DETEKSI ANTIBODI PENYAKIT FELINE PANLEUKOPENIA
PADA KUCING DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK ELISA
(Detection of Feline Panleukopenia Antibodies
i
n Cat Using ELISA
Technique)
TATTY SYAFRIATI
Balai Penelitian Veteriner, PO Box 151, Bogor 16114 ABSTRACT
In the year 2002, Feline Panleukopenia (FPL) of cat in Indonesia has been studied and proved for the existence by using serological methods. The methods used were haemagglutination inhibition test (HI) and serum neutralization test (SNT). This paper described ELISA technique for detecting antibody against FPL using 125 cat sera from Jakarta and Bogor areas. The result showed no difference between ELISA technique and SNT which 97 out of 125 (77.6%) sample positives using ELISA and 97 out of 132 (73.48%) samples positives using SNT. Therefore, ELISA technique could be used as an alternative in serological test beside HI and SNT.
Key words: Feline Panleukopenia (FPL), cat, serum neutralization test, enzyme linked-immunoassay (ELISA) ABSTRAK
Pada tahun 2002 keberadaan penyakit Feline Panleukopenia (FPL) pada kucing di Indonesia sudah dapat dibuktikan secara serologik dengan uji hemagglutinasi (HI) dan uji neutralisasi (SNT). Tulisan ini menjabarkan deteksi antibodi terhadap 125 sampel serum kucing yang berasal dari daerah Jakarta dan Bogor dengan menggunakan teknik ELISA. Hasil menunjukkan secara ELISA sera kucing positif sebanyak 97 dari 125 sampel (77,6%) tidak berbeda dengan uji SN dimana sera positif 97 serum dari 132 sampel (73,48%) sehingga dapat disimpulkan teknik ELISA dalam uji serologik FPL dapat digunakan sebagai uji alternatif selain uji HI atau SN.
Kata kunci: Feline Panleukopenia (FPL), kucing, uji serum netralisasi, enzyme linked-immunoassay (ELISA)
PENDAHULUAN
Feline panleukopenia (FPL) merupakan penyakit menular nonzoonosis pada kucing, dengan nama lain Feline distemper, Infectious enteritis, Cat fever, Cat typhoid. FPL merupakan penyakit yang menyerang segala umur kucing dan dapat menimbulkan banyak kematian kucing terutama pada anak kucing dapat mencapai kematian 75%. Anak kucing, kucing sakit dan kucing rumahan yang tidak divaksin adalah lebih rentan tertular dibandingkan dengan kucing tua yang biasanya lebih tahan karena mempunyai kekebalan bawaan atau sudah berulang kali terinfeksi.
Feline panleukopenia (FPL) merupakan penyakit fatal pada kucing muda, yang hampir sama seperti distemper pada anjing. Penyakit
ini disebabkan oleh virus termasuk Famili Parvoviridae yang menyerang jaringan pembentuk darah dan limfe, dan juga mukosa organ gastro intestinal sehingga menyebabkan penurunan jumlah leukosit dan enteritis. Virus banyak ditemukan pada urin dan feses (CSIZA
et al., 1971), tetapi penularan dari kucing ke kucing selain melalui fecal-oral dapat juga melalui muntahan, urin, leleran mata ataupun leleran hidung. Gejala klinis penyakit FPL adalah demam yang sangat tinggi, anoreksia, diare, dehidrasi atau penurunan jumlah sel darah putih yang sangat tajam. (HOSOKAWA et al., 1987). Pada anak kucing yang baru lahir virus menyerang perkembangan cerebellum sehingga menyebabkan neurogical abnormalitas.
Diagnosis penyakit FPL dapat dilakukan berdasarkan sejarah penyakit, gejala klinis, isolasi dan identifikasi virus serta pemeriksaan serologik. Virus FPL dapat tumbuh secara efisien pada biakan sel lestari ginjal, organ paru-paru, lidah kucing dibandingkan dengan pada biakan sel lain seperti yang berasal dari biakan sel organ anjing (TRUYEN dan
PARRISH,1992).
Pemeriksaan serologik untuk mengetahui ada atau tidaknya antibodi terhadap virus FPL didalam serum, pada saat ini sering menggunakan teknik haemagglutination-inhibition (HI) dan atau menggunakan serum neutralization test (SNT) teknik mikro (JOO et al., 1975).
Pada penelitian yang terdahulu terdeteksi banyak kucing lokal peliharaan ataupun kucing liar yang mempunyai titer antibodi positif terhadap FPL dengan uji haemaglutinasi inhibisi (HI) maupun serum neutralization test (SNT). Hasil menunjukkan titer yang bervariasi dari 120 serum yang diuji, antibodi titer HI rendah antara (2–6) log2 sebanyak
31/120 (25,83%) dan yang mempunyai titer HI >6 log2 -11 log2 adalah sebanyak 64/120
(53,33%) (SYAFRIATI dan SENDOW, 2003).
Penggunaan uji HI sudah umum digunakan karena kemampuan virus yang dapat mengagglutinasi sel darah merah (SDM). Namun kemampuan virus FPL dalam mengagglutinasi SDM tersebut hanya terhadap SDM yang berasal dari babi atau monyet. Sedangkan pada uji HI serum kucing terhadap FP, sebelum proses pengujian HI, serum kucing tersebut harus terlebih dahulu dengan dipanaskan 56ºC selama 30 menit dan juga diabsorpsi dengan kaolin untuk menghilangkan reaksi non spesific yang banyak terdapat pada serum kucing tersebut, sehingga pengujian HI khusus serum kucing akan lebih kompleks dan membutuhkan waktu lama. Sementara itu, pada uji SN dibutuhkan kultur jaringan feline kidney (FK) atau CRFK yang selalu tersedia setiap saat serta dibutuhkan tempat kerja yang lebih steril, sehingga apabila akurasi teknik SN dibandingkan dengan teknik ELISA relatif sama, maka uji ELISA akan lebih mempermudah pengujian di laboratorium disamping tidak terlalu rumit dan waktu pengujian relatif pendek, dimana MILBRAND et
al. (1984) sudah menggunakan uji ELISA untuk mendeteksi infeksi canine parvovirus
pada anjing. Pengembangan metode teknik ELISA selanjutnya dikembangkan oleh DUNCAN (1988), sebagai teknik serologi yang cukup akurat, spesifik dan sensitif.
Tulisan ini menjabarkan pengembangan perangkat ELISA untuk mendeteksi titer kekebalan (antibodi) terhadap FPL pada serum kucing sebagai alternatif perangkat serologi selain uji SN.
MATERI DAN METODE Serum
Serum berasal dari kucing lokal sebanyak 132 sampel yang didapat dari hasil survei daerah Jakarta dan Bogor. Serum dipisahkan dari bekuan darah, dimasukkan ke dalam tabung steril, dipanaskan pada suhu 56ºC selama 30 menit disimpan pada suhu -20ºC hingga uji serologi SN maupun ELISA.
Pada hasil uji SN, serum dari kucing yang mempunyai titer >11 log2 dikumpulkan untuk
digunakan sebagai kontrol positif pada pengujian dengan uji ELISA, sedangkan kontrol negatif diambil dari serum kucing dewasa yang tidak mempunyai reaksi titer terhadap FPL
Kontrol serum positif dan negatif
Serum negatif dan serum positif berasal dari kucing lokal yang telah diuji dengan uji haemaglutinasi (HI) atau uji serum netralisasi (SN) dan analisa menunjukkan serum negatif tidak terdeteksi FPL, sedangkan untuk kontrol serum positif dikumpulkan serum yang mempunyai titer SN positif >11 log2.
Antigen
Virus vaksin FPL (Leucorifelin, Romindo) dengan kandungan 103 CCID
50 ditumbuhkan
pada sel feline kidney (FK) yang telah membentuk 80% sel monolayer (selapis) pada flask, dengan menggunakan media penumbuh (growth media) MEM (+ 10% FBS) ditambah antibiotik penicilin 100 IU, streptomisin 100 µg per ml media dan fungizone 4 ug per ml media. Media penumbuh dibuang, infeksikan 1 ml virus FPL dan inkubasikan, diamkan virus
FPL dalam flask untuk memberikan waktu absorpsi selama 1 jam pada 37oC, kemudian
tambahkan media maintenance (MEM + 2% FBS) ditambah antibiotik dan fungizone. Inkubasikan pada suhu 37oC pada inkubator
dengan kadar CO2 5%, sampai terlihat CPE atau paling lama 5 hari. Setelah CPE terlihat 100%, dilakukan freeze thawing sebanyak 3 x. Cairan yang dipanen disentrifus dengan kecepatan 1000 X selama 15 menit yang kemudian diikuti dengan 10.000 X selama 30 menit.
Stok virus tersebut kemudian disentrifus kembali dengan kecepatan 100.000 X selama 6 jam dengan menggunakan swing rotor (Beckman Ti 70 rotor) untuk mendapatkan pellet (endapan) virus sebagai antigen. Di resuspensi dengan konsentrasi 1:100 dari volume asal dengan PBS pH 7,2 lalu disonikasi 2 X 10 detik dengan interval 30 detik (GODDARD et al., 1990). Kemudian antigen FPL disimpan pada suhu –700C sebagai stok
antigen, diestimasi kandungan proteinnya dan siap digunakan sebagai salah satu komponen untuk perangkat ELISA.
Konsentrasi virus juga disiapkan secara presipitasi dengan polyethylen glycol (PEG) 6000 (Sigma). Sel FK yang terinfeksi di sentrifus dengan kecepatan rendah kemudian di filter dengan 45 µm millipore. Kemudian supernatan tersebut pada suhu 40C
ditambahkan 0,3 M NaCl dan PEG 6000 dengan konsentrasi akhir 8,5% (w/v) (BODEUS
et al., 1987). Kemudian hasil konsentrasi protein diukur. Suspensi dibagi dalam volume kecil dan disimpan di –20°C.
Uji serum netralisasi (SNT)
Sebanyak 50 µl serum diencerkan secara serial log2 berseri pada plat biakan jaringan
(tissue culture, TC) 96 lubang. Selanjutnya ditambahkan 100 TCID50 per 50 µl virus FPL
pada masing-masing lubang, diamkan selama 1 jam pada suhu 37oC. Kemudian ditambahkan
100 µl sel lestari Crandell Reese Feline Kidney Cell (CRFK) atau sel feline kidney (FK). Lalu inkubasikan pada inkubator berCO2 5%,
selama 5 hari, apabila tidak ada perubahan berupa cytopathic effect (CPE) pada sel selama pengamatan, menunjukkan serum positif mengandung antibodi terhadap FPL dan serum
mempunyai titer SN. Hasil titer SN dibaca sesuai dengan pengenceran serum tertinggi log2 yang masih tidak menimbulkan CPE.
Perubahan adanya CPE dibandingkan pada serum negatif kontrol.
Uji ELISA
Uji ELISA digunakan dengan modifikasi metode DUNCAN (1988). Plat ELISA MaxiSorp
(Nunc immunoplateTM, Denmark) 96 lubang
dasar rata, di coating (dilapisi) dengan antigen FPL Sebanyak 100 µl antigen yang mengandung 1-2 ng dari stok yang telah diencerkan larutan 0.06M carbonate/ bicarbonate buffer pH 9.6, ditambahkan per lubang pada plat, lalu plat diinkubasikan selama 18 jam (semalam) pada suhu 40C
(lemari es).
Plat lalu dicuci dengan larutan PBS yang mengandung 0,05% Tween- 20 (PBST) dengan 3x pencucian dan setelah dikeringkan, per lubang ditambahkan sebanyak 100 µl serum yang akan diuji, serum kontrol positif dan kontrol negatif yang diencerkan 1 : 100, diencerkan dengan PBST. Plat lalu diinkubasi pada suhu 370C selama 1 jam, kemudian dicuci
3x dengan larutan PBST. Lalu tambahkan 100µl 1/100.000 goat anti-cat IgG yang dilabel dengan enzyme horseperoxidase (HRPO) (Bethyl lab. Inc), dan plat diinkubasi selama 1 jam pada suhu kamar. Kemudian dicuci 3 X dengan PBST dan lakukan penambahan dengan 100 µl substrat (Citrat buffer pH - 4.2 dengan 52 mM ABTS stock (28 gr 2,2-Azino-di-1.3 ethylbenz-thiazolin Sulphonate (ABTS), d-H2O 10 ml, H2O2 0,012%), dibiarkan reaksi
selama 1 jam pada ruang gelap dan lembab. Pembacaan plat dilakukan dengan menggunakan ELISA reader multiscan spectrophotometer pada tingkat adsorbansi sebesar 405 nm, dengan serum kontrol negatif dan positif sebagai nilai standar dengan pembacaan hasil uji ELISA di lakukan dengan rumus perbandingan sera sampel dengan sera positif yaitu ratio S/P. Hasil dihitung dengan optical density (OD) serum uji dikurangi dengan hasil OD kontrol serum negatif dibagi dengan hasil pengurangan OD kontrol serum positif dengan OD kontrol serum negatif. Nilai positif ELISA ditentukan apabila S/P ratio lebih besar dari >25.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebanyak 132 serum kucing dengan beragam umur dan jenis kelamin berasal dari Jakarta dan Bogor (Tabel 1) diuji dengan serum neutralisasi test (SNT). Serum kucing dikumpulkan dari kucing liar yang tidak bertuan dan tidak pernah mendapatkan vaksinasi FPL. Padahal kenyataan di lapangan pada penelitian SYAFRIATI dan SENDOW (2003)
telah banyak kucing terkena infeksi FPL terbukti dengan perolehan hasil titer HI positif sebanyak 95/120 (79,17%) dan titer HI negatif sebanyak 25/120 (20,83%). Kemungkinan kucing tersebut terkena setelah dewasa dan atau virus tersebut tidak berkembang banyak sehingga tidak menunjukkan gejala klinis secara jelas. Data kematian anak kucing yang disebabkan penyakit FPL masih belum banyak dilaporkan meskipun diketahui banyak sekali kematian anak kucing.
Tabel 1. Distribusi perolehan serum kucing dari Jakarta dan Bogor berdasarkan umur dan jenis kelamin
Umur kucing Jenis kelamin serum
Anak Muda Dewasa Jantan Betina 132 38 10 84 68 64
Pada Tabel 2 terlihat hasil titer SN hanya pada 132 serum yang diuji dengan distribusi positif tinggi >6 log2 sebanyak 81 serum
(61,36%), sedangkan yang mempunyai titer SN positif rendah ≥1-6 log2 sebanyak 16 serum
(12,12%) atau hanya 35 serum (26,52%) yang tidak mempunyai titer antibodi SN.
Tabel 2. Hasil titer SN, negatif (<1), positif rendah (≥1−6 log2) dan positif tinggi (>6 log2)
pada serum kucing yang berasal dari Jakarta dan Bogor
Hasil titer SN serum
Neg (<1) (≥1-6 log2) (>6 logTinggi 2) 132 35 (26,52%) 16 (12,12%) 81 (61,36%) Perolehan titer SN berdasarkan umur (Tabel 3), sebanyak 38 serum anak kucing mempunyai titer rataan SN sebesar 3.68 log2,
menunjukkan bahwa pada serum anak kucing tersebut mengandung maternal antibodi
(kekebalan bawaan). Sementara itu, pada kucing umur muda perolehan titer menunjukkan kandungan titer antibodi lebih rendah, dari sebanyak 10 serum yang diuji terlihat mempunyai rataan titer SN sebesar 1.2 log2, bahkan apabila dilihat per individu bahwa
4 serum kucing muda asal Bogor, tidak mempunyai titer antibodi. Tetapi pada 84 serum kucing dewasa menunjukkan titer antibodi yang tinggi yaitu mempunyai rataan titer SN 7,98 log2 yang berarti bahwa kucing
tersebut pernah terinfeksi penyakit FPL, namun kucing tersebut dapat bertahan hidup dan mengandung titer antibodi yang cukup lama. Pemakaian vaksin FPL pada kucing kesayangan dianjurkan, karena data ini menunjang adanya infeksi FPL pada kucing yang berada di Bogor dan Jakarta.
Perolehan titer SN secara keseluruhan sebanyak 132 serum yang diuji, mempunyai rataan titer SN (GMT log2) sebesar 6,23.
Tabel 3. Hasil distribusi rataan titer SN (geometric mean titer, GMT) per kelompok umur
kucing yang berasal dari Jakarta dan Bogor
Umur Serum GMT log2
Anak (1 hari−1 bulan) 38 3,68
Muda (>1−6 bln) 10 1,2
Dewasa (>6 bln) 84 7,98
Serum dan GMT 132 6,23
Perolehan hasil titer rataan SN pada kucing betina dan jantan (Tabel 4), total rataan titer SN pada 64 serum kucing betina adalah 5,54 log2, sedangkan pada jantan mempunyai rataan
titer SN 7.12 log2, sepertinya kesempatan untuk
mendapat titer antibodi SN yang lebih tinggi adalah jenis kelamin jantan, kemungkinan disebabkan kucing jantan lebih banyak berkeliaran sehingga kesempatan terinfeksinya lebih besar.
Tabel 4. Hasil distribusi rataan titer SN (geometric mean titer, GMT) per jenis kelamin betina
dan jantan dari serum yang berasal dari Jakarta dan Bogor
Jenis kelamin Serum GMT log2
Betina 64 5,54
Jantan 68 7,12
Hasil standardisasi (checkerboard ) uji ELISA memakai kontrol serum positif dan negatif menunjukkan pengenceran serum optimum adalah 1:100, sedangkan pengenceran konjugat goat anti-cat IgG HRP (Bethyl lab. Inc) yang optimum adalah 1 : 100.000, sesuai dengan yang direkomendasikan 1 : 10.000 sampai dengan 1 : 100.000.
Penyiapan antigen FPL dilakukan dengan cara memperbanyak virus FPL pada sel feline kidney (FK) dan atau Crandell Reese Feline Kidney Cell (CRFK) dimana stok antigen yang baik harus dikonsentrasikan terlebih dahulu 150-200 x v/v. Estimasi kandungan protein >3500 µg/ml. Stok antigen diencerkan dan dibagi dalam volume kecil lalu disimpan pada suhu 20oC untuk siap digunakan pada enceran
1 : 100 untuk coating pada plat ELISA.
Pengenceran antigen yang paling baik adalah dengan kandungan protein sebanyak + 1 ng per lubang dalam 100 µl. Waktu inkubasi pelapisan antigen plat 18 jam atau semalam, dan plat yang sudah dilapisi antigen dapat disimpan pada suhu 4oC (lemari es) sampai 1
bulan setelah dicuci dan lubang plat diisi PBST.
Pada pengujian ELISA dari 132 serum kucing yang diuji SN, hanya 125 serum yang dapat diuji ELISA, dengan perolehan hasilnya (Tabel 5).
Tabel 5. Hasil rekapitulasi perolehan uji ELISA pada serum kucing yang telah diuji SN
Hasil uji SN ELISA
+ 97 (73,48%) 97 (77,6%)
- 35 (26,52%) 28 (22,4%)
Jumlah serum yang diuji
132 125 Sebanyak 125 serum kucing yang diuji mempunyai hasil ELISA positif, sebanyak 97 serum (77,60%) sedangkan yang mempunyai hasil ELISA negatif sebanyak 28 serum (22,40%).
Dilihat secara keseluruhan total uji SN pada semua serum kucing dari Jakarta dan Bogor dari sebanyak 132 serum, diperoleh hasil 35 serum negatif (26,52%) dan 97 serum (73,48%) positif. Apabila dibandingkan dengan total 125 serum yang diuji dengan ELISA terlihat tidak jauh berbeda yaitu hasil titer
ELISA negatif sebanyak 28 serum (22,40%) dan positif sebanyak 97 serum (77,60%).
Uji deteksi antibodi terhadap FPL dengan SN relatif tidak cepat dan tidak mudah, sedangkan untuk mendiagnosa penyakit FPL secara serologi dengan tepat dan cepat, diperlukan teknik lain yang lebih mudah dan cepat seperti ELISA. Sehingga untuk mengatasi masalah tersebut penggunaan perangkat ELISA untuk menguji serum kucing dilapangan sangat tepat terutama terhadap kucing yang sudah divaksinasi, ataupun dalam mendata penyakit FPL di Indonesia secara epidemiologi
KESIMPULAN DAN SARAN
Antigen FPL yang berasal dari perbanyakan vaksin digunakan untuk komponen ELISA dengan penggunaan 100 µl per lubang dengan kandungan antigen 1−2 ng. Kontrol serum negatif dan kontrol serum positif diperoleh dari lapangan yang sudah di uji SN. Hasil uji ELISA paling baik dengan menguji serum dengan enceran 1:100 dan penggunaan enceran konjugat anti cat HRPO 1 : 100.000.
Perangkat uji ELISA yang telah diperoleh sudah dapat digunakan untuk menguji serum kucing lapangan. Hasil uji ELISA dapat dibandingkan dengan hasil uji SN yaitu sebanyak 132 serum kucing berasal dari Jakarta dan Bogor, mempunyai hasil titer SN negatif sebanyak 35 serum (26,52%) dan positif sebanyak 97 serum (73,48%). Sementara itu, dari 125 serum yang telah diuji ELISA mempunyai hasil ELISA negatif sebanyak 28 serum (22,40%) dan hasil ELISA positif sebanyak 97 serum (77,60%). Tidak ada perbedaan yang mencolok pada kedua hasil uji SN dan ELISA, sehingga uji ELISA dapat digunakan sebagai uji alternatif untuk menguji serum kucing dari lapangan.
Sampel serum yang cukup banyak masih dibutuhkan untuk menegakkan validasi teknik dan perangkat uji yang sudah didapat sebaiknya dapat dipakai untuk mendeteksi infeksi FPL dilapangan atau untuk melihat kenaikan titer kekebalan dan efikasi pemakaian vaksin FPL, dan teknik ini dapat di gunakan di laboratorium diagnostik hewan ataupun klinik hewan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih ditujukan pada para teknisi dari bagian Virologi, Balitvet Bogor Saudara Zulkipli dan kawan-kawan yang telah membantu terlaksananya penelitian. Demikian juga kepada Staf UPT Pelayanan Kesehatan Hewan Laboratorium Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan propinsi DKI Jakarta atas kerja sama dan bantuannya sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik. Penelitian ini terlaksana dengan dana APBN tahun 2003.
DAFTAR PUSTAKA
BODEUS,M.,C.CAMBIASO,MM.SURLERAUX andG. BURTONBOY. 1988. A Latex Agglutination Test for the detection of Canine Parvo virus and corresponding antibodies J. of Virol.
Methods 19: 1−12.
CSIZA,C.K.,F.W.SCOTT,A.DE LAHUNTA andJ.H. GILLESPIE. 1971. Immune Carrier State of Feline Panleukopenia Virus-Infected Cats.
Am. J. Vet. Res.32(3): 419−426.
DUNCAN, R.J.C 1988. The use of ELISA for Rapid
Viral Diagnosis. Antibody Detection. In:
ELISA and Other Solid Phase Immunoassays. Theoritical and Practical Aspects. KEMENEY, D.M. and S.J. CHALLACOMBE. (Ed.). John Wiley & Sons, Chichester, New York, Brisbane. Toronto. Singapore.
GODDARD, R.D., R.A.J. NICHOLAS and P.R. LUFF 1990. Inactivated canine parvovirus vaccines: An alternative method for assessment of potency. Vet. Rec. 126: 497−499.
HOSOKAWA S., S. ICHIJO and H. GOTO (1987). Clinical, Hematological and Pathological Findings in Specific Pathogen-Free Cats Experimentally Infected with Feline Panleukopenia Virus. Jpn. J. Vet. Sci.49(1): 43−50.
JOO, H.S., C.R. DONALDSON-WOOD and R.H. JOHNSON 1975. A Microneutralization Test For Essay of Porcine Parvovirus Antibody.
Arch. Virol. 47: 841−844.
MILDBRAND,M.M.,Y.ATERAMOTO, J.KCOLLINS, A. MATHYS and S. WINSTON. 1984. Rapid detection of canine parvovirus in feces using monoclonal antibodies and enzyme-linked immunoassay. Am. J. Vet. Res. 45(11): 2281– 2284.
TRUYEN, U. and C.R. PARISH. 1992. Canine and Feline host ranges of canine parvovirus and feline panleukopenia virus: Distinct Host Cell Tropism of each virus in vitro and in vivo. J.
Virol. 66 (9): 5399−5408.
SYAFRIATI, T. dan I. SENDOW. 2003. Keberadaan penyakit Feline Panleukopenia (FPL) pada kucing di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner Bogor 29-30 September 2003. hlm. 477−480.