• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDIDIKAN ALTERNATIF SEBAGAI MODEL PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DI SEKOLAH PEREMPUAN CILIWUNG, DI RAWAJATI BARAT, JAKARTA SELATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDIDIKAN ALTERNATIF SEBAGAI MODEL PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DI SEKOLAH PEREMPUAN CILIWUNG, DI RAWAJATI BARAT, JAKARTA SELATAN"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

PENDIDIKAN ALTERNATIF SEBAGAI MODEL

PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DI SEKOLAH

PEREMPUAN CILIWUNG, DI RAWAJATI BARAT,

JAKARTA SELATAN

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Dakwah dan Komunikasi Sebagai Syarat untuk Meraih Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Sos.I)

Disusun Oleh:

MILASTRI MUZAKKAR

106054002027

JURUSAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas islam negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa hasil karya asli saya merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 2010

(5)
(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... і

КАТА PENGANTAR...ii

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR TABEL ... x

BAB 1 PENDAlttLtAN 1. Latar Belakang Masalah ... 1

2. Petnbatasan dan Perumusan Masalah ... 7

3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

4. Metodologi Penelitian ... 9

Ё. Kajian Pustaka... 17

F. Sistematika Penulisan ... ... 19

BAB II TINJAUAN TfeORlTIS a. Pendidikan Alteinatif ... 21

1. Pengertian Pendidikan... 21

2. Langkah-Langkah Humanisasi Pendidikan ... 23

3. Metode Pendidikan yang Berorientasi Pada Perubahan Sikap dan Perilaku ... 25

4. Pendidikan Alternatif... 27

b. Model Pemberdayaan Perempuan... 29

(7)

2. Pemberdayaan Perempuan ... 4-5

3. Upaya-Upaya Pemberdayaan Perempuan ... 48

4. Tingkat-Tingkat Pemberdayaan Perempuan ... 51

BAB III GAMBARAN UMUM a. Gambaran Umum Sekolah Perempuan Ciliwung ...54

1. Sejarah Sekolah Perempuan Ciliwung ... 54

І. Program-Program Sekolah РегеПфиап Ciliwung ... 57

3. Struktur Kepengurusan Sekolah Perempuan Ciliwung ... ... 59

b. Garhbaran Umum Wilayah Kelurahan Sekolah Perempuan Ciliwung (SPC) ...61

a. Letak Geografis Sekolah Perempuan Ciliwung... 61

b. Kondisi Sosio-Ekonomi Peserta Sekolah Perempuan Ciliwung ... 62

BAB IV TFMLAN LAPANGAN DAN ANALtSlS f. Bentuk-Bentuk Pendidikan Alternatif di Sekolah Perempuan Ciliwung ... 64

g. Model pemberdayaan dalam Proses Belajar-Mengajar di Sekolah Perempuan Ciliwung ... 79

BAB V PENUTUP 1. Kesimpulan ...93

(8)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Dalam undang-undang sistem pendidikan nasional (sikdiknas) No.20/2003 dikatakan bahwa, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.1

Meski begitu, pada umumnya pendidikan biasa diidentikkan dengan sekolah sebagai institusi formal yang dilegalisir oleh negara. Sehingga yang terkonstruk di masyarakat adalah, jika ingin mendapatkan pendidikan, seseorang harus bersekolah.

Permasalahannya adalah tidak semua orang bisa dengan mudah bersekolah. Banyak hal yang seringkali menjadi hambatan sekaligus permasalahan dalam pendidikan kita sampai saat ini. Menurut penulis, beberapa permasalahan itu antara lain: mahalnya biaya pendidikan, buruknya sistem pendidikan, kurangnya akses, dan persoalan budaya (patriarki). Permasalahan-permasalahan ini membuat masyarakat

1

(9)

miskin dan marginal2 (misalnya perempuan) sulit untuk mengenyam pendidikan formal.

Pertama, persoalan biaya. Saat ini biaya pendidikan masih relatif mahal.

Meski anggaran 20% sudah dialokasikan untuk pendidikan, tapi anggaran itu lebih banyak digunakan untuk infrastruktur, membayar gaji guru, dan sebagainya. Padahal

dalam surat keputusan bersama (SKB) tiga Menteri, Nomor

17/men.pp/dep.ii/vii/2005, Nomor 28a tahun 2005, Nomor: 1/pb/2005, tentang percepatan pemberantasan buta aksara perempuan, pasal 10 dikatakan bahwa: untuk pemberantasan buta aksara perempuan dibebankan pada APBN dan APBD.

Kedua, masalah budaya. Bagi perempuan, budaya patriarki yang masih sangat

kental dalam masyarakat, khususnya di masyarakat miskin-desa, adalah hambatan yang paling sulit untuk dilawan. Mitos bahwa perempuan pada akhirnya akan kembali ke dapur, sehingga tidak perlu sekolah sampai jenjang yang lebih tinggi, masih dianut oleh sebagian besar orang tua. Makanya tak heran jika anak laki-laki masih lebih diprioritaskan untuk bersekolah.

Ketiga, masalah akses. Bagi masyarakat yang tinggal di daerah terpencil dan

jauh dari fasilitas angkutan umum, seringkali terhambat untuk mengenyam pendidikan. Pemandangan ini banyak dijumpai di pedesaan khususnya. Di Salatiga misalnya, banyak anak-anak yang memilih putus sekolah karena pertimbangan jarak yang cukup jauh dari rumah ke sekolah. Mereka harus berjalan kaki selama 30-40

2

Masyarakat marginal adalah mereka yang terpinggirkan atau lemah dalam segi akses, ekonomi, sosial, hukum, budaya dan sebagainya, sehingga membuat mereka tidak dapat menikmati kehidupan yang adil dan setara seperti orang-orang pada umumnya, misalnya, perempuan.

(10)

menit untuk sampai ke jalan besar, untuk mendapatkan angkutan umum menuju sekolah. Sehingga tenaga mereka harus terkuras lebih banyak sebelum sampai ke sekolah.

Keempat, sistem pendidikan (kurikulum, metode, sumber daya manusia,

sarana dan prasarana) yang masih buruk. Sekolah selalu terikat dengan kurikulum, Guru-guru lebih banyak memberi ceramah monolog. Siswa diberi dan disuruh menghafal rumus-rumus sementara tidak direlevansikan dengan persoalan-persoalan yang terjadi di lingkungan mereka. Belum lagi pekerjaan rumah (PR) yang selalu diberikan hampir setiap hari.

Keempat hal di atas, menjadi hambatan yang paling sering dialami oleh masyarakat marginal. Perempuan sebagai bagian dari kelompok marginal itu, sangat rentan mengalami dua kali kesulitan dibanding laki-laki. Bagaimana tidak, sampai hari ini, hampir semua faktor yang menjadi hambatan di atas dialami oleh perempuan. Marginalisasi di sini diartikan sebagai proses pemiskinan perempuan yang mengakibatkan kemiskinan perempuan secara sosial maupun ekonomi.3 Proses marginalisasi ini berimplikasi ke seluruh aspek kehidupan perempuan, tak terkecuali dalam hal pendidikan.

Menurut Direktur Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal (PNFI) Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), Hamid Muhammad, data yang dihimpun Kemendiknas angka buta aksara per Desember 2009, sebesar 8,2 juta

3

Yanti Muchtar& Lily Pulu ,Modul Pendidikan Adil Gender untuk Perempuan Marginal. KAPAL Perempuan, Jakarta:2006.

(11)

orang. Sekitar 64 persen perempuan, berarti dua kali lipat laki-laki, atau 6,5 juta perempuan buta aksara. Penyebab buta aksara adalah budaya, tidak ada akses, dan angka putus sekolah. Ia mengamati, buta aksara umumnya tidak pernah masuk sekolah, dan pernah sekolah tapi di drop out (DO).4

Kebuta-aksaraan ini adalah faktor yang sangat signifikan perannya dalam melanggengkan keterbelakangan dan ketidakadilan bagi perempuan. Buta aksara berarti juga buta hukum, buta akses, buta karya, dan seterusnya.

Sebuah cerita dari Eva Khofifah, salah seorang staff LSM Perempuan (KAPAL Perempuan), yang berkunjung ke Aceh besar menjelang pemilu 2009 lalu.5 Dalam kerumunan ibu-ibu, yang sedang memperbincangkan tentang tata cara memilih. Karena sebelumnya dengan cara menyoblos, namun pemilu kali ini (2009) dengan cara mencontreng. Hal ini membuat bingung para ibu-ibu karena selain banyak sekali partai, wajah dari caleg yang akan dipilih pun tidak dipasang digambar surat suara. Bisa dibayangkan, bagaimana seseorang yang buta huruf harus diperhadapkan dengan situasi yang seperti itu.

Masih dalam waktu yang sama, Seorang ibu lain menceritakan pengalamannya;

“Saya 13 bersaudara. Sewaktu masih kecil-kecil, kami tidak boleh sekolah. Karena kakek kami bilang dulu ada kerajaan di gampong kami yang melarang sekolah. Pakai topi juga kami dilarang. Jadilah kami enggak sekolah. Kami hanya pergi mengaji. Itupun hanya 6 bulan. Kalau kamu minta kakak sekarang mengaji, sudah payah juga. Ia tersenyum. Hidup kakak keras,

4

Koran Republika Online, 6,5 juta Perempuan Indonesia Buta Aksara, Kamis, 25 Februari 2010 (diakses pada hari Selasa, 27 april,2010. pukul 08.36)

(12)

dulu hanya ikut orang tua ke kebun. Suami kakak sudah almarhum. Dia mati di tembak waktu masih konflik. Karena buta aksara, kakak pernah ditipu saat diminta tanda tangan pengurusan harta suami yang masih ada. Tetapi itu tidak sampai ke tangan kakak. Kakak tahu memang tidak bisa baca tulis. Namun mengapa orang itu tega sekali sama kakak. Padahal sebenarnya itu kan hak kedua anak kakak juga.”6

Masalah pendidikan seperti ini bisa berimplikasi lebih jauh bagi perempuan, salah satunya yang sampai saat ini masih marak terjadi adalah tracfficking (perdagangan manusia). Angka trafficking pun semakin meningkat setiap tahunnya. Tahun 2004 terdapat 76 kasus, tahun 2005 terdapat 71 kasus, kemudian meningkat menjadi 86 kasus di tahun 2006. Kasus itu melonjak dua kali lipat menjadi 177 kasus pada tahun 2007 dan meningkat lagi menjadi 88 kasus pada tahun 2008.7 Beberapa korban dari kasus trafficking disebabkan karena banyaknya yang tertipu lewat iklan lowongan kerja dan pemalsuan dokumen.

Kasus-kasus di atas seharusnya bisa menyadarkan dan membuat kita semua (baik pemerintah dan masyarakat umum) supaya lebih peduli terhadap pendidikan untuk perempuan. Paradigma pendidikan konvensional masih tidak memperhitungkan proses belajar-mengajar yang seimbang dan setara antara murid dan guru. Guru cenderung memonopoli forum dan memposisikan dirinya sebagai subjek, sementara siswa sebagai objek. Akhirnya, pendidikan menjadi momok yang menakutkan dan tidak membebaskan bagi siswa.

Belum lagi bicara soal mata pelajaran. Kebanyakan mata pelajaran di sekolah formal belum memperhitungkan kepentingan-kepentingan perempuan (tidak sensitif

6

Ibid.

(13)

jender). Dalam proses belajar-mengajar lebih banyak membicarakan tentang hal-hal teoritis tanpa mempertimbangkan pengalaman-pengalaman yang dialami oleh setiap individu (siswa). Padahal, bagi perempuan, pengalaman menjadi penting untuk dibagi dan didiskusikan kepada teman-teman dan gurunya. Pendidikan formal kurang memikirkan bagaimana kondisi perempuan yang dipengaruhi banyak faktor persoalan seperti budaya, sosial, agama dan politik.8

Sejatinya, Pendidikan adalah sebuah proses pemberdayaan, yang diharapkan mampu memberdayakan peserta didik menjadi manusia yang cerdas, manusia yang berilmu dan berpengetahuan, serta manusia terdidik. Misalnya, dengan melakukan proses belajar, proses latihan, proses memperoleh pengalaman atau melalui kegiatan lainnya. Sehingga siswa dapat memperoleh pengalaman memecahkan masalah, pengalaman etos kerja, dan ketuntasan bekerja dengan hasil yang baik.9

Melihat permasalahan dalam pendidikan konvensional, banyak pihak yang mengkritik dengan beralih ke bentuk atau model pendidikan yang lain, yang biasa disebut pendidikan alternatif. Pendidikan alternatif merupakan istilah generik dari berbagai program pendidikan yang dilakukan dengan cara berbeda dari cara-cara tradisional. Pendidikan dengan cara ini dianggap lebih bisa menampung dan mengerti kondisi yang dihadapi oleh perempuan.

Salah satu LSM yang konsen dalam mengembangkan pendidikan untuk perempuan adalah Kelompok Pendidikan Alternatif Untuk Perempuan (KAPAL)

8 ibid. 9

Prof. Dr. H. Hamzah B. Uno, M.Pd, Profesi Kependidikan (Problema, Solusi dan Reformasi di I ndonesia). Bumi aksara; Jakarta:2008

(14)

Perempuan, dengan mendirikan sekolah perempuan di Gang Pelangi, RT 10/01 dan RT 10/03, Kelurahan Rawajati Barat, Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan, sejak tahun 2003. Sekolah ini diberi nama ‘Sekolah Perempuan Ciliwung (SPC)’.

Sekolah Perempuan Ciliwung adalah Sekolah yang sengaja didirikan untuk ibu-ibu di sekitar gang Pelangi setelah melihat latar belakang kondisi sosio-historisnya yang memang sangat terbelakang. Selain dalam hal pendidikan, mereka juga terbelakang dalam hal ekonomi, ditambah lagi persoalan-persoalan rumah tangga seperti beban ganda (beban kerja di dalam dan di luar rumah rumah) bahkan ada yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Untuk menjawab permasalahan-permasalahan perempuan di atas, program-program SPC ini diprioritaskan pada hal-hal yang meliputi: pertama, pengembangan pendidikan untuk perempuan yang mencakup penguatan perspektif dan skill dengan materi gender, kesehatan reproduksi, organisasi, dan usaha ekonomi yang dikombinasikan dengan pendidikan keakasaraan. Kedua, pengembangan usaha ekonomi kelompok dan anggota. Ketiga, pengembangan kemampuan berorganisasi.

Keempat, merespon isu-isu HAM, sosial politik seperti pemilu undang-undang

KDRT dan pornografi, utang luar negeri dan lingkungan hidup.

Selain materi-materi yang disebutkan di atas, salah satu kegiatan penting dari SPC adalah penguatan kapasitas para pengurus melalui traning-training dan pendampingan intensif dalam mengembangkan dan mengelola organisasi serta memfasilitasi pendidikan di komunitasnya. Tujuan akhir dari semua proses di atas

(15)

tentu saja dalam rangka memberdayakan masyarakat, khususnya perempuan marginal.

Sekolah perempuan Ciliwung ini cukup unik karena belum banyak dikembangkan di Indonesia. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengetahui lebih jauh apa saja bentuk pendidikan alternatif tersebut, serta bagaimana model pemberdayaan yang dilakukan di Sekolah Perempuan Ciliwung ini melalui penelitian yang dituangkan ke dalam skripsi yang berjudul “Pendidikan Alternatif Sebagai

Model Pemberdayaan Perempuan di Sekolah Perempuan Ciliwung (SPC), di Rawajati Barat, Jakarta Selatan”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Pendidikan alternatif sangat beragam, maka perlu dipertegas bahwa pendidikan alternatif yang dimaksud di sini adalah pendidikan yang khusus didirikan untuk perempuan sebagai kritik atas pendidikan konvensional pada umumnya. Di mana sistem (kurikulum, sarana dan prasarana, metode, mata pelajaran, dan sebagainya) memperhatikan kebutuhan dan pengalaman perempuan (sensitif jender).

Dalam penelitian ini, penulis hanya akan meneliti bentuk-bentuk pendidikan alternatif yang diterapkan di Sekolah Perempuan Ciliwung. Dan bagaimana model pemberdayaan yang digunakannya. Pembatasan ini didasari pada pertimbangan efisiensi waktu serta untuk meminimalisir biaya penelitian.

(16)

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka penulis merumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

1. Apa saja bentuk pendidikan alternatif yang diterapkan di Sekolah Perempuan Ciliwung (SPC)?

2. Bagaimana Model pemberdayaan yang digunakan di Sekolah Perempuan Ciliwung (SPC)?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Mengacu pada pembatasan dan perumusan masalah di atas, maka hasil penelitian yang ingin penulis capai adalah:

1. Untuk mengetahui apa saja bentuk pendidikan alternatif yang diterapkan di Sekolah Perempuan Ciliwung.

2. Untuk mengetahui bagaimana model pemberdayaan yang digunakan di Sekolah Perempuan Ciliwung.

2. Manfaat Penelitian

Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi Universitas, khususnya Jurusan Pengembangan Masyarakat (tempat penulis bernaung) sebagai

(17)

bahan referensi dan perluasan pengetahuan serta wawasan dalam wacana pendidikan yang dihubungkan dengan isu-isu perempuan.

Secara praktis, hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi KAPAL Perempuan sebagai salah satu LSM yang bergerak dalam isu-isu perempuan serta sekolah-sekolah perempuan yang lainnya.

D. Metodologi Penelitian 1. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif menurut Bogdan dan Taylor (1975:5) didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari perilaku orang-orang yang dapat diamati.10 Sementara menurut Jane Richie, penelitian kualitatif adalah upaya untuk menyajikan dunia sosial, dan perspektifnya di dalam dunia, dari segi konsep, perilaku, persepsi, dan persoalan tentang manusia yang diteliti.11

Alasan pemilihan pendekatan penelitian kualitatif didasarkan pada ketajaman analisis yang lebih mendalam yang diperlukan dalam penelitian tentang perempuan. Pendekatan kualitatif dapat lebih menggali dan mengambarkan kejadian yang sebenarnya, yang dialami oleh subjek penelitian. Terlebih dalam meneliti tentang

10

Lexy J. Moleong, M.A, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung:2007. Hal.5.

11

(18)

perempuan, dibutuhkan pendekatan yang sangat mendalam agar bisa menggali lebih jauh tentang kondisi subjek penelitian yang sebenarnya.

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan disini adalah penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk mengeksplorasi dan mengklasifikasikan suatu fenomena atau kenyataan sosial, dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variable yang berkenaan dengan masalah dan unit yang diteliti. Jenis penelitian ini tidak sampai mempersoalkan jalinan hubungan antar variabel yang ada; tidak dimaksudkan untuk menarik generalisasi yang menjelaskan variabel-variabel anteseden yang menyebabkan sesuatu gejala atau kenyataan sosial. Oleh karena itu, penelitian deskriptif tidak menggunakan atau tidak melakukan pengujian hipotesis, yang juga berarti tidak membangun dan mengembangkan teori.12

Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu gejala yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan (Suharsimi Arikunto : 2005).

3. Teknik Pengumpulan Data

12

Syamsir Salam & Jaenal Aripin, Metodologi Penelitian Sosial, UIN Jakarta Press, Jakarta:2006, hal.14.

(19)

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan tekhnik pengumpulan data sebagai berikut:

1) Observasi, adalah pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap gejala-gejala yang diteliti.13 Dalam observasi ini, peneliti akan melakukan pencatatan terhadap berlangsungnya proses belajar-mengajar, metode, model dan strategi yang digunakan, perilaku-perilaku peserta SPC, sarana dan prasarana, kondisi sosio historis peserta SPC dan segala hal yang penulis dapatkan di lapangan. Kemudian penulis tuangkan dalam penulisan skripsi sesuai data-data yang dibutuhkan.

2) Wawancara, adalah salah satu cara untuk memperoleh data melalui informasi yang didengarnya dengan panca indra pendengaran, yang sebelumnya ditanyakan terlebih dahulu kepada responden.14 Dalam penelitian ini, penulis akan mewawancarai peserta SPC yang telah dipilih sebagai sampel. Selain itu, penulis juga akan mewawancarai direktur KAPAL Perempuan serta LSM jaringan KAPAL Perempuan yakni koordinator program Kalyanamitra.

3) Dokumentasi, artinya penulis menggunakan setiap bahan tertulis ataupun film sebagai sumber data yang dapat dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan, bahkan untuk meramalkan.15 Dokumentasi ini penulis dapatkan dari modul-modul tentang pendidikan altenatif yang dibuat oleh KAPAL Perempuan dan

13

Husaini Usman & Purnomo Setiady, Metodologi Penelitian Sosial (Bumi Aksara, Jakarta:2006) hal.54.

14 Syamsir Salam & Jaenal Aripin, Metodologi Penelitian Sosial, hal. 82. 15

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya Bandung. Bandung:2007. hal.216-217.

(20)

Jurnal Perempuan yang ada di perpustakaan KAPAL Perempuan, DVD yang merupakan hasil visualisasi penerapan modul Pendidikan Adil Gender untuk Perempuan Marginal, buku-buku yang berasal dari berbagai sumber, majalah, photo-photo dan lain sebagainya.

4. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi di Sekolah Perempuan Ciliwung yang ada di wilayah Gang Pelangi, RT 10/01 dan RW 10/03, Kelurahan Rawajati Barat, Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan.

Waktu penelitian akan dilakukan mulai dari tanggal 1 Maret 2010 sampai 30 Juni 2010. Pemilihan lokasi tersebut didasari pada pertimbangan: ketertarikan penulis terhadap isu-isu perempuan terlebih dalam konteks pemberdayaan masyarakat. Selain itu lokasi penelitian pun cukup mudah dijangkau.

5. Teknik Pemilihan Subjek Penelitian

Data primer utama dalam penelitian ini adalah ibu-ibu peserta Sekolah Perempuan Ciliwung. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan tekhnik pemgambilan sampel purposif. Pada tekhnik ini (purposive sampling), sampel ditetapkan secara sengaja oleh peneliti. Dalam hubungan ini, lazimnya didasarkan

(21)

atas kriteria atau pertimbangan tertentu; jadi tidak melalui proses pemilihan sebagaimana yang dilakukan dalam tekhnik random.16.

Jumlah keseluruhan peserta Sekolah Perempuan Ciliwung adalah 63 orang. Dalam penelitian ini, penulis memilih peserta yang akan dijadikan subjek penelitian berdasarkan kategori pekerjaan dan perbandingan umurnya. Alasan pemilihan pengkategorian tersebut karena beragamnya pekerjaan dan prosentase umur peserta Sekolah Perempuan Ciliwung, maka, supaya lebih mudah penulis mengambil satu perwakilan dari masing-masing kategori pekerjaan.

Mereka yang menjadi sumber data primer dalam penelitian ini adalah Ibu Musriyah, Ibu Mistinah, Ibu Nurjannah, Ibu Mamiek Suparmiah Hendro, Ibu Rodemeh, dan Ibu Anerah

Sementara Sumber data primer pendukung dalam penelitian ini adalah direktur KAPAL Perempuan (Yanti Muchtar). Adapun informannya adalah Deputi Program Kalyanamitra (Listiyawati).

Untuk lebih jelasnya, gambaran pengkategorian sample dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 1.1

Kategorisasi Sampling Sumber

Data

Jumlah Usia Pekerjaan

Data Primer Utama 6 Orang 1. Musriyah 2. Mistinah 3. Nurjannah 40 tahun 40 tahun 42 tahun Pedagang

Ibu rumah tangga Buruh

(22)

4. Mamiek Suparmiah Hendro 5. Rodemeh 6. Anerah 66 tahun 61 tahun 66 tahun 25 tahun Pensiunan PNS Pemulung Wiraswasta Data Primer Pendukung

1 Orang Yanti Muchtar Direktur KAPAL

Perempuan

Informan 1 Orang Listiyawati Deputi Program

Kalyanamitra

6. Sumber Data

Sumber data yang penulis gunakan dalam penelitian ini terdiri dari :

a) Data primer utama yakni data-data yang diperoleh secara langsung dari partisipan atau sasaran penelitian, yang terdiri ibu-ibu peserta Sekolah Perempuan Ciliwung. Sementara data primer pendukung diperoleh dari direktur utama KAPAL Perempuan. Selain itu, penulis juga menggunakan informan yaitu Deputi program Kalyanamitra sebagai pelengkap data.

b) Data sekunder adalah data-data yang penulis peroleh dari modul-modul KAPAL Perempuan, data profil Sekolah Perempuan Ciliwung, DVD hasil visualisasi modul Pendidikan Adil Gender untuk Perempuan Marginal serta data yang berhubungan dengan pembahasan yang akan dibahas dalam penelitian ini.

(23)

7. Teknik Analisa Data

Analisis data kualitatif (Bogdan & Biklen, 1982) adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.17

Dalam penelitian ini penulis menggunakan semua hasil pencatatan di lapangan, mulai dari observasi, wawancara dan dokumentasi sebagai bahan analisis. Kemudian penulis melakukan reduksi data dengan memilah hal-hal pokok yang sesuai dengan fokus penelitian penulis. Kemudian dilanjutkan dengan sebuah abstraksi. Abstraksi adalah usaha membuat rangkuman inti, proses, dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap berada di dalamnya.18 Jadi penulis mengambil kesimpulan berdasarkan semua hasil temuan lapangan yang telah melalui abstraksi sebelumnya.

8. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data

Untuk menetapkan keabsahan data diperlukan tekhnik pemeriksaan. Pelaksanaan tekhnik pemeriksaan didasarkan atas empat kriteria, yaitu: kriteria

17 ibid. hal. 246 18 ibid. hal. 247

(24)

derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan (dependability), dan kepastian (confirmability).19

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan tekhnik kriterium derajat kepercayaan. Kriterium ini berfungsi melaksanakan inkuiri sedemikan rupa sehingga tingkat kepercayaan penemuannya dapat dicapai, mempertunjukkan derajat kepercayaan hasil-hasil penemuan dengan jalan pembuktian oleh penelitian pada kenyataan ganda yang sedang diteliti. Kriterium kepastian ini menggunakan dua tekhnik pemeriksan. Pertama, Ketekunan pengamatan, bermaksud menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang dicari dan kemudian memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci. Dalam penelitian ini, penulis melakukan beberapa kali kunjungan ke SPC, baik yang sifatnya formal (misalnya, wawancara, observasi langsung jalannya proses belajar-mengajar, diskusi dan training), maupun yang sifatnya non formal (misalnya, hanya sekedar berkunjung untuk bercengkrama dan ngobrol-ngobrol ringan dengan peserta SPC)

Kedua, Triangulasi, adalah tekhnik pemeriksaan keabsahan data yang

memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu.20 Tekhniknya adalah, membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara, membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakannya secara pribadi, membandingkan

19 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif. hal.324-325. 20 ibid. hal.330

(25)

hasil wawancara dengan isu suatu dokumen yang berkaitan. Dalam proses triangulasi ini, penulis membandingkan hasil wawancara antara beberapa peserta SPC dengan LSM jaringan, yakni LSM Kalyanamitra.

E. Kajian Pustaka

Setelah penulis melihat dan membaca karya-karya ilmiah sebelumnya, penulis mendapatkan modul LSM KAPAL Perempuan yang memang khusus membuat modul tentang pendidikan alternatif ini. Modul pendidikan tersebut berjudul Modul Pendidikan Adil Gender untuk Perempuan Marginal (seri pendidikan feminis) yang disusun oleh team dari KAPAL Perempuan, yaitu Lily Pulu, Yanti Muchtar, Fitriani Sunarto dan Salbiyah.

Modul ini dibuat sebagai upaya untuk memperkuat gerakan pendidikan perempuan. Sebagai aplikasinya, dibuatlah model pendidikan untuk perempuan marginal di perkotaan dan pedesaan. Modul ini bisa dibilang sebagai rangkuman hasil penerapan Sekolah Perempuan yang pernah diterapkan di Kampung Jati dan Ciliwung (sejak 2003) Pulau Nain, Sulawesi Utara (2005). Pendidikan ini disebut Pendidikan Adil Gender (PAG) untuk Perempuan Marginal. PAG ini mencoba untuk mengintegrasikan proses peningkatan pemikiran kritis, keahlian hidup, dan pengorganisasian perempuan di komunitas.

Selain itu, penulis mendapatkan tesis yang berjudul “Tinjauan Feminisme

Poskolonial tentang Kesadaran Kritis dan Otonomi Perempuan Indonesia: Studi

(26)

Sulawesi Utara”, yang ditulis oleh Misiyah, program studi Sosiologi, Universitas

Indonesia (2005). Penelitian dalam tesis ini berangkat dari pertanyaan : Seberapa efektif Pendidikan Feminis mampu menumbuhkan kesadaran kritis dan otonomi perempuan jika ditinjau dari perspektif feminisme kolonial? kesimpulan yang didapat dari penelitian tersebut bahwa, pendidikan feminis ternyata efektif mampu memperkuat kesadaran kritis atas ketertindasan perempuan, khususnya otonomi terhadap tubuh perempuan. Selain itu, pendidikan feminis juga mampu mendorong aksi-aksi transformatif yaitu melakukan advokasi kebijakan PERDES dan Pendidikan Adil Gender (PAG) dengan perspektif feminisme dan pluralisme bagi perempuan marginal di komunitas masing-masing. Aksi-aksi ini merupakan manifestasi dari tumbuhnya kesadaran kritris. Hal ini mengindikasikan adanya hubungan “positif” antara kesadaran kritis dan aksi-aksi trasnformatif.

Hampir sama dengan penelitian di atas (tesis Misiah) yakni sama-sama ingin melihat bagaiamana pendidikan feminis itu dalam menumbuhkan kesadaran perempuan. Yang membedakan adalah paradigma yang diapakainya. Penelitian pertama menggunakan paradigma kritis, sementara dalam peneliian penulis menggunakan pendekatan kualitatif biasa. Selain itu, tempat pelaksanaannya, yakni yang satu di Menado dan yang lain di Jakarta. Dalam tinjauan sosiologis tentu saja akan berbeda hasilnya, karena dalam kajian tentang perempuan, setiap kejadian adadlah peristiwa yang tunggal dan butuh analisis tersendiri.

(27)

Penulisan skripsi ini mengacu pada buku pedoman penulisan karya ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) yang disusun oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang diterbitkan oleh CeQDA UIN, April. cet. ke-2. Tahun 2007.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan dalam skripsi ini dibagi menjadi lima bab berisi sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN, yang meliputi: Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Manfaat dan Tujuan Penelitian, Metodologi Penelitian, Tinjauan Pustaka serta Sitematika Penulisan.

BAB II TINJAUAN TEORITIS, yang meliputi: Pengertian Pendidikan, langkah-langkah Humanisasi Pendidikan, Model Pendidikan yang Berorientasi pada Perubahan Sikap dan Perilaku, Pengertian Pendidikan Alternatif. Pengertian Pemberdayaan Perempuan, Upaya-Upaya Pemberdayaan Perempuan, dan Tingakatan Pemberdayaan Perempuan.

BAB III PROFIL LEMBAGA, yang meliputi : Letak Geografis Sekolah Perempuan Ciliwung, Sejarah Sekolah Perempuan Ciliwung, Program-program Sekolah Perempuan Ciliwung dan Struktur Kepengurusan Sekolah Perempuan Ciliwung.

(28)

BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS, berisi Bagaimana Bentuk Pendidikan Alternatif yang diterapkan di Sekolah Perempuan Ciliwung, Model Pemberdayaan yang diterapkan di Sekolah Perempuan Ciliwung.

(29)

BAB II

LANDASAN TEORITIS

A. Pengertian Pendidikan Alternatif 1. Pengertian Pendidikan

Pendidikan adalah usaha terpadu utntuk memanusiakan manusia muda, membentuk karakter sehingga peserta didik menjadi pribadi yang berkeutamaan, terpandang karena memiliki arête dan budaya intelektual. Dengan kata lain, pendidikan adalah proses humanisasi, dalam arti mengolah potensi-potensi yang dimiliki seseorang untuk menjadi lebih manusiawi.21

Prof. Langeveld, seorang ahli pedagogik dari Belanda, mengemukakan batasan pendidikan sebagai suatu bimbingan yang diberikan oleh orang dewasa kepada anak belum dewasa untuk mencapai tujuan, yaitu kedewasaan.22 Pendidikan juga dipahami sebagai proses liberasi dalam arti bahwa melalui pendidikan, peserta didik mengalami proses emansipasi dan dibebaskan dari berbagai bentuk penindasan dogmatisme dan fatalisme yang melumpuhkan. Melalui pendidikan, memori-memori dan narasi-narasi yang selama ini dikubur dan dibungkam oleh sistem dan struktur yang menindas, menjadi hidup kembali.23

21 Bambang Sugiharto Dkk, Humanisme dan Humaniora; Relevansinya bagi Pendidikan, Jalasutra,

Jogjakarta:2008.hal.343

22 Drs. H. Burhanuddin salam, Pengantar Pedagogik;Rineka Cipta: Jakarta:1997.

(30)

Sebagaimana kita tahu, dalam konteks wacana perempuan, sistem dan struktur acapkali menjadi pelegalan terhadap penindasan terhadap kaum perempuan. Tak terkecuali sistem yang ada di sekolah formal yang masih belum mengarus-utamakan kesetaraan dan keadilan gender. Melalui pendidikan (dalam arti yang sesungguhnya), kaum perempuan mengenal emansipasi dan akhirnya menjadi sebagai stimulus untuk melakukan perubahan sosial.

Ada beberapa paradigma dalam pendidikan, yaitu:24 1) Pendidikan sebagai proses pembebasan

2) Pendidikan sebagai proses pencerdasan 3) Pendidikan menjunjung tinggi hak-hak anak 4) Pendidikan menghasilkan tindak perdamaian 5) Pendidikan anak berwawasan integratif 6) Pendidikan membangun watak persatuan 7) Pendidikan menghasilkan manusia demokratis

8) Pendidikan menghasilkan manusia yang peduli terhadap lingkungan

Menurut Paulo Freire, asas penting asasi pendidikan sebagai tindak pengetahuan (kognisi), tidak hanya tentang isi, tetapi juga tentang “sebab-musabab” fakta-fakta ekonomi, sosial, politik, Ideologi, dan sejarah yang menerangkan besar kecilnya atau tinggi rendahnya halangan atau larangan tubuh sadar kita, di mana kita

(31)

temukan diri kita berada.25 Yang harus dipahami bahwa, peranan pendidik yang progresif, yang tidak dapat dan tidak boleh ditinggalkan, dalam memberikan pembacaannya sendiri tentang dunia, ialah mengemukakan kenyataan bahwa ada pembacaan-pembacaan yang lain tentang dunia, yang berbeda dengan pembacaan yang sedang diberikannya sebagai pembacaan pendidik tentang dunia, dan yang kadang-kadang malahan bertentangan dengan pembacaannya itu.26

Belajar berarti menuntut suatu keterampilan atau pemahaman yang baru. Pendidikan di sekolah tidak mendidik dan tidak membebaskan karena hanya memberikan pengajaran kepada mereka yang tiap langkah pengajarannya telah mematuhi peraturan-peraturan yang telah disetujui masyarakat sebelumnya. Dan, yang merupakan dasar sistem pendidikan adalah bahwa, sebagian besar pengetahuan merupakan hasil pengajaran (Ivan Illic : 1982)

2. Langkah-Langkah Humanisasi Pendidikan

Melalui pendidikan yang terpadu dan holistik diharapkan terbentuk manusia yang mampu menggali makna, menemukan jati diri, menyadari dan mengembangkan potensi yang dimiliki, mengendalikan naluri, membentuk hati nurani, menumbuhkan rasa kekaguman dan mampu mengekspresikan perasaaan dan pemikirannya secara tepat dan benar. Beberapa langkah-langkah yang harus ditempuh untuk membentuk manusia utuh melalui pendidikan adalah:

25

Paulo Freire, Pedagogi Pengharapan;Menghayati Kembali Pedagogi Kaum Tertindas. Kanisius. Jogjakarta:2001. hal.134

26

(32)

a. Learning to know : mambantu peserta didik untuk memiliki kemampuan berfikir kritis dan sistematis guna memahami realitas diri, sesama dan dunia. b. Learning to do : membantu peserta didik untuk mampu menerapkan apa yang

diketahui dan dipahami ke dalam praksis untuk mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi (problem solving).

c. Learning to be : membantu peserta didik menjadi diri sendiri yang autentik dan mandiri, berpegang pada prinsip sehingga tidak mudah digoyahkan oleh berbagai kepentingan pribadi dan desakan lingkungan.

d. Learning to live together : membantu peserta didik memahami perbedaan dan keunikan, memahami dunia orang lain, mau berbagi dengan sesama, mampu menjalin kerja sama (cooperative), mengelola konflik secara rasional dan argumentatif. Dari sisi lahir kesadaran dan pemahaman bahwa persatuan dibangun bukan dengan memangkas perbedaan tapi dengan menghargai perbedaan dan keunikan masing-masing. Peserta didik diharapkan dapat hidup bersama silih-asih, silih-asih, silih-asuh, memperkukuh jalinan kerjasama, meretas solidaritas lintas batas, mengikis sikap egois, merintis sikap altruis. e. Learning to learn : menstimulasi peserta didik untuk terus belajar dan mampu

memaknai setiap peristiwa dan pengalaman kontras negatif. Pengalaman kontras negatif mendorong para peserta didik untuk mengembangkan daya kreatif dan imajinatif untuk mengubah situasi tidak manusiawi menuju situasi yang lebih manusiawi, bebas dan adil.

(33)

f. Learning to love : membantu mahasiswa agar mampu mencintai diri sendiri, sesama, Tuhan, dan lingkungan. Disamping itu, peserta didik juga dibantu mencari, mencintai dan menghayati kebenaran dan kebijaksanaan (Bambang Sugiharto, dkk, dalam Humanisme dan Humaniora : 2008)

3. Metode Pendidikan yang Berorientasi Pada Perubahan Sikap dan Perilaku

Pendidikan dan penanaman nilai-nilai bukan hanya persoalan knowledge, tapi persoalan bagaimana pengetahuan tentang nilai tersebut dapat dibatinkan dan dijadikan milik pribadi yang bersangkutan dan nantinya akan mempengaruhi cara berfikir, merasa dan bertindak seseorang. Dalam kaitannya dengan itu, ada beberapa metode yang dapat digunakan, yakni:

a. Learning by doing and exposure :

Jenis belajar dengan cara ini dapat dilakukan dengan kuliah lapangan, kunjungan museum dan kunjungan sosial. Melalui kegiatan ini, para peserta didik diajak langsung di lapangan, mengamati dan mendengar apa yang sesungguhnya terjadi. Kemudian mereka membuat refleksi tentang nilai-nilai apa yang dapat mereka pelajari melalui exposure tersebut.

b. Learning by experiencing

Para peserta didik dilibatkan dalam berbagai kegiatan, baik itu lomba-lomba, kegiatan sosial dan kegiatan keruhanian. Bagaimana peserta didik dapat

(34)

memahami dan menghayati arti toleransi antar umat beragama bila mereka pernah berinteraksi, mengalami dan merasakan perjumpaan dengan orang yang berbeda agama dan keyakinan.

c. Learning by exploring and appreciating

Melalui media film dan karya seni lainnya, para peserta didik dapat melihat nilai-nilai apa yang dapat dipelajari dan reaksi apa yang muncul pada saat mereka melihat situasi yang ditayangkan di dalam film tersebut. Pada saat melihat adegan kekerasan terhadap orang yang tak bersalah misalnya, apakah dalam diri mereka muncul kemarahan moral atau bersikap indefferent. Rasa kemanusiaan dapat diasah melalui analisis film atau karya seni lainnya.

d. Learning by living in

Peserta didik diajak untuk tinggal beberapa lama di suatu daerah atau lingkungan untuk mengamati, mengalami, dan berinteraksi dengan penduduk setempat. Dari situ, mereka dapat mempelajari nilai-nilai yang berlaku, apakah ada sesuatu yang menggetarkan kesadaran dan nuraninya saat tinggal dan berinteraksi dengan dunia luar.

e. Problem solving method

Sebagaimana yang dikembangkan John Dewey, peserta didik dilatih untuk menyadari bahwa ada persoalan, lalu mengidentifikasi dan memahami persoalan tersebut, menganalisisnya dengan tujuan untuk menggali akar penyebabnya, membuat hipotesis atas jalan keluar yang ditawarkan dan mengujinya ke dalam praksis, apakah jalan keluar yang diantisipasi

(35)

sungguh-sungguh menyelesaikan persoalan yang dihadapi atau tidak. Melalui metode pemecahan masalah, para peserta didik dipicu kreasi dn imajinasinya untuk menemukan jalan keluar dari persoalan yang dihadapinya.

f. Case study method

Melalui metode studi kasus, peserta didik dilatih untuk melihat persoalan-persoalan hidup dari berbagai sudut pandang. Melalui metode ini, peserta didik diajak untuk bekerja sama dan berinteraksi dalam upaya mencari pemecahan atas berbagai persoalan yang dihadapi. Sehingga peserta didik tidak hanya mengetahui dan memahami berbagai teori, tapi juga mahir dalam menggunakan teori dan prinsip-prinsip ke dalam praksis hidup yang konkret.27

4. Pendidikan Alternatif

Kata alternatif berasal dari bahasa inggris “alternatif” artinya “pilihan atau cadangan”.28 Dalam konteks ini, alternatif diartikan sebagai pilihan yang lain selain sekolah formal seperti pada umumnya (informal). Pendidikan alternatif lahir sebagai kritik atas pendidikan konvensional yang ada di sekolah. Pendidikan di sekolah terlalu monoton, tidak membebaskan bahkan membodohkan. Karena itu, sudah banyak kritik yang dilontarkan untuk pendidikan di sekolah itu.

Pendidikan alternatif yang berkembang ada dua kategori. Pertama, yang dikembangkan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan diakses oleh

27 Bambang Sugiharto, Humanisme dan Humaniora (relevansinya bagi pendidikan). hal.352-353 28Dhanny R. Cyssco, Kamus English-Indonesia, Indonesia-Inggris. Batavia Press. Jakarta:2006

(36)

kelompok marginal (terpinggir). Kedua, pendidikan alternatif yang digagas oleh pihak-pihak swasta atau kelompok massa yang berbasiskan agama tertentu yang diakses oleh kalangan tertentu misalnya, sekolah alam.29 Pendidikan alternatif jenis yang kedua, tentu masih mengandung masalah karena biasanya memungut biaya yang mahal. Sehingga akhirnya, hanya bisa diakses oleh kalangan tertentu saja. Sementara kaum marginal tidak.

Pendidikan kritis transformatif pada dasarnya adalah model pendidikan yang bersifat kooperatif. Memberikan ruang pada segenap kemampuan peserta didik menuju proses berpikir yang lebih bebas dan kreatif. Sebuah model pendidikan yang menghargai potensi yang ada pada setiap individu-indvidu anak didik. Bentuk pendidikan yang memiliki arah dan tujuan keluar dari kemelut dan problematika internal maupun eksternal yang dihadapi oleh dunia pendidikan nasional.

Dalam pendidikan kritis transformatif, ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang dikomunikasikan oleh makna narasi atau yang disebut dengan grand narasi. Grand narasi adalah sesuatu yang diklaim sebagai suatu teori yang dapat menjelaskan segala sesuatunya. Konsep pendidikan seperti ini akan membentuk peserta didik sebagai subjek yang akan menentang adanya struktur hierarki ilmu pengetahuan.30

29

Yusufhadi di Miarrso, Pendidikan Alternatif Sebuah Agenda Reformasi, (artikel kuliah) Jurusan Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Jakarta. (1999)

30

Ahmad Makki Hasan, Konsep Pendidikan Alternatif, (http//:ahmadmakki.wordpress.com/2009/06/10/konsep-pendidikan-alternatif/ posted on Juni 10, 2009 at 12:06 pm; diakses pada tanngal 23 April, pukul. 09.39)

(37)

Dalam konteks hubungannya dengan perempuan, pendidikan di sekolah masih kurang berpihak pada perempuan. Masih sering terjadi bias gender, baik dalam proses belajar-mengajar maupun mainstream yang dibangun. Ada beberapa faktor yang menjadi kendala pencapaian gender dalam dunia pendidikan. Antara lain: pertama, kurangnya kesadaran akan pentingnya pemberdayaan perempuan dan anak perempuan. Kedua, kurangnya kesadaran di legislatif untuk mengeluarkan kebijakan publik yang perlu dalam mengatasi persoalan trackfiking, eksploitasi anak perempuan, masalah prostitusi anak perempuan. Ketiga, kurangnya inisiatif dalam memikirkan pendidikan alternatif bagi komunitas asli dan kelompok marginal lainnya. Keempat, faktor kemiskinan yang akhirnya mengukuhkan diskriminasi terhadap perempuan di bidang pendidikan. Kelima, minimnya political will dari para pengambil kebijakan.31

Karena itu, pendidikan alternatif bagi perempuan menjadi penting untuk diadakan. Pendidikan alternatif yang dimaksud disini adalah sebuah konsep pendidikan yang mengandung visi, misi, metode dan segala aktivitas yang mengandung nilai partisipatoris, demokratis, personal is political, transparansi, dan berpihak pada perempuan.32

Ada tiga alasan mengapa pendidikan alternatif bagi perempuan itu penting.

Pertama, karena faktor gendernya membuat akses perempuan ke dalam dunia

pendidikan sangat rendah. Kedua, pendidikan alternatif penting karena kurikulum di

31

Iva Sasmita, Pendidikan Alternatif Perempuan:Perlawanan Terhadap Mainstream Pendidikan. Jurnal Perempuan, No.44/2005.Hal.7

32

(38)

Indonesia hingga saat ini masih bias gender. Akibatnya perempuan yang dirugikan dengan gambaran-gambaran streotipe itu. Ketiga, pendidikan formal di Indonesia saat ini, belum menjawab kebutuhan spesifik perempuan. Misalnya, pemahaman tentang hak-hak reproduksi perempuan di tempat kerja, trafficking, kekerasan dalam rumah tangga dan sebagainya.33

B. Model pemberdayaan Perempuan 1. Model Pemberdayaan

Model adalah pola (contoh, acuan, ragam) dari sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan (Departemen P dan K, 1984:75). Jadi, dalam hal ini, model pemberdayaan adalah pola, acuan atau contoh yang digunakan dalam proses pemberdayaan atau pengorganisasian masyarakat.

Model-model pemberdayaan masyarakat dengan mengacu pada model Rothman dan Tropman dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel. 2

Model-Model Praktek Pengorganisasian Masyarakat menurut Rothman dan Tropman 1987 Model A (Pengembangan Masyaraka Lokal) Model B (Perencanaan Sosial) Model C (Aksi Sosial) 33

Adriana Venny; Pendidikan Alternatif:Jawaban Atas Masalah Perempuan; Jurnal Perempuan; No. 44/2005.hal.5

(39)

1. Kategori tujuan tindakan terhadap masyarakat Kemandirian; pengembangan kapasitas dan pengintegrasian masyarakat (tujuan yang dititik beratkan pada proses-process goals) Pemecahan masalah dengan memperhatikan masalah yang

penting yang ada pada masyarakat (tujuan

dititikberatkan pada tugas

task-goals)

Pergeseran (pengalihan) sumber daya dan relasi kekuasaan, perubahan institusi dasar (task ataupun process goals) 2. Asumsi mengenai struktur komunitas dan kondisi permasalahannya Adanya anomie dan “kemurungan” dalam masyarakat; kesenjangan relasi dan kapasitas dalam memecahkan masalah secara demokratis; komunitas berbentuk tradisional statis. Masalah sosial yang sesungguhnya; kesehatan fisik dan mental, perumahan dan rekreasional. Populasi yang dirugikan; kesenjangan sosial; perampasan hak, dan ketidakadilan. 3. Strategi perubahan dasar Pelibatan berbagai kelompok warga dalam menentukan dan memecahkan masalah mereka sendiri. Pengumpulan data yang terkait dengan masalah, dan memilih serta menentukan bentuk tindakan yang paling rasional. Kristalisasi dari isu dan pengorganisasian massa untuk menghadapi sasaran yang menjadi “musuh” mereka. 4. Karakteristik taktik dan tekhnik perubahan Konsensus; komunikasi antar kelompok dan kelompok kepentingan dalam masyarakat (komunitas); diskusi kelompok. Konsensus atau konflik Konflik atau kontes; konfrontasi; aksi yang bersifat langsung negosiasi.

(40)

5. Peran praktisi yang menonjol Sebagai Enabler-katalis, koordinator, orang yang meng-‘ajar’-kan keterampilan memecahkan masalah dan nilai-nilai etis. Pengumpul dan penganalisis data, pengimplementasi program, dan fasislitator Aktivis, advokat, agiator, pialang, negosiator, partisan. 6. Media peru bahan Manipulasi kelompok kecil yang berorientasi pada terselesaikannya suatu tugas (small task oriented groups) Manipulasi organisasi formal dan data yang tersedia. Manipulasi organisasi massa dan proses-proses politik. 7. Orientasi terhadap struktur kekuasaan Anggota dari struktur kekuasaan yang bertindak sebagai kolaborator, dalam suatu “ventura” yang bersifat umum Struktur kekuasaan sebagai “pemilik” dan ‘sponsor’ (pendukung) Struktur kekuasaan sebagai sasaran eksternal dari tindakan yang dilakukan; mereka yang memberikan “tekanan” harus dilawan dengan memberikan “tekanan” balik. 8. Batasan definisi sistem klien dalam komunitas (konstituensi) Keseluruhan komunitas geografis Keseluruhan komunitas atau dapat pula suatru

segmen dalam komunitas (termasuk komunitas fungsional) Segmen dalam komunitas. 9. Asumsi mengenai kepentingan dari kelompok-Kepentingan umum atau pemufakatan dari berbagai Pemufakatan kepentingan atau konflik Konflik kepentingan yang sulit dicapai kata mufakat;

(41)

kelompok di dalam suatu komunitas. perbedaan kelangkaan sumber daya. 10. Konsepsi mengenai populasi klien (konstituensi) Warga masyarakat Konsumen (pengguna jasa) “korban” 11. Konsepsi mengenai peran klien Partisan pada proses interaksional pemecahan masalah Konsumen atau resipien (penerima pelayanan) Employer, konstituen, anggota.

(Sumber: Isbandi Rukminto Adi, Pemberdayaan, Pengembangan Mayarakat dan Intervensi

Komunitas, Fakultas ekonomi UI, Jakarta:2003).

Rothman dan Tropman menggambarkan perbedaan dari model A, B dan C dilihat dari 11 variabel utamanya, yaitu:

1. Kategori tujuan tindakan terhadap masyarakat

Ada dua tujuan utama yang terikat dengan pengorganisasian masyarakat yang pertama lebih mengacu pada “tugas” (task); dan yang lainnya lebih mangacu pada “proses”. Kategori tujuan yang berorientasi pada tugas (task goal) menekankan pada penyelesaian tugas-tugas mereka atau pun pemecahan masalah yang menganggu fungsi sitem sosial (seperti penyediaan sistem layanan; penyediaan jenis layanan yang baru: pembuatan terobosan dalam bidang perundang-undangan sosial; dan lainnya). Sedangkan tujuan yang berorientasi pada perluasan dan pemeliharaan sistem yang bertujuan untuk memapankan relasi kerjasama antar kelompok dalam suatu komunitas; menciptakan struktur pemecahan masalah komunitas; menciptakan struktur

(42)

pemecahan masalah komunitas yang terpelihara secara baik oleh komunitas tersebut. Menstimulasikan masyarakat agar mempunyai minat dan partisipasi yang luas terhadap isu-isu dalam komunitas; mengembangkan sikap dan perilaku serta kerjasama; serta meningkatkan peranan kepemimpinan yang berasal dari komunitasnya. Tujuan yang berorientasi pada proses ini oleh Ross dikatakan sebagai tujuan yang mencoba mengembangkan kapasitas masyarakat tertentu.

a. Model A (Pengembangan Masyarakat Lokal)

Kategori tujuannya lebih memberikan penekanan pada process goal (tujuan yang berorientasi pada proses), dimana masyakat dicoba untuk diintegrasikan serta dikembangkan kapasitasnya (community

intergration dan community capacity) dalam upaya memecahkan

masalah mereka secara kooperatif berdasarkan kemauan dan kemampuan menolong diri sendiri (self help) sesuai dengan prinsip-prinsip demokratis.

b. Model B (Perencanaan Sosial)

Dalam perencanaan sosial, kategori tujuan lebih ditekankan pada task

goal (tujuan yang berorientasi pada penyelesaian tugas). Pengorganisasian perencanaan sosial biasanya berhubungan dengan masalah-masalah sosial yang konkrit, dan nama-nama bagian

(43)

(departemen) mereka mencirikan hal ini. Misalnya, depertemen kesehatan.

c. Model C (Aksi Sosial)

Pendekatan aksi sosial mengarah pada kedua tujuan tersebut (baik task

goal dan process goal). beberapa organisasi aksi sosial (kelompok

pembela hak asasi, kelompok green peace) memberi penekanan pada upaya terbentuknya aturan (perundangan) yang baru atau merubah praktek-prkatek tertentu. Biasanya tujuan ini mengakibatkan adanya modifikasi kebijakan organisasi-organisasi formal.

2. Asumsi yang terkait dengan struktur komunitas dan kondisi permasalahannya.

a. Model A (Pengembangan Masyarakat Lokal)

Komunitas lokal seringkali tertutup oleh masyarakat yang lebih luas dan memunculkan kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Kesenjangan dalam komunitas lokal dapat terjadi pada relasi antar pribadi yang “bermakna” dan keterampilan memecahkan masalah. Hal ini dapat memunculkan anomie, keterasingan dan kadangkala juga memunculkan kelainan jiwa.

Alternatif yang lain, komunitas seringkali dipandang sebagai ikatan tradisional yang dipimpin oleh kelompok kecil pemimpin-pemimpin konvensional, dan terdiri dari populasi yang buta huruf dan

(44)

mempunyai kesenjangan dan keterampilan memecahkan masalah serta pemahaman mengenai proses demokrasi.

b. Model B (Perencanaan Sosial)

Seorang perencana sosial lebih melihat komunitas sebagai (terdiri dari) sejumlah kondisi masalah sosial yang inti, atau masalah inti yang bersifat khusus dengan minat dan kepentingan tertentu (seperti masalah perumahan, pengangguran, kesehatan dan rekriasional)

c. Model C (Aksi Sosial)

Seorang praktisi aksi sosial mempunyai cara berfikir yang berbeda. Mereka melihat komunitas sebagai (terdiri dari) hirarki dari privilege dan kekuasaan. Target para praktisi aksi sosial adalah mereka (populasi) yang mendapat tekanan, diabaikan, tidak mendapatkan keadilan, eksploitasi oleh pihak tertentu, dan sebagainya.

3. Strategi Perubahan Dasar

1) Model A (Pengembangan Masyarakat Lokal)

Dalam pengembangan masyarakat lokal strategi perubahannya dicirikan dengan ungkapan “marilah kita bersama-sama membahas

masalah ini”. dari ungkapan tersebut terlihat akan adanya upaya

mengembangkan keterlibatan warga sebanyak mungkin dalam upaya menemukan kebutuhan yang mereka rasakan (felt needs), dan memecahkan masalah mereka.

(45)

Strategi dasar dari model ini tergambar dalam ungkapan “marilah kita kumpulkan fakta dan lakukan langkah-langkah logis berikutnya”. Dengan kata lain, seorang perencana sosial biasanya berusaha untuk mengumpulkan fakta-fakta mengenai msalah yang dihadapi sebelum mereka memilih tindakan rasional dan tepat dilakukan (rational and

feasible). Partisipasi dalam model B tidak ‘sekental’ pada

pengembangan masyarakat (model A). Perencana dalam pengumpulan dan penganalisaan data (fakta) bisa saja menggunakan tenaga di luar komunitas tersebut, begitu pula dalam upaya mengembangkan program dan kegiatan yang akan dilakukan. Tetapi meskipun demikian, mereka tetap mendasari tugasnya berdasarkan fakta masyarakat tersebut.

3) Model C (Aksi Sosial)

Strategi perubahan dari model C terlihat dari ungkapan “mari kita

mengorganisir diri agar dapat melawan para penekan kita”.

Ungkapana tersebut merupakan kristalisasi isu-isu yang dihadapi masyarakat, yang kemudian membuat masyarakat mengenali “musuhnya” dan mengorganisir diri dan membentuk aksi massa untuk ganti memberikan tekanan terhadap kelompk sasaran mereka.

4. Karakteristik Taktik dan Tekhnik Perubahan 1) Model A (Pengembangan Masyarakat)

(46)

Taktik dalam pengembangan masyarakat lebih ditekankan pada pencapaian konsensus. Hal ini biasanya lebih dilakukan melalui komunikasi dan proses diskusi yang melibatkan berbagai macam individu, kelompok, maupun faksi. Blakely juga menekankan pentingnya tekhnik-tekhnik deliberative dan kooperatif ini pada penerapan pengembengan masyarakat lokal. Karena hal ini membedakan peranannya dengan peranan seorang activist (yang lebih berorinetasi pada aksi sosial), dimana mereka lebih menekankan pada pendekatan konflik

2) Model B (Perencanaan Sosial)

Taktik dan tekhnik yang sangat berperan dalam perencanaan sosial adalah tekhnik pengumpulan data dan keterampilan untuk menganalisis. Tekhnik konsensus mamupun konflik mungkin saja diterapkan, tetapi itu semua tergantung dengan hasil analisis perencana tersebut terhadap situasi yang ada.

3) Model C (Aksi Sosial)

Para praktisi aksi sosial lebih menekankan pada taktik konflik (sesuai dengan peranan mereka sebagai aktifis), dengan cara melakukan konfrontasi dan aksi-aksi langsung. Selain itu dibutuhkan pula kemampuan untuk memobilisir massa sebanyak mungkin untuk melaksanakan rally (demostrasi) bahkan kalau perlu dengan melakukan pemboikotan.

(47)

5. Peran Praktisi dan Media Perubahan

1) Model A (Pengembangan Masyarakat Lokal)

Pada pengembangan masyarakat lokal, peranan yang dilakukan oleh

community worker ataupun para praktisi lebih banyak mengacu pada

peran sebagai enebler (Biddle menyebutnya sebagai encourager). Sebagai enabler seorang community worker membantu masyarakat agar mengartikulaiskan kebutuhan mereka; mengidentifikasikan masalah mereka; dan mengembangkan kapasitas mereka agar mereka dapat menangani masalah yang mereka hadapi secara lebih efektif. Media perubahannya adalah melalui penciptaan (kreasi) dan manipulasi (dalam arti yang positif) kelompok-kelompok kecil yang berorientasi pada tugas. Hal ini tentunya membutuhkan kemampuan massa secara kolaboratif (dengan cara bekerja sama)

2) Model B (Perencanaan Sosial)

Peran yang biasa digunakan oleh perencana sosial adalah peranan sebagai expert. Peran ini lebih menekankan pada penemuan fakta, implementasi program, dan relasi dengan berbagai macam birokrasi, serta tenaga profesional dari berbagai disiplin.

Ross melihat bahwa peran sebagai expert, setidak-tidaknya terdiri dari beberapa komponen, yakni:

a) Diagnosis Komunitas;

(48)

c) Informasi mengenai komunitas yang lain; d) saran terhadap metode dan prosedur organisasi; e) Informasi tekhnis;

f) kemampuan mengevaluasi.

Medium perubahannya adalah manipulasi organisasi (termasuk di dalamnya adalah relasi antar organisasi) seperti juga dengan pengumpulan dan analisi data.

3) Model C (aksi sosial)

Pada aksi sosial peran yang dilakukan oleh community worker lebih mengarah kepada peran sebagai advokat dan aktivis. Media perubahannya adalah dengan menciptakan dan memanipulasi pengorganisasian dan pergerakan massa untuk mempengaruhi proses politis. Oleh karena itu, pengorganisasian massa pada aksi sosial menjadi isu yang penting.

6. Sama dengan bagian 5

7. Orientasi terhadap struktur kekuasaan

1) Model A (pengembangan masyarakat lokal)

Pada pengembangan masyarakat lokal struktur kekuasaan sudah tercakup di dalam konsepsi mengenai komunitas itu sendiri. Setiap segmen komunitas dianggap sebagai bagian dari sistem klien. Selain itu, sebagai konsekuensinya, hanya tujuan yang dapat memunculkan keepakatan yang saling menguntungkan (mutual agreement) yang

(49)

dapat diterima dan relevan. Sedangkan tujuan yang terlalu mencerminkan minat dan kepentingan segmen tertentu seringkali tidak dapat diterima.

2) Model B (Perencanaan Sosial)

Pada perencanaan sosial, struktur kekuasaan biasanya muncul sebagai sponsor atau “bos” dan praktisi (perencana). Oleh karena itu, Morris dan Binstock menyatakan bahwa sangatlah sulit bagi seseorang untuk membedakan antara perencana dengan organisasi yang mengerjakannya.

Para perencana biasanya merupakan tenaga profesional yang telatih dengan baik, dimana dalam memberikan layanan, ia membutuhkan dukungan perangkat keras dan perangkat lunak, serta bantuan dana dan fasilitas. Biasanya seorang perencana hanya bisa mendapat dukungan itu dari orang yang memiliki kekuasaaan. Oleh karena itu, Martin Rein menyatakan bahwa dalam banyak perencanaan perlu dilakukan konsensus dengan kelompok elit (sebagai employer dan pembuat kebijakan dalam suatu perencanaan organisasi. Konsensus ini biasanya baru dapat tercapai bila ada dukungan data faktual (karena itu perencana sangat mementingkan data yang faktual).

3) Model C (Aksi Sosial)

Struktur kekuasaan oleh para praktisi aksi sosial dianggap sebagai target eksternal dari suatu tindakan. Sehingga dapat dikatakan bahwa

(50)

struktur kekuasan berada di luar sistem klien (konstituensi). Struktur kekuasaan seringkali dianggap sebagai kekuatan antithesis yang akan menekan klien (kelompok konstituen).

8. Batasan definisi dari sistem klien dalam komunitas (Konstituen) 1) Model A (Pengembangan Masyarakat Lokal)

Dalam pengembangan masyarakat lokal, total komunitas biasanya didasarkan pada kesatuan geografis (seperti Rukun warga, desa, kota). Mereka dalam kesatuan tersebutlah yang menjadikan klien dari

community worker.

2) Model B (Perencanaan Sosial)

Klien dari perencana sosial bisa merupakan kesatuan geografis (misalnya desa, kota), tetapi dapat pula merupakan kesatuan fungsionalnya (misalnya, kelompok tuna grahita, kelompok pecinta buku).

3) Model C (Aksi Sosial)

Klien dari praktisi biasanya merupakan bagian atau segmen masyarakat yang membutuhkan bantuan. Mereka dapat dikatakan sebagai kelompok yang membutuhkan layanan tetapi tidak terjangkau oleh layanan tersebut. Dalam aksi sosial, para praktisi lebih melihat kelompok tersebut sebagai ‘teman-teman partisan’ dibandingkan sekolompok klien.

(51)

9. Asumsi mengenai kepentingan kelompok-kelompok (subparts) dalam suatu komunitas.

1) Model A (Pengembangan Masyarakat)

Dalam pengembangan masyarakat lokal, berbagai kepentingan kelompok dan faksi dalam masyarakat dilihat sebagai mendasar merupakan permufakatan yang responsif terhadap pengaruh dari persuasi yang rasional, komunikasi dan niat baik bersama. Pengembangan masyarakat ini bersifat humanistik dan mereka mempunyai asumsi bahwa, mereka akan mampu menangani masalah yang mereka hadapi dengan melalui upaya berkelompok (hal ini tentunya membutuhkan kejujuran dalam berkomunikasi dan memberikan umpan balik). Kepentingan dari masing-masing kelompok pada model A, seolah-olah sudah membaur.

2) Model B (Perencanaan Sosial)

Pada perencanaan sosial tidak ada asumsi yang pervasif mengenai tingkat intraktabilitas atau pun konflik kepentingan. Pendekatan yang mereka lakukan lebih bersifat pragmatis, dan berorientasi untuk menangani masalah tertentu, sehingga ‘aktor’ memainkan peranan disini. Sehingga permufakatan atau pun konflik dapat ditolerir dalam pendekatan ini, selama tidak menghalangi proses pencapain tujuan. 3) Model C (aksi sosial)

(52)

Pada aksi sosial asumsi bahwa kepentingan dari masing-masing bagian dalam masyarakat sangar bervariasi dan sulit diambil kata mufakat. Sehingga seringkali cara-cara koersif harus dilaksanakan (seperti melalui pemboikotan dan perundang-undangan) sebelum penyesuaian dapat terjadi. Mereka yang mempunyai kekuasaan dan privilege dari/terhadap kelompok-kelompok yang kurang diuntungkan tersebut seringkali tidak mau melepaskan ‘keuntungan’ yang mereka dapat. Dorongan-dorongan dari kepentingan yang menyebabkan mereka merasa bodoh kalau mereka melepaskan apa yang sudah mereka miliki.

10. Konsepsi Mengenai Populasi Klien (konstituensi) 1) Model A (Pengembangan Masyarakat Lokal)

Dalam pengembangan masyarakat lokal, klien dipandang sebagai warga yang sederajat yang memiliki kekuatan-kekuatan yang perlu diperhatikan, tetapi belum semuanya dapat dikembangkan dengan baik. Praktisi di sini berusaha mengembangkan apa yang belum dikembangkan secara optimal tersebut dengan memfokuskan pada kemampuan klien. Dari pandangan ini terlihat bahwa setiap warga adalah sumber daya yang berharga.

2) Model B (Perencanaan Sosial)

Dalam perencanaan sosial klien lebih dilihat sebagai konsumen dari suatu layanan (service), dan mereka akan menerima serta

(53)

memanfaatkan program dan layanan sebagai hasil dari proses perencanaan. Misalnya, pada sektor perumahan, kesehatan jiwa, dan sebagainya. Bahkan Morris dan Binstock lebih senang menggunakan istilah konsumen dibandingkan istilah klien dalam kerangka analisis perencanaan sosial mereka.

3) Model C (Aksi Sosial)

Di sini, klien atau konstituen lebih dilihat sebagai ‘korban’ dari suatu sistem.

11. Konsepsi Mengenani Peran Klien

1) Model A (Pengembangan Masyarakat)

Peran klien dalam pengembangan masyarakat lokal dikonsepsikan sebagai partisipan aktif dalam proses interaksional satu dengan yang lainnya, juga dengan community worker-nya. Penekanan utama diberikan pada kelompok dalam masyarakat, di mana mereka bersama berusaha belajar dan mengembangkan diri.

2) Model B (Perencanaan Sosial)

Disini klien memainkan peran peranan sebagai resipient (penerima) pelayanan. Klien aktif (‘mengkonsumsi) layanan-layanan yang diberikan, tetapi bukan dalam proses menentukan tujuan dan kebijakan (hal ini membedakan dengan model A). Fungsi pembuatan kebijakan dijalankan oleh Si-perencana setelah melalukan konsensus dengan elit (seperti dewan direktur)

(54)

3) Model C (Aksi Sosial)

Disini klien biasanya merupakan ‘bawahan’ bersama praktisi dengan praktisi aksi sosial, dan mereka berusaha ‘mendobrak’ sistem yang ada. Praktisi disini juga memainkan peranan sebagai ‘bawahan’ dan ‘pelayanan’ masyarakat, bersama dengan ‘teman-teman partisan’ mereka menjadi kelompok penekan yang mencoba memberikan tekanan terhadap kelompok elit.34

2. Pemberdayaan Perempuan

Pemberdayaan dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan dari “empowerment” dalam bahasa Inggris, menurut Merriam Webster Oxford English Dictionary, mengandung dua pengertian : Pertama, to give ability or enable to, yang diterjemahkan sebagai memberi kecakapan/kemampuan atau memungkinkan untuk. Kedua, to give or authority to, yang artinya memberi kekuasaan.35

Onny S. Priyono dan Pranarka (1996), sebagaimana yang dikutip oleh Roesmidi dan Riza Risyanti di dalam bukunya Pemberdayaan Masyarakat, berdasarkan penelitian kepustakaan tentang pengertian di atas, dinyatakan bahwa proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan. Pertama, yang menekankan kepada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau

34

Isbandi Rukminto Adi, Pemberdayaan, Pengembangan Mayarakat dan Intervensi Komunitas, Jakarta:Fakultas Ekonomi UI, 2003. hal.54.

35

Drs. H. Roesmidi & Dra. Riza Risyanti. Pemberdayaan Masyarakat, Bandung. Alquaprint Jatinangor :2006.hal.2

Referensi

Dokumen terkait

Unity 3d adalah salah satu software yang bagus untuk mengembangkan game 3D selain itu juga merupakan software atau aplikasi yang interaktif dan atau dapat juga digunakan

Penggunaan Zat Pengatur Tumbuh dengan konsentrasi yang tepat akan menaikkan hasil, sedangkan pada konsentrasi yang tinggi dapat menghambat pertumbuhan, dan

menentukan hasil apa yang harus dicapai setelah menyelesaikan proses penelitian.. Desain penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah desain kausal. 33) dijelaskan bahwa,

Instrumen mempunyai presisi yang baik jika dapat.. Instrumen mempunyai presisi yang baik

g) mempengaruhi dan mengawasi jalannya penyelenggaraan negara agar senantiasa berdasarkan pada ideologi Pancasila 1 Juni 1945 dan Undang Undang Dasar Negara Republik

Guru BK dengan latar belakang pendidikan Non-BK memiliki rata-rata burnout lebih tinggi dibandingkan guru BK dengan latar belakang

Kata dalam kotak yg digunakan kata kerja

Oleh karena itu, kesenian Tari Mayang Madu merupakan salah satu bentuk seni kebudayaan di Lamongan yang didalamnya mengandung nilai- nilai, baik yang berupa nilai religius