BAB IV
GAMBARAN UMUM
Pada bab IV ini penulis akan menyajikan gambaran umum obyek/subyek yang meliputi kondisi geografis, sosial ekonomi dan kependudukan Provinsi Jawa Tengah
A. Kondisi Geografis Provinsi Jawa Tengah
Berikut ini merupakan peta Provinsi Jawa Tengah yang terdiri dari 35 Kabupaten/Kota :
GAMBAR 4.1
Peta Provinsi Jawa Tengah
Jawa Tengah sebagai salah satu provinsi di Jawa,letaknya diapit oleh dua provinsi besar, yaitu Jawa Barat dan Jawa Timur. Letaknya antara 5°40' dan 8°30'Lintang Selatan dan antara 108°30'dan 111°30' Bujur Timur (termasuk Pulau Karimunjawa). Jarak terjauh dari
Barat ke Timur adalah 263 km dan dari Utara ke Selatan 226 km (tidak termasuk Pulau Karimunjawa). Kondisi topografi wilayah Jawa Tengah beraneka ragam, meliputi daerah pegunungan dan dataran tinggi yang membujur sejajar dengan panjang pulau Jawa dibagian tengah, dataran rendah yang hampir tersebar diseluruh Jawa Tengah dan pantai yaitu pantai Utara dan Selatan.
Provinsi Jawa Tengah terbagi menjadi 29 kabupaten dan 6 kota. Luas wilayah Jawa Tengah tercatat sebesar 3,25 juta hektar atau sekitar 25,04% dari luas Pulau Jawa dan 1,70% dari luas Indonesia. Luas wilayah tersebut terdiri dari 991 ribu hektar (30,45%) lahan sawah dan 2,26 juta hektar (69,55 %) bukan lahan sawah.
Provinsi Jawa Tengah dengan pusat pemerintahan di Kota Semarang, secara administratif terbagi 35 kabupaten/kota (29 kabupaten dan 6 kota) dengan 573 kecamatan yang meliputi 7.809 desa dan 669 kelurahan. Secara administratif Provinsi Jawa Tengah berbatasan oleh :
Sebelah Utara : Laut Jawa
Sebelah Timur : Jawa Timur
Sebelah Selatan : Samudera Hindia
Sebelah Barat : Jawa Barat
Secara admisistratif, Jawa Tengah terbagi atas 35 kabupaten/kota yang membawahi sebanyak 573 kecamatan dan 8.578 kelurahan/desa. Dari 35 kabupaten/kota yang ada, 29 adalah kabupaten dan sisanya adalah kota. Sedangkan dari 8.578 kelurahan/desa, 7.809 berstatus sebagai desa dan 769 lainnya adalah kelurahan. Dengan jumlah kelurahan/desa sebanyak 8.578, menjadikan Jawa Tengah sebagai provinsi dengan jumlah kelurahan/desa terbanyak di Indonesia.
Tabel 4.1
Karakteristik Wilayah Provinsi Jawa Tengah, 2011-2014
Wilayah Administrasi Tahun 2011 2012 2013 2014 Kabupaten/Kota 35 35 35 35 Kabupaten 29 29 29 29 Kota 6 6 6 6 Kecamatan 573 573 573 573 Desa/Kelurahan 8.577 8.578 8.578 8.578 Desa 7.810 7.809 7.809 7.809 Kelurahan 767 769 769 769
Sumber : Biro Pemerintahan Setda Provinsi Jawa Tengah
B. Kondisi Kemiskinan
Dalam arti proper, kemiskinan dapat dipahami sebagai keadaan kekurangan uang dan barang untuk menjamin kelangsungan hidup. Menurut (Chambers dalam Chriswardani Suryawati, 2005) Dalam arti luas kemiskinan merupakan suatu intergrated concept yang memiliki lima dimesi, yaitu : 1) kemiskinan (proper), 2) ketidakberdayaan (powerless), 3) kerentanan dalam menghadapi situasi darurat (state of emergency), 4) ketergantungan (dependence), dan 5) keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis.
Masalah kemiskinan bagi provinsi Jawa Tengah merupakan isu strategis dan mendapatkan prioritas utama untuk ditangani. Terbatasnya modal yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang mengakibatkan rendahnya pengetahuan dan keterampilan, rendahnya produktivitas, serta rendahnya pendapatan yang mengakibatkan lemahnya nilai tukar hasil produksi orang miskin.
Pelaksanaan penanggulangan kemiskinan provinsi Jawa Tengah tahun 2010-2014, yaitu pada tahun 2010 sebesar Rp. 153 Milyar dan terus mengalami kenaikan hingga 2014 menjadi sebesar Rp. 1,146 Trilyun. Peningkatan anggaran untuk penanggulangan kemiskinan tersebut dirasa kurang efektif hal tersebut ditunjukkan dengan melambatnya penurunan jumlah penduduk miskin hingga tahun 2014 tercatat jumlah penduduk miskin di provinsi Jawa Tengah sebanyak 4,56 juta jiwa atau 13,58%. Hal ini diakibatkan belum optimalnya
kinerja program penanggulangan kemiskinan antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/ Kota serta belum tepatnya sasaran penerima manfaat tersebut.
TABEL 4.2
Jumlah Penduduk Miskin dan Presentase Penduduk Miskin Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010-2014
Tahun Jumlah Penduduk Miskin (Ribu Jiwa ) Presentasi Penduduk Miskin (%) 2010 5.217.178 16.11 2011 5.255.962 16.21 2012 4.863.500 14.98 2013 4.811.300 14.44 2014 4.561.830 13.58
Sumber : BPS Prov. Jawa Tengah
Pada TABEL 4.2 menunjukan bahwa jumlah penduduk miskin pada tahun 2010-2014 mengalami pasang surutnya jumlah penduduk miskin, dapat dilihat pada tabel diatas peningkatan jumlah penduduk miskin terdapat pada tahun 2011 dimana pada tahun 2010 jumlah penduduk miskin sebesar 5.217.178 (ribu jiwa)/ 16.11% yang kemudian meningkat di tahun selanjutnya 2011 menjadi 5.255.962 (ribu jiwa)/ 16.21%. Peningkatan tersebut terhenti pada tahun selanjutnya 2012 hingga 2014, pada tahun tersebut jumlah penduduk miskin Provinsi Jawa Tengah mengalami penurunan yang signifikan pada tahun 2012 sebesar 4.863.500 (ribu jiwa)/ 14.98%, pada tahun 2013 sebesar 4.811.300 (ribu jiwa)/ 14.44%, pada tahun 2014 sebesar 4.561.830 (ribu jiwa)/ 13.58%.
GRAFIK 4.1
Garis Kemiskinan Maret 2010 – September 2014
Sumber : BPS Prov. Jawa Tengah
0 100 200 300 400 Maret 2010 Maret 2011 Sep-11 Maret 2012 Sep-12 Maret 2013 Sep-13 Maret 2014 Sep-14
Garis Kemiskinan (GK) Provinsi Jawa Tengah
Garis Kemiskinan (GK) merupakan batas pendapatan yang diperlukan penduduk untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau porsi tingkat pendapatan penduduk yang sudah ditentukan. Dengan memperhatikan grafik Garis Kemiskinan (GK) diatas, dari tahun 2010 – 2014 mengalami peningkatan. Garis Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2014 naik sebesar 3,12% dari Rp. 237.056 (Maret) menjadi Rp. 281.570 (September). Garis Kemiskinan di Perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan Garis Kemiskinan Pedesaan.
Dalam proses perhitungannya, besar kecil jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh Garis Kemiskinan (GK). Batasannya adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluraran per kapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan.
GAMBAR 4.2
Komoditas Makanan dan Non Makanan
Tabel 4.3
Komposisi Garis Kemiskinan melalui Makanan
No Komoditi Kota (%) Komoditi Desa (%)
1 Beras 34,37 Beras 38,28
2 Rokok kretek
filter 16,07
Rokok kretek
filter 10,60 3 Telur ayam ras 5,29 Tempe 5,56
73% 27%
Komposisi Garis Kemiskinan didominasi komoditas Makanan
Makanan Non Makanan
4 Tempe 5,02 Telur ayam
ras 4,61
5 Gula pasir 3,95 Gula pasir 4,34
6 Tahu 3,73 Tahu 3,90
7 Mie instan 3,64 Mie instan 3,45 8 Daging ayam ras 3,15 Bawang
merah 2,58
9 Bawang merah 1,96 Daging ayam
ras 2,46
10 Susu kental manis 1,57 Kopi 1,54
Tabel 4.4
Komposisi Garis Kemiskinan melalui Non-Makanan No Komoditi Kota (%) Komoditi Desa (%)
1 Perumahan 20,26 Perumahan 21,20 2 Listrik 9,45 Bensin 9,15 3 Pendidikan 9,21 Pakaian anak-anak 7,92 4 Bensin 9,11 Listrik 7,32 5 Pakaian jadi anak-anak 7,84 Pakaian jadi perempuan dewasa 7,00
Dari gambar diatas dapat disimpulkan, bahwa Komposisi Garis Kemiskinan di Jawa Tengah didominasi komoditas Makanan dibandingkan dengan komoditas bukan makanan. Hal ini mennunjukkan bahwa pola konsumsi masyarakat pada tingkat ekonomi rendah lebih dominan untuk pengeluaran kebutuhan makanan. Secara keseluruhan total peranan komoditas makanan terhadap Garis kemiskinan (GK) adalah sebesar 72,84%.
GRAFIK 4.2
Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) Provinsi Jawa Tengah
GRAFIK 4.3
Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Provinsi Jawa Tengah
Permasalahan kemiskinan bukan hanya sekedar berapa jumlah penduduk miskin dan presentase penduduk miskin. Dimensi lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan. Pemerintah Daerah harus mampu memperkecil jumlah
Maret 2010 Maret 2011 Sep-11 Maret 2012 Sep-12 Maret 2013 Sep-13 Maret 2014 Sep-14 Pedesaan 0.69 0.66 0.61 0.548 0.627 0.559 0.661 0.66 0.579 Kota+Desa 0.6 0.66 0.67 0.529 0.568 0.543 0.594 0.565 0.508 Perkotaan 0.5 0.66 0.73 0.506 0.498 0.525 0.514 0.453 0.425 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 Maret 2010 Maret 2011 Sep-11 Maret 2012 Sep-12 Maret 2013 Sep-13 Maret 2014 Sep-14 Pedesaan 2.86 2.64 2.59 2.404 2.665 2.377 2.642 2.592 2.424 Kota+Desa 2.49 2.56 2.58 2.272 2.388 2.209 2.374 2.254 2.087 Perkotaan 2.09 2.46 2.57 2.115 2.059 2.011 2.058 1.854 1.689 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5
penduduk miskin, selain itu pemerintah harus mengeluarkan kebijakan kemiskinan yang tentunya dapat mengurangi tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan.
Indeks Kedalaman Kemiskinan merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap Garis Kemiskinan. Sedangkan Indeks Keparahan Kemiskinan hanya memeberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin.
Dapat dilihat dari Grafik 4.2 dan Grafik 4.3 nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan nilai Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) angkanya fluktuatif, namun pada tahun terakhir menunjukan kecenderungan menurun. Indeks Kedalaman Kemiskinan turun dari 2.254 pada bulan Maret 2014 menjadi 2.087 pada bulan September 2014, sedangkan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) juga menunjukan penurunan dari 0.565 pada bulan Maret 2014 menjadi 0.508 di bulan September. Penurunan tersebut mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung semakin mendekati garis kemiskinan dan kesenjangan pengeluaran antar penduduk miskin juga cenderung menyempit.
C. UMK ( Upah Minimum Kabupaten/Kota)
Persoalan umum yang sudah diketahui oleh banyak kalangan mengenai tingkat upah. Upah minimum merupakan nilai standar minimum yang diperoleh para pekerja dari hasil perundingan para pengusaha atau pelaku industri.
Kebijakan upah minimum telah menjadi isu yang penting dalam masalah ketenagakerjaan di beberapa negara baik maju maupun berkembang. Sasaran dari kebijakan upah minimum ini adalah untuk menutupi kebutuhan hidup minimum dari pekerja dan keluarganya. Dengan demikian, kebijakan upah minimum adalah untuk (a) menjamin penghasilan pekerja sehingga tidak lebih rendah dari suatu tingkat tertentu, (b) meningkatkan
produktivitas pekerja, (c) mengembangkan dan meningkatkan perusahaan dengan cara-cara produksi yang lebih efisien (Sumarsono,2003).
Secara sederhana upah minimum mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap penawaran dan permintaan tenaga kerja, adanya perubahan upah akan mempengaruhi besar kecilnya penawaran tenaga kerja, sesuai dengan hukum penawaran bahwa tingkat upah yang tinggi akan menyebabkan meningkatnya jumlah tenaga kerja yang ditawarkan. Jika tingkat upah relatif rendah maka jumlah tenaga kerja yang ditawarkan akan menjadi sedikit.
Berdasarkan pendapat dari (Simanjuntak,1985), terdapat beberapa permasalahan dalam sistem pengupahan, antara lain :
1. Perbedaan persepsi antara pengusaha dan pekerja
Dalam hal ini pengusaha atau pemberi kerja dan pekerja pada umumnya memiliki perbedaan persepsi dan kepentingan dalam hal upah. Bagi pengusaha, upah dianggap sebagai beban, dimana semakin besar upah yang diberikan kepada pekerja maka akan semakin kecil keuntungan yang didapat oleh pengusaha, selain itu upah tidak hanya dalam bentuk uang tunai, tetapi juga segala sesuatu yang diberikan pengusaha kepada pekerjanya, seperti tunjangan beras, transportasi, kesehatan, konsumsi yang diberikan ketika pekerja sedang melaksanakan tugas, tunjangan saat libur, cuti dan sakit, fasilitas rekreasi dan fasilitas lain sebagainya atau bisa disebut dengan natura dan fringe benefits. Sedangkan pekerja menganggap bahwa upah merupakan imbalan yang diberikan pengusaha kepada pekerja hanya dalam bentuk uang (take-home pay). 2. Keanekaragaman sistem pengupahan
Besarnya proporsi upah dalam bentuk natura dan fringe benefits pada tiap-tiap perusahaan tidak sama, sehingga hal ini menyebabkan seringnya terjadi kesulitan dalam perumusan kebijakan nasional, misalnya seperti dalam penentuan pajak pendapatan, upah minimum, upah lembur dan lain sebagainya.
3. Rendahnya tingkat upah
Pada saat ini, masih banyak terdapat karyawan yang memiliki penghasilan rendah, bahkan lebih rendah dari kebutuhan fisik minimumnya, sehinga pekerja tidak dapat memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya.
Upah minimum dapat berubah tiap tahunnya, bergantung pada situasi dan kondisi perekonomian nasional dan daerah yang bersangkutan. Prosentasi kenaikan upah minimum berbeda-beda tiap daerah dengan melihat aspek : kebutuhan hidup minimal, indeks harga konsumen, kemampuan perkembangan dan kelangsungan perusahaan, upah pada umumnyanyang berlaku di daerah tertentu dan antar daerah, serta kondisi pasar kerja pada tingkat perkembangan perekonomian dan pendapatan perkapita. Berikut upah minimum yang menggambarkan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2011 hingga 2014 :
Grafik 4.4
Grafik Upah Minimum Provinsi Jawa Tengah Tahun 2011-2014
Sumber : BPS Prov. Jawa Tengah
Grafik 4.4 menunjukkan bahwa sampai tahun 2014 tingkat upah minimum di
Provinsi Jawa Tengah terus mengalami peningkatan di setiap tahunnya. Pada tahun 2011 tingkat upah minimum sebesar Rp. 675.000 yang naik menjadi Rp. 765.000 pada tahun 2012 dan Rp. 830.000 di tahun 2013. Peningkatan yang paling mencolok atau tertinggi terjadi di tahun 2014 sebesar Rp. 910.000.
675000 765000
830000 910000
2011 2012 2013 2104
Upah Minimum Provinsi
Teori Solow menjelaskan bahwa petumbuhan ekonomi selalu bersumber dari satu atau lebih dari tiga factor kenaikan kuantitas dan kualitas tenaga kerja (melalui pertumbuhan jumlah penduduk dan perbaikan pendidikan), penambahan modal dan teknologi. Sedangkan salah satu alat untuk mengukur pembangunan kualitas dan kuantitas tenaga kerja adalah pembangunan manusia. (Todaro,2011).
D. Kondisi Pengangguran
Pengangguran adalah seseorang atau sekelompok orang yang sudah termasuk didalam angkatan kerja, namun masih mencari pekerjaan untuk mendapatkan tingkat upah yang ditentukannya tetapi pekerjaan tersebut belum juga didapatnya. TPT (Tingkat Pengangguran Terbuka) adalah presentase jumlah pengangguran terhadap jumlah angkatan kerja. (BPS, 2014).
TABEL 4.5
Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas Menurut Jenis Kegiatan Utama, Tahun 2013-2014 No Jenis Kegiatan Utama Satuan 2013 2014
Februari Agustus Februari Agustus
1. Angkatan Kerja Juta orang 17.40 17.52 17.72 17.55 Bekerja Juta orang 16.44 16.47 16.75 16.55 Pengangguran Juta orang 0.96 1.05 0.97 1.00 2 Bukan Angkatan Kerja Juta orang 7.27 7.36 7.26 7.64 3 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja % 70.54 70.43 70.93 69.68 4 Tingkat Pengangguran Terbuka % 5.53 6.01 5.45 5.68 5 Pekerja Tidak Penuh Juta orang 4.69 5.21 4.85 4.90 Setengah Penganggur Juta orang 1.89 1.49 1.28 1.19 Paruh Waktu Juta org 2.80 3.72 3.57 3.71
Sumber : BPS Prov. Jawa Tengah
Dari TABEL 4.5 menunjukan bahwa terdapat perubahan peningkatan kelompok penduduk yang bekerja, namun perubahan tersebut tidak dibarengi dengan tingkat pengangguran. Jumlah angkatan kerja mencapai 17.55 juta orang pada bulan Agustus tahun 2014 jumlah tersebut lebih sedikit dari jumlah angkatan kerja pada bulan Februari tahun 2014 sebanyak 17.72 juta orang.
TABEL 4.6
Presentase Tingkat Pengangguran Terbuka Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012-2014
Sumber : BPS Prov. Jawa Tengah
Jika dilihat dari TABEL 4.6 Presentase Tingkat Pengangguran Terbuka Provinsi Jawa Tengah dari tahun 2012 hingga 2014 mengalami pasang surut. Tingkat Pengangguran Terbuka terendah berada pada bulan Februari tahun 2013 sebesar 5.53%. Sedangkan Tingkat Pengangguran Terbuka tertinggi berada pada bulan Agustus tahun 2013 sebesar 6.01%.
E. Kondisi Angka Melek Huruf (AMH)
Melek Huruf atau Aksara adalah kemampuan seseorang untuk membaca dan menulis. Kemampuan tersebut sangat penting untuk melibatkan pembelajaran berkelanjutan, sehingga seseorang dapat mencapai tujuannya. Hal tersebut berkaitan dengan bagaimana cara seseorang untuk mendapatkan pengetahuan, menggali potensi yang ada pada dirinya serta berpartisipasi penuh dalam masyarakat yang lebih luas. Proporsi Angka Melek Huruf yaitu Perbandingan penduduk 15 tahun ke atas terhadap penduduk usia 15 tahun ke atas yang mampu membaca dan menulis, tanpa harus mengerti apa yang dibaca/ ditulisnya. Berikut grafik yang menunjukan angka melek huruf di Provinsi Jawa Tengah :
Tahun Bulan
Februari (%) Agustus (%)
2012 5.90 5.61
2013 5.53 6.01
GRAFIK 4.5
Angka Melek Huruf Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012-2014
Sumber : BPS Prov. Jawa Tengah
Dengan memperhatikan GRAFIK 4.5 diatas, perkembangan Angka Melek Huruf Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014 konsisten membaik atau meningkat, yaitu pada tahun 2012 sebesar 90.45% dan terus naik hingga tahun 2014 sebesar 91.76%. hal tersebut menunjukan adanya sebuah system pendidikan dasar yang efektif serta program yang dijalankan pemerintah daerah berjalan sesuai rencana.
TABEL 4.7
Presentase Angka Melek Huruf Menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin, dan Kelompok Umur di Provinsi Jawa Tengah tahun 2014
Tipe Daerah/ Jenis Kelamin Kelompok Umur 10-14 15-24 25-44 45+ 10+ 15+ Perkotaan Laki-laki 99,66 99,99 99,44 86,67 96,97 96,62 Perempuan 99,57 99,97 99,21 82,45 93,48 92,81 Laki+Perempuan 99,66 99,99 99,44 86,67 95,20 94,67 Perdesaan 2012 2013 2014 % 90.45 91.71 91.76 89.5 90 90.5 91 91.5 92
Laki-laki 99,53 99,94 98,70 80,63 95,41 94,81 Perempuan 99,46 99,96 98,16 73,76 89,63 88,35 Laki+Perempuan 99,53 99,94 98,70 80,63 92,48 91,52 Perkotaan+Perdesaan Laki-laki 99,59 99,96 99,04 83,32 96,12 95,64 Perempuan 99,51 99,97 98,64 77,67 91,40 90,42 Laki+Perempuan 99,59 99,96 99,04 83,32 93,73 92,98
Sumber : BPS Prov. Jawa Tengah
Dari TABEL 4.7 terlihat bahwa presentase penduduk 10 tahun ke atas yang melek huruf sebesar 93,73%, sedangkan untuk yang berusia 15 tahun ke atas ini dipengaruhi oleh kelompok umur 45 tahun ke atas. Presentase penduduk 45 tahun ke atas yang melek huruf sebesar 83,32 persen. Kondisi melek huruf semua kelompok daerah persedesaan lebih rendah dibandingkan dengan daerah perkotaan, hal ini disebabkan di daerah perkotaan lebih banyak tersedia fasilitas pendidikan dibandingkan dengan daerah perdesaan.
Berikut presentase angka melek huruf penduduk usia 15 tahun ke atas menurut kelompok umur :
GRAFIK 4.6
Perkembangan Presentase Angka Melek Huruf Usia 15 Tahun ke Atas menurut Kelompok Umur Tahun 2012-2014
Sumber : BPS Prov. Jawa Tengah
2012 2013 2014 15-24Tahun 99.96% 99.73 99.73 99.96 25-44 Tahun 99.04% 98.53 98.53 99.35 15-44 Tahun 99.35% 98.92 98.92 99.04 15 Tahun ke Atas 92.98% 91.27 91.27 92.98 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450
Berdasarkan GRAFIK 4.6 semua Angka Melek Huruf menurut Kemlompok Umur mengalami peningkatan. Peningkatan yang paling mencolok adalah Kelompok Umur 25-44 Tahun, di Tahun 2013 Kelompok tersebut presentase Angka Melek Huruf sebesar 98.53% meningkat di Tahun 2014 menjadi 99.35%.
Salah satu program pemerintah dalam penuntasan buta aksara adalah program keaksaraan fungsional (KF). Program KF merupakan program terpadu yang terdiri dari membaca, menulis, berhitung, dan keterampilan. Sasaran program keaksaraan fungsional adalah mereka yang buta huruf umur 15-44 Tahun. (Susenas, 2014).