• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISTIK GEOKIMIA AIR PANAS BUMI DI SEKITAR GUNUNG SLAMET

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KARAKTERISTIK GEOKIMIA AIR PANAS BUMI DI SEKITAR GUNUNG SLAMET"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

389

KARAKTERISTIK GEOKIMIA AIR PANAS BUMI DI SEKITAR GUNUNG

SLAMET

Saefudin Juhri1 Agung Harijoko2*

1Universitas Gadjah Mada, saefudin.juhri@mail.ugm.ac.id 2Universitas Gadjah Mada, aharijoko@ugm.ac.id

*Corresponding author: aharijoko@ugm.ac.id

SARI

Manifestasi panasbumi berupa mata air panas muncul di beberapa lokasi di sekitar Gunung Slamet, diantaranya di kawasan Guci, Baturraden, Paguyangan dan Bantarkawung dengan jarak masing-masing 7,5 km, 8 km, 25 km dan 33 km . Asal mula mata air panas di kawasan Guci dan Baturraden yang lebih dekat dipercaya berkaitan erat dengan aktivitas Gunung Slamet. Sedangkan kawasan Bantarkawung yang berjarak lebih jauh dan berada di luar zona distal dari Gunung Slamet belum diketahui dengan pasti. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui genesa dari mata air panas di kawasan Bantarkawung. Untuk itu, sampel air panas diambil dari mata air panas CipanasBuaran, Karangpari dan Sungai Cilakar di Bantarkawung. Selain itu, sampel juga diambil dari mata air panas Pancuran 7 dan Pancuran 3 di Baturraden, mata air panas Pancuran 13 dan Pengasihan di Guci dan mata air panas Paguyangan sebagai perbandingan. Analisa kimia air dilakukan dengan metode ion chromatograph, ICP-AES(Inductively Coupled Plasma - Atomic Emission Spectroscopy) dan titrasi. Hasil plottingpada grafik B vs Cl menunjukkan adanya dua kelompok yang berbeda, yaitu:(1) sampel dari Baturraden, Paguyangan dan Sungai Cilakar (Bantarkawung) memiliki rasio Cl/B yang lebih tinggi (high Cl/B) sedangkan (2) sampel dari Guci, CipanasBuaran (Bantarkawung) dan Karangpari (Bantarkawung) memiliki rasio yang lebih rendah (low Cl/B). Hal serupa juga ditunjukkan oleh grafik B-Cl-Li dan F-B-Cl yang menunjukkan terdapat dua asal mula fluida yang berbeda.

I.

PENDAHULUAN

Gunung Slamet merupakan gunungapi berumur kuarter yang secara administrasi terletak di Kabupaten Brebes, Tegal, Pemalang, Purbalingga dan Banyumas. Secara Fisiografis, Gunung Slamet berada di Zona Gunung Api Kuarter yang di sekitarnya merupakan Zona Serayu utara (Van Bemmelen, 1949). Namun begitu, manifestasi mata air panas juga dapat ditemukan di daerah Paguyangan (25 km) dan Bantarkawung (33 km) yang berada di Zona Bogor (Van Bemmelen, 1949) yaitu di sebelah barat Gunung Slamet dan sudah di luar zona distal Gunung Slamet, selain kompleks mata air panas Guci (7,5 km ke baratlaut) dan Baturraden(8 km ke selatan)

yang memang berada di lereng Gunung Slamet itu sendiri.

Zona Bogor sendiri, menurut ban Bemmelen (1949) merupakan antiklinorium yang bekerja pada batuan sedimen tersier serta terdapat intrusi dalam berbagai bentuk seperti hypabyssal, volcanicneck serta dike. Meski berjarak cukup jauh, Gunung Slamet merupakan gunungapi terdekat dari mata air panas Paguyangan dan Bantarkawung. Sehingga keterkaitan antara manifestasi di Paguyangan dan Bantarkawung dengan sistem panas bumi Gunung Slamet yang diwakili mata air panas Guci dan Baturraden menjadi menarik untuk diteliti. Sehingga penelitian kali ini bertujuan untuk (1) mengetahui tipe dan karakteristik fluida manifestasi di sekitar Gunung Slamet, (2) mengetahui genesis serta sistem panas bumi

(2)

390 yang menghasilkan mata air panas di sekitar

Gunung Slamet terutama kawasan

Bantarkawung.

II.

KONDISI

GEOLOGI

REGIONAL

Secara umum, terdapat dua sumber erupsi di Gunung Slamet, yaitu Slamet Tua dan Slamet Muda (Sutawidjajadkk, 1985).Pusat erupsi Slamet Tua berada di sebelah barat, diperkirakan terletak di sekitar puncak Cowet, sekitar 2,5 Km dari pusat erupsi Slamet Muda. Sedangkan pusat erupsi Slamet Muda berada di sebelah timur yaitu puncak Gunung Slamet dengan kubah lavanya (Sutawidjajadkk, 1985). Hal ini menunjukkan perkembangan aktivitas Gunung Slamet mengarah ke timur. Selain juga didukung oleh pembentukan kerucut-kerucut skoria yang berada di sebelah timur Gunung Slamet Muda

Hasil erupsi Gunung Slamet Tua terdiri dari aliran lava, piroklastik aliran dan endapan lahar dengan sifat endisitik (Sutawidjaja, 1985). Secara umum periode aliran lava lebih dominan dengan 4 periode erupsi, sedangkan periode eksplosif hanya terjadi satu kali. Hal ini menunjukkan bahwa erupsi slamet tua relatif lebih efusif. Sedangkan erupsi muda menghasilkan aliran lava, endapan priklastik jatuhan, piroklastik aliran, aliran lava samping, dan endapan kerucut skoria (Sutawidjajadkk, 1985). Pergantian periode eksplosif-efusif lebih merata menghasilkan kerucut vulkanik masa kini. Batuan yang dihasilkan oleh erupsi Gunung Slamet Tua umumnya bersifat andesitik, sedangkan batuan hasil erupsi Gunung Slamet Muda bersifat andesitik hingga basaltik.

Sedangkan batuan yang menjadi basement Gunung Slamet ialah batuan sedimen

berumur Tersier (Kastowo, 1975),

diantaranya Formasi Pemali, Rambatan, Lawak, Halang, Kumbang, Tapak dan Kalibiuk(Gambar 1). Namun berdasarkan

Peta Geologi Regional skala 1:100.000 yang disusun oleh Kastowo (1975), Formasi Halang, Rambatan dan Tapak merupakan formasi yang kemungkinan besar dilalui oleh aliran lateral fluida panas bumi Gunung

Slamet yang mengarah ke barat

(Paguyangan dan Bantarkawung).

Formasi Rambatan (Tmr), terdiri dari batupasir gampingan dan konglomerat yang berselingan dengan beberapa lapisan tipis napal dan serpih di bagian bawah formasi ini. Sedangkan di bagian atas, formasi ini terdiri dari batupasir gampingan berwarna abu-abu muda sampai biru keabu-abuan, tebal lapisan ini sekitar 300 meter. Formasi ini berumur Miosen Bawah (Van Bemmelen, 1949) dan menindih Formasi Pemali secara selaras.

Formasi Halang terdiri dari batuan sedimen jenis turbidit dengan struktur sedimen seperti perlapisan, laminasi convolute, flutecast, dan sebagainya yang tampak jelas.

Pada beberapa lokasi ditemukan

batugamping karang di bagian atas dari formasi ini yang merupakan anggota limestone(Tmhl). Formasi ini terbentuk pada Miosen Tengah (Van Bemmelen, 1949) dengan tebal diperkirakan mencapai 2.400 meter.

Sedangkan Formasi Tapak tersusun oleh batupasir kasar kehijauan bergradasi menjadi batupasir kehijauan di bagian atas dengan beberapa sisipan napal pasiran berwarna abu-abu sampai kekuningan. Pada bagian atas terdapat batugamping karang sebagai anggota Formasi Tapak (Tptl). Formasi ini berumur Pliosen dengan tebal maksimum 500 meter.

III.

SAMPEL

DAN

METODE

PENELITIAN

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel air, dengan pengambilan sampel air dilakukan berdasarkan prosedur menurut Nicholson (1993). Persebaran

(3)

391 sampel air yang diambil didasarkan pada

keberadaan mata air yang ada di lokasi penelitian. Ada dua jenis mata air yang diambil, yaitu mata air panas dan mata air dingin. Jumlah titik pengambilan sampel dari mata air panas disesuaikan dengan keterdapatan di daerah penelitian. Sedangkan untuk titik pengamatan mata air dingin disesuaikan dengan keterdapatan mataair, sungai, serta sumur masyarakat. Sampel mata air panas diambil dari kawasan wisata Guci, Baturraden, Paguyangan, dan CipanasBuaran; serta mata air panas Karangpari dan Sungai Cilakar. Sedangkan sampel air dingin diambil dari kawasan Guci, Baturraden, dan sekitar Kecamatan Bantarkawung.

Sampel diambil dengan cara disaring menggunakan filter berukuran pori 0,45µm (Nicholson, 1993). Sampel air dari tiap titik pengambilan sampel kemudian dibagi ke dalam dua wadah yang berbeda dengan perlakuan yang berbeda pula.

Sampel air untuk analisis kation dan anion

mayor menggunakan metode Ion

Chromatography seperti Na, K, Ca, SO4, Cl,

dsb., ditempatkan pada botol plastic HDPE dengan volume 100 ml. Sampel air diusahakan tidak mengalami kontak dengan udara bebas terlalu lama untuk menghindari reaksi dengan udara. Hal ini dilakukan agar error pada saat analisis laboratorium bisa diminimalisir.

Sedangkan untuk sampel air yang akan digunakan untuk analisis SiO2 dan ion jejak seperti Rb, Cs, As, dsb. menggunakan metode ICP-AES, dilakukan pengasaman menggunakan asam HNO3 sebanyak 2 mL. Proses analisis data geokimia dilakukan dengan 3 metode, yaitu titrasi, ion chromatography, dan ICP-AES. Metode titrasi digunakan untuk mengetahui konsentrasi HCO3 dalam sampel air panas,

ion chromatography digunakan untuk

mengukur konsentrasi ion mayor, sedangkan

ICP-AES digunakan untuk mengukur

konsentrasi ion jejak.

Hasil analisis laboratorium tersebut kemudian dihitung erroranalysisatau

ionicbalanceyang menandakan

kesetimbangan konsentrasi antara ion positif dan negatif dalam larutan (sampel). Hasil positif menunjukkan konsentrasi kation lebih tinggi, sedangkan hasil negatif menunjukkan anion lebih dominan. Hasil yang mendekati 0 berarti kesetimbangan kation dan anion telah tercapai. Analisis

ionicbalancedari data yang dihasilkan

dengan persamaan:

  

%

100 ΣAnion + ΣKation ΣAnion ΣKation = Error

Setelah data hasil analisis laboratorium dianggap valid, maka analisis selanjutnya dapat dilakukan. Pertama, analisis jenis panas bumi dilakukan dengan menggunakan rasio komposisi Cl-SO4-HCO3. Rasio dari ketiga komponen fluida panas bumi tersebut dinormalisasi, kemudian diplot pada diagram segitiga menurut Nicholson (1993). Kemudian dilakukan plottingpada diagram Na-K-Mg menurut Giggenbach (1991).

Plotting pada diagram Na-K-Mg ini

dilakukan untuk mengestimasi kematangan (equilibrium) dari fluida manifestasi. Hal ini dilakukan untuk membantu menentukan fluida mana yang baik untuk analisis geotermometri larutan.

Selanjutnya dilakukan analisis untuk menginterpretasi origin dari fluida panas bumi dengan menggunakan analisis diagram Cl-B-Li menurut Giggenbach (1991). Analisis sangat penting untuk mengetahui asal dari fluida pada sistem yang sedang diteliti. Selain menggunakan diagram Cl-B-Li, diagram Cl-F-B menurut O’ Brien (2010)

juga digunakan untuk melihat

kecenderungan sistem panas bumi yang sama.

(4)

392 Langkah selanjutnya dilakukan analisis

geotermometri. Analisis geotermometri dilakukan untuk memperkirakan suhu fluida panas bumi di dalam reservoar. Analisis ini didasarkan pada jenis fluida menurut klasifikasi diatas serta pemilihan sampel dilakukan dengan dasar hasil analisis rasio Na-K-Mg sebelumnya.

Perhitungan geotermometri juga dilakukan menggunakan fluida yang berada pada

partiallyequilibrated menggunakan

beberapa metode geotermometri ion Na/K

dan Na-K-Mg. Pemilihan metode

geotermometri ini didasarkan pada karakteristik fluida manifestasi sehingga diharapkan dapat memberikan hasil yang memuaskan.

IV.

DATA DAN ANALISIS

Hasil analisis ion chromatography menunjukkan bahwa konsentrasi Cl dalam sampel air panas lebih tinggi dibanding sampel air dingin, hal ini menunjukkan adanya pengayaan klorida pada fluida panas bumi akibat reaksi pada suhu tinggi di reservoir. Hal serupa juga ditunjukkan pada

konsentrasi ion Br dan Li yang

menunjukkan ketiga ion tersebut berkaitan erat dengan fluida panas bumi. Sedangkan unsur lain seperti Na, K, Mg dan Ca yang

termasuk unsur indikator memiliki

konsentrasi yang bervariasi dikarenakan unsur-unsur tersebut kesetimbangannya sangat bergantung pada suhu (Nicholson, 1993). Data konsentrasi ion berdasarkan analisis ion chromatography dapat dilihat pada Tabel 1 untuk mata air panas dan Tabel 2 untuk mata air dingin, sungai dan air tanah. Hasil analisis titrasi menunjukkan bahwa konsentrasi HCO3 pada sampel air dingin umumnya cukup tinggi, terutama pada sampel air tanah yang konsentrasinya mencapai 400 mg/L. Sedangkan pada sampel air sungai dan mata air dingin, konsentrasinya bervariasi antara 70 mg/L hingga mendekati 200 mg/L. Konsentrasi

terendah ada pada sampel air hujan dengan konsentrasi HCO3 hanya 2,24 mg/L. Sedangkan pada sampel mata air panas, konsentrasi HCO3 juga bervariasi.

Pada analisis ICP-AES, konsentrasi ion antara sampel air panas dan air dingin

menunjukkan adanya perbedaan pada

beberapa unsur. Perbedaan yang cukup terlihat ada pada konsentrasi SiO2 dan B, konsentrasi yang tinggi pada sampel air panas menunjukkan adanya pengayaan kedua unsur tersebut. Sedangkan unsur lain seperti Rb, Mn dan Sr terlihat adanya pengayaan pada beberapa sampel air panas. Pada perhitungan ionicbalance terlihat bahwa angka ionicbalance berkisar antara +1,7 hingga -2,5. Angka tersebut sudah dianggap baik dan menandakan ion-ion di sampel air dalam kondisi yang seimbang, sehingga bisa digunakan untuk analisis lanjutan menggunakan konsentrasi ion-ion. Namun anomali terjadi pada sampel air hujan (RCB) yang diambil di Bantarkawung.

Sampel tersebut memiliki angka

ionicbalance -12,4 yang menandakan anion jauh lebih dominan dibanding kation dan dalam kondisi yang belum setimbang.

V.

DISKUSI

Berdasarkan hasil plotting pada diagram segitiga SO4-Cl-HCO3 untuk penentuan tipe fluida menurut Giggenbach (1991) pada Gambar 2, terlihat bahwa terdapat 4 tipe air berdasarkan rasio konsentrasi HCO3, Cl dan SO4. Sampel dari mata air panas

Paguyangan dan Karangpari

(Bantarkawung) masuk ke dalam tipe air klorida, meski air manifestasi pada mata air

panas Karangpari telah mengalami

pencampuran dengan air permukaan. Hal ini ditunjukkan dengan pergeseran posisi plotting yang mengarah pada pengayaan HCO3 akibat kontribusi ion tersebut dari air permukaan. Sedangkan sampel lain dari Bantarkawung yaitu mata air panas

(5)

393 menunjukkan pencampuran dengan air

permukaan yang lebih signifikan, sehingga dikategorikan sebagai tipe air dilutecholride (bicarbonate) (Nicholson, 1993). Sampel air panas yang berasal dari kawasan Wisata Guci (Pancuran 13 dan Pengasihan) menunjukkan tipe air bikarbonat dengan konsentrasi HCO3 yang paling dominan. Berdasarkan posisi geografis dan kandungan geokimianya, fluida pada manifestasi ini diinterpretasi terbentuk dari hasil kondensasi gas magmatik kaya CO2 yang bereaksi dengan air permukaan (Giggenbach, 1991; Nicholson, 1993 dan Mnjokava, 2007). Sedangkan air manifestasi dari mata air panas Baturraden (Pancuran 3 dan Pancuran 7) berada pada tengah diagram segitiga yang menunjukkan rasio konsentrasi antara HCO3, Cl dan SO4relatif berimbang. Penulis memperkirakan bahwa tipe air pada lokasi ini adalah tipe sulphate-chloride (Nicholson, 1993) yang bercampur dengan air pemukaan yang kaya akan HCO3. Hal ini didasarkan pada komposisi Na, K, Mg dan Ca yang cukup tinggi yang diinterpretasi sebagai hasil alterasi batuan dinding oleh fluida sulfat yang relatif asam di kedalaman tertentu (Nicholson, 1993). Tipe chloride-sulfate sendiri menurut Nicholson (1993) dapat terbentuk dari interaksi antara air klorida dan air sulfat di bawah permukaan. Berdasarkan hasil plotting pada diagram segitiga Li-B-Cl (Gambar 4) menurut Gigganbach (1991) untuk menentukan sistem panas bumi yang berbeda, tampak adanya dua kelompok yang dapat dipisahkan. Kelompok pertama ialah mata air panas

kawasan Guci, CipanasBuaran dan

Karangpari. Kelompok ini dicirikan oleh komposisi B yang cukup tinggi sehingga nilai B/Cl tinggi. Kelompok kedua ialah mata air panas kawasan Baturraden Sungai Cilakar dan Paguyangan yang memiliki rasio B/Cl yang rendah. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh diagram segitiga F-B-Cl menurut O’Brien (2010) (Gambar 3). Pada diagram ini juga terlihat bahwa secara

umum manifestasi-manifestasi di sekitar

Gunung Slamet dapat dikelompokkan

menjadi 2 yang dipengaruhi oleh komposisi Boron. Meski begitu, jika menilik pada grafik Rb vs Cl, Li vs Cl dan Cs vs Cl, yang mana ketiga ion tersebut (Rb, Li dan Cs) merupakan ion-ion yang bersifat mobile dan dapat digunakan sebagai tracer atau jejak untuk menentukan origin fluida panas bumi (Giggenbach, 1991), terlihat bahwa mata air panas Karangpari dan CipanasBuaran yang kaya akan Boron justru berada pada garis

trend yang sama dengan kelompok

Baturraden-Paguyangan-SungaiCilakar (Gambar 5). Hal ini mengarah pada interpretasi bahwa mata air panas Karangpari merupakan bagian dari sistem panasbumiBaturraden yang memiliki rasio B/Cl rendah namun telah mengalami pengayaan Boron oleh proses tertentu. Sedangkan mata air panas CipanasBuaran, pada grafik Rb vs Cl, Li vs Cl dan Cs vs Cl berada sangat dekat dengan posisi air

permukaan (meteorik), dimungkinkan

merupakan hasil interaksi fluida panas bumi yang berasal dari sistem Baturraden dan Guci.

Perbedaan rasio B/Cl antara sistem Baturraden dan Guci diinterpretasi sebagai perbedaan “usia” sistem. Sistem panas bumi yang dianggap “lebih tua” umumnya memiliki rasio B/Cl yang lebih rendah (Giggenbach, 1991 dan Mnjokava, 2007) hal ini disebabkan ion Boron yang cenderung dikeluarkan pada saat awal tahap pemanasan selain juga unsur As, Hg dan Sb (Giggenbach, 1991). Hal ini didukung oleh posisi geografis dua kompleks manifestasi tersebut dan perkembangan erupsi Gunung Slamet yang mengarah ke timur laut. Kompleks Guci yang terletak di sisi utara Gunung Slamet diperkirakan dihasilkan dari sistem yang lebih muda yang berkaitan erat dengan pusat erupsi Gunung Slamet masa kini, dengan magma yang masih mengalami exhalingatau pelepasan gas magmatik. Sedangkan kompleks Baturraden yang

(6)

394 berada di selatan, diperkirakan dihasilkan

dari panas magma yang mulai membeku sehingga tidak terjadi exhaling.

Selain untuk menunjukkan sumber fluida panas bumi, grafik Rb vs Cl juga digunakan untuk mengetahui tingkat pencampuran fluida panas bumi dengan fluida meteorik. Seperti yang dilakukan Graham (1992) yaitu dengan membuat grafik Rb vs Cl untuk menentukan persentase mixing pada fluida panas bumi di Lapangan Rotorua, Selandia Baru. Namun untuk menentukan persentase perlu digunakan fluida primer dengan ciri kaya akan alkali, Ca dan Sr namun miskin sulfat dan bikarbonat. Namun di daerah penelitian tidak ditemukan fluida dengan ciri tersebut, sehingga digunakan rasio Na/K serta konsentrasi Cl (Gambar 6) untuk menentukan manifestasi yang berada paling dekat dengan upflow dan arah pergerakan lateral fluida panas bumi (Nicholson, 1993). Dari grafik Na/K vs Cl dan Rb vs Cl terlihat bahwa kompleks Guci dan Baturraden berada dekat dengan upflowutama, ditandai dengan nilai Na/K yang rendah, sedangkan mata air panas lainnya berada lebih jauh atau di daerah tepi dari sistem panas bumi. Selain itu terlihat pula bahwa mata air panas CipanasBuaran berada di pertemuan trend sistem Baturraden dan Guci, menunjukkan bahwa mata air panas CipanasBuaran kemungkinan disuplai oleh kedua sistem tersebut yang juga dicirikan oleh pengayaan Borondari sistem Guci yang tinggi rasio B/Cl. Sedangkan mata air panas Paguyangan dan mata air panas lain di Bantarkawung masuk dalam sistem Baturraden yang telah mengalami mixing selama pergerakan lateral. Pengayaan Boron yang terjadi pada mata air panas Karangpari diperkirakan berkaitan erat dengan komposisi batuan sedimen yang dilewati, yakni Formasi Rambatan dan Formasi Halang. Menurut Kastowo (1975) pada Formasi Rambatan terdapat batupasir gampingan serta lapisan tipis napal dan serpih, sedangkan pada Formasi Halang juga

terdapat lapisan batugamping. Hal ini berkaitan dengan pernyataan Nicholson (1993) bahwa lapisan batuan sedimen dapat mempengaruhi konsentrasi Boron pada fluida panas bumi dan umumnya air yang berasosiasi dengan sedimen yang kaya organik akan memiliki konsentrasi Boron yang tinggi. Sehingga pengayaan Boron pada fluida manifestasi di mata air panas Karangpari diinterpretasi sebagai hasil interaksi air panas bumi dengan batuan sedimen kaya organik yang dilewatinya. Proses pengayaan Boron pada mata air panas Karangpari, selain disebabkan faktor batuan sedimen kaya organik, diperkirakan juga disebabkan adanya berbagai intrusi yang ada di Zona Bogor. Panas yang berasal dari intrusi ini akan meningkatkan proses pertukaran ion antara fluida-batuan seperti yang terjadi di reservoir panas bumi.

Perhitungan geotermometri juga dilakukan dari sampel-sampel air yang telah diambil. Berdasarkan perhitungan geotermometri

metode Na/K yang diajukan oleh

Giggenbach (1998), temperatur reservoir di bawah manifestasi Baturraden ialah sekitar 292˚-296˚C, di Guci sekitar 331˚-382˚C,

Bantarkawung sekitar 78˚-88˚C dan

Paguyangan 116˚C (lihat Tabel 3). Namun dikarenakan hanya fluida manifestasi yang berasal dari Paguyangan dan Karangpari (Bantarkawung) berdasarkan rasio HCO3

-Cl-SO4, maka hasil perhitungan

geotermometri dari dua mata air panas tersebut lebih dapat dipercaya. Hasil perhitungan metode Na-K-Mg menurut Giggenbach (1998) juga menunjukkan temperatur yang hampir sama(Gambar 7).

VI.

KESIMPULAN

Berdasarkan komposisi kimianya, fluida-fluida manifestasi di sekitar Gunung Slamet dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu: (1) mata air panas Karangpari (Bantarkawung) dan Paguyanganmerupakan tipe air klorida, (2) kompleks Guci diklasifikasikan sebagai tipe

(7)

395

air bikarbonat, (3) kompleks

Baturradentermasuk tipe air sulfat-klorida, yang telah tercampur air permukaan dan (4) mata air panas Sungai Cilakar dan CipanasBuaran (Bantarkawung) merupakan

tipe dilutechloride-(bicarbonate).

Berdasarkan analisis sumber fluida panas bumi menggunakan metode rasio B/Cl, diagram segitiga B-F-Cl dan B-Cl-Li serta dibandingkan dengan rasio unsur jejak Rb/Cl, Cs/Cl dan Li/Cl terdapat dua sumber yang berbeda yakni dari sistem Baturraden yang memiliki rasio B/Cl rendah dan sistem Guci dengan rasio B/Cl tinggi. Di daerah Bantarkawung sendiri, mata air panas Karangpari dan Sungai Cilakar diduga

berasal dari sistem Baturraden, sedangkan mata air panas CipanasBuaran diperkirakan mendapat suplai dari kedua sistem. Dan hasil perhitungan geotermometri metode Na/K (Gigganbach,1988) dari kompleks Guci ialah 331-382˚C, Baturraden

292-296˚C, Bantarkawung 78-88˚C dan

Paguyangan 116˚C

VII.

ACKNOWLEDGEMENT

Ucapan terima kasih ditujukan kepada Prof. KoichiroWatanabe, Prof. RyuichiItoi, Dr. KotaroYonezu (Kyushu University, Jepang) dan Prof. SachihiroTaguchi (Fukuoka University, Jepang) atas kesempatan studi dan analisis laboratorium yang diberikan.

DAFTAR PUSTAKA

Djuri, M., Samodra, H., Amin, T.C. dan Gafoer, S., 1996. Peta Geologi Lembar Purwokerto dan Tegal, Jawa. Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi

Giggenbach, W.F., 1991. Chemical TechniquesinGeothermal Exploration.in: Application of GeochemistryinGeothermal Reservoir Development, UNITAR/UNDP Centre on Small Energy Resources, p. 119-144

Giggenbach, W.F., 1988. Geothermalsoluteequilibria. Derivation of Na-K-Mg-Cageoindicators. GeochemicaetCosmochimicaActa Vol. 52, p. 2749-2765

Graham, I.J., 1992. Strontium IsotopeComposition of RotoruaGeothermalWaters. Geothermics Vol 21, p. 165-180

Kastowo. 1975. Peta Geologi Lembar Majenang, Jawa. Bandung: Direktorat Geologi, Departemen Pertambangan Republik Indonesia

Mnjokava, T.T., 2007, Interpretation of Exploration Geochemical Data for Geothermal Fluids from the Geothermal Field of the Rungwe Volcanic Area, Sw-Tanzania:UnitedNationsUniversity (UNU) Reports 2007, p. 303-332

Nicholson, K., 1993. GeothermalFluidsChemistryand Exploration Techniques. New York: Springer-Verlag

O,Brien, J.M., 2010. HydrogeochemicalCharacteristics of theNgatamarikiGeothermalFieldand a ComparisonwiththeOrakeiKorakoThermal Area, TaupoVolcanic Zone, New Zealand. Tesis Master pada Geological Sciences, University of Canterbury, Selandia Baru: Tidak diterbitkan Sutawidjaja, I.S., Aswin, D., dan Sitorus, K., 1985. Peta Geologi Gunungapi Slamet, Jawa Tengah.

Bandung: Direktorat Vulkanologi, VulcanologicalSurvey of Indonesia

Van Bemmelen, R.W., 1949. The Geology of Indonesia: General Geology of Indonesia andAdjacentArchipelagoes, the East Indies, Inclusive of the British Part of Borneo, theMalayPeninsula, the Philippine Islands, Eastern New Guinea, Christmas Island, andthe Andaman andNicobarIslands. The Hague: Government Printing Office

(8)

396

TABEL

Tabel 1. Data geokimia mata air panas

Kode Sampel HCP HCKN HCKS HK HP7 HP3 HP13 HPN HPG Lokasi Cip an asBu ara n (Ba n tark awu n g ) S u n g ai Cil ak ar (Ba n tark awu n g ) S u n g ai Cil ak ar (Ba n tark awu n g ) Ka ra n g p ari (Ba n tark awu n g ) P an cu ra n 7 (Ba tu rra d en ) P an cu ra n 3 (Ba tu rra d en ) P an cu ra n 1 3 (Gu ci) P en g asih an (Gu ci) P ag u y an g an F 1,16 0,41 0,43 1,12 0,15 0,16 0,14 0,21 0,53 Cl 43,70 113,00 120,00 105,00 754,00 724,00 17,30 44,20 414,00 Br 0,22 0,38 0,44 0,47 1,89 1,83 - - 0,98 SO4 3,59 2,39 1,20 8,48 609,00 600,00 32,50 89,00 8,51 Li 0,01 0,01 0,01 0,01 0,67 0,58 0,02 0,06 0,16 Na 50,90 89,00 94,90 86,20 389,00 377,00 57,30 129,00 193,00 K 0,32 0,56 0,59 0,69 76,00 76,70 24,35 36,30 2,92 Mg 0,04 2,48 1,86 0,05 185,00 185,00 29,80 46,10 0,23 Ca 2,18 25,98 24,40 3,69 193,50 196,50 28,90 40,10 63,4 HCO3 54,90 140,3 132,20 56,90 687,30 695,40 345,70 549,00 20,30 Si 17,90 19,81 20,64 24,17 79,07 76,55 56,72 63,03 26,96 As 0,01 0,00 0,01 0,00 0,02 0,02 0,01 0,02 0,00 Rb 0,13 0,14 0,15 0,12 1,30 1,27 0,39 0,46 0,20 Cs 0,60 0,29 0,56 0,39 - - 0,30 - 0,29 B 3,37 1,48 1,64 7,40 4,40 3,97 2,84 6,87 3,72 Fe 0,01 0,02 0,02 0,01 0,09 0,11 0,03 0,26 0,02 Mn 0,00 0,04 0,01 0,00 0,23 0,28 0,00 0,30 0,00 Al 0,08 0,04 0,04 0,06 0,03 0,02 0,04 0,04 0,04 Sr 0,01 0,12 0,09 0,03 1,42 1,27 0,09 0,16 1,04 IonicBalance 1,74 -1,50 -0,70 -2,10 -1,50 -1,00 0,60 0,70 -2,1

(9)

397

Tabel 2. Data geokimia mata air dingin, sungai dan air tanah

Kode Sampel CKRW UCCK RCB WKP WTJ CSWD CSCL CSPG ATG CSCD

Lokasi Bantarkawung Guci Baturraden

F 0,30 0,17 0,06 0,23 0,28 0,19 0,26 0,26 0,20 0,12 Cl 5,07 5,36 1,39 31,8 28,3 25,26 3,96 1,20 3,31 13,36 Br - - - - SO4 28,6 21,24 5,95 60,2 40,6 25,32 11,23 6,16 20,72 14,68 Li - - - 0,01 Na 11,56 12,88 0,62 32,4 31,6 14 7,96 27,52 10,02 12,48 K 0,92 1,15 0,30 16,81 3,90 7,96 0,69 0,26 4,30 4,29 Mg 6,90 7,53 0,30 15,95 14,13 15,8 5,31 9,11 7,05 7,07 Ca 57,04 49,84 1,37 107,1 102,2 51,28 53,8 24,4 14,42 10,53 HCO3 197,6 198,0 2,2 409,2 374,5 195,4 201,3 185,8 84,4 70,2 Si 8,34 9,75 - 14,11 14,23 16,51 11,54 43,74 25,52 22,45 As 0,00 0,00 0,00 0,00 0,01 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Rb 0,19 0,16 0,13 0,21 0,20 0,18 0,17 0,16 0,18 0,16 Cs - - 0,63 - - - - 0,65 0,62 0,62 B 0,34 0,41 0,28 0,42 0,40 0,30 0,35 0,33 0,48 0,37 Fe 0,02 0,02 0,03 0,02 0,02 0,05 0,06 0,03 0,05 0,02 Mn 0,01 0,00 0,02 0,46 0,11 0,07 0,00 0,01 0,01 0,00 Al 0,05 0,04 0,06 0,03 0,03 0,07 0,09 0,06 0,07 0,04 Sr 0,32 0,25 0,01 0,74 0,81 0,37 0,45 0,16 0,06 0,05 IonicBalance -1,0 -2,5 -12,4 -2,4 -2,4 -1,6 -2,5 -1,6 -1,8 -2,3

Tabel 3. Data hasil perhitungan geotermometri metode Na/K KodeSampel Konsentrasi Na (mg/L) Konsentrasi K (mg/L) Geotermometri (Giggenbach, 1988)(˚C) HCP 50,9 0,32 79 HCKN 89 0,56 79 HCKS 94,9 0,59 78 HK 86,2 0,69 88 HP7 389 76 292 HP3 377 76,7 296 HP13 57,3 24,35 382 HPN 129 36,3 331 HPG 193 2,92 116

(10)

398

GAMBAR

Gambar 1. Peta geologi regional Gunung Slamet dan sekitarnya (dimodifikasi dari Kastowo, 1975;

Djuridkk, 1996 dan Sutawidjajadkk, 1985)

Gambar 2. Diagram segitiga HCO3-Cl-SO4 menurut Giggenbach (1991) untuk penentuan tipe dan kematangan fluida

(11)

399

Gambar 3. Diagram segitiga F-B-Cl menurut O’Brien (2010) untuk penentuan sumber fluida panas

bumi

Gambar 4. Diagram segitiga Li-B-Cl menurut Giggenbach (1991) untuk penentuan sumber fluida

(12)

400

Gambar 5. Grafik B vs Cl, Rb vs Cl, Li vs Cl dan Cs vs Cl untuk mengetahui sumber fluida panas

bumi

Gambar 6. Grafik Na/K vs Cl untuk menentukan jarak relatif manifestasi terhadap zona upflow

Gambar 7. Diagram segitiga Na-K-Mg (Giggenbach, 1988) untuk mengestimasi suhu reservoir panas

Gambar

Tabel 1. Data geokimia mata air panas
Tabel 2. Data geokimia mata air dingin, sungai dan air tanah
Gambar  1.  Peta  geologi  regional  Gunung  Slamet  dan  sekitarnya  (dimodifikasi  dari  Kastowo,  1975;
Gambar 3. Diagram segitiga F-B-Cl menurut O’Brien (2010) untuk penentuan sumber fluida panas  bumi
+2

Referensi

Dokumen terkait

Both iron nails that are coiled with different metal strips are placed into separate

penelitian ini untuk Pengembangan alat pelontar bola tenis lapangan berbasis microcontroller ini, peneliti menyadari masih ada kekurangan pada penelitian dan

Untuk suatu penggunaan lahan tertentu maka harus dilakukan pembandingan antara kesesuaian lahan dengan persyaratan tingkat kesesuaian lahan untuk tanaman yang akan

Hal ini konsiten dengan penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh Situngkir (2009) yang menyatakan bahwa dana alokasi khusus memiliki pengaruh terhadap

Setiap hari bedengan disirami air, dan setelah mencapai stadium kepelan, bibit segera dipindahkan ke media tanah yang sudah dimasukkan dalam polibeg.. Setelah polibeg diisi

b. Informasi rahasia yang diperlukan dalam penelitian, konselor menjaga kerahasiaan setiap rekaman data konseli dengan sebaik-baiknya jika penelitian yang akan

untuk tujuan bukan komersial (nonprofit), dengan syarat tidak menghapus atau merubah atribut penulis dan pernyataan copyright yang disertakan dalam setiap

Menurut Fogarty (1991) kelebihan dari model pembelajaran tematik adalah ; (1) factor motivasi, karena adanya pemilihan tema yang didasarkan pada minat siswa, (2) penulisan