BAB I PENGANTAR
1.1 Latar Belakang Masalah
Pada bulan Desember 2016, Indonesia digegerkan oleh sebuah peristiwa besar atau lebih dikenal dengan istilah 212. Peristiwa ini merupakan langkah kedua setelah aksi 4 November 2016 yang dilakukan di Jakarta untuk menuntut seorang pejabat karena dianggap telah melakukan penistaan agama Islam. Ucapan yang keluar dari seorang pejabat dapat menjadi alasan beribu orang untuk datang atas nama “Bela Islam”, meskipun pada Aksi 212 ini berakhir dengan tertib dan damai tetapi aksi ini tetap mengingatkan pada persoalan agama yang seharusnya tetap disikapi dan diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Persoalan mengenai agama juga dilekatkan dengan persoalan radikalisme. Kasus teorisme terjadi bertubi-tubi di Indonesia sejak pemboman Gereja di Batam, Pekanbaru, Jakarta, Sukabumi, Mojokerto, Kudus dan Mataram (24 Desember 2000), Paddy‟s Pub dan Sari Club (SC) di Bali (12 Oktober 2002), Hotel JW Mariott I tahun 2003, Kantor Kedutaan Besar Australia tahun 2004, Hotel JW Marriott II dan Ritz-Carlton Jakarta tahun 2009, Kantor Polresta Cirebon tahun 2011 dan Kantor Polresta Poso tahun 2013 (BNPT, 2015). Pelaku pengeboman diketahui melakukan motif tersebut karena motif agama. Kelompok ini diindikasi memiliki sikap deradikalisasi terorisme dengan enam karakter yakni (a) karakter nasionalis-etnosentris yaitu anti terhadap pemerintah dan melakukan
penyerangan terhadap daerah yang aman dalam bentuk separatis; (b) religius dengan melakukan serangan kepada masyarakat sipil dalam bentuk bom bunuh diri yang dianggap telah melakukan pembelaan terhadap agama; (c) ideologi (kepercayaan pada politik tertentu); (d) single issue, yaitu melakukan sabotase dan menyebarkan ancaman pengeboman terhadap objek-objek vital dan daerah publik; (e) faktor negara sponsor yaitu melakukan sabotase atau penggunaan senjata kimia yang dilakukan oleh sebuah kelompok pemerintahan; (f) faktor penderita sakit jiwa yang dilakukan oleh individu dengan melakukan pengeboman atau perampokan (BNPT, 2015:21-22).
Berdasarkan pada fakta di atas, radikalisme menjadi masalah bangsa Indonesia yang sudah mengakar kuat dan membutuhkan penanganan yang serius. Terlebih persoalan radikalisme secara khusus juga menjadi persoalan pemuda di Indonesia karena para pelaku radikalisme didominasi oleh pemuda. Fakta yang ada menyebutkan bahwa pemuda menjadi pelaku sekaligus target dari tindakan radikalisme. Badan Nasional Penanggulangan Teorisme (BNPT) Indonesia (2015) menyebutkan bahwa salah satu kelompok paling rentan dari infiltrasi paham dan ideologi radikalisme terorisme adalah kalangan muda. Mereka yang direkrut menjadi seorang teroris berumur 19 sampai 35 tahun.
Radikalisme telah menjadi ancaman bagi kepribadian bangsa Indonesia serta melemahkan ketahanan nasional. Ketahanan nasional dapat dicapai ketika tercipta kondisi dinamis yang mencerminkan keuletan, ketangguhan bangsa, memiliki kemampuan mengembangkan potensi dan kekuatan nasional yang dapat mengatasi ancaman, tantangan, dan gangguan baik yang datang dari dalam
maupun dari luar serta yang membahayakan integritas nasional, identitas nasional, kelangsungan hidup bangsa, pencapaian tujuan serta cita-cita nasional bangsa dan Negara Indonesia (Soedarsono, 1997:25). Kemampuan untuk mengatasi gangguan dan ancaman bagi bangsa dibutuhkan untuk mencapai taraf ketahanan nasional. Oleh karenanya dibutuhkan sebuah mekanisme untuk meningkatkan stabilitas nasional melalui penguatan kepribadian bangsa.
Kepribadian bangsa ini merupakan totalitas dari kepribadian individu manusia Indonesia (Soedarsono, 1997:52). Pemuda sebagai basis penggerak kemajuan bangsa harus diperhatikan sebagai salah satu bentuk modal sosial negara Indonesia. Ketahanan pribadi seorang pemuda merupakan salah satu cerminan ketahanan nasional Indonesia yang perlu dibangun. Konsep ketahanan pribadi memiliki peran penting untuk dapat dikembangkan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ketahanan pribadi merupakan konsep tahap pengembangan diri manusia sebagai pribadi yang sedemikian rupa sehingga menjadi manusia yang memiliki totalitas yang mantap dan harmonis (Soedarsono, 1997:50). Dengan demikian
seorang pemuda sebagai wajah kepribadian bangsa harus dibangun
kepribadiannya untuk menuju pemuda yang memiliki totalitas kepada bangsanya. Perkembangan kepribadian pemuda kemudian harus dilihat dalam perkembangan psikologi sosial. Tahapan psikologi sosial dideskripsikan oleh Mar‟at (2006) dalam enam tahapan yaitu,
1. Perkembangan Individu dan Identitas,
2. Perkembangan Hubungan dengan Orang Tua, 3. Perkembangan Hubungan dengan Teman Sebaya,
4. Perkembangan Seksualitas, 5. Perkembangan Proaktivitas, 6. Perkembangan Resiliensi.
Dalam enam tahapan di atas, perkembangan proaktivitas menjadi satu konsep penting yang dikembangkan dalam persoalan membangun pribadi seorang pemuda. Proaktivitas diartikan sebagai kebebasan memilih. Setiap orang memiliki fungsi dan keputusannya sendiri serta mempunyai inisiatif dan tanggungjawab terkait apa yang dilakukan. Dalam konsepsi proaktivitas, setiap individu memiliki kemampuan dan kemauan untuk mengembangkan diri mereka. Pada tahun 2013 Dusun Jejeran, Wonokromo, Pleret, Bantul, Yogyakarta mendeklarasikan dirinya sebagai Kampung Aswaja. Aswaja sendiri merupakan singkatan dari Ahlussunah Wal Jama‟ah yang merupakan ajaran dari empat madzhab yang sampai saat ini diikuti oleh khalayak umum. Kata Jejeran diambil dari nama seorang ulama bernama Kyai Jejer yang dahulunya merupakan ulama pertama kali datang ke wilayah ini serta menyebarkan dakwah keislamannya. Kyai Jejer merupakan cucu-cicit Sunan Ampel, cucu-cicit dari Ny Ageng Pemanahan Kota Gede dan mertua Sultan Agung (Masruri, 2007). Di sisi lain, Jejeran juga dipimpin oleh para kasepuhan ulama yakni Kyai Kriyan dan Kyai Klenteng sampai tahun 1800 an. Setelah itu, dilanjutkan oleh para ulama yang secara turun temurun mewariskan garis keturunan dan garis dakwah keislaman. Pada tahun 2017 ini, tercatat Dusun Jejeran memiliki sembilan Pondok Pesantren dan hampir 100 orang penghafal Al Qur‟an.
Lingkungan religius yang tercipta melalui historis melahirkan gagasan interaksi sosial yang religius. Internalisasi nilai-nilai Islam di dusun ini sangat
kental. Internalisasi dilakukan tidak saja pada proses pengajaran namun juga pada sisi sosial-budaya. Dusun Jejeran memiliki khasanah kesenian bernafaskan Islam yang disebut sebagai Zikir Saman. Menurut warga sekitar Zikir Saman merupakan kesenian yang berupa tarian leyek yakni gerakan berdiri, ruku‟ dan sujud. Gerakan ini diiringi oleh berbagai lantunan sholawat yang diucapkan bersama-sama. Kesenian ini dilakukan kurang lebih berjumlah 11 sampai 30 orang yang dipimpin oleh seorang Rois.
Kegiatan Zikir Saman ini tentu saja diharapkan membantu membentuk karakter pemuda yang memiliki jiwa mandiri, penuh kreasi, hingga pada akhirnya memiliki ketahanan pribadi yang kuat. Dengan begitu untuk melihat pengaruh hal tersebut perlu dilakukan aktivitas penelitian yang mendetail dan lebih dalam.
1.2 Rumusan Masalah
Persoalan radikalisme yang masih mengancam kehidupan sosial
masyarakat Indonesia khususnya pemuda. Hal ini menyisakan persoalan penting terkait mengapa pemuda Indonesia dapat dengan mudah terjebak oleh persoalan radikalisme?. Pertanyaan ini dijawab melalui wacana tandingan dari gagasan penanggulangan radikalisme di kalangan pemuda Kampung Aswaja.
Dusun Jejeran yang mengukuhkan diri sebagai Kampung Aswaja sejak
tahun 2013 menjadi salah satu objek menarik. Bagaimana pemuda berinteraksi dalam kehidupan sosial mereka melalui penanaman nilai-nilai Islam?. Jejeran sebagai Kampung Aswaja meneguhkan semangat beragama melalui Zikir Saman.
Pertanyaan besar yang diajukan di atas disusun dalam dua sub bab pertanyaan yakni :
1. Bagaimana proses pembentukan ketahanan pribadi pemuda di Kampung Aswaja melalui Zikir Saman?
2. Bagaimana bentuk-bentuk tindakan dari ketahanan pribadi pemuda pegiat Zikir Saman?
1.3 Keaslian Penelitian
Penelitian yang mengkaji tentang ketahanan pribadi seseorang pemuda sudah banyak dilakukan oleh peneliti. Ketahanan pribadi sebagai unsur pertama ketahanan nasional telah dilihat sebagai bagian integral dari proses pembentukan karakter pemuda. Ketahanan pribadi juga dilihat hadir pada setiap aspek kehidupan mulai dari kesehatan, pendidikan, agama, hingga kelembagaan sebuah organisasi pemuda itu sendiri. Berikut beberapa temuan peneliti dalam menggali studi-studi yang berkaitan dengan ketahanan pribadi yang bersangkutan secara khusus pada persoalan agama.
Tabel 1.1 Studi tentang ketahanan pribadi yang pernah dilakukan
No. Peneliti Judul Obyek
Materil Obyek Formil 1. R Yunus Rasyid (2013) Transformasi Nilai-Nilai
Budaya Lokal Sebagai
Upaya Pembangunan Karakter Bangsa Budaya Lokal Pembangun an Karakter 2. Diliyana, R.A, Himam, F, dan Maarif S (2016)
“Peran Konseling Panti
Rehabilitasi Dalam
Menangani Pemuda
Korban Narkoba dan
Implikasinya Terhadap Ketahanan Pribadi” Panti Rehabilitasi Ketahanan Pribadi
No. Peneliti Judul Obyek Materil Obyek Formil 3. Irwan, Muhammad S dan Ahmad Z (2016) “Dinamika Aktualisasi
Diri Pemuda Rantau dan
Implikasinya Terhadap
Ketahanan Pribadi (Studi Pada Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Barat di
Asrama Putri Bundo
Kanduang Daerah Istimewa Yogyakarta)” Pemuda Rantau Asrama Putri Bundo Kanduang Ketahanan Pribadi 4. Shofa, A.M.A, Bagus R, dan Sri R.G (2016)
“Peran Pemuda Dalam Pendampingan Mahasiswa Difabel dan Implikasinya
Terhadap Ketahanan
Pribadi Pemuda (Studi di
Pusat Layanan Difabel
(PLD) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) Pusat Layanan Difabel Pendampin gan dan Ketahanan Pribadi
Sumber : Disarikan dari berbagai hasil penelitian Tesis Mahasiswa Ketahanan Nasional UGM
Studi-studi yang sudah dilakukan di atas menunjukkan bahwasanya perkembangan tentang studi ketahanan pribadi sangat banyak, baik pada sebuah lembaga formal maupun informal. Penelitian ini difokuskan pada pembahasan ketahanan pribadi pemuda dan ditekankan pada internalisasi nilai-nilai Islam atau proses interaksi agama di dalam aspek perilaku bermasyarakat.
Penelitian ini bertujuan untuk melengkapi penelitian sebelumnya dengan kerangka agama sebagai identitas sosial yang dapat mengkonstruksi identitas seorang pemuda. Kerangka ketahanan pribadi dikembangkan dalam studi ini untuk mendukung pemahaman dan analisis proses konstruksi karakter pemuda melalui kegiatan keagamaan, khususnya dalam studi ini mengenai tentang Zikir Saman sebagai salah satu sarana yang dibentuk oleh pemuda di Kampung Aswaja.
1.4 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dalam penelitian ini, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan proses pembentukan ketahanan pribadi pemuda di Kampung Aswaja melalui Zikir Saman.
2. Mendeskripsikan ketahanan pribadi pemuda pegiat Zikir Saman.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat teoritis dan praktis. Manfaat yang ingin dicapai sebagai berikut:
1.5.1 Manfaat Teoritis
1. Penelitian ini dapat menjadi pengembangan keilmuan bahwa seni tradisi Islam dapat menjadi salah satu media komunikasi sosial dalam melakukan internalisasi spirit agama kepada pemuda,
2. Penelitian ini mampu menjadi sarana pengembangan model internalisasi agama dalam diri pemuda secara positif.
1.5.2 Manfaat Praktis 1. Manfaat bagi Kemenpora
Penelitian ini diharapkan menjadi dasar dalam menentukan kebijakan pemerintah khususnya Kemenpora yang berkoordinasi dengan BNPT Indonesia terkait model pengembangan metode pemberantasan radikalisme khususnya dalam segmentasi pemuda,
2. Manfaat bagi Prodi Studi Ketahanan Nasional
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan konstribusi aktif dalam bentuk temuan keterlibatan pemuda dan spirit religius dalam pembentukan ketahanan nasional Indonesia melalui ketahanan pribadi pemuda,
3. Manfaat bagi Komunitas Zikir Saman
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan dorongan kepada para anggota komunitas untuk terus mengembangkan diri sebagai pemuda dengan spirit religiusitas yang hidup dalam multikulturalisme Indonesia.