• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi Traktus Urinarius (UTI) sering terjadi dan menyerang manusia tanpa memandang usia, terutama perempuan. UTI bertanggung jawab atas sekitar tujuh juta kunjungan pasien kepada dokter setiap tahunnya di Amerika Serikat (Stamm,1998). Secara mikro biologi UTI dinyatakan ada jika terdapat bakteriuria bermakna (ditemukan mikroorganisme patogen 105 ml pada urin pancaran tengah yang dikumpulkan pada cara yang benar). Abnormalitas dapat hanya berkolonisasi bakteri dari urine (bakteriuria asimtomatik) atau bakteriuria dapat disertai infeksi simtomatikndari struktur-struktur traktus urinarius/ UTI umumnya dibagi dalam dua sub kategori besar: UTI bagian bawah (uretritis,sistitis, prostatitis) dan UTI bagian atas (pielonefritis akut). Sistitis akut (infeksi vesika urinaria) dan pielonefritis akut ( infeksi pelvis dan interstisium ginjal) adalah infeksi yang paling berperan dalam menimbulkan morbilitas tetapi jarang berakhir sebagai gagal ginjal progresif (Price, Sylvia Anderson; Wilson, Lorraine M., 2005).

Menurut Kunin (1997), anak perempuan dan perempuan dewasa mempunyai insidensi terkena Pielonefritis akut yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak laki-laki dan laki-laki dewasa, mungkin karena bentuk uretranya yang lebih pendek dan letaknya yang berdekatan dengan anus sehingga mudah untuk terkontaminasi oleh feses. Studi epidemiologi menunjukkan adanya bakteriuria yang bermakna pada 1% sampai 4% gadis pelajar, 5% sampai 10% pada perempuan usia subur, dan sekitar 10% perempuan yang usianya telah melebihi 60 tahun (Price, Sylvia Anderson; Wilson, Lorraine M., 2005).

Insidensi pielonefritis meningkat seiring pertambahan usia dan lebih tinggi dalam kelompok berikut ini :

 Wanita yang secara seksual aktif – senggama meningkatkan risiko kontaminasi bakteri  Ibu hamil – sekitar 5% ibu hamil mengalami bakteriuria asimptomatik; jika tidak diobati,

sekitar 40% diantaranya akan mengalami pielonefritis

 Pasien diabetes – neurogenic bladder menyebabkan pengosongan urin yang tidak tuntas dan statis urin; glikosuria dapat menambahkan pertumbuhan bakteri dalam urin

(2)

 Pasien penyakit renal lain – gangguan fungsi ginjal akan menyebabkan kerentanan (Kowalak, Jennifer P., 2011).

1.2 Rumusan Masalah

1.1.1 Bagaimana anatomi dan fisiologi dari ginjal? 1.1.2 Apa pengertian dari pielonefritis?

1.1.3 Apa saja klasifikasi dari pielonefritis? 1.1.4 Apa etiologi dari pielonefritis?

1.1.5 Apa saja faktor predisposisi dari pielonefritis? 1.1.6 Apa manifestasi klinis dari pielonefritis? 1.1.7 Bagaiman patofisiologi dari pielonefritis? 1.1.8 Apa pemeriksaan diagnostic dari pielonefritis?

1.1.9 Bagaimana penatalaksanaan pada pasien pielonefritis? 1.1.10 Apa saja komplikasi dari pielonefritis?

1.2 Tujuan Penulisan 1.2.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah memenuhi tugas Sistem Perkemihan tentang Asuhan Keperawatan pada klien pielonefritis.

1.2.2 Tujuan Khusus

1.2.2.1 Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi dari ginjal. 1.2.2.2 Untuk mengetahui pengertian dari pielonefritis 1.2.2.3 Untuk mengetahui klasifikasi dari pielonefritis 1.2.2.4 Untuk mengetahui etiologi dari pielonefritis

1.2.2.5 Untuk mengetahui faktor predisposisi dari pielonefritis 1.2.2.6 Untuk mengetahui manifestasi klinis pielonefritis 1.2.2.7 Untuk mengetahui patofisiologi pielonefritis

1.2.2.8 Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostik pielonefritis 1.2.2.9 Untuk mengetahui penatalaksanaan pielonefritis

(3)

1.3 Metode Penulisan

Makalah ini disusun dengan melakukan studi pustaka dari berbagai referensi melalui buku referensi dan internet.

1.4 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dari makalah ini adalah Bab I Pendahuluan, terdiri dari : Latar belakang, Rumusan masalah, Tujuan penulisan, Metode penulisan dan Sistematika penulisan. Bab II Pembahasan teori. Bab III Asuhan Keperawatan dan Bab IV penutup.

(4)

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Anatomi Fisiologi Ginjal

Ginjal suatu kelenjar yang terletak di bagian belakang kavum abdominalis di belakang peritoneum pada kedua sisi vertebra lumblis III, melekat langsung pada dinding belakang abdomen. Bentuk ginjal seperti biji kacang, jumlahnya ada dua buah kiri dan kanan, ginjal kiri lebih besar dari ginjal kanan dan pada umumnya ginjal laki-laki lebih panjang dari ginjal wanita.

Gambar 2.1 Anatomi Ginjal

Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula renalis yang terdiri dari jaringan fibrus berwarna ungu tua. Lapisan luar terdapat lapisan korteks (substansia kortekalis), dan lapisan sebelah dalam bagian medulla (substansia medularis) berbentuk kerucut yang disebut renal pyramid. Garis-garis yang terlihat pada pyramid disebut tubulus nefron yang merupakan bagian terkecil dari ginjal yang terdiri dari glomerulus, tubulus proksimal, ansa Henle, tubulus distal dan tubulus urinarius. Pada tiap ginjal diperkirakan ada 1.000.000 nefron, selama 24 jam dapat menyaring darah 170 liter. Arteri renalis membawa

(5)

darah murni dari aorta ke ginjal, lubang-lubang yang terdapat pada pyramid renal masing-masing membentuk simpul dan kapiler satu badam malfigi yang disebut glomerulus. Pembuluh aferen yang bercabang membentuk kapiler menjadi vena renalis yang membawa darah dari ginjal ke vena kava inferior.

Ginjal berfungsi :

1. Mengatur volume air (cairan) dalam tubuh. Kelebihan air dalam tubuh akan diekskresikan oleh ginjal sebagai urin (kemih) yang encer dalam jumlah besar, kekurangan air (kelebihan keringat) menyebabkan urine yang diekskresi berkurang dan konsentrasinya lebih pekat sehingga susunan dan volume cairan tubuh dapat dipertahankan.

2. Mengatur keseimbangan osmotic dan mempertahankan keseimbangan ion yang optimal dalam plasma (keseimbangan elektrolit). Bila terjadi pemasukan/pengeluaran yang abnormal ion-ion akibat pemasukan garam yang berlebihan/penyakit perdarahan (diare, muntah) ginjal akan meningkatkan ekskresi ion-ion penting (mis. Na, K, Cl, Cad an fosfat).

3. Mengatur keseimbangan asam basa cairan tubuh bergantung pada apa yang dimakan, campuran makanan menghasilkan urin yang bersifat agak asam, pH kurang dari 6 ini disebabkan hasil akhir metabolism protein. Apabila banyak makan sayur-sayuran, urin akan bersifat basa. pH urin bervariasi antara 4,8-8,2. Ginjal menyekresi urin sesuai dengan perubahan pH darah.

4. Ekskresi sisa hasil metabolism (ureum, asam urat, kreatinin) zat-zat toksik, obat-obatan, hasil metabolism hemoglobin dan bahan kimia asing (pestisida).

5. Fungsi hormonal dan metabolism. Ginjal menyekresi hormone renin yang mempunyai peranan penting mengatur tekanan darah (system renin angiotensin aldosterone) membentuk eritropoiesis mempunyai peranan penting untuk memproses pembentukan sel darah merah (eritropoiesis).

Disamping itu ginjal juga membentuk hormone dihidroksi kolekalsiferol (vitamin D aktif) yang diperlukan untuk absorbsi ion kalsium di usus.

(6)

2.2 Pengertian Pielonefritis

Pielonefritis adalah inflamasi infeksius yang mengenai parenkim dan pelvis ginjal. Infeksi ini bermula dari saluran kemih bawah, kemudian naik sampai ginjal. Infeksi saliran kemih (ISK) bawah dapat asimptomatik dan karena ginjal terkena, baru diketahui adanya infeksi pada saluran kemih bawah. Pielonefritis paling sering dikaitkan dengan sistitis, kehamilan, dan obstruksi, efek samping pemeriksaan dan prosedur invasive saluran kemih, serta trauma pada saluran kemih (Baradero, Mary et al, 2008).

Gambar 2.2 Pielonefritis

Pielonefritis adalah suatu proses infeksi dan peradangan yang biasanya mulai didalam pelvis ginjal tetapi meluas secara progresif ke dalam parenkim ginjal. Infeksi tersebut dapat disebabkan oleh berbagai jenis bakteri, tetapi terutama dari basil colon yang berasal dari

(7)

kontaminasi traktus urinarius dengan feses. Penyerangan ginjal oleh bakteri ini menyebabkan kerusakan progesif tubulus ginjal, glomerulus, dan struktur lain apapun di dalam lintasan penyerbuan organism tersebut. Sebagai akibatnya, sebagian besar jaringan fungsional ginjal hilang.

Pielonefritis lebih sering dijumpai pada wanita dan kemungkinan hal ini terjadi karena uretra yang lebih pendek serta kedekatan meatus uretra dengan vagina dan rectum, kedua kondisi ini membuat bakteri lebih mudah mencapai kandung kemih (Kowalak, Jennifer P., 2011).

Infeksi pada pielonefritis biasanya mengenai medulla ginjal sebelum ia mengenai korteks. Karena salah satu fungsi utama medulla adalah untuk mengadakan mekanisme `counter-current` untuk memekatkan urina, penderita pielonefritis sering mempunyai fungsi ginjal yang cukup normal kecuali ketidakmampuan untuk memekatkan urin mereka.

2.3 Klasifikasi

2.3.1 Pielonefritis Akut

Pielonefritis akut, yang juga dikenal sebagai nefritis tubulointerstitial infeksiosa akuta, merupakan keadaan inflamasi mendadak oleh bakteri yang pada awalnya mengenai daerah interstitial dan pelvis renis atau yang lebih jarang lagi, mengenai tubulus renal. Kondisi ini merupakan salah satu penyakit renal yang paling sering ditemukan dan dapat mengenai satu atau kedua ginjal. Dengan pengobatan dan perawatan lanjut (follow-up) yang kontinu, prognosisnya cukup baik dan kerusakan permanen yang luas jarang terjadi (Kowalak, Jennifer P., 2011).

Pielonefritis akut dapat mempengaruhi sementara fungsi ginjal, tetapi jarang berkembang sampai gagal ginjal (Baradero, Mary et al, 2008).

2.3.2 Pielonefritis Kronik

Pielonefritis kronik (PN) adalah cedera ginjal progresif yang menunjukkan pembentukan jaringan parut parenkimal pada pemeriksaan IVP, disebabkan oleh infeksi berulang atau infeksi yang menetap pada ginjal (Price, Sylvia Anderson; Wilson, Lorraine M., 2005).

Pielonefritis kronis merupakan keadaan inflamasi yang persisten pada ginjal dan dapat menyebabkan pembentukan parut dalam ginjal sehingga terjadi gagal ginjal kronis.

(8)

Etiologinya bisa bakteri, metastase kanker, atau urogenus. Penyakit ini paling sering ditemukan pada pasien yang mengalami obstruksi urinarius atau refluks vesikoureter (Kowalak, Jennifer P., 2011).

Pielonefritis kronik dapat merusak jaringan ginjal secara permanen karena inflamasi yang berulang dan terbentuknya jaringan parut yang meluas (Baradero, Mary et al, 2008).

2.4 Faktor Predisposisi

1. Obstruksi aliran urine (missal, batu, penyakit prostat). 2. Jenis kelamin perempuan.

3. Umur yang lebih tua. 4. Kehamilan.

5. Refluks vesikoureter.

6. Peralatan kedokteran (terutama kateter menetap). 7. Vesika urinaria neurogenic.

8. Penyalahgunaan analgesic secara kronik. 9. Penyakit ginjal.

10. Penyakit metabolic (diabetes, gout, batu urine).

(Price, Sylvia Anderson; Wilson, Lorraine M., 2005)

2.5 Etiologi

1. Tersering disebabkan oleh infeksi mikroorganisme normal yaitu Escherichia coli. E. coli merupakan penghuni normal pada kolon. Organisme lain yang juga dapat menimbulkan infeksi adalah golongan Proteus, Klebsiella, Enterobacter, dan Pseudomonas (Price, Sylvia Anderson; Wilson, Lorraine M., 2005).

2. Obstruksi urinari track. Misal batu ginjal atau pembesaran prostat.

3. Refluks, yang mana merupakan arus balik air kemih dari kandung kemih kembali ke dalam ureter.

4. Kehamilan. 5. Kencing manis.

(9)

Pada saluran kemih yang sehat, naiknya infeksi ini biasanya bisa dicegah oleh aliran air kemih yang akan membersihkan organisme dan oleh penutupan ureter di tempat masuknya ke kandung kemih. Berbagai penyumbatan fisik pada aliran air kemih (misalnya batu ginjal atau pembesaran prostat) atau arus balik air kemih dari kandung kemih ke dalam ureter, akan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi ginjal.

2.6 Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala yang khas meliputi :

a. Nyeri panggul dan nyeri tekan pada sudut kostovertebra. b. Leukositosis.

c. Urinalisis menunjukkan adanya sel darah merah dan bakteriuria (Baradero, Mary et al, 2008).

d. Keluhan urgency dan frequency, rasa terbakar pada saat berkemih, dysuria, nokturia, dan hematuria (yang biasanya mikroskopik tetapi dapat pula makroskopik).

e. Urin yang tampak keruh dan memiliki bau mirip ammonia atau berbau amis.

f. Suhu tubuh 38,9o C atau lebih tinggi, demam menggigil, mual serta muntah, anoreksia, dan perasaan mudah letih di seluruh tubuh (general fatigue).

Semua gejala ini secara khas terjadi dengan cepat dalam beberapa jam atau hari. Meskipun gejala tersebut mungkin hilang dalam beberapa hari, bahkan tanpa pengobatan, infeksi residu bakteri kemungkinan tetap terjadi dan membuat gejala kambuh kembali dikemudian hari.

(Kowalak, Jennifer P., 2011) 2.7 Patofisiologi

Secara khas infeksi menyebar dari kandung kemih ke dalam ureter, kemudian ke ginjal, seperti terjadi pada refluks vesikoureter. Refluks vesikoureter dapat terjadi karena kelemahan kongenital pada tempat pertemuan (junction) ureter dan kandung kemih. Bakteri yang mengalir balik ke jaringan intrarenal dapat menimbulkan koloni infeksi dalam tempo 24 hingga 48 jam. Infeksi dapat pula terjadi karena instrumentasi (seperti tindakan kateterisasi, sistoskopi, atau bedah urologi), karena infeksi hematogen (seperti pasa septisemia atau endocarditis), atau mungkin juga karena infeksi limfatik (Kowalak, Jennifer P., 2011).

(10)

Pielonefritis dapat pula terjadi karena ketidakmampuan mengosongkan kandung kemih (misalnya pada pasien neurogenic bladder), statis urin, atau obstruksi urin akibat tumor, striktur, atau hyperplasia prostat benigna (Kowalak, Jennifer P., 2011).

(11)

Pathway Hygiene yang buruk

Penumpukan bakteri pada kandung kemih Refluk vesikoureter Poliuria Urin encer

Menginfeksi renal Gangguan pada tubulus

ginjal

Sel T rilis limfotik

Reaksi peradangan Fungsi pemekatakan

urin Bakteri mencapai

pelvis dan medulla renalis Fagositosis bakteri Kemotaksis makrofag dan netrofil Rilis pyrogen Gangguan pola eliminasi urine Pengosongan kandung kemih tdk adekuat Obstruksi saluran kemih Pielonefritis Pembengkakan ginjal Seluruh struktur ginjal terganggu Gangguan rasa

nyaman nyeri kerja ginjal

(12)

2.8 Pemeriksaan Diagnosis

Penegakan diagnosis memerlukan pemeriksaan urinalisis dan kultur. Gejala klinis yang khas meliputi :

a. Piuria (pus dalam urin) – pemeriksaan sedimen urin memperlihatkan hanya leukosit yang bergerombol serta dalam bentuk silinder, dan mungkin beberapa sel darah merah.

b. Bakteriuria yang signifikan – kultur urin memperlihatkan lebih dari 100.000 mikroorganisme/L urin.

c. Berat jenis dan osmolalitas yang rendah – hasil pemeriksaan ini terjadi karena penurunan memekatkan penurunan urin yang bersifat temporer.

d. Ph urin yang agak alkali – hasil pemeriksaan ini terjadi karena penurunan kemampuan memekatkan urin yang bersifat temporer.

e. Proteinuria, glikosuria, dan ketonuria – keadaan ini lebih jarang ditemukan.

Pemeriksaan CT scan juga dapat membantu mengevaluasi pielonefritis akut. CT scan ginjal, ureter, dan kandung kemih dapat mengungkapkan batu, tumor, atau kista di dalam ginjal dan traktus urinarius. Urografi ekskretori dapat memperlihatkan ginjal yang asimetris (Kowalak, Jennifer P., 2011).

Pemeriksaan lainnya seperti : 1. Whole blood. Meningkatnya suhu tubuh Distensi kandung kemih Disuria

Nyeri saat berkemih

Gangguan rasa nyaman nyeri Hipertermi

(13)

2. USG dan Radiologi : USG dan rontgen bisa membantu menemukan adanya batu ginjal, kelainan struktural atau penyebab penyumbatan air kemih lainnya.

3. BUN. 4. Creatinin. 5. Biopsi ginjal.

6. Pemeriksaan IVP : Pielogram intravena (IVP) mengidentifikasi perubahan atau abnormalitas struktur.

2.9 Penatalaksanaan

Penanganan berfokus pada terapi antibiotic yang tepat terhadap mikoorganisme penyebab infeksi setelah dilakukan indentifikasi melalui pemeriksaan kultur urin dan sensitivitas. Sebagai contoh :

1. Enterococcus memerlukan terapi dengan ampisilin, penisilin G atau vankomisin.

2. Staphylococcus memerlukan penisilin G atau jika sudah terjadi resistensi, penisilin semisintetik, seperti nafsilin atau sefalosporin.

3. E. Coli dapat diobatai dengan sulfaksazol, asam nalidiksat, dan nitrofurantoin.

4. Proteus dapat diobati dengan ampisilin, sulfoksazol, asam nalidiksat, dan sefalosporin. 5. Pseudomonas memerlukan gentamisin, tobramisin, atau karbenisilin.

Kalau mikoorganisme penyebab infeksi tidak dapat diidentifikasi, biasanya terapi terdiri atas antibiotic berspektrum luas, seperti ampisilin atau sefaleksin. Jika pasien seorang ibu hamil atau usia lanjut, pemberian antibiotic harus dilakukan dengan hati-hati. Obat analgetik urin, seperti fenazopiridin, juga merupakan preparat yang tepat.

(Kowalak, Jennifer P., 2011)

2.10 Komplikasi

Komplikasi dari pielonefritis akut dapat meliputi : a. Syok septik

b. Pielonefritis kronis

c. Insufisiensi renal yang kronis (Kowalak, Jennifer P., 2011) Komplikasi dari pielonefritis kronik dapat meliputi :

(14)

a. Nekrosis papila ginjal. Sebagai hasil dari proses radang, pasokan darah pada area medula akan terganggu dan akan diikuti nekrosis papila guinjal, terutama pada penderita diabetes melitus atau pada tempat terjadinya obstruksi.

b. Fionefrosis. Terjadi apabila ditemukan obstruksi total pada ureter yang dekat sekali dengan ginjal. Cairan yang terlindung dalam pelvis dan sistem kaliks mengalami supurasi, sehingga ginjal mengalami peregangan akibat adanya pus.

c. Abses perinefrik. Pada waktu infeksi mencapai kapsula ginjal, dan meluas ke dalam jaringan perirenal, terjadi abses perinefrik.

(15)

BAB III

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PIELONEFRITIS

3.1 Pengkajian

3.1.1 Identitas klien : nama, umur, jenis kelamin (wanita lebih beresiko lebih tinggi dari pada pria), pendidikan, pekerjaan, suku/ bangsa, agama, status, alamat, tanggal masuk RS, tanggal pengkajian, diagnosa medik, nomor Rekam Medik.

3.1.2 Riwayat Kesehatan

a. Keluhan utama : Klien biasanya mengatakan nyeri pada punggung bagian bawah . b. Riwayat penyakit sekarang : Biasanya klien datang ke rumah sakit atau ke ptugas

kesehatan karena nyeri pada punggung bagian bawah dan nyeri pada saat kencing, demam, menggigil.

c. Riwayat penyakit dahulu : Apakah klien pernah menglami penyakit ini sebelumnya, apakah klien menderita penyakit DM.

d. Riwayat penyakit keluarga : Biasanya keluarga tidak pernah mengalami penyakit seperti ini, karena ISK bukan penyakit keturunan.

3.1.3 Pemeriksaan Fisik

a. Pemeriksaan Head To Toe

1. Keadaan umum : klien nampak pucat, keasadaran composmentis. 2. Tanda vital :  TD : > 120/70  Nadi : > 100x/menit  Suhu : > 37,5 o C  RR : > 20x/menit

3. Kepala : mesosepal, rambut hitam, tipis, bersih

4. Mata : anemis (-), sclera ikterik (-), pupil terhadap cahaya (+)

5. Hidung : cuping hidung (-), secret (-), epistaksis (-), tidak terpasan NGT 6. Telinga : serumen (-), bentuk simetris

7. Leher : tidak ada kelainan

8. Dada : bentuk normal, pengembangan dada simetris, (-) retraksi dinding dada

(16)

9. Jantung :

 Inspeksi : tidak ada pembesaran  Palpasi : tidak teraba adanya pembesaran  Perkusi : bunyi jantung pekak

 Auskultasi : BJ1 dan BJ2 tunggal 10. Paru-paru :

 Inspeksi : pengembangan paru kanan kiri simetris  Palpasi : biasanya tidak ada nyeri tekan

 Perkusi : sonor seluruh lapang pandang  Auskultasi : pernafasan vesikuler 11. Abdomen :

 Inspeksi : biasanya abdomen tampak rata tidak ada pembesaran  Palpasi : biasanya tidak ada pengerasan abdomen

 Perkusi : timpani

 Auskultasi : bising usus normal 12x/menit

12. Genetalia : nampak kotor, nyeri tekan, adanya infeksi pada SK 13. Ekstremitas : tonus otot 4 4

4 4 b. Fungsional Gordon

1. Persepsi dan pemeliharaan kesehatan : pasien mengatakan kesehatan merupakan hal yang penting, jika ada keluarga yang sakit maka akan segera dibawa ke pelayanan kesehatan terdekat.

2. Pola nutrisi dan metabolic : nutrisi tidak ada gangguan tetapi metabolic adanya gangguan pada fungsi urogenital.

3. Pola eliminasi : adanya disuria dan poliuria.

4. Pola aktivitas dan latihan : aktivitas sedikit terganggu karena nyeri pada punggung dan frekuensi BAK yang sering.

5. Pola istirahat tidur : tidur tidak seperti biasanya, sering terbangun malam karena kencing (nokturia), dan nyeri pada punggung.

(17)

6. Pola persepsi sensori dan kognitif : tidak ada gangguan pada pola persepsi sensori dan kognitif, penglihatan masih jelas.

7. Pola hubungan dengan orang lain : interaksi dengan orang lain masih cukup baik dalam menjalani keseharian dalam berkomunikasi.

8. Pola reproduksi / seksual : terjadi perubahan seksualitas karena adanya penyakit yang di derita.

9. Pola persepsi diri dan konsep diri : terjadi perubahan pada rasa gairah seksual dalam hubungan.

10. Pola mekanisme koping : klien apabila merasakan tidak nyaman selalu memegangi punggungnya.

11. Pola nilai kepercayaan / keyakinan : individu ingin penyakitnya sembuh dan percaya bahwa petugas kesehatan akan memberikan yang terbaik dalam perawatan.

3.1.4 Pemeriksaan Penunjang

1. Urinalisis : penampilan : kabur/keruh, bau : ammonia, berat jenis : <1,005, protein: > 8mg/dL atau >80mg/24jam, SDM : >2 per lapang daya rendah, serpihan.

2. USG dan Radiologi : USG dan rontgen bisa membantu menemukan adanya batu ginjal, kelainan struktural atau penyebab penyumbatan air kemih lainnya

3. Creatinin : dewasa, serum : 0,5-1,5 mg/dL; 45-132,5 mmol/L (unitSI)

4. Pemeriksaan IVP : Pielogram intravena (IVP) mengidentifikasi perubahan atau abnormalitas struktur saluran perkemihan. Bahan radiopaque disuntikan, dan sinar x dilakukan pada waktu tertentu. IVP berguna untuk mengetahui lokasi batu dan tumor dan mendiagnosa penyakit ginjal.

(18)

3.2 Analisa Data No.

Dx

Data Etiologi Masalah

1. Ds : Klien mengatakan nyeri pada daerah punggung bagian bawah

Do :

 Wajah meringis

 Klien terlihat memegangi punggungnya  Berusaha menahan sakit

 P : nyeri pada saat beraktivitas

Q : nyeri seperti terkena benda tumpul R : punggung bagian bawah

S :7-8 T : hilang timbul  Leukosit meningkat > 12000 Penumpukan bakteri pada kandung kemih Vesikoureter ke ginjal Bakteri sampai di pelvis dan medulla Pielonefritis Pembengkakan ginjal Gangguan rasa nyaman nyeri

2. Ds : Pasien mengatakan badannya demam Do :

 Klien terlihat menggigil  Badan lemas  TTV : TD : > 120/70 mmHg Suhu : > 36,5 – 37,5 0C RR : > 20x/ menit Nadi : > 100x/menit Infeksi medulla Reaksi peradangan Fagositosis bakteri Rilis pyrogen Meningkatnya suhu tubuh Hipertermi

(19)

3. Ds : Pasien mengatakan sering kencing Do :

 Urin encer

 Pasien terlihat sering BAK

 Frekuensi urine banyak > biasanya  Bau menyengat Gangguan pada tubulus ginjal Fungsi pemekatan Urin encer Poliuria Gangguan pola eliminasi urin : Poliuria 3.3 Diagnosa Keperawatan

3.3.1 Nyeri dan ketidaknyamanan berhubungan dengan infeksi ginjal. 3.3.2 Hipertermi berhubungan dengan respon imunologi terhadap infeksi.

3.3.3 Gangguan pola eliminasi urine berhubungan dengan fungsi pemekatan urin yang menurun. 3.4 Rencana Keperawatan Tgl/ Jam No. Dx

Tujuan & KH Intervensi Rasional TTD

1 Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam nyeri klien berkurang dan hilang dengan kriteria hasil : K : klien mengetahui penyebab terjadinya nyeri. A : klien mengetahui cara untuk menghilangkan nyeri. 1. Observasi TTV. 2. Kaji intensitas, lokasi, dan factor yang memperberat atau meringankan nyeri.

3. Berikan waktu istirahat yang cukup dan tingkat aktivitas yang

1. Untuk mengetahui keadaan umum klien.

2. Rasa sakit yang hebat menandakan adanya infeksi.

3. Klien dapat istirahat dengan tenang dan dapat merilekskan otot –

(20)

P : klien mampu melakukan cara untuk menghilangkan nyeri dengan relaksasi dan distraksi.

P :

 Klien terlihat rileks.  Klien mengatakan nyeri berkurang.  Skala nyeri 0-3 dapat di toleran. 4. Anjurkan minum banyak 2-3 liter jika tidak ada kontra indikasi. 5. Catat lokasi, lamanya intensitas skala (1-10) penyebaran nyeri. 6. Berikan tindakan nyaman, lingkungan istirahat. 7. Kolaborasi:

Konsul dokter bila sebelumnya kuning gading-urine kuning, jingga gelap, berkabut atau keruh. Pola berkemih berubah, sring berkemih dengan jumlah sedikit, perasaan ingin kencing, menetes setelah berkemih. Nyeri menetap atau ototnya. 4. Untuk membantu klien dalam berkemih. 5. Membantu mengevaluasi tempat obstruksi dan penyebab nyeri. 6. Meningkatkan relaksasi, menurunkan tegangan otot. 7. Temuan- temuan

ini dapat memeberi tanda kerusakan jaringan lanjut dan perlu pemeriksaan luas.

(21)

bertambah sakit. 2 Setelah dilakukan

tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan suhu tubuh menurun dengan kriteria hasil :

K : klien mengetahui penyebab suhu tubuh meningkat. A : klien mengetahui cara mengatasi hipertermi. P : klien mampu melakukan cara mengatasi hipertermi. P :

 Klien tampak rileks.  TTV normal  TD : normal 120/70mmHg  Suhu : 36,5 – 37,5 o C  RR : 20x/menit  Nadi : 100x/menit

1. Pantau suhu tubuh klien. 2. Pantau suhu lingkungan. 3. Berikan kompres mandi hangat, hindari penggunaan alcohol. 4. Kolaborasi: Berikan antipiretik misalnya aspirin, asetaminofen (Tylenol).

1. Tanda vital dapat menandakan

adanya perubahan di dalam tubuh.

2. Suhu ruangan dan jumlah selimut harus diubah untuk mempertahankan suhu mendekati normal. 3. Dapat membantu mengurangi demam. Catatan : penggunaan air es / alcohol mungkin menyebabkan kedinginan, peningkatan suhu secara actual. Selain itu alcohol dapat mengeringkan kulit. 4. Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada hipotalamus.

(22)

tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan pola eliminasi urine klien kembali normal dengan kriteria hasil :

K : klien mengetahui penyebab gangguan pola eliminasi urin.

A : klien mengetahui cara untuk mengatasi gangguan pola eliminasi urin.

P : klien mampu melakukan cara mengatasi gangguan pola eliminasi urin.

P :

 BAK normal, 3-6x/hari dengan frekuensi cc.

 Urin tidak terlalu encer.

 Tidak ada distensi kandung kemih.

urine setiap kali berkemih.

2. Anjurkan untuk berkemih setiap 2 – 3 jam.

3. Palpasi kandung kemih tiap 4 jam.

4. Bantu klien mendapatkan posisi berkemih yang nyaman. 5. Observasi perubahan status mental:, perilaku atau tingkat kesadaran. 6. Kolaborasi: Awasi- pemeriksaan laboratorium; elektrolit, BUN, kreatinin (Pengawasan terhadap disfungsi adanya perubahan warna dan untuk mengetahui input/output. 2. Untuk mencegah terjadinya penumpukan urine dalam vesika urinaria. 3. Untuk mengetahui adanya distensi kandung kemih.

4. Supaya klien tidak sukar berkemih. 5. Akumulasi sisa uremik dan ketidakseimbangan elektrolit dapat menjadi toksik pada susunan saraf pusat.

6. Asam urin menghalangi tumbuhnya kuman. Peningkatan

masukan sari buah dapt berpengaruh dalm pengobatan infeksi saluran

(23)

ginjal, Lakukan tindakan untuk memelihara asam urin : tingkatkan masukan sari buah berri dan berikan obat-obat untuk meningkatkan asam urin).

kemih.

3.5 Implementasi Tanggal /Jam No.

Dx

Implementasi Respon Pasien TTD

21/10/2012 08.00 08.15 09.00 1, 2, 3 1 1 & 3 Observasi TTV

Mengkaji intesitas dan lokasi serta yang memperberat nyeri

Memonitor intake dan output

Ds : - Do : TTV :  TD : 110/70mmHg  RR : 20x/menit  N : 60-100x/menit  S : > 37,50 C

Ds : klien mengatakan nyeri berkurang

Do :

 Skala nyeri 2-3  Wajah nampak rileks Ds:-

Do : klien terlihat minum 3-4 L/hari

(24)

3.6 Evaluasi 10.00 10.15 10.30 11.00 1 1 & 3 2 1, 2, 3

Mengajarkan klien tindakan relaksasi dan distraksi untuk mengurangi nyeri

Menganjurkan klien untuk minum yang banyak dan berkemih setiap 2-3 jam

Memberikan kompres hangat

Menganjurkan klien untuk tirah baring dan beristirahat

Ds : klien mengikuti apa yang di ajarkan perawat Do : kooperatif

Ds : klien mengatakan minum banyak sehari Do :

 Minum air 3-4 liter/hari.  Klien berkemih setiap 2-3

jam Ds : - Do : suhu > 37,50C Ds : - Do : kien bedrest Tanggal No. Dx Evaluasi TTD

22/10/2012 1 S : klien mengatakan nyerinya berkurang O :

 Klien masih tampak memegangi punggungnya.  TTV :

Nadi : 100x/menit Suhu : >37,50C TD : 120/80mmHg

(25)

RR : 20x/menit  Skala nyeri 3

A : masalah teratasi sebagian P : intervensi no 2,3,4 di lanjutkan

2 S : klien mengatakan badannya masih panas O :

 Klien nampak lemas  Suhu : > 37,50

C A : masalah belum teratasi P : intervensi dilanjutkan

3 S : klien mengatakan kencingnya sudah tidak sering tapi masih encer

O :

 Urin encer

 Klien tampak lemas

 Turgor kulit kembali <2 detik A : masalah teratasi sebagian P : intervensi dilanjutkan

(26)

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan

4.1.1 Ginjal suatu kelenjar yang terletak di bagian belakang kavum abdominalis di belakang peritoneum pada kedua sisi vertebra lumblis III, melekat langsung pada dinding belakang abdomen. Bentuk ginjal seperti biji kacang, jumlahnya ada dua buah kiri dan kanan, ginjal kiri lebih besar dari ginjal kanan dan pada umumnya ginjal laki-laki lebih panjang dari ginjal wanita. Ginjal berfungsi untuk mengatur volume air dalam tubuh, mengatur keseimbangan osmotic dan mempertahankan keseimbangan elektrolit, mengatur keseimbangan asam basa, ekskresi sisa hasil metabolism, fungsi hormonal dan metabolism.

4.1.2 Pielonefritis adalah suatu proses infeksi dan peradangan yang biasanya mulai didalam pelvis ginjal tetapi meluas secara progresif ke dalam parenkim ginjal.

4.1.3 Pielonefritis dibagi menjadi dua yaitu pielonefritis akut dan kronis.

4.1.4 Faktor yang menyebabkan terjadinya pielonefritis adalah obstruksi aliran urine (missal, batu, penyakit prostat), jenis kelamin perempuan, umur yang lebih tua, kehamilan, refluks vesikoureter, peralatan kedokteran (terutama kateter menetap), vesika urinaria neurogenic, penyalahgunaan analgesic secara kronik, penyakit ginjal, dan penyakit metabolic (diabetes, gout, batu urine).

4.1.5 Penyebab dari pielonefritis adalah infeksi bakteri E.Coli, obstruksi urinari track. Misal batu ginjal atau pembesaran prostat, refluks, yang mana merupakan arus balik air kemih dari kandung kemih kembali ke dalam ureter, kehamilan, kencing Manis, dan keadaan-keadaan menurunnya imunitas untuk melawan infeksi.

4.1.6 Tanda dan gejala dari pielonefritis meliputi nyeri panggul dan nyeri tekan pada sudut kostovertebra, leukositosis, urinalisis menunjukkan adanya sel darah merah dan bakteriuria, keluhan urgency dan frequency, rasa terbakar pada saat berkemih, dysuria, nokturia, dan hematuria (yang biasanya mikroskopik tetapi dapat pula makroskopik), urin yang tampak keruh dan memiliki bau mirip ammonia atau berbau

(27)

amis, dan suhu tubuh 38,9o C atau lebih tinggi, demam menggigil, mual serta muntah, anoreksia, dan perasaan mudah letih di seluruh tubuh (general fatigue). 4.1.7 Secara khas infeksi menyebar dari kandung kemih ke dalam ureter, kemudian ke

ginjal, seperti terjadi pada refluks vesikoureter. Refluks vesikoureter dapat terjadi karena kelemahan kongenital pada tempat pertemuan (junction) ureter dan kandung kemih. Bakteri yang mengalir balik ke jaringan intrarenal dapat menimbulkan koloni infeksi dalam tempo 24 hingga 48 jam. Infeksi dapat pula terjadi karena instrumentasi (seperti tindakan kateterisasi, sistoskopi, atau bedah urologi), karena infeksi hematogen (seperti pasa septisemia atau endocarditis), atau mungkin juga karena infeksi limfatik.

4.1.8 Pemeriksaan diagnosis yang dapat dilakukan adalah dengan urinalisis, kultur urin, CT scan dan urografi. Pemeriksaan lain seperti whole blood, USG dan radiologi, BUN, kreatinin, biopsy ginjal, pemeriksaan IVP.

4.1.9 Penanganan berfokus pada terapi antibiotic yang tepat terhadap mikoorganisme penyebab infeksi setelah dilakukan indentifikasi melalui pemeriksaan kultur urin dan sensitivitas. Kalau mikoorganisme penyebab infeksi tidak dapat diidentifikasi, biasanya terapi terdiri atas antibiotic berspektrum luas, seperti ampisilin atau sefaleksin. Jika pasien seorang ibu hamil atau usia lanjut, pemberian antibiotic harus dilakukan dengan hati-hati. Obat analgetik urin, seperti fenazopiridin, juga merupakan preparat yang tepat.

4.1.10 Komplikasi dari pielonefritis akut meliputi syok septik, pielonefritis kronik, dan insufisiensi renal yang kronis. Sedangkan komplikasi dari pielonefritis kronik meliputi nekrosis papilla ginjal, fionefrosis, dan abses perinefrik.

4.2 Saran

4.2.1 Bagi Mahasiswa

Meningkatkan kualitas belajar dan memperbanyak literatur dalam pembuatan makalah agar dapat membuat makalah yang baik dan benar.

4.2.2 Bagi Pendidikan

Bagi dosen pembimbing agar dapat memberikan bimbingan yang lebih baik dalam pembuatan makalah selanjutnya.

(28)

4.2.3 Bagi Kesehatan

Memberikan pengetahuan kepada mahasiswa kesehatan khususnya untuk mahasiswa keperawatan agar mengetahui bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan Pielonefritis.

(29)

DAFTAR PUSTAKA

Baradero, Mary et al. 2008. Klien Gangguan Ginjal : Seri Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC. Kowalak, Jennifer P. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta : EGC.

Price, Sylvia Anderson; Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta : EGC.

Rubenstein, David; Wayne, David; Bradley, John. 2007. Lecture Notes : Kedokteran Klinis. Edisi 6. Jakarta : Erlangga.

Gambar

Gambar 2.1 Anatomi Ginjal
Gambar 2.2 Pielonefritis

Referensi

Dokumen terkait

Banyaknya tanah tererosi 412,796 Ton/Ha/Thn maka tergolong kategori sedang tetapi rawan akan erosi, karena jenis tanahnya (Alfisol) yang sangat labil akan erosi karena

Berilah tanda silang (x) pada huruf di depan jawaban yang paling benar.. Perhatikan teks berikut untuk menjawab soal

Jika diambil dua kelereng secara acak satu per satu berturut-turut tanpa pengembalian, maka peluang terambil pertama kelereng merah dan pengambilan kedua terambil kelereng

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN COOPERATIVE LEARNING TIPE COOPERATIVE INTEGRATED READING AND COMPOSITION (CIRC) UNTUK MENINGKATKAN RASA INGIN TAHU.. SISWA DALAM

Pengaruh Latihan Yoga Terhadap Penurunan Tekanan Darah pada Lansia Hipertensi di Dusun Niten Nogotirto Gamping Sleman Yogyakarta. Hasil uji menggunakan Paired

“Banyak anak-anak remaja beranggapan bahwa masa remaja adalah masa paling indah dan selalu menjadi alasan sehingga banyak remaja yang menjadi korban dan

Berpijak pada hasil penelitian mengenai program penggembokan roda di kawasan city walk, maka dapat ditarik suatu pandangan bahwa kebijakan semacam ini khususnya

Mengetahui ada atau tidak pengaruh emosional dan kecerdasan kecerdasan spiritual secara bersama terhadap prestasi belajar matematika pada siswa-siswi kelas VIII MTs