• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSUMSI ZAT GIZI DAN DAYA TERIMA PASIEN RAWAT INAP PENYAKIT GINJAL KRONIK TERHADAP MAKANAN YANG DISAJIKAN RSUP FATMAWATI FATMA SILVIANI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONSUMSI ZAT GIZI DAN DAYA TERIMA PASIEN RAWAT INAP PENYAKIT GINJAL KRONIK TERHADAP MAKANAN YANG DISAJIKAN RSUP FATMAWATI FATMA SILVIANI"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

KONSUMSI ZAT GIZI DAN DAYA TERIMA PASIEN RAWAT INAP

PENYAKIT GINJAL KRONIK TERHADAP MAKANAN

YANG DISAJIKAN RSUP FATMAWATI

FATMA SILVIANI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

(2)

ABSTRACT

FATMA SILVIANI. Nutrients Consumption and Food Acceptance of Chronic Kidney Disease Patients to the Food Served in Fatmawati General Hospital. Under Direction of Rimbawan and Yekti Hartati Effendi.

The alteration of food habit, lifestyle, and environmental condition has led to epidemiological transition, as indicated by the increasing of degenerative diseases occurrence such as chronic kidney disease. Therapy for chronic kidney disease can be done by admission to the hospital, receiving medical treatment and supported by proper diet treatment. The efficacy of the diet provided by the hospital can be evaluated by nutrients consumption and food acceptance of the food served.

The purpose of this research is to study nutrients consumption and food acceptance among chronic kidney disease patients to the food served in Fatmawati General Hospital. A cross sectional study and purposive sampling was conducted on 50 chronic kidney disease patients based on physicians’ diagnosis. The criteria for the subjects are compos mentis condition, men and women aged 17-55 years old, have been hospitalized and received diet treatment for at least 2 days, not having enteral feeding, and willing to be interviewed.

The result of the research showed that food consumption classified as deficit compared to the food availability and nutrition requirement. Food acceptance measurement showed that food provided by the hospital was well accepted. Spearman test showed that there was no significant correlation between nutrients consumption and food acceptance (p>0,05 ; r<0,5).

Keywords:nutrients consumption, food acceptance, chronic kidney diseases, Fatmawati General Hospital

(3)

RINGKASAN

FATMA SILVIANI. Konsumsi Zat Gizi dan Daya Terima Pasien Rawat Inap Penyakit Ginjal Kronik Terhadap Makanan yang Disajikan RSUP Fatmawati. Dibimbing oleh RIMBAWAN dan YEKTI HARTATI EFFENDI

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui konsumsi energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium) serta daya terima pasien rawat inap penyakit ginjal terhadap makanan yang disajikan di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengetahui gambaran umum rumah sakit, instalasi gizi, dan penyelenggaraan makanan di RSUP Fatmawati; (2) mempelajari karakteristik dan identitas subyek (nama, usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, aktivitas fisik dan status gizi), riwayat penyakit subyek meliputi jenis penyakit, lama penyakit, ada tidaknya komplikasi, status perawatan penyakit dan lama perawatan di rumah sakit; (3) mempelajari kebutuhan energi dan zat gizi lain subyek; (4) menghitung ketersediaan dan tingkat ketersediaan energi dan zat gizi lain; (5) menghitung konsumsi energi dan zat gizi lain subyek serta tingkat konsumsi subyek terhadap ketersediaan dan kebutuhan energi dan zat gizi lain; (6) mempelajari daya terima subyek terhadap makanan yang disajikan rumah sakit meliputi warna, aroma, rasa (lauk dan sayuran), tekstur, bentuk, suhu, kebersihan alat, dan variasi menu; (7) mempelajari kontribusi energi dan zat gizi lain dari makanan luar rumah sakit dan atau makanan parenteral rumah sakit; (8) menganalisis hubungan antara daya terima subyek terhadap makanan yang disajikan di rumah sakit dengan tingkat konsumsi energi dan zat gizi lain.

Desain penelitian adalah cross sectional study. Penelitian ini dilaksanakan di RSUP Fatmawati Jakarta Selatan. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Agustus hingga Oktober 2011. Subyek pada penelitian ini adalah pasien penderita penyakit ginjal rawat inap di IRNA B RSUP Fatmawati. Subyek dipilih secara purposif berdasarkan kriteria sebagai berikut: (1) laki-laki dan wanita yang berusia 17-55 tahun (2) dalam keadaan sadar dan tidak mengalami gangguan kejiwaan, (3) telah dirawat dan mendapat pelayanan makanan dari RS minimal 2 hari, (4) tidak diberikan makanan enteral dan (5) bersedia diwawancara.

Populasi penelitian adalah seluruh pasien penyakit ginjal kronik yang dirawat inap di IRNA B RSUP Fatmawati yaitu 86 orang. Dari jumlah populasi tersebut, dipilih calon subyek yaitu pasien yang memenuhi kriteria yaitu 52 orang. Calon subyek kemudian dikumpulkan datanya selama penelitian. Subyek pada penelitian ini yaitu pasien yang memiliki data lengkap yaitu sebanyak 50 orang.

Jenis data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan pengamatan langsung dan wawancara menggunakan kuisioner. Data primer meliputi (1) gambaran umum instalasi gizi, (2) jenis diet yang diberika RS, (3) karakteristik dan identitas subyek (nama, usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan dan status gizi), riwayat penyakit subyek (lama penyakit, ada tidaknya komplikasi, status perawatan penyakit dan lama perawatan di RS), (4) kebutuhan energi dan zat gizi lain subyek, (5) ketersediaan energi dan zat gizi lain makanan RS, (6) konsumsi energi dan zat gizi lain serta tingkat konsumsi subyek (terhadap kebutuhan dan ketersediaan), (7) daya terima subyek terhadap makanan RS meliputi warna, aroma, rasa (lauk dan sayuran), tekstur, bentuk, suhu, kebersihan alat dan variasi menu, (8) kontribusi energi dan zat gizi lain dari makanan luar dan atau makanan parenteral RS.

Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuisioner yaitu karakteristik dan identitas subyek, riwayat penyakit dan data daya terima subyek

(4)

terhadap makanan RS. Data berat badan dan tinggi badan diperoleh dari rekam medik. Data status gizi diperoleh berdasarkan perhitungan indeks massa tubuh (IMT).

Kebutuhan energi sehari subyek dihitung menggunakan rumus total daily energy (TDE) mengacu pada Almatsier (2004). Angka Metabolisme Basal (AMB) dalam perhitungan kebutuhan diperoleh dari dua rumus yaitu Oxford Equation dan rumus cepat yang ditetapkan RSUP Fatmawati mengacu pada Almatsier (2004). Penetapan faktor aktifitas (FA) dan faktor injuri (FI) berdasarkan Hartono (2000).

Angka kebutuhan protein subyek mengikuti ketetapan RS yaitu 40 g. Jumlah protein ini mengacu pada diet Rendah Protein III (Almatsier 2004).

Kebutuhan zat besi subyek mengacu pada AKG zat besi, yaitu untuk pria usia 17-55 tahun 13mg/hari, wanita berusia 16-49 tahun 26 mg/hari dan wanita usia 50-55 tahun 12 mg/hari (WKNPG 2004).

Kebutuhan natrium dan kalium subyek mengacu pada rekomendasi natrium dan kalium harian bagi pasien penyakit ginjal kronik yaitu 3000 mg/hari untuk kebutuhan natrium dan 2500 mg/hari untuk kebutuhan kalium (Greene JM dan Thomas L 2008).

Data ketersediaan dan konsumsi makanan subyek (gram) untuk makan pagi, siang, sore serta selingan dari makanan RS dikumpulkan dengan menimbang (food weighing method) makanan yang telah disediakan sebelum dikonsumsi dan makanan sisa. Perhitungan ketersediaan dan konsumsi energi (Kal), protein (g), zat besi (mg), natrium (mg), dan kalium (mg) subyek terhadap makanan RS dan makanan luar RS diperoleh melalui konversi menggunakan DKBM. Data jenis makanan luar RS diperoleh dengan Recall Method.

Tingkat ketersediaan dikategorikan menjadi 3 yaitu kurang (<90% angka kebutuhan), normal (energi=90-110% angka kebutuhan, protein 90-120% angka kebutuhan), dan lebih (energi >110% angka kebutuhan, protein>120% angka kebutuhan) (Hardinsyah dan Briawan 1994).

Tingkat konsumsi terhadap ketersedian dikategorikan menjadi 4, yaitu defisit tingkat berat (<70% angka ketersediaan), defisit tingkat sedang (70-79% angka ketersediaan), defisit tingkat ringan (80-89% angka ketersediaan) dan normal (90-100% angka ketersediaan (Direktorat Bina Gizi Masyarakat 1996).

Tingkat konsumsi terhadap kebutuhan dikategorikan menjadi 5, yaitu defisit tingkat berat (<70% angka kebutuhan), defisit tingkat sedang (70-79% angka kebutuhan), defisit tingkat ringan (80-89% angka kebutuhan) dan normal (90-119% angka kebutuhan dan lebih (≥ 120% angka kebutuhan) (Direktorat Bina Gizi Masyarakat 1996).

Pengamatan ketersediaan dan konsumsi makanan yang disajikan RS dilakukan selama 3 hari berturut-turut setiap waktu makan pagi, siang, sore dan selingan. Pengamatan daya terima subyek terhadap makanan RS dilakukan selama 3 hari berturut-turut setiap waktu makan pagi, sing dan sore. Data kandungan energi dan zat gizi lain infus diketahui berdasarkan jenis infus, yang diperoleh dari pengamatan langsung dan rekam medik.

Subyek dalam penelitian ini adalah pasien penderita penyakit ginjal kronik yang berusia 17-55 tahun. Sebagian besar subyek berjenis kelamin laki-laki dan berada dalam kisaran usia 46 – 55 tahun atau dewasa menengah. Lebih dari separuh subyek memiliki status gizi normal dan telah menderita penyakit ginjal selama kurun waktu 1-5 tahun. Seluruh subyek pada penelitian ini telah mengalami komplikasi. Separuh subyek pernah dirawat dirumah sakit sebelumnya karena penyakit ginjal yang diderita. Lebih dari separuh subyek telah dirawat di RS antara kurun waktu 4 – 7 hari dan diberikan diet rendah

(5)

protein (RP). Berdasarkan jenis diet, sebagian besar subyek diberikan diet dengan konsistensi lunak.

Rata-rata kebutuhan energi berdasarkan rumus cepat RS adalah 2003 Kal dan berdasarkan rumus Oxford Equation adalah 1624 Kal. Kebutuhan rata-rata protein sebesar 40 g.Rata-rata-rata kebutuhan zat besi, natrium dan kalium subyek yaitu 15,9 mg, 3000 mg dan 2500 mg.

Rata-rata ketersediaan energi dan protein dari makanan RS adalah 1357 Kal dan 40,8 g. Rata-rata ketersediaan zat besi, natrium dan kalium yaitu 17,9 mg, 256,7 mg dan 3492,5 mg. Rata-rata tingkat ketersediaan energi baik pada perhitungan menggunakan rumus cepat RS maupun perhitungan dengan rumus Oxford Equation menunjukkan bahwa lebih dari separuh subyek termasuk kategori defisit.

Rata-rata tingkat ketersediaan protein subyek tergolong kategori normal. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan protein RS sudah sesuai dengan kebutuhan protein subyek yaitu sebesar 40 g per hari. Rata-rata tingkat ketersediaan zat besi dan kalium termasuk dalam kategori diatas AKG, sementara itu, rata-rata tingkat ketersediaan natrium termasuk dalam kategori dibawah AKG. Rendahnya rata-rata tingkat ketersediaan natrium subyek diperkirakan karena diet yang diberikan RS juga rendah garam.

Selama 3 hari pengamatan konsumsi, seluruh pasien tidak menghabiskan makanan yang disajikan RS. Oleh karena itu, rata-rata konsumsi energi dan zat gizi lain masih tergolong rendah. Rata-rata konsumsi energi dan protein subyek adalah 992 Kal dan 29,3 g. Rata-rata konsumsi zat besi, natrium dan kalium yaitu 10,2 mg, 189,7 mg dan 3492,5 mg. Alasannya antara lain lemas, pusing, lidah terasa pahit, mual, bosan dan sulit buang air besar.

Rata-rata tingkat konsumsi energi, baik terhadap ketersediaan maupun terhadap kebutuhan masih tergolong kategori defisit (ringan hingga berat). Begitu pula dengan protein, zat besi, natrium, dan kalium subyek, secara umum tingkat konsumsi terhadap ketersediaan dan terhadap kebutuhan zat gizi tersebut termasuk dalam kategori defisit (ringan hingga berat).

Daya terima berdasarkan waktu makan, menunjukkan mayoritas subyek memiliki penerimaan tinggi untuk makan pagi (80%) dan siang (78%) serta penerimaan sedang untuk makan sore (58%). Penilaian subyek terhadap atribut makanan cenderung biasa terhadap warna, aroma, tekstur, bentuk, rasa lauk, kebersihan alat dan variasi menu. Subyek cenderung tidak menyukai rasa sayur, baik pada waktu makan pagi, siang atau sore.

Kontribusi konsumsi energi dan zat gizi lain terhadap total konsumsi terbesar berasal dari makanan RS. Persentase kontribusi natrium jauh lebih rendah dibandingkan dengan energi, protein, zat besi dan kalium. Hal ini disebabkan hampir separuh (49,4%) kontribusi natrium berasal dari infus. Kontribusi konsumsi energi, protein, zat besi dan kalium yang berasal dari makanan luar RS maupun infus tergolong rendah.

Uji korelasi Spearman antara tingkat konsumsi dan daya terima menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0,05 dan r<0,5) mengindikasikan bahwa daya terima makanan tidak berhubungan dengan tingkat konsumsi energi dan zat gizi lain. Artinya, meskipun daya terima terhadap energi dan zat gizi lain cenderung tinggi namun konsumsi subyek tergolong rendah. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya konsumsi makanan dari luar RS, penyajian makanan RS yang kurang menarik maupun faktor internal diantaranya rasa mual, pusing, lemas, menurunnya nafsu makan yang dialami subyek karena penyakit ginjal yang diderita.

(6)

KONSUMSI ZAT GIZI DAN DAYA TERIMA PASIEN RAWAT INAP

PENYAKIT GINJAL KRONIK TERHADAP MAKANAN YANG

DISAJIKAN RSUP FATMAWATI

FATMA SILVIANI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Fakultas Ekologi Manusia

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

(7)

Judul : Konsumsi Zat Gizi dan Daya Terima Pasien Rawat Inap Penyakit Ginjal Kronik Terhadap Makanan yang Disajikan RSUP Fatmawati

Nama : Fatma Silviani NRP : I14070070

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Rimbawan dr. Yekti Hartati Effendi, S.Ked NIP. 19620406 198603 1 002 NIP. 19471029 197901 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Gizi Masyakat

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP. 19621218 198703 1 001

(8)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Konsumsi Zat Gizi dan Daya Terima Pasien Rawat Inap Penyakit Ginjal Kronik terhadap Makanan yang disajikan RSUP Fatmawati” yang merupakan syarat kelulusan sebagai Sarjana Gizi. Selama penyusunan skripsi ini penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak baik bantuan moril dan materil. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Rimbawan dan dr. Yekti Hartati Effendi, S.Ked selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan penuh kesabaran telah meluangkan waktu dan pikiran, memberikan masukan, arahan, kritik, motivasi, nasihat serta semangat dan dorongan untuk penyelesaian skripsi ini.

2. Prof. Hidayat Syarief selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan saran, masukan dan motivasi kepada penulis

3. Katrin Roosita, SP, M.Si selaku dosen pemandu seminar dan penguji yang telah memberikan saran perbaikan dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Direktur RSUP Fatmawati, Kepala Instalasi Gizi beserta staf, Kepala Ruangan, dan para perawat.

5. Para pembahas seminar Dian Rizki Eka Rizal, Tika Nurmalasari, Miftachul Jannah dan Diny Anggris Febriana atas saran dan masukan untuk menyempurnakan skripsi ini.

6. Mama, bapak, adik, kekasih hati dan para sahabat yang senantiasa memberikan dukungan semangat, kasih sayang, finansial dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

7. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.

Tidak dapat dipungkiri bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Demi perbaikan ke arah yang lebih baik, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Akhir kata, besar harapan penulis semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak, menambah keragaman ilmu pengetahuan terutama mengenai konsumsi dan daya terima pasien rawat inap di rumah sakit.

Bogor, Februari 2012 Fatma Silviani

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis adalah anak pertama dari pasangan Abdul Bari dan Maryanih, dilahirkan di Jakarta pada 9 November 1989. Menempuh pendidikan formal di TK Assalam, SDN 09 Tanjung Barat, SMPN 98 Jakarta, dan SMUN 55 Jakarta. Aktif dalam berbagai kegiatan ekstrakulikuler selama sekolah seperti Pengibar Bendera (Paskibra), Tari Saman, dan Majalah Dinding. Penulis diterima di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Saringan Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI) pada tahun 2007.

Penulis merupakan penerima Beasiswa Belajar Mahasiswa (BBM) tahun 2009-2011 dan salah satu penerima dana hibah Program Kreativitas Mahasiswa Gagas Tertulis (PKM-GT) tahun 2009 dengan judul “Reeksekusi Program Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMTAS) di Indonesia” dan Program Kreativitas Mahasiswa Penelitian (PKMP) tahun 2010 dengan judul “Chocolat Pettilant Junten Hitam (Nigella sativa l) sebagai Pangan Alternatif Tinggi Kalium”. Aktif dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) antara lain UKM Agria Swara (2009), Perkumpulan Tari Saman Departemen Gizi Masyarakat (2009-2011), Jakarta Community (Jco) (2010) serta aktif dalam kepanitiaan seperti Olimpiade Mahasiswa IPB 2008-2009, Gebyar Nusantara 2010, Nutrition Fair 2009-2010, Sosialisasi Periksa Urin Sendiri (PURI) dan SENZASIONAL 2011.

Penulis melakukan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Desa Karang Papak, Kecamatan Cisolok, Sukabumi, Jawa Barat pada tahun 2010. Pada tahun 2011, penulis melaksanakan Internship Dietetic di Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita Jakarta. Selain itu, penulis pernah menjadi asisten praktikum Metodologi Penelitian Gizi pada tahun 2010.

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

PRAKATA ... i

RIWAYAT HIDUP ... ii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

Kegunaan Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Pelayanan Gizi Rumah Sakit ... 4

Penyelenggaraan Makanan di Rumah Sakit ... 5

Kecukupan, Kebutuhan dan Konsumsi Zat Gizi ... 8

Energi ... 9

Protein ... 10

Zat Besi ... 11

Natrium dan Kalium ... 12

Fisiologi dan Fungsi Ginjal ... 13

Diet Penyakit Ginjal ... 15

Pemberian Dukungan Gizi ... 21

Daya Terima Makanan ... 23

Uji Kesukaan (Uji Hedonik) ... 25

KERANGKA PEMIKIRAN ... 27

METODE PENELITIAN ... 29

Desain, Tempat dan Waktu Penelitian ... 29

Jumlah dan Cara Pengambilan Subyek ... 29

Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 30

Pengolahan dan Analisis Data ... 32

Definisi Operasional ... 41

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 45

Gambaran Umum RSUP Fatmawati ... 45

Gambaran Umum Instalasi Gizi RSUP Fatmawati ... 48 Gambaran Penyelenggaraan Makanan di Instalasi Gizi

(11)

RSUP Fatmawati ... 49

Karakteristik Subyek ... 53

Riwayat Penyakit ... 53

Diet yang Diberikan RS ... 53

Kebutuhan Energi dan Zat Gizi Lain ... 56

Ketersediaan dan Tingkat Ketersediaan Makanan RS ... 57

Konsumsi dan Tingkat Konsumsi Makanan RS ... 60

Daya Terima Terhadap Makanan RS ... 63

Konsumsi Makanan Luar RS dan Infus ... 65

Kontribusi Konsumsi Energi dan Zat Gizi Lain ... 67

Hubungan Tingkat Konsumsi dengan Daya Terima ... 67

KESIMPULAN DAN SARAN ... 69

Kesimpulan ... 69

Saran ... 71

DAFTAR PUSTAKA ... 72

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Kebutuhan zat gizi harian pasien dengan gagal ginjal akut ... 18

2. Kebutuhan zat gizi harian pasien dengan gagal ginjal kronik ... 19

3. Kebutuhan zat gizi harian pasien pasca transplantasi ginjal ... 19

4. Kebutuhan zat gizi harian untuk pasien hemodialisis ... 20

5. Kebutuhan zat gizi harian untuk pasien dialisis peritoneal ... 21

6. Jenis, kelompok dan kategori karakteristik subyek ... 32

7. Rumus AMB berdasarkan Oxford Equation ... 33

8. Faktor aktifitas (FA) dan faktor injuri (FI) untuk menetapkan kebutuhan energi orang sakit ... 34

9. Jenis data dan klastifikasi ketersediaan, kebutuhan dan konsumsi 37 10. Skor pengolahan data daya terima subyek terhadap makanan RS... 38

11. Jumlah kapasitas tempat tidur berdasarkan kelas perawatan ... 46

12. Sebaran subyek berdasarkan karakteristik subyek ... 52

13. Sebaran subyek berdasarkan lama sakit ... 53

14. Sebaran subyek berdasarkan ada tidaknya komplikasi ... 53

15. Sebaran subyek berdasarkan status pernah dirawat di RS ... 54

16. Sebaran subyek berdasarkan lama rawat di RS ... 54

17. Sebaran subyek berdasarkan jenis diet uang diberikan RS ... 54

18. Sebaran subyek berdasarkan konsistensi makanan pokok ... 55

19. Rata-rata kebutuhan energi dan zat gizi lain ... 56

20. Rata-rata ketersediaan energi dan zat gizi makanan RS ... 56

21. Sebaran subyek berdasarkan tingkat ketersediaan energi dan protein ... 57

22. Sebaran subyek berdasarkan tingkat ketersediaan zat besi, natrium dan kalium ... 58

23. Rata-rata konsumsi energi dan zat gizi lain dari makanan RS ... 59

24. Sebaran subyek berdasarkan tingkat konsumsi terhadap ketersediaan energi dan protein makanan RS ... 60

25. Sebaran subyek berdasarkan tingkat konsumsi terhadap ketersediaan zat besi, natrium dan kalium makanan RS ... 60

26. Sebaran subyek berdasarkan tingkat konsumsi makanan RS terhadap kebutuhan energi dan protein ... 61 27. Sebaran subyek berdasarkan tingkat konsumsi makanan RS terhadap

(13)

kebutuhan zat besi, natrium dan kalium ... 62

28. Sebaran subyek berdasarkan daya terima terhadap makanan RS tiap waktu makan ... 63

29. Sebaran subyek berdasarkan penilaian terhadap atribut makanan pada waktu makan pagi ... 63

30. Sebaran subyek berdasarkan penilaian terhadap atribut makanan pada waktu makan siang ... 64

31. Sebaran subyek berdasarkan penilaian terhadap atribut makanan pada waktu makan sore ... 64

32. Sebaran subyek berdasarkan konsumsi makanan luar RS ... 65

33. Jenis makanan luar RS yang dikonsumsi ... 65

34. Sebaran subyek berdasarkan jenis infus yang diberikan ... 65

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Kerangka pemikiran konsumsi zat gizi dan daya terima pasien rawat

inap penyakit ginjal kronik terhadap makanan yang disajikan RSUP

Fatmawati... 28

2. Penarikan subyek penelitian ... 30

3. Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, Jakarta Selatan ... 44

4. Instalasi gizi RSUP Fatmawati ... 47

5. Diet RP dan DMRP lunak ... 50

6. Lauk dan tumisan sebelum diporsikan ... 51

7. Bagian luar dan bagian dalam kereta makan pasien ... 55

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Kuisioner Penelitian ... 74 2. Siklus Menu Diet RP Kelas III ... 78 3. Siklus Menu Selingan Jam 10.00 Kelas III ... 79

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Semakin meningkatnya arus globalisasi di segala bidang, perkembangan teknologi dan industri telah banyak membawa perubahan pada perilaku dan gaya hidup masyarakat serta situasi lingkungan. Perubahan tersebut tanpa disadari telah memberi pengaruh terhadap terjadinya transisi epidemiologi dengan semakin meningkatnya kasus penyakit tidak menular (Depkes 2007). Menurut WHO tahun 2000, di dunia telah terjadi 55.694.000 kematian, dan 59% diakibatkan oleh penyakit tidak menular dan di Asia Tenggara tahun 2001, penyakit tidak menular merupakan 49,7% penyebab kematian, sehingga menimbulkan DALYs (Disability Adjusted Life Years) sebesar 42,2%.

Penyakit degeneratif merupakan jenis penyakit tidak menular yang disebabkan oleh menurunnya fungsi sel-sel dalam tubuh. Penyakit degeneratif yang umum diderita oleh penduduk Indonesia antara lain stroke, penyakit jantung, tumor, diabetes mellitus, hipertensi, obesitas dan penyakit ginjal kronik (PGK). Di Amerika Serikat diperkirakan 20 juta orang dewasa mengalami penyakit ginjal kronik. Data tahun 1995-1999 menunjukkan insidens PGK mencapai 100 kasus per juta penduduk per tahun di Amerika Serikat. Prevalensi PGK atau yang disebut juga Chronic Kidney Disease (CKD) meningkat setiap tahunnya. Centers for Disease Control (CDC) melaporkan bahwa dalam kurun waktu tahun 1999 hingga 2004, terdapat 16.8% dari populasi penduduk usia di atas 20 tahun, mengalami PGK. Persentase ini meningkat bila dibandingkan data pada 6 tahun sebelumnya, yakni 14.5%. Sementara itu, di negara-negara berkembang, insiden ini diperkirakan sekitar 40 – 60 kasus per juta penduduk pertahun (Suwitra 2007). Di Indonesia, dari data di beberapa bagian nefrologi, diperkirakan insiden PGK berkisar 100-150 per 1 juta penduduk dan prevalensi mencapai 200-250 kasus per juta penduduk (Bakri 2005).

Dalam upaya memperoleh kesembuhan dari suatu penyakit, termasuk penyakit ginjal, diperlukan pengobatan yang tepat. Disamping upaya pengobatan, makanan merupakan salah satu faktor penunjang untuk mempercepat proses penyembuhan penyakit. Dengan mengkonsumsi makanan, berarti pasien juga mengkonsumsi zat gizi yang terkandung di dalam makanan tersebut. Tercukupinya zat gizi dapat membantu proses penyembuhan. Dengan pengadaan makanan di rumah sakit diharapkan agar pasien penderita penyakit dalam mendapatkan konsumsi energi dan protein yang terkontrol.

(17)

Salah satu bentuk pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit adalah pengadaan makanan. Rumah sakit memiliki pedoman diit tersendiri yang akan memberikan rekomendasi yang lebih spesifik mengenai cara makan yang bertujuan untuk meningkatkan atau mempertahankan status gizi pasien, daya tahan tubuh dalam menghadapai penyakit, khususnya infeksi dan membantu kesembuhan pasien dari penyakit dengan memperbaiki jaringan yang rusak serta memulihkan keadaan homeostatis (Hartono 2000).

Terapi diet merupakan penatalaksanaan gizi yang sangat penting pada penderita penyakit ginjal. Umumnya, diet pada penyakit ginjal dapat diperoleh secara efektif dan efisien terutama di rumah sakit. Akan tetapi, perawatan di rumah sakit berarti memisahkan pasien dengan lingkungannya sehari-hari, termasuk kebiasaan makannya. Tidak hanya perbedaan pada macam makanan yang disajikan, tetapi juga cara makanan tersebut dihidangkan, waktu makan, tempat makan, sehingga mempengaruhi selera makan pasien (Subandriyo 1995). Hal tersebut dapat berakibat pada menurunnya konsumsi terhadap makanan yang disajikan dan memperbesar kecenderungan pasien untuk mengonsumsi makanan dari luar rumah sakit, sehingga berdampak pada kebutuhan gizi pasien yang tidak terpenuhi dan terhambatnya proses penyembuhan.

Konsumsi zat gizi dan daya terima pasien penyakit ginjal terhadap makanan yang disajikan rumah sakit perlu diperhatikan dengan seksama. Hal inilah yang mendasari penelitian mengenai konsumsi zat gizi dan daya terima pasien penyakit ginjal rawat inap terhadap makanan yang disajikan di rumah sakit.

Tujuan Tujuan Umum

Mengetahui konsumsi energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium) serta daya terima pasien rawat inap penyakit ginjal terhadap makanan yang disajikan Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati.

Tujuan Khusus

1. Mengetahui gambaran umum rumah sakit, instalasi gizi, dan penyelenggaraan makanan di RSUP Fatmawati

2. Mempelajari karakteristik dan identitas subyek (nama, usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, aktivitas fisik dan status gizi), riwayat penyakit

(18)

meliputi jenis penyakit, lama sakit, ada tidaknya komplikasi, status pernah dirawat dan lama dirawat di rumah sakit

3. Mempelajari kebutuhan energi dan zat gizi lain subyek

4. Menghitung ketersediaan dan tingkat ketersediaan energi dan zat gizi lain dari makanan RS

5. Menghitung konsumsi energi dan zat gizi lain makanan RS serta tingkat konsumsi makanan RS terhadap ketersediaan dan kebutuhan energi dan zat gizi lain

6. Mempelajari daya terima subyek terhadap makanan yang disajikan RS meliputi warna, aroma, rasa (lauk dan sayuran), tekstur, bentuk, suhu, kebersihan alat, dan variasi menu

7. Mempelajari kontribusi energi dan zat gizi lain yang berasal dari makanan luar RS dan atau infus

8. Menganalisis hubungan antara daya terima subyek terhadap makanan yang disajikan RS dengan tingkat konsumsi makanan RS

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran dan informasi tentang tingkat konsumsi energi, protein, zat besi dan natrium pasien rawat inap penyakit ginjal terhadap makanan yang disajikan Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati. Penelitian ini juga dapat menjadi bahan masukan bagi pihak rumah sakit dalam penyempurnaan kegiatan penyelenggaraan makanan untuk pasien rawat inap umumnya dan pasien penyakit ginjal khususnya.

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Pelayanan Gizi Rumah Sakit

Pelayanan Gizi Rumah Sakit (PGRS) merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan peripurna rumah sakit dengan beberapa kegiatan, antara lain pelayanan gizi rawat inap dan rawat jalan. Pelayanan gizi rawat inap dan rawat jalan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan gizi pasien melalui makanan sesuai penyakit yang diderita (Almatsier 2004).

Pelayanan Gizi Rumah Sakit adalah pelayanan gizi yang menyesuaikan dengan keadaan pasien dan berdasarkan keadaan klinis, status gizi dan status metabolisme tubuh. Keadaan gizi pasien sangat berpengaruh pada proses penyembuhan penyakit, sebaliknya proses perjalanan penyakit dapat berpengaruh terhadap keadaan gizi pasien. Hal tersebut diakibatkan karena tidak tercukupinya kebutuhan zat gizi tubuh untuk perbaikan organ tubuh. Fungsi organ yang terganggu akan lebih terganggu lagi dengan adanya penyakit dan kekurangan gizi. Selain itu, masalah gizi lebih dan obesitas erat hubungannya dengan penyakit degeneratif (Depkes 2006).

Proses pelayanan gizi rawat inap dan rawat jalan terdiri atas empat tahap yaitu pengkajian gizi, perencanaan pelayanan gizi dengan menetapkan tujuan dan strategi, implementasi pelayanan gizi sesuai rencana, monitoring dan evaluasi pelayanan gizi (Almatsier 2004).

Pelayanan gizi di rumah sakit bertujuan untuk mencapai pelayanan gizi pasien yang optimal dalam memenuhi kebutuhan gizi orang sakit untuk mengoreksi kelainan metabolisme dalam upaya penyembuhan pasien yang dirawat dan berobat jalan (Waspadji et al. 2002).

Menurut Hartono (2000), untuk mencapai kondisi kesehatan pasien yang optimal, maka rumah sakit umumnya akan menyediakan, (1) makanan dengan kandungan gizi yang baik dan seimbang menurut keadaan penyakit dan status gizi masing-masing pasien, (2) makanan dengan tekstur dan konsistensi yang sesuai menurut kondisi gastrointestinal dan penyakit masing-masing pasien, (3) makanan yang mudah dicerna dan tidak merangsang, (4) makanan yang bebas unsur aditif yang berbahaya, dan (5) makanan dengan penampilan dan citarasa yang menarik untuk menggugah selera makan pasien yang umumnya terganggu oleh penyakit dan kondisi indera pengecap atau pembaunya.

(20)

Penyelenggaraan Makanan di Rumah Sakit

Penyelenggaraan makanan di rumah sakit adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari perencanaan menu sampai dengan pendistribusian makanan kepada konsumen, dalam rangka pencapaian status kesehatan yang optimal melalui pemberian diet yang tepat. Dalam hal ini termasuk kegiatan pencatatan, pelaporan dan evaluasi. Dietetik klinik adalah pengaturan makanan bagi pasien yang mengalami gangguan kesehatan. Pengaturan makan demikian, selain, ditunjukkan untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan zat gizi, juga ditunjukkan untuk membantu pasien dalam penyembuhan penyakitnya, mengurangi atau menghilangkan penderitaan dan gejala-gejala klinis yang terjadi akibat penyakitnya (Effendi 2011).

Tujuan dari penyelenggaraan makanan makanan di rumah sakit dilaksanakan dengan tujuan untuk menyediakan makanan yang kualitasnya baik dan jumlah yang sesuai kebutuhan serta pelayanan yang layak dan memadai bagi klien atau konsumen yang membutuhkannya (Depkes 2006).

Perencanaan Menu

Menurut Uripi (1993), menu berasal dari bahasa Prancis “menute” yang berarti daftar makanan yang disajikan kepada konsumen. Secara umum, menu adalah sususan hidangan yang disajikan pada waktu akan makan. Dengan kata lain, menu adalah rangkaian dari beberapa macam hidangan atau masakan yang disajikan untuk seseorang atau kelompok orang untuk sekali makan, misalnya susunan hidangan makan pagi, siang atau malam. Pola menu sehari yang dianjurkan di Indonesia adalah makanan seimbang yang terdiri dari makanan sumber zat tenaga yakni karbohidrat, protein, vitamin dan mineral.

Siklus menu pada umumnya direncanakan untuk waktu tertentu, misalnya 10 sampai dengan 15 hari. Menu yang dipergunakan untuk waktu tertentu tersebut kemudian diulang kembali. Siklus menu tergantung tersedianya bahan makanan. Perencanaan menu merupakan rangkaian untuk menyusun suatu hidangan dalam variasi yang serasi. Kegiatan ini sangat penting dalam sistem pengelolaan makanan di rumah sakit karena menu sangat berhubungan dengan kebutuhan dan penggunaan sumberdaya lainnya dalam sistem tersebut, seperti anggaran belanja, peralatan, penyediaan bahan makan dan sebagainya (Uripi 1993). Adapun fungsi dari perencanaan menu adalah:

(21)

2. Secara garis besar dapat disusun hidangan yang mengandung zat-zat gizi yang essensial yang dibutuhkan tubuh

3. Variasi dan kombinasi hidangan dapat diatur, sehingga dapat menghindari kebosanan yang disebabkan pemakaian jenis bahan makanan dan jenis makanan yang sering terulang

4. Menu dapat disusun sesuai dengan biaya yang tersedia sehingga kekurangan uang belanja dapat dihindari atau harga makanan dapat dikenadalikan

5. Waktu dan tenaga yang tersedia dapat digunakan sehemat mungkin. Dengan perencanaan menu yang matang bahan makanan kering dapat dibeli sekaligus untuk beberapa minggu sehingga tenaga dan waktu dapat dihemat

Mengingat berbagai hal diatas, perencanaan menu harus disesuaikan dengan anggaran yang ada dengan mempertimbangkan kebutuhan gizi dan aspek kepadatan makanan, kebiasaan makan penderita, kombinasi yang dapat diterima oleh penderita, persiapan dan penampilan makanan dan cara-cara pelayanan.

Pengolahan Bahan Makanan

Pengolahan makanan merupakan kegiatan mengubah makanan mentah menjadi makanan yang berkualitas tinggi melalui berbagai proses yang berkaitan. Pengolahan makanan pada garis besarnya terdiri atas dua tahap, yaitu persiapan bahan makanan dan pemasakan makanan. Proses pengolahan sangat berkaitan dengan waktu penyajian, oleh karena itu penjadwalan mutlak dilakukan. Produksi makanan harus diperhatikan untuk setiap item masakan, sehingga persiapan dapat pula ditata. Jadwal disusun mulai persiapan bahan makanan dan waktu penerimaan pada unit produksi. Jadwal produksi perlu direncanakan dan diorganisisr dengan cara yang tepat. Penjadwalan tersebut adalah mengenai persiapan bahan makanan, pengolahan, pemorsian dan penyaluran bahan makanan.

Kegiatan persiapan meliputi persiapan bahan makanan dan persiapan alat-alat yang akan digunakan untuk memasak makanan. Selain itu juga dilakukan pengawasan terhadap porsi makanan yang akan disajikan. Persiapan makanan disiapkan oleh bagian persiapan makanan, bahan-bahan yang diperlukan disesuaikan dengan perencanaan menu yang telah ada. Waktu persiapakan harus direncanakan secara tepat karena jika persiapan terlalu awal

(22)

atau terlalu lambat akan menimbulkan kerugian pada kualitas rasa dan penampilan makanan. Persiapan alat mutlak dilakukan sebelum pengolahan makanan dilakukan, karena peralatan yang dipakai pada proses pengolahan sangat menunjang keberhasilan pengolahan makanan. Pada proses pengolahan alat-alat tersebut harus dapat langsung dipergunakan pada proses pengolahan makanan antara lain panci, penggorengan, baskom dan lainnya. Ada juga alat-alat yang secara tidak langsung menunjang proses kegiatan pengolahan makanan yaitu energi seperti bahan bakar, listrik atau gas.

Porsi yang digunakan rumah sakit adalah porsi standar. Porsi standar yaitu porsi yang dihitung berdasarkan kebutuhan zat gizi bagi setiap orang sehari dan digunakan sebagai patokan kebutuhan zat gizi. Contoh dari standar porsi makanan adalah:

- lauk hewani: daging 50 g, ayam 75 g, ikan 60 g - lauk nabati: tempe dan tahu 50 g

- sayur berkisar 100-125 g pada sayuran mentah, sehingga setelah masak menjadi sekitar 53-60 g

- buah misalnya pepaya 100 g

Pemasakan makanan adalah proses kegiatan terhadap bahan makanan yang telah dipersiapkan menurut prosedur yang telah ditentukan, dengan penambahan bumbu menurut resep standar dalam rangka mewujudkan masakan dengan citarasa tinggi. Beberapa prinsip dasar harus diterapkan dalam pemasakan makanan yaitu bumbu harus mempunyai kualitas yang cukup tinggi dan cara pemasakan yang harus tepat (Uripi 1993).

Pemorsian dan Pendistribusian Makanan

Setelah pengolahan bahan makanan selesai, makanan tersebut kemudian dibagikan kedalam porsi sesuai diet yang dianjurkan, atau biasa disebut proses pemorsian, kemudian mendistribusikannya kepada pasien. Menurut Uripi (1993), pemorsian dilakukan oleh bagian pemorsian yang dibedakan menjadi dua bagian yaitu pemorsian untuk makanan biasa dan pemorsian makanan diet. Porsi makanan yang akan disajikan harus sesuai dengan standar porsi yang berlaku.

Menurut Anderson et al (1982) terdapat dua tipe pembagian atau pendistribusian makanan kepada pasien, yaitu sentralisasi dan desentralisasi. Pada pembagian dengan cara sentralisasi, pembagian makanan pada tiap nampan atau porsi bagi masing-masing pasien dilakukan terpusat di area

(23)

produksi makanan dan diantarkan ke ruang pasien dengan menggunakan kereta makanan. Sedangkan, pembagian dengan cara desentralisasi dilakukan dengan mengangkut makanan dari area produksi ke ruang pasien dalam jumlah besar. Pembagian dalam nampan atau porsi untuk tiap pasien dilakukan di ruang pasien oleh petugas makanan.

Kecukupan, Kebutuhan dan Konsumsi Zat Gizi

Angka kecukupan gizi adalah nilai yang menujukkan jumlah zat gizi yang diperlukan tubuh untuk hidup sehat setiap hari bagi hampir semua populasi menurut kelompok umur, jenis kelamin dan kondisi fisiologis tertentu seperti kehamilan dan menyusui. Angka kecukupan gizi berguna sebagai nilai rujukan yang digunakan untuk perencanaan dan penilaian konsumsi makanan dan asupan gizi bagi orang sehat, agar tercegah dari defisiensi/kekurangan ataupun kelebihan asupan zat gizi. Kekurangan asupan suatu zat gizi dapat menyebabkan terjadinya defisiensi atau penyakit kurang gizi dan kelebihan akan menyebabkan terjadinya efek samping. Pada keadaan ektrim, kekurangan atau kelebihan zat gizi dapat menyebabkan penyakit bahkan kematian. Penentuan kebutuhan gizi berbeda antar zat gizi. Meskipun demikian, berangkat dari prinsip yang sama, yaitu penentuan angka atau nilai asupan gizi untuk mempertahankan orang sehat tetap sehat sesuai kelompok umur atau tahap pertumbuhan dan perkembangan, jenis kelamin, kegiatan dan kondisi fisiologisnya (WKNPG 2004).

Kebutuhan zat gizi adalah sejumlah zat gizi minimal yang harus dipenuhi dari konsumsi makanan (Hardinsyah & Martianto 1992). Menurut Supariasa et al (2001), kebutuhan tubuh akan zat gizi ditentukan oleh banyak faktor. Faktor tersebut antara lain tingkat metabolisme basal, tingkat pertumbuhan, aktivitas fisik, dan faktor yang bersifat relatif seperti gangguan pencernaan, perbedaan daya serap, tingkat penggunaan, serta perbedaan pengeluaran dan penghancuran zat gizi dalam tubuh.

Konsumsi makanan dalam aspek gizi bertujuan untuk memperoleh sejumlah zat gizi yang diperlukan tubuh. Tingkat konsumsi seseorang merupakan persen angka konsumsi energi dan zat gizi yang diperoleh dari survei terhadap angka kecukupan yang dianjurkan (Suhardjo et al 1988). Menurut Supariasa et al (2001), survei konsumsi makanan dapat dilakukan dengan berbagai metode diantaranya metode recall 24 jam dan metode penimbangan makanan (food weighing method). Prinsip metode recall 24 jam yaitu mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Data yang

(24)

diperoleh cenderung bersifat kualitatif. Oleh karena itu, jumlah makanan yang dikonsumsi individu harus ditanyakan secara teliti dengan menggunakan alat ukur rumah tangga (URT) untuk mendapatkan data kualitatif. Menurut Suhardjo (1989), prinsip food weighing method yaitu mengukur secara langsung berat setiap jenis pangan yang dikonsumsi. Berat makanan yang dikonsumsi didapatkan dari mengurangi berat makanan sebelum dimakan dengan berat makanan yang tersisa setelah dimakan. Tingkat ketelitian metode ini paling tinggi dibandingkan dengan metode lainnya dalam hal mengukur konsumsi pangan secara kuantitatif.

Energi

Penentuan kebutuhan energi didasarkan pada energi basal (Resting Metabolic Rate - RMR) ditambah sejumlah energi yang diperlukan untuk efek tambahan metabolisme (Thermic Effect of Food - TEF), kegiatan (Thermic Effect of Exercise - TEE) dan pertumbuhan (pada kelompok usia/fisiologis tertentu) (WKNPG 2004).

Resting Metabolic Rate (RMR). Banyak juga peneliti yang menggunakan Basal Metabolic Rate (BMR). Perbedaannya BMR dianjurkan diukur pagi hari, bangun tidur, belum melakukan kegiatan dan telah berpuasa 10-12 jam. RMR diukur dalam keadaan istirahat biasa dan dilakukan 4-5 jam setelah makan.

Thermic Effect of Food (TEF). Dahulu istilah yang digunakan adalah specific dynamic action yaitu tambahan energi yang dibutuhkan untuk metabolisme protein. Belakangan diketahui bahwa bukan hanya protein yang mempunyai efek tambahan energi untuk metabolismenya, tetapi juga karbohidrat dan lemak. TEF diperkirakan sekitar 10% dari energy expenditure. Glukosa bila disimpan terlebih dahulu sebagai glikogen kehilangan energi sekitar 7%. Pengubahan karbohidrat menjadi lemak memerlukan tambahan energi sebanyak 26%.

Thermic Effect of Exercise (TEE). Adalah energi yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan. Pada umumnya kebutuhan energi untuk TEE sekitar 15-30% dari RMR. Namun suatu kegiatan yang berat akan memerlukan energi yang lebih banyak. Facultative thermogenesis merupakan kebutuhan energi sebagai efek dari berbagai perubahan antara lain perubahan suhu, konsumsi makanan, emosi, stress, dan lain-lain. Faktor lain yaitu umur, jenis kelamin, aktivitas fisik dan lain sebagainya.

(25)

Manusia membutuhkan energi untuk mempertahankan hidup, menunjang pertumbuhan dan melakukan aktivitas fisik. Energi dapat diperoleh dari karbohidrat, protein dan lemak yang ada didalam bahan makanan. Kandungan karbohidrat, protein dan lemak pada suatu bahan makanan menentukan nilai energinya. Setiap gram karbohidrat dan protein menghasilkan energi sebesar 4 Kal, lemak menghasilkan 9 Kal dan alkohol menghasilkan 7 Kal. Bahan makanan yang merupakan sumber energi tinggi yaitu sumber lemak, seperti minyak dan lemak serta kacang-kacangan. Selain itu, bahan makanan sumber karbohidrat seperti padi-padian, umbi-umbian dan gula murni. Kekurangan energi pada orang dewasa dapat menyebabkan penurunan berat badan dan kerusakan jaringan tubuh. Kelebihan energi juga tidak baik karena kelebihannya akan diubah menjadi lemak tubuh yang dapat mengakibatkan kegemukan. Pada akhirnya, hal tersebut dapat mengakibatkan gangguan fungsi tubuh yang merupakan resiko untuk menderita penyakit kronik dan memperpendek harapan hidup (Almatsier 2002).

Protein

Penentuan kebutuhan protein biasanya ditentukan dengan metode faktorial atau keseimbangan nitrogen. Metode faktorial dilakukan dengan mengukur N yang keluar melalui feses, urin keringat, kuku, dan sebagainya bila seseorang diberi diet “protein free”. Misal, hasil penelitian mengungkapkan dengan cara faktorial kebutuhan N sekitar 54 mg/kgBB bila ditambah 2 SD menjadi 70 mg N/kgBB. Karena nilai protein sama dengan Nx6,25 maka kebutuhan protein sekitar 0,45 g/kgBB dengan catatan dari protein kualitas tinggi. Kehilangan karena efisiensi, mutu protein diperkirakan sekitar 30% sehingga kebutuhan protein menjadi 0,6 sampai 0,7 g/kgBB. Metode keseimbangan nitrogen (Nitrogen Balance) dilakukan dengan mengukur nitrogen dari asupan protein dibanding dengan nitrogen yang keluar melalui feses, urin, keringat. Bila asupan lebih kecil dari yang keluar disebut N-balance negatif dan bila sama maka asupan sama dengan kebutuhan. Untuk mengetahui N-balance positif atau negatif maka percobaan dilakukan dengan pemberian berbagai tingkat protein. Misalnya dengan pemberian 0,6 g/kgBB sampai 1 g/kgBB (WKNPG 2004).

Protein adalah sumber asam amino yang mengandung unsur nitrogen yang tidak dimiliki oleh karbohidrat atau lemak. Fungsi utama protein bagi tubuh yaitu membentuk jaringan baru dan mempertahankan jaringan yang sudah ada. Secara garis besar, fungsi protein yaitu alat pengangkut dan penyimpan, sebagai

(26)

enzim, pengatur pergerakan, penunjang mekanis, membangun sel-sel jaringan tubuh, pertahanan tubuh, pemberi tenaga, menjaga keseimbangan asam basa cairan tubuh, membuat protein darah, dan media perambatan impuls saraf (Nasoetion et al 1994).

Menurut Almatsier (2004), kebutuhan protein normal adalah 10-15% dari kebutuhan energi total, atau 0,8 – 1 g/kg berat badan. Kebutuhan energi minimal untuk mempertahankan keseimbangan nitrogen adalah 0,4 – 0,5 g/kg berat badan. Demam, operasi, sepsis, trauma dan luka dapat meningkatkan katabolisme protein, sehingga meningkatkan kebutuhan protein sampai 1,5 – 2,0 g/kg berat badan. Sebagian besar pasien yang dirawat membutuhkan protein sebesar 1,0 – 1,5 g/kg berat badan.

Bahan makanan hewani merupakan sumber protein yang baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Contoh sumber protein hewani yaitu telur, susu, daging, ikan, unggas dan kerang. Sumber protein nabati contohnya kacang kedelai dan hasil olahannya, seperti tempe, tahu serta kacang-kacangan lain. Kelebihan protein dapat menyebabkan obesitas karena umumnya makanan yang tinggi protein biasanya tinggi lemak. Selain itu, kelebihan protein menyebabkan asidosis, diare, dehidrasi, kenaikan amonia darah, kenaikan urea darah, dan demam (Almatsier 2002).

Kekurangan protein dapat menyebabkan marasmus, kwarsiorkor atau gabungan keduanya. Hal ini mengakibatkan kegagalan pertumbuhan ringan sampai suatu sindrom klinis berat yang spesifik.

Zat Besi

Zat besi merupakan komponen dari hemoglobin, mioglobin, sitokhrom, dan enzim katalase serta peroksidase. Peranan zat besi pada umumnya berkaitan dengan proses respirasi dalam sel (Karyadi & Muhilal 1990). Di samping itu berbagai jenis enzim memerlukan besi sebagai faktor penguat. Di dalam tubuh sebagian besar besi terkonjugasi dengan protein dan terdapat dalam bentuk ferro atau ferri. Bentuk aktif zat besi biasanya terdapat sebagai ferro sedangkan bentuk inaktif adalah sebagai ferri. Zat besi lebih mudah diserap dari usus halus dalam bentuk ferro. Penyerapan ini mempunyai mekanisme autoregulasi yang diatur oleh kadar ferritin yang terdapat di dalam sel-sel mukosa usus. Pada kondisi besi yang baik, hanya sekitar 10 persen dari besi yang terdapat dalam makanan diserap ke dalam mukosa usus, tetapi dalam kondisi

(27)

defisiensi besi yang diserap lebih banyak untuk menutupi kekurangan tersebut (Sediaoetama 2008).

Defisiensi zat besi dapat menyebabkan anemia. Pada penderita anemia, jumlah sel-sel darah merah berkurang dan karenanya jumlah oksigen yang dibawa ke jaringan juga menurun. Hal ini mengakibatkan kekurangan energi dan kelesuan, sakit kepala dan pusing-pusing yang merupakan gejala anemia. Anemia lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria disebabkan antara lain karena kehilangan darah selama menstruasi (Gaman & Sherrington 1992).

Besi dalam makanan yang dikonsumsi berada dalam bentuk ikatan ferri (umumnya dalam pangan nabati) maupun ikatan ferro (umumnya dalam pangan hewani). Besi yang berbentuk ferri oleh getah lambung (HCl) direduksi menjadi bentuk ferro yang lebih mudah diserap oleh sel mukosa usus. Di dalam sel mukosa, ferro dioksidasi menjadi ferri, kemudian bergabung dengan apoferritin membentuk protein yang mengandung besi yaitu ferritin. Selanjutnya untuk masuk ke plasma darah, besi dilepaskan dari ferritin dalam bentuk ferro, sedangkan apoferritin yang terbentuk kembali akan bergabung lagi dengan ferri hasil oksidasi di dalam sel mukosa. Setelah masuk ke dalam plasma, maka besi ferro segera dioksidasi menjadi ferri untuk digabungkan dengan protein spesifik yang mengikat besi yaitu transferrin (Suhardjo & Kusharto 1992).

Natrium dan Kalium

Tubuh manusia mengandung 1,8 g Na/Kg BB bebas lemak, dimana sebagian besar terdapat dalam cairan ekstraseluler (Suhardjo & Kusharto 1992). Natrium adalah kation utama dalam cairan ekstraseluler. Natrium berada dalam kerangka tubuh sebanyak 35-40%. Sebagai kaiton utama cairan ekstraseluler, natrium menjaga keseimbangan cairan dalam kompartemen tersebut. Bila jumlah natrium didalam sel meningkat secara berlebihan, air akan masuk ke dalam sel, akibatnya sel akan membengkak. Hal ini menyebabkan pembengkakan atau edema dalam jaringan tubuh (Almatsier 2002).

Sumber natrium adalah garam dapur, monosodium glutamat (MSG), kecap dan makanan yang diawetkan dengan garam dapur. Makanan sehari-hari biasanya cukup mengandung natrium yang dibutuhkan oleh tubuh. Oleh karena itu, tidak ada penetapan kebutuhan natrium sehari. Dinjurkan untuk mengkonsumsi asupan garam kurang dari 6 g/hari yang setara dengan 110 mmol natrium (2400 mg) (Karyadi 2002). Kelebihan natrium dapat menimbulkan keracunan yang dalam keadaan akut menyebabkan edema dan hipertensi

(28)

(Almatsier 2002). Penelitian melaporkan bahwa penurunan asupan natrium sekitar 1,8 g/hari dapat menurunkan tekanan darah sistolik 4 mmHg dan tekanan darah diastolik 2 mmHg pada seseorang yang memiliki tekanan darah tinggi dan hanya penurunan lebih sedikit pada individu dengan tekanan darah normal. Pengurangan asupan garam bukan saja dari garam dapur tetapi juga harus menghindari makanan yang diasinkan, diawetkan, bumbu-bumbu yang banyak mengandung garam dapur seperti terasi, kecap, petis, tauco atau juga camilan (Karyadi 2002).

Natrium dan kalium sangat erat hubungannya dalam memenuhi fungsinya didalam tubuh. Kedua elemen ini terutama berfungsi dalam keseimbangan air, elektrolit (asam basa) didalam sel maupun didalam cairan ekstraseluler, termasuk plasma darah. Natrium terutama terdapat didalam cairan ekstraseluler, sedangkan natrium didalam cairan intraseluler. Natrium merupakan satu-satunya elemen yang biasa dikonsumsi dalam bentuk garam yang sedikit-banyak murni, yaitu garam dapur. Konsumsi garam ini rata-rata 15 gram seorang sehari. Di daerah pegunungan yang terisolasi dan jauh dari pantai garam, natrium digantikan oleh garam kalium yang didapat dari abu berbagai tumbuhan yang dibakar (Sediaoetama 2008).

Di dalam tubuh terdapat natrium sebanyak 0,15% dari berat badan, sedangkan kalium 0,35% atau terdapat sekitar 2 ½ kali lebih banyak dibandingkan dengan natrium. Dalam cairan tubuh, natrium membentuk larutan garam NaCl atau Na-carbonat. Ion Na+ berperan dalam menahan air didalam tubuh, dalam proses mempertahankan tekanan osmosis cairan. Membran sel bersifat semipermeabel terhadap natrium, tetapi K+ dapat lewat dengan bebas melalui membran sel tersebut.

Fisiologi dan Fungsi Ginjal

Fungsi utama ginjal adalah mengatur keseimbangan homeostatik dengan respon terhadap cairan, elektrolit dan larutan organik. Ginjal yang normal dapat melakukan fungsi tersebut pada berbagai fluktuasi diet sodium, air dan zat terlarut lainnya. Tugas ini dilakukan dengan memfiltrasi darah terus menerus dan perubahan dari filtrat (sekresi dan reabsorbsi) dalam filtrasi cairan. Ginjal menerima 20% darah dari jantung yang memungkinkan penyaringan darah rata-rata 1600 L/hari (Wilkens dan Juneja 2007).

Setiap ginjal terdiri atas sekitar 1 juta unit fungsi yang disebut nefron. Nefron terdiri dari sebuah glomerulus yang melekat pada serangkaian tubulus,

(29)

yang dapat dibagi ke dalam segmen fungsional yang berbeda: tubula terkonvolusi proksimal, lengkung Henle, tubulus distal dan duktus pengumpul. Setiap nefron beroperasi secara independen menghasilkan kontribusi ke urin akhir, meskipun semua dibawah kontrol serupa dan terkoordinasi. Namun, ketika salah satu nefron hancur, nefron yang lengkap tidak lagi dapat berfungsi. Glomerulus adalah massa bola kapiler yang dikelilingi oleh membran, kapsul Bowman. Fungsi glomerulus adalah produksi sejumlah besar ultrafiltrat, termasuk segmen mengikuti nefron untuk berubah. Ultrafiltrasi dalam glomerulus sangat mirip dengan komposisi darah. Karena fungsi penghalang, glomerulus menghambat sel darah dan molekul dengan berat molekul lebih besar dari 6500 dalton seperti protein. Ultrafiltrat produksi sebagian besar pasif dan didasarkan pada tekanan perfusi yang diproduksi oleh hati dan disediakan oleh arteri ginjal. Tubulus mengisap sebagian besar komponen yang membentuk ultrafiltrat. Banyak dari proses ini aktif dan membutuhkan energi pengeluaran yang besar dalam bentuk Adenosin Triphospat (ATP) (Wilkens dan Juneja 2007).

Ginjal memiliki kemampuan hampir tak terbatas untuk mengatur homeostasis air. Kemampuan ginjal untuk membentuk gradien konsentrasi yang besar antara bagian dalam dan luar korteks medula memungkinkan ginjal mengekskresikan urin encer kira-kira 50 mOsm atau konsentrasi kira-kira 1200 mOsm. Mengingat beban zat terlarut tetap harian sekitar 600 mOsm (beban zat terlarut mewakili produk akhir sampah dari metabolisme normal), ginjal dapat membuang sedikitnya 500 ml urin terkonsentrasi atau kontrol sebanyak 12 L. Kontrol ekskresi air diatur oleh vasopresin, atau dikenal sebagai hormon antidiuretik, suatu hormon peptida kecil yang disekresikan oleh hipofisis posterior. Kelebihan air pada tubuh, yang ditunjukkan oleh penurunan osmolalitas, mengarah ke menutupnya semua sekresi vasopresin. Namun, kebutuhan untuk menghemat natrium kadang-kadang menyebabkan suatu pengorbanan dari kontrol homeostatik volume air. Mayoritas zat terlarut terdiri dari limbah nitrogen, terutama produk akhir dari metabolisme protein. Urea mendominasi dengan jumlah yang tergantung pada kandungan protein diet. Asam urat, kreatinin dan amonia ada dalam jumlah kecil. Jika produk limbah normal ini tidak dihapus dengan benar, maka akan terkumpul didalam darah, mereka akan terkumpul dalam jumlah abnormal dalam darah, dikenal dengan sebutan azotemia. Kemampuan ginjal untuk menghilangkan produk limbah

(30)

nitrogen dikenal sebagai fungsi ginjal; gagal ginjal merupakan ketidakmampuan ginjal untuk mengekskresikan beban limbah harian (Wilkens dan Juneja 2007).

Menurut Sediaoetama (2008), ginjal berperan penting dalam keseimbangan cairan. Darah didalam glomerulus disaring dan plasma masuk kedalam cawan glomerulus sebagai ultrafiltrat. Komposisi ultrafiltrat ini sama dengan komposisi plasma tanpa makromolekul (protein plasma), yang tidak dapat menembus saringan. Berat jenis plasma tanpa makromolekul sama dengan berat jenis ultrafiltrat, yaitu 1,010. Ultrafiltrat ini diubah menjadi urin yang mempunya berat jenis 1,015-1,035. Glomerulus dapat menyaring plasma sebanyak 150-200 liter dalam 24 jam, untuk menghasilkan urin sebanyak 1000-1300 ml. Saluran nefron yang berfungsi mengkonsentrasikan ultrafiltrat menjadi urin ini panjangnya 15 mm tubulus proximalis, 15 mm loop Henle dan 5 mm tubulus distalis. Sepanjang saluran nefron ini, ion-ion dan zat-zat organik diserap kembali. Bersama dengan penyerapan zat-zat itu, ikut pula diserap kembali sejumlah air. Dibagian nefron proksimal, air diserap obligatori sebagai pelarut zat-zat organik yang diserap kembali secara aktif, sedangkan dibagian distal, penyerapan air dilakukan secara aktif menurut kebutuhan tubuh. Penyerapan air dibagian nefron distal ini diatur atas pengaruh hormon antideuritik.

Diet Penyakit Ginjal

Metode penatalaksanaan dan rekomendasi zat gizi berubah-ubah sesuai dengan berbagai stadium gagal ginjal. Ginjal normal mengeluarkan kelebihan cairan dan produk sisa dari tubuh serta memelihara keseimbangan asam basa. Ginjal juga mengatur tekanan darah, stimulasi produksi sel darah merah, dan mengatur metabolisme kalsium dan fosfor. Sindrom nefrotik adalah disfungsi kapiler glomerulus. Gejala-gejala yaitu urin kehilangan protein plasma, serum albumin rendah, edema, dan meningkatnya lemak darah. Pada gagal ginjal akut, nefron kehilangan fungsinya atau Glomerulus Filtration Rate (GFR) menurun tiba-tiba. Gejalanya yaitu meningkatnya nitrogen urea darah, katabolisme, keseimbangan nitrogen negatif, meningkatnya elektrolitis, asidosis, meningkatnya tekanan darah, dan berlebihnya cairan. Sindrom nefrotik dan gagal ginjal akut merupakan kondisi dapat pulih kembali (reversibel). Pada gagal ginjal kronik, GFR menurun secara bertahap. Pada stadium awal, terjadi penggantian dengan memperbesar nefron yang tersisa (Greene dan Thomas 2008).

(31)

Gejala serupa pada gagal ginjal akut terlihat ketika fungsi ginjal tersisa 75% dari fungsi normal. Ketika GFR berkurang 10% dari normal, pasien dipertimbangkan terkena End Stage Renal Disease (ESRD). Dialisis merupakan awal untuk menggantikan fungsi ginjal yang telah berkurang. Elektrolit, cairan, anemia, dan diet diawasi setiap bulan oleh ahli gizi. Sebagian pasien dengan ESRD menerima transplantasi ginjal (Greene dan Thomas 2008).

Menurut Hartono (2002), diet ginjal terutama bertujuan untuk mengurangi ekskresi zat-zat sisa metabolisme protein melalui diet rendah protein dengan jumlah kalori yang memadai atau tinggi. Keseimbangan air, elektrolit dan pH pada gagal ginjal diperbaiki melalui pengaturan asupan cairan dan diet rendah mineral tertentu seperti kalium, natrium, magnesium, fosfor menurut keadaan pasien serta hasil pemeriksaan laboratorium. Gangguan produksi zat seperti eritropoietin dan kalsitrol diatasi dengan suplementasi zat-zat tersebut.

Sindroma Nefritik

Sindrom nefritik merupakan manifestasi klinis dari sekelompok penyakit yang ditandai dengan peradangan pada lengkung glomerulus kapiler. Penyakit ini juga disebut glumerulonefritis akut yang terjadi secara tiba-tiba; terjadinya sesaat, dan dapat berkembang menjadi sindrom nefrotik kronik atau ESRD. Manifestasi utama dari penyakit ini adalah hematuria (darah dalam urin), konsekuensi dari inflamasi kapiler yang menyerang pertahanan glomerulus terhadap sel darah. Sindrom ini juga ditandai oleh hipertensi dan penurunan fungsi ginjal. Sebagian besar disebabkan oleh infeksi streptococcal. Penyebab lain termasuk penyakit ginjal utama seperti imunoglobulin A nefropati; nefritik hereditari; dan penyakit kedua seperti systemic lupus erythematosus (SLE), vaskulitis dan glumerulonefritis berhubungan dengan endokarditis, abses, atau infeksi peritoneal(Wilkens dan Juneja 2007).

Penatalaksanaan glomerulusnefritis adalah mencoba memelihara status gizi baik ketika penyakit berubah spontan. Pada pasien dengan sindrom nefritik, membatasi konsumsi protein atau potasium tidak memberikan keuntungan signifikan pada perkembangan uremia atau hiperkalemia. Ketika terjadi hipertensi, hal tersebut sebagian besar berhubungan dengan kelebihan volume ekstraseluler dan terancam dengan pembatasan sodium (Wilkens dan Juneja 2007).

(32)

Sindroma Nefrotik

Sindroma Nefrotik terdiri atas kelompok penyakit heterogen, manifestasi yang umum berasal dari hilangnya pertahanan glomerulus terhadap protein. Protein dalam jumlah besar hilang melalui urin sehingga berujung pada hipoalbuminemia dengan konsekuensi edema, hiperkolesterolemia, hiperkoagulabiliti, dan metabolisme tulang abnormal. Lebih dari 95% kasus sindrom nefrotik berakar dari tiga penyakit sistemik (diabetes melitus, SLE dan amiloidosis) dan empat penyakit utama ginjal: penyakit yang hanya dapat dilihat dengan mikroskop elektron, nefropati membran, glumerulosklerosis dan glumerulonefritis membranoproliferatif (Wilkens dan Juneja 2007).

Menurut Almatsier (2004), sindrom nefrotik atau nefrosis adalah kumpulan manifestasi penyakit yang ditandai oleh ketidakmampuan ginjal untuk memelihara keseimbangan nitrogen sebagai akibat meningkatnya permeabilitas membran kapiler glumerolus. Gejala penyakit ini bersifat individual, sehingga diet yang diberikan harus individual pula, dengan menyatakan banyak protein dan natrium yang dibutuhkan dalam diet.

Tujuan utama dari terapi gizi medis adalah untuk mengelola gejala yang berhubungan dengan sindrom (edema, hipoalbuminemia dan hiperlipidemia), mengurangi resiko pengembangan kegagalan ginjal dan memelihara penyimpanan zat gizi. Pasien dengan kekurangan protein yang parah secara terus menerus memerlukan waktu perawatan yang lama serta diperlukan pemantauan gizi secara hati-hati. Diet bertujuan memberikan energi dan protein yang cukup untuk mempertahankan keseimbangan nitrogen positif dan meningkatkan konsentrasi plasma albumin serta menghilangkan edema (Wilkens dan Juneja 2007).

Diet protein untuk pasien sindrom nefrotik berubah-ubah. Awalnya, pasien menerima diet tinggi protein (hingga 1,5 g/kgBB/hari) sebagai usaha untuk meningkatkan serum albumin dan mencegah malnutrisi protein. Bagaimanapun, penelitian menunjukkan bahwa penurunan asupan protein hingga 0,8 mg/kg/hari dapat menurunkan proteinuria tanpa berpengaruh negatif terhadap serum albumin. Untuk memungkinkan penggunaan optimal dari protein, 50 sampai 60% protein harus berasal dari sumber nilai biologi tinggi (HBV) dan asupan energi harus sekitar 35 Kal/kgBB/hari untuk dewasa dan 100 sampai 150 Kal/kgBB/hari untuk anak-anak (Wilkens dan Juneja 2007).

(33)

Upaya untuk membatasi asupan natrium dalam jumlah besar dapat menyebabkan hipotensi, eksaserbasi koagulopati dan penurunan fungsi ginjal. Oleh karena itu, pengendalian edema pada kelompok ini harus didasarkan sampai batas waktu tertentu dan pembatasan natrium sekitar 3 g natrium per hari (Wilkens dan Juneja 2007).

Gagal Ginjal Akut

Jenis diet : diet rendah protein (DRP), diet rendah garam (DRG)

Gagal ginjal akut merupakan keadaan akibat penurunan akut fungsi ginjal sehingga terjadi penimbunan zat-zat yang seharusnya diekskresikan keluar oleh ginjal. Penyebab gagal ginjal akut meliputi (1) aliran darah ginjal yang tidak mencukupi, (2) infeksi akut ginjal (penyebab renal), (3) sumbatan aliran air seni (penyebab postrenal) seperti pada batu ginjal atau penekukan ureter (saluran yang menghubungkan ginjal dengan kandung kemih). Tindakan diet bertujuan mengurangi beban kerja ginjal untuk mengekskresikan zat-zat sisa disamping memberikan cukup kalori. Diet rendah protein untuk mengurangi eksresi zat sisa harus memberikan cukup protein untuk perbaikan jaringan ginjal yang rusak disamping untuk keperluan lain seperti pembentukan hormon, enzim dan antibodi (Hartono 2004).

Menurut Greene dan Thomas (2008), kebutuhan zat gizi harian pasien dengan gagal ginjal akut adalah sebagai berikut.

Tabel 1 Kebutuhan zat gizi harian pasien dengan gagal ginjal akut Zat Gizi Rekomendasi

Energi 30-35 Kal/kgBB Protein 0,6-0,8 g/kgBB Sodium 2 g/hari Potasium 2 g/hari Zat Besi Sesuai AKG

Cairan Cairan yang dikeluarkan ditambah 500cc

Gagal Ginjal Kronik

Jenis diet : diet rendah protein (DRP), diet rendah garam (DRG)

Penyakit Ginjal Kronik adalah keadaan dimana terjadi penurunan fungsi ginjal yang cukup berat secara perlahan-lahan (menahun) disebabkan oleh berbagai penyakit ginjal. Penyakit ini bersifat progresif dan umumnya tidak dapat pulih kembali (irreversible). Gejala penyakit ini umumnya adalah tidak nafsu makan, mual, muntah, pusing, sesak nafas, rasa lelah, edema pada kaki dan tangan, serta uremia. Apabila nilai Glomerulus Filtration Rate (GFR) < 25 ml/menit, diberikan Diet Protein Rendah (Almatsier 2004).

(34)

Terapi diet membantu memperlambat progresivitas gagal ginjal kronik. Pemberian suplemen zat besi, asam folat, kalsium dan vitamin D mungkin diperlukan. Pemberian suplemen vitamin dan mineral pada gagal ginjal kronik harus mengacu kepada hasil laboratorium seperti kadar hemoglobin, kadar kalium, natrium dan klorida. Pada pasien-pasien gagal ginjal kronik, fokus terapi gizi adalah untuk menghindari asupan elektrolit yang berlebih dari makanan karena kadar elektrolit bisa meninggi akibat klirens ginjal yang menurun (Hartono 2004). Menurut Greene dan Thomas (2008), kebutuhan zat gizi harian pasien dengan gagal ginjal kronik adalah sebagai berikut.

Tabel 2 Kebutuhan zat gizi harian pasien dengan gagal ginjal kronik Zat Gizi Rekomendasi

Energi 30-35 Kal/kgBB Protein 0,6-0,8 g/kgBB Sodium 2-4 g/hari

Potasium Tidak ada batasan Zat Besi Sesuai AKG Cairan Tidak ada batasan

Transplantasi Ginjal

Transplantasi melibatkan implantasi bedah ginjal dari donor hidup, donor hidup yang tidak ada hubungan atau donor meninggal. Penolakan terhadap jaringan asing atau infeksi sekunder untuk terapi imunosupresif komplikasi utama (Wilkens dan Juneja 2007). Transplantasi ginjal adalah terapi pengganti dengan cara mengganti ginjal yang sakit dengan ginjal donor. Setelah transplantasi sering terjadi hiperkatabolisme protein, kegemukan, dan hiperlipidemia. Diet pada bulan pertama setelah tranplantasi adalah energi cukup dengan protein tinggi, setelah itu berubah menajdi energi dan protein cukup. Karena diet sangat tergantung pada keadaan pasien, penyusunan diet dilakukan secara individual (Almatsier 2004).

Menurut Greene dan Thomas (2008), kebutuhan zat gizi harian pasca transplantasi ginjal adalah sebagai berikut.

Tabel 3 Kebutuhan zat gizi harian pasien pasca transplantasi ginjal Zat Gizi Rekomendasi

Energi 25-35 Kal/kgBB Protein 1,0-1,5g/kgBB Sodium 2-4 g/hari

Potasium Tidak ada batasan Zat Besi Sesuai AKG Cairan Tidak ada batasan

(35)

Gagal Ginjal dengan Dialisis

Dialisis dilakukan terhadap pasien dengan penurunan fungsi ginjal berat, dimana ginjal tidak mampu lagi mengeluarkan produk-produk sisa metabolisme, mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit, serta memproduksi hormon-hormon. Ketidakmampuan ginjal mengeluarkan sisa metabolisme menimbulkan gejala uremia. Dialisis dilakukan bila GFR atau hasil tes kliren kreatinin < 15 ml/menit (Almatsier 2004).

Dialisis dapat dilakukan dengan cara hemodialisis atau dialisis peritoneal. Cara yang paling banyak digunakan adalah hemodialisis. Pada proses hemodialisis, aliran darah ke ginjal dialirkan melalui membran semipermeabel dari ginjal tiruan (mesin cuci ginjal) sehingga produk-produk sisa metabolisme dapat dikeluarkan dari tubuh melalui difusi dan air melalui ultrafiltrasi. Hemodialisis membutuhkan akses permanen ke aliran darah melalui fistula pembedahan yang dibuat untuk menghubungkan arteri dan vena. Fistula sering dibuat didekat pergelangan tangan, yaitu didekat pembuluh darah besar di lengan bawah. Jika pembuluh darah pasien rapuh, dapat dilakukan pencangkokan pembuluh darah tiruan. Jarum besar dimasukkan kedalam fistula atau cangkok sebelum dialisis dimulai dan dilepas ketika dialisis selesai. Umumnya, akses sementara melalui kateter subklavia sampai akses permanen pasien dapat diciptakan, bagaimanapun, masalah infeksi pada kateter tidak diinginkan. Hemodialisis biasanya membutuhkan perawatan 3 sampai 5 jam sebanyak 3 kali seminggu, tetapi terapi yang baru dilaksanakan membutuhkan waktu yang berubah-ubah. Pasien yang melakukan dialisis harian dirumah tipe perawatan yang berlangsung 1,5 sampai 2,5 jam, sedangkan beberapa pasien yang didialisis dirumah, menerima dialisis nokturnal 3 kali seminggu selama 8 jam. Diet protein dibutuhkan kurang lebih 1,2 g/kg, untuk menutupi kehilangan protein ketika dialisis (Wilkens dan Juneja 2007). Menurut Greene dan Thomas (2008), kebutuhan zat gizi harian untuk pasien yang menjalani hemodialisis 3 kali per minggu yaitu sebagai berikut.

Tabel 4 Kebutuhan zat gizi harian untuk pasien hemodialisis Zat Gizi Rekomendasi

Energi 30-35 Kal/kgBB Protein 1,2-1,4 g/kgBB Sodium 2-3 g/hari Potasium 2-3 g/hari Zat besi Individual Cairan Individual

Gambar

Gambar 1 Kerangka pemikiran konsumsi zat gizi dan daya terima pasien rawat inap  penyakit ginjal kronik terhadap makanan yang disajikan RSUP Fatmawati  Keterangan :
Gambar 2 Penarikan subyek penelitian
Tabel 6 Jenis, kelompok dan kategori karakteristik subyek
Tabel 9 Jenis data dan klasifikasi ketersediaan, kebutuhan dan konsumsi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Cempaka (2005) dengan judul Telaah Pengoleksian dan Penginvestasian Lukisan dalam Kaitannya dengan Motivasi dan Orientasi, serta Peran Kolektor dalam Medan Sosial

tersebut juga dapat dilihat dari 9 tema besar persoalan biologi yang terjadi pada

BIDANG CIPTA KARYA DPU KABUPATEN KLATEN. JL Sulaw

Perlu dingatkan dan dipertegas kembali, bahwa ketidakhadiran / hadir tetapi tidak membawa surat kuasa / hadir tidak membawa dokumen asli dan/atau dokumen salinan yang

 Siswa menyebutkan bunyi sila pada Pancasila yang sesuai dengan gambar- gambar yang ditunjukkan.  Guru memotivasi siswa agar menanyakan hal-hal yang

Perlu dingatkan dan dipertegas kembali, bahwa ketidakhadiran / hadir tetapi tidak membawa surat kuasa / hadir tidak membawa dokumen asli dan/atau dokumen salinan yang

PERANGKAT PENGOLAH DATA DAN KOMUNIKASI SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah nomor 74 tahun 2008 tentang Guru pada pasal 1 ayat (1) Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,