• Tidak ada hasil yang ditemukan

Technical Document. Laporan Akhir. Pengembangan Teknologi Substitusi Pestisida & Penanganan Pencemaran Persistent Organic Pollutant (POPs)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Technical Document. Laporan Akhir. Pengembangan Teknologi Substitusi Pestisida & Penanganan Pencemaran Persistent Organic Pollutant (POPs)"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

Laporan Akhir

Pengembangan Teknologi

Substitusi Pestisida & Penanganan

Pencemaran Persistent Organic Pollutant (POPs)

PUSAT TEKNOLOGI LINGKUNGAN DEPUTI BIDANG TEKNOLOGI PENGEMBANGAN SUMBER DAYA ALAM

BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI TAHUN 2010

T

e

c

h

n

ic

a

l

D

o

c

u

m

e

n

t

(2)

DAFTAR ISI

halaman LEMBAR IDENTITAS DAN PENGESAHAN ... RINGKASAN ... PRAKATA ... DAFTAR ISI ... DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... Abstrak ... BAB I. PENDAHULUAN ... 1.1. Latar Belakang ... 1.2. Perumusan Masalah ... 1.3. Tujuan dan Sasaran ...

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... ... BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT ... BAB IV. METODOLOGI ...

4.1. Metode Penelitian... 4.2. Lingkup Penelitian ...

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN ...

5.1. Pengembangan Teknologi Substitusi Pestisida POPs ... 5.2. Pengembangan Teknologi Penanganan Cemaran POPs ...

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN ...

6.1. Kesimpulan ... 6.2. Saran ...

DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN I EXECUTIVE SUMMARY

LAMPIRAN II BUKU CATATAN HARIAN PENELITI (BCHP) LAMPIRAN III NOTULENSI RAPAT

(3)

PENGEMBANGAN TEKNOLOGI SUBSTITUSI PESTISIDA DAN PENANGANAN PENCEMARAN PERSISTENT ORGANIC POLLUTANT

(POPs)

Abstrak

Stockholm Convention yang merupakan sebuah kesepakatan internasional memuat sasaran untuk menghilangkan penggunaan bahan kimia organik serta memulihkan media tercemar bahan kimia organik yang dikelompokkan sebagai persistent organic pollutants (POPs). Dalam kesepakatan tersebut, hingga saat ini, terdapat sembilan bahan kimia dari jenis pestisida yang telah diketahui memiliki perilaku sebagai POPs. Penggunaan pestisida POPs pada lahan pertanian telah dibuktikan memasuki jalur jejaring makanan sehingga penggunaanya yang semula untuk membasmi hama pada tanah dan tanaman telah ditemukan pula dalam tubuh manusia misalnya air susu ibu. Hal ini tidak saja menurunkan mutu lahan pertanian untuk produksi tanaman pangan tetapi juga menyimpan sejumlah bahaya kesehatan lingkungan, termasuk manusia, akan pemaparan terhadap pestisida.

Substitusi pestisida berbahan aktif POPs perlu dikembangkan. Biopestida memang bukan sesuatu yang baru, namun ternyata perkembangan biopestisida tersebut belum menunjukkan perkembangan yang baik, padahal kelebihan biopestisida sangat banyak terutama dari aspek ramah lingkungan dan mendukung pembangunan pertanian berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Industri pestisida belum tertarik untuk berinvestasi memproduksi biopestisida. Hal ini disebabkan ada beberapa kelemahan biopestisida yaitu efeknya tidak known down dan mudah terdegradasi (tidak tahan pada paparan ultraviolet).

Kegiatan untuk mendukung susbtitusi yang dilakukan adalah memperoleh data base tentang pestisida organik yang dikembangkan petani. Data base ini bisa digunakan untuk pengembangan pestisida nabati yang berakar dari petani itu sendiri. “Resep” ini akan lebih mudah diterima oleh petani setempat karena mereka merasa memiliki dan sudah mengetahui pengaruh pestisida tersebut pada lahan mereka. Kegiatan berikutnya adalah membuat prototipe formulasi biopestisida berbasis mikroba untuk mendukung substitusi pestisida berbahan aktif POPs. Formulasi diharapkan lebih mudah dalam aplikasi dan tahan terhadap paparan sinar matahari karena biopestisida rentan terhadap paparan sinar matahari. Kegiatan terakhir adalah membuat database tentang kajian persepsi petani terhadap peralihan penggunaan pestisida anorganik ke organik.

Pemulihan media, baik tanah maupun air, dari cemaran POPs dapat dilakukan melalui dua pendekatan. Pendekatan pertama dengan mengandalkan agensia biologik untuk melakukan proses pemulihan dan yang kedua dengan mengandalkan teknik kimia fisika. Kedua pendekatan tersebut dapat dilakukan secara in-situ maupun ex-situ. Dari segi waktu biasanya proses pemulihan pendekatan biologik lebih lama daripada teknik kimia fisika. Akan tetapi, yang terakhir ini sering kali menyebabkan perubahan tekstur media yang sedang ditangani secara signifikan. Baik teknik pemulihan secara biologik maupun kimia fisik keduanya memilki sejumlah pilihan teknologi. Contoh pemulihan menggunakan teknik secara biologik adalah landfarming, biopile, dan phytoexctraction, sedangkan contoh teknik yang mengandalkan proses kimia fisik adalah penyarian pada kondisi superkritik air maupun karbon dioksida.

Terdapat pedekatan ketiga yang disebut sebagai metoda termal, namun dikarenakan sifat teknologinya yang melepas karbon dioksida dalam jumlah besar sehingga berdampak kepada pemanasan global serta potensi terjadinya lepasan dioksin dan furan yang juga tergolong dalam POPs maka teknologi termal saat ini bukan merupakan pilihan teknologi utama dalam menyelesaikan cemaran POPs.

(4)

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Persistent Organic Pollutants (POPs) adalah bahan kimia organik yang bersifat menimbun (accumulate) di lingkungan akibat sulitnya bahan tersebut untuk dirombak secara nabati oleh jasad renik. Bahan kimia yang tergolong ke dalam golongan POPs biasanya merupakan xenobiotics seperti fungisida, herbisida, insektisida, bakterisida, rodentisida, serta jenis-jenis pestisida lainnya. Selain itu pestisida POPs juga dapat dihasilkan dari pembakaran tidak sempurna campuran bahan-bahan seperti plastik. Ciri utama bahan yang dikelompokkan sebagai POPs adalah memiliki penyulih (substituent) yang berupa atom halogen sehingga sering disebut sebagai halogenated compounds. Contoh halogenated compounds golongan pestisida adalah dikloro difenil trikloro etana (DDT) dan heksakloro benzena (HCB). Sedangkan contoh yang merupakan POPs hasil pembakaran adalah dioksin dan furan.

Kriteria yang menjadi patokan bahwa suatu bahan bersifat persistent adalah bilamana memenuhi satu atau lebih hal berikut ini:

Memiliki tekanan uap di bawah 1000 Pa sehingga mudah menguap dan berpotensi untuk berpindah tempat dalam jarak jauh

Memiliki waktu paruh di udara lebih dari dua hari, dalam air dua bulan, atau dalam tanah dan sedimen lebih dari enam bulan

Memiliki Faktor Pemekatan Biologik (Biological Concentration Factor) setidaknya 5000 atau koefisien partisi etanol air (KOW) setidaknya 5

Memperlihatkan tanda-tanda menimbulkan dampak buruk terhadap kesehatan mahluk hidup dan lingkungan

Memperhatikan bahwa senyawa tergolong POPs berpotensi menimbulkan dampak buruk terhadap biota dan lingkungan, maka pada tahun 2001 disepakati sebuah perjanjian internasional yang disebut Stockholm Convention dengan tujuan melakukan penyulihan seluruh bahan mengandung atau dibuat dari bahan POPs dengan bahan yang bersifat ramah lingkungan serta melakukan pemulihan kualitas lingkungan di mana pencemaran oleh POPs terjadi. Sejak perjanjian internasional tersebut ditetapkan, terdapat 12 jenis bahan kimia yang telah disepakati untuk tidak digunakan dan harus digantikan oleh bahan lain yang aman bagi biota dan lingkungan hidup meski pada saat ini terdapat 9 buah bahan kimia yang

(5)

direncanakan untuk ditambahkan ke dalam POPs yang penggunaanya dilarang secara internasional. Dua belas bahan kimia yang disebut sebagai dirty dozen tersebut diperlihatkan pada tabel berikut ini.

Tabel 1. Dirty dozen menurut Stockholm Convention

No Nama

bahan kimia

Nama IUPAC*) Bangun molekul

1 Aldrin 1,2,3,4,10,10-Hexachloro- 1,4,4a,5,8,8a-hexahydro- 1,4:5,8-dimethanonaphthalene 2 Klordan Octachloro-4,7-methanohydroindane 3 DDT 1,1,1-trichloro- 2,2-di(4-chlorophenyl)ethane 4 Dieldrin (1aR,2R,2aS,3S,6R,6aR,7S,7aS)- 3,4,5,6,9,9-hexachloro- 1a,2,2a,3,6,6a,7,7a-octahydro- 2,7:3,6-dimethanonaphtho[2,3-b]oxirene 5 Endrin (1aR,2S,2aS,3S,6R,6aR,7R,7aS)- 3,4,5,6,9,9-hexachloro- 1a,2,2a,3,6,6a,7,7a-octahydro- 2,7:3,6-dimethanonaphtho[2,3-b]oxirene 6 Heptaklor 1,4,5,6,7,8,8-Heptachloro- 3a,4,7,7a-tetrahydro-4,7-methano-1H-indene 7 Heksakloro benzena Hexachloro benzene

(6)

8 Mireks 1,1a,2,2,3,3a,4,5,5,5a,5b,6- dodecachlorooctahydro-1H-1,3,4-(methanetriyl)cyclobuta[cd]pental ene 9 Toksafen - 10 PCB - 11 Dioksin - 12 Furan - *)

The International Union of Pure and Applied Chemistry

Pada tahun 2009 Indonesia telah meratifikasi Stockholm Convention sehingga mempunyai kewajiban untuk menyusun dan melaksanakan program guna mencapai sasaran perjanjian internasional tersebut. Program tersebut dituangkan ke dalam sebuah dokumen yang disebut National Implementation Plan (NIP) on Elimination and Reduction of POPs. Terdapat dua hal utama dalam NIP untuk dillaksanakan yaitu penyulihan pestisida berbahan dasar POPs serta pemulihan kualitas lahan tercemar POPs. Laporan ini memusatkan pembahasan pada 2 hal tersebut dengan sasaran mendapatkan informasi tentang teknologi substitusi dan teknologi pemulihan lahan tercemar POPs.

1.2. Perumusan Masalah

Secara umum sebenarnya Indonesia telah melarang produk-produk pestisida yang mengandung POPs dan menggantinya dengan senyawa yang mengandung zat yang lebih cepat terurai di alam seperti carbamat, namun karena lemahnya pengawasan, saat ini masih dijumpai pestisida yang beredar secara gelap dan juga adanya peningkatan masalah kesehatan akibat POPs di daerah-daerah tertentu.

(7)

Di kalangan petani Indonesia sendiri sebenarnya telah dimengerti tentang bahaya yang ditimbulkan oleh zat-zat berbahaya dalam pestisida kimiawi, namun tuntutan akan produksi pertanian yang tinggi (swasembada beras) terkadang menjadi kendala dalam mengkampanyekan arti penting pencegahan POPs ke lingkungan.

(8)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sejarah Singkat Kimiawi dan Upaya Pengendaliannya

Pembuatan atau manufaktur dan distribusi kimiawi sintetis baru berkembang menjadi industri utama beberapa tahun setelah Perang Dunia ke-II. Selanjutnya, tahun 1950-an, penggunaan kimiawi dalam pestisida dan pupuk meningkat tajam dan dalam waktu singkat menjadi praktek pertanian yang dominan; pada awalnya hanya di negara-negara maju lalu selanjutnya dilaksanakan di hampir semua belahan dunia. Pada saat yang sama, industri manufaktur juga mulai menggunakan dan memproduksi sejumlah besar kimiawi sintetis dalam memproduksi produk-produk konsumen sehari-hari.

Pada tahun 1960-an, ancaman-ancaman terhadap lingkungan dikaitkan dengan meningkatnya industri kimiawi sintetis yang meningkat tajam. Pada tahun 1962 buku Silent Spring, karya Rachel Carson, melaporkan bahwa penggunaan DDT dan kimiawi pestisida lainnya secara luas, serta dokumentasi-dokumentasinya menunjukkan bagaimana kegiatan tersebut memusnahkan populasi burung-burung dan mengganggu ekosistem. Sementara Carson menyoroti dampak pestisida terhadap ekosistem alam, buku tersebut juga menyajikan informasi dan argumen-argumen yang menunjukkan bahwa pestisida juga meracuni masyarakat dan berkontribusi terhadap perkembangan kanker dan penyakit-penyakit lainnya. Saat dia menyelesaikan buku itu, Rachel Carson menyadari, bahwa, dirinya sendiri mengidap kanker payudara dan Carson meninggal pada tahun 1964.

Logam berat seperti mercury dan timbal diketahui sudah lebih banyak digunakan dalam produk dibanding kimiawi sintetik. Pada tahun 1950an, penyakit Minamata ditemukan di kampung nelayan sepanjang Teluk Minamata, Jepang. Para pasien mengeluhkan hilangnya indra perasa mereka dan rasa kebal pada tangan dan kaki mereka; tidak mampu berlari bahkan berjalan saja limbung; mereka juga mengnabati gangguan penglihatan, pendengaran dan menelan. Jumlah korban meninggal cukup tinggi.

Pada tahun 1959, penyebab penyakit resmi diakui berasal dari konsentrasi mercury yang cukup tinggi dalam ikan, kerang dan lumpur di perairan teluk. Sumbernya adalah pabrik yang menggunakan mercury sebagai katalis dalam produksi acetaldehyde. Masyarakat sipil selama beberapa dekade berjuang untuk

(9)

menghentikan proses yang menyebabkan pencemaran dengan mercury, sementara Pemerintah Jepang secara resmi hanya mengakui penyakit Minamata pada tahun 1968. Sampai dengan tahun 2001, sekitar 2.265 orang korban telah secara resmi disertifikasi, dan lebih dari 10.000 orang telah menerima kompensasi finansial.

Peracunan oleh timbal juga memiliki sejarah panjang. Pada awal tahun 1920an, ahli-ahli kesehatan masyarakat menyampaikan kekuatiran akan dampak kesehatan terhadap anak-anak dan pekerja yang disebabkan oleh timbal, terutama dalam cat dalam ruangan/interior dan dalam aditif bahan bakar minyak. Pada tahun 1921, negara-negara yang berpartisipasi dalam Konferensi ke-3 dari Tenaga Kerja Internasional (the Third International Labor Conference of the League of Nations) merekomendasikan bahwa timbal dalam cat untuk penggunaan interior harus dilarang, dan memberi waktu 6 tahun kepada masing-masing negara untuk melaksanakannya. Pada tahun 1940, 24 negara secara resmi menyetujuinya. Namun demikian, di banyak negara, industri dan asosiasi-asosiasi dagang berhasil mempertahankan produk-produk dan memperluas pemakaiannya. Cat yang mengandung timbal dan bahan bakar yang mengandung aditif timbal terus digunakan secara luas selama beberapa tahun.

Selanjutnya, pada tahun 1970an, informasi medis terbaru tentang dampak paparan timbal dipublikasikan. Sebelumnya, hampir semua data tentang dampak timbal terhadap kesehatan adalah berdasarkan pemaparan dosis tinggi dan gejala-gejala klinis yang diakibatkannya. Herbert Needleman, seorang professor ahli anak dan kejiwaan dari Amerika, menunjukkan bahwa pemaparan timbal dalam dosis rendah kepada anak-anak merupakan masalah yang sangat serius. Dampaknya dapat menurunkan intelegensia anak, memperpendek daya konsentrasi anak, dan memperlambat masa kemampuan anak berbicara.

Temuan-temuan Rachel Carson, Soren Jensen, Herbert Needleman dan para ahli lainnya mengarah pada meningkatnya pemahaman ilmiah masyarakat tentang bahaya pemaparan kimiawi terhadap kesehatan manusia dan ekosistem. Hal ini kemudian diterjemahkan ke dalam tekanan publik kepada pemerintah di banyak negara untuk mengatur dan mengontrol pestisida, kimiawi toksik dan bentuk-bentuk pencemaran berbahaya beracun lainnya.

Menanggapi hal ini dan kekuatiran-kekuatiran lainnya, hukum lingkungan muncul sebagai suatu sistem yang memegang peranan penting. Di banyak negara, untuk pertama kali, dibentuk departemen-departemen dan kementerian

(10)

lingkungan hidup. Pada tahun 1972, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyelenggarakan konferensi internasional pertama tentang lingkungan di Stockholm, Swedia dan membentuk Program Lingkungan (United Nations Environmental Program/UNEP).

Sebagian besar negara-negara industri mengadopsi hukum-hukum dan peraturan-peraturan penghapusan dan pelarangan produksi lebih lanjut dari DDT dan PCBs. Sebagian besar juga melarang pembuatan dan peredaran cat interior yang mengandung timbal dan mulai menghapuskan aditif timbal dalam bahan bakar minyak. Secara umum, banyak negara mulai mengetatkan peraturan dan mengendalikan pemakaian pestisida dan mengeluarkan hukum serta peraturan untuk mengendalikan senyawa-senyawa toksik, pencemaran air, udara dan praktek-prakek pengelolaan limbah. Dalam banyak hal, negara-negara berkembang bereaksi lebih lambat.

Generasi pertama hukum lingkungan dan pengendalian kerap kali tidak memadai, dan penegakan hukum sangat lemah atau tidak konsisten. Perusahaan-perusahaan yang diatur seringkali menggunakan alasan-alasan ekonomi dan kekuatan politik untuk menghindari kepatuhan. Untuk itu dan alasan-alasan lainnya, organisasi-organisasi masyarakat sipil seringkali dikecewakan oleh kegagalan-kegagalan hukum baru dan lemahnya kemampuan badan-badan terkait untuk menegakkan hukum. Pada tahun 1980an, organisasi-organisasi masyarakat di banyak negara mulai bergerak untuk memprotes pencemaran-pencemaran yang disebabkan oleh fasilitas-fasilitas atau pabrik-pabrik di lokasi masing-masing. Serikat pekerja dan organisasi-organisasi lainnya yang mewakili para pekerja/buruh, para petani, nelayan dan atau konstituen lainnya terus menerus menekan meminta perlindungan di tempat kerja atau wilayah masing-masing. Organisasi-organisasi advokasi lingkungan di banyak negara mulai tumbuh dan berakar. Sebagian besar, pada waktu itu, mengidentifikasi pencemaran akibat bahan berbahaya beracun atau toksik merupakan prioritas utama dan menekan adanya hukum lingkungan dan penegakannya yang lebih baik.

Pada tahun 1984, di Bhopal, India, sebuah instalasi kimia milik Union Carbide bocor. Sekitar 40 ton gas berbahaya beracun methyl isocyanate menyebabkan kematian 3.000 orang dalam waktu singkat dan korban-korban jangka panjang lainnya sekitar 20.000 orang atau bahkan mungkin lebih. Meskipun peristiwa ini dianggap yang paling mematikan dan paling nyata

(11)

dibandingkan bencana-bencana akibat kimiawi lainnya, ada banyak kasus lain seperti: di Seveso, Italy; di Love Canal, the United States; dan banyak lagi.

Mobilisasi gerakan-gerakan yang berakar di masyarakat terutama tentang pengamanan kimiawi menjadi kekuatiran yang hampir sama di semua tempat, dan pada pertengahan tahun 1980an, gerakan-gerakan ini berkonsolidasi menjadi kampanye regional tentang ekosistem, terutama di sekitar Great Lakes di Amerika Utara, di North Sea, di Laut Baltic, di Laut Mediterranean dan di kawasan Arctic. Penelitian-penelitian kesehatan lingkungan semakin meluas dan para ilmuwan yang mempelajari ekosistem mendapati bahwa senyawa-senyawa berbahaya beracun atau toksik yang dibuat manusia menyebabkan gangguan-gangguan yang serius.

Populasi ikan, burung dan mahluk hidup lainnya di alam bebas dalam ekosistem ini menurun karena menurunnya tingkat kesuburan atau fertilitas, tak mampu berkomprominya sistem kekebalan tubuh, terjadinya penyimpangan perilaku, terjadinya kanker dan tumor serta ketidakmampuan lainnya. Beberapa pencemar toksik yang menyebabkan gangguan-gangguan ini masuk ke badan air langsung dari perpipaan atau secara tidak langsung dari lepasan para petani dan dari jalanan di kawasan perkotaan. Namun demikian, hal ini tetap menjadi sesuatu yang mengejutkan ketika para peneliti mengetahui bahwa sebagian besar pencemar toksik yang dikuatirkan yang masuk ke perairan ternyata berasal dari jatuhan dari atas atau dari udara dimana beberapa berasal dari sumber-sumber yang dekat dan beberapa berasal dari sumber yang cukup jauh.

Penelitian lebih jauh menunjukkan bahwa manusia sebagai penghuni ekosistem menderita ketimpangan dan gangguan kesehatan yang sama, terutama mereka yang diet-nya tergantung pada ikan dan hewan. Hasil studi menunjukkan bahwa para ibu yang makan ikan dari the Great Lakes di Amerika Utara, menurunkan pencemar-pencemar kimiawi kepada anak-anaknya, dan hal ini berakibat pada penurunan inteligensia, menurunnya kemampuan untuk belajar dan penyimpangan-penyimpangan perilaku. Penelitian lebih lanjut memperkuat kesimpulan-kesimpulan ini dan juga mendapati ada banyak kaitan antara pencemaran kimiawi dan beberapa penurunan kesehatan manusia serta penyakit-penyakit lain yang diakibatkannya.

Tidak terganggu oleh adanya kekuatiran akibat adanya beberapa bencana kimia di masa lalu, pencemaran industri, pestisida-pestisida toksik dan pencemaran lingkungan akibat kontaminasi kimia semakin tersebar luas.

(12)

Kekuatiran tentang pemaparan kimiawi juga meningkat sebagai akibat dari kehadiran senyawa-senyawa toksik dalam produk-produk konsumen. Telah lama diketahui bahwa timbal dan mercury dalam produk-produk konsumen dapat membahayakan kesehatan manusia terutama anak-anak. Baru-baru ini, para ilmuwan dan aktivis-aktivis masyarakat sipil telah mengingatkan adanya sejumlah kimiawi sintetik organik yang terdapat dalam produk-produk konsumen.

Kekuatiran masyarakat sipil dan para aktifis adalah bahaya-bahaya produk tersebut terhadap kesehatan manusia yang disebabkan oleh suatu kelompok kimiawi yang disebut phthalates yang digunakan secara luas sebagai plasticizers dalam produk-produk yang terbuat dari plastik vinyl dan sebagai salah satu bahan kandungan dalam produk kosmetik. Perhatian juga mulai ditujukan pada kimiawi mengandung brominate yang digunakan secara luas sebagai flame retardants dalam produk-produk upholstery (bahan pelapis kursi dan produk-produk interior) serta produk-produk plastik. Bisphenol A, suatu kimiawi yang digunakan dalam pembuatan plastik polycarbonate merupakan kimiawi lain yang menjadi perhatian utama masyarakat sipil. Para pelobi industri kimia secara terang-terangan mempertahankannya dan kimiawi-kimiawi lain yang sama problematiknya tetap mereka gunakan dalam manufaktur. Namun demikian, kampanye-kampanye yang dilakukan masyarakat sipil berhasil mendorong ditetapkannya beberapa peraturan pemerintah dan pelarangan-pelarangan beberapa kimiawi berbahaya ini di beberapa negara. Kampanye-kampanye ini terus berlanjut, karena, meski peraturan-peraturan dan larangan-larangan telah dibuat, secara umum masih belum memadai untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada.

Baru pada tahun 1990an pengamanan kimiawi mulai diangkat sebagai keprihatinan yang melebihi isu nasional atau lokal. Sebagai konsekuensi dari peraturan-peraturan di tingkat nasional tentang pengendalian dan penanganan limbah, biaya untuk membuang limbah berbahaya beracun ke fasilitas yang ditetapkan meningkat tajam di banyak negara industri. Hal ini memberi insentif pada perusahaan-perusahaan untuk meminimalkan limbah berbahaya beracun yang mereka hasilkan, dan menurunkan limbah yang dihasilkan secara signifikan. Namun demikian, beberapa operator berusaha melanjutkan praktek-praktek pembuangan limbah yang melanggar peraturan yang telah dibuat. Kemudian, ketika petugas mendapati operasi ilegal ini, beberapa perusahaan mulai mencari opsi-opsi pembuangan yang lebih murah. Mereka mendapati bahwa ada makelar-makelar operator pembuangan limbah yang secara ilegal bersedia menerima

(13)

limbah berbahaya beracun dan mengekspornya dari negara-negara industri maju ke negara-negara berkembang dan Eropa Timur, seringkali mereka membuang limbah di kawasan-kawasan atau di sekitar kawasan yang masyarakatnya tidak menaruh curiga.

LSM-LSM dan kelompok-kelompok masyarakat baik di negara-negara pengekspor maupun penerima memprotes praktek-praktek kotor ini. Mereka menyerukan adanya perjanjian global, yang mengikat secara hukum untuk mengontrol pergerakan limbah berbahaya beracun di perairan internasional. Hal ini mendorong diadopsinya Konvensi Basel tentang Pengendalian Pergerakan Limbah

Berbahaya Beracun Antar-negara dan Pembuangannya (Control of

Transboundary Movements of Hazardous Wastes and their Disposal4, yang selanjutnya mulai diberlakukan tahun 1992.

Pada tahun 1992 Konferensi Bumi Tingkat Tinggi Rio mengangkat isu kimiawi toksik dalam program aksi yang diadopsi, Agenda 21. Bab 19 dari Agenda 21 yang berjudul Pengelolaan Kimiawi Toksik yang Berwawasan Lingkungan (Environmentally Sound Management of Toxic Chemicals) menyatakan bahwa pencemaran kimiawi merupakan sumber yang “menyebabkan kerusakan pada kesehatan manusia, struktur genetika dan sistem reproduksi, serta lingkungan.” Bab 19 juga secara khusus menyatakan kebutuhan negara-negara berkembang dan masalah-masalah yang mereka hadapi, dan menyadari bahwa di banyak negara, sistem secara nasional belum siap untuk mengatasi resiko-resiko kimiawi, dan bahwa kebanyakan negara tidak memiliki ilmu dan teknologi yang memadai untuk mengumpulkan bukti-bukti dari penyalahgunaan dan menilai dampak dari kimiawi toksik pada lingkungan.

Bab 19 juga menghimbau badan-badan dunia seperti Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) dan Organisasi Buruh Internasional (International Labor Organization/ILO) untuk bergabung bersama UNEP dalam menyelenggarakan forum global untuk mempromosikan pengamanan kimiawi yang mengerucut pada 1994 yaitu pada pembentukan Forum Antar-pemerintah untuk Pengamanan kimiawi (Intergovernmental Forum on Chemical Safety/IFCS). Forum ini awalnya hanya memiliki sedikit dana dan bekerja secara virtual tidak ada komite yang mengatur. Namun demikian, keberadaan forum ini membuahkan kesuksesan yang tidak terduga, dan terutama sangat bermanfaat bagi para wakil resmi dari negara-negara berkembang, Menteri-menteri

(14)

Lingkungan atau Menteri Kesehatan yang bertanggungjawab untuk memantau dan mengatur program-program pengelolaan kimiawi di tingkat nasional.

Pencapaian pionir yang dilakukan IFCS adalah memperoleh kesepahaman internasional dan dukungan-dukungan untuk memberi ruang serta mendorong penuh keterlibatan-keterlibatan multi-sektoral dan multi-pemangku kepentingan dalam proses-proses penyusunan kebijakan international yang mengangkat isu-isu pengamanan kimiawi. Forum juga berhasil membentuk preseden penting bahwa ketika kebijakan-kebijakan terkait pengamanan kimiawi yang sedang diformulasi, wakil-wakil dari organisasi-organisasi kesehatan dan LSM-LSM memiliki hak yang sama dengan para wakil pemerintah dan asosiasi industri untuk dilibatkan secara penuh. Pada tahun 1996, IFCS mengadopsi rekomendasi kepada UNEP Governing Council sebuah kerangka proposal untuk menetapkan suatu kesepakatan global untuk melindungi kesehatan masyarakat dan lingkungan dari Polutan-polutan Organik yang Persisten (Persistent Organic Pollutants/POPs).

POPs adalah keluarga kimiawi toksik yang berakumulasi di lingkungan; mereka berakumulasi dalam ikan, hewan liar dan ternak; yang mengakibatkan gangguan terhadap ekosistem; dan menyebabkan masalah-masalah kesehatan yang lebih luas. Karena POPs dapat berpindah menempuh jarak yang jauh melalui udara dan arus air, tidak ada pemerintah, yang mampu menyelesaikannya sendiri, yang mampu melindungi masyarakatnya sendiri dan ekosistemnya sendiri dari bahaya POPs. Hal ini memperkuat alasan perlunya menetapkan kesepakatan global sebagai satu-satunya cara yang efektif untuk mengontrol POPs. Negosiasi-negosiasi untuk menyusun sebuah kesepakatan global untuk POPs dimulai pada tahun 1998 dan Konvensi Stockholm tentang POPs diadopsi tahun 2001. Kesepakatan ini bertujuan untuk mengontrol dan menghapuskan daftar awal dari 12 senyawa POPs, termasuk didalamnya DDT dan PCBs. Selanjutnya kesepakatan ini menyediakan daftar tambahan kimiawi toksik lainnya yang memiliki perilaku dan sifat-sifat yang hampir sama agar dapat dikendalikan dan dihapuskan.

Kesepakatan kimiawi global lainnya, Konvensi Rotterdam tentang Pemberitahuan Pendahulu (the Rotterdam Convention on Prior Informed Consent) juga dinegosiasi dan diadopsi pada pertengahan tahun 1990an. Kesepakatan ini menetapkan daftar kimiawi yang telah dilarang atau secara ketat dibatasi peredarannya paling tidak di dua wilayah. Sebelum perusahaan yang

(15)

berada di negara yang menjadi Party dari konvensi mengekspor suatu kimiawi yang ada dalam daftar tersebut ke negara berkembang, pihak negara pengirim harus menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada pemerintah negara penerima yang boleh saja menolak menerima. Pada tahun 2004, kedua konvensi, Stockholm dan Rotterdam, mulai diberlakukan (entered into force).

Badan PBB untuk pertanian pangan atau Organisasi Pertanian Pangan (Food Agriculture Organization/FAO) mengadopsi versi pertama dari Tata Cara Distribusi dan Penggunaan Pestisida-pestisida (the International Code of Conduct on the Distribution dan use of Pesticides) pada tahun 1985. Tata cara ini kemudian secara substansial direvisi dan diperbaharui dalam Tata Cara/Code tahun 2002 untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan utama dan untuk menunjukkan perubahan kerangka kebijakan internasional, terutama dengan diadopsinya Konvensi Rotterdam.

Tata Cara FAO menetapkan standar internasional untuk distribusi dan penggunaan pestisida-pestisida, terutama untuk negara-negara dimana perundang-undangan dan peraturan-peraturan nasionalnya belum memadai. Tata Cara ini mendorong praktek-praktek yang akan meminimalkan efek-efek yang tak-terpulihkan terhadap manusia dan lingkungan terkait dengan penanganan pestisida. Pesticide Action Network (PAN) memainkan peran penting dalam mempromosikan diadopsinya revisi Code of Conduct FAO, mendukungnya, dan mempromosikan implementasi efektifnya.

Pada 2002, masyarakat internasional mengadopsi the Globally Harmonized System of Classification and Labeling of Chemicals (GHS). Sistem standar internasional ini disetujui untuk mengklasifikasikan kimiawi dan mengkomunikasikan bahayanya. Sistem ini menetapkan pemberian label pada kimiawi yang berbahaya-beracun termasuk standarisasi picto grams; kata-kata sinyal; pernyataan-pernyataan bahaya; pernyataan-pernyataan peringatan dini; cara mengidentifikasi produk; dan informasi pemasok. Selanjutnya sistem ini menetapkan kimiawi harus diberi label dengan cara yang sama di setiap negara dan harus tersedia dalam setiap bahasa.

Tujuan dari GHS ini adalah untuk memastikan bahwa informasi peringatan-peringatan bahaya dan tingkat toksisitas dari kimiawi tersedia bagi siapapun yang menangani, memindahkan dan menggunakannya. Sistem ini juga sangat membantu banyak negara-negara berkembang dalam mengembangkan Program-program pengamanan kimiawi nasional yang komprehensif. Para serikat

(16)

buruh memainkan peranan aktif dalam memformulasi dan mengadopsi GHS. Mereka, bersama-sama dengan LSM-LSM dan organisasi-organisasi antar-pemerintah, juga giat mempromosikan implementasinya secara penuh.

Konvensi-konvensi Basel, Rotterdam dan Stockholm, bersama-sama dengan IFCS, FAO Code, GHS dan Program-program internasional pengamanan kimiawi lainnya, telah menyediakan kerangka kerja yang penting dan kesempatan-kesempatan untuk para pemerintah serta LSM-LSM untuk mencapai tujuan-tujuan pengamanan kimiawi yang lebih signifikan. Masing-masing, bagaimanapun juga, memiliki keterbatasan, dan semuanya, bila digabungkan, tetap saja tidak akan mampu menangani isu-isu pengamanan kimiawi yang harus dihadapi negara masing-masing. Hal ini lalu mengarah dan berkembang pada pemahaman bahwa suatu program pengamanan kimiawi yang konsisten dan komprehensif sangat diperlukan. dan hal ini mendorong untuk dikembangkan dan diadopsinya SAICM.

Di beberapa negara, LSM-LSM dengan keahlian khusus dalam isu-isu pengamanan kimiawi bermunculan pada tahun 1970an dan 80an. Pesticide Action Network (PAN) muncul pada periode ini. Namun demikian, pada tahun 1990an — sebagian sebagai hasil merespon negosiasi dan adopsi dari ketiga Konvensi-konvensi kimiawi dan inisiatif internasional lainnya — pengamanan kimiawi menjadi sangat penting dan dikenal di banyak negara berkembang.

Organisasi-organisasi lingkungan internasional seperti Greenpeace dan lain-lainnya aktif melakukan kampanye-kampanye di negara-negara berkembang terutama untuk isu perdagangan limbah dan POPs yang menggiring negosiasi-negosiasi di forum antar-pemerintah sehingga menghasilkan Konvensi-konvensi Basel dan Stockholm. Dalam perjalanan melakukan hal itu, mereka menstimulasi kesadaran dan keterlibatan dari LSM-LSM lokal yang menaruh perhatian pada isu-isu kesehatan dan lingkungan di berbagai Negara dan memberi ruang untuk tumbuhnya jaringan-jaringan global baru. Health Care Without Harm (HCWH); International POPs Elimination Network (IPEN); Global Alliance for Incinerator Alternatives (GAIA); Basel Action Network (BAN) dan lain-lainnya tumbuh dalam konteks ini. Bersama-sama dengan PAN, jaringan-jaringan ini membantu menyebarluaskan pengetahuan dan keahlian serta mempromosikan kegiatan-kegiatan kepada masyarakat sipil terutama seiring dengan tujuan-tujuan pengamanan kimiawi di Negara-negara berkembang.

(17)

BAB III

TUJUAN DAN MANFAAT

3.1. Tujuan

Maksud dari kegiatan ini adalah stimulan dalam rangka substitusi pestisida berbahan aktif POPs serta melakukan penelusuran informasi mengenai teknologi yang dapat digunakan untuk melakukan pemulihan kualitas lahan yang mengnabati pencemaran oleh POPs.

Tujuan dari pelaksanaan penelitian ini terbagi menjadi 2 pokok, yaitu:

1. Kajian informasi yang diambil dari petani mengenai pestisida nabati sekaligus persepsi mereka terhadap pengembangannya serta membuat prototipe/formulasi biopestisida yang lebih ramah lingkungan dan berprospek sebagai substitusi pestisida berbahan aktif POPs.

2. Menyampaikan hasil kajian penelusuran informasi mengenai teknologi pemulihan kualitas lingkungan tercemar POPs sehingga dapat digunakan sebagai dasar pemilihan teknologi yang tepat, baik ditinjau dari sudut pandang teknik maupun ekonomi, untuk melakukan penanganan cemaran POPs.

3.2. Manfaat

a. Dampak Ekonomis Pemanfaatan Hasil

Pelaksanaan kegiatan ini diharapkan memberikan dampak efisiensi pada kegiatan pertanian dan usaha agro industri, khususnya penghematan dalam penggunaan pestisida kimiawi dan meningkatkan nilai jual hasil pertanian dan agro industri melalui pendekatan konsep pertanian organik sehingga menambah nilai ekonomis secara umum. Selain itu berkurangnya pencemaran lingkungan akibat POPs dapat membantu mengurangi beban pemerintah pusat dan daerah dalam upaya penanganan serta penanggulangan dampak akibat POPs.

b. Kontribusi terhadap sektor lain

Hasil pelaksanaan kegiatan ini direncanakan dapat berkontribusi bagi beberapa sektor lain, yaitu:

1. Bagi sektor keanekaragaman hayati (bio diversity) adalah memperkaya khazanah pengetahuan, khususnya potensi biodiversity nasional di bidang obat-obatan anti hama dan organisme pengganggu tanaman.

(18)

2. Bagi sektor lingkungan hidup adalah terjadinya perbaikan kualitas lingkungan (alam, binaan dan sosial) terkait upaya pengurangan dampak lingkungan akibat POPs.

3. Bagi petani, pengusaha agro industri dan pemerintah daerah adalah mengurangi ketergantungan pada pestisida kimiawi.

(19)

BAB IV METODOLOGI

3.1. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam melaksanakan kegiatan substitusi dan penanganan cemaran POPs adalah penelitian di laboratorium dan pengujian di green house, desk study (baik diperoleh melalui media internet, textbook, journal, research report) serta diskusi (termasuk personal communication dengan nara sumber atau pakar yang sesuai) dan survey ke petani di beberapa lokasi,.

3.2. Lingkup Penelitian

Lingkup kegiatan ini meliputi :

1. Pengkajian pestisida nabati yang berkembang pada tataran petani, persepsi petani terhadap peralihan penggunaan pestisida tersebut dan pembuatan prototipe biopestisida.

2. Pengkajian sifat-sifat POPs (sifat fisik dan kimia) serta perilaku bahan tersebut dari sudut pandang ekotoksikologi hingga pembahasan tentang teknologi yang telah dan sedang dikembangkan dalam upaya melakukan pemulihan kualitas lahan tercemar POPs. Diupayakan pula untuk memasukkan sudut pandang ekonomi baik dalam mengkaji dampak cemaran POPs terhadap lingkungan serta penerapan teknologi untuk memulihkan lahan tercemar POPs.

(20)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Pengembangan Teknologi Substitusi Pestisida POPs

5.1.1. Rancangan pecobaan dalam kegiatan pembuatan prototipe biopestisida Sudah dibuat protokoler kegiatan yang akan dilakukan guna membuat prototype/formulasi biopestisida. No Kegiatan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.

Pembuatan media PDA untuk peremajaan isolate Trichoderma harzianum dan perhitungan jumlah koloni pada setiap tahapan inkubasi sebanyak 1L

Peremajaan biakan T. harzianum pada agar miring dan cawan Petri

Pembuatan media PDB sebanyak 2,5 L (2 L untuk media perbanyakan/ batch dan 500 mL untuk pembuatan inokulum)

Pembuatan inokulum T. harzianum pada PDB sebanyak 200 mL

Penanaman inokulum pada media PDB 2 L (sebagai batch perbanyakan) Perhitungan jumlah koloni pada batch perbanyakan setelah diinkubasi selama 72 jam dengan cara plating

Sterilisasi onggok sebanyak 3 Kg sebagai substrat pembawa Penanaman T. harzianum dari batch 2L kedalam media onggok Inkubasi onggok selama 5 hari

Pengeringan media onggok

Penghancuran/penghalusan onggok

Perhitungan jumlah koloni dari onggok yang telah dihaluskan

Penentuan substrat pembawa pembawa T.harzianum untuk aplikasi lapangan (dekstrosa atau soluble starch)

Optimasi perbandingan antara bibit T.harzianum pada onggok dengan substrat pembawa (diharapkan jumlah koloni pada hasil optimasi adalah sebanyak 108 -109 CFU per gram)

Pengujian semi lapang dari hasil optimasi terbaik pada tanaman yang terserang fungi pathogen (Fusarium oxysporum, Rhizoctonia atau Colletotrichum)

(21)

Penyakit tanaman yang disebabkan oleh jamur patogen sampai saat ini masih merupakan masalah utama di bidang pertanian. Produksi pertanian secara kualitas maupun kuantitas mengnabati penurunan yang sangat tinggi, sehingga perlu dilakukan penanggulangan dan pengendalian yang tepat dan cermat.

Konsep yang harus dikembangkan dalam pengendalian hama dan penyakit tanaman adalah selain memperhatikan efektivitas dan segi ekonomisnya juga harus mempertimbangkan masalah kelestarian lingkungan. Bertitik tolak dari konsep tersebut, maka perhatian dunia kembali pada pengendalian secara hayati, yakni suatu cara pengendalian hama penyakit tanaman dengan memanfaatkan musuh-musuh nabati yang bersifat antagonis.

Penggunaan Biofungisida Trichoderma harzianum merupakan salah satu alternatif dalam mengendalikan penyakit tanaman yang disebabkan oleh jamur patogen tular tanah. Biofungisida T. harzianum agar mudah digunakan di tingkat petani maka perlu diformulasikan sehingga memiliki keefektifan dalam mengendalikan penyakit tanaman dan mudah pengaplikasiannya. Bioformulasi adalah serangkaian produksi biofungisida dengan bahan aktif berupa biomassa dan spora jamur T. harzianum dalam bentuk serbuk.

Kegiatan yang dilakukan dalam bioformulasi T. harzianum pada kegiatan ini adalah : perbanyakan T. harzianum pada media agar, perbanyakan T. harzianum pada media cair, perbanyakan T. harzianum pada media padat berupa onggok, optimasi perbandingan bibit T. harzianum dengan substrat pembawa berupa soluble starch, dan rekomendasi aplikasi produk di lapangan.

a. Perbanyakan T. harzianum dalam media agar

Media agar yang digunakan untuk perbanyakan T. harzianum adalah Potato Dextrosa Agar (PDA). Media PDA dibuat dengan cara melarutkan 26 gram PDA instant kedalam 1 Liter akuades kemudian dipanaskan hingga mendidih dan semua media larut. Setelah larut media tersebut dimasukan ke dalam Erlenmeyer dan tabung reaksi untuk kemudian disterilisasi menggunakan autoclave pada suhu 121oC selama 15 menit. Setelah proses sterilisasi, media agar dituang ke dalam cawan petri dan untuk media dalam tabung reaksi, tabung reaksi dimiringkan untuk membuat agar miring.

Perbanyakan T. harzianum dalam media agar bertujuan untuk membuat kultur stok dan kultur kerja. Kultur stok digunakan untuk penyimpanan dalam waktu lama dan ditanam pada agar miring di tabung reaksi, sedangkan kultur kerja adalah kultur T. harzianum yang akan digunakan dalam kegiatan bioformulasi.

(22)

Kultur kerja dibuat dengan cara menanam T. harzianum dari kultur stok yang telah dibuat sebelumnya ke dalam PDA yang sudah dituang di cawan petri. Setelah ditanam, T. harzianum diinkubasikan dalam suhu kamar selama 7 hari atau sampai cendawan tersebut tumbuh merata pada permukaan agar. Apabila cendawan telah tumbuh merata, maka cendawan tersebut siap untuk digunakan pada kegiatan selanjutnya.

b. Perbanyakan T. harzianum dalam media cair

Media cair yang digunakan untuk perbanyakan T. harzianum adalah Potato Dextrosa Broth (PDB). Proses pembuatan media PDB sama dengan proses pembuatan PDA yaitu dengan dilarutkan dalam aquades kemudian dididihkan sampai semua medianya larut. Sebelum media disterilisasi, media PDB sebanyak 100 mL dimasukan dalam Erlenmeyer 200 mL dan sebanyak 1 L dimasukan dalam Erlenmeyer 2 L. Setelah dimasukan kedalam Erlenmeyer dan ditutup, media siap untuk disterilisasi.

Perbanyakan dalam media cair, dilakukan secara bertahap dan bertingkat. Hal ini selain untuk memaksimalkan pertumbuhan juga untuk mengaktivasi T. harzianum sehingga siap untuk digunakan. Perbanyakan pertama kali dilakukan dengan cara menanam T. harzianum yang sudah tumbuh dalam media agar ke dalam media cair 100 mL pada Erlenmeyer 200 mL. Penanaman dilakukan dengan memotong agar yang sudah ditumbuhi T. harzianum dengan cock bore, kemudian memindahkan potongannya ke dalam media cair di Erlenmeyer. Penanaman dilakukan sebanyak 5 potongan per Erlenmeyer. Pemotongan agar dan penanaman pada media cair dilakukan secara aseptik.

Cendawan yang sudah ditanam dalam medium cair kemudian dikocok menggunakan shaker pada kecepatan 150 rpm dan diinkubasikan pada suhu ruang. Proses pertumbuhan jamur dalam media cair membutuhkan proses selama kurang lebih 4 hari, dan setelah 4 hari maka cendawan siap dipanen dan dipindahkan pada media yang lebih besar. Biakan cendawan dipindahkan seluruhnya ke dalam Erlenmeyer 2L berisi media PDB 1 L secara aseptik kemudian dishaker pada kecepatan 150 rpm dan diinkubasi pada suhu kamar selama kurang lebih 7 hari. Setelah 7 hari, cendawan siap ditanam pada media perbanyakan padat berupa onggok setelah sebelumnya dilakukan perhitungan jumlah spora/mL terlebih dahulu.

Perhitungan jumlah spora/mL menggunakan cara pengenceran cawan tuang (serial dilution plate). Adapun teknik pengenceran yang dilakukan adalah sebagai berikut : beberapa tabung reaksi yang telah diisi larutan NaCl fisiologis steril

(23)

sebanyak 9mL diinokulasikan 1mL kultur cendawan dari Erlenmeyer 2L sehingga diperoleh pengenceran 10-1, 1mL kultur dari pengenceran 10-1 dipindahkan ke tabung reaksi berikutnya, diperoleh pengenceran 10-2, demikian seterusnya sampai diperoleh pengenceran sesuai dengan yang diinginkan (10-1 – 10-9). Sebanyak 1mL dari masing-masing hasil pengenceran (10-5 – 10-9) dimasukkan ke dalam cawan petri steril yang telah berisi PDA padat, lalu diratakan dengan batang L, diinkubasi pada suhu kamar selama 24 jam. Setelah 24 jam, jumlah koloni T. harzianum dalam masing-masing cawan petri dihitung dan diinterpretasikan.

Perhitungan jumlah spora dilakukan dengan menghitung jumlah koloni yang terbentuk. Hal ini didasari bahwa satu spora akan tumbuh menjadi satu buah koloni, sehingga jumlah koloni akan mewakili jumlah spora.

Hasil perhitungan jumlah spora/koloni T. harzianum yang telah diinkubasi selama 7 hari dalam media PDB 1L adalah sebagai berikut :

Pengenceran ∑ koloni Faktor pengali (5) ∑ spora total/mL

10-3 TMTC TMTC TMTC

10-4 TMTC TMTC TMTC

10-5 120 600 6 x 107

10-6 41 205 2,05 x 108

10-7 -- -- --

Ket : TMTC : Too Many To Count

Dikalikan 5 sebagai faktor pengali karena pada saat plating, tidak diambil 1 mL tetapi 0,2 mL

Berdasarkan perhitungan di atas, diketahui bahwa jumlah spora T. harzianum dalam media PDB 1 L adalah berkisar 6 x 107 sampai 2,05 x 108 spora/mL. Jumlah tersebut sudah mencukupi karena syarat inokulum untuk bisa ditanam kedalam media padat (onggok) adalah mengandung spora T. harzianum minimal ≥ 1 x 106 spora/mL.

c. Perbanyakan T. harzianum dalam media padat

Media padat yang digunakan untuk perbanyakan T. harzianum pada kegiatan ini adalah onggok. Pemilihan onggok dikarenakan onggok berupa limbah sehingga memanfaatkan limbah untuk mengurangi sampah dan juga nisbah CN ratio yang dimiliki oleh onggok masih mencukupi untuk pertumbuhan cendawan T. harzianum.

(24)

Sebelum onggok digunakan sebagai media perbanyakan, onggok harus disterilisasi terlebih dahulu menggunakan autoclave pada suhu 121oC selama 15 menit. Untuk 1L inokulum yang telah ditumbuhi T. harzianum dengan jumlah spora minimal ≥ 1 x 106 spora/mL, diperlukan 2 Kg onggok sebagai media perbanyakannya. Inokulum langsung dicampurkan ke dalam onggok kemudian diaduk sampai merata. Setelah dicampurkan dan diaduk, onggok disimpan dalam nampan-nampan plastik dan dimasukan ke dalam inkubator bersuhu 37oC untuk diinkubasi selama 7 hari. Onggok setiap hari diaduk agar pertumbuhan T. harzianum merata di semua bagian. Pertumbuhan T. harzianum ditandai dengan diselubunginya onggok oleh cendawan berwarna hijau.

Setelah 7 hari inkubasi, onggok yang sudah ditumbuhi oleh T. harzianum dikeluarkan dari inkubator dan dikeringkan dalam oven bersuhu 60oC selama kurang lebih 4 hari. Setelah kering, onggok yang bercampur dengan T. harzianum dihaluskan dengan cara digrinder atau diblender dan siap dijadikan bibit untuk dicampur dengan substrat pembawa. Sebelum dicampur dengan substrat pembawa, bibit dihitung terlebih dahulu kandungan jumlah spora/gram-nya terlebih dahulu.

Perhitungan jumlah spora dalam bibit dilakukan dengan metode pengenceran cawan tuang dengan tahapan yang sama dengan perhitungan jumlah spora dalam media cair. Perbedaannya hanya 1 mL kultur cair cendawan diganti dengan 1 gram bibit. Bibit yang baik digunakan sebagai starter adalah mengandung spora T. harzianum minimal ≥ 1 x 106 spora/gram. Adapun hasil perhitungan jumlah spora pada bibit adalah sebagai berikut :

Pengenceran ∑ koloni Faktor pengali (5) ∑ spora total/gram

10-2 TMTC TMTC TMTC

10-3 TMTC TMTC TMTC

10-4 274 1370 1,37 x 107

10-5 192 960 9,6 x 107

10-6 129 645 6,45 x 108

Ket : TMTC : Too Many To Count

Dikalikan 5 sebagai faktor pengali karena pada saat plating, tidak diambil 1 mL tetapi 0,2 mL

(25)

Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa jumlah spora T. harzianum dalam bibit adalah berkisar 1,37 x 107 sampai 6,45 x 108 spora/gram. Jumlah tersebut sudah mencukupi karena syarat bibit untuk bisa dijadikan starter adalah mengandung spora T. harzianum minimal ≥ 1 x 106 spora/gram.

d. Optimasi perbandingan bibit dengan substrat pembawa

Substrat pembawa yang digunakan untuk memformulasikan bibit yang mengandung T. harzianum adalah soluble starch. Alasan pemilihan soluble starch adalah agar pengaplikasian biofungisida ini di tingkat petani tidak menyulitkan, hanya perlu dicampurkan dengan air biasa untuk kemudian siap diaplikasikan.

Formulasi yang dilakukan pada kegiatan ini adalah menentukan perbandingan paling optimum antara bibit dengan substrat pembawa. Perbandingan paling optimum ditandai dengan jumlah spora yang masih cukup tinggi dalam campuran, yaitu diharapkan ≥ 108 spora/gram, kemudian penggunaan bibit dalam perbandingan totalnya tidak terlalu besar sehingga dapat diperoleh produksi yang jauh lebih tinggi.

Optimasi perbandingan bibit dengan substrat pembawa dilakukan dengan 6 perlakuan yaitu 1 : 1, 1 : 2, 1 : 3, 1 : 4, 1 : 5, dan 1 : 10. Setiap perlakuan dihitung kandungan jumlah sporanya untuk menentukan perbandingan mana yang paling efisien untuk digunakan. Perhitungan jumlah spora sama dengan perhitungan jumlah spora pada media perbanyakan cair dan pada bibit yaitu dengan metode pengenceran cawan tuang. Hasil perhitungan jumlah spora dalam masing-masing perbandingan adalah sebagai berikut :

Kode Pengencera n ∑ spora ulangan 1 ∑ spora ulangan 2 Rata-Rata Faktor pengali (5) ∑ spora total A 1 : 1 10-4 TMTC TMTC TMTC TMTC TMTC 10-5 TMTC TMTC TMTC TMTC TMTC 10-6 62 42 52 260 2,6 X 108

(26)

B 1 : 2 10-4 TMTC TMTC TMTC TMTC TMTC 10-5 182 203 192,5 962 9,62 X 107 10-6 -- 2 1 5 5 X 106 C 1 : 3 10-4 TMTC TMTC TMTC TMTC TMTC 10-5 200 191 195,5 977,5 9,7 X 107 10-6 92 15 53,5 267,5 2,67 X 108 D 1 : 4 10-4 TMTC TMTC TMTC TMTC TMTC 10-5 250 211 230,5 1152,5 1,15 X 108 10-6 182 172 177 885 8,85 X 108 E 1 : 5 10-4 TMTC TMTC TMTC TMTC TMTC 10-5 243 198 220,5 1102,5 1,10 X 108 10-6 87 44 65,5 327,5 3,27 X 108 F 1 : 6 10-4 197 212 204,5 1022,5 1,02 X 107 10-5 48 56 52 260 2,6 X 107 10-6 6 5 5,5 27,5 2,75 X 107

Ket : TMTC : Too Many To Count

Dikalikan 5 sebagai faktor pengali karena pada saat plating, tidak diambil 1 mL tetapi 0,2 mL

(27)

Dari hasil perhitungan jumlah spora/koloni dari setiap perbandingan bibit dengan substrat pembawa, diketahui bahwa perbandingan yang masih mengandung spora sebanyak ≥ 108 spora/gram adalah 1 : 1 , 1 : 3, 1 : 4 dan 1 : 5, dengan kandungan spora berkisar antara 2,6 X 108 sampai 8,85 X 108 spora/gram. Pada perbandingan 1 : 2, jumlah spora yang dihasilkan lebih kecil dari 108 spora/gram padahal apabila dibandingkan dengan jumlah spora pada perbandingan 1: 3 secara logika seharusnya jumlahnya masih bisa diatas 108 spora/gram. Hal ini dapat disebabkan karena ketidakakuratan prosedur sampling atau ketidakmerataan pencampuran antara bibit dengan substrat pembawa yang menyebabkan spora tidak terdistribusi secara rata.

Pada perbandingan 1 : 10, kandungan spora T. harzianum yang dihasilkan jumlahnya dibawah 108 spora/gram, yaitu berkisar antara 1,02 X 107 sampai 2,75 X 107 spora/gram. Hal tersebut menunjukkan bahwa perbandingan bibit dengan substrat pembawa sebesar 1 : 10 tidak cocok untuk dijadikan formula standar biofungisida yang mengandung T. harzianum karena kandungan sporanya yang tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan yaitu mengandung spora sebanyak ≥ 108 spora/gram. Jumlah spora yang relatif lebih kecil dari 108 spora/gram pada perbandingan 1 : 10, disebabkan karena pengenceran bibit oleh substrat pembawa terlalu tinggi sehingga jumlah sporanya menjadi lebih rendah.

Berdasarkan interpretasi terhadap hasil plating total campuran bibit dengan substrat pembawa, diketahui bahwa perbandingan yang dapat dijadikan formula standar biofungisida berbahan dasar T. harzianum (bibit) dengan soluble starch (substrat pembawa) adalah 1 : 1, 1 : 3, 1 : 4, dan 1 : 5. Tetapi apabila ditinjau dari aspek ekonomis dan efisiensi penggunaan jumlah bibit, maka perbandingan yang paling optimum untuk dijadikan formula standar adalah perbandingan 1 : 5. Hal tersebut didasarkan karena kandungan sporanya yang masih berjumlah ≥ 108 spora/gram, dan penggunaan bibit pada perbandingannya yang lebih kecil dibandingkan dengan perbandingan-perbandingan lainnya.

(28)

Gambar 1 . Optimasi perbandingan inokulum dengan substrat pembawa

Gambar 2. Perbanyakan dalam media agar Biakan Trichoderma harzianum

(29)

Gambar 3. Perbanyakan T. harzianum dalam media cair

Gambar 4. T. harzianum dalam media padat (onggok) yang sudah mengnabati proses pengeringan

(30)

e. Rekomendasi aplikasi produk biofungisida di lapangan

Produk biofungisida dalam bentuk serbuk, untuk aplikasi di lapangan umumnya ditaburkan di tanah, sedangkan untuk perlindungan biji disalutkan pada biji, sedangkan untuk perlindungan tanaman dimasukan pada lubang tanam saat penanaman semaian. Biofungisida dengan bahan aktif T. harzianum mempunyai fungsi ganda, di samping mengendalikan jamur patogen, juga dapat berfungsi sebagai pemacu tumbuh tanaman dari senyawa aktif yang dikeluarkan.

Biofungisida dengan bahan aktif jamur T. harzianum aplikasinya mempunyai spektrum tanaman inang yang cukup luas, dari tanaman hortikultura, palawija, tanaman perkebunan dan kehutanan. Sebagai gambaran pada tabel di bawah ini, aplikasi biofungisida dengan bahan aktif T. harzianum, jenis patogen dan tanaman inang.

Mikroorganisme Jenis Patogen/ Hama

Penyakit Tanaman Inang

T. harzianum

Rhizoctonia solanii Jamur tular tanah (Phytium, Rhizoctonia, Verticium, Sclerotium) Busuk akar

Tanaman budidaya sayuran (tomat, kentang, timun, kol), buah (strawberi, jeruk, anggur), legum, sereal, canola, tanaman hias, bibit tanaman hutan, hortikultura.

Botrytis cinerea, dll Busuk akar

Tanaman hias

Armilaria sp. Botryoshaeria Busuk akar

Tanaman hias, teh, kopi, cokelat

1. Tanaman tahunan

Yang dimaksud tanaman tahunan adalah tanaman keras, seperti tanaman buah, tanaman perkebunan, tanaman kehutanan. Serangan jamur patogen biasanya menyebabkan terjadinya busuk akar atau busuk pangkal batang.

a. Perlindungan/penyembuhan

Pada setiap tanaman yang akan diberi perlakuan, tanah di sekitar pokok batang dibuka dengan menggali tanah seluas ± 50 cm2. Selanjutnya, bubuk biofungisida ditaburkan di sekitar pokok batang dan pada bagian akar yang terlihat terdapat

(31)

jamur patogen. Kemudian lubang bukaan ditutup kembali dengan tanah dan ditutup plastik mulsa selama 6 – 7 hari. Tujuan untuk memberikan kelembapan tanah yang sesuai untuk pertumbuhan jamur T. harzianum di dalam tanah. Untuk perlindungan tanaman, cukup diberikan 50 g, sedangkan yang sudah terserang penyakit jika belum parah, dapat diberikan 100 gram tiap/tanaman.

b. Penyemaian bibit

Pemberian biofungisida dimaksudkan melindungi bibit semaian dari serangan jamur patogen. Pada medium tanah dicampurkan biofungisida dalam bentuk serbuk, biasanya cukup 1 sendok makan untuk 1 Kg media tanam, dicampurkan sampai merata.

2. Tanaman semusim

Tanaman semusim adalah tanaman budi daya dengan umur pendek seperti tanaman hortikultura, dan palawija.

a. Perlindungan tanaman

Untuk perlindungan tanaman hortikultura, diberikan bersamaan pada saat penanaman semaian. Diberikan serbuk biofungisida cukup 1 sendok teh (5 gram) untuk setiap lubang tanam. Ini cukup diberikan sekali sampai umur panen.

b. Penyemaian bibit

Pada prinsipnya sama yang dilakukan untuk media penyemaian tanaman tahunan, pada tanaman semusim ini dilakukan pada media tanam tanaman hortikultura dengan dosis 1 sendok makan untuk 1 Kg media tanaman. Sedangkan untuk tanaman palawija, cukup dilakukan dengan penyelaputan pada biji. Biji dibasahkan dengan air atau perekat (tepung tapioka) encer, kemudian ditaburkan serbuk biofungisida diratakan pada tiap butir biji, baru ditanam.

Biofungisida berbahan aktif T. harzianum dapat dikatakan efektif karena dapat menurunkan jumlah populasi jamur patogen di dalam tanah hanya dalam beberapa hari saja. Perlakuan biofungisida mempunyai pengaruh ganda, selain untuk menyembuhkan tanaman yang terkena penyakit, tanaman yang sudah kritis menunjukan kondisi ke arah tanaman sehat yang ditandai dengan daun-daun yang semula berwarna hijau-menguning berubah menjadi hijau segar.

Penggunaan biofungisida ini bila digunakan dengan tepat mempunyai manfaat ekonomi baik secara langsung atau tidak langsung. Keuntungan tidak langsung terkait dengan biaya kelestarian lingkungan dan kesehatan (environmental cost). Sementara biaya langsung terkait dengan efisiensi biaya produksi.

(32)

Penggunaan biofungisida dapat mereduksi biaya perawatan mencapai 72% dibandingkan dengan penggunaan fungisida kimia sintetik. Hasil uji lapang terhadap produk biofungisida yang telah diteliti dan dikembangkan, menunjukkan produk tersebut cukup efektif untuk pengendali jamur patogen tular tanah pada tanaman tahunan.

5.1.2. Konsep survey

Sudah ditetapkan lokasi survey yaitu Yogyakarta dan Bali. Dengan mengambil masing-masing 10 petani sampel yang akan disurvey / diwawancara mengenai pestisida nabati yang dikembangkan petani/ kelompok tani setempat. Untuk kajian persepsi petani terhadap peralihan pestisida anorganik ke organik, telah dibuat kuesioner tertutup. Dengan mengambil 30 petani sampel untuk masing-masing petani. Petani sampel adalah petani organik dan petani biasa (yang masih menggunakan pestisida anorganik)

5.1.3. Persepsi Petani Terhadap Peralihan Pertanian An Organik Menuju Pertanian Organik

Pertanian organik adalah sistem budidaya pertanian yang mengandalkan bahan-bahan nabati tanpa menggunakan bahan kimia sintetis. Beberapa tanaman Indonesia yang berpotensi untuk dikembangkan dengan teknik tersebut adalah padi, hortikultura sayuran dan buah (contohnya: brokoli, kubis merah, jeruk, dll.), tanaman perkebunan (kopi, teh, kelapa, dll.), dan rempah-rempah. Pengolahan pertanian organik didasarkan pada prinsip kesehatan, ekologi, keadilan, dan perlindungan. Yang dimaksud dengan prinsip kesehatan dalam pertanian organik adalah kegiatan pertanian harus memperhatikan kelestarian dan peningkatan kesehatan tanah, tanaman, hewan, bumi, dan manusia sebagai satu kesatuan karena semua komponen tersebut saling berhubungan dan tidak terpisahkan. Pertanian organik juga harus didasarkan pada siklus dan sistem ekologi kehidupan. Pertanian organik juga harus memperhatikan keadilan baik antarmanusia maupun dengan makhluk hidup lain di lingkungan. Untuk mencapai pertanian organik yang baik perlu dilakukan pengelolaan yang berhati-hati dan bertanggungjawab melindungi kesehatan dan kesejahteraan manusia baik di masa kini maupun di masa depan (wikipedia.org) Tujuan utama pertanian organik adalah menyediakan produk-produk pertanian, terutama bahan pangan yang aman bagi kesehatan produsen dan konsumennya serta tidak merusak lingkungan. Gaya hidup sehat demikian telah

(33)

melembaga secara internasional yang mensyaratkan jaminan bahwa produk pertanian harus beratribut aman dikonsumsi (food safety attributes), kandungan nutrisi tinggi (nutritional attributes) dan ramah lingkungan (eco-labelling attributes). Preferensi konsumen seperti ini menyebabkan permintaan produk pertanian organik dunia meningkat pesat (Deptan, 2002).

Klasifikasi sistem pertanian organik :

1. Bio dinamik; murni mengutamakan konsep alam (contoh: daerah Jati Luwih dengan wetland concept)

2. Organik prima 1; mengutamakan konsep air dan tanah serta lingkungan yang bersih tidak tercemar sistem pertanian terpadu.

3. Organik prima 2; hanya mengutamakan konsep tanah yang tidak tercemar serta menggunakan sistem pertanian organik yang tidak menggunakan pestisida serta pupuk kimia. Namun faktor lingkungan dan air menjadi terabaikan.

4. Organik prima 3; hanya mengutamakan sistem pertanian organik. Faktor residu pencemaran tanah dan air terabaikan.

Penggunaan pestisida POPs di lahan pertanian yang dilakukan terus menerus terutama pada waktu revolusi hijau, sewaktu petani mendapatkan subsidi yang cukup besar untuk aplikasi pestisida, menyebabkan terjadinya pengaruh buruk baik terhadap manusia maupun terhadap lingkungan biotik dan abiotik. Pengaruh yang paling buruk adalah pada manusia karena terjadi bioakumulasi sehingga akan menimbulkan dampak diantaranya karsinogenik, mutagenik dan teratogenik. Pemerintah sudah berusaha untuk memperkenalkan pertanian berkelanjutan yang berwawasan lingkungan dengan mengadakan sekolah lapangan bagi kelompok tani andalan yang diharapkan mampu melakukan transfer of knowledge ke kelompok tani yang lain. Namun dari survey yang pernah dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada menunjukkan tingginya pemahaman terhadap pertanian berkelanjutan belum berpengaruh pada perilaku petani bawang merah di Brebes dan Bantul. Petani masih menganggap bahwa pestisida adalah penjamin / asuransi bagi tanaman mereka, sehingga harus diaplikasikan pada lahan mereka, sehingga peralihan tersebut memerlukan waktu yang panjang, koordinasi dari berbagai pihak yang kontinu dan peran pemerintah sebagai pembuat regulasi di bidang pertanian. Salah satu implementasi pertanian berkelanjutan yang berwawan lingkungan adalah pertanian organik. Pertanian organik adalah pertanian tanpa masukan berbahan aktif kimiawi

(34)

atau secara bertahap melakukan pengurangan terhadap penggunaan bahan aktif tersebut.

Peluang pertanian organik di Indonesia

Potensi pasar produk pertanian organik di dalam negeri sangat kecil, hanya terbatas pada masyarakat menengah ke atas. Berbagai kendala yang dihadapi antara lain: 1) belum ada insentif harga yang memadai untuk produsen produk pertanian organik, 2) perlu investasi mahal pada awal pengembangan karena harus memilih lahan yang benar-benar steril dari bahan agrokimia, 3) belum ada kepastian pasar, sehingga petani enggan memproduksi komoditas tersebut. Beberapa tahun terakhir, pertanian organik modern masuk dalam sistem pertanian Indonesia secara sporadis dan kecil-kecilan. Pertanian organik modern berkembang memproduksi bahan pangan yang aman bagi kesehatan dan sistem produksi yang ramah lingkungan. Tetapi secara umum konsep pertanian organik modern belum banyak dikenal dan masih banyak dipertanyakan. Penekanan sementara ini lebih kepada meninggalkan pemakaian pestisida sintetis. Dengan makin berkembangnya pengetahuan dan teknologi kesehatan, lingkungan hidup, mikrobiologi, kimia, molekuler biologi, biokimia dan lain-lain, pertanian organik terus berkembang.

Tujuan dari observasi ini adalah mengetahui persepsi petani terhadap peralihan pertanian an organik menuju pertanian organik, informasi ini diperlukan untuk menyusun strategi dalam merekayasa dinamika sosial petani agar dapat mudah menerima adopsi inovasi dengan orientasi pembangunan pertanian yang berwawasan lingkungan.

Hasil observasi persepsi petani

Untuk mengetahui respon petani terhadap pertanian organik dan pemanfaatan tanaman sebagai pestisida, dilakukan wawancara terhadap 30 orang petani sampel yang terbagi dalam 16 orang petani konvensional dan 15 orang petani organik di wilayah Godean,Yogyakarta dan Bedugul, Bali. Penelitian dilakukan dalam satu wilayah untuk mengetahui apakah transfer of knowledge antar kelompok tani dalam satu wilayah berjalan dengan baik. Petani sampel berusia antara usia 29 – 76 tahun, dengan berbagai jenjang pendidikan (Tabel. 1). Petani konvensional cenderung berusia lebih lanjut (40 – lebih dari 70 tahun) dibanding petani organik (20 – 60 tahun), Jenjang pendidikan rata-rata lulusan SMU baik petani konvensional dan organik.

(35)

Tabel 1. Profil petani sampel tahun 2010 Kriteria Petani konvensional

(%) Petani organik (%) Usia a. 20 -30 0 6,7 b. 31 – 40 0 40 c. 41 – 50 6,25 13,3 d. 51 - 60 31,25 40 e. 61 – 70 43,75 0 f. > 70 18,75 0 Pendidikan a. SD 37,5 6,7 b. SMP 12,5 13,3 c. SMU 37,5 73,3 d. > SMU 12,5 6,7

Keterangan : jumlah petani konvensional 16 orang dan jumlah petani organik 15 orang

a. Persepsi petani konvensional

Petani konvensional masih menggunakan pestisida kimiawi sebagai bahan pengendali organisme pengganggu tanaman. Mereka menggunakan secara rutin minimal satu kali dalam satu musim. Pemahaman petani terhadap pertanian organik berkisar pada :

1. penggunaan pupuk organik untuk menggantikan pupuk kimiawi.

2. pertanian yang tidak merusak struktur tanah, unsur hara dan kualitas produktivitas lebih baik

Mereka baru tahap memahami pertanian organik, namun belum memiliki minat melakukannya. Ketidaktertarikan tersebut salah satunya disebabkan harga dan kuantitas produktivitas dianggap tidak beda nyata antara pertanian organik dan konvensional. Namun ada juga beberapa petani yang masih apatis terhadap pertanian organik karena dianggap merepotkan dalam aplikasinya, sulit dalam pemasaran hasilnya dan hasil dengan menggunakan input kimiawi lebih baik dibanding dengan bahan organik. Mereka biasanya menjual seluruh hasilnya di lahan, sehingga rasa memiliki tanaman memang menjadi cukup rendah.

(36)

Kebersamaan kelompok tani konvensional pun kurang terasa, karena mereka tidak melakukan tanam serentak melainkan saling tunggu siapa yang menanam lebih awal. Menurut pendapat mereka, siapa yang menanam awal, petani itu tidak akan panen karena serangan hama dan penyakit.

b. Persepsi petani organik

Sebagian besar petani organik memahami bahwa pertanian organik dapat memperbaiki struktur tanah dan ekologi. Keprihatinan mereka terhadap kondisi tanah yang sulit diolah salah satu alasan mereka menjadi petani organik. Prinsip sederhana yang mereka anut adalah bahwa alam sudah menyediakan bahan-bahan di sekitar untuk memelihara tanaman pangan dan tidak boleh membunuh sesama makhluk hidup. Selain tidak menggunakan pupuk kimia, pestisida kimia, mereka juga melakukan rotasi varietas lokal untuk memutus siklus organisme penganggu tanaman. Pertanian organik sudah menjadi bagian hidup mereka, sehingga walaupun hasilnya tidak terlalu tinggi dibanding konvensional, mereka tetap menerapkan prinsip-prinsip pertanian organik. Pengetahuan tersebut mereka dapat dari suatu lembaga non pemerintah yang memberikan pendidikan dan latihan tentang pertanian organik enam tahun yang lalu. Kesadaran akan pertanian berkelanjutan yang berwawasan lingkungan membuat kelembagaan kelompok tani makin kuat. Komunikasi inter dan antar kelompok tani mereka lakukan. Tingkat kepercayaan petani organik terhadap pemerintah khususnya pejabat dan petugas penyuluh sangat rendah, karena mereka merasa tidak diperhatikan, namun hal itu tidak mengurangi semangat kebersamaan mereka, dibuktikan dengan perolehan penghargaan Kalpataru tingkat Kabupaten dan Provinsi. Petani organik di Yogyakarta dan Bali tidak mengnabati kesulitan dalam memasarkan produknya karena mereka sudah memiliki jaringan pasar tersendiri. Bahkan mereka bersedia menampung hasil produksi dari petani organik di luar kelompok mereka.

Perbedaan tingkat pemahaman dan implementasi pertanian organik cukup signifikan antara petani konvensional dan petani organik. Sehingga perlu ada rekayasa dinamika sosial antar kelompok tani dan lembaga yang terkait untuk mendukung pertanian organik yang harus dilakukan terus menerus, terpantau dan dilakukan evaluasi.

(37)

Dilema yang dihadapi petani organik untuk memproduksi produk organik yang ber label yaitu:

1. Persaingan antara produk bersertifikat melawan produk non labeling, dimana produk non labeling berani bersaing secara harga dibandingkan produk bersertifikat yang sudah terstandar, sehingga terjadi persaingan yang tidak sehat.

2. Belum ada perangkat hukum yang melindungi produk organik yang berlabel. 3. Belum ada pelaksanaan sertifikasi yang berbasis dan berstandar

internasional, sementara pasar penyerap produk organik seperti kasus di Bali adalah orang asing.

Gambar 6. Lokasi Pertanian Organik Bedugul Bali (Golden Leaf Farm)

Gambar 7. Sistem barier tanaman pengusir hama Organik Bedugul Bali (Golden Leaf Farm)

Gambar 8. green house mulsa untuk sayuran salad umur pendek

Gambar

Tabel 1.  Dirty dozen menurut Stockholm Convention  No  Nama
Gambar 1 . Optimasi perbandingan inokulum dengan substrat pembawa
Gambar  4.  T.  harzianum  dalam  media  padat  (onggok)  yang  sudah  mengnabati  proses  pengeringan
Tabel 1. Profil petani sampel tahun 2010  Kriteria  Petani konvensional
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hal-hal jang belum diatur dan tertjantum dalam Peraturan Dasar Corps HMI- Wati dan keterangan chusus ini disesuaikan dengan AD/ART HMI dan diatur lebih lanjut oleh Cohati PB..

Melalui kegiatan pembelajaran membaca dengan pendekatan Scientific dan model pembelajaran Discovery peserta didik dapat menjelaskan pengertian cerpen , menyebutkan

learning dan pada penelitian yang akan diangkat menggunakan metode penelitian R&D yaitu mengembangkan produk yang sudah ada menjadi produk yang lebih efektif

Alat yang dihasilkan dalam kajian ini adalah ayakan, generator foam, mixer dan cetakan. Inovasi pada pembuatan batako styrofoam adalah pemberian busa foam pada

Pada motor DC seri memiliki karakteristik starting torsi yang tinggi yang membuatnya cocok untuk aplikasi yang memiliki inertia serta sistem traksi tinggi dan memiliki Motor DC

Sehubungan dengan itu berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan,

Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa masing-masing variabel yaitu kepatuhan membayar pajak, kesadaran membayar pajak, pengetahuan dan pemahaman akan peraturan perpajakan,

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan nilai kekuatan transversa resin basis gigi tiruan resin akrilik heat-cured