 35%. ikan demersal baru dimanfaatkan 27%, sedangkan untuk cakalang sekitar 51% dan tuna 54%. Tingkat pemanfaatan udang dikatagorikan cukup tinggi yaitu sekitar 79% yang telah dimanfaatkan, semantara untuk jenis sumberdaya cumi-cumi dan sotong sekitar 37% yang telah dimanfaatkan (Ayodhyoa 1995).

(2)

FAO (1992) melaporkan bahwa potensi sumberdaya perikanan laut Indonesia adalah sebesar 5.649.600 ton dengan kondisi terbesar dari jenis ikan pelagis (small pelagic) yaitu sebesar 4.041.800 ton atau 18,30% dan perikanan skipjack sebesar 295.000 ton (5,22%). Berikut potensi sumberdaya perikanan laut menurut jenis ikan dan kawasan perairan Indonesia.

Tabel 1 Estimasi potensi, produksi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis besar

No Wilayah Potensi Produksi Pemanfaatan 10 ton/tah 10 ton/tahun % 1 Selat malaka 27,26 35,27 > 100

2 Laut Cina selatan 66,08 35,16 53,21 3 Laut Jawa 55,00 137,82 > 100 4 Selat makasar dan laut Flores 193,60 85,10 43,96 5 Laut Banda 104,12 29,10 27,95 6 selat seram dan laut tomini 106,5 37,46 35,17

7 Laut sulawesi dan Samudra 175,26 153,43 87,54 8 Pasifk 50,86 34,55 67,93

9 Laut Arafuru Samudra hindia 386,26 188,28 48,74 10 Perairan Indonesia 1,165,2 736,17 63,17 Sumber: Widodo (2001)

Sumberdaya ikan yang didaratkan nelayan di kabupaten Aceh Jaya cukup beragam. Namun dari sekian banyak ikan yang di daratkan tersebut, terdapat enam jenis ikan utama yang didaratkan seperti kembung (Rastrelliger spp), cakalang (Katsuwonus pelamis), tongkol (Euthynnus affinis), layang (Decaptrus spp), selar (Selaroides spp), tuna (Thunnus albacares), tenggiri (Scomberomorus commerson). Mata Merah (Caranx sexfasciatus), Sunglir (Elagitis bipinnulatus).

Jenis - jenis ikan pelagis besar yang dominan tertangkap dan bernilai ekonomis penting di Kabupaten Aceh Jaya adalah madidihang (Thunnus albacares), cakalang (Katsuwonus pelamis), dan tongkol (Euthynnus affinis).

(3)

2.1.1 Klasifikasi ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) sebagi berikut

Phylum : Chordata Sub phylu : Vertebrata

Kelas :Teleostemi Sub kelas : Acctinopterygii

Ordo : Perciformes Sub ordo : Scombroidei Family : Scombridae Sub famili : Scombrinae Tribe : Thunnini Genus : Katsuwonus Species : Pelamis Sumber: Saanin 1984

Gambar 2 Morfologi ikan cakalang (Katsuwonus pelamis).

Tubuh cakalang berbentuk terpedo (fusifom), memanjang dan bulat, memilki tapis insang (gill raker) 53-62 buah. Terdapat dua sirip dorsal yang terpisah, sirip yang pertama mempunyai 14-16 jari-jari keras sedangkan sirip kedua diikuti oleh 7-8 finle. Sirip dada pendek dan pada sirip perut diikuti oleh 7-8 finlet dan terdapat rigi-rigi yang lebih kecil pada masing-masing sisi dan sirip ekor. Ciri lain cakalang pada bagian punggung berwarna biru agak violet hingga dada, sedangkan perut berwarna keputihan hingga kuning muda terdapat 4-9 garis-garis berwarna hitam yang memanjang pada bagian samping badan mempunyai 12-16 duri lemah pada sirip punggung kedua, serta mempunyai 7-9 finlet pada bagian perut.

Sebaran geografis ikan cakalang terutama pada perairan tropis dan perairan panas di daerah lintang sedang. Potensi ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) di Indonesia sebagian besar terdapat di perairan kawasan Timur Indonesia antara lain perairan Sulawesi utara, Halmahera, Maluku dan Irian Jaya serta sebagian kecil di bagian barat yaitu di perairan Selatan Jawa Barat, Sumatra Barat dan Aceh (Monintja et al. 2001).

(4)

2.1.2 Klasifikasi ikan madidihang (Thunnus albacares) Phylum : Chordata

Sub phylum : Vertebrata Subkelas : Teleostei

Ordo : Percomorphi Famili : Scombridae Sub Famili : Thunnidae Genus : Thunus

Species : Thunnus albacares

Gambar 3 Morfologi ikan madidihang (Thunnus albacares).

Tubuh madidihang (Thunnus albacares) berbentuk terpedo (fusiform), memiliki tapis insang (gill raker) 27-23 buah, serta terdapat dua sirip punggung yang terpisah. Pada madidihang yang dewasa, sirip punggung kedua sangat panjang dan hampir mencapai sirip ekor. Sirip punggung kedua, sirip ekor dan finlet berwarna cerah dan pinggiran finlet berwarna hitam.

2.1.3 Klasifikasi ikanTongkol (Euthynnus spp, Auxis thazard) sebagai berikut: Phylum : Chordata Subphylum : Vertebarta Kelas : Pisces Subkelas : Teleoitei Ordo : Percomorphi Famili : Scombridae Suku :Thunnini

Genus : Auxis , Euthynus Speciec : Euthinnus affinis

Sumber: Saanin 1984

Sumber: Saanin 1984

(5)

Ciri-ciri morfologi tongkol adalah mempunyai bentuk badan fusiform dan memanjang. Panjang badan kurang lebih 3,4-3,6 kali panjang kepala dan 3,5-4 kali tinggi badanya. Panjang kepala kurang lebih 5,7-6 kali diameter mata. Kedua rahang mempunyai satu seri gigi berbentuk kerucut. Sisik hanya terdapat pada bagian korselet, garis rusuk (linea literalis) hampir lurus dan lengkap, Sirip dada pendek, kurang lebih hampir sama panjang dengan bagian kepala di belakang mata. Jari-jari keras pada sirip punggung pertama kurang lebih sama panjang dengan bagian kepala belakang mata., kemudian diikuti dengan jari-jari keras sebanyak 15 buah. Sirip punggung kedua lebih kecil dan lebih pendek dari sirip punggung pertama. Permulaan sirip dubur terletak hampir di akhir sirip punggung kedua dan bentukya sama dengan sirip punggung pertama. Sirip punggung pendek dan panjangnya kurang lebih sama dengan panjang antara hidung dan mata. Bagian punggung berwarna kelam, sedangkan bagian sisi dan perut berwarna keperak-perakan. Di bagian punggung terdapat garis-garis miring kebelakang yang berwarna kehitam-hitaman.

Perbedaan yang dominan antara Eeuthynnus dan Auxis terletak pada jarak antara sirip punggung pertama dan kedua, serta keberadaan bintik hitam dibawah korsele. Sirip punggung pertama dan kedua pada Euthynnus saling berdekatan, kurag lebih sama dengan diameter mata dan pada bagian bawah korselet terdapat bintik hitam berjumlah atau dua lebih. Auxis mempunyai sirip punggung pertama dan kedua terpisah jauh, kerang lebih sepanjang dasar sirip punggung pertama serta tidak terdapat bintik hitam di bawah korselet (Collete and Nauen 1983).

Tongkol termasuk jenis epipelagis, neuritik dan aseanik pada perairan yang hangat dan biasa bergerombol. Stadium larva dari Auxis mempunyai kemampuan toleran terhadap kisaran suhu yang luas yaitu 21,6-30,5. Ikan dewasa hidup pada kisaran suhu untuk habitat Euthynnus affinis antara 18-29 C° dan biasanya bergerombol sesuai dengan ukuran, misalnya Thunnus albacore muda, cakalang, Auxis. Densitas gerombolan berkisar antara 100 sampai lebih dari 5.000 ekor ikan. Penyebaran Auxis sangat luas, meliputi perairan tropis dan subtropis, termasuk Samudera pasifik, Hindia dan Atlantik, Laut Mediterania dan laut hitam. Euthynnus affinis berpopulasi di perairan pantai dan dapat ditemukan di perairan tropis dan subtropis di laut Hindia dan juga disepanjang negara-negara pantai dari Afrika Selatan sampai ke Indonesia.

(6)

2.2 Pengembangan Perikanan Tangkap

Pengembangan merupakan suatu istilah yang berarti suatu usaha perubahan dari suatu dinilai yang kurang kepada sesuatu yang dinilai lebih baik. Manurung et al. (1998) memberikan pengertian tentang pengembangan sebagai suatu proses yang membawa suatu peningkatan kemampuan penduduk (khususnya pedesaan) mengenai lingkungan sosial yang disertai dengan meningkatnya taraf hidup mereka sebagai akibat dari penguasaan mereka. Dengan demikian, pengembangan adalah suatu proses yang menuju pada suatu kemajuan. Di Indonesia untuk dapat mencapai kemajuan dalam usaha meningkatkan kesejahtraan masyarakat ditempuh melalui pembangunan. Dalam rangka pembangunan, segala kegiatan harus ditumpahkan demi pembaharuan sosial serta pertumbuhan ekonomi, yang kedua harus berjalan serasi dan seirama (Mubyanto 1996).

Pembangunan dalam pengetian terus menerus membentuk atau mendirikan tidak lain adalah demi pertumbuhan ekonomi. Makin cepat pertumbuhan ekonomi makin cepat pula peningkatan kesejahtraan masyarakat. Sandi (1997), mengemukakan bahwa tujuan dari pembangunan dimana saja adalah membuka jalan bagi kemakmuran masyarakat. Di Indonesia tujuan itu dicapai dengan jalan membangun manusia Indonesia seutuhnya. Artinya manusia yang makmur, itu mestinya adalah manusia yang kehidupan lahiriah dan rohaniahnya seimbang. Pembangunan perikanan merupakan suatu proses atau usaha kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi dibidang perikanan dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik (Bahari 1998).

Seleksi teknologi menurut Haluan dan Nurani (1993), dapat dilakukan melalui pengkajian-pengkajian aspek, bio-technico-socio-economic-approach, oleh itu ada empat aspek yang harus dipenuhi oleh suatu jenis teknologi penangkapan ikan yang akan dikembangkan, yaitu: (1) bila ditinjau dari segi biologi tidak merusak dan mengganggu kelestarian sumbedaya, (2) Secara teknis efektif digunakan, (3) dari segi sosial dapat diterima oleh masyarakat nelayan. dan (4) Secara ekonomis teknologi tersebut bersifat menguntungkan. Suatu aspek tambahan yang tidak dapat diabaikan yaitu adanya izin dari pemerintah (kebijakan dan peraturan pemerintah).

Apabila pengembangan perikanan disuatu wilayah perairan ditekankan pada perluasan kesempatan tenaga kerja, teknologi yang perlu dikembangkan adalah jenis unit penangkapan yang relatif dapat menyerap tenaga kerja, dengan pendapatan pernelayan memadai. Selanjutnya menurut Monintja (1987), dalam kaitannya dengan

(7)

penyediaan protein untuk masyarakat Indonesia, maka dipilih unit penangkapan ikan yang memiliki produktifitas unit serta produktifitas nelayan pertahun yang tinggi, namun masih dapat dipertanngungjawabkan secara biologi dan ekonomi. Pengembangan jenis teknologi penangkapan ikan di Indonesia perlu diarahkan agar dapat menunjang tujuan-tujuan pembangunan umum perikanan, apabila hal ini dapat disepakati, maka syarat-syarat pengembangan teknologi penangkapan ikan di Indonesia haruslah dapat:

(1) Menyediakan kesempatan kerja yang banyak.

(2) Menjamin pendapatan yang memadai bagi para tenaga kerja atau nelayan. (3) Menjamin jumlah produksi yang tinggi untuk menyediakan protein bagi

kebutuhan masyarakat.

(4) Mendapat jenis ikan komoditi ekspor atau jenis ikan yang biasa diekspor. (5) Tidak merusak kelestarian sumberdaya ikan.

Penerapan teknologi baru tidak begitu mudah karna dipengaruhi oleh beberapa faktor. Para petani kadang-kadang lambat dalam mengadopsi teknologi baru karena beberapa alasan, yaitu merasa segan untuk mengambil resiko dengan modal mereka sangat terbatas. Alasan utama mengapa para petani/nelayan berprilaku tetap pada cara-cara yang lama (Subsistance) dalam lingkungan ekonomi tertentu karena mereka sangat mempertimbangkan adanya resiko dan ketidakpastian (Risk and uncertainity). Selanjutnya dikatakan bahwa petani/nelayan tersebut berangapan bahwa keuntungan yang akan mereka peroleh dari penggunaan teknologi baru, seperti menanam tanaman jenis baru dan sebagainya, dalam kenyataanya akan lebih rendah dari pada yang dapat dicapai apabila teknlogi baru dalam usaha peningkatan produksi dapat memakan waktu yang lama (Mubyanto 1996).

Saefuddin (1994) yang diacu dalam Ihsan (2000) mengatakan bahwa, agar produsen dapat dirangsang dalam pengambilan keputusan untuk meningkatkan produksi, maka rasio ouput - input hendaknya menguntungkan nelayan. Besar kecilnya keuntungan yang diterima produsen akan dipengaruhi oleh tingkat penerimaan dan biaya produksi yang digambarkan oleh keadaan harga input, harga output dan teknologi yang tersedia.

Peningkatan pendapatan petani selain ditentukan oleh usaha-usaha peningkatan produksi, juga ditentukan oleh faktor-faktor lain seperti harga dan lembaga tataniaga. Makin banyak lembaga tataniaga yang terlibat dalam penyaluran sesuatu barang,

(8)

maka makin rendah tingkat harga yang diterima oleh produsen (Paul dan Jones 1993).

Intensifikasi untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan, pada dasarnya adalah penerapan teknologi modern pada sarana dan teknik - teknik yang dipakai, termasuk alat penangkapan ikan, perahu atau kapal dan alat bantu lainnya yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing di wilayah setempat. Namun tidak semua modernisasi dapat menghasilkan peningkatan produksi dan menghasilkan pendapatan bersih (net incame) nelayan. Oleh karena itu, introduksi teknik-teknik penangkapan ikan yang baru harus didahului dengan penelitian dan percobaan secara intensif dengan hasil yang menyakinkan (Wisudo et al. 1994).

Upaya pengolahan dan pengembangan perikanan laut di masa mendatang memang terasa lebih berat sejalan dengan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Tetapi dengan pemamfaatan iptek itu pula kita diharapkan akan mampu dapat mengatasi keterbatasan smberdaya melalui suatu langkah yang rasional untuk mendapatkan manfaat yang optimal dan berkelanjutan. Langkah pengelolaan dan pengembangan tersebut juga harus mempertimbangkan aspek biologi, teknis, sosial, budaya dan ekonimi (Barus et al. 1991).

Djamali dan Burhanuddin (1995) mengatakan bahwa keberhasilan pembangunan perikanan, perlu didukung oleh suatu perencanaan pembangunan yang lebih didasari atas data dan informasi yang menyeluruh termasuk sumberdaya perikanannya, maupun aspek sosial dan ekonominya. Pengkajian perlu dilakukan secara berkesinambungan, agar data dan informasi yang muktahir dapat selalu tersedia, untuk kemudian di pergunakan sebagai dasar pertimbangan kebijakan dalam rangka pengembangan perikanan.

Selanjutnya menurut Djamli dan Burhanuddin (1995) dalam Baruadi (2004) bahwa hal yang dipertimbangkan dalam rencana pengembangan perikanan tangkap adalah :

1) Musim penangkapan ikan yang berbeda sepanjang tahun.

2) Adanya beberapa jenis usaha perikanan tangkap yang dikombinasikan dengan alat tangkap lain.

3) Adanya tingkat teknologi yang sudah tertentu untuk setiap jenis usaha perikanan tangkap.

(9)

5) Adanya harga korbanan dan harga hasil tangkapan dari setiap jenis hasil perikanan tangkap.

6) Terbatasnya trip penangkapan ikan yang dapat dilakukan setiap tahun.

7) Terbatasnya kemampuan nelayan untuk membiayai usaha penangkapan dan melakukan investasi dalam unit perikanan tangkap.

8) Terbatasnya tenaga kerja yang mengoperasikan unit penangkapan.

Hartati (1996) menyatakan bahwa jenis teknologi penangkapan ikan yang dapat memenuhi semua kriteria diatas pada suatu daerah perikanan, perlu dilakukan penelitian terhadap unit-unit penangkapan ikan yang ada di daerah tersebut. Selain agar diperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya, juga untuk pembangunan dan pengembangan perikanan di masa mendatang.

Martono (1998) menyatakan bahwa para nelayan di Indonesia belum dapat memanfaatkan sumberdaya laut dengan benar karena terbentur pada kualitas sumberdaya manusia (SDM) dan teknologi. Selanjutnya dinyatakan bahwa untuk dapat memiliki SDM dibidang kelautan yang handal memang membutuhkan waktu dan kemauan, karena semua pihak diharapkan ikut berperan serta. Nuitja (1998) menyatakan bahwa pengetahuan yang tergolong rendah membuat para nelayan kurang memiliki daya nalar yang menyerapkan teknologi inofasi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) kelautan, ditambah lagi dengan keterbatasan modal usaha yang membuat para nelayan terus terbelit dengan kemiskinan. Selanjutnya menilai bahwa peran dibidang pendidikan sangat penting artinya bagi stimulasi daya nalar para nelayan, karena perikanan tidak hanya menuntut kemauaan dan ketahanan fisik tetapi kemampuan penggunaan teknologi peralatan yang canggih untuk setiap kapal perikanan. Oleh karena itu dua masalah ini merupakan kendala utama yang sering di hadapi dalam usaha pengembangan alat penangkapan ikan di Indonesia.

Pengembangan produksi atau pemamfaatan sumberdaya perikanan di masa mendatang, langkah-langkah yang harus dikaji dan kemudian diusahakan pelaksanaanya adalah: (1) Pengembangan, (2) Pengembangan agroindustri, pemasaran dan permodalan di bidang perikanan, (3) Pengembangan kelembagaan dan penyelenggaraan penyuluhan perikanan, dan (4) Pengembangan sistem informasi menajamen perikanan (Departemen Kelautan dan perikanan 2002).

Pembangunan perikanan juga tidak dapat dipacu terus tanpa melihat batas kemampuan sumberdaya yang ada ataupun daya dukungnya. Pada perikanan yang

(10)

telah berkembang pesat upaya pengendalian sangat diperlukan upaya ini bahkan lebih berharga dari perhitungan potensi itu sendiri. Kalau hal ini dilaksanakan, maka telah menerapkan pembangunan perikanan yang berkelanjutan, sehingga kelestarian sumberdaya dan kegiatan perikanan dapat dijamin keberadaannya (Martusubroto, Naamin dan Malik 1991).

2.3 Usaha Perikanan Tangkap

Perikanan tangkap adalah suatu kegiatan ekonomi dalam bidang penangkapan atau pengumpulan hewan atau tanaman yang hidup di laut atau perairan umum. Usaha perikanan adalah semua usaha perorangan atau badan hukum untuk menangkap atau membudidayakan ikan termasuk kegiatan menyimpan, mendinginkan atau mengawetkan ikan untuk tujuan komersial atau mendapatkan laba dari kegiatan yang dilakukan.

Menurut Monintja (1994), bahwa usaha perikanan tangkap adalah kegiatan ekonomi dalam bidang penangkapan ikan meliputi pengumpulan hewan atau tanaman air yang hidup di laut atau perairan umum. Definisi tersebut secara jelas menunjukkan bahwa kegiatan penangkapan ikan yang dimaksud adalah memperoleh nilai tambah lainnya seperti penyerapan tenaga kerja, pemenuhan terhadap protein hewani, devisa atau pendapatan negara.

Panayotou (1992) dalam Charles (2000) mengkasifikasikan perikanan di dunia ini menjadi 2 (dua) kelas, yaitu skala kecil atau perikanan tradisional dan perikanan skala besar atau perikanan industri. Dikemukakan pula bahwa sebenarnya tidak ada definisi yang standar atas perikanan skala kecil dan skala besar dapat diilakukan dengan melihat teknologi yang digunakan, tingkat modal, tenaga kerja yang digunakan dan kepemilikan.

Usaha perikanan dapat dibagi kedalam perikanan industri, artisanal dan subsistem. Perikanan artisanal dan telah berorientasi komersial, sedangkan perikanan subtansial hanya untuk konsumsi sendiri atau kadang-kadang menukarkan ikan dengan keperluan lain secara barter (Kesteven yang diacu Haluan 1996).

Smith (1982) yang diacu dalam Haluan (1996) menyimpulkan bahwa usaha penangkapan ikan tradisonal mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1) Unit penangkapan ikan dengan skala kecil yang sering kali terdiri dari kelompok keluarga nelayan yang menggunakan perahu atau tanpa motor penggerak. 2) kegiatan sering kali tida tetap atau musiman dan kebutuhan rumah tangga dapat dipenuhi dengan

(11)

usaha di bidang lain. 3) penghasilan dan pendapatan nelayan didasarkan atas sistem dasar bagi hasil. 4) juragan atau nelayan pemilik kapal dan alat penangkapan ikan seringkali ikut operasi penangkapan ikan. 5) bahan alat penangkapan ikan mungkin sudah dibuat oleh mesin di pabrik seperti nilon, tetapi desain dan penyambungan bagian-bagiannya masih dilakukan oleh nelayan sendiri dan pada waktu setting maupun haulling pada umumnya tidak dibantu oleh tenaga mesin. 6) tingkat investasi masih rendah dan sistem ijon masih berlaku. 7) hasil tangkapan per unit penangkapan ikan dan produktifitas per nelayan berada ditingkat menengah sampai sangat rendah. 8) hasil tangkapan belum semua dijual di TPI. 9) sebagian atau kadang-kadang seluruh hasil tangkapan ikan dikonsumsi sendiri oleh keluarga nelayan. 10) perkampungan nelayan tradisional agak terisolasi dan tingkat hidup nelayan tradisional masih sangat tergolong rendah.

Adapun beberapa aspek kriteria pengembangan alat tangkap menuju perikanan berkelanjutan adalah aspek boilogi, teknis, sosial, dan kelayakan usaha.

1) Analisis aspek biologi:

Parameter biologi yang menjadi kajian terhadap potensi sumberdaya ikan adalah penggunaan ukuran mata jaring, jumlah ikan yang layak tertangkap, komposisi hasil tangkapan dan cara pengoprasian alat tangkap.

2) Analisis aspek teknis (kapal/perahu dan alat penangkapan ikan) :

Parameter teknis penting untuk diketahui karena menyangkut masalah produksi unit penangkapan ikan yang dioperasikan. Parameter tersebut digunakan untuk melihat kemampuan suatu alat tangkap dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan yang optimal dan berkelanjutan.

3) Analisis aspek sosial yakni berkaitan dengan tenaga kerja yang diserap setiap

unit pengkapan ikan antara jumlah tenaga kerja per unit penangkapan ikan dan pendapatan nelayan per unit penangkapan ikan, dan untuk melihat alat tangkap tersebut dapat diterima oleh nelayan setempat berdasarkan kriteria alat tangkap tersebut.

4). Analisis aspek finansial dapat dijabarkan menjadi aspek ekonomi dan finansial.

Aspek ekonomi meliputi : pendapatan kotor pertahun, pendapatan kotor per trip, pendapatan kotor per tenaga kerja, dan pendapatan kotor per tenaga penggerak. Sehingga alat tangkap yang digunakan atau dioperasikan tersebut dapat diteruskan dan layak digunakan sesuai dengan biaya yang dikeluarkan.

(12)

Usaha perikanan tangkap yang berkelanjutan tersebut hanya dapat dilakukan oleh teknologi tepat guna. Teknologi tepat guna dapat dilakukan dengan mengembangkan jenis alat tangkap ikan yang mempunyai keragaman yang baik di tinjau dari beberapa aspek diantaranya adalah aspek biologi, teknis, sosial, dan finansial, sehingga alat tangkap yang digunakan dalam usaha perikanan tangkap dapat dikembangkan dan bertanggung jawab berdasarkan kriteria diatas serta alat tangkap tersebut dapat diterima oleh nelayan setempat dilihat dari cara pengoprasian alat tangkap, jenis ikan yang tertangkap, dan penggunaan mata jaring, sehingga diharapkan sumberdaya perikanan dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan.

Definisi teknologi tepat guna (TTG) berdasarkan Undang-Undang nomor 5 tahun 1984 tentang perindustrian adalah teknologi yang tepat dan berguna bagi suatu proses untuk menghasilkan nilai tambah. Hal ini berarti bahwa teknologi yang diciptakan dapat meningkatkan taraf hidup manusia sebagai pengguna teknologi.

2.4 Kelayakan Usaha Perikanan Tangkap

Menurut Kadriah (1988) bagi para pengambil keputusan, yang penting adalah mengarahkan penggunaan sumber–sumber langka kepada proyek yang memberikan hasil yang paling banyak untuk perekonomian secara keseluruhan yaitu yang menghasilkan sosial return atau economic returns yang paling tinggi.

Dalam analisis proyek ada beberapa kriteria yang sering di gunakan untuk menentukan layak atau tidak layaknya suatu usulan proyek. Dalam semua kriteria itu baik manfaat (benefit) maupun biaya dinyatakan dalam nilai sekarangnya (Present Value). Beberapa kriteria tersebut adalah: Net benefit – Cost Rasio(Net B/C), Net Present Value (NPV), IRR, ROI, RTO, dan RTL.

Yang di maksud dengan Net B/C Ratio adalah perbandingan antara Persent value dari Net benefit yang positif dengan Persent value dari Net benefit yang negatif (net cost). Metode dapat di rumuskan sebagai berikut :

Jika net B/C ratio > 1, Maka proyek di anggap layak untuk dilanjutkan Jika net B/C ratio < 1, Maka proyek dianggap tidak layak untuk dilanjutkan.

Net Present Value adalah merupakan selisih antara present value dari benefit dan present value dari cost. Dimana nilai B dan C adalah nilai B dan C yang telah di discount. Untuk menetukan ratio - ratio atau net persent value tersebut diatas harus ditetapkan lebih dahulu discount rate yang akan digunakan untuk menghitung present

(13)

value dari benefit maupun biaya. B/C ratio < 1, maka hal ini berarti bahwa proyek tersebut tidak menguntungan atau net present value lebih besar dari 0 (positif).

Internal Rate of Renturn adalah merupakan discount rate yang dapat membuat NPV proyek sama dengan nol (0), atau yang dapat membuat B/C ratio sama dengan 1. Dalam perhitungan IRR ini di asumsikan bahwa setiap benefit neto tahunan secara otomatis di tanam kembali dalam tahun berikutnya dan merupakan rate of return yang sama dengan investasi sebelumnya (Kadriah 1988).

Selain analisis tersebut di atas, terdapat kriteria tambahan untuk mengukur kalayakan usaha yaitu break even point digunakan untuk menentukan usaha tersebut mengalami untung atau rugi.

RTO dan RTL Untuk mencari keuntungan Pemilik dan buruh kerja.

RTO (Returm of Owner) yaitu mengetahui untuk menyatakan Net benefit yang diterima oleh pemilik.

RTO = Penerimaan – Total biaya.

RTL (Returm of Labaor) yaitu untuk mengetahui penerimaan yang diterima Oleh masing-masing ABK pada usaha perikanan.

RTL = w (Penerimaan – Biaya – Operasiaonal

abk

2. 5 Pengaruh Kegiatan Perikanan Tangkap terhadap Lingkungan

Penggunaan teknik atau alat tangkap untuk menangkap ikan yang bersifat merusak sumberdaya hayati laut, bukan saja merusak biota ikan yang menjadi sasaran namun juga mempengaruhi komponen ekosistem lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Sumberdaya ikan dan biota laut lainnya merupakan sumberdaya yang dapat pulih (reversible), tidak berarti pengelolaan dan pemafaatan sumberdaya tersebut dapat dilakukan secara ilegal dengan tidak memperhatikan kelestariannya. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi penangkapan ikan yang begitu pesat serta dorongan dan tuntutan hidup yang semakin besar, maka sumberdaya hayati laut makin menjadi sasaran dari tekanan-tekanan ekploitasi penangkapan yang semakin kuat, hal ini akan merupakan ancaman serius dan berdampak sangat buruk terhadap kehidupan biologis dan kelestarian sumberdaya.

(14)

Dahuri (1998) menyatakan bahwa masalah ini yang berhubungan dengan teknik penangkapan ikan yang menyebabkan terganggungya kelestarian sumberdaya hayati pesisir dan laut adalah pelanggaran terhadap peraturan mengenai waktu, ukuran dan jenis ikan yang ditangkap, serta penggunaan alat tangkap yang tidak sesuai. Penangkapan ikan pada waktu dan ukuran ikan yang tidak tepat berarti menghambat regenerasi sumberdaya ikan. Jenis-jenis ikan yang tergolong langka, seperti napoleon masih banyak ditangkap secara ilegal. Jadi permasalahannya perlu pelaksanaan pengawasan dari peraturan yang berlaku serta penyuluhan kepada masyarakat nelayan tentang penyelamatan sumberdaya laut.

Gambar

Tabel 1 Estimasi potensi, produksi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan               pelagis besar
Gambar 2 Morfologi ikan cakalang (Katsuwonus pelamis).
Gambar 3 Morfologi ikan madidihang (Thunnus albacares).

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan: (1) semua kata, frasa, dan kalimat yang mengandung unsur budaya dalam novel Entrok dan terjemahannya pada novel

Setelah peneliti bercerita anak diminta oleh peneliti untuk mengulang isi cerita dengan singkat dan apa saja pesan- pesan dari cerita yang diceritakan peneliti,

Merujuk pada studi Elmeskov, InterCAFE (International Center for Applied Finance and Economics) tahun 2008 melakukan studi tentang persistensi pengangguran yang terjadi di

leprosula merupakan jenis dengan persebaran geografis yang luas tetapi ternyata dalam penelitian ini tingkat diferensiasi keragaman genetik antar populasi jenis ini

Dalam realisasinya terlebih dahulu dibentuk model LP yang terdiri dari fungsi tujuan yang diperoleh dari hasil perhitungan perkembanngan keuntungan penjulan susu pasteurisasi

Penelitian ini mengintegrasikan empat aspek, yaitu aspek ketahanan bahan (menggunakan metode Taguchi untuk desain eksperimen pemilihan bahan baku keramba), aspek

1. Model pembelajaran ini merupakan model yang menekankan kepada pengembangan aspek koknitif afektik,dan psokomorik secara seimbang,sehingga pembelajaran melalui model

1) Saat memulai praktik kerja lapangan praktikan merasa kurang dapat beradaptasi secara baik dengan para karyawan di BULOG. 2) Minimnya fasilitasi yang disediakan BULOG