• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDUGAAN EMISI GAS METAN DAN DINITROGEN OKSIDA DARI BERBAGAI JENIS TERNAK DI KABUPATEN BOGO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDUGAAN EMISI GAS METAN DAN DINITROGEN OKSIDA DARI BERBAGAI JENIS TERNAK DI KABUPATEN BOGO"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

P

PENDUGA

DARI BE

DEP

AAN EM

ERBAGA

PARTEME

MISI GAS

AI JENIS

Arfi EN ILMU N FAKUL INSTITUT

METAN

TERNAK

SKRIPS Zulta Hari NUTRISI D LTAS PETE T PERTAN 2013

DAN DIN

K DI KAB

SI i Basuki DAN TEKN ERNAKAN NIAN BOG

NITROG

BUPATE

NOLOGI P N GOR

GEN OKS

EN BOGO

PAKAN

IDA

OR

(2)

ii 

   

RINGKASAN

Arfi Zulta Hari Basuki. D24070172. 2013. Pendugaan Emisi Gas Metan dan

Dinitrogen Oksida dari Berbagai Jenis Ternak di Kabupaten Bogor. Skripsi.

Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr Pembimbing Anggota: Dr. Sri Suharti S.Pt, M.Si

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa tingkat emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari peternakan berbagai jenis ternak di Kabupaten Bogor. Jenis ternak yang diteliti adalah sapi perah, sapi potong, kerbau, kambing, domba, babi, kuda, dan unggas. Gas rumah kaca terbesar yang dihasilkan dari peternakan adalah metan (CH4) dan dinitrogen oksida (N2O). Gas metan dihasilkan dari fermentasi enterik ternak ruminansia dan kotoran ternak yang dihasilkan. Kotoran ternak yang dihasilkan peternakan juga menghasilkan emisi dinitrogen oksida secara langsung dan tidak langsung.

Metode yang digunakan yaitu survei ke beberapa peternakan di Kabupaten Bogor dengan jumlah peternakan sebanyak 10 peternak sapi perah, 4 peternak sapi potong, 2 peternak kambing dan domba, 1 peternak kerbau, 1 peternak babi, dan 2 peternak unggas. Data populasi ternak di Kabupaten Bogor tahun 2010 sebagai dasar perhitungan, pengumpulan data pustaka serta observasi lapang berupa survei menggunakan kuesioner untuk mengetahui karakteristik ternak dan manajemen kotoran ternak yang digunakan, model perhitungan emisi gas rumah kaca dari peternakan berdasarkan Intergovernmental Protocol of Climate Change (IPCC), dan pengolahan data menggunakan Microsoft Excel. Model perhitungan yang digunakan terbagi menjadi model I dan model II, dimana pada model I menggunakan data default dalam IPCC sedangkan pada model II menggunakan data yang didapat dari survei dan pustaka. Gas metan dan dinitrogen oksida yang dihasilkan dikonversi kedalam bentuk karbondioksida berdasarkan nilai Global Warming Potential (GWP) setiap gas. Hasil perhitungan yang didapat ditampilkan dalam tabel dan grafik berdasarkan emisi gas rumah kaca, jenis ternak, dan kecamatan.

Emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari peternakan di kabupaten Bogor sebesar 201,46 Gg CO2 eq pada perhitungan model I dan 170,21 Gg CO2 eq pada perhitungan model II. Urutan ternak penghasil gas rumah kaca dari yang terbesar pada perhitungan (model I dan model II) berturut-turut adalah domba (33% dan 39%), sapi perah (22% dan 9%), kerbau (16% dan 18%), kambing (12% dan 17%), sapi potong (10% dan 10%), unggas (6% dan 7%), babi (1% dan 0%) dan kuda (0%), Kecamatan Pamijahan adalah penghasil gas rumah kaca terbesar dengan total emisi yang dihasilkan sebesar 17,63 Gg CO2 eq(8,75%) pada perhitungan model I dan 12,1 Gg CO2 eq (7,03%) pada perhitungan model II.

(3)

iii  ABSTRACT

ESTIMATION OF METHANE AND DINITROGEN OXIDE GASES EMISSION FROM LIVESTOCK IN BOGOR REGENCY

Basuki, A. Z. H., I. G. Permana, S. Suharti

The aim of these research was to observe the level of emission greenhouse gases from livestock sector in Bogor Regency. Various animal species used in this research were dairy cow, beef cattle, buffalo, swine, horse, and poultry. Data of livestock’s population in Bogor Regency were used for basic calculation. The data were collected from literature and direct observation collection through survey of animal characterization and manure management, inventory equation of emission greenhouse gas based on Intergovernmental Protocol of Climate Change (IPCC). Data were processed by Microsoft Excel. Model of calculation consist of model I and model II. Model I used IPCC default data, meanwhile model II used literature and survey data. Methane and dinitrogen oxide which was produce from livestock converted into carbon dioxide based on value of Global Warming Potential (GWP). The greenhouse gases emission in Bogor Regency were 201.46 Gg CO2 eq by model I and 170.21 Gg CO2 eq by model II. Animal which was produced GHG from the highest to the lowest by (model I and model II) were sheep (33% and 39%), dairy cow (21% and 9%), buffalo (16% and 18%), goat (12% and 17%), beef cattle (10%), poultry (6% and 7%), swine (1% and 0%), and horse (0%). The highest level of greenhouse gases emission was produced by Pamijahan District as many as 17.63 Gg CO2 eq (8.75%) by model I and 12.1 Gg CO2 eq (7.03%) by model II.

(4)

iv 

PENDUGAAN EMISI METAN DAN DINITROGEN OKSIDA

DARI BERBAGAI JENIS TERNAK DI KABUPATEN BOGOR

Arfi Zulta Hari Basuki D24070172

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013

(5)

v  Judul Skripsi : Pendugaan Emisi Gas Metan dan Dinitrogen Oksida dari

Berbagai Jenis Ternak di Kabupaten Bogor Nama : Arfi Zulta Hari Basuki

NIM : D24070172

Menyetujui,

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr. Dr. Sri Suharti S.Pt, M. Si NIP. 19670506 199103 1 001 NIP. 19741012 200501 2 002

Mengetahui Ketua Departemen

Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan

Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr. NIP. 19670506 199103 1 001

(6)

vi  RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 25 Oktober 1988 di Bogor, Jawa Barat. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Tjuk Eko Hari Basuki dan Ibu Avianti Zulaicha. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar pada tahun 2001 di SD Muhammadiyah 12 Pamulang. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah pertama pada tahun 2004 di SLTP Negeri 1 Pamulang dan

menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas pada tahun 2007 di SMA Negeri 47 Jakarta. Penulis diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2007 sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan.

Selama menjadi mahasiswa di Institut Pertanian Bogor, Penulis aktif mengikuti organisasi antara lain sebagai anggota KOPMA (Koperasi Mahasiswa) IPB periode 2007-2008, pengurus BEM-D periode 2008-2009, dan pernah menjadi ketua panitia D’Day of Art (D’DOA) Fakultas Peternakan tahun 2009 serta beberapa kepanitiaan lain. Penulis juga tergabung pada organisasi di luar kampus yaitu Iluni 47 (Ikatan Alumni SMAN 47 Jakarta) dan komunitas seni IPB.

Selain kegiatan organisasi, penulis pernah menerima dana hibah bersama tim dalam Program Mahasiswa Wirausaha (PMW) tahun 2011 dengan judul “Domba Rakyat Montok dan Menguntungkan (Doraemon)”. Disamping itu, penulis juga pernah menjadi asisten dosen dalam praktikum mata kuliah Formulasi Ransum pada tahun 2011.

(7)

vii  KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT karena atas segala nikmat, ridho, dan karunia yang telah diberikan-Nya Penulis dapat menyelesaikan pendidikan dan serangkaian tugas akhir (seminar, penelitian, dan penulisan skripsi) sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Peternakan di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Skripsi berjudul “Pendugaan Emisi Gas Metan dan Dinitrogen Oksida dari Berbagai Jenis Ternak di Kabupaten Bogor” berada dibawah bimbingan Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr dan Dr. Sri Suharti S.Pt, M.Si. Penulis berharap agar hasil penelitian ini dapat meningkatkan perhatian peternak, khususnya di Kabupaten Bogor, mengenai dampak emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari sektor peternakan. Penulis berterima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini mempunyai manfaat serta dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Bogor, Januari 2013

Penulis

(8)

viii  DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR SAMPUL DALAM ... i

RINGKASAN ... ii

ABSTRACT ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

LEMBAR PENGESAHAN ... v

RIWAYAT HIDUP ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Pola Sebaran Populasi Ternak di Kabupaten Bogor ... 3

Sistem Pemeliharaan dan Pemberian Pakan Ternak di Kabupaten Bogor ... 3

Emisi Metan dari Peternakan ... 4

Emisi Dinittogen Oksida dari Peternakan ... 5

Manajemen Kotoran ternak ... 6

Tindakan Mitigasi ... 7

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) ... 8

MATERI DAN METODE ... 10

Lokasi dan Waktu ... 10

Materi ... 10

Perangkat Lunak dan Data Pendukung ... 10

Perangkat Pendukung ... 10

Prosedur . ... 10

Pengumpulan Data ... 10

Observasi Lapang ... 11

Perhitungan dan Pengolahan Data ... 11

Analisis Data ... 14

(9)

ix 

Sebaran Populasi Ternak di Kabupaten Bogor ... 15

Penentuan Faktor Emisi ... 15

Hasil Perhitungan Emisi Metan ... 21

Emisi Metan dari Fermentasi Enterik………... 21

Emisi Metan dari Manajemen Kotoran Ternak ... 21

Hasil Perhitungan Emisi Dinitrogen Oksida ... 22

Emisi Gas Rumah Kaca di Kabupaten Bogor ... 25

KESIMPULAN DAN SARAN ... 44

UCAPAN TERIMA KASIH ... 45

DAFTAR PUSTAKA ... 46

LAMPIRAN ... 49

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Populasi Ternak di Kabupaten Bogor Tahun 2009-2010 ... 15 2. Karakteristik Ternak di Kabupaten Bogor ... 17 3. Nilai Volatile Solid (VS) dan Jumlah Maksimum Metan yang

Dihasilkan (Bo) Berdasarkan Jenis Ternak ... 19 4. Estimasi Persentase Sistem Manajemen Kotoran Tiap Ternak di

Kabupaten Bogor ... 20 5. Kecamatan dengan Emisi Fermentasi Enterik Metan Terbesar dari

Sapi Perah di Kabupaten Bogor ... 22 6. Koefisien untuk Menghitung Emisi N2O Bedasarkan Jenis dan

Sistem Manajemen Kotoran Ternak ... 24 7. Emisi N2O yang Dihasilkan Tiap Ternak di Kabupaten Bogor

Berdasarkan Perhitungan Model I dan Model II (Ton N2O) ... 25 8. Emisi Total Berdasarkan Jenis Ternak ... 26 9. Emisi Metan dan Dinitrogen Oksida Tiap Kecamatan di Kabupaten

(11)

xi  DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

(12)

xii  DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Definisi Sistem Manajemen Kotoran ternak ... 37

2. Data Populasi Ternak Selain Unggas per Kecamatan di Kabupaten Bogor Tahun 2010 ... 38

3. Data Populasi Ternak Unggas per Kecamatan di Kabupaten Bogor Tahun 2010 ... 40

4. Emisi CH4 yang Dihasilkan Tiap Kecamatan di Kabupaten Bogor (Gg CO2) ... 42

5. Emisi N2O yang Dihasilkan Tiap Kecamatan di Kabupaten Bogor (Gg CO2) ... 44

6. Dokumentasi saat Observasi Lapang ... 46

7. Lembar Kuesioner Dinas Peternakan ... 47

8. Lembar Kuesioner Sapi Perah ... 48

9. Lembar Kuesioner Sapi Potong Rakyat ... 53

10. Lembar Kuesioner Sapi Potong Feedlot ... 55

11. Lembar Kuesioner Sapi Babi ... 57

12. Lembar Kuesioner Kambing/Domba ... 58

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perubahan iklim yang terjadi beberapa tahun ini disebabkan oleh gas rumah kaca yang berdampak pada pemanasan global. Fenomena pemanasan global menjadi perhatian utama di berbagai negara. Tindakan mengurangi kegiatan yang dapat menghasilkan gas rumah kaca perlu dilakukan untuk meminimalkan dampak negatif dari pemanasan global. Beberapa jenis gas rumah kaca yang mempunyai kontribusi besar terhadap pemanasan global antara lain karbondioksida, metan, dan dinitrogen oksida. Berdasakan IPCC 2006, sektor penghasil gas rumah kaca dibagi menjadi lima bagian, yaitu energi, industrial, pertanian, limbah, dan bagian lainnya diluar pertanian.

Pertanian merupakan salah satu sektor penghasil gas rumah kaca, khususnya subsektor peternakan. Peternakan mempunyai kontribusi sebesar 18% terhadap pemanasan global (Steinfeld et al., 2006). Ternak ruminansia merupakan sumber utama penghasil metan dimana secara alami terjadi di dalam pencernaannya, serta populasinya yang tersebar banyak di dunia. Emisi metan tersebut dihasilkan dari bakteri dalam mencerna pakan berserat. Selain metan, dinitrogen oksida juga dihasilkan dari kotoran ternak. Dekomposisi kotoran akan menghasilkan gas metan, sedangkan proses nitrifikasi dan denitrifikasi oleh mikroba menghasilkan gas dinitrogen oksida ke udara.

Kabupaten Bogor merupakan salah satu sentra peternakan yang berkontribusi dalam pemenuhan permintaan daging wilayah Jakarta dan sekitarnya. Pertumbuhan populasi ternak di Kabupaten Bogor tahun 2010 mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya. Saat ini populasi ternak di Kabupaten Bogor untuk sapi potong, sapi perah, kerbau, kuda, kambing, domba, babi, ayam broiler, ayam petelur, ayam buras dan itik berturut-turut sebanyak 18.068, 7.288 , 19.908, 361, 119.337, 280.798, 4.734, 15.771.780, 4.371.042 dan 137.009 ekor (Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, 2011). Bentuk usaha peternakan di Kabupaten Bogor terbagi menjadi peternak rakyat dan peternak industri. Pola pemeliharaan serta pemberian pakan secara tradisional dan berkualitas rendah banyak diterapkan pada peternakan rakyat. Penggunaan pakan berkualitas rendah untuk ternak berpotensi dalam peningkatan tingkat pemanasan global.

(14)

2  Salah satu upaya penanggulangan dampak pemanasan global adalah dengan melakukan perhitungan (inventory) dan tindakan mitigasi. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) adalah lembaga ilmiah internasional dalam penilaian perubahan iklim. IPCC mengeluarkan metodologi untuk perhitungan estimasi gas rumah kaca. Hasil penelitian Qurimanasari (2011) mengenai pendugaan emisi gas rumah kaca dari sektor peternakan di Jawa Barat, menunjukan karakteristik ternak di Jawa Barat mempunyai faktor emisi yang lebih besar dibandingkan dengan hasil dari IPCC, dengan kegiatan pengurangan emisi (mitigasi) yang dilakukan adalah perbaikan kualitas pakan. Wilayah yang terlalu luas menjadi salah satu kendala dalam pengumpulan informasi mengenai peternakan. Berdasarkan hal tersebut, perhitungan nilai dugaan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan perlu dilakukan kembali dengan wilayah yang lebih terjangkau dan diharapkan mendapat data yang lebih lengkap sehingga didapatkan nilai yang lebih akurat.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi pendugaan nilai emisi gas metan dan dinitrogen oksida yang dihasilkan dari ternak sapi, kerbau, babi, kambing, domba, kuda, dan unggas di Kabupaten Bogor.

(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Pola Sebaran Populasi Ternak di Kabupaten Bogor

Berdasarkan data dari Dinas Peternakan provinsi Jawa Barat tahun 2010, Kecamatan Cijeruk mempunyai populasi sapi perah terbesar di Kabupaten Bogor sebesar 1707 ekor, diikuti Kecamatan Pamijahan dan Cisarua (1461 dan 1404 ekor), sedangkan untuk populasi sapi potong terbesar berada di Kecamatan Rumpin sebesar 3980 ekor. Ternak domba merupakan ternak ruminansia terbesar di Kabupaten Bogor, sebesar 61% total populasi diluar populasi unggas. Pada tahun 2010, terdapat 278 kelompok peternak yang terdata dari berbagai jenis ternak di Kabupaten Bogor. Menurut Halomoan et al. (2010) sapi dari peternakan rakyat untuk mensuplai kebutuhan pasar tradisional memiliki bangsa yang lebih beragam serta usia yang lebih tua dibandingkan dengan sapi yang digemukan sistem feedlot untuk mensuplai kebutuhan pasar khusus.

Sistem Pemeliharaan dan Pemberian Pakan Ternak di Kabupaten Bogor

Sistem pemeliharaan sapi potong dibagi menjadi pemeliharaan secara intensif, ekstensif dan gabungan keduanya. Sistem pemeliharaan intensif adalah sistem pemeliharaan ternak sapi dengan cara dikandangkan secara terus menerus dengan sistem pemberian pakan cut and carry. Sistem pemeliharaan ekstensif biasanya aktifitas perkawinan, pembesaran, pertumbuhan, dan penggemukan ternak sapi dilakukan oleh satu orang yang sama di padang penggembalaan yang sama. Sistem pemeliharaan semi ekstensif atau gabungan keduanya adalah dengan menggembalakan ternak, namun pakan tetap disediakan oleh peternak (Parakkasi, 1999).

Ternak domba di Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, dipelihara dengan sistem pemeliharaan intensif menggunakan kandang panggung dan pakan yang diberikan adalah rumput lapang, serta kotoran yang dihasilkan dijadikan pupuk sebagai pemeliharaan lahan (Karyadi, 2008). Rabbani (2009) mengatakan dalam penelitiannya bahwa ternak kerbau di Kabupaten Bogor sebagian besar dipelihara secara ekstensif (86,7%), sedangkan kerbau yang dipelihara secara intensif sebesar 13,3%.

(16)

4  Pada ternak sapi perah di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) sapi perah, Kabupaten Bogor, dipelihara secara intensif (dikandangkan), dengan pemberian pakan hijauan berkualitas rendah dan konsentrat yang kurang sesuai dengan kebutuhan sapi perah. Cara pemberian pakan yang kurang baik menyebabkan menurunya efisiensi dan produksi susu yang kurang maksimal (Sembada, 2012).

Emisi Metan dari Peternakan

Emisi metan dari fermentasi enterik telah menjadi perhatian industri pertanian beberapa tahun terakhir disebabkan kontribusinya terhadap pemanasan global (Moss et al., 2000). Emisi metan dari peternakan di bagi menjadi dua, yaitu emisi dari fermentasi enterik dan emisi dari sistem manajemen kotoran ternak. Emisi metan dari manajemen kotoran ternak cenderung lebih rendah dibandingkan dengan fermentai enterik meskipun sistem manajmen kotoran ternak tersebut disimpan dalam bentuk cairan (IPCC Report, 2006).

Metan dari proses fermentasi enterik dari ruminansia sekitar 11%-17% dari metan global atau 17%-30% dari total metan antropogenik (Beauchemin et al., 2007). Metan dari sumber ini diproduksi oleh bakteri yang ada di saluran pencernaan yang berperan mencena makanan yang berserat. Ternak melepaskan gas metan ke atmosfer melalui mulut dan lubang hidung (nostrils). Proses fermentasi yang berlangsung di dalam lambung ternak ruminansia seperti sapi, kerbau, kuda, kambing, domba akan menghasilkan gas metan (Wood et al., 1998).

Pada prinsipnya, pembentukan gas metan di dalam rumen terjadi melalui reduksi CO2 oleh H2 yang dikatalis oleh enzim yang dihasilkan oleh bakteri metanogenik (Thalib, 2008). Kondisi anaerob dalam rumen menimbulkan reaksi oksidasi dalam ATP dan melepas hidrogen. Jumlah hidrogen yang dihasilkan tergantung jenis makanan dan jenis mikroba rumen sebagai fermentasi pakan yang menghasilkan produk akhir yang tidak sama dengan hidrogen yang dikeluarkan. Misalnya, pembentukan asam propionat membutuhkan hidrogen sedangkan asam asetat dan butirat melepas hidrogen. Metanogenesis adalah mekanisme oleh rumen untuk menghindari akumulasi hidrogen. Hidrogen bebas menghambat dehidrogenasi dan mempengaruhi proses fermentasi. Pemanfaatan hidrogen dan CO2 untuk menghasilkan CH4 dilakukan oleh archea metanogen (Martin et al., 2008). Reaksi yang terjadi dalam pembentukan metan dalam rumen adalah sebagai berikut :

(17)

5  CO2 + 4H2 CH4 + 2H2O (methanogenesis)

Pakan dapat mempengaruhi rasio energi yang dikonversi menjadi metan. Sistem pemberian pakan di Indonesia yang bervariasi menyebabkan perlunya dilakukan perbaikan terhadap faktor emisi yang berdasar pada kondisi pakan terutama bahan organik dan tingkat konsumsi energi. Selain itu, perbaikan faktor emisi dari subsektor peternakan dapat juga dengan mempertimbangkan struktur populasi ternak (Suryahadi et al., 2001). Hasil penelitian Harper et al. (1999) menunjukan bahwa sapi yang digembalakan menghasilkan metan lebih besar dibandingkan dengan sapi yang dikandangkan (feedlot). Hal tersebut menunjukan bahwa sapi yang mendapatkan pakan berkualitas rendah dengan tinggi serat hijauan akan menghasilkan lebih banyak metan dibandingkan dengan sapi yang diberi pakan berkualitas tinggi (konsentrat). Haryanto dan Thalib (2009) mengatakan besarnya emisi metan yang dihasilkan ternak dapat dipengaruhi oleh faktor kualitas pakan, status dan fisiologis ternak, serta lingkungan.

Gas metan juga akan dihasilkan melalui proses dekomposisi kotoran ternak yang berlangsung secara anaerobik (Wood et al., 1998). Salah satu pengolahan kotoran ternak yang digunakan adalah biogas. Biogas adalah campuran beberapa gas yang merupakan hasil fermentasi dari bahan organik dalam kondisi anaerob, dan gas yang dominan dihasilkan adalah gas metan (CH4) dan gas karbondioksida (CO2) (Simamora, et al., 2005). Prinsip utama dari perhitungan emisi metan dari kotoran ternak adalah banyaknya kotoran ternak yang diproduksi dan bagian dari kotoran ternak tersebut yang terdekomposisi secara anaerobik. Total kotoran ternak yang diproduksi dapat diestimasikan dengan menggunakan rata-rata produksi metan per ekor ternak dan jumlah populasi ternak itu sendiri (IPCC, 2000).

Berdasarkan informasi dari Kementrian Lingkungan Hidup (2010) pada tahun 2000-2006 penghasil emisi metan dari fermantasi enterik di indonesia didominasi oleh sapi potong (62,8%), kemudian kerbau (16%) dan kambing (10,4%), sedangkan emisi metan dari manajemen kotoran ternak paling besar dihasilkan oleh babi (46,1%), kemudian broiler (13,4%), dan sapi perah (10,3%).

Emisi Dinitrogen Oksida dari Peternakan

Selain metan, nitrogen yang dikeluarkan dari ekresi ternak (baik yang di dalam urin maupun di dalam kotoran) melalui proses denitrifikasi akan menghasilkan

(18)

6  gas dinitrogen oksida (N2O) (Wood et al., 1998). Nitrogen oksida mempunyai efek penting terhadap sistem iklim dan di dalam stratosfer (Wuebbles, 2009). Gas ini merupakan gas rumah kaca potensial yang diproduksi tanah, sebagian besar disebabkan proses mikrobiologi dari nitrifikasi (oksidasi amonia) dan denitrifikasi reduksi nitrat. Proses pengendalian nitrogen dioksida tanah termasuk dengan pengaturan denitrifikasi dan nitrifikasi (karbon, inorganik nitrogen, dan oksigen yang dipengaruhi oleh kelembapan, porositas, dan struktur agregat tanah (Robertson dan Groffman, 2007).

Emisi nitrogen oksida dari sistem manajemen kotoran ternak sangat berbeda nyata antara tipe penggunaan sistem manajemen dan bisa juga emisi tidak langsung dari bentuk nitrogen lain yang hilang dari sistem. Pendugaan produksi dinitrogen oksida, baik langsung maupun tidak langsung, adalah dengan melihat penyimpanan maupun perlakuan yang dilakukan terhadap kotoran ternak. Emisi dinitrogen oksida secara langsung terjadi melalui proses nitrifikasi dan denitrifikasi nitrogen yang terkandung dalam kotoran ternak. Besarnya emisi dinitrogen oksida dari kotoran ternak selama penyimpanan dan perlakuan tergantung dari kandungan nitrogen dan karbon dalam kotoran ternak serta lamanya proses itu terjadi. Emisi dinitrogen oksida secara tidak langsung dihasilkan dari nitrogen volatile hilang yang terjadi dari bentuk amonia dan NOx. Fraksi dari ekskresi nitrogen organik memberikan proses mineralisasi terhadap nitrogen amonia selama pengoleksian dan penyimpanan kotoran ternak tergantung dari waktu dan rata-rata derajat temperatur (IPCC Report, 2006). Besar emisi dinitrogen oksida secara langsung dari manajemen ternak di Indonesia lebih besar dibandingkan emisi secara tidak langsung, dengan ternak sapi potong sebagai penghasil emisi tertinggi (Kementrian Lingkungan Hidup, 2010).

Manajemen Kotoran Ternak

Produksi metan bergantung terhadap tipe sistem manajemen kotoran ternak, dimana secara umum dibagi menjadi sistem cairan dan kering. Sistem kering melingkupi penyimpanan padatan, feedlot, penyimpanan di lubang, dan penyebaran harian dari kotoran ternak. Sebagai tambahan, kotoran ternak yang tidak dikelola dari ternak yang di gembalakan di lahan pastura tidak termasuk ke dalam kategori ini. Manajemen kotoran ternak dengan dalam bentuk cair biasanya menggunakan air untuk memudahkan penanganan kotoran ternak. Sistem ini mencakup laguna dan

(19)

7  penggunaan tangki untuk penyimpanan sampai digunakan untuk lahan. Sistem kotoran ternak dalam bentuk cair menciptakan kondisi anaerobik ideal untuk produksi metan. Menur mengalami dekomposisi lebih cepat saat iklim mendukung untuk pertumbuhan bakteri. Sistem kotoran ternak dalam bentuk cairan pada temperatur hangat akan meningkatkan proses pembentukan metan. Sistem kotoran ternak dalam bentuk kering, hujan akan mempengaruhi produksi metan, dimana cuaca basah memiliki tingkat emisi lebih tinggi dibandingkan saat panas (IPCC, 2000).

Kotoran ternak merupakan sumber daya yang berharga untuk menggantikan pupuk kimia bila dimanfaatkan dengan benar. Pengelolaan kotoran ternak harus dilakukan dengan hati-hati untuk meminimalkan bau, unsur hara yang hilang, serta emisi, yang dapat menjadi sumber polusi. Informasi mengenai produksi serta komposisi kotoran ternak terkait dengan jenis ternak dan pemberian pakan sangat sedikit di Asia. Data terbaik yang bisa didapat untuk sekarang adalah berdasarkan beberapa asumsi yang digunakan (IAEA, 2008). Sistem manajemen kotoran ternak yang diterapkan pada peternakan sapi perah di Cisarua adalah 66,8% dengan disebar harian dan 33,2% dimanfaatkan sebagai biogas (Zandos, 2011).

Mitigasi

Mitigasi adalah tindakan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Tindakan mitigasi dapat dijadikan pilihan teknis dan manajemen dalam usaha untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari peternakan. Bentuk tindakan mitigasi berdasarkan manajemen dalam peternakan rakyat antara lain, (i) penyediaan naungan dan air untuk mengurangi heat stress dari peningkatan temperatur, (ii) pengurangan jumlah ternak, dengan jumlah ternak sedikit namun produktif dapat meningkatkan efisiensi produksi dan mengurangi emisi gas rumah kaca dari peternakan, (iii) penyeleksian antara ternak besar dan kecil, (iv) peningkatan sumber air. Tindakan mitigasi dari sektor peternakan tercapai dengan melakukan beberapa kegiatan antara lain penyesuaian sistem pemberian pakan, manajemen kotoran ternak, dan manajemen produksi bahan baku pakan. Beberapa tindakan mitigasi yang dapat dilakukan seperti pemilihan bangsa ternak yang cepat tumbuh, peningkatan manajemen pemberian pakan, perbaikan manajemen limbah, manajemen pastura, dan penurunan produksi serta konsumsi produk peternakan (IFAD, 2009).

(20)

Mara et al. (2008) merekomendasikan beberapa teknologi alternatif untuk menurunkan produksi metan akibat fermentasi pakan di dalam saluran pencernaan, yaitu meningkatkan frekuensi pemberian pakan, meningkatkan jumlah konsentrat di dalam ransum, memilih pakan yang mengandung karbohidrat non-struktural lebih tinggi, penggunaan legum, perbaikan manajemen padang pengembalaan, penggunaan biji-bijian pada silase, memanfaatkan tanaman yang mengandung saponin dan tanin sebagai pendefaunasi protozoa di dalam rumen, dan penggunaaan feed aditif. 

Menurut Kementrian Lingkungan Hidup tahun 2010 ada beberapa teknologi mitigasi untuk sektor peternakan antara lain, peningkatan kualitas pakan, pemberian suplementasi dalam pakan, pembibitan jangka panjang, dan bioenergi.

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) adalah badan internasional dalam penilaian perubahan iklim. Lembaga ini didirikan oleh United Nations Environment Programme (UNEP) dan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) untuk menginformasikan pada dunia pandangan ilmiah yang jelas mengenai keadaan saat ini dan pengetahuan dalam perubahan iklim dan potensi dampak lingkungan dan sosial-ekonomi. Majelis Umum PBB mengesahkan kegiatan yang dilakukan oleh WMO dan UNEP bersama-sama dalam membangun IPCC. IPCC adalah lembaga ilmiah yang akan meninjau dan menilai informasi ilmiah, teknis dan sosio-ekonomi terbaru diproduksi di seluruh dunia yang relevan untuk memahami perubahan iklim. Tidak melakukan penelitian apapun juga tidak memantau data iklim terkait atau parameter. Ribuan ilmuwan dari seluruh dunia memberikan kontribusi pada pekerjaan dari IPCC atas dasar sukarela. Resensi adalah bagian penting dari proses IPCC, untuk menjamin penilaian yang obyektif dan lengkap informasi saat ini. IPCC bertujuan untuk mencerminkan berbagai pandangan dan keahlian. Sekretariat mengkoordinasikan semua pekerjaan IPCC dan bekerjasama dengan pemerintah. Hal ini didukung oleh WMO dan UNEP dan diselenggarakan di markas WMO di Jenewa (IPCC, 2012).

IPCC 2006 guidelines menyediakan metodologi untuk estimasi perhitungan emisi gas rumah kaca, terdiri dari lima jilid. Jilid pertama menggambarkan langkah dasar dalam perkembangan inventaris dan petunjuk umum mengenai emisi gas rumah kaca berdasarkan pengalaman dari tahun 1980. Jilid dua sampai lima

(21)

9  merupakan petunjuk untuk pendugaan dari berbagi sektor ekonomi. IPCC 2006 guidelines menyediakan petunjuk dalam metodologi pendugaan emisi dalam tiga tingkat ketelitian, dari tingkat satu (tier 1), metode default, sampai tingkat tiga (tier 3), metode terperinci. Penggunaan metode tersebut dengan pendekatan menggunakan pohon keputusan sebagai pedoman dalam pemilihan metode yang digunakan agar sesuai dengan kondisi yang ada (IPCC, 2006).

(22)

10  MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di peternakan sapi potong, sapi perah, kambing, domba, babi, kerbau, dan ayam broiler di Kabupaten Bogor dan Laboratorium Komputer Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, pada bulan Februari sampai dengan bulan Mei 2012.

Materi Perangkat Lunak dan Data Pendukung

Perangkat lunak yang digunakan adalah Microsoft Excel. Sumber informasi berupa data primer dan sekunder. Data primer didapatkan berdasarkan pengambilan data langsung ke beberapa peternakan dari berbagai jenis ternak di Kabupaten Bogor. Data sekunder berupa pustaka yang mendukung untuk penelitian ini.

Perangkat Pendukung

Spesifikasi komputer yang digunakan adalah AMD Athlon II X2 dual core @ 3,0 Ghz, RAM dengan kapasitas 2 GB, dan Harddsik berkapasitas 80 GB. Peralatan yang digunakan dalam pengambilan data adalah kuesioner (terlampir) dan alat tulis.

Prosedur Pengumpulan Data

Pencarian data populasi ternak terkini di Kabupaten Bogor dan pengambilan data langsung ke beberapa peternakan dengan wawancara serta penggunaan kuesioner. Metode pengacakan menggunakan purposive sampling, yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2011). Pertimbangan yang digunakan adalah kecamatan dengan jumlah ternak yang besar dan lokasi peternakan yang mudah dijangkau. Data yang diambil meliputi data populasi, jenis sapi, jenis kelamin, status reproduksi, klasifikasi ternak berdasarkan umur, bobot badan, pertambahan bobot badan, sistem pemberian pakan, produksi susu, kandungan lemak susu, serta sistem manajemen kotoran ternak. Data yang tidak didapat dari peternak dilengkapi dengan data yang berasal dari pustaka.

Sistem manajemen kotoran ternak yang dilakukan peternakan diklasifikasikan berdasarkan IPCC (Lampiran 1). Pembagian persentase sistem manajemen kotoran

(23)

11  ternak yang diterapkan peternakan dilakukan secara subjektif peneliti saat melakukan survei maupun pustaka.

Observasi Lapang

Melakukan survei ke peternakan di Kabupaten Bogor untuk mengetahui karakteristik ternak serta sistem manajemen kotoran ternak yang digunakan. Peternakan yang dijadikan objek pengamatan yaitu peternakan sapi perah di KUNAK, peternakan sapi potong lokal di Kecamatan Klapanunggal, peternakan sapi potong PT. Rumpinary Agro Industry dan PT. Karya Anugrah Rumpin, peternakan kambing dan domba Mitra Tani Farm dan Saung Tani Farm, peternakan babi di Kecamatan Gunung Sindur, peternakan kerbau di Kecamatan Sukajaya, dan peternakan ayam broiler di Kecamatan Parung.

Perhitungan dan Pengolahan Data

Penggunaan Microsoft Excel untuk perhitungan pendugaan faktor emisi berdasarkan jenis ternak. Perhitungan menggunakan rumus yang terdapat dalam IPCC tahun 2006. Nilai faktor emisi yang didapat dari perhitungan terbagi menjadi faktor emisi default (Model I) dan enhanced (Model II), dimana pada Model II menggunakan data yang didapat hasil pencarian baik obeservasi dari lapang langsung maupun dari pustaka. Data yang tidak dapat ditemui pada keduanya akan menggunakan data default yang dikeluarkan IPCC.

1) Perhitungan Emisi Metan

Emisi (Gg CH4) = populasi x (FE/106); dimana FE adalah faktor emisi metan dalam satuan kg CH4/ekor/tahun.

2) Perhitungan Faktor Emisi Metan

Faktor emisi metan dari fermentasi enterik menggunakan pendekatan pada nilai energi bruto dalam pakan yang dihasilkan ternak selain unggas dengan rumus:

FE = GE .

Ym

100 . 365

55,65 ;

dimana FE adalah faktor emisi dari fermentasi enterik dengan satuan kg CH4/ternak/tahun, GE adalah energi bruto dengan satuan MJ/ekor/tahun, Ym

(24)

12  adalah faktor konversi metan dalam persen dan 55,65 merupakan koefisien kandungan energi dari metan dalam satuan MJ/ kg CH4.

Nilai GE (energi bruto) bergantung kepada bobot badan, tingkat kecernaan, sistem pemeliharaan, lama waktu kerja, pertambahan bobot badan, serta produksi susu, tingkat laktasi, dan tingkat kebuntingan untuk ternak betina. Faktor emisi metan yang dihasilkan dari manajemen kotoran ternak menggunakan pendekatan pada nilai persentase sistem manajemen kotoran ternak yang digunakan, serta karakteristik kotoran ternak ternak yang dihasilkan dengan rumus:

FE = VS . 365 Bo . 0,67MCFS,k

100

S,k . MSS,k ;

dimana FE adalah faktor emisi dari manajemen kotoran ternak dengan satuan kg CH4/ternak/tahun, VS adalah padatan yang mudah melayang (volatile solid) dengan satuan kg BK/ternak/hari, Bo adalah jumlah maksimal metan yang dihasilkan oleh kotoran ternak dengan satuan m3CH4/kg VS, MCF adalah faktor konversi metan berdasarkan tiap manajemen kotoran ternak menurut suhu daerah dengan satuan %, dan MS adalah fraksi dari ternak yang menggunakan sistem manajemen kotoran ternak berdasarkan suhu wilayah.

Nilai default (Model I) IPCC faktor emisi metan dari fermentasi enterik dan manajemen kotoran ternak sebagai berikut :

3) Emisi Dinitrogen Oksida

Emisi dinitrogen oksida secara langsung dari manajemen kotoran ternak menggunakan perhitungan sebagai berikut:

Nm = Populasi . Nex . %MMS

100 ; dimana Nm adalah nilai emisi N2O dalam kg N, Nex adalah rataan N yang diekskresikan dengan satuan kgN/ekor/tahun, dan %MMS merupakan estimasi persentase penggunaan manajemen kotoran ternak dalam persen.

N2OD(mm) = Nm . FE3 . 44

28; dimana N2OD(mm) adalah emisi dinitrogen oksida secara langsung dari manajemen kotoran ternak dengan satuan kgN2O/tahun, Nm adalah nilai emisi N2O dalam kg N, FE3 adalah faktor

(25)

13  emisi N2O langsung dengan satuan N2O-N/kgN, dan 44/28 adalah faktor konversi dari (N2O-N)(mm) menjadi N2O(mm).

Emisi dinitrogen oksida dari manajemen secara tidak langsung diperoleh dari penjumlahan perhitungan emisi N2O secara tidak langsung melalui volatile N yang hilang dari manajemen kotoran ternak (N2Omm) dan N yang dapat digunakan kembali untuk tanah, pakan, dan konstruksi dalam manajemen kotoran ternak (N2Omms_avb). Perhitungan yang digunakan sebagai berikut :

N2OG(mm) = (Nvolatilization-MMS.FE4).44/28; dimana N2OG(mm) adalah emisi N2O tidak langsung melalui penguapan N dari manajemen kotoran ternak dengan satuan kgN2O/tahun, Nvolatilization-MMS adalah jumlah nitrogen yang hilang dari penguapan NH3 dan NOx dalam satuan kgN/tahun, FE4 adalah faktor emisi dari N yang terdeposisi dengan satuan kgN2O-N, 44/28 adalah faktor konversi dari (N2O-N)(mm) menjadi N2O(mm).

Nvolatilization-MMS = ∑ ∑ Populasi . Nex . MS(S) .

FracGasMs

100 (S) T

S ; dimana

Nvolatilization-MMS = jumlah nitrogen yang hilang dari penguapan NH3 dan NOx dalam satuan kgN/tahun, Nex adalah rataan N yang diekskresikan dengan satuan kgN/ekor/tahun, MS(S) adalah fraksi total eksresi nitrogen dengan sistem manajemen kotoran ternak S, dan FracGasMs adalah persentase dari nitrogen kotoran ternak ternak yang menguap menjadi NH3 dan NOx dalam sistem manajemen kotoran ternak S dalam persen.

N2Omms_avb = ∑ ∑ Populasi . Nex . MS(S) .

1‐FracLossMs

100 (S) T

S

+ Populasi . MS(S) . NBeddingMS ;

dimana N2Omms_avb adalah jumlah N dari manajemen kotoran ternak yang diaplikasikan untuk manajemen tanah, pakan, bahan bakar, dan konstruksi dengan satuan kgN/tahun, Nex adalah rataan N yang diekskresikan dalam kgN/ekor/tahun, MS(S) adalah fraksi total eksresi nitrogen ternak dengan sistem manajemen kotoran ternak S dalam persen, FracLossMS adalah persentase dari nitrogen kotoran ternak ternak yang hilang dalam sistem manajemen kotoran ternak S dalam persen, dan NBeddingMS meupakan jumlah N dari bedding dengan satuan kgN/ekor/tahun.

(26)

14  4) Perhitungan konversi emisi metan dan dinitrogen oksida ke bentuk karbon

diokasida. Ketetapan dari indeks GWP dengan angka konversi 1 metan = 23 karbon dioksida dan 1 dinitrogen oksida = 296 karbon dioksida. Angka tersebut berdasarkan lamanya gas CH4 dan N2O selama 100 tahun di atmosfer (IPCC, 2001).

Analisa Data

Perhitungan emisi metan dan nitrogen oksida dari berbagai jenis ternak dilakukan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel. Hasil perhitungan selanjutnya ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik, serta dijelasakan secara deskriptif.

(27)

15  HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebaran Populasi Ternak di Kabupaten Bogor

Kabupaten Bogor terdiri dari 40 kecamatan yang merupakan wilayah strategis dalam pengembangan usaha peternakan untuk memenuhi permintaan daging wilayah Jabodetabek. Data Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor tahun 2011 menunjukan populasi ternak terbesar tahun 2010 pada sektor ternak unggas yaitu 22.593.324 ekor yang didominasi oleh populasi ayam broiler, sedangkan pada ternak ruminansia domba memiliki populasi terbesar sebanyak 280.798 ekor. Babi mengalami peningkatan tertinggi sebesar 30,52%, diikiuti oleh ayam buras sebesar 23,45%. Data lengkap mengenai jumlah populasi ternak di Kabupaten Bogor terdapat dalam Tabel 1.

Tabel 1. Populasi Ternak di Kabupaten Bogor Tahun 2009-2010 (ekor)

No. Jenis Ternak Tahun Peningkatan (%)

2009 2010 1. Sapi Perah 7.131 7.288 2,15% 2. Sapi Potong 17.472 18.068 3,30% 3. Kerbau 17.867 19.908 10,25% 4. Babi 3.289 4.734 30,52% 5. Kuda 361 361 0% 6. Kambing 114.832 118.797 3,34% 7. Domba 278.068 280.798 0,97% 8. Itik 133.667 137.009 2,44% 9. Ayam Broiler 14.363.496 15.771.780 8,93% 10. Ayam Layer 4.365.494 4.371.132 0,13% 11. Ayam Buras 1.009.186 1.318.299 23,45%

12. Ayam Ras Pembibit 984.227 995.104 1,09%

Sumber : Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor (2011)

Penentuan Faktor Emisi

Perhitungan faktor emisi menggunakan panduan dari IPCC (2006). IPCC (2006) mempunyai tiga metode perhitungan berdasarkan tingkat ketelitiannya, yaitu model I menggunakan data default dari IPCC, model II menggunakan beberapa data

(28)

16  spesifik yang dapat mempengaruhi perhitungan faktor emisi, dan model III menggunakan data lebih mendetail mengenai karakteristik ternak tersebut. Data default merupakan data yang disediakan IPCC mengenai karakteristik setiap ternak dan dihimpun berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan.

Perhitungan emisi menggunakan populasi ternak sebagai dasar perhitungan baik pada model I maupun model II. Populasi pada perhitungan emisi adalah populasi rata-rata pemeliharaan dalam setahun. Ternak sapi perah, sapi potong, kerbau, kuda, babi, kambing dan domba diasumsikan dipelihara dalam setahun. Ayam broiler, ayam buras, ayam petelur, dan itik diasumsikan mempunyai lama pemeliharaan berturut-turut 35, 180 , 365 dan 180 hari.

Perhitungan model I tidak memperhatikan lebih lanjut mengenai populasi maupun struktur populasi ternak. Populasi sapi perah diasumsikan tidak semua merupakan betina dewasa, sehingga pada perhitungan Model II dilakukan pendekatan menggunakan satuan ternak, untuk ternak pedet dan muda dikalikan dengan 0,25 dan 0,5. Struktur populasi sapi perah yang digunakan di Kabupaten Bogor meliputi Kecamatan Pamijahan dan Cisarua. Struktur populasi sapi perah di Kecamatan Pamijahan berdasarkan data KPS Bogor (2009) adalah betina dewasa (61%), jantan dewasa (5%), muda (14%), dan pedet (25%). Zandos (2011) menyebutkan Kecamatan Cisarua memiliki struktur populasi betina dewasa (53%), muda (24%), dan pedet (23%).

Populasi sapi potong yang terdata di Kabupaten Bogor diasumsikan merupakan peternakan sapi potong rakyat lokal tanpa industri (Feedlot). Ternak sapi potong menggunakan struktur populasi sapi lokal di Desa Singasari, Kecamatan Jonggol, dimana besar persentase sapi betina dewasa (45%), jantan dewasa (3%), muda (29%), dan pedet (23%) (Rachmawatie, 2005).

Perhitungan faktor emisi di Kabupaten Bogor menggunakan model II, dimana data karakteristik ternak didapatkan dari obesrvasi lapang dan pustaka, serta model I untuk membandingkan hasil perhitungan model II. Data default IPCC pada model I menggunakan regional Asia berdasarkan letak geografis Kabupaten Bogor, dengan temperatur rata-rata 28 °C. Perhitungan model II membutuhkan data spesifik mengenai karakteristik ternak di Kabupaten Bogor, data yang digunakan adalah suhu wilayah, struktur populasi, sistem pemeliharaan, sistem pemberian pakan, bobot

(29)

17  badan, produksi susu, lemak susu, lama waktu kerja, dan manajemen kotoran ternak. Data selain manajemen kotoran ternak, hanya didapatkan pada ternak sapi perah, sapi potong dan kerbau, sehingga data default digunakan pada ternak lainnya.

Perhitungan faktor emisi metan dari fermentasi enterik, menggunakan pendekatan pada energi bruto yang dihasilkan ternak. Energi bruto yang dihasilkan dipengaruhi oleh konsumsi pakan serta karakteristik masing-masing ternak yang meliputi sapi perah, sapi potong, dan kerbau. Nilai faktor emisi metan didapatkan dari konversi energi bruto. Faktor konversi metan (Ym) yang digunakan untuk sapi perah, sapi potong, dan kerbau sebesar 6,5. Pakan yang berkualitas dapat menurunkan nilai faktor konversi tersebut. Metan mempunyai kandungan energi didalamnya dengan nilai koefisien sebesar 55,65 MJ/ kg CH4.

Berdasarkan perhitungan model II, sapi perah mempunyai nilai faktor emisi terbesar sebesar 93 kg CH4/ekor/tahun, lebih besar dibandingkan data default. Hal tersebut disebabkan estimasi bobot badan dan produksi susu sapi perah pada data default mempunyai nilai rendah dibandingkan karakteristik sapi perah di Kabupaten Bogor, sehingga membutuhkan energi lebih tinggi dan menghasilkan emisi metan yang lebih tinggi. Data mengenai karakteristik ternak serta faktor emisi yang dihasilkan setiap ternak dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Karakteristik Ternak di Kabupaten Bogor

Keterangan : BB = Bobot badan (kg); DE = Tingkat kecernaan (%); PS = Produksi susu (kg/hari); LS = Lemak susu (%); B = Kebuntingan (%); WK = Waktu kerja (jam/ekor/hari); EB = Energi Bruto (MJ/ekor/hari); FE = Faktor emisi (kg CH4/ekor/tahun); FE = (Energi bruto x (Ym/100) x 365)/55,65

Sumber : *: Rabbani (2009), **: Sirait (1999) No Jenis Ternak Model I Model II BB DE PS LS B WK EB FE BB DE PS LS B WK EB FE 1 Sapi Perah 350 60 4,5 4 80 - 160 68 390 60 9,3 3,9 80 - 218 93 2 Sapi Potong (Pastura) 48 34 Betina Dewasa 300 60 1,1 4 45 - 106 46 266 56 1,1 3,45** 45 - 108 46 Jantan Dewasa 400 60 - - - - 113 48 250 56 - - - - 88 38 Muda 200 60 - - - - 84 36 117 56 - - - - 65 28 Pedet - - - - - 66 56 - - - - 42 18 3 Kerbau 380 55 0,9 9 25 0,6 132 56 318* 56 0,9 9,65** 40* 0,5* 130 55 4  Babi 1 1 5  Kambing 30 5 ‐  5 6 Domba 45 5 35 5 7 Kuda 18 18

(30)

18  Sapi potong di Kabupaten Bogor mempunyai faktor emisi sebesar 34 kg CH4/ekor/tahun. Faktor emisi pada data default sebesar 48 kg CH4/ekor/tahun dan berlaku untuk semua jenis sapi potong secara keseluruhan karena tidak memperhatikan struktur populasi. Pakan berkualitas rendah pada dasarnya akan menghasilkan emisi metan yang tinggi, namun bobot badan yang rendah pada sapi potong di Kabupaten Bogor menyebabkan faktor emisinya lebih rendah dibandingkan dengandata default. Kerbau menghasilkan faktor emisi yang tidak jauh berbeda dengan data default, yaitu sebesar 55 kg CH4/ekor/tahun. Ternak babi, kambing, domba dan kuda menggunakan faktor emisi dari data default.

Ternak tidak hanya menghasilkan emisi metan dari fermentasi enterik, kotoran ternak juga mempunyai peran dalam menghasilkan emisi dari kotorannya. Emisi metan dari kotoran ternak bergantung kepada jenis ternak, karateristik kotoran ternak, serta manajemen kotoran ternak yang dilakukan pada peternakan. Karakteristik Kotoran ternak ditentukan oleh padatan yang mudah melayang/volatile solid (VS) yang diproduksi kotoran ternak itu sendiri dan jumlah maksimal metan yang dihasilkannya (Bo). Produksi VS dari kotoran ternak dapat diperkirakan berdasarkan konsumsi pakan dan kecernaan, sedangkan nilai Bo bervariasi menurut jenis ternak dan pakan yang diberikan. Kotoran ternak yang becampur dengan bedding (jerami, sebuk gergaji, litter) tidak dihitung dalam VS, karena bedding tidak akan menambah produksi metan secara signifikan.

Ternak kerbau mempunyai nilai VS tertinggi sebesar 3,9 kg/ekor/hari, sedangkan terendah pada ternak unggas sebesar 0,01 kg/ekor/hari. Nilai Bo tertinggi terdapat pada unggas sebesar 0,36 m3CH4/kg VS, sedangkan terendah pada ternak sapi potong dan kerbau sebesar 0,1 m3CH4/kg VS. Data lengkap nilai VS dan Bo tiap ternak dapat dilihat pada Tabel 3.

Karakteristik sistem manajemen kotoran ternak meliputi jenis sistem yang digunakan untuk mengelola kotoran tersebut dengan faktor konversi (MCF) yang mencerminkan nilai Bo. Sistem MCF berkisar 0-100% dimana suhu dan waktu retensi dalam pengelolaan memainkan peranan penting dalam perhitungan MCF. Besar MCF setiap sistem manajemen kotoran ternak yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 1.

(31)

19  Tabel 3. Nilai Volatile Solid (VS) dan Jumlah Maksimum Metan yang Dihasilkan

(Bo) Berdasarkan Jenis Ternak

No Jenis Ternak VS (kg/ekor/hari) Bo (m3CH4/kg VS)

1 Sapi Perah 2,8 0,13 2 Sapi Potong 2,3 0,1 3 Kerbau 3,9 0,1 4 Babi 0,3 0,29 5 Kuda 2,13 0,3 6 Kambing 0,35 0,13 7 Domba 0,32 0,13 8 Unggas 0,01 0,36

Sistem manajemen kotoran ternak pada peternakan Kabupaten Bogor berdasarkan estimasi saat obesrvasi lapang. Sistem manajemen kotoran ternak yang digunakan pada peternakan di Kabupaten Bogor adalah pastura, disebar harian, disimpan dalam bentuk padatan, disimpan dalam bentuk cairan, dry lot, kompos, dan dimanfaatkan sebagai bahan bakar. Sistem manajemen kotoran ternak dengan pastura adalah kotoran ternak yang langsung jatuh di padang rumput dan dibiarkan tanpa pengelolaan. Definisi setiap jenis sistem manajemen kotoran ternak terdapat pada Lampiran 1.

Setiap jenis ternak memiliki komposisi sistem manajemen kotoran ternak yang berbeda. Ternak sapi potong di Kabupaten Bogor diasumsikan dipelihara secara ekstensif atau digembalakan, sehingga sistem manajemen kotoran ternak yang digunakan diestimasikan pastura secara keseluruhan. Pemanfaatan kotoran ternak menjadi bahan bakar dalam bentuk biogas hanya diterdapat pada ternak sapi perah. Manajemen kotoran ternak kambing dan domba mempunyai nilai estimasi yang sama dikarenakan peternakan kambing dan domba yang diamati berada dalam satu lokasi. Pada model I (data default), tidak terdapat penjelasan mengenai sistem manajemen kotoran ternak yang digunakan oleh ternak kambing, domba, dan kuda. Faktor emisi tertinggi terdapat pada ternak babi sebesar 3,57 kg CH4/ekor/tahun, dan terendah pada ternak ayam broiler sebesar 0,01 kg CH4/ekor/tahun. Data manajemen kotoran ternak setiap jenis ternak di Kabupaten Bogor terdapat pada Tabel 4.

(32)

20 

Tabel 4. Estimasi Persentase Sistem Manajemen Kotoran Tiap Ternak di Kabupaten Bogor

Keterangan : P = Pastura; La = Laguna; DH = Disaebar harian; DP = Disimpan padatan; DC = Disimpan cair; DL = Dry lot; K = Kompos; BK = Bahan Bakar; Li = Dengan litter; TLi = Tanpa litter; FE = Faktor Emisi; FE = VS . 365 Bo . 0,67 ∑S,kMCFS,k100 . MSS,k

No Jenis Ternak Model I (%) Model II (%) P La DH DP DC DL K BK Li TLi FE P La DH DP DC DL K BK Li TLi FE 1 Sapi Perah 20 4 29 - 38 - - 9 - - 31 - 69 7,2 - 3 0,5 20,3 - - 2,8 2 Sapi Potong (Pastura) 50 - 2 - - 46 - 2 - - 1 100 - - - - 1,1 3 Kerbau 50 - 4 - - 41 - 5 - - 2 78 - 19 3 - - - - - - 2,25 4 Babi - - - - 40 54 - 7 - - 7 - - 80 - 20 - - - 3,57 5 Kambing - - - 0,22 20 - 16,3 41,3 - - 22,5 - - - 0,33 6 Domba - - - - - - 0,2 20 - 16,3 41,4 - - 22,6 - - - 0,3 7 Kuda - - - 2,19 50 - 40 10 - - - 2,08 8 Unggas Ayam Broiler - - - 100 0,02 - - - - - 100 0,01 Ayam Layer - - - 100 0,03 - - - - - 100 0,03   Ayam Pembibit - - - 100 0,03 - - - - - 100 0,03   Ayam Buras - - - 100 0,02 - - - - - 100 0,01 Itik - - - 100 0,03 - - - 100 0,03

(33)

21  Hasil Perhitungan Emisi Metan

Emisi Metan dari Fermentasi Enterik

Perhitungan emisi metan dari fermentasi enterik didapatkan dari jumlah populasi jenis ternak tertentu pada satu daerah dalam pemeliharaan selama satu tahun, dikalikan dengan faktor emisinya. Ternak unggas tidak dihitung emisi metan dari fermentasi enterik berdasarkan panduan dari IPCC (2006).

Emisi metan dari fermentasi ternak di Kabupaten Bogor sebesar 4,36 Gg CH4/tahun. Emisi terbesar dihasilkan oleh ternak domba yaitu 1,4 Gg CH4/tahun, diikuti oleh ternak kerbau sebesar 1,1 Gg CH4/tahun, sedangkan emisi terendah dihasilkan oleh ternak babi 0,005 Gg CH4/tahun. Ternak domba memiliki populasi terbesar untuk ternak ruminansia di Kabupaten Bogor, hal tersebut yang menyebabkan emisi lebih besar dibandingkan dengan sapi perah. Sapi perah memiliki faktor emisi metan dari fermentasi enterik tertinggi dari semua jenis ternak dan menghasilkan emisi sebesar 0,49 Gg CH4/tahun. Populasi sapi perah pada perhitungan model II menunjukan hasil yang sangat berbeda dibandingkan dengan model I, dimana hasil perhitungan model II menghasilkan emisi yang lebih rendah dibandingkan pada model I. Data lengkap hasil perhitungan emisi metan dari fermentasi enterik dapat dilihat pada Tabel 5.

Emisi Metan dari Manajemen Kotoran Ternak

Emisi metan yang dihasilkan dari kotoran ternak sangat dipengaruhi oleh sistem manajemen kotoran ternak yang dihasilkan. Pengelolaan kotoran ternak dalam bentuk cair akan menghasilkan emisi yang lebih tinggi dibandingkan bentuk kering/padat untuk ternak di Kabupaten Bogor, karena memiliki temperatur yang tinggi. Emisi metan yang dihasilkan dari manajemen kotoran ternak di Kabupaten Bogor sebesar 0,43 Gg CH4/tahun. Emisi metan tertinggi dari manajemen kotoran ternak dihasilkan oleh ternak unggas, yaitu 0,18 Gg CH4/tahun, sedangkan yang terendah adalah ternak kuda sebesar 0,001 Gg CH4/tahun. Populasi unggas sangat besar sehingga berpotensi menghasilkan tingkat emisi metan dari kotoran ternak yang tinggi. Hasil emisi pada sapi perah menggunakan model II (0,01 Gg CH4/tahun) menghasilkan hasil yang lebih rendah dibandingkan model I (0,23 Gg CH4/tahun). Hal tersebut menunjukan bahwa estimasi sistem manajemen kotoran ternak pada data

(34)

22  default tidak sesuai dengan keadaan di Kabupaten Bogor. Data lengkap hasil perhitungan emisi metan dari manajemen kotoran ternak dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Emisi CH4 yang Dihasilkan Tiap Ternak di Kabupaten Bogor Berdasarkan

Perhitungan Model I dan Model II

Jenis Ternak

Model I (Gg CH4/tahun) Model II (Gg CH4/tahun) Fermentasi Enterik Manajemen Kotoran Ternak Total   Fermentasi Enterik Manajemen Kotoran Ternak Total Sapi Perah 0,50 0,22 0,72 0,49 0,02 0,51 Sapi Potong 0,86 0,02 0,88 0,61 0,02 0,63 Kerbau 1,12 0,04 1,16 1,10 0,04 1,15 Babi 0,00 0,03 0,04 0,00 0,02 0,02 Kuda 0,01 0,00 0,01 0,01 0,00 0,01 Kambing 0,59 0,03 0,62 0,59 0,04 0,63 Domba 1,40 0,06 1,46 1,40 0,08 1,49 Unggas - 0,21 0,21 - 0,18 0,18 Total 4,49 0,61 5,09 4,36 0,43 4,62

Hasil Perhitungan Emisi Dinitrogen Oksida

Perhitungan estimasi emisi dinitrogen oksida dari manajemen kotoran ternak dibagi menjadi emisi secara langsung dan tidak langsung. Emisi dihasilkan dari penyimpanan kotoran ternak dan perlakuan yang diberikan sebelum kotoran ternak diaplikasikan ke tanah maupun untuk pakan, bahan bakar, atau konstruksi. Estimasi perhitungan emisi dinitrogen oksida berdasarkan kepada jenis ternak dan sistem manajemen kotoran ternak yang digunakan setiap jenis ternak. Pada perhitungan emisi dinitrogen oksida perhitungan paling tepat diperoleh dengan menggunakan faktor emisi yang mencerminkan lama penyimpanan dan jenis perlakuan pada kotoran ternak dalam setiap manajemen yang digunakan.

Emisi dinitrogen oksida langsung dari manajemen kotoran ternak merupakan kombinasi dari proses nitrifikasi dan dinitrifikasi nitrogen yang terkandung didalam

(35)

23  kotoran ternak. Emisi dinitrogen oksida secara langsung terkait dengan kandungan karbon dan nitrogen dalam kotoran ternak, dan lama penyimpanan setiap jenis sistem manajemen manajemen kotoran ternak didapat dari nilai dasar ekskresi nitrogen (Nrate) nilai rata-rata nitrogen yang di ekskresikan (Nex), persentase sistem manajemen kotoran ternak (%MMS), faktor emisi (EF3) dan fraksi dari sistem manajemen kotoran ternak yang digunakan (%MS). Nilai Nex dipengaruhi oleh nilai Nrate dan bobot badan ternak.

Emisi dinitrogen oksida secara tidak langsung dari manajemen kotoran ternak merupakan dampak dari nitrogen yang menguap (volatile), terutama dalam bentuk ammonia dan NOx. Fraksi nitrogen organik diekskresikan yang termineralisasi untuk nitrogen amonia selama pengumpulan kotoran ternak dan penyimpanan tergantung terutama pada waktu, dan dengan peningkatan suhu yang lebih rendah. Bentuk nitrogen organik sederhana seperti urea (pada mamalia) dan asam urat (pada unggas) dengan cepat termineralisasi untuk nitrogen amonia, yang sangat volatile dan mudah menyebar ke udara sekitarnya (Monteny dan Erisman, 1998). Pendugaan jumlah nitrogen dari kotoran ternak yang sebagian besar untuk pupuk kandang, atau untuk digunakan dalam pakan, bahan bakar, atau keperluan konstruksi dengan mengurangi jumlah total nitrogen yang dikeluarkan oleh ternak yang dikelola oleh sistem kehilangan N melalui volatilisasi (yaitu, NH3, N2 dan NOx), konversi ke N2O dan kehilangan N melalui pencucian (Run off/leached) dan limpasan.  

Perhitungan estimasi emisi dinitrogen oksida secara tidak langsung dibagi menjadi perhitungan N yang menguap (N2Og(mm)) dan N yang digunakan untuk manajemen tanah atau pakan, bahan bakar, dan konstruksi (N2Omms_avb). Koefisien tambahan yang diperlukan dalam perhitungan adalah faktor emisi (EF4), fraksi dari nitrogen yang menguap (Frac(GasMS)), dan fraksi nitrogen yang hilang dalam sistem manajemen kotoran ternak tersebut (Frac(LossMS)). Sistem manajemen kotoran ternak pastura dan biogas tidak masuk dalam emisi dinitrogen oksida dari manajemen kotoran ternak dari peternakan.

Ternak dengan nilai Nrate tertinggi adalah kambing, yaitu 1,37 kg N/1000mass/hari, sedangkan yang terendah adalah babi sebesar 0,24 kg N/1000mass/hari. Nilai Nex tertinggi terdapat pada sapi perah sebesar 67 kg N/ekor/hari pada model II, sedangkan yang terendah pada ayam buras sebesar 0,23

(36)

24  kg N/ekor/hari. Data lengkap mengenai koefisien untuk menghitung emisi dinitrogen oksida dari setiap ternak dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Koefisien untuk Menghitung Emisi N2O Bedasarkan Jenis dan Sistem Manajemen Kotoran Ternak

No. Jenis Ternak Nrate (kgN/1000 mass/hari) Nex (kg

N/ekor/hari) Manajemen Kotoran Ternak

%MS EF3 FgasMS EF4 FLossMS

Mod I Mod II

1 Sapi Perah 0,47 60 67 Disimpan

Padatan 5 0,005 30% 0,01 40% Dry Lot 2 0,02 20% 0,01 30% Kompos 1,5 0,006 20% 0,01 0% Disebar Harian 1 0 7% 0,01 22% 2 Sapi Potong 0,34 42 22 Disimpan Padatan 5 0,005 30% 0,01 40% Kompos 1,5 0,006 20% 0,01 0% Pastura 2 0 0% 0,01 2% 3 Kerbau 0,32 44 37 Disimpan Padatan 5 0,005 30% 0,01 40% Disebar Harian 1 0 7% 0,01 22% Pastura 2 0 0% 0,01 2% 4 Babi 0,24 2 Bentuk Cairan 80 0 48% 0,01 48% Disebar Harian 1 0 7% 0,01 22% 5 Kuda 0,46 40 Disimpan Padatan 5 0,005 30% 0,01 40% Disebar Harian 1 0 7% 0,01 22% Pastura 2 0 0% 0,01 2% 6 Kambing 1,37 15 Disimpan Padatan 5 0,005 30% 0,01 40% Domba 1,17 19 15 Kompos 1,5 0,006 20% 0,01 0% Disebar Harian 1 0 7% 0,01 22% Pastura 2 0 0% 0,01 2% 7 Unggas

Itik 0,83 0,82 Tanpa Litter 1,5 0,001 55% 0,01 55%

Ayam

Broiler 1,1 0,36

Dengan

Litter 1,5 0,001 40% 0,01 50%

Ayam

Petelur 0,82 0,54 Tanpa Litter 1,5 0,001 55% 0,01 55%

Ayam

Buras 0,7 0,23 Tanpa Litter 1,5 0,001 55% 0,01 55%

Ayam Ras

(37)

25  Berdasarkan koefisien pada Tabel 6, selanjutnya dilakukan perhitungan emisi dinitrogen oksida secara langsung dan tidak langsung. Emisi dinitrogen oksida yang dihasilkan dari ternak di Kabupaten Bogor sebesar 216 ton N2O/tahun. Emisi dinitrogen oksida dihasilkan sebagian besar dari emisi secara tidak langsung. Ternak domba merupakan penghasil emisi tertinggi di Kabupaten Bogor baik secara langsung (0,81 ton N2O/tahun), maupun tidak langsung (110,07 ton N2O/tahun), sedangkan emisi terendah dihasilkan oleh babi sebesar 1,05 ton N2O/tahun. Emisi dinitrogen oksida yang dihasilkan setiap ternak secara langsung dan tidak langsung dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Emisi N2O yang Dihasilkan Tiap Ternak di Kabupaten Bogor Berdasarkan Perhitungan Model I dan Model II (Ton N2O)

Jenis Ternak

Model I Model II

Langsung Tidak

Langsung Total Langsung

Tidak Langsung Total Sapi Perah 0,00 95,01 95,01 0,02 10,02 10,04 Sapi Potong 0,00 0,25 0,25 0,0 7,94 7,94 Kerbau 0,23 17,91 18,14 0,01 13,19 13,20 Babi 0,00 2,13 2,13 0,0 1,05 1,05 Kuda 0,00 0,29 0,29 0,0 0,25 0,25 Kambing 0,00 35,64 35,64 0,0 46,74 47,08 Domba 0,00 107,92 107,92 0,81 110,07 110,88 Unggas 0,08 25,47 25,56 0,08 25,47 25,56 Total 0,32 259,17 284,98 0,93 189,29 216,00

Emisi Gas Rumah Kaca di Kabupaten Bogor

Perhitungan emisi gas metan dan dinitrogen oksida dari ternak selanjutnya dikonversi ke dalam bentuk karbon, karena pengukuran gas rumah kaca yang dihasilkan berdasarkan emisi CO2. Setiap gas rumah kaca berpotensi terhadap pemanasan global (Global Warming Potential - GWP), dimana indeks GWP mencerminkan potensi setiap komponen gas rumah kaca. Makin besar nilai GWP, maka makin bersifat merusak. Nilai GWP dihitung berdasarkan besar radiasi satu

(38)

26  kilogram gas rumah kaca yang dihasilkan ke atmosfer dari satu kilogram CO2 selama 100 tahun. Indeks GWP metan adalah 23, sedangkan dinitrogen oksida 296. Nilai indeks GWP berarti satu metan akan menghasilkan 23 GWP atau karbon dioksida, begitu juga dengan dinitrogen oksida yang menghasilkan 296 karbon dioksida (IPCC, 2001).

Emisi total didapatkan dari penjumlahan emisi metan dan emisi dinitrogen oksida yang telah disetarakan (equivalen - eq) dalam bentuk karbon dioksida (CO2). Tingkat emisi yang dihasilkan di Kabupaten Bogor Tahun 2010 sebesar 170,21 Gg CO2 eq pada model II, sedangkan perhitungan menggunakan data default (model I) menghasilkan emisi sebesar 201,46 Gg CO2 eq. Domba merupakan penghasil emisi tertinggi baik menggunakan perhitungan model I (65,53 Gg CO2 eq) maupun model II (67,06 Gg CO2 eq), sedangkan penghasil emisi terendah adalah kuda baik pada model I (0,25 Gg CO2 eq) maupun model II (0,24 Gg CO2 eq). Data lengkap hasil perhitungan emisi total berdasarkan jenis ternak dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Emisi Total Berdasarkan Jenis Ternak

No Jenis Ternak Emisi Total (Gg CO2 eq)

Model I % Model II % 1 Sapi Perah 44,78 22,2 14,61 8,6 2 Sapi Potong 20,27 10,1 16,87 9,9 3 Kerbau 31,99 15,9 30,32 17,8 4 Babi 1,50 0,7 0,81 0,5 5 Kuda 0,25 0,1 0,24 0,1 6 Kambing 24,81 12,3 28,50 16,7 7 Domba 65,53 32,5 67,06 39,4 8 Unggas 12,32 6,1 11,80 6,9 Total 201,46 100,0 170,21 100,0

  Perhitungan emisi menggunakan model I maupun model II memberikan hasil bahwa sumber emisi gas rumah kaca terbesar dari peternakan di Kabupaten Bogor berasal dari emisi metan dari fermentasi enterik. Gambar 1 menunjukan persentase sumber emisi gas rumah kaca di Kabupaten Bogor.

(39)

27  Gambar 1. Persentase Sumber Emisi Berdasarkan Model I dan Model II

Kecamatan Rumpin merupakan penghasil emisi total tertinggi di Kabupaten Bogor sebesar 12,09 Gg CO2 eq, disebabkan oleh besarnya jumlah populasi sapi potong. Populasi ternak ruminansia yang besar berbanding lurus dengan besarnya emisi yang dihasilkan. Data emisi setiap kecamatan di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Emisi Metan dan Dinitrogen Oksida Tiap Kecamatan di Kabupaten Bogor Berdasarkan Model I dan Model II (Gg CO2 eq)

No Kecamatan Model I Model II

CH4 N2O Total CH4 N2O Total

1 Dramaga 1,45 1,18 2,63 1,41 1,09 2,51 2 Ciomas 0,50 0,43 0,93 0,49 0,36 0,85 3 Tamansari 1,77 1,16 2,93 1,72 1,14 2,85 4 Rancabungur 1,96 1,61 3,56 1,94 1,72 3,66 5 Ciampea 1,53 1,15 2,67 1,50 1,09 2,59 6 Tenjolaya 1,03 0,66 1,69 0,95 0,57 1,51 7 Pamijahan 8,37 9,26 17,63 7,44 4,61 12,05 8 Cibungbulang 2,40 1,63 4,03 2,41 1,71 4,12 9 Lw. Liang 1,93 1,16 3,09 1,93 1,22 3,15 10 Lw. Sadeng 1,07 0,67 1,73 1,04 0,61 1,65 11 Nanggung 2,99 1,96 4,95 3,00 2,08 5,07 12 Sukajaya 5,47 2,81 8,27 5,47 2,76 8,23 51% 7% 0% 42%

Emisi metan dari fermentasi enterik Emisi metan dari manajemen kotoran ternak

Emisi dinitrogen oksida langsung Emisi dinitrogen oksida tidak langsung

57%

6% 0%

37%

(40)

28  Lanjutan Tabel 9.

No Kecamatan Model I Model II

CH4 N2O Total CH4 N2O Total 13 Parung 0,95 0,70 1,65 0,83 0,67 1,50 14 Gn. Sindur 3,17 2,55 5,72 2,71 2,51 5,22 15 Ciseeng 2,11 1,15 3,26 1,96 1,19 3,15 16 Kemang 1,39 1,36 2,75 1,21 0,86 2,06 17 Rumpin 9,48 4,87 14,34 7,92 4,17 12,09 18 Cisarua 5,37 7,14 12,51 4,34 2,23 6,57 19 Megamendung 2,96 3,66 6,61 2,50 1,34 3,84 20 Ciawi 1,28 1,17 2,45 1,20 0,83 2,02 21 Caringin 3,14 3,55 6,69 2,61 1,39 4,00 22 Cigombong 2,01 1,42 3,43 1,98 1,38 3,36 23 Cijeruk 6,56 8,41 14,97 5,39 2,61 8,00 24 Cibinong 2,06 1,64 3,70 1,71 1,07 2,78 25 Bj. Gede 0,84 0,53 1,37 0,81 0,61 1,42 26 Tajur Halang 1,00 0,81 1,81 0,92 0,81 1,73 27 Babakan Madang 2,82 1,18 4,00 2,37 1,27 3,64 28 Sukaraja 1,00 1,14 2,14 0,90 0,67 1,56 29 Jonggol 5,83 2,18 8,01 5,07 2,62 7,69 30 Sukamakmur 4,18 1,59 5,77 3,88 1,76 5,64 31 Cariu 3,46 1,53 4,98 3,02 1,81 4,83 32 Tanjungsari 5,18 2,06 7,23 4,58 2,40 6,98 33 Jasinga 4,18 2,33 6,51 4,17 2,36 6,53 34 Tenjo 4,04 1,64 5,69 3,98 1,55 5,54 35 Parung Panjang 2,60 1,72 4,32 2,52 1,73 4,25 36 Cigudeg 4,22 2,70 6,92 4,18 2,72 6,90 37 Gn. Putri 0,87 0,49 1,36 0,79 0,59 1,38 38 Cileungsi 2,13 1,33 3,46 2,00 1,58 3,58 39 Citereup 1,58 0,98 2,56 1,50 1,15 2,65 40 Klapa Nunggal 2,29 0,85 3,13 1,96 1,09 3,05 Kab. Bogor 117,11 84,35 201,46 106,27 63,94 170,21

(41)

29  Perhitungan estimasi emisi gas rumah kaca menggunakan model I, dimana data yang digunakan adalah data default, dan model II menggunakan data hasil survei dan pustaka mengenai karakteristik ternak di Kabupaten Bogor. Hasil yang berbeda didapatkan dari perhitungan, model I menghasilkan emisi gas rumah kaca yang lebih besar dibandingkan model II (Gambar 19). Data default IPCC (model I) belum dapat menggambarkan kondisi emisi gas rumah kaca dari peternakan di Kabupaten Bogor, meskipun sebenarnya data enhanced (model II) belum dapat sepenuhnya menggambarkan kondisi tersebut. Peternakan-peternakan di Kabupaten Bogor tersebar di setiap kecamatan, namun memiliki karakterisitik sistem pemeliharaan yang hampir sama.

Tingginya faktor emisi yang dihasilkan sapi perah di Kabupaten Bogor, meskipun produksi susu yang rendah, disebabkan kualitas hijauan yang masih rendah. Thalib dan Yeni (2008) mengatakan kualitas sumber hijauan yang tersedia dalam negeri sangat rendah, yaitu tinggi kandungan serat, menyebabkan produktivitas sapi rendah, sebaliknya emisi gas metan dari fermentasi enteriknya tinggi. Produktivitas susu sapi perah yang tinggi berbanding lurus dengan emisi gas metan dari fermentasi enterik yang dihasilkan, diakibatkan banyaknya energi yang terkonsumsi dan akan meningkatkan emisi gas metan. Namun apabila efisiensi pakan hijauan yang dikonsumsi tinggi, makan persentase energi kasar yang membentuk gas metan dan jumlah gas metan per satuan produksi makin rendah dengan makin tingginya produksi. Perubahan cuaca dan peningkatan temperatur menyebakan dampak langsung dan tidak langsung pada performa sapi perah. Dampak langsung mempengaruhi tingkat produksi dan sistem reproduksi sapi perah, sedangkan dampak tidak langsung terjadi pada penurunan kualitas hijauan yang tersedia (Kementrian Lingkungan Hidup, 2010).

Pengetahuan peternak dalam pemberian pakan yang berkualitas serta manaejemen kotoran ternak yang baik dapat mempengaruhi tingkat emisi gas rumah kaca. Pemberian pakan hijauan maupun konsentrat yang berkualitas sulit untuk dipenuhi peternak, disebabkan ketersediaanya yang belum tercukupi. Penyuluhan mengenai pengolahan kotoran ternak menjadi bentuk yang lebih bernilai, seperti kompos dan biogas, dapat menjadi alternatif untuk mengurangi dampak emisi dari manajemen kotoran ternak.

(42)

30  Ternak domba di Kabupaten Bogor merupakan penghasil emisi metan dan dinitrogen oksida terbesar. Domba memiliki faktor emisi yang lebih rendah dibandingkan ternak ruminansia lain, namun populasi domba di Kabupaten Bogor sangat banyak, menyebabkan tingginya emisi gas rumah kaca yang dihasilkan. Sistem manajemen kotoran ternak pada domba juga menghasilkan emisi dinitrogen oksida yang besar. Perbaikan dalam sistem manajemen kotoran ternak domba perlu dilakukan untuk mengurangi dampak emisi gas rumah kaca yang dihasilkan.

Hasil penelitian ini berbanding terbalik dengan Qurimanasari (2011) yang melakukan perhitungan pada populasi ternak di Provinsi Jawa Barat, dimana perhitungan model I lebih rendah dibandingkan dengan model II. Karakteristik ternak maupun manajemen kotoran ternak peternakan di Kabupaten Bogor memiliki faktor emisi yang lebih rendah dibandingkan dengan data default (model I). Pada dasarnya, pola pemeliharaan ternak di Kabupaten Bogor akan menghasilkan estimasi emisi gas rumah kaca yang lebih rendah daripada yang diperkirakan oleh IPCC.

Mitigasi merupakan kegiatan mengurangi emisi gas rumah kaca. Ternak menghasilkan gas metan sebagian besar dari fermentasi enterik, dimana archea metanogen memanfaatkan gas hidrogen hasil fermentasi dalam rumen. Pengaturan produksi gas hidrogen di dalam rumen dapat dijadikan faktor utama dalam mengontrol produksi metan.

Beberapa cara untuk mengurangi produksi metan ternak antara lain dengan meningkatkan produktivitas ternak, perbaikan manajemen pakan, memanipulasi proses fermentasi rumen, dan pencegahan produksi metan secara langsung menggunakan bahan kimia. Penentuan strategi mitigasi yang digunakan sebaiknya berdasarkan pada biaya yang dikeluarkan, dapat meningkatkan produktivitas ternak, serta tidak menimbulkan efek negatif pada ternak (Boadi et al., 2004). Peningkatan jumlah konsentrat dalam pakan dapat meningkatkan produktivitas ternak di peternakan Kabupaten Bogor, namun biaya yang mahal serta ketersediaan konentrat sendiri menjadi kendala dihadapi. Pemberian legum menjadi alternatif strategi mitigasi yang dapat digunakan peternak, selain menghasilkan metan lebih sedikit dibandingkan rumput, kandungan protein didalam legum lebih tinggi dengan biaya yang lebih murah dibandingkan konsentrat.

(43)

31  KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Emisi gas rumah kaca dari sektor peternakan di Kabupaten Bogor pada tahun 2010 mencapai 201,46 Gg CO2 eq (model I) atau 170,21 Gg CO2 eq (model II). Emisi terbesar dihasilkan oleh metan dari fermentasi enterik (57%) dibandingkan diikuti oleh dinitrogen oksida secara tidak langsung (37%), metan dari kotoran ternak (6%), dan dinitrogen oksida secara langsung (0%).

Urutan ternak penghasil gas rumah kaca dari yang terbesar pada perhitungan (model I dan model II) berturut-turut adalah domba (33% dan 39%), sapi perah (22% dan 9%), kerbau (16% dan 18%), kambing (12% dan 17%), sapi potong (10% dan 10%), unggas (6% dan 7%), babi (1% dan 0%) dan kuda (0%), Kecamatan Pamijahan adalah penghasil gas rumah kaca terbesar dengan total emisi yang dihasilkan sebesar 17,63 Gg CO2 eq (8,75%) pada perhitungan model I dan 12,1 Gg CO2 eq (7,03%) pada perhitungan model II.

Saran

Perhitungan estimasi emisi gas rumah kaca memerlukan data-data pendukung untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat, Penelitian lebih lanjut mengenai faktor emisi metan maupun dinitrogen dari setiap jenis ternak, serta pendataan data populasi ternak yang lebih akurat sebaiknya lebih banyak dilakukan untuk mendapat hasil yang paling mendekati.

(44)

32 

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah, Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberi berkah rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan studi dan tugas akhir dengan baik. Shalawat serta salam Penulis sampaikan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta para sahabat Nabi yang menjadi suri tauladan umat manusia hingga akhir zaman.

Terima kasih yang sebesar-besarnya Penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr sebagai pembimbing utama yang telah memberikan pengarahan sampai akhir penulisan skripsi. Dr. Sri Suharti S.Pt, M.Si sebagai pembimbing anggota serta pembimbimg akademik yang telah sabar menghadapi semua tingkah laku Penulis selama penulisan skripsi maupun perjalanan kuliah. Kepada Ir. Didid Diapari, M.Si sebagai dosen pembahas seminar, Dr. Anuraga Jayanegara S.Pt, M.Sc dan Bramada Winiar Putra S.Pt, M.Si sebagai dosen penguji serta Ir. Widya Hermana, M.Si sebagai panitia ujian akhir.

Sembah sungkem Penulis kepada kedua orang tua, Tjuk Eko Haribasuki dan Avianti Zulaicha, atas perhatian, nasihat, doa, harapan, kesabaran, dan kasih sayang dalam mendidik Penulis. Kepada saudara kandung Penulis, Mas Rizki dan Iwan yang selalu dapat memberikan motivasi dan ketenangan batin. Kepada teman-teman satu perjuangan di komunitas 97, kontrakan Kuraba, kosan C11 dan kosan BHC jaya yang telah memberikan cerita dalam hari-hari Penulis. Kepada Titis, Faris, Daonk, Naon, Ade yang telah membantu sukarela selama penelitian dan penulisan, serta Intan Jovintry untuk harapannya. Teman-teman INTP 44, Komunitas Ladang Seni, HMI, dan seluruh teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Gambar

Tabel 1. Populasi Ternak di Kabupaten Bogor Tahun 2009-2010 (ekor)
Tabel 5.  Emisi CH 4  yang Dihasilkan Tiap Ternak di Kabupaten Bogor Berdasarkan  Perhitungan Model I dan Model II
Tabel 6. Koefisien untuk Menghitung Emisi N 2 O Bedasarkan  Jenis dan Sistem  Manajemen Kotoran Ternak
Tabel 7.  Emisi N 2 O yang Dihasilkan Tiap Ternak di Kabupaten Bogor Berdasarkan  Perhitungan Model I dan Model II (Ton N 2 O)
+3

Referensi

Dokumen terkait

Hasil yang dikeluarkan oleh sistem ini merupakan rule-rule dari perhitungan pada data access logs yang dipengaruhi oleh parameter- parameter yang telah disebutkan

Miermeister P., Pott A., Verl A., 2012, Auto-calibration method for overconstrained cable-driven parallel robots, ROBOTIK 2012 – 7th German Conference on Robotics,

Rasio ROA terendah terjadi padatahun 2003 Karenatingkat kecukupan modal yang rendah dan biaya operasional yang tinggi, selain itu juga dari hasil penelitian dilihat dari

Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi timbulan limbah yang dihasilkan dari proses produksi slondok serta mengembangkan alternatif peluang produksi bersih

Proses perlakuan termal 1200 o C (7 jam) dengan aliran gas inert Nitrogen 500 Psi, terbukti bahwa telah terjadi perubahan fasa dari ferit menjadi ɣ-austenit, dan jumlah fasa

(1) Perubahan status kewarganegaraan dari Orang Asing menjadi Warga Negara Indonesia wajib dilaporkan oleh Penduduk yang bersangkutan kepada Instansi Pelaksana

Tayamum merupakan penggunaan wudhu atau mandi wajib yang tadinya seharusnya menggunakan air, kemudian diganti dengan menggunakan tanah atua debu yang bersih. Kewajiban

Adapun penelitian yang berjudul “Jual Beli dengan Sistem Al-Bai’u Salam dalam Pembiayaan Syariah di Indonesia” yang ditulis oleh Lisda Apriliani, yang membahas