• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN PERTANYAAN PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN PERTANYAAN PENELITIAN"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

11 BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN PERTANYAAN PENELITIAN

A. Kajian Pustaka

1. Konsep Akuntansi Forensik

a. Pengertian Akuntansi Forensik

Akuntansi forensik adalah penerapan disiplin akuntansi dalam arti luas, termasuk auditing pada masalah hukum untuk penyelesaian hukum di dalam atau di luar pengadilan (Tuanakotta, 2010: 4). Akuntansi forensik dapat diterapkan di sektor publik maupun swasta, sehingga apabila memasukkan pihak yang berbeda maka akuntansi forensik menurut D. Larry Crumbey dalam Tuanakotta (2010: 5) mengemukakan bahwa secara sederhana akuntansi forensik dapat dikatakan sebagai akuntansi yang akurat untuk tujuan hukum, atau akuntansi yang tahan uji dalam kancah perseteruan selama proses pengadilan, atau dalam proses peninjauan yudisial, atau tinjauan administratif. Definisi dari Crumbey menekankan bahwa ukuran dari akuntansi forensik adalah ketentuan hukum dan perundang-undangan, berbeda dari akuntansi yang sesuai dengan GAAP (Generally Accepted Accounting Principles). Akuntansi forensik didefinisikan sebagai analisis akuntansi yang dapat mengungkap penipuan, yang mungkin sangat cocok untuk presentasi di pengadilan. Analisis semacam itu akan menjadi dasar untuk resolusi diskusi, perdebatan, dan perselisihan. Seorang akuntan forensik menggunakan

(2)

pengetahuannya tentang akuntansi, studi hukum, investigasi dan kriminologi untuk mengungkap fraud, menemukan bukti dan selanjutnya bukti tersebut akan dibawa ke pengadilan jika dibutuhkan (Ramaswamy, 2007).

Berdasarkan pengertian akuntansi forensik dari berbagai sumber di atas, maka dapat disimpulkan bahwa akuntansi forensik merupakan penerapan disiplin ilmu akuntansi dalam penyelesaian masalah hukum baik di dalam dan di luar pengadilan. Istilah akuntansi forensik dalam definisi tersebut dapat digunakan dalam pengertian yang luas, termasuk audit dan auditing. Hal yang membedakan akuntansi dan audit adalah akuntansi berkaitan dengan perhitungan sedangkan audit berkaitan dengan adanya penelusuran untuk memastikan kepastian atau kewajaran dari apa yang dilaporkan. Jadi, akuntansi forensik memayungi segala macam kegiatan akuntansi untuk kepentingan hukum.

Akuntansi forensik pada awalnya adalah perpaduan paling sederhana antara akuntansi dan hukum (misalnya dalam pembagian harta gono-gini). Dalam kasus yang lebih pelik, ada satu bidang tambahan yaitu audit sehingga model akuntansi forensiknya direpresentasikan dalam tiga bidang. (Tuanakotta, 2010: 19)

(3)

Gambar 1. Diagram Akuntansi Forensik

Selain itu ada cara lain dalam melihat akuntansi forensik menurut Tuanakotta dalam bukunya yang berjudul Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif yaitu dengan menggunakan Segitiga Akuntansi Forensik.

Perbuatan Melawan Hukum

Kerugian Hubungan Kualisatif Gambar 2. Segitiga Akuntansi Forensik

Pada sektor publik maupun swasta akuntansi forensik berurusan dengan kerugian. Pada sektor publik negara mengalami kerugian negara dan kerugian keuangan negara. Sementara itu pada sektor swasta kerugian juga terjadi akibat adanya ingkar janji dalam suatu perikatan. Titik pertama dalam segitiga adalah kerugian. Adapun perbuatan melawan hukum menjadi titik kedua. Tanpa adanya perbuatan melawan hukum, tidak ada

akuntansi

auditing hukum

(4)

yang dapat dituntut untuk mengganti kerugian. Titik ketiganya adalah hubungan kausalitas antara kerugian dan perbuatan melawan hukum. Hubungan kausalitas antara kerugian dan perbuatan melawan hukum merupakan ranahnya para ahli dan praktisi hukum dalam menghitung besarnya kerugian dan mengumpulkan barang bukti. Jadi, Segitiga Akuntansi Forensik juga merupakan model yang mengaitkan disiplin hukum, akuntansi dan auditing.

b. Ruang Lingkup Akuntansi Forensik

Tuanakotta (2010: 84-94) dalam Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif mengemukakan bahwa akuntansi forensik mempunyai ruang lingkup yang spesifik untuk lembaga yang menerapkannya atau untuk tujuan melakukan audit investigatif.

1) Praktik di Sektor Swasta

Bologna dan Lindquist perintis mengenai akuntansi forensik dalam Tuanakotta (2010: 84) menekankan beberapa istilah dalam perbendaraan akuntansi, yaitu: fraud auditing, forensik accounting investigative support, dan valuation analysis. Litigation support merupakan istilah dalam akuntansi forensik bersifat dukungan untuk kegiatan ligitasi. Akuntansi forensik dimulai sesudah ditemukan indikasi awal adanya fraud. Audit investigasi merupakan bagian awal dari akuntasi forensik. Adapun valuation analysis berhubungan

(5)

dengan akuntansi atau unsur perhitungan. Misalnya dalam menghitung kerugian negara karena tindakan korupsi.

2) Praktik di Sektor Pemerintahan

Akuntansi forensik pada sektor publik di Indonesia lebih menonjol daripada akuntansi forensik pada sektor swasta. Secara umum akuntansi forensik pada kedua sektor tidak berbeda, hanya terdapat perbedaan pada tahap-tahap dari seluruh rangkaian akuntansi forensik terbagi-bagi pada berbagai lembaga seperti lembaga pemeriksaan keuangan negara, lembaga pengawasan internal pemerintahan, lembaga pengadilan, dan berbagai lembaga LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang berfungsi sebagai pressure group.

c. Atribut Akuntan Forensik

Howard R. Davia dalam Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif (Tuanakotta, 2010: 99-104) memberi lima nasihat kepada seorang auditor pemula dalam melakukan investigasi terhadap fraud, yaitu sebagai berikut: 1) Hal pertama yang harus dilakukan oleh auditor adalah melakukan

identifikasi mengenai siapa yang mempunyai potensi menjadi pelaku tindak fraud bukan hanya melakukan pengumpulan fakta dan data yang berlebihan, sementara fakta dan data yang ditemukan tidak menjawab pertanyaan siapa pelakunya.

2) Fraud auditor harus mampu membuktikan niat pelaku melakukan kecurangan. Dalam sidang di pengadilan seringkali kasus kandas di

(6)

tengah jalan dikarenakan penyidik dan saksi ahli (akuntan forensik) gagal membuktikan niat melakukan kejahatan atau pelanggaran. Tujuan proses pengadilan adalah untuk menilai orang, bukan mendengarkan cerita kejahatan yang dibumbui dengan cerita bagaimana auditor berhasil mengungkapkannya.

3) “Be creative, think like preparatory, do not be predictable”. Seorang fraud auditor harus kreatif, berpikir seperti pelaku fraud jangan dapat ditebak. Seorang fraud auditor harus dapat mengantisipasi langkah-langkah berikut pelaku fraud atau koruptor ketika mengetahui perbuatan mereka terungkap.

4) Auditor harus tahu bahwa banyak kecurangan dilakukan dengan persekongkolan (collusion conspiracy). Ada dua macam persekongkolan:

a) Ordinary conspiracy. Persekongkolan yang sifatnya sukarela, dan pesertanya memang mempunyai niat jahat.

b) Pseudo conspiracy. Misalnya, seorang tidak menyadari bahwa keluguannya dimanfaatkan oleh rekan kerjanya (contoh: memberikan password computer).

5) Dalam memilih proactive fraud detection strategy (strategi untuk menemukan kecurangan dalam investigasi proaktif), auditor harus tahu dimana kecurangan itu dilakukan, di dalam atau di luar pembukuan.

(7)

d. Kualitas Akuntan Forensik

Robert J. Lindquist mengemukakan kualitas dari akuntan forensik, yaitu sebagai berikut:

1) Kreatif, kemampuan untuk melihat sesuatu yang orang lain mengganggap situasi bisnis yang normal dan kemudian mempertimbangkan interpretasi lain.

2) Rasa ingin tahu, keinginan untuk menemukan apa yang sesungguhnya terjadi dalam rangkaian peristiwa dan situasi.

3) Tak menyerah, kesempatan untuk terus maju pantang mundur walaupun fakta (seolah-olah) tidak mendukung.

4) Akal sehat, kemampuan untuk mempertahankan perspektif dunia nyata.

5) Business sense, kemampuan untuk memahami bagaimana bisnis sesungguhnya berjalan, dan bukan hanya sekedar memahami bagaimana transasksi dicatat.

6) Percaya diri, kemampuan untuk mempercayai diri dan temuan.

2. Fraud

a. Pengertian Fraud

Fraud atau yang sering dikenal dengan istilah kecurangan merupakan hal yang sekarang banyak dibicarakan di Indonesia. Pengertian fraud itu sendiri merupakan penipuan yang sengaja dilakukan, yang menimbulkan kerugian pihak lain dan memberikan keuntungan bagi

(8)

pelaku kecurangan dan atau kelompoknya (Sukanto, 2009). Sementara Albrecht (2003) mendefinisikan fraud sebagai representasi tentang fakta material yang palsu dan sengaja atau ceroboh sehingga diyakini dan ditindaklanjuti oleh korban dan kerusakan korban. Dalam bahasa aslinya fraud meliputi berbagai tindakan melawan hukum.

Bologna (1993) dalam Amrizal (2004) mendefinisikan kecurangan “Fraud is criminal deception intended to financially benefit the deceiver” yaitu kecurangan adalah penipuan kriminal yang bermaksud untuk memberi manfaat keuangan kepada si penipu. Kriminal disini berarti setiap tindakan kesalahan serius yang dilakukan dengan maksud jahat. Ia memperoleh manfaat dan merugikan korbannya secara financial dari tindakannya tersebut. Biasanya kecurangan mencakup tiga langkah yaitu (1) tindakan/the act., (2) penyembunyian/the concealment dan (3) konversi/the conversion.

Adapun menurut the Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), fraud adalah:

Perbuatan-perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan dengan sengaja untuk tujuan tertentu (manipulasi atau memberikan laporan keliru terhadap pihak lain) dilakukan orang-orang dari dalam atau luar organisasi untuk mendapatkan keuntungan pibadi ataupun kelompok secara langsung atau tidak langsung merugikan pihak lain.

Jadi, berdasarkan pengertian fraud yang telah dikemukakan di atas maka dapat disimpulkan bahwa fraud adalah mencangkup segala macam yang dapat dipikirkan manusia, dan yang diupayakan oleh seseorang untuk mendapatkan keuntungan dari orang lain, dengan saran

(9)

yang salah atau pemaksaan kebenaran, dan mencangkup semua cara yang tidak terduga, penuh siasat atau tersembunyi, dan setiap cara yang tidak wajar yang menyebabkan orang lain tertipu atau menderita kerugian.

b. Klasifikasi Fraud

The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) atau Asosiasi Pemeriksa Kecurangan Bersertifikat, merupakan organisasi profesional bergerak di bidang pemeriksaan atas kecurangan yang berkedudukan di Amerika Serikat dan mempunyai tujuan untuk memberantas kecurangan, mengklasifikasikan fraud (kecurangan) dalam beberapa klasifikasi, dan dikenal dengan istilah “ The Fraud Tree” yaitu Sistem Klasifikasi Mengenai Hal-hal Yang Ditimbulkan Sama Oleh Kecurangan (Uniform Occupational Fraud Classification System.

ACFE dalam Tuanakotta (2010: 195-204) membagi fraud (kecurangan) dalam 3 (tiga) jenis atau tipologi berdasarkan perbuatan, yaitu:

1) Kecurangan Laporan Keuangan (Financial Statement Fraud)

Kecurangan Laporan Keuangan dapat didefinisikan sebagai kecurangan yang dilakukan oleh manajemen dalam bentuk salah saji material Laporan Keuangan yang merugikan investor dan kreditor. Kecurangan ini dapat bersifat finansial atau kecurangan non finansial. 2) Penyimpangan atas Aset (Asset Misappropriation)

(10)

Asset misappropriation meliputi penyalahgunaan/pencurian aset atau harta perusahaan atau pihak lain. Ini merupakan bentuk fraud yang paling mudah dideteksi karena sifatnya yang tangible atau dapat diukur/dihitung (defined value).

3) Korupsi (Corruption)

Jenis fraud ini yang paling sulit dideteksi karena menyangkut kerja sama dengan pihak lain seperti suap dan korupsi, di mana hal ini merupakan jenis yang terbanyak terjadi di negara-negara berkembang yang penegakan hukumnya lemah dan masih kurang kesadaran akan tata kelola yang baik sehingga faktor integritasnya masih dipertanyakan. Fraud jenis ini sering kali tidak dapat dideteksi karena para pihak yang bekerja sama menikmati keuntungan (simbiosis mutualisme). Termasuk didalamnya adalah penyalahgunaan wewenang/konflik kepentingan (conflict of interest), penyuapan (bribery), penerimaan yang tidak sah/illegal (illegal gratuities) dan pemerasan secara ekonomi (economic extortion).

c. Sebab Terjadinya Fraud

Pemicu perbuatan fraud pada umumnya merupakan gabungan dari motivasi dan kesempatan. Motivasi dan kesempatan saling berhubungan. Semakin besar kebutuhan ekonomi seseorang yang bekerja di suatu organisasi yang pengendaliannya internnya lemah, maka semakin kuat motivasinya untuk melakukan fraud.

(11)

Terdapat empat faktor pendorong seseorang untuk melakukan fraud, yang sering disebut teori GONE (Pusdiklatwas BPKP, 2008: 14-17) yaitu sebagai berikut:

1) Greed (keserakahan) 2) Opportunity (kesempatan) 3) Need (kebutuhan)

4) Expossure (pengungkapan)

Faktor greed dan need merupakan faktor yang berhubungan dengan pelaku fraud atau disebut faktor individu. Adapun faktor opportunity dan exposure merupakan faktor yang berhubungan dengan organisasi sebagai korban.

1) Faktor generic

Faktor generik yang meliputi opportunity (kesempatan) dan exposure (pengungkapan) merupakan faktor yang berada pada pengendalian organisasi. Pada umumnya kesempatan melakukan fraud selalu ada pada setiap kedudukan, hanya saja adanya kesempatan besar maupun kecil tergantung kedudukan pelaku menempati kedudukan pada manajemen atau pegawai biasa. Adapun pengungkapan berkaitan dengan kemampuan dapat diungkapnya dapat diungkapnya suatu fraud, dan sifat serta luasnya hukuman bagi pelakunya. Semakin besar pengukapan fraud yang terjadi, maka kemungkinan pelaku melakukan fraud semakin kecil.

(12)

2) Faktor individu

Faktor individu yang meliputi greed (keserakahan) dan need (kebutuhan) merupakan faktor yang ada pada diri masing-masing individu, dengan arti berada diluar pengendalian organisasi. Faktor ini terdiri atas dua unsur yaitu:

(a) Greed factor, yaitu moral yang meliputi karakter, kejujuran dan integritas yang berhubungan dengan keserakahan.

(b) Need factor, yaitu motivasi yang berhubungan dengan kebutuhan seperti terlilit hutang atau bergaya hidup mewah.

d. Pencegahan Fraud

Cara pencegahan fraud dapat dilakukan dengan cara (Amrizal, 2004: 5-11) yaitu sebagai berikut:

1) Membangun struktur pengendalian yang baik

Dalam memperkuat pengendalian intern di perusahaan, COSO (The Committee of Sponsoring Organizations of The Treadway Commission) pada bulan September 1992 memperkenalkan suatu rerangka pengendalian yang lebih luas daripada model pengendalian akuntansi yang tradisional dan mencakup manajemen risiko, yaitu pengendalian intern terdiri atas 5 (lima) komponen yang saling terkait yaitu:

(a) Lingkungan pengendalian (control environment) (b) Penaksiran risiko (risk assessment)

(13)

(c) Standar Pengendalian (control activities)

(d) Informasi dan komunikasi (information and communication) (e) Pemantauan (monitoring)

2) Mengefektifkan aktivitas pengendalian (a) Review kinerja

(b) Pengolahan informasi (c) Pengendalian fisik (d) Pemisahan tugas

3) Meningkatkan kultur organisasi

Meningkatkan kultur organisasi dapat dilakukan dengan mengimplementasikan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG). Saifuddien Hasan (2000) dalam Amrizal (2004: 8-9) mengemukakan GCG meliputi:

(a) Keadilan (Fairness) (b) Transparansi

(c) Akuntabilitas (Accountability) (d) Tanggung jawab (Responsibility) (e) Moralitas

(f) Kehandalan (Reliability) (g) Komitmen

4) Mengefektifkan fungsi internal audit

Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh manajemen agar fungsi internal audit bisa efektif membantu manajemen dalam

(14)

melaksanakan tanggungjawabnya dengan memberikan analisa, penilaian, saran dan komentar mengenai kegiatan yang diperiksanya adalah :

(a) Internal audit departemen harus mempunyai kedudukan yang independen dalam organisasi perusahaan.

(b) Internal audit departemen harus mempunyai uraian tugas secara tertulis, sehingga setiap auditor mengetahui dengan jelas apa yang menjadi tugas, wewenang dan tanggungjawabnya.

(c) Internal audit harus mempunyai internal audit manual.

(d) Harus ada dukungan yang kuat dari top manajemen kepada internal audit departemen.

(e) Internal audit departemen harus memiliki sumber daya yang profesional, capable, bisa bersikap objective dan mempunyai integritas serta loyalitas yang tinggi.

(f) Internal auditor harus bisa bekerjasama dengan akuntan public (g) Menciptakan struktur pengajian yang wajar dan pantas

(h) Mengadakan rotasi dan kewajiban bagi pegawai untuk mengambil hak cuti.

(i) Memberikan sanksi yang tegas kepada yang melakukan kecurangan dan berikan penghargaan kepada mereka yang berprestasi.

(j) Membuat program bantuan kepada pegawai yang mendapatkan kesulitan baik dalam hal keuangan maupun non keuangan.

(15)

(k) Menetapkan kebijakan perusahaan terhadap pemberian-pemberian dari luar harus diinformasikan dan dijelaskan pada orang-orang yang dianggap perlu agar jelas mana yang hadiah dan mana yang berupa sogokan dan mana yang resmi.

(l) Menyediakan sumber-sumber tertentu dalam rangka mendeteksi kecurangan karena kecurangan sulit ditemukan dalam pemeriksaan yang biasa-biasa saja.

(m) Menyediakan saluran saluran untuk melaporkan telah terjadinya kecurangan hendaknya diketahui oleh staf agar dapat diproses pada jalur yang benar.

e. Pendeteksian Fraud

Tindakan pencegahan saja tidaklah memadai, internal auditor harus memahami pula bagaimana cara mendeteksi secara dini terjadinya fraud yang timbul. Tindakan pendeteksian tersebut tidak dapat di generalisir terhadap semua kecurangan. Masing-masing jenis fraud memiliki karakteristik tersendiri, sehingga untuk dapat mendeteksi fraud perlu kiranya pemahaman yang baik terhadap jenis-jenis fraud yang mungkin timbul dalam perusahaan.

Berikut adalah gambaran secara garis besar pendeteksian kecurangan berdasar penggolongan fraud oleh ACFE dalam Miqdad (2008) yaitu:

(16)

Kecurangan dalam penyajian laporan keuangan umumnya dapat dideteksi melalui analisis laporan keuangan sebagai berikut:

(a) Analisis vertikal (b) Analisis horizontal (c) Analisis rasio

2) Penyalahgunaan aset (Asset Misappropriation)

Teknik untuk mendeteksi kecurangan-kecurangan kategori ini sangat banyak variasinya. Namun, pemahaman yang tepat atas pengendalian intern yang baik dalam pos-pos tersebut akan sangat membantu dalam melaksanakan pendeteksian kecurangan. Dengan demikian, terdapat banyak sekali teknik yang dapat dipergunakan untuk mendeteksi setiap kasus penyalahgunaan aset. Masing-masing jenis kecurangan dapat dideteksi melalui beberapa teknik yang berbeda.

(a) Analytical review (b) Statistical sampling

(c) Vendor or outsider complaints (d) Site visit – observation

3) Korupsi (Corruption)

Sebagian besar kecurangan ini dapat dideteksi melalui keluhan dari rekan kerja yang jujur, laporan dari rekan, atau pemasok yang tidak puas menyampaikan komplain ke perusahaan. Atas sangkaan terjadinya kecurangan ini kemudian dilakukan analisis terhadap

(17)

tersangka atau transaksinya. Pendeteksian atas kecurangan ini dapat dilihat dari karakteristik (Red flag) si penerima maupun si pemberi.

f. Audit Investigasi

Audit investigatif merupakan sebuah kegiatan sistematis dan terukur untuk mengungkap kecurangan sejak diketahui atau diindikasinya sebuah peristiwa atau kejadian atau transaksi yang dapat memberikan cukup keyakinan serta dapat digunakan sebagai bukti yang memenuhi pemastian suatu kebenaran dalam menjelaskan kejadian yang telah diasumsikan sebelumnya dalam rangka mencapai keadilan (Pusdiklatwas, 2008). Audit investigasi dilakukan sebagai tindakan represif untuk menangani fraud yang terjadi.

1) Tujuan Audit Investigatif

Tujuan utama dari audit investigatif bukan untuk mencari siapa pelakunya, namun menekankan pada bagaimana kejadian sebenarnya (search the truth), setelah kejadian sebenarnya terungkap, secara otomatis pelaku fraud akan didapat (Sukanto, 2009).

2) Tahapan Audit Investigatif

Proses audit investigatif mencangkup sejumlah tahapan, yaitu sebagai berikut (Pusdiklatwas, 2008):

(a) Penelaahan Informasi Awal

(1) Sumber informasi. Informasi awal sebagai dasar penugasan audit investigatif berasal dari berbagai sumber, misalnya

(18)

media massa, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), penegak hukum dan lain-lain.

(2) Mengembangkan hipotesis awal. Hipotesis awal disusun untuk menggambarkan perkiraan suatu tindak kecurangan itu terjadi. Hipotesis awal dikembangkan untuk menjawab mengenai apa, siapa, di mana, bilamana, dan bagaimana fraud terjadi.

(3) Menyusun hasil telaahan informasi awal. Hasil penelaahan informasi awal dituangkan dalam bentuk “Resume Penelaahan Informasi Awal” sehingga tergambar secara ringkas mengenai gambaran umum organisasi, indikasi bentuk-bentuk penyimpangan, besarnya estimasi potensi nilai kerugian negara yang terindikasi, hipotesis, pihak-pihak yang diduga terkait, rekomendasi penanganan

(4) Keputusan pelaksanaan audit investigatif. Didasarkan dari apa yang diinformasikan dan tidak mempermasalahkan siapa yang menginformasikan. Namun fraud audit dapat dilakukan apabila telah ada suatu prediksi yang valid, yaitu keadaan-keadaan yang menunjukkan bahwa fraud telah, sedang, dan atau akan terjadi.

(19)

3) Perencanaan Audit Investigatif

(a) Penetapan sasaran, ruang lingkup dan susunan tim. Sasaran dan ruang lingkup audit investigatif ditentukan berdasarkan informasi awal.

(b) Penyusunan program kerja. Untuk menyusun langkah-langkah kerja audit perlu memahami kegiatan yang akan diaudit.

(c) Jangka waktu dan anggaran biaya. Jangka waktu audit disesuaikan dengan kebutuhan yang tercantum dalam Surat Tugas Audit. Adapun anggaran biaya audit direncanakan seefisien mungkin tanpa mengurangi pencapaian tujuan audit. (d) Perencanaan Audit Investigatif dengan metode SMEAC.

Model perencanaan SMEAC menggunakan pendekatan terstruktur yang mencangkup semua elemen dasar dalam pelaksanaan satu operasi dan dapat pula digunakan sebagai kerangka untuk mengembangkan perencanaan yang lebih detail untuk memenuhi kondisi tertentu. SMEAC merupakan singkatan dari lima kata yang dirancang dalam proses perencanaan penugasan investigasi yaitu Situation, Mission, Execution, Administration & Logistics, Communication.

4) Pelaksanaan Audit Investigatif

(a) Pembicaraan Pendahuluan. Pelaksanaan audit investigatif didahului dengan melakukan pembicaraan pendahuluan dengan pimpinan auditan dengan maksud untuk: menjelaskan

(20)

tugas audit, mendapatkan informasi tambahan dari auditan dalam rangka melengkapi informasi yang telah diperoleh serta menciptakan suasana yang dapat menunjang kelancaran pelaksanaan audit.

(b) Pelaksanaan program kerja. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan program kerja audit investigatif yaitu: perolehan bukti dokumen, jenis bukti atau dokumen, cara memperoleh bukti berbasis dokumen serta mendokumentasikan hasil analisis dokumen.

(c) Penerapan teknik audit investigatif. Untuk mengumpulkan bukti-bukti pendukung maka auditor dapat menggunakan teknik-teknik dalam pelaksanaan audit keuangan yaitu prosedur analitis, menginspeksi, mengonfirmasi, mengajukan pertanyaan, menghitung, menelusuri, mencocokan dokumen, mengamati, pengujian fisik serta teknik audit berbantu komputer.

(d) Melakukan observasi dan pengujian fisik. Teknik-teknik yang biasa dilakukan pada audit investigatif yaitu: wawancara, mereview laporan-laporan yang dapat dijadikan rujukan, berbagai jenis analisis terhadap dokumen atau data, pengujian teknis atas suatu objek, perhitungan-perhitungan, review analitikal, observasi dan konfirmasi.

(21)

(e) Mendokumentasikan hasil observasi dan pengujian fisik. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pendokumentasian yang baik dalam kegiatan investigasi yaitu penyimpanan dokumen pada arsip tersendiri serta pemisahan dokumen atau bukti untuk tiap kejadian hasil observasi dan pengujian fisik.

(f) Melakukan wawancara. Wawancara yang baik mencangkup pemahaman atas: tujuan dan sasaran melakukan wawacara, unsur-unsur pelanggaran yang harus dibuktikan, mengkaji bukti yang dibutuhan, mengajukan pertanyaan yang tepat sebelum wawancara, sadar akan pendapat dan prasangka, serta menyusun kerangka wawancara.

(g) Menandatangani berita acara. Penandatanganan dilakukan untuk menegaskan ketepatan informasi yang diberikan pihak oleh pihak yang diwawancarai.

(h) Pendokumentasian dan evaluasi kecukupan bukti. Pendokumentasian bukti harus dapat menjawab hal-hal berikut: gambaran posisi kasus, siapa yang dirugikan, siapa yang menjadi pelaku, kapan, di mana dan apa tuntutannya, serta kegiatan apa yang diinvestigasi.

5) Pelaporan Audit Investigatif

Penyusunan laporan merupakan tahap akhir dari kegiatan audit investigatif. Laporan audit investigatif disampaikan pada pihak-pihak yang berkepentingan untuk:

(22)

(a) Dalam rangka melakukan kerjasama antara unit pengawasan internal dengan pihak penegak hukum untuk menindaklanjuti adanya indikasi terjadinya fraud.

(b) Memudahkan pejabat yang berwenang dan atau pejabat obyek yang diperiksa dalam mengambil tindakan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

3. Konsep Persepsi a. Pengertian Persepsi

Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses penginderaan, yaitu dengan merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera atau yang disebut proses sensorik (Walgito, 2010: 99). Proses persepsi tidak terlepas proses penginderaan. Davidoff dalam Walgito (2010: 100) mengemukakan bahwa stimulus diterima oleh alat indera, yaitu yang dimaksud dengan penginderaan, dan melalui proses penginderaan tersebut stimulus menjadi sesuatu yang berarti setelah diorganisasikan dan diinterpretasikan.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998) mendefinisikan persepsi sebagai tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu atau proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca indera. Robbins dalam Muchlas (2008: 112) mengemukakan persepsi sebagai proses di mana individu mengorganisasikan dan menginterpretasikan impresi sensoriknya supaya dapat memberikan arti kepada lingkungan sekitar.

(23)

Berdasarkan beberapa pengertian yang telah dikemukakan oleh para ahli di atas, maka dapat disimpulkan persepsi merupakan proses pengorganisasian dan penginterpretasian terhadap stimulus yang diinderanya sehingga menghasilkan sesuatu yang berarti.

b. Teori Atribusi

Teori yang dikembangkan oleh Fritz Heider ini mempelajari proses bagaimana seseorang menginterpretasikan sesuatu peristiwa, alasan, atau sebab perilakunya. Perilaku seseorang oleh kombinasi antara kekuatan internal dan eksternal. Dalam membuat penilaian terhadap orang lain, persepsi akan dikaitkan dengan teori atribusi.

Hal yang sama dikemukakan Robbins (2003) bahwa teori atribusi merupakan dari penjelasan cara-cara manusia menilai orang secara berlainan, tergantung pada makna apa yang dihubungkan ke suatu perilaku tertentu. Pada dasarnya teori ini menyarankan bahwa jika seseorang mengamati perilaku seseorang individu, orang tersebut berusaha menentukan apakah perilaku itu disebabkan oleh faktor internal atau eksternal yang tergantung pada tiga faktor:

1) Kekhususan (ketersendirian), merujuk pada apakah seseorang individu memperlihatkan perilaku-perilaku yang berlainan. Yang ingin diketahui adalah apakah perilaku ini luar biasa atau tidak. Jika luar biasa, maka kemungkinan besar pengamat memberikan atribusi

(24)

eksternal kepada perilaku tersebut. Jika tidak, kelihatannya hal ini akan dinilai sebagai sifat internal.

2) Konsensus, yaitu jika semua orang yangn menghadapi suatu situasi yang serupa bereaksi dengan cara yang sama. Contoh perilaku karyawan yang terlambat akan memenuhi kriteria ini jika karyawan yang mengambil rute yang sama ke tempat kerja juga terlambat. Dari perspektif atribusi, jika konsensus tinggi, diharapkan untuk memberikan atribusi eksternal kepada keterlambatan karyawan ini. Sementarai itu, jika karyawan-karyawan lain yang mengambil rute yang sama berhasil tiba secara tepat waktunya, maka kesimpulan berupa sebab internal.

3) Konsistensi dicari dari tindakan seorang apakah orang tersebut memberikan reaksi yang sama dari waktu ke waktu. Makin konsistensi perilaku, maka hasil pengamatan semakin cenderung untuk menghubungkan dengan sebab-sebab internal.

Pengamatan Penafsiran Atribusi sebab Tinggi Internal Kekhususan

Rendah Ekternal

Tinggi Internal Perilaku Individu Konsensus

Rendah Eksternal Tinggi Internal Konsistensi

Rendah Ekternal Gambar 3. Teori Atribusi

(25)

c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Persepsi

Stimulus merupakan salah satu faktor yang berperan dalam proses terbentuknya persepsi. Makmuri Muchlas (2008: 119-122) mengemukakan bahwa terdapat beberapa faktor yang berperan dalam persepsi, yaitu sebagai berikut:

1) Pelaku Persepsi

Faktor-faktor yang berhubungan dengan pelaku persepsi akan mempengaruhi persepsi terhadap objek tertentu. Terdapat beberapa faktor pribadi yang mempengaruhi persepsi diantaranya adalah:

(a) Sikap

Penilaian mahasiswa terhadap dosen yang sama bisa berbeda tergantung pada tingkat kesukaan mahasiswa terhadap dosen dari cara mengajarnya.

(b) Motif

Motif dari seseorang bisa muncul bila ada kebutuhan yang belum terpenuhi. Hal ini akan memberikan stimulus atau mempengaruhi untuk berpersepsi kuat terhadap objek tertentu yang sesuai dengan motifnya.

(c) Interest

Interest atau ketertarikan merupakan salah satu faktor seseorang untuk berpersepsi.

(26)

(d) Pengalaman masa lalu

Pengalaman masa lalu dapat dihubungkan dengan interest, dimana pengalamana masa lalu terhadap objek tertentu bisa menurunkan interest pada objek tersebut.

(e) Ekspektasi

Ekspektasi bisa mendistorsi persepsi dalam artian bahwa apa yang diharapkan akan membentuk persepsi seseorang terhadap apa yang diharapkan tersebut.

2) Target Persepsi

Karakteristiknya dalam target persepsi yang sedang diobservasi mempengaruhi segala hal yang dipersepsikan. Objek-objek yang terletak berdekatan akan cenderung dipersepsikan sebagai kelompok objek yang tak terpisahkan. Makin besar kesamaan dari suatu objek, makin besarlah kemungkinan seseorang untuk mempersepsikan objek tersebut sebagai suatu kelompok bersama.

3) Situasi

Elemen-elemen dalam lingkungan sekitar dapat mempengaruhi persepsi terhadap objek yang sama pada situasi yang berbeda.

d. Proses Terjadinya Persepsi

Proses terjadinya persepsi merupakan sesuatu yang terjadi dalam beberapa tahap (Walgito, 2010: 102):

(27)

1) Proses kealaman atau proses fisik

Merupakan proses diterimanya stimulus oleh panca indera. 2) Proses fisiologis

Merupakan proses diteruskannya stimulus yang diterima oleh alat indera oleh syaraf sensorik ke otak.

3) Proses psikologis

Merupakan proses yang terjadi dalam otak pada pusat kesadaran akan apa yang dilihat, didengar, dan diraba.

Berbagai stimulus akan dikenakan pada individu, akan tetapi tidak semua stimulus akan direspon oleh individu untuk dipersepsi. Individu akan mengadakan seleksi terhadap stimulus yang mengenainya sehingga perlu adanya perhatian sebagai langkah dalam persepsi. Sebagai akibat dari stimulus yang dipilih dan diterima individu, individu akan menyadari dan memberikan respon sebagai reaksi terhadap stimulus tersebut.

e. Persepsi mengenai Adanya Fraud di Indonesia

Fraud itu sendiri secara umum merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang-orang dari dalam dan atau luar organisasi, dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan atau kelompoknya yang secara langsung merugikan pihak lain. Orang awam seringkali mengasumsikan secara sempit bahwa fraud sebagai tindak pidana atau perbuatan korupsi. Korupsi merupakan jenis

(28)

fraud pada khususnya. Berdasarkan pendekatan sosiologi korupsi diartikan sebagai penyalahgunaan jabatan untuk keuntungan pribadi. Korupsi bukanlah masalah budaya melainkan merupakan masalah yang berkenaan dengan sistem perekonomian dan kelembagaan. Korupsi merupakan perbuatan tidak jujur, perbuatan yang merugikan dan perbuatan yang merusak sendi-sendi kehidupan instansi, lembaga, korps dan tempat bekerja para birokrat. Korupsi yang berkaitan dengan birokrasi dapat berpenampilan dalam bentuk kolusi, nepotisme, uang pelancar, dan uang pelicin.

Kajian mengenai korupsi di Indonesia dilakukan oleh berbagai lembaga baik dalam dan luar negeri. Transparency International (TI) merupakan organisasi masyarakat madani (global civil society) yang mempelopori pemberantasan korupsi. Ada beberapa indikator mengenai korupsi dalam bentuk indeks global, yaitu sebagai berikut (Tuanakotta, 2009: 9-10,2010: 50-66):

1) Corruption Perceptions Index (CPI)

CPI adalah indeks mengenai persepsi korupsi di suatu negara. Hasil dari survei yang dilakukan oleh TI mengenai CPI tahun 2011, Indonesia berada pada peringkat 100 dengan skor CPI 3,0 bersama dua belas negara lain diantaranya Argentina, Benin, Burkina Faso, Djibouti, Madagaskar, Malawi, Mexico, Sao Tome & Principe, Suriname, dan Tanzania. dengan artian bahwa skor di bawah 5 dari

(29)

kisaran 0 sampai 10 masuk dalam negara yang korup, sedangkan skor 10 dikatakan sangat bersih.

2) Global Corruption Barometer (GCB)

GCB merupakan survei pendapat umum yang dilakukan sejak tahun 2003. Survei ini dilakukan untuk memahami bagaimana dan dengan cara apa korupsi mempengaruhi hidup orang banyak dan memberikan indikasi mengenai bentuk dan betapa luasnya korupsi, dari sudut pandang anggota di seluruh dunia. GCB tahun 2012 menempatkan parleman sebagai bidang terkorup di Indonesia dengan skor 3,6 dari kisaran 1 sampai 5.

3) Bribe Payers Index (BPI)

BPI tahun 2011 meliputi 3016 wawancara dengan para eksekutif senior di 28 negara di dunia untuk mengetahui persepsi mereka terhadap kemungkinan perusahaan dari negara-negara mereka terlibat penyuapan ketika melakukan bisnis(www.transparency.com).

B. Penelitian yang Relevan

1. Afhita Dias Rukmawati (2011) yang berjudul “Persepsi Manajer dan Auditor Eksternal mengenai Efektivitas Metode Pendeteksian dan Pencegahan Tindakan Kecurangan Keuangan”. Penelitian ini bertujuan untuk menguji persepsi manajer dan auditor eksternal mengenai efektivitas metode pendeteksian dan pencegahan tindakan kecurangan keuangan, prosedur atau teknik yang diyakini efektif mengurangi tindakan kecurangan keuangan dan

(30)

software atau teknologi yang efektif mendeteksi dan mencegah tindakan kecurangan keuangan. Penelitian ini dilakukan dengan membagi kuesioner secara langsung kepada mahasiswa Magister Manajemen yang merepresentasikan manajer dan auditor eksternal yang bekerja pada Kantor Akuntan Publik dan dianalisis dengan independent sample t-test.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan persepsi antara manajer dan auditor eksternal tentang efektivitas metode pendeteksian dan pencegahan tindakan kecurangan keuangan; kode etik perusahaan atau kebijakan etika, rekonsiliasi bank, review terhadap pengendalian internal dan perbaikannya, review terhadap bagian yang rawan tindakan kecurangan keuangan, dan kebijakan untuk melaporkan tindakan kecurangan keuangan merupakan prosedur atau teknik yang diyakini efektif mengurangi tindakan kecurangan keuangan; dan perlindungan password, perlindungan terhadap virus, dan perlindungan dengan metode firewall merupakan software atau teknologi yang efektif mendeteksi dan mencegah tindakan kecurangan keuangan.

Perbedaan dengan penelitian ini adalah bila penelitian oleh Afhita dilakukan untuk mengetahui persepsi antara manajer dan auditor mengenai efektivitas metode pendeteksian dan pencegahan tindakan kecurangan keuangan, prosedur atau teknik yang diyakini efektif mengurangi tindakan kecurangan keuangan dan software atau teknologi yang efektif mendeteksi dan mencegah tindakan kecurangan keuangan. Adapun penelitian oleh peneliti

(31)

bertujuan untuk mengetahui persepsi mahasiswa mengenai peran akuntansi forensik sebagai alat pencegah fraud.

2. Iprianto (2009) yang berjudul “Persepsi Akademis dan Praktisi Akuntansi terhadap Keahlian Akuntan Forensik”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis deduktif, pemikiran kritis, memecahkan masalah tidak terstruktur, flesibilitas penyidikan, kemampuan analitik, komunikasi lisan, komunikasi tertulis, pengetahuan tentang hukum, dan bersikap tenang yang merupakan bagian keahlian akuntan forensik yang relevan.

Penelitian ini merupakan penelitian empiris dengan teknik purposive sampling di dalam pengumpulan data. Data diperoleh dengan menyebarkan kuesioner sebanyak 150 di universitas negeri dan instansi pemerintah seperti BPK dan BPKP di kota Semarang dan 72 responden (48%) yang terdiri dari 38 orang dari akademisi, dan 34 orang dari praktisi telah memberikan jawaban. Analisis data dilakukan dengan Independent Sample Test dengan program SPSS versi 16. Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan persepsi yang signifikan antara akademisi dengan praktisi terhadap kemampuan analisis deduktif, keahlian analitik, komunikasi tertulis, pengetahuan tentang hukum, dan bersikap tenang. Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan persepsi yang signifikan antara akademisi dengan praktisi terhadap kemampuan pemikiran kritis, memecahkan masalah tidak terstruktur, flesibilitas penyidikan, dan komunikasi lisan.

Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah jika penelitian terdahulu mempunyai tujuan untuk menganalisis perbedaan persepsi

(32)

antara akademisi dengan praktisi akuntansi terhadap profesi akuntan forensik, sementara penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti bertujuan untuk mengetahui persepsi mahasiswa terhadap peran akuntansi forensik sebagai pencegah tindak kecurangan korupsi. Selain itu jenis penelitiannya juga berbeda. Penelitian terdahulu merupakan jenis penelitian survei (survey research) yang berupa penelitian penjelasan dan pengujian hipotesa (explanatory) yang menggunakan metode deskriptif dan eksploratori, sedangkan penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif.

3. Zabihollah Rezaee (2003), dalam penelitiannya yang berjudul “Forensik Accounting Education: A Survey of Academicians and Practitioner”. Tujuan dari penelitian ini adalah mengumpulkan pendapat dari kedua akademisi dan praktisi mengenai pentingnya relevansi dan pengiriman pendidikan akuntansi forensik. Hasil menunjukkan bahwa kebutuhan dan kepentingan akan akuntansi forensik diperkirakan akan terus meningkat, terbukti dengan: 1) Lebih banyak universitas yang merencanakan untuk memberikan pendidikan akuntansi forensik, 2) Kelompok responden memandang pendidikan akuntansi forensik sangat relevan dan bermanfaat bagi mahasiswa akuntansi, masyarakat bisnis, profesi akuntan, dan program akuntansi.

Sebagian dari responden menyarankan topik akuntansi forensik diintegrasikan dalam kurikulum akuntansi, karena akuntansi forensik dirasa penting oleh kedua kelompok akademisi dan praktisi yang disurvei. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa perbedaan yang signifikan mengenai keberadaan cakupan akuntansi forensik antara akademisi dan praktisi

(33)

bermanfaat bagi universitas atau perguruan tinggi untuk pertimbangan dalam mengintegrasikan akuntansi forensik ke dalam kurikulum akuntansi dan mendesain pelatihan akuntansi forensik.

Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah pada tujuan penelitian yaitu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi mahasiswa sebagai akademisi mengenai peran akuntansi forensik sebagai pencegah fraud, sedangkan penelitian oleh Rezaee bertujuan untuk mengumpulkan pendapat antara akademisi dan praktisi mengenai akuntansi forensik sebagai pendidikan yang relevan dan penting untuk diintegrasikan ke dalam kurikulum akuntansi.

C. Kerangka Berpikir 1. Persepsi Mahasiswa

Persepsi merupakan proses pengorganisasian dan pengintepretasian terhadap stimulus yang diterima oleh panca indera. Persepsi mahasiswa merupakan proses dimana mahasiswa berusaha menafsirkan apa yang dilihat, didengar, dan diraba untuk kemudian memberikan respon terhadap penafsiran tersebut. Persepsi mahasiswa dibutuhkan untuk mengetahui peran akuntansi forensik sebagai pencegah fraud. Persepsi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu, pelaku persepsi, target persepsi, dan situasi.

2. Persepsi Mahasiswa Akuntansi terhadap Peran Akuntansi Forensik

Akuntansi forensik adalah penerapan keterampilan akuntansi untuk menyediakan informasi keuangan kuantitatif tentang hal-hal sebelum ke

(34)

pengadilan. Peran akuntansi forensik sebagai pencegah fraud melalui beberapa tahap yaitu tindakan preventif, detektif, dan represif.

3. Peran Akuntansi Forensik sebagai Alat Pencegah Fraud

Penyalahgunaan tugas dan wewenang jabatan menjadi sebab terjadinya fraud. Di Indonesia korupsi merupakan fraud pada khususnya telah merajalela pada semua kalangan masyarakat. Berbagai upaya telah dilakukan dalam pemberantasan korupsi sampai ke akar-akarnya. Sulitnya pemberantasan korupsi di Indonesia menyadarkan akan pentingnya pendekatan akuntansi forensik dalam membantu menganalisis berbagai kasus korupsi di Indonesia khususnya yang berkaitan dengan korupsi sistemik yang dilakukan melalui konspirasi yang telah dipersiapkan dengan dukungan dokumen legal oleh para pelakunya. Akuntansi forensik mengamati dan memahami gejala fraud secara macro pada tingkat perekonomian negara dengan memanfaatkan kajian global yang ada. Akuntansi forensik juga semakin dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan financial perusahaan bersama shareholders untuk mencegah terjadinya fraud dan kecurangan di dalam praktik akuntansi. Dengan demikian akuntansi forensik berperan dalam pencegah dan pendeteksi terjadinya fraud khususnya korupsi di setiap kegiatan financial serta melakukan tindakan represif (perbaikan).

(35)

D. Paradigma Penelitian

Paradigma penelitian merupakan alur sederhana yang mendeskripsikan pada hubungan variabel penelitian atau prosedur kerja penelitian untuk memecahkan masalah penelitian. (Ismani, 2009: 13)

Gambar 5. Paradigma Penelitian E. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana persepsi mahasiswa terhadap akuntansi forensik?

2. Bagaimana peran akuntansi sebagai alat pencegah fraud melalui tindakan preventif, detektif dan represif?

Persepsi Mahasiswa Akuntansi 2009 dan 2010 Peran Akuntansi Forensik: 1. Preventif 2. Detektif 3. Represif

Korupsi Penyalahgunaan Aset

Sebagai pencegah Fraud:

Kecurangan Laporan Keuangan

(36)

3. Bagaimana peran akuntansi sebagai alat pencegah korupsi melalui tindakan preventif, detektif dan represif?

4. Bagaimana peran akuntansi sebagai alat pencegah penyalahgunaan aset melalui tindakan preventif, detektif dan represif?

5. Bagaimana peran akuntansi sebagai alat pencegah kecurangan laporan keuangan melalui tindakan preventif, detektif dan represif?

Referensi

Dokumen terkait

Profil Kesehatan Kabupaten Kolaka Tahun 2016 merupakan gambaran pencapaian pembangunan bidang kesehatan dalam rangka pencapaian visi dan misi Dinas Kesehatan

Dengan Anda menolak uang pemberian John, orang lain yang menggantikan posisi Anda akan memandang Anda sebagai seseorang yang mendukung kebijakan bank dalam memerangi

Variabel bebas yaitu variabel kapasitas sumber daya manusia, pemanfaatan teknologi informasi, dan pengendalian intern secara simultan berpengaruh signifikan terhadap

Masukan sel rata kanan : Jika data lebih panjang dari panjang sel maka lebihnya akan mengisi sel disebelah kirinya yang kosong, jika sel sebelah kiri terisi maka data akan

Sedarmayanti (2007) Lingkungan kerja fisik adalah semua keadaan berbentuk fisik yang terdapat di sekitar tempat kerja yang dapat mempengaruhi karyawan baik secara

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Santi Utami Dewi, Siti Amanah dan Eva Rahmi Kasim (2013) yang berjudul “Korelasi Pelatihan Vokasional Dengan Kompetensi Penyandang

KESATU : Menetapkan Petunjuk Teknis Pemberian Penghargaan dan Pemberian Hukuman Disiplin Bagi Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya