Pengertian Ijma’
Secara Etimologi Kesepakatan/konsensus Bermaksud/membuat Ketetapan untuk Melaksanakan sesuatu Yusuf 12 ﺐﺠﻟا ﺔﺑﺎﯿﻏ ﻲﻓ هﻮﻠﻌﺠﯾ لأ اﻮﻌﻤﺟأ ﮫﺑ اﻮﺒھذ ﺎﻤﻠﻓ ﻢﻛءﺎﻛﺮﺷ و ﻢﻜﻣﺮﻣأ اﻮﻌﻤﺟﺄﻓ Yunus 71Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumut
Bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah sekutu-sekutumu)
Pengertian Ijma’ secara terminologi
ﺪﮭﺘﺠﻤﻟا ﻊﯿﻤﺟ قﺎﻔﺗا
ﻦﯾ
رﻮﺼﻌﻟا ﻦﻣ ﺮﺼﻋ ﻲﻓ ﻦﯿﻤﻠﺴﻤﻟا ﻦﻣ
ﻢﻌﻠﺻ ﷲ لﻮﺳر ةﺎﻓو ﺪﻌﺑ
ﻲﻋﺮﺷ ﻢﻜﺣ ﻰﻠﻋ
Kesepakatan semua mujtahid dari ummat Muhammad Pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah
terhadap suatu hukum syara’
Muhammad Abu Zahroh menambahkan di akhir definisi itu kata “yang bersifat amaliyah”
2
Rukun Ijma’
1. Yang terlibat dlm pembahasan hukumnya, semua mujtahid, Jika ada yang tidak setuju, maka hasilnya bukan ijma’
2. Semua Mujtahid hidup di masa tersebut dari seluruh dunia
3. Kesepakatan itu terwujud setelah masing-masing Mengemukakan pendapatnya
4. Hukum yang disepakati adalah hukum syara yang tidak ada hukumnya dalam Al-Quran
5. Sandaran hukum ijma’ tersebut adalah Al-Quran
dan atau haditsRasulullah
Syarat-Syarat Ijma’
6. Yang melakukan ijma’ adalah orang yang memenuhi syarat
7. Kesepakataan itu muncul dari para mujtahid yang adil (berpendirian kuat terhadap agamanya)
8. Para mujtahid adalah mereka yang berusaha menghindarkan Diri dari ucapan dannperbuatan yang bid’ah
Syarat Ijma’ (yang diperselisihkan)
1. Para Mujtahid itu adalah para sahabat
2. Para Mujtahid kerabat Rasulullah
3. Mujtahid itu adalah ulama Madinah
4. Hukum yang disepakati itu tidak ada yang membantahnya Sampai wafatnya seluruh mujtahid yang menyepakatinya
5. Tidak terdapat hukum ijma’ sebelumnya tentang masalah yang sama
Tingkatan Ijma’
Sharih (jelas)
Sukuti (Diam)Semua ulama secara jelasmengemu kakan pendapatnya Sebagian Ulama diam Atas Pendapat Mujtahid lain
4
Tingkatan Ijma’
• Ijma’ Sharih, kesepakatan para mujtahid, baik
melalui pendapat maupun perbuatan terhadap suatu masalah hukum yang dikemukaan dalam sidang ijma’ setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pendapatnya terhadap masalah yang dibahas.
• Ijma’ ini bisa dijadikan hujjah dan statusnya bersifat qath’iy (pasti)
Kehujjahan Ijma’
• Jumhur Ulama Ushul Fiqh berpendapat :• “apabila rukun ijma’ telah terpenuhi, maka ijma’ tersebut menjadi hujjah yang qath’iy, wajib
diamalkan dan tidak boleh mengingkarinya, bahkan orang yang mengingkarinya diangap kafir
• Masalah hukum yang telah disepakati dgn ijma’, tidak boleh lagi menjadi pembahasan ulama generasi berikutnya, dan karena itu pendapat yang berbeda dengan ijma’ tersebut tidak bisa
membatalkan ijma’ yang telah terjadi. Alasan ketidakbolehan tersebut, dikarenakan hukum yang telah ditetapkan secara ijma’ bersifat qath’iy dan menempati urutan ketiga setelah Al-Quran,
• Tetapi, Ibrahim Ibnu Siyar Al-Nazzam (tokoh
Muktazilah), Khawarij dan Syi’ah berpendapat, “Ijma’ tidak bisa dijadikan hujjah. Menurut mereka Ijma’ seperti yang digambarkan Jumhur tidak mungkin terjadi, karena sulit mempertemukan seluruh ulama yang tersebar di berbagai belahan dunia. Selain itu masing-masing daerah mempunyai struktur sosial dan budaya yang berbeda.
•
Menurut Syi’ah, ijma’ tidak bisa dijadikan
sebagai hujjah, karena pembuat hukuma
adalah Imam yang mereka anggap
ma’shum.(terhindar dari dosa)
•
Ulama Khawarij dapat merima ijma’ sahabat
sebelum terjadinya aperpecahan politik di
kalangan sahabat.
Menurut Syi’ah, ijma’ tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, karena pembuat hukum adalah Imam yang mereka anggap ma’shum.(terhindar dari dosa)
Ulama Khawarij dapat merima ijma’ sahabat sebelum terjadinya aperpecahan politik di kalangan sahabat.
6
Alasan Jumhur
•
An-Nisak : 59
•
ْ مُ ﻛﻧِﻣ ِ ر ْ ﻣَ ﻷْ ا ﻰِﻟ ْ وُ أ َ و َلوُﺳ ﱠ رﻟا اوُﻌﯾ ِ طَ أ َ و َ ﷲ اوُﻌﯾ ِ طَ أ اوُ ﻧَ ﻣاَ ء َ نﯾِذﱠ ﻟا ﺎَﮭﱡﯾ َ أﺎَﯾ
َ نوُ ﻧ ِﻣ ْ ؤُ ﺗ ْ مُ ﺗﻧُ ﻛ نِ إ ِ لوُﺳ ﱠ رﻟا َ و ِﷲ ﻰَ ﻟ ِ إ ُهوﱡ د ُ رَ ﻓ ٍء ْ ﻰَ ﺷ ﻲِﻓ ْ مُ ﺗ ْ ﻋ َ زﺎَ ﻧَ ﺗ نِ ﺈَ ﻓ
ً ﻼﯾ ِ و ْ ﺄَ ﺗ ُ ن َ ﺳ ْ ﺣَ أ َ و ُ ◌ ُ رْﯾ َ ﺧ َ كِﻟ َ ذ ِ رِﺧَ ﻷْ ا ِ م ْ وَﯾْ ﻟا َ و ِ ﺎ ِ ﺑ
•
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan Taatilah Rasul dan
Ulil Amri
di antara kamu.
Menurut jumhur, ulil amri
bersifat umum mencakup
1.Pemimpin agama
(mujtahid & pemberi
fatwa) 2. Pemimpin negara
dan perangkatnya
Ibnu Abbas,
“Ulil Amri=ulama”
• An-Nisak 4:115
• {
ِ لﯾ ِ ﺑ َ ﺳ َ رْﯾ َ ﻏ ْ ﻊِ ﺑﱠ ﺗَﯾ َ و ى َ دُﮭْ ﻟا ُﮫَ ﻟ َ نﱠﯾَﺑَ ﺗﺎَ ﻣ ِ د ْ ﻌَﺑ نِ ﻣ َلوُﺳ ﱠ رﻟا ِ قِﻗﺎَ ﺷُﯾ نَ ﻣ َ و اً رﯾ ِ ﺻ َ ﻣ ْ ت َ ءﺂ َ ﺳ َ و َ مﱠ ﻧَﮭ َ ﺟ ِﮫِﻠ ْ ﺻُ ﻧ َ و ﻰﱠ ﻟ َ وَ ﺗﺎ َ ﻣ ِﮫﱢ ﻟ َ وُ ﻧ َ نﯾِﻧِ ﻣ ْ ؤُﻣْ ﻟا • “Barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas
kebenaran baginya dan mengikuti jalan bukan jalan orang-orang mukmin. Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasaianya itu dan Kami masukkan ke dalam Jahannam yang merupakan seburuk-buruk tempat”
• Menurut Al-Ghazali, Surah an-Nisa’ ayat 115,
menunjukkan bahwa Allah menjadikan orang-orang yang tidak mengikuti cara-cara yang ditempuh umat Islam sebagai orang yang menentang Allah dan RasulNya, dan orang yang menentang Allah dan Rasulnya itu hukumnya haram.
• Alasan dari hadits :
• ﺄطﺧﻟا ﻰﻠﻋ ﻊﻣﺗﺟﺗ ﻻ ﻰﺗﻣأ • Umatku tidak akan melakukan kesepakatan terhadap
yang salah (H.R.At.Tarmizy)
• ﺔﻟﻼﺿ ﻰﻠﻋ ﻰﺗﻣأ ﻊﻣﺗﺟﺗ ﻻ • Umatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan
• ﺎﮭﯾﻧﺎطﻋﺄﻓ ﺔﻟﻼﺿ ﻰﻠﻋ ﻰﺗﻣأ ﻊﻣﺗﺟﺗ ﻻأ ﷲ تﻟﺄﺳ و • Saya mohon kepada Allah agar umatku tidak sepakat
melakukan kesesatan, lalu Allah mengabulkannya ((H.R.Ahamad dan Thabrani)
8
•
Menurut Abdul Wahab Khallaf : bahwa suatu
hukum yang telah disepakati seluruh mujtahid
sebenarnya merupakan hukum umat Islam
seluruhnya. Apabila seluruh umat telah
sepakat, maka tidak ada alasan menolaknya.
Pendapat Ulama ttg Ijma’ Sukuti
• Malikiyah, Syafi’iyah dan Abu Bakar Al-Baqillani, berpendapat, ijma’ sukuti bukanlah ijma’ dan tidak dapat dijadikan hujjah.
• Mayoritas ulama Hanafiyah dan Imam Ahmad, berpendapat, ijma’ sukuti bisa dijadikan hujjah yang qath’iy.
• Al-Juba’iy (dari Muktazilah), ijma’ sukuti bisa dikatakan ijma’ apabila mujtahid yang menyepakti hukum tersebut telah habis (meninggal semua), karena bila mujtahid (yang diam) dalam persoalan itu masih hidup,mungkin saja sebelum mereka wafat, ada yang membantah hukum tsb.
•
Al-Amidi, Ibnu Hajib, Al-Karkhi,
berpendapat,ijma’ sukuti tidak bisa
dikatakan ijma’, tetapi dapat dikatakan
hujjah yang statusnya zhanniy.
Pendapat Ulama Ttg Ijma’ Sukuti Al-Juba’iy Dari Muktazilah Jumhur Hanafiyah & Ahmad Malikiyah, Syafi’iyah Al-Baqilani Ijma’ sukuti bukan ijma, Tdk bisa Menjadi hujjah Al-Amidi, Al-Kharkhi Ibnu Hajib Bisa dijadikan Hujjah Yang Qath’iy Ijma’ sukuti bukan ijma’. tapi bisa jadi
hujjah Yang zhanniy Bisa jadi ijma’,
Jika ulama-ulama masa itu belum wafat
10 • Alasan Hanafi dan Hanabilah hanya melalui akal
(logika).
• 1. Diamnya para ulama, setelah mengetahui hukum hasil ijtihad para ulama, adalah setelah mempelajari dan menganalisa hasil ijtihad itu dari berbagai segi.Para ulama ushul menyatakan :
• Artinya, diam saja ketika suatu penjelasan diperlukan, dianggap sebagai penjelasan
2.Adalah tidak dapat diterima (tidak layak)
jika para ahli fatwa diam saja ketika ada
mendengar fatwa ulama lain.
•
2.Adalah tidak dapat diterima (tidak layak)
jika para ahli fatwa diam saja ketika ada
mendengar fatwa ulama lain.
• Jumhur ulama yang menolak kehujjahan ijma’ sukuti mengatakan bahwa rukun dan syarat ijma’ adalah kesepakatn seluruh mujtahid yang hidup di zaman terjadinya ijma’ tersebut, dan masing-masing mereka terlibat membicarakan hukum yang ditetapkan. Sedangkan ijma’ sukuti merupakan pendapat pribadi yang disebarluaskan, sementara mujtahid lainya diam saja. Diamnya mujtahid tidak bisa dianggap sebagai suatu persetejuan. Maka status ijma’ sukuti hanyalah zhanniy.
Kemungkinan terjadinya Ijma’
• Mayoritas Ulama,”Tidaklah sulit untuk melakukan ijma’, bahkan secara aktual ijma’ telah ada. Mereka mencontohkan pembagian waris bagi nenek sebesar 1/6 dari harta warisan dan larangan menjual makanan yang belum ada di tangan penjual.
• Tetapi Ulama : Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Siapa yang mengklaim adanya ijma’, dia sesunguhnya telah berdusta, karena mungkin saja ada mujtahid yang tidak setuju, karena itu sangat sulit mengetahui adanya ijma’ tersebut.
• Ulama kontemporer (M.Abu Zahroh, A.Wahhab Khallaf dan Khudery Beik,”Ijma’ yang mungkin terjadi hanyalah di masa sahabat, adapun ijma’ di masa sesudahnya tidak mungkin terjadi, karena luasnya wilayah Islam dan tidak mungkin mengumpulkan seluruh ulama pada satu tempat
12