• Tidak ada hasil yang ditemukan

Partus Prematurus Imminens

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Partus Prematurus Imminens"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

Responsi Kasus

PARTUS PREMATURUS IMMINENS

Disusun Oleh :

Sales Pousor G99141169

Jinan Fairuz AR G99141172 Elisabeth Dea R G99142078

Pembimbing :

dr. Eric Edwin Y, SpOG

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD Dr. MOEWARDI

SURAKARTA

2015

(2)

Abstrak

Partus Prematurus Imminens adalah persalinan yang berlangsung pada umur kehamilan 20 – 37 minggu dihitung dari hari pertama menstuasi terakhir (HPMT). Persalinan prematur berpotensi meningkatkan kematian perinatal sekitar 65-67%, umumnya berkaitan dengan berat badan lahir rendah. Indonesia memiliki angka kejadian partus prematurus sekitar 19% dan merupakan penyebab utama kematian perinatal.

Seorang G2P1A0, 23 tahun, usia kehamilan 34+3 minggu, datang dengan rujukan dari PKM Mojogedang dengan keterangan hamil 34+3 minggu. Pasien merasa hamil 8 bulan. Kenceng-kenceng teratur sudah dirasakan sejak 12 jam sebelum masuk rumah sakit. Air kawah belum dirasakan keluar, lendir darah (-). Gerakan janin masih dirasakan. Pada pemeriksaan abdomen : supel, nyeri tekan (-), teraba janin tunggal, intrauterin, memanjang, punggung di kanan, presentasi kepala, kepala belum masuk panggul, His (+) 2x dalam 10 menit, lamanya 30 detik, DJJ (+) 150x/menit reguler, TFU 30 cm. Pada pemeriksaan genital : v/u tenang, dinding vagina dalam batas normal, portio lunak mencucu di belakang, effacement 20%, belum ada pembukaan, kepala turun di Hodge I, kulit ketuban dan penunjuk belum dapat dinilai, AK (-), STLD (-). Pada pemeriksaan USG tampak janin tunggal, intrauterin, presentasi kepala, DJJ (+), FB  BPD: 8.82 cm, AC: 31.1 cm, FL: 6.80 cm, EFBW: 2632 gram, plasenta insersi di corpus grade II, air ketuban kesan cukup, tak tampak kelainan kongenital mayor, kesan janin dalam keadaan baik.

Pasien diterapi secara konservatif dengan mempertahankan kehamilan dan medikamentosa dengan tokolitik yaitu terbutalin sulfat 2 ampul dalam 500 cc NaCl.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dapat ditegakkan diagnosis Partus Prematurus Imminens (PPI).

(3)

BAB I PENDAHULUAN

Menurut WHO kematian ibu adalah kematian seorang wanita saat hamil atau sesudah berakhirnya kehamilan oleh sebab apapun, karena tuanya kehamilan dan tindakan yang dilakukan untuk mengakhiri kehamilan. Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih sangat tinggi. Gambaran penurunan AKI menurut Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) dari tahun 1994, 1997, sampai 2000 adalah 390/ 100.000 kelahiran hidup, 334/ 100.000 kelahiran hidup, dan 307/ 100.000 kelahiran hidup.

Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan salah satu indikator untuk mengetahui derajat kesehatan di suatu negara seluruh dunia. AKB di Indonesia masih sangat tinggi, menurut hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) bahwa AKB di Indonesia pada tahun 2009 mencapai 31/1000 KH (kelahiran hidup). Apabila dibandingkan dengan target dalam Millenium Development Goals (MDGs) ke-4 tahun 2015 yaitu 17/1000 KH, ternyata AKB di Indonesia masih sangat tinggi. Angka Kematian Bayi (AKB) di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sebesar 10,25/1.000 kelahiran hidup, angka kematian ini meningkat bila dibandingkan dengan tahun 2008 sebesar 9,17/1.000 kelahiran hidup (Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2009).

Partus prematurus dapat diartikan sebagai dimulainya kontraksi uterus yang disertai dengan perdarahan dan dilatasi serviks serta turunnya kepala bayi pada wanita hamil yang lama kehamilannya kurang dari 37 minggu (Oxorn, 2010). Partus prematurus terjadi pada 7-10 % kehamilan sebelum minggu ke-37, 3-4 % kehamilan sebelum minggu ke-34 dan 1-2 % kehamilan sebelum minggu ke-32. Berat janin pada partus prematurus antara 1000 sampai 2500 gram.

Persalinan prematur berpotensi meningkatkan kematian perinatal sekitar 65-67%, umumnya berkaitan dengan berat badan lahir rendah (Nugroho, 2012). Indonesia memiliki angka kejadian partus prematurus sekitar 19% dan merupakan

(4)

penyebab utama kematian perinatal (Manuaba, 2004). Kelahiran di Indonesia diperkirakan sebesar 5.000.000 orang per tahun, maka dapat diperhitungkan kematian bayi 56/1000 kelahiran hidup, menjadi sekitar 280.000 per tahun yang artinya sekitar 2,2-2,6 menit bayi meninggal. Penyebab kematian tersebut antara lain asfiksia (49-60%), infeksi (24-34%), BBLR (15-20%), trauma persalinan (2-7%), dan cacat bawaan (1- 3%).

Angka kematian ibu dan bayi merupakan tolak ukur dalam menilai derajat kesehatan suatu bangsa, oleh karena itu pemerintah sangat menekankan untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi melalui program-program kesehatan. Dalam pelaksanaan program kesehatan sangat dibutuhkan sumber daya manusia yang kompeten, sehingga apa yang menjadi tujuan dapat tercapai.

(5)

TINJAUAN PUSTAKA

I. PARTUS PREMATURUS IMMINENS A. Definisi

Partus Prematurus Imminens adalah persalinan yang berlangsung pada umur kehamilan 20 – 37 minggu dihitung dari hari pertama menstuasi terakhir (HPMT). Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa bayi premature adalah bayi yang lahir pada usia kehamilan 37 minggu atau kurang.

Menurut Wibowo (1997), persalinan prematur adalah kontraksi uterus yang teratur setelah kehamilan 20 minggu dan sebelum 37 minggu , dengan interval kontraksi 5 hingga 8 menit atau kurang dan disertai dengan satu atau lebih tanda berikut: (1) perubahan serviks yang progresif (2) dilatasi serviks 2 sentimeter atau lebih (3) penipisan serviks 80 persen atau lebih. Menurut Mochtar (1998) partus prematurus yaitu persalinan pada kehamilan 28 sampai 37 minggu, berat badan lahir 1000 sampai 2500 gram.

Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI di Semarang tahun 2005 menetapkan bahwa persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi pada usia kehamilan 22-37 minggu.

B. Epidemiologi

Pemicu obstetri yang mengarah pada PPI antara lain: (1) persalinan atas indikasi ibu ataupun janin, baik dengan pemberian induksi ataupun seksio sesarea; (2) PPI spontan dengan selaput amnion utuh; dan (3) PPI dengan ketuban pecah dini, terlepas apakah akhirnya dilahirkan pervaginam atau melalui seksio sesarea. Sekitar 30-35% dari PPI berdasarkan indikasi, 40-45% PPI terjadi secara spontan dengan selaput amnion utuh, dan 25-30% PPI yang didahului ketuban pecah dini (Harry dkk, 2010).

Konstribusi penyebab PPI berbeda berdasarkan kelompok etnis. PPI pada wanita kulit putih lebih umum merupakan PPI spontan dengan selaput amnion

(6)

utuh, sedangkan pada wanita kulit hitam lebih umum didahului ketuban pecah dini sebelumnya. PPI juga bisa dibagi menurut usia kehamilan: sekitar 5% PPI terjadi pada usia kehamilan kurang dari 28 minggu (extreme prematurity), sekitar 15% terjadi pada usia kehamilan 28-31 minggu (severe prematurity), sekitar 20% pada usia kehamilan 32-33 minggu (moderate prematurity), dan 60-70% pada usia kehamilan 34-36 minggu (near term). Dari tahun ke tahun, terjadi peningkatan angka kejadian PPI, yang sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya jumlah kelahiran preterm atas indikasi (Harry dkk, 2010).

C. Etiologi dan Faktor Resiko 1. Perdarahan desidua basalis

Perdarahan desidua basalis merupakan salah satu penyebab terjadinya abrupsio plasenta atau solusio plasenta. Abrupsio plasenta adalah lepasnya plasenta dengan implantasi normal sebelum waktunya pada kehamilan yang berusia di atas 28 minggu. Perdarahan desidua basalis dan diikuti nekrosis jaringan sekitar yang dapat menyebabkan hasil konsepsi (janin) terlepas dan dianggap benda asing dalam uterus, kemudian uterus berkontraksi untuk mengeluarkan benda asing tersebut. Abrupsio plasenta tersebut dapat menjadi pemicu terjadinya partus prematurus imminens.

Selain itu faktor mekanik seperti overdistensi uterus pada keadaan gestasi yang multiple atau polyhidroamnion juga dapat memicu terjadinya partus prematurus imminens.

2. Inkompetensi serviks

Inkompetensi serviks menggambarkan kelemahan fungsional leher rahim, dengan ketidakmampuan untuk mencapai kehamilan penuh oleh karena defek fungsi maupun struktur pada serviks. serviks adalah struktur anatomi dinamik yang berfungsi selama kehamilan sebagai pertahanan bagi janin dan sekitarnya , dengan vagina dan dunia luar.

(7)

Pada waktu gestasi ini, ia terdiri dari struktur yang kuat yang terdiri dari kolagen, tetapi ketika tiba masanya persalinan, kolagennya mengalami degradasi dan serviks menjadi lunak dan memulai proses untuk dilatasi. Ini mengakibatkan atau waktu pelunakan yang tidak sesuai waktunya dan menjadikan serviks tidak kompeten lagi sehingga terjadinya kelahiran prematur atau kesulitan dalam persalinan (distosia).

Diagnosis insufisiensi serviks hanya dapat dilakukan secara retrospektif pada wanita yang telah mengalami keguguran padapertengahan trimestersebelumnya.Pasien biasanya hadir dengan selaputketubanygmenonjoldisertai dilatasi serviks stadium lanjut pada trimester pertengahan, yang mengarah keketuban pecah diniprematur (PPROM). Kontraksi rahim biasanya jarang atau tidak ada. Pada wanita tanpa riwayat keguguran, kombinasi dari presentasi klinis, pemeriksaan fisik, dan temuan USG yang digunakan. Meskipun sebagian besar pasien tidak menunjukkan gejala, mereka mungkin hadir dengan rasa tekanan padapanggul, kram, sakit punggung, atau peningkatan keputihan.

Diagnosis inkompetensi serviks ditegakkan berdasarkan riwayat satu atau lebih kegagalan kehamilan pada trimester kedua atau riwayat keguguran berulang pada trimester kedua, dengan kerugian masing-masing terjadi pada usia kehamilan lebih awal dari yang sebelumnya dan kurang kontraksi yang menyakitkan atau peristiwa berkaitan lainnya. Namun, dalam penemuan ultrasonografi terakhir, definisi ini sedang ditantang. Terdapat keraguan bahwa pemeriksaan ultrasonografi, terutama transvaginal, bermanfaat sebagai alat bantu untuk mendiagnosis pemendekan serviks atau pencorongan ostium interna dan mendeteksi secara dini serviks yang inkompeten. Secara umum, panjang serviks sebesar 25mm atau kurang antara 16 dan 18 minggu gestasi dibuktikan secara prediktif untuk kelahiran prematur pada wanita dengan riwayat penghentian kehamilan pada midtrimester.

(8)

3. Infeksi maternal

Wanita yang memiliki vaginosis bakterialis, yang didefinisikan sebagai berkurangnya spesies lactobasilus yang normalnya ada dan peningkatan masig organisme lain, termasuk G. vaginalis, bacteroides species, mobiluncus species, U. urealyticum, dan M. hominis, telah melipatgandakan resiko persalinan prematur spontan. Tidak diketahui apakah vaginosis bakterialis bisa menyebabkan persalinan prematur jika organisme tidak naik ke atas ke uterus. Vaginosis bakterialis berhubungan dengan meningkatnya konsentrasi elastase, musinase dan sialidase dalam vagina dan serviks. Namun, karena sebagian besar wanita yang memiliki persalinan prematur spontan dini memiliki organisme dalam uterusnya, tidak diperlukan untuk meminta kerja lokal dari infeksi vagina sebagai penyebab persalinan prematur. Lebih sering bahwa vaginosis bakterialis merupakan marker kolonisasi intra uterine dengan organisme yang sama. Jika infeksi vagina tunggak (tidak ada infeksi yang naik) atau infeksi seperti periodontitis, infeksi saluran kemih bisa menyebabkan persalinan prematur spontan, mekanismenya tidak diketahui. Salah satu penjelasan yang memungkinkan adalah aktivasi respon peradangan lokal oleh sitokin dan endotoksin yang datang dalam darah dari vagina ke uterus.

Invasi bakteri rongga koriodesidua, yang bekerja melepaskan endotoksin dan eksotoksin, mengaktivasi desidua dan membran janin untuk menghasilkan sejumlah sitokin, termasuk including tumor necrosis factor, interleukin-1, interleukin-1ß, interleukin-6, interleukin-8, dan granulocyte colony-stimulating factor.selanjutnya, cytokines, endotoxins, dan exotoxins merangsang sistesis prostaglandin dan pelepasan dan juga mengawali neutrophil chemotaxis, infiltrasi, dan aktivasi, yang memuncak dalam sistesis dan pelepasan metalloproteases dan zat bioaktif lainnya. Prostaglandin merangsan kontraksi uterus sedangkan

(9)

metalloprotease menyerang membran korioamnion yang menyebabkan pecah ketuban. Metalloprotease juga meremodeling kolagen dalam serviks dan melembutkannya.

Jalur yang lain mungkin memiliki peranan yang sama baik. Sebagai contoh, prostaglandin dehydrogenase dalam jaringan korionik menginaktivasi prostaglandin yang dihasilkan dalam amnion yang mencegahnya mencapai miometrium dan menyebabkan kontraksi. Infeksi korionik menurunkan aktivitas dehidrogenase ini yang memungkinkan peningkatan kuantitas prostaglandin untuk mencapai miometrium. Jalus lain dimana infeksi menyebabkan persalinan prematur melibatkan janin itu sendiri. Pada janin dengan infeksi, peningkatan hipotalamus fetus dan produksi corticotropin-releasing hormone menyebabkan meningkatnya sekresi kortikotropin janin, yang kembali meningkatkan produksi kortisol adrenal fetus. Meningkatnya sekresi kortisol menyebabkan meningkatnya produksi prostaglandin. Juga, ketika fetus itu sendiri terinfeksi, produksi sitokin fetus meningkat dan waktu untuk persalinan jelas berkurang. Namun, kontribusi relatif kompartemen maternal dan fetal terhadap respon peradangan keseluruhan tidak diketahui.

(10)

4. Insufisiensi uteroplasenta

Salah satu penyebab infusisiensi uteroplasenta yaitu hipertensi pada kehamilan, salah satunya yaitu preeklampsia. Kejadian kelahiran preterm yang dipengaruhi oleh preeklamsi/eklamsi terjadi akibat spasmus pembuluh darah. Menurunya aliran darah ke plasenta mengakibatkan gangguan fungsi plasenta. Spasme arteriol yang mendadak dapat menyebabkan asfiksia berat. Jika spasme berlangsung lama akan mengganggu pertumbuhan janin. Jika terjadi peningkatan tonus dan kepekaan uterus terhadap rangsangan dapat menyebabkan partus prematurus. Menurunnya aliran darah ke plasenta mengakibatkan gangguan fungsi plasenta. Pada hipertensi yang agak pertumbuhan janin terganggu, pada hipertensi yang lebih pendek bisa terjadi gawat janin sampai kematian karena kekurangan oksigensi. Kenaikan tonus uterus dan kepekaan terhadap perangsang sering didapatkan pada preeklamsi dan eklamsi, sehingga mudah terjadi partus prematurus.

Walaupun terkadang prediksi waktu kelahiran pada persalinan preterm tidak tepat, berbagai metode maternal lain dan sifat kehamilan dapat menjadi salah

(11)

satu bahan perbandingan. Yang terpenting, kondisi dari janin yang dilahirkan menjadi bagian penting dalam persalinan, dimana kondisi janin akan menmpengaruhi keadaan lingkungan uterus dan sekaligus mengaktivasi jalur pasenta dan janin.

Beberapa faktor risiko yang sering menimbulkan persalinan preterm termasuk kondisi demografi (seperti ras kulit hitam, usia ibu (< 17 tahun atau > 35 tahun), sosial ekonomi yang rendah, dan berat badan ibu yang kurang sebelum kehamilan) budaya dan prilaku, riwayat persalinan permatur sebelumnya. Persalinan preterm juga berhubungan dengan kondisi psikologis ibu (seperti kematian anggota keluarga terdekat, hubungan yang tdak harmonis dengan keluarga, tetangga, ataupun lingkungan pekerjaan).

1. Faktor resiko PPI menurut Wiknjosastro (2010) yaitu :

a. Janin dan plasenta : perdarahan trimester awal, perdarahan antepartum, KPD, pertumbuhan janin terhambat, cacat bawaan janin, gemeli, polihidramnion

b. Ibu : DM, pre eklampsia, anemia, HT, ISK, infeksi dengan demam, kelainan bentuk uterus, riwayat partus preterm atau abortus berulang, inkompetensi serviks, pemakaian obat narkotik, trauma, perokok berat, kelainan imun/resus

2. Namun menurut Rompas (2004) ada beberapa resiko yang dapat menyebabkan partus prematurus yaitu :

1) Faktor resiko mayor : Kehamilan multiple, hidramnion, anomali uterus, serviks terbuka lebih dari 1 cm pada kehamilan 32 minggu, serviks mendatar/memendek kurang dari 1 cm pada kehamilan 32 minggu, riwayat abortus pada trimester II lebih dari 1 kali, riwayat persalinan pretem sebelumnya, operasi abdominal pada kehamilan preterm, riwayat operasi konisasi, dan iritabilitas uterus.

(12)

2) Faktor resiko minor : Penyakit yang disertai demam, perdarahan pervaginam setelah kehamilan 12 minggu, riwayat pielonefritis, merokok lebih dari 10 batang perhari, riwayat abortus pada trimester II, riwayat abortus pada trimester I lebih dari 2 kali.

Pasien tergolong risiko tinggi bila dijumpai satu atau lebih faktor risiko mayor; atau dua atau lebih faktor risiko minor atau keduanya.

Namun selain faktor reksiko diatas ditemukan ada faktor resiko yang menyertai seperti status sosial ekonomik yang rendah, kelompok- kelompok etnik tertentu, wanita yang kecil, merokok, bakteriuria dan perawatan prenatal yang jelek.

Sedangkan dari kelainan obstetrik, sejumlah kelainan obstetrik, medis dan anatomis berkaitan dengan angka kejadian persalinan preterm seperti:

No Risk Factor Problem

1 Obstetrik complication In previous or current

pregnancy (severe hypertensive state of pregnancy, anatomic disorders of the placenta such as abrutio placenta, placenta previa, circumvalallate

placenta), placental

insufficiency, preterm rupture

of the membrane,

polyhydramnion or

oligohydroamnion), previous preterm or low birth weight infant, low socioeconomic status, maternal age < 18 years

(13)

or > 40 years, low prepragnancy weight, non-caucasian race, multiple pregnancy, short interval between pregnancy (3 months), inadequate or excessive weight gain during pregnancy, previous abortion, previous laceration of cervix uterus.

2 Medical Complication Pulmonary systemic,

hypertension Renal disease, Heart disease, infection (pyelonephritis, acute systemic infection, genital infection such as gonorrhea, herpes simplex, mycoplasmosis), fetotoxic infection (cytomegalovirus infection, toxoplasmosis, listerioisis), maternal systemic

infection (pneumonia,

influenza, malaria), maternal

intraabdominal sepsis

(appendicitis, cholecystitis, diverticulitis), heavy cigarette smoking, alcoholism or drug addiction, severe anemia, malnutrition or obesity, leaking benign cystic teratoma,

(14)

perforated gastric or duodenal ulcer, adnexal torsion, maternal trauma or burns.

3 Surgical complication Any intra abdominal procedure, conization cervix, previous incision in uterus or cervix (like sectio caesaria)

4 Genital-tract anomalie Bicomunate, subseptate

unicomutate uterus, congenital cervical incompetency

Metode untuk menilai kemungkinan terjadinya persalinan preterm adalah dengan

a. Memonitor aktivitas uterus : home uterine activity monitoring (HUAM) Pemeriksaan HUAM (home uterine activity monitoring) sudah tidak lagi dilakukan karena telah ditemukannya pemeriksaan dengan tokodinamometri dalam menilai kontraksi uterus pada persalinan preterm. b. Menilai estriol saliva

Untuk pemeriksaan persalinan preterm dengan menggunakan pengukuran saliva estriol didasarkan pada produksi kelenjar adrenal yang menghasilkan dehydroepiandrosterone akan meningkat pada kehamilan sehingga menjadi standar pengukuran maternal estriol. Namun, maternal estriol dipengaruhi dengan kondisi diurnal tubuh yang berubah, dapat ditekan apabila mengkonsumsi bethametasone, sehingga dapat mempengaruhi penilaian maternal estriol yang diinginkan.

(15)

Pengukuran FFN didasarkan pada membran protein dari sel desidual plasenta, dimana ketika FFN meningkat maka kemungkina telah terjadinya kondisi yang mengarah ke persalinan preterm.

d. Pengukuran panjang serviks

Untuk pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah dengan mengukur panjang dari serviks. Umumnya pertumbuhan serviks yang masih pendek pada awal atau akhir trimester kedua akan mempengaruhi terjadinya persalinan preterm.

3. Evaluasi Pre-konsepsi

Ketika risiko persalinan pretem pada pasien multipara menjadi sulit untuk diatasi, adanya riwayat persalinan sebelumnya dan kemampuan psikologis ibu menjadi salah satu bagian terpenting untuk proses kehamilan berikutnya. Melakukan proses identifikasi sebelumnya pada proses pre-konsepsi akan dapat membantu dalam menentukan kearah perjalanan berikutnya. Telah diketahui bahwa sekitar 30% seorang ibu akan dapat mengalami kehamilan kembali pada rentang 2 tahun setelah persalinannya, dan ini menjadi salah satu standar intervensi tindakan berikutnya.

4. Trauma Serviks

Penyebab tersering terjadinya persalinan preterm adalah perlukaan pada daerah serviks, yang bisa diakibatkan karena tindakan operatif pada proses dysplasia uterus, atau akibat persalinan. Komplikasi yang tersering akibat proses aborsi bahwa pada masa 10 minggu kehamilan adalah terjadinya persalinan preterm akibat serviks yang telah mengalami dilatasi sampai 10 mm. Namun, dapat juga ditemukan bahwa persalinan preterm dapat muncul pada terminasi elektif trimester kedua atau lebih. Dilatasi serviks dengan diperantarai oleh laminaria atau kontraksilitas serviks seperti penggunaan misoprostol akan dapat melukai serviks daripada tindakan mekanikal dilatasi manual biasa.

(16)

Displasia serviks harus dapat ditangani dengan tepat ketika diagnosa telah ditegakkan. Namun, tindakan dalam penanganan diplasia serviks akan meningkatkan kecenderungan persalinan preterm sebanyak 200-300%. Risiko akan diperberat apabila tindakan operatif yang melukai permukaan serviks telah dilakukan.

Trauma pada persalinan akan mempermudah terjadinya kesulitan pada kala III atau mempermudah persalinan preterm. Ketika seorang ibu memiliki riwayat laserasi serviks, umumnya mereka tidak menyadari bahwa kecenderungan terjadinya laserasi pada serviks menjadi lebih tinggi. Defek sekitar 50% pada serviks akan meningkatkan terjadinya persalinan preterm pada trimester kedua. Akurasi pengukuran gelombang ultrasonic transvaginal akan dapat membantu dalam mendiagnosa kemungkinan terjadinya persalinan preterm terlebih dahulu. 5. Infeksi Saluran Genital

Ketika seorang terdiagnosa mengalami infeksi baik gonorrhea, clamydia atau trichomoniasis, kecenderungan mudah mengalami infeksi berulang ada sekitar 25% pada rentang 12 bulan, namun bagaimana hubungannya mengakibatkan persalinan preterm masih membingungkan. Bakterial vaginalis merupakan sindrom penyakit vaginal yang ada hubungan dengan flora normal vagina. Diagnosis bacterial vaginalis haruslah didasarkan pada hasil bakteri gram positif sebanyak 3-4 dengan menggunakan pemeriksaan sederhana dan diagnostik standar (yaitu discharge putih keabuan yang homogen, adanya clue cell > 20% pada pemeriksaan saline, dan pH vagina > 4,50).

6. Riwayat Persalinan Sebelumnya

Riwayat persalinan preterm merupakan salah satu kategori faktor risiko dalam persalinan. Riwayat persalinan preterm sebelumnya menjadi salah satu penyebab kemungkinan terjadinya persalinan preterm pada persalinan berikutnya. Dengan acuan sebanyak 10-12% risiko yang ada, risiko persalinan preterm akan

(17)

meningkat sebanyak 15%, 30%, dan 45% apad persalinan berikutnya. Konseling ore-konsepsi akan membantu ibu untuk menentukan tindakan apa yang dilakukan pada kehamilannya. Waktu yang baik adalah pada minggu ke-4 atau ke-6 setelah persalinan preterm yang dialami oleh ibu.

Lyke dan kawan-kawan menemukan bahwa persalinan preterm spontan, pre eklampsia, atau deviasi pertumbuhan fetal pada kehamilan awal meningkatkan kecenderungan yang sama untuk kehamilan berikutnya, terlebih bila disertai dengan komplikasi. Berdasarkan penelitian dengan menggunakan metode Kohort didapatkan sebanyak 536.419 wanita Inggris, dengan rentang kehamilan antara 32-36 minggu, akan meningkatkan risiko terjadinya persalinan preterm. Pada kehamilan berikutnya dari 2,7% menjadi 14,7% (dengan odds ratio (OR) 6,12; dan Confidence interval (CI) 95% 5,84-6,42) dan meningkat pada kehamilan dengan pre-eklampsia dari 1,1% menjadi 1,8% (OR 1,60; 95% CI, 1,41-1,81). Pada kehamilan pertama rentang usia sebelum 28 minggu akan meningkat pada kehamilan berikutnya sebanyak 26,0% (OR 13,1; 95% CI, 10,8-15,9) dan meningkat dengan keadaan pre-eklampsia yang menyertai yaitu 3,2% (OR 2,96; 95% CI, 1,80-4,88).

Risiko pre-eklampsia pada kehamilan pertama dengan rentang kehamilan antara 32 dan 36 minggu meningkat di kehamilan kedua yaitu dari 14,1% menjadi 25,3% (OR 2,08; 95% CI, 1,87-2,31) dan meningkatkan risiko kecenderungan berat badan janin rendah yaitu dari 3,1% menjadi 9,6% (OR 2,82; 95% CI, 2,38-3,35). Deviasi pertumbuhan janin pada pre-eklampsia di kehamilan pertama akan meningkatkan risiko ke kehamilan berikutnya yaitu dari 1,1% menjadi 1,85 (OR 1,62; 95% CI, 1,34-1,96).

7. Keguguran Pada Trimester Kedua

Keguguran pada trimester kedua dapat disebabkan oleh berbagai penyebab (seperti sifilis), sindrom antifosfolipid, diabetes, gangguan genetic, kelainan

(18)

multiple congenital, trauma serviks, atau inkompetensinya serviks. Dengan pendataan rekam medic yang tepat akan membantu dalam menilai kemungkinan penyebab pasti dari keguguran pada trimester kedua.

D. Diagnosis

Beberapa kriteria dapat dipakai sebagai diagnosis ancaman PPI (Wiknjosastro, 2010), yaitu:

1. Usia kehamilan antara 20 dan 37 minggu atau antara 140 dan 259 hari, 2. Kontraksi uterus (his) teratur, yaitu kontraksi yang berulang sedikitnya

setiap 7-8 menit sekali, atau 2-3 kali dalam waktu 10 menit,

3. Merasakan gejala seperti rasa kaku di perut menyerupai kaku menstruasi, rasa tekanan intrapelvik dan nyeri pada punggung bawah (low back pain), 4. Mengeluarkan lendir pervaginam, mungkin bercampur darah,

5. Pemeriksaan dalam menunjukkan bahwa serviks telah mendatar 50-80%, atau telah terjadi pembukaan sedikitnya 2 cm,

6. Selaput amnion seringkali telah pecah,

7. Presentasi janin rendah, sampai mencapai spina isiadika.

Kriteria lain yang diusulkan oleh American Academy of Pediatrics dan The

American Collage of Obstetricians and Gynecologists (1997) untuk

mendiagnosis PPI ialah sebagai berikut:

1. Kontraksi yang terjadi dengan frekuensi empat kali dalam 20 menit atau delapan kali dalam 60 menit plus perubahan progresif pada serviks, 2. Dilatasi serviks lebih dari 1 cm,

3. Pendataran serviks sebesar 80% atau lebih.

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk mendukung ketepatan diagnosis PPI :

1. Pemeriksaan Laboratorium: darah rutin, kimia darah, golongan ABO, faktor rhesus, urinalisis, bakteriologi vagina, amniosentesis : surfaktan, gas dan PH darah janin.

(19)

2. USG untuk mengetahui usia gestasi, jumlah janin, besar janin, kativitas biofisik, cacat kongenital, letak dan maturasi plasenta, volume cairan tuba dan kelainan uterus

E. Penatalaksanaan

Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada PPI, terutama untuk mencegah morbiditas dan mortalitas neonatus preterm ialah:

1. Pencegahan Partus Prematurs

a. Dilaksanakan perawatan prenatal, diet, pemberian vitamin dan penjagaan hygiene.

b. Aktivitas (kerja, perjalanan, coitus) dibatasi pada pasien-pasien dengan riwayat partus pre-matur.

c. penyakit- penyakit demam yang akut harus segara diobati secara aktif dan segera.

d. keaddan seperti toksemia dan diabetes memerlukan kontrol ang seksama.

e. tindakan pembedahan abdomen yang elektif dan tindakan operasi gigi yang berat harus di tunda.

2. Tindakan Khusus

a. pasien-pasien dengan kehamilan kembar harus istirahat di tempat tidur sejak minggu ke -28 hingga minggu ke 36 atau ke 38.

b. Pasien dengan Fibromyoma uteri bila timbul keluhan dirawat dengan istirahat ditempat tidur dan diberikan analgesia, tindakan pembedahan perlu ditunda sebisa mungkin.

c. pada pasien dengan placenta previa perlu dirawat denga istirahat total dan transfusi darah untuk menunda kelahiran bayi sampai tercapai ukuran yang viabal. Namun apabila terlajdi perdarahan hebat sehingga mengancam kondisi ibu dan bayi maka perlu dilakukan tindakan pembedahan.

(20)

d. sectio seacarea elektif dan ulangannya hanya dilakukan apabila kita yakin bahwa bayi dusah cukup besar. Kerugian pada pembedahan yang terlalu dini dapat menyebabkan kelahiran bayi kecil yang tidak bisa bertahan hidup di luar kandungan.

e. obat-obatan yang dapat digunakan untuk menghintikan persalinan. Penggunaan tokolitik masih dianggap tidak terlalu membantu dalam mengatasi persalinan preterm. Prinsip utama yang diinginkan dalam pengguanaan tokolitik adalah penggunaannya yang lebih dari 48 jam untuk mencapai manfaat maksimal. Ketika tokolitik dianggap telah berhasil dalam waktu 48 jam dengan membrane yang telah intak, beberapa penelitian menyarankan sebaiknya tokolitik diberikan dalam kondisi yang memang memerlukan istirahat total atau dalam keadaan hidrasi.

Ada beberapa golongan obat-obatan tokolitik yang sudah tersedia. Terapi tokolitik juga dapat digunakan untuk komplikasi maternal. Obat-obatan ini hanya digunakan jika lebih banyak keuntungan daripada resiko yang akan diperoleh. Kontraindisi tokolitik termasuk eklampsia atau preeklampsia tingan, kematian fetal, chorioamnionitis, gangguan pada maturitas fetal dan hemodinamik maternal.

Kriteria untuk menggunakan terapi tokolitik bervariasi untuk tiap-tiap ahli. Kontraksi uterus regular dan perubahan serviks (dilatasi) dapat menjadi kriteria utama yang banyak dipakai. Dilatasi kurang dari 3 cm berhubungan dengan hasil efektifitas terapi yang minimal. Terbutaline oral (Bricanyl) yang diberikan setelah tokolitik parenteral tidak berhubungan dengan perpanjangan masa kehamilan atau mengurani kejadian dari persalinan preterm yang ada.

3. Akselerasi Pematangan Fungsi Paru Janin Dengan Kortikosteroid, Pemberian terapi kortikosteroid dimaksudkan untuk pematangan surfaktan paru janin, menurunkan risiko respiratory distress syndrome

(21)

(RDS), mencegah perdarahan intraventrikular, necrotising enterocolitis, dan duktus arteriosus, yang akhirnya menurunkan kematian neonatus. Kortikosteroid perlu diberikan bilamana usia kehamilan kurang dari 35 minggu.

Obat yang diberikan ialah deksametason atau betametason. Pemberian steroid ini tidak diulang karena risiko pertumbuhan janin terhambat. Pemberian siklus tunggal kortikosteroid ialah:

a. Betametason 2 x 12 mg i.m. dengan jarak pemberian 24 jam. b. Deksametason 4 x 6 mg i.m. dengan jarak pemberian 12 jam.

Selain yang disebutkan di atas, juga dapat diberikan Thyrotropin

releasing hormone 400 ug/ iv, yang akan meningkatkan kadar tri-iodothyronine yang kemudian dapat meningkatkan produksi surfaktan.

Ataupun pemberian suplemen inositol, karena inositol merupakan komponen membran fosfolipid yang berperan dalam pembentukan surfaktan.

4. Pencegahan Terhadap Infeksi Dengan Menggunakan Antibiotik. Mercer dan Arheart (1995) menunjukkan, bahwa pemberianantibiotika yang tepat dapat menurunkan angka kejadian korioamnionitis dan sepsis neonatorum. Antibiotika hanya diberikan bilamana kehamilan mengandung risiko terjadinya infeksi, seperti pada kasus KPD. Obat diberikan per oral, yang dianjurkan ialah eritromisin 3 x 500 mg selama 3 hari. Obat pilihan lainnya ialah ampisilin 3 x 500 mg selama 3 hari, atau dapat menggunakan antibiotika lain seperti klindamisin. Tidak dianjurkan pemberian ko-amoksiklaf karena risiko necrotising enterocolitis.

5. Menghambat Proses Persalinan Preterm

Cara menghambat proses persalinan preterm dengan pemberian tokolitik, yaitu :

(22)

a. Kalsium antagonis: nifedipin 10 mg/oral diulang 2-3 kali/jam, dilanjutkan tiap 8 jam sampai kontraksi hilang. Obat dapat diberikan lagi jika timbul kontaksi berulang. dosis maintenance 3x10 mg.

b. Obat ß-mimetik: seperti terbutalin, ritrodin, isoksuprin, dan salbutamol dapat digunakan, tetapi nifedipin mempunyai efek samping yang lebih kecil. Salbutamol, dengan dosis per infus: 20-50 µg/menit, sedangkan per oral: 4 mg, 2-4 kali/hari (maintenance) atau terbutalin, dengan dosis per infus: 10-15 µg/menit, subkutan: 250 µg setiap 6 jam sedangkan dosis per oral: 5-7.5 mg setiap 8 jam (maintenance). Efek samping dari golongan obat ini ialah: hiperglikemia, hipokalemia, hipotensi, takikardia, iskemi miokardial, edema paru. Terbutalin sulfat merupakan obat yang pemakaian utamanya sebagai bronchodilator pada penyakit asma dan bronkitis kronis, namun obat ini mempunyai kemampuan untuk menekan kontraksi uterus. Obat in tampaknya merupakan preparat yang berkhasiat dan efektif untuk menghambat persalinan. Indikasi untuk melambatkan atau menghentikan pemberian obat tersebut mencakup denyut nadi ibu yang melebihi 140 kali/menit, terjadinya palpitasi yang serius, dan hipotensi. Begitu kontraksi berhenti, infus dipertahankan pada takaran yang berhasil selama 6 jam dan kemudian pelan pelan dikurangi.

c. Sulfas magnesikus: dosis perinteral sulfas magnesikus ialah 4-6 gr/iv, secara bolus selama 20-30 menit, dan infus 2-4gr/jam (maintenance). Namun obat ini jarang digunakan karena efek samping yang dapat ditimbulkannya pada ibu ataupun janin. Beberapa efek sampingnya ialah edema paru, letargi, nyeri dada, dan depresi pernafasan (pada ibu dan bayi).

d. Penghambat produksi prostaglandin: indometasin, sulindac, nimesulide dapat menghambat produksi prostaglandin dengan menghambat cyclooxygenases (COXs) yang dibutuhkan untuk produksi prostaglandin. Indometasin merupakan penghambat COX yang cukup

(23)

kuat, namun menimbulkan risiko kardiovaskular pada janin. Sulindac memiliki efek samping yang lebih kecil daripada indometasin. Sedangkan nimesulide saat ini hanya tersedia dalam konteks percobaan klinis.

Kontraindikasi relatif penggunaan tokolisis ialah ketika lingkungan intrauterine terbukti tidak baik, seperti:

a. Oligohidramnion

b. Korioamnionitis berat pada ketuban pecah dini c. Preeklamsia berat

d. Hasil nonstrees test tidak reaktif e. Hasil contraction stress test positif

f. Perdarahan pervaginam dengan abrupsi plasenta, kecuali keadaan pasien stabil dan kesejahteraan janin baik

g. Kematian janin atau anomali janin yang mematikan

h. Terjadinya efek samping yang serius selama penggunaan beta-mimetik.

F. Komplikasi medis dan obstetrik

Sebanyak 28% persalinan preterm kehamilan tunggal disebabkan oleh beberapa hal (seperti pre eklampsia (50%), gawat janin (25%), akibat IUGR, solution plasenta atau kematian janin), dan sebanyak 72% persalinan preterm dengan atau tanpa disertai ketuban pecah dini.

Prostaglandin E2 dan F2α bekerja dengan modus parakrin untuk merangsang terjadinya kontraksi miometrium.

G. Marker Persalinan Preterm

Sejumlah penelitian telah mencoba untuk mengidentifikasikan sejumlah marker persalinan preterm secara biomekanikal dan klinis serta menghubungkannya dengan sejumlah kasus yang ada. Hasil yang diharapkan adalah munculnya fetal fibronektin dalam secret serviks vaginal, yang bila berarti positif (dengan hasil > 50ng per ml) setelah kehamilan 20 minggu,

(24)

mengidentifikasikan disrupsi sel desidual. Pada tahun 1995, Badan Administrasi Obat-obatan Dan Makanan Amerika Serikat men-sahkan immnunoassay enzimatik fibronektin dapat digunakan untuk skreening persalinan preterm. Pada pasien yang simptomatik, fetal fibronektin, memiliki hasi sensitiviitas yang tinggi (69-93%) dan hasil prediktif negative senilai 99,7% (hal ini berarti hanya ada 1 hasil negatif dari 333 kemungkinan persalinan yang terjadi). Hasil yang positif menandakan bahwa ada kemungkinan sekitar 83% pasien dengan keadaan yang simptomatik.

Tabel 2. Hasil Marker Biomekanikal Prediksi Persalinan Preterm

Marker Test Sensitivity

(%) Specifity (%) PPV NPV Fibronectin Cervical or vaginal14-17 69 to 93 72 to 86 13 to 83 81 to 99 Cytokine (Interleukin-6) Serum5,16 50 73 to 85 47 to 57 67 to 86 Estradiol-17ß Serum6 52 100 100 79 Estriol Salivary7 12 71 to 76 12 to 14 --Progesterone Serum6 71 77 27 77

PPV = Positive Predictive Value; NPV = Negative Predictive Value *-- Values are a summary of ranges noted in the cited articles Information from refferences 5, 6, and 7, and 14 through 17

(25)

BAB III ANALISIS KASUS

Seorang G2P1A0, 23 tahun, umur kehamilan 34+3 minggu datang dengan keluhan kenceng-kenceng sejak 12 jam sebelum masuk rumah sakit. Kenceng-kenceng atau his merupakan salah satu tanda persalinan, dimana seharusnya terjadi pada usia kehamilan aterm, yaitu pada usia kehamilan 38-40 minggu. Namun karena pasien sudah merasakan his teratur pada usia kehamilan antara 20-37 minggu, telah mememenuhi salah satu kriteria diagnosis Partus Prematurus Imminens (Wiknjosastro, 2010).

Partus Prematurus Imminens adalah persalinan yang berlangsung pada umur kehamilan 20 – 37 minggu dihitung dari hari pertama menstuasi terakhir (HPMT) (ACOG, 1995). Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa bayi premature adalah bayi yang lahir pada usia kehamilan 37 minggu atau kurang.

Dari hasil anamnesis pasien mengeluhkan telah mengalami kenceng-kenceng teratur sejak 12 jam yang lalu, namun air ketuban masih belum dirasakan keluar, dan belum merasakan adanya lendir darah. Dari gejala yang dialami pasien tersebut, adanya his teratur ini yang menjadi ancaman terjadinya persalinan dalam usia kehamilan preterm.

Hasil palpasi abdomen menunjukkan janin tunggal intrauterine, memanjang, presentasi kepala, punggung kanan, kepala belum masuk panggul, his (+) 2x/10 menit/ 30 detik, DJJ (+) 150x/menit, TFU 30 cm, TBJ 2635 gram. Dan dari pemeriksaan USG didapatkan plasenta insersi di corpus grade II. Dari hasil pemeriksaan tersebut janin kesan dalam keadaan baik, kecuali pada his ibu yang seharusnya belum muncul di usia kehamilan tersebut..

Sedangkan pada pemeriksaan VT, didapatkan hasil vulva uretra tenang, dinding vagina dalam batas normal, portio lunak mencucu di belakang, belum ada pembukaan, effecement 20%, presentasi kepala, kepala di Hodge I, kulit ketuban dan

(26)

penunjuk belum dapat dinilai, AK (-), STLD (-). Hasil tersebut menunjukkan belum ada tanda persalinan lainnya.

Pasien tidak memiliki riwayat abortus maupun perdarahan sebelumnya, namun ditemukan adanya penyakit anemia sehingga pada tanggal 25-29 Mei 2015 pasien di mondokkan untuk transfusi darah, selain itu pasien termasuk dalam golongan status sosial ekonomik rendah sehingga hal ini dapat menjadi faktor resiko terjadinya partus prematurus imminens pada pasein tersebut.

Karena kondisi janin saat ini masih baik dan masih perlu waktu pematangan hingga usia kehamilan aterm, maka pada pasien ini diperlukan terapi konservatif untuk mempertahankan kehamilannya serta mengurangi his yang sudah ada saat ini. Pada pasien ini perlu diberikan tokolitik, yaitu obat untuk menurunkan kontraksi uterus sehingga menghentikan his yang ada saat ini agar tidak berlanjut terjadinya persalinan di usia kehamilan preterm.

Pada pasien ini diberikan tokolitik terbutaline sulfate. Terbutalin sulfate merupakan obat yang pemakaian utamanya sebagai bronchodilator pada penyakit asma dan bronkitis kronis, namun obat ini mempunyai kemampuan untuk menekan kontraksi uterus. Obat ini tampaknya merupakan preparat yang berkhasiat dan efektif untuk menghambat persalinan.

(27)

DAFTAR PUSTAKA

Dinas Kesehatan Jawa Tengah. 2009. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009.http://www.dinkesjatengprov.go.id/dokumen/profil/2009/Profil_2 009br.pdf (diakses 28 Juni 2015)

Hariadi, R. 2004. Ilmu Kedokteran Fetomaternal. Surabaya : Himpunan Kedokteran Fetomaternal Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia.

Manuaba, I.A.C. dkk. 2004. Gawat Darurat Obstetri Ginekologi & Obstetri

Ginekologi Sosial. Jakarta : EGC.

Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. Nugroho, Taufan. 2012. Buku Ajar Obstetri. Yogyakarta : Nuha Medika.

Oxorn Harry, dkk. 2010. Ilmu Kebidanan Patologi dan Fisiologi Persalinan (Human

Labor and Birth). Yogyakarta : YEM.

Wiknjosastro, H. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka, Sarwono Prawirohardjo.

Gambar

Tabel 2. Hasil Marker Biomekanikal Prediksi Persalinan Preterm

Referensi

Dokumen terkait

Pada kasus ini diagnosis awal IL ditegakkan berdasarkan anamnesis dan manifestasi klinis yaitu adanya riwayat bayi kolodion, ektropion, alopesia sikatrik, hipoplasi kartilago

Diagnosis sferositosis herediter ditegakkan berdasarkan adanya riwayat kuning saat neonatus, anemia, splenomegali, ditemukannya sferosit yang banyak pada pemeriksaan darah tepi,

dengan diagnosis penyakit ... dengan diagnosis penyakit ... Riwayat Kehamilan Riwayat Kehamilan: G .... Kebiasaan Kebiasaan::  Rokok Rokok  Obat-obatan Obat-obatan 

Partisipan yang akan mengikuti penelitian ini harus memiliki kriteria: ibu primipara dengan kehamilan pada trimester 3, tidak pernah keguguran (baik disengaja

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis timbulnya benjolan- benjolan di bagian belakang telinga kiri yang mudah berdarah, tidak nyeri dan tidak gatal, adanya riwayat

Faktor resiko pada ibu hamil meliputi riwayat kehamilan dan persalinan yang sebelumnya kurang baik yaitu riwayat keguguran, perdarahan pasca kelahiran, lahir mati; Ibu hamil

Diagnosis sferositosis herediter ditegakkan berdasarkan adanya riwayat kuning saat neonatus, anemia, splenomegali, ditemukannya sferosit yang banyak pada pemeriksaan darah tepi,

Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Kriteria diagnosis