• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Biologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Biologi"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Taksonomi

Sebagian besar taksonomi kutukebul adalah berdasarkan karakteristik nimfa tahap ke empat yang dikenal sebagai puparium, namun informasi mengenai fase kehidupan lainnya juga dapat membantu meski data yang tersedia masih sedikit (Hodges and Evans 2005). Kutukebul (Hemiptera: Aleyrodidae) termasuk ke dalam superfamili Aleyrodoidea yang masih dekat kekerabatannya dengan Psylloidea (kutu loncat), Coccidea (kutu tempurung), dan Pseudococcidea (kutu putih). Mound dan Halsey (1978) mencatat 1.156 spesies dalam 126 genus kutukebul (Aleyrodidae) di katalog dunia. Martin dan Mound (2007) baru-baru ini menerbitkan sebuah daftar dari kutukebul di dunia yang mencakup 1.556 spesies dalam 161 genus dengan 3 subfamili yang masih ada sampai saat ini (Aleurodicinae, Aleyrodinae dan Udamosellinae), serta satu fosil dari subfamili Bernaeinae. Subfamili Aleurodicinae merupakan subfamili utama yang baru menyebar di seluruh dunia belakangan ini, dengan cakupan 118 spesies dalam 18 genus. Subfamili Aleyrodinae di seluruh dunia mencakup 1.424 spesies dalam 148 genus. Pada subfamili Udamoselis meliputi 2 spesies di Amerika Selatan (Evans 2007).

Biologi

Seluruh siklus hidup kutukebul (Gambar 1) terjadi pada permukaan bagian bawah daun. Seperti kutu loncat, imago kutukebul bersayap penuh dengan sistem reproduksi secara seksual. Menurut Ludji (2011) keperidian imago kutukebul Bemisia tabaci cenderung bereproduksi secara seksual dibandingkan secara parthenogenesis. Telur diletakkan oleh imago di bawah permukaan daun, telur menempel pada permukaan dengan bantuan struktur pedisel halus, dimana kelembapan telur diperoleh dari jaringan daun melalui sistem kapilaritas. Beberapa spesies kutukebul meletakkan telur berpediselnya ke dalam stomata daun. Pada saat telur menetas, larva instar pertama (crawler) bergerak mencari tempat yang cocok untuk penyerapan makanan. Selama siklus pradewasa hanya larva instar pertama yang memiliki tungkai untuk mencari tempat yang sesuai,

(2)

nimfa instar selanjutnya tidak memiliki tungkai sehingga tidak dapat bergerak lagi walaupun keadaan makanan di daerah feeding site kian memburuk. Nimfa kutukebul mendapatkan makanan dengan cara mengambil cairan makanan dari tanaman inang (Dreidstadt et al. 2001).

Sebagai penerbang yang aktif, imago betina akan mencari lokasi yang baik untuk meletakkan telur yaitu pada daun muda yang memiliki ketersediaan nutrisi yang tinggi. Imago betina yang belum kawin (2N) akan menghasilkan keturunan jantan (1N) secara parthenogenesis hanya sesekali saja. Telur yang dibuahi oleh imago jantan akan menjadi keturunan (2N) (Martin et al. 2000). Setiap imago betina meletakkan sekitar 30 telur, dan sekitar 150-300 butir telur dapat dihasilkan selama masa hidupnya. Pada banyak spesies, imago betina membuat semacam lingkaran pada saat meletakkan telurnya, kadangkala ditutupi debu lilin atau filamen lilin; ada yang membentuk pola spiral, meletakkan telurnya dan menutupinya dengan lilin (contohnya pada Aleurodicus dispersus); ada pula spesies kutukebul yang meletakkan telurnya secara acak pada bagian bawah daun (contohnya pada Bemisia tabaci).

(3)

Sampai pada tahap instar akhir, siklus hidup kutukebul mirip serangga famili Coccidae (kutu tempurung) lainnya. Akan tetapi pada stadia akhir, layaknya larva pada sistem metamorfosis sempurna, kutukebul instar akhir ini akan menghentikan aktifitas makannya dan membentuk semacam kantung sebagai tempat pergantian proses pradewasa ke fase dewasa (Gambar 2). Oleh karena itu, stadia ini biasanya disebut stadia “puparium”, meskipun secara teknis tidak tepat. Sayap dari serangga imago akan tumbuh dan berkembanng di dalam puparium. Setelah keluar dari puparium kutukebul akan menjadi imago dan kantung puparium yang kosong akan tetap berada pada permukaan bagian bawah daun dalam jangka waktu yang lama (tergantung dari keadaan lingkungan). Identifikasi dari kutukebul dapat dilakukan dengan melakukan pengamatan struktur dari kantung pupa tersebut.

(4)

Ekologi

Stadia pradewasa kutukebul dapat ditemukan di bagian bawah daun, dengan sekresi lilin transparan dikeluarkan dari bagian ventralnya. Beberapa spesies bersifat spesifik pada inang tertentu tapi banyak dari spesies lainnya terbiasa sebagai hama polifag (memiliki inang berbagai macam famili tanaman). Faktor keadaan lingkungan seperti iklim dan curah hujan turut berperan langsung maupun tidak langsung pada aspek kehidupan kutukebul. Di daerah yang beriklim subtropis, seringkali kutukebul hanya menghasilkan satu generasi per tahun dengan menjadi puparium pada saat musim dingin. Namun pada daerah yang beriklim lebih hangat yaitu di daerah tropis kutukebul dapat menghasilkan sampai 15 generasi tiap tahunnya (Brown 1994) yang kurang lebih membutuhkan waktu 6-8 minggu per generasi.

Arti Penting Ekonomi

Banyak hal yang menjadikan kutukebul sebagai hama penting tanaman pertanian, khususnya apabila kutukebul menyerang pada tanaman bernilai tinggi seperti buah-buahan, tanaman hias, dan sayur-sayuran. Di daerah subtropis, T. vaporariorum sudah menjadi masalah serius di berbagai tanaman rumah kaca dan lapangan. B. tabaci, A. dispersus, dan A. dugesii juga dapat menyebabkan kerusakan yang serius di berbagai varietas yang memiliki arti ekonomi tinggi.

Kutukebul bisa merusak tanaman dengan menyuntikkan saliva beracun pada jaringan daun. Dalam 30 tahun terakhir, tinggkat kerusakan yang diakibatkan oleh kutukebul meningkat drastis. Munculnya biotipe kutukebul baru sebagai akibat dari penggunaan pestisida yang berlebihan menyebabkan biotipe ini menjadi tahan akan pestisida komersial dan menjadikan hama ini sulit untuk dikendalikan. B. tabaci biotipe B pada contohnya, biotipe ini menyebabkan gejala daun tomat menjadi keriting dan keperakan serta kuning dan keriting pada tanaman cabai, sekaligus juga dapat merusak buahnya. Di Indonesia, awal mula serangan virus kuning yang ditularkan B. tabaci pada tahun 2003 berada di daerah Jawa Tengah, setelah 5 tahun terakhir (2003-2007) perkembangan virus ini bertambah hingga 14 provinsi. Luas serangan awal pada tahun 2003 seluas 884 ha dan pada tahun 2007 meningkat tajam mencapai 3.015,05 ha, dengan serangan terluas terjadi di Jawa

(5)

Tengah 1.014,6 ha, Nangroe Aceh Darussalam 404 ha, dan Jawa Barat 307 ha (Jakes 2012). Rahayu (2004) melaporkan, kejadian penyakit kuning yang ditularkan oleh kutukebul pada tanaman cabai di Yogyakarta dan Magelang mencapai 100%, hal yang sama terjadi pula di Sumatra (Sudiono et al. 2005). Banyaknya infestasi kutukebul mengakibatkan kerusakan jaringan tanaman dengan cara menghabiskan cairan tanaman dan nutrisinya.

Penyebaran Kutukebul

Meskipun kutukebul dikategorikan ke dalam penerbang yang aktif, menurut Byrne and Bellows (1991), kutukebul disimpulkan ke dalam penerbang jarak pendek. Hal ini berkebalikan dengan fakta bahwa kutukebul makin menyebar luas keberadaanya di lapangan. Migrasi kutukebul jarak jauh diduga disebabkan oleh manusia, banyak kasus menyebutkan terdapat telur atau nimfa serangga ini yang terbawa pada tanaman yang akan diekspor ataupun diimpor ke negara tujuan. Ada 3 alasan utama mengapa keberadaan kutukebul terus meningkat yaitu perkembangan dari biotipe yang sangat agresif, peningkatan transportasi antar negara, dan peningkatan kemampuan dalam menularkan penyakit virus tanaman (Watson 2007).

Identifikasi dari Kutukebul

Berbagai stadia pada kutukebul memiliki perkembangan struktur yang unik di sekitar bagian analnya yaitu struktur lubang vasiform, lingula, dan operculum yang tidak dimiliki oleh golongan serangga lainnya. Imago kutukebul dapat ditemukan beterbangan dan hinggap pada tanaman yang bukan inangnya, dimana struktur morfologinya sangat mirip dan tidak mudah untuk dibedakan. Oleh karena itu dipilih stadia akhir kutukebul yang berupa “puparium” untuk tujuan identifikasi. Para ilmuan telah banyak mempelajari tentang perbedaan karakter morfologi dari identifikasi menggunakan stadia akhir berupa puparium, sedangkan sedikit diketahui tentang perbedaan variasi imago kutukebul. Meskipun telah diketahui perbedaan dan karakter morfologi khusus pada imago kutukebul, namun hal ini belum banyak membantu dalam proses identifikasi kutukebul (Martin 1987).

(6)

Identifikasi kutukebul memerlukan spesimen berupa puparium. Morfologi dari nimfa dan puparium kutukebul sangat bergantung pada lingkungannya. Bentuk dan rupa dari puparium dapat berubah secara drastis tergantung dari banyak sedikitnya bulu halus atau lapisan lilin pada permukaan daun. Panjang dari puparia kutukebul berkisar antara 0.5-1.75 mm. Bentuk morfologi puparium kutukebul sangat bervariasi tergantung pada tanaman inangnya, hal ini yang menyebabkan banyaknya taksonomi yang sinonim pada beberapa spesies kutukebul (contohnya genus Bemisia) (Rahayuwati 2009). Karakter taksonomi yang paling banyak digunakan dalam proses identifikasi terdapat pada bagian dorsal, hanya sedikit ditemukan pada bagian ventral. Secara umum, karakter kutukebul yang menjadi ciri identifikasi (Gambar 3) di antaranya adalah compound pores (pori majemuk) di bagian subdorsal dan bentuk lubang vasiform di bagian posterior tubuhnya (Martin 1999).

(7)

Struktur dari lubang vasiform (Gambar 3) terdiri dari lingula (Gambar 3) yang memiliki ukuran dan bentuk yang bervariasi untuk masing-masing spesies. Beberapa spesies kutukebul memiliki karakter yang khusus, seperti adanya barisan duri, seta, atau bahkan rambut halus pada sekeliling tepian dari puparia, adanya papilla atau tuberkel, keberadaan pori trakea (tracheal pore), struktur warna dari kutikula puparia (Gambar 3) dan sebagainya.

Kutukebul di Indonesia

Kutukebul di Indonesia sudah ditemukan pada awal abad ke-19, (Dammerman 1929) melaporkan adanya 5 spesies kutukebul yang menjadi hama penting pada beberapa jenis tanaman Indonesia. Selanjutnya Kalshoven and Vecht (1950) melaporkan 12 spesies kutukebul yang menjadi hama penting di Indonesia, 5 diantaranya yang telah dilaporakan oleh Dammerman. Penelitian mengenai keanekaragaman kemudian dilanjutkan oleh Bintoro (2008) yang telah melaporkan adanya 17 spesies kutukebul yang belum pernah dilaporkan sebelumnya di Indonesia. Sumber publikasi yang dapat dimanfaatkan untuk mempelajari keanekaragaman kutukebul di Indonesia ialah; buku karangan LGE Kalshoven (1981) yang berjudul The Pests of Crops in Indonesia; jurnal ilmiah JH Martin (1988) yang berjudul Whitefly of Northern Sulawesi, Including New Species From Clove and Avocado (Homoptera: Aleyrodidae);jurnal ilmiah G A Evans (2005) yang berjudul The Whiteflies (Hemiptera: Aleyrodidae) of the World and Their Host Plants and Natural Enemies; draft kompilasi G W Watson (2007) yang berjudul Identification of Whiteflies (Hemiptera: Aleyrodidae). APEC Re-entry Workshop on Whiteflies and Mealybugs in Malaysia, 16th to 26th April 2007. Keanekaragaman spesies kutukebul di Indonesia lebih lengkapnya dapat diamati pada Tabel 1.

(8)

Tabel 1 Keanekaragaman kutukebul di Indonesia yang telah dipublikasikan (Bintoro 2008)

Spesies Kutukebul Penulis

a

LGEK JHM GAE GWW

Aleurocanthus citripedus Quaintance & Baker √ √ √ √

Aleurocanthus cocois Corbett - √ - √

Aleurocanthus destructor Mackie - √ √ √

Aleurocanthus longispinus Quaintance & Baker - √ √ -

Aleurocanthus nigricans Corbett - √ √ -

Aleurocanthus pendleburyi Corbett - √ √ -

Aleurocanthus rugosa Singh - √ √ -

Aleurocanthus serratus Quaintance & Baker - - √ - Aleurocanthus spiniferus Quaintance √ √ √ √

Aleurocanthus wolgumi Ashby - √ √ √

Aleuroclava neolitseae Takahashi - √ √ -

Aleuroclava nitidus Singh - √ √ -

Aleurocybotus setiferus Quaintance & Baker - √ - -

Aleurodicus antidesmae Corbett - √ √ -

Aleurodicus dispersus Rusell - - √ √

Aleurodicus holmesii Maskell - - √ -

Aleurodicus wallaceus Martin - √ √ -

Aleurolobus barodensis Maskell √ - √ -

Aleurolobus marlatti Quaintance - - √ √

Aleurolobus musae Corbett - √ - -

Aleuromarginatus sp. - √ √ -

Aleuroplatus dorsipallidus Martin - √ √ -

Aleuroplatus pectiniferus Quaintance & Baker - √ - -

Aleuroplatus sp. - √ √ -

Aleuroputeus perseae - √ √ -

Aleurothrixus antidesmae Takahashi - √ - -

Aleurotrachelus annonae Corbett - - √ -

Aleurotuberculatus neolitseae Takahashi - √ - √

Aleurotuberculatus nitidus Singh - √ - -

Aleurotuberculatus sp. - √ - -

Aleyrodes lacteal - - √ -

Aleyrodes sp. - - √ -

Asialeyrodes sp. - √ √ -

Bemisia afer Group. Priesner & Hosny - √ √ -

Bemisia pongomidae - √ - -

Bemisia tabaciGennadius √ √ √ √

Crenidorsum celebes Martin - √ √ -

(9)

Lanjutan Tabel 1 Keanekaragaman kutukebul di Indonesia yang telah dipublikasikan (Bintoro 2008)

Spesies Kutukebul Penulis

a

LGEK JHM GAE GWW

Dialeurodes minahassai Quaintance & Baker - √ - -

Dialeurodes sp. √ √ - -

Dialeuropora decempuncta Quaintance & Baker - √ - √

Dialeuropora mangiferae Corbett - - √ -

Dialeuropora sp. - - √ -

Neomaskellia andropogonis Corbett √ - - -

Neomaskellia bergii Signoret - - √ -

Nipaleyrodes elongate - √ √ -

Orchamoplatus mammaeferus Quaintance & Baker - √ √ -

Parabemisia myricae Kuwana - - √ -

Rabdostigma minahassai Martin - √ √ -

Rhachispora capitalis - √ - -

Rusostigma radiirugosa Quaintance & Baker - - √ -

Rusostigma euginiae Maskell - √ - -

Siphoninus phillyreae Haliday - - - -

Taiwanaleyrodes indica Takahashi - √ - -

Trialeurodes rex Martin - √ √ -

Trialeurodes sp. √ - - -

Trialeurodes vaporariorum Westwood - - - √

Vasdavidius setiferus Quaintance & Baker - √ √ -

a LGEK = LGE Kalshoven (1981) ; JHM = J H Martin (1985) ; GAE = Gregory A Evans (2005) ;

Gambar

Gambar 1  Siklus hidup kutukebul (Gill 1990)
Gambar 2  Proses keluarnya imago kutukebul dari puparium (Gill 1990)
Gambar 3  Morfologi umum dari kantung pupa kutu kebul (Martin 1987)
Tabel  1    Keanekaragaman  kutukebul  di  Indonesia  yang  telah  dipublikasikan  (Bintoro 2008)

Referensi

Dokumen terkait

Imago betina meletakkan telur pada bakal bunga, sedangkan larva memakan daun belimbing yang masih muda juga bunga belimbing yang belum mekar sehingga daun dan bunga

Berdasarkan identifikasi terha- dap imago betina kutu putih yang di- kumpulkan dari tanaman nenas di desa Bunihayu diperolah hasil bahwa spesies kutu putih tersebut

Koi herpesvirus (KHV) merupelet salah satu penyakit infeksius yang menyerang spesies Cyprinus carpio Linnaeus yaitu ikan Mas yang disebabkan oleh virus DNA.. Sejak

Lalat akan meletakkan telur-telurnya pada media baglog, setelah menetas, larva – larva yang tumbuh akan memakan miselium dan tubuh buah jamur tiram sehingga batang jamur

Culex betina meletakkan telur dalam bentuk berkelompok yang tersusun rapi di atas permukaan air, sehingga berbentuk seperti rakit. Sedangkan nyamuk betina lain

Lama hidup imago betina yang diamati mulai dari proses ganti kulit nimfa instar ke-5 menjadi imago hingga kematiannya adalah 6 hari, sedangkan imago jantan

Imago O. mempunyai panjang 30-57 mm dan lebar 14-21 mm, imago jantan lebih kecil dari imago betina. betina mempunyai bulu yang tebal pada bagian ujung abdomennya, sedangkan

Telur yang dihasilkan dari imago betina yang kawin berupa telur fertil yang akan menetas menjadi larva, sedangkan imago betina yang tidak kawin akan menghasilkan