• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

8 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Diabetes Mellitus 1. Definisi.

Merupakan salah satu kelompok penyakit metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia karena gangguan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Keadaan hiperglikemia kronis dari diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, gangguan fungsi dan kegagalan berbagai organ, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah. (American Diabetes Association (ADA), 2012).

Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. (PERKENI, 2015).

2. Etiologi.

a. Diabetes Melitus Tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus/IDDM. DM tipe 1 terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas karena sebab autoimun. Pada DM tipe ini terdapat sedikit atau tidak sama sekali sekresi insulin dapat ditentukan dengan level protein c-peptida yang jumlahnya sedikit atau tidak terdeteksi sama sekali. Manifestasi klinik pertama dari penyakit ini adalah ketoasidosis.

(2)

9

b. Diabetes Melitus Tipe 2 atau Insulin Non-dependent Diabetes Mellitus/NIDDM. Pada penderita DM tipe ini terjadi hiperinsulinemia tetapi insulin tidak bisa membawa glukosa masuk ke dalam jaringan karena terjadi resistensi insulin yang merupakan turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Oleh karena terjadinya resistensi insulin (reseptor insulin sudah tidak aktif karena dianggap kadarnya masih tinggi dalam darah) akan mengakibatkan defisiensi relatif insulin.

American Diabetes Association 2010 (ADA 2010)

3. Faktor risiko.

a. Riwayat keturunan dengan diabetes, misalnya pada DM tipe 1 diturunkan sebagai sifat heterogen, mutigenik. Kembar identic mempunyai resiko 25%-50%, sementara saudara kandung beresiko 6% dan anak beresiko 5%.

b. Lingkungan seperti virus (cytomegalovirus, mumps, rubella) yang dapat memicu terjadinya autoimun dan menghancurkan sel-sel beta pancreas, obat-obatan dan zat kimia seperti alloxan, streptozotocin, pentamidine.

c. Usia diatas 45 tahun.

d. Obesitas, berat badan lebih dari atau sama dengan 20% berat badan ideal. e. Etnik, banyak terjadi pada orang Amerika keturunan Afrika, Asia.

f. Hipertensi, tekanan darah lebih dari atau sama dengan 140/90 mmHg

g. HDL kolesterol lebih dari atau sama dengan 35 mg/dl, atau trigliserida lebih dari 250 mg/dl.

(3)

10 i. Kurang olahraga.

j. Wanita dengan policistik ovary. (Tarwoto, 2016)

4. Klasifikasi Diabetes Mellitus

Klasifikasi etiologis DM menurut (ADA 2016), dibagi dalam 4 jenis yaitu: a. Diabetes Melitus tipe 1/IDDM.

Terjadi destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut b. Diabetes Melitus tipe 2/NIDDM.

Pada penderita DM tipe ini terjadi resistensi insulin (reseptor insulin sudah tidak aktif karena dianggap kadarnya masih tinggi dalam darah) akan mengakibatkan defisiensi relatif insulin.

c. Diabetes Melitus Gestasional.

DM tipe ini terjadi selama masa kehamilan, biasanya pada trimester kedua dan ketiga.

d. Diabetes Melitus tipe lain

DM tipe ini terjadi karena etiologi lain, misalnya pada defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, penyakit metabolik endokrin lain, iatrogenik, infeksi virus, penyakit autoimun dan kelainan genetik lain.

5. Kriteria diagnostik Diabetes Mellitus.

Uji diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala dan tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai risiko DM. Serangkaian uji diagnostik akan

(4)

11

dilakukan pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif untuk memastikan diagnosis definitif. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO).

Menurut ADA (2016), kriteria diagnostik untuk DM sebagai berikut :

a. Kadar glukosa darah puasa plasma vena ≥ 126 mg/dl (≥ 7,0 mmol/L), atau b. Kadar glukosa darah dua jam pascaprandial ≥ 11,1 mmol/L (200 mg/dL) selama

tes toleransi glukosa oral, atau

c. Pemeriksaan HbA1c > 6,5% dengan menggunakan metode High-Performance Liquid Chromatography (HPLC) yang terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP), atau

d. Gejala diabetes disertai kadar glukosa darah random ≥ 11,1 mmol/L (200 mg/dL). 6. Manifestasi klinis.

a. Poliuria (sering BAK).

Air tidak diserap kembali oleh tubulus ginjal sekunder untuk aktifitas osmotic glukosa, mengarah kepada kehilangan air, glukosa dan elektrolit.

b. Polidipsi (haus berlebihan).

Dehidrasi sekunder terhadap polyuria menyebabkan haus c. Polifagi (lapar berlebihan).

Kelaparan sekunder terhadap katabolisme jaringan menyebabkan rasa lapar d. Penurunan berat badan.

(5)

12

Kehilangan awal sekunder terhadap penipisan simpanan air, glukosa, dan trigliserida, kehilangan kronis sekunder terhadap penurunan massa otot karena asam amino dialihkan untuk membentuk glukosa dan keton

e. Pandangan kabur berulang.

Sekunder terhadap paparan kronis retina dan lensa mata terhadap cairan hiperosmolar

f. Pruritus, infeksi kulit, vaginitis.

Infeksi jamur dan bakteri pada kulit terlihat lebih umum g. Ketonuria.

Ketika glukosa tidak dapat digunakan untuk energi oleh sel tergantung insulin, asam lemak digunakan untuk energi. Asam lemak dipecah menjadi keton dalam darah dan diekskresikan oleh ginjal; pada DM tipe 2, insulin cukup untuk menekan berlebihan penggunaan asam lemak tapi tidak cukup untuk penggunaan glukosa

h. Lemah dan letih, pusing.

Penurunan isi plasma mengarah pada postural hipertensi, kehilangan kalium dan katabolisme protein berkontribusi terhadap kelemahan.

i. Sering asimptomatik

Tubuh dapat “beradaptasi” terhadap peningkatan pelan-pelan kadar glukosa darah sampai tingkat lebih besar dibandingkan peningkatan yang cepat.

(6)

13 7. Patofisiologi Diabetes Mellitus.

DM merupakan kumpulan gejala yang kronik dan bersifat sistemik dengan karakteristik peningkatan gula darah/glukosa atau hiperglikemia yang disebabkan menurunnya sekresi atau aktivitas dari insulin sehingga mengakibatkan terhambatnya metabolisme kabohidrat, protein dan lemak.

Glukosa secara normal bersirkulasi dalam jumlah tertentu dalam darah dan sangat dibutuhkan untuk kebutuhan sel dan jaringan. Glukosa dibentuk di hati dari makanan yang dikonsumsi. Makanan yang masuk sebagian digunakan untuk kebutuhan energi dan sebagian disimpan dalam bentuk glikogen dihati dan jaringan lainnya dengan bantuan insulin. Insulin merupakan hormon yang diproduksi oleh sel beta pulau Langerhans pankreas yang kemudian produksinya masuk kedalam darah dengan jumlah sedikit kemudian meningkat jika terdapat makanan yang masuk. Pada orang dewasa, rata-rata diproduksi 40-50 unit, untuk mempertahankan gula darah tetap stabil antara 70-120 mg/dl.

Insulin disekresi oleh sel beta, satu diantara empat sel pulau Langerhans pankreas. Insulin hormon anabolic, hormon yang dapat membantu memindahkan glukosa dari darah ke otot, hati dan sel lemak. Pada diabetes terjadi berkurangnya insulin atau tidak adanya insulin berakibat pada gangguan tiga metabolism yaitu menurunnya penggunaan glukosa, meningkatnya mobilisasi lemak dan meningkatnya penggunaan protein.

(7)

14

Pada DM tipe 2 masalah utama adalah berhubungan resistensi insulin gangguan sekresi insulin. Resistensi insulin menunjukkan penurunan sensitifitas jaringan pada insulin. Normalnya insulin mengikat reseptor khusus pada permukaan khusus pada permukaan sel dan mengawali rangkaian meliputi metabolism glukosa. Pada DM tipe 2, reaksi intraseluler dikurangi, sehingga menyebabkan efektivitas insulin menurun dalam menstimulasi penyerapan glukosa oleh jaringan dan pada pengaturan pembebasan oleh hati. Mekanisme pasti yang menjadi penyebab utama resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada DM tipe 2 tidak diketahui, meskipun faktor genetik berperan utama.

Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah penumpukkan glukosa dalam darah, peningkatan sejumlah insulin harus disekresi dalam mengatur kadar glukosa darah dalam batas normal atau sedikit lebih tinggi kadarnya. Namun, jika sel beta tidak dapat menjaga dengan meningkatkan kebutuhan insulin, mengakibatkan kadar glukosa meningkat, dan DM tipe 2 berkembang. (Tarwoto, 2016)

(8)

15

Skema 2.1. Pathway DM

8. Pemerikaan penunjang.

a. Pemeriksaan Gula Darah Puasa.

Untuk menentukan jumlah glukosa darah pada saat puasa. Nilai normal 80-120 mg/100 ml serum

b. Pemeriksaan gula darah postprandrial.

Untuk menentukan gula darah setelah makan. Nilai normal 120 mg/100 ml serum c. Pemeriksaan toleransi glukosa oral.

(9)

16

Untuk menentukan toleransi terhadap respons pemberian glukosa. Normal puncaknya jam pertama setelah pemberian 140 mg/dl dan kembali normal 2 atau 3 jam kemudian

d. Pemeriksaan glukosa urine.

Adanya glukosuria menunjukkan bahwa ambang ginjal terhadap glukosa terganggu.

e. Pemeriksaan keton urin.

Badan keton merupakan produk sampingan proses pemecahan lemak, dan senyawa ini akan menumpuk pada darah dan urin. Adanya ketonuria menunjukkan adanya ketoasidosis.

f. Pemeriksaan kolesterol dan kadar trigliserida.

Dapat meningkat karena ketidakadekuatan kontrol glikemik. g. Pemeriksaan hemoglobin glikat (HbA1c).

Test ini mengukur prosentasi glukosa yang melekat pada hemoglobin. HbA1c digunakan umtuk mengkaji kontrol glukosa jangka panjang, sehingga dapat memprediksi resiko komplikasi.

9. Komplikasi Diabetes Mellitus.

Komplikasi diabetes terbagi 2 yaitu komplikasi akut dan kronik. a. Komplikasi akut.

Koma hiperglikemia (disebabkan kadar gula sangat tinggi biasanya terjadi pada NIDDM), Ketoasidosis atau keracunan zat keton (sebagai hasil metabolisme lemak dan protein terutama pada IDDM), dan Koma hipoglikemia (akibat hormon terapi insulin yang berlebihan atau tidak terkontrol)

(10)

17 b. Komplikasi kronik.

Mikroangiopati (kerusakan pada saraf-saraf perifer) pada organ-organ yang mempunyai pembuluh darah kecil seperti pada : Retinopati diabetika (kerusakan saraf retina sehingga mengakibatkan kebutaan), Neuropati diabetika (kerusakan saraf perifer mengakibatkan baal/gangguan sensoris pada organ tubuh), Nefropati diabetika (kelainan/kerusakan pada ginjal dapat mengakibatkan gagal ginjal).

Makroangiopati : kelainan pada jantung dan pembuluh darah seperti miokard infark maupun gangguan fungsi jantung karena arterisklerosis, penyakit vaskuler perifer, gangguan sistem pembuluh darah otak dan stroke, gangren diabetika, disfungsi erektil diabetika.

(Tarwoto, 2016) 10. Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup penyandang DM. Tujuan penatalaksanaan menurut PERKENI (2015) meliputi : Tujuan jangka pendek : menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut. Tujuan jangka panjang : mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati dan makroangiopati. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara komprehensif.

(11)

18

Evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama yaitu : riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, evaluasi laboratorium, penapisan komplikasi

b. Langkah-langkah penatalaksanaan khusus.

Penatalaksanaan DM dimulai dengan pola hidup sehat, dan bila perlu dilakukan intervensi farmakologis dengan obat antihiperglikemia secara oral dan/atau suntikan. penatalaksanaan khusus diantaranya : edukasi, terapi nutrisi medis (TNM), latihan jasmani kegiatan dan intervensi farmakologis terapi. Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.

B. Ulkus Gangren 1. Definisi.

Ulkus Gangren atau ulkus kaki diabetik adalah luka kronik pada daerah dibawah pergelangan kaki, yang meningkatkan morbiditas, mortalitas, dan mengurangi kualitas hidup pasien. (PERKENI, 2015).

2. Patofisiologi.

Terjadinya masalah kaki diawali adanya hiperglikemia pada penyandang DM yang menyebabkan kelainan neuropati dan kelainan pada pembuluh darah. Neuropati, baik neuropati sensorik maupun motorik dan autonomik akan mengakibatkan berbagai perubahan pada kulit dan otot, yang kemudian menyebabkan terjadinya perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki dan selanjutnya akan mempermudah terjadinya ulkus. Adanya kerentanan terhadap infeksi menyebabkan infeksi mudah merebak menjadi infeksi yang luas. Faktor aliran darah yang kurang juga akan lebih lanjut

(12)

19

menambah rumitnya pengelolaan kaki diabetes. (Waspadji, dalam Buku Ajar Penyakit Dalam, 2015).

Skema 2.2.

Patofisiologi ulkus gangren

3. Klasifikasi.

Klasifikasi ulkus kaki diabetik yang sering digunakan adalah menggunakan skala Wagner.

Tabel 2.1.

Klasifikasi ulkus diabetik skala Wagner

Grade 0 tidak ada lesi, kemungkinan deformitas kaki atau selulitis Grade 1 ulserasi superfisial

Grade 2 ulserasi dalam meliputi persendian, tendon atau tulang

Grade 3 ulserasi dalam dengan pembentukan abses, osteomyelitis, infeksi pada persendian

Grade 4 nekrotik terbatas pada kaki atau tumit Grade 5 nekrotik pada seluruh bagian kaki

(13)

20 4. Penatalaksanaan.

Penatalaksanaan ulkus diabetik harus dilakukan sesegera mungkin. Komponen penting dalam manajemen ulkus gangren adalah :

a. Kendali metabolic (metabolic control).

Pengendalian keadaan metabolic sebaik mungkin seperti pengendalian kadar glukosa darah, lipid, albumin, hemoglobin dan sebagainya.

b. Kendali vascular (vascular control).

Perbaikan asupan vascular (dengan operasi atau angioplasty), biasanya dibutuhkan pada keadaan ulkus iskemik.

c. Kendali infeksi (infection control).

Jika terlihat tanda-tanda klinis infeksi harus diberikan pengobatan infeksi secara agresif (adanya kolonisasi pertumbuhan organisme pada hasil usap namun tidak terdapat tanda klinis, bukan merupakan infeksi).

d. Kendali luka (wound control).

Pembuangan jaringan terinfeksi dan nekrosis secara teratur. Perawatan local pada luka, termasuk control infeksi, dengan konsep TIME : Tissue debridement (membersihkan luka dari jaringan mati), Inflammation and infection control (kontrol inflamasi dan infeksi), Moisture Balance (menjaga kelembaban), Epitheal edge advancement (mendekati tepi epitel)

e. Kendali tekanan (pressure control).

Mengurangi tekanan pada kaki, karena tekanan yang berulang dapat menyebabkan ulkus, sehingga harus dihindari. Mengurangi tekanan merupakan hal yang sangat

(14)

21

penting dilakukan pada ulkus neuropatik. Pembuangan kalus dan memakai sepatu dengan ukuran yang sesuai diperlukan untuk mengurangi tekanan

f. Penyuluhan (education control).

Seluruh pasien dengan diabetes perlu diberikan edukasi mengenai perawatan kaki secara mandiri. (PERKENI, 2015)

5. Perawatan ulkus gangren.

Ulkus gangren termasuk luka kronis yang sulit sembuh dan fase penyembuhan lukanya mengalami pemanjangan atau luka tidak sembuh sesuai dengan waktu proses penyembuhan luka. Salah satu yang menjadi ciri khas dari luka kronis adalah adanya jaringan nekrosis (jaringan mati) baik yang berwarna kuning maupun yang berwarna hitam. Ciri khas lainnya adalah adanya infeksi dan adanya penyulit sistemik yang menghambat penyembuhan luka. Salah satu metode yang dikembangkan dalam manajemen luka kronis dengan metode TIME. Manajemen Perawatan Ulkus Gangren a. Pengkajian.

Pengkajian Umum : usia, penyakit penyerta (Diabetes, Jantung koroner, ginjal, dll), vaskularisasi (riwayat merokok, kolestrol, operasi, dll), status nutrisi (mitos jika punya luka tidak boleh makan ikan – ikanan,dll), faktor kegemukan (obesitas), radiasi (pada pasien kanker dengan radioterapi, dll), psikologis (stress, kesakitan, dan lain-lain), obat – obatan (kemoterapi, kortikosteroid, imunosupresan, dll). Pengkajian lokal luka : tipe penyembuhan (primer, sekunder, tersier), penampilan klinis (warna dasar luka merah/ garnulasi, hitam dan kuning/nekrosis, pink/epitel, dll), lokasi, ukuran luka, tipe dan jumlah eksudat (sedikit, sedang, banyak, sangat banyak), malodour, tepi luka dan dasar luka, kulit sekitar luka, nyeri.

(15)

22

Pengkajian spesifik luka kronis: jaringan nekrosis (jaringan pada dasar luka yang berwarna hitam dan kuning/avaskularisasi), tanda infeksi/kolonisasi kuman pada luka, tanda infeksi bau tidak sedap dan kental serta didukung tanda infeksi sistemik makan dapat sebagai data kuat adanya infeksi. Benda asing (Serpihan tulang, sisa benang, kotoran lainnya)

b. Manajemen T.I.M.E

Metode ini dikenal dengan metod T.I.M.E, yaitu dengan memperhatikan Tissue, non – viable or devicient (jaringan mati pada dasar luka), Infection or inflamation (infeksi atau inflamasi), Moisture imbalance (kelembaban yang tidak seimbang) dan Edge of wound non – advancing or undermining (tepi luka yang tidak maju atau ada goa).

Tabel 2.2. Manajemen T.I.M.E. T Tissue management (manajemen jaringan)

Tujuan : Mengangkat jaringan mati (devaskularisasi) dengan melakukan debridemang, membersihkan dari benda asing, persiapan dasar luka kuning/hitam mejadi merah

Untuk mendapatkan dasar luka yang baik (tidak ada jaringan yang mati dan benda asing) diperlukan tindakan debridemang secara berkelanjutan. Kaji luka, lingkungan dan faktor sistemik pasien sebelum melakukan debridemang.

I Inflammation and infection control (Kontrol inflamasi dan infeksi) Tujuan : mengontrol inflamasi, mengurangi jumlah perkembangbiakan kuman, mencegah infeksi, mengatasi infeksi

Luka dikatakan infeksi jika ada tanda inflamasi/infeksi, manajemen luka yang mengalami infeksi adalah dengan melakukan pencucian dengan baik dan gunakan cairan antiseptik yang sedikit korosif. Anjuran pada luka infeksi lakukan ganti balutan minimal 1 – 2 hari sekali.

M Moisture balance (Kelembaban yang seimbang)

Tujuan : mempertahankan kelembaban yang seimbang, melindungi luka dari trauma saat mengganti balutan, melindungi kulit sekitar luka, menyerap/menampung cairan luka.

Kelembaban pada kulit menjadai kebutuhan dasar, ketika kulit mengalami kerusakan, secara otomatis juga masih membutuhkan

(16)

23

suasana lembab lebih besar dibandingkan sebelumnya. Banyaknya cairan luka (eskudat) pada luka kronik dapat menimbulkan maserasi dan perlukaan baru pada daerah sekitar luka, sehingga diperlukan konsep kelembaban dalam luka.

E Ephitelial (Edge) Advancement (Kemajuan epitel/tepi luka)

Tujuan : mendukung proses epitelisasi, mempercepat penutupan luka, menjaga kelembaban yang seimbang.

Epitel (tepi luka) sangat penting untuk diperhatikan sehingga proses epitilisasi dapat berlangsung secara efektif. Tanda – tanda dari eptiel yang baik, diantaranya : halus, tipis, menyatu dengan dasar luka, bersih dan lunak.

C. Kepatuhan

1. Definisi kepatuhan.

Kepatuhan (adherence) adalah suatu bentuk perilaku yang timbul akibat adanya interaksi antara petugas kesehatan dan pasien sehingga pasien mengerti rencana dengan segala konsekwensinya dan menyetujui rencana tersebut serta melaksanakannya (Kemenkes R.I.,2011).

Kepatuhan adalah perilaku individu (misalnya: minum obat, mematuhi diet, atau melakukan perubahan gaya hidup) sesuai anjuran terapi dan kesehatan. Tingkat kepatuhan dapat dimulai dari tindak mengindahkan setiap aspek anjuran hingga mematuhi rencana. (Kozier, 2010)

Kepatuhan dalam pengobatan meliputi : kontrol teratur (apabila penderita datang berobat sesuai dengan jadwal yang ditetapkan, tahu keadaan emergency yang memerlukan pengobatan diluar jadwal kontrol), dan berperilaku sesuai aturan, yaitu penderita mau melaksanakan segala sesuatu yang berhubungan dengan kesehatan sesuai

(17)

24

aturan yang telah ditetapkan, misalnya aturan minum obat, makan makanan yang boleh dimakan, mengurangi aktivitas, dan sebagainya.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan.

Menurut Green dalam Notoatmodjo (2007), faktor yang mempengaruhi perilaku kepatuhan terbagi menjadi :

a. Faktor predisposisi (faktor pendorong).

Faktor ini mencakup kepercayaan atau agama yang dianut, faktor geografis, sikap, pengetahuan

b. Faktor reinforcing (faktor penguat).

Faktor ini mencakup dukungan petugas dan dukungan keluarga c. Faktor enabling (faktor pemungkin).

Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat seperti, puskesmas, rumah sakit, poliklinik, posyandu, polindes, pos obat desa, dokter atau bidan praktek swasta. Fasilitas ini pada hakikatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan. 3. Pengukuran kepatuhan.

Morisky Medication Adherence Scale (MMAS-8) adalah instrumen yang digunakan untuk menilai kepatuhan terapi. Morisky Medication Adherence Scale merupakan kuesioner yang memiliki reliabilitas dan validitas yang tinggi. Beberapa penelitian kemudian memperluas aplikasi dari instrumen ini agar dapat digunakan untuk mengukur kepatuhan pada penyakit kronik lainnya seperti DM dan obstruksi saluran pernafasan (Hasmi dkk., 2007). Kuesioner ini tersusun atas 8 pertanyaan dan kategori respon terdiri dari jawaban ya atau tidak dan 5 skala likert untuk satu item pertanyaan

(18)

25

terakhir. Nilai kepatuhan MMAS-8 adalah 8, dan dikategorikan menjadi 2 tingkatan kepatuhan yaitu kepatuhan tinggi dan kepatuhan rendah (Morisky dkk., 2008)

D. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pasien Diabetes Mellitus dalam perawatan luka gangren

1. Pengetahuan.

Pengetahuan merupakan suatu hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Sebagian besar pengetahuan diperoleh melalui indera mata dan indera telinga (Notoatmodjo, 2014).

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau memberikan seperangkat alat tes/kuesioner yang menanyakan tentang isi materi yang akan diukur dari responden ke dalam pengetahuan yang ingin diukur dan disesuaikan dengan tingkatannya. Adapun jenis pertanyaan yang dapat digunakan untuk pegukuran pengetahuan secara umum dibagi menjadi dua jenis yaitu : pertanyaan subjektif dan penilaian objektif.

Menururt Arikunto 2010, pengukuran tingkat pengetahuan dapat dikategorikan menjadi 3, yaitu :

a. Pengetahuan baik, bila responden dapat menjawab 76 – 100% dengan benar dari total jawaban pertanyaan.

b. Pengetahuan cukup, bila responden dapat menjawab 56 – 75% dengan benar dari total jawaban pertanyaan.

(19)

26

c. Pengetahuan kurang, bila responden dapat menjawab ≤ 55% dengan benar dari total jawaban pertanyaan.

2. Dukungan fasilitas kesehatan

Menurut Notoatmodjo (2014), sarana pelayanan kesehatan bagi masyarakat terdiri dari rumah sakit, puskesmas, poliklinik, posyandu, polindes, praktek dokter/bidan swasta, dan sebagainya. Untuk berperilaku sehat, masyarakat memerlukan sarana dan prasarana pendukung, misalnya perilaku perawatan luka gangrene pada penderita DM.

Pasien DM yang melakukan perawatan luka di puskesmas Bojonggede, menyatakan bahwa jarak ke Puskesmas yang jauh, dan masalah tidak adanya biaya menjadi alasan tidak melakukan perawatan luka sesuai jadwal yang ditentukan. Menurut Notoatmodjo (2008), penderita DM yang mau merawat luka kakinya tidak hanya karena ia tahu dan sadar manfaat perawatan luka tersebut, namun penderita DM dengan mudah dapat memperoleh tempat perawatan luka kakinya. Perilaku dan usaha yang dilakukan dalam menghadapi kondisi sakit, salah satu alasan untuk tidak bertindak karena fasilitas kesehatan yang jauh jaraknya.

3. Dukungan petugas kesehatan

Peran serta dukungan petugas kesehatan sangatlah besar bagi pasien. Petugas memberi penjelasan tentang obat yang diberikan dan pentingnya makan obat yang teratur dimana petugas kesehatan adalah pengelola penderita sebab petugas adalah yang paling sering berinteraksi, sehingga pemahaman terhadap kondisi fisik maupun psikis menjadi lebih baik dan dapat mempengaruhi rasa percaya dan menerima kehadiran petugas kesehatan dapat ditumbuhkan dalam diri penderita dengan baik (A.Novian, 2013).

(20)

27

Di Puskesmas Bojonggede terdapat layanan home visit, ada petugas yang ditugaskan untuk melakukan kunjungan ke rumah bagi pasien yang tidak dapat menjangkau puskesmas, namun petugas hanya satu orang, sehingga tidak semua pasien dapat dijangkau. Semua pasien DM yang melakukan perawatan luka mendapatkan edukasi tentang perawatan ulkus gangren diantaranya penyebab ulkus gangren, hal-hal yang dapat mempercepat atau memperlambat penyembuhan ulkus, serta perawatan kaki agar luka tidak bertambah buruk.

4. Dukungan keluarga

Keluarga memiliki peran besar dalam memberikan arahan hidup sehat bagi anggota keluarganya. Fungsi perawatan kesehatan keluarga adalah cara-cara tertentu yang dimiliki keluarga untuk mengatasi masalah kesehatan dengan menjalankan tugas keluarga yaitu: keluarga mampu mengenal masalah, mengambil keputusan yang tepat dalam mengatasi masalah kesehatan, memberikan perawatan pada anggota keluarga yang sakit, mempertahankan situasi rumah yang menguntungkan untuk kesehatan dan pemanfaatan fasilitas kesehatan. (Friedman, 2002 dalam Meilianingsih 2014).

Ketidakpatuhan pasien DM yang melakukan perawatan ulkus gangren sesuai jadwal di Puskesmas Bojonggede antara lain karena alasan tidak ada yang mengantar ke puskesmas, dan juga tidak ada biaya untuk transportasi.

(21)

28 E. Kerangka Teori

Kerangka Teori : Levin (1988), Lawrence Green (1980), PERKENI (2015)

F. Penelitian Terkait

1. Mujib Hannan (2013) melakukan penelitian tentang analisis faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum obat pada pasien diabetes mellitus di Puskemas Bluto Sumenep, hasil korelasi bivariate menggunakan rumus uji chisquare, dengan taraf signifikan (p)= 0,05, dan N= 31 Hasil x² hitung = 11,424a dengan taraf sig 0, 003 (≤ 0,05), menunjukkan bahwa dukungan dari keluarga dekat pasien yaitu dengan mengingatkan pola makan sehari-hari serta selalu mengingatkan jadwal minum obat secara teratur serta didukung

Diabetes Mellitus Komplikasi :

1. Akut (Ketoasidosis Diabetik, Hiperosmolar non Ketotik, Hipoglikemi) 2. Kronik (Mikroangiopati, Makroangiopati, Neuropati) Ulkus gangren Kepatuhan  Faktor Predisposisi : Pengetahuan, sikap, budaya/tradisi, keyakinan, nilai-nilai kepercayaan  Faktor Pemungkin :

Fasilitas kesehatan (sarana, prasarana)

 Faktor Penguat : Dukungan tokoh

masayarakat, tokoh agama, masyarakat, dukungan keluarga, dukungan petugas kesehatan

(22)

29

dengan pelayanan yang baik oleh petugas kesehatan yang ditunjukkan dengan komunikasi yang baik kepada pasien oleh petugas kesehatan sangat memperbaiki kepatuhan pasien dalam pengobatannya.

2. Sementara penelitian yang dilakukan oleh Linda Septiyani (2016), tentang faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pengobatan pada penderita diabetes mellitus (dm) tipe 2 di wilayah kerja Puskesmas Purwodiningratan Surakarta, hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa ada hubungan antara niat pasien (p=0,024;OR=3,900; 95%CI=1,143-13,311), ada hubungan antara sikap pasien (p=0,018;OR=4,182; 95%CI=1,214-14,408), tidak ada hubungan antara dukungan suami (p=0,614;OR=1,455; 95%CI=0,337-6,274), tidak ada hubungan antara kepercayaan pasien (p=0,674;OR=0,777; 95%CI=0,239-2,525) dengan kepatuhan pengobatan DM tipe II di Puskesmas Purwodiningratan Surakarta.

3. Nurleli (2016), dalam penelitiannya tentang dukungan keluarga dengan kepatuhan pasien diabetes melitus dalam menjalani pengobatan di BLUD RSuza Banda Aceh, hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan pasien DM dalam menjalani pengobatan (p= .000).

4. Purwanti dan Nurhayati (2016), melakukan penelitian tentang analisis faktor dominan yang mempengaruhi kepatuhan pasien DM tipe 2 dalam melakukan perawatan kaki yang dilakukan, menunjukkan bahwa faktor pengetahuan mempengaruhi kepatuhan pasien DM Tipe 2 dalam merawat kaki (p value 0,013; OR: 3,836), untuk faktor persepsi

(23)

30

individu ada dua faktor yang berpengaruh, yaitu persepsi keseriusan (p value 0,017; OR: 3,249) dan persepsi manfaat (p value 0,003; OR: 5,181).

Referensi

Dokumen terkait

Dfliarapkan dari hasil penelitian ini dapat diketahui besarnya variasi jenis yang terdapat antar jenis tegakan maupun di bawah tajuk tegakan yang sejenis, yang pada akhirnya

Dalam perencanaan dimensi hidrolis dari Intake sampai dengan pipa pesat harus mempertimbangkan kecepatan aliran, kehilangan tinggi energi pada peralihan masuk,

Kondisi ini disebabkan oleh menurunnya Ib pada seluruh subsektor meliputi hortikultura sebesar 0,79 persen, tanaman perkebunan rakyat sebesar 0,75 persen, tanaman pangan

bahwa dalam rangka pencapaian pembangunan di bidang kesehatan dan peningkatan mutu pelaksanaan program- program kesehatan diperlukan adanya Pegawai Negeri Sipil yang ditugaskan

Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas paving block dan menentukan komposisi yang tepat adalah dengan

Dari pertanyaan ini, Maka rumusan masalahnya ialah bagaimana makna pengampunan yang diberikan Yesus terhadap perempuan berzinah yang dipaparkan Injil Yohanes 7:53-8:11

sebagai Panitia Kesepahaman Kerjasama Universitas Jember dalam Penyelenggaraan Kegiatan Intemational Conference on Food, Agriculture, and Natural Resources (Fan Res) 2015

Dalam identifikasi pembuluh darah pada prinsip ini, daerah yang digunakan untuk identifikasi adalah hasil foto dengan cahaya near-infrared, kemudian pola pembuluh darah