• Tidak ada hasil yang ditemukan

KATA PENGANTAR. Yusuf Siswantara, S.S., M. Hum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KATA PENGANTAR. Yusuf Siswantara, S.S., M. Hum"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

1

KATA PENGANTAR

Modul kecil ini merupakan usaha pengembangan program pembelajaran Pendidikan Agama Katolik. Kami membuatnya dalam rangka pendampingan eksposure dalam kelas Agama Katolik. Dengan demikian, kami tidak bermaksud untuk mempublikasikan sebagai kajian ilmiah.

Modul ini bukanlah buku teoritis apalagi teologis dogmatis. Buku ini adalah pegangan praktis tentang bagaimana orang lain untuk mengalami iman dalam konteks. Maka, buku ini pun bersifat „sementara‟. Karena itu, beberapa catatan kaki bisa jadi terlupakan. Artinya, dari pengalaman proses pengalaman pembelajaran, buku pegangan ini bisa berubah dan berkembang. Dalam penyusunan buku pengembangan pembelajaran pendidikan Agama ini, kami terbantu dan banyak belajar dari modul eksposure yang dibuat oleh Saudara Cosmas Lili Alika, S. Pd., M. Hum., Lic. Th dan perjumpaan dengan rekan tim dosen Agama Katolik di lingkungan Unpar, terkhusus Lembaga Kajian Humaniora. Untuk semua itu dan kepada semua pihak, kami ucapkan terima kasih, terkhusus Rm. Fabie dan Bpk Rudi atas kepercayaannya.

Akhirnya, kami menyadari banyak hal yang masih harus diperhatikan. Oleh karena itu, modul eksposure ini terbuka untuk kritik dan saran konstruktif demi pengembangan pendidikan Agama Katolik di pendidikan tinggi.

(2)
(3)

3

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

PENDAHULUAN

BAGIAN I: DASAR-DASAR PEMAHAMAN

BAB I. WAHYU-IMAN: Gerak Dialogis Allah-Manusia (tematik eksposure 1)

Bab II.Iman dan Agama (tematik eksposure 2)

Bab III.Kitab Suci dan Tradisi Suci (tematik eksposure 3)

Bab IV. Gereja dan Ajaran Sosial Gereja (tematik eksposure 4)

BAGIAN II. DASAR-DASAR EKSPOSURE Bab V. Mengenal Metode Sosial

Bab VI. Penjelasan metode Eksposure

Bab VII. Metode Observasi (Beberapa Catatan Tambahan) DAFTAR BACAAN

(4)
(5)

5

PENDAHULUAN

a. Pengantar: Buku ini adalah buku kerja atau buku pegangan.

Sebagaimana dimaksudkan, bagian ini berisi tentang petunjuk praktis dan hal-hal penting yang harus dipahami sebelum menjalankan kegiatan eksposure sebagai media pembelajaran. Karena sifat praktis ini, maka paparan berikut lebih banyak menjawab pertanyaan: apa yang harus saya lakukan, dan bukan mengapa saya melakukan ini atau itu. Karena kepraktisannya, semua peserta didik diharapkan mencermatinya dan memahami.

b. Metode Pendidikan bottom-up dan pengalaman-teori.

Pemahaman pertama yang harus dipunyai semua peserta didik adalah metode pendidikan. Supaya memudahkan pemahaman, kita sebut saja „metode lama‟ dan metode baru.

Pertama, metode lama. Sangat umum dan sudah biasa (bahkan

menjadi kewajiban supaya suatu proses dapat disebut sebagai „pendidikan‟) adalah bahwa pendamping (entah guru atau dosen) dan peserta didik (siswa atau mahasiswa) bertemu di suatu tempat (biasanya, kelas); pendamping memberikan bahan atau materi, dan peserta didik mendengarkan-memahami-mengerti; jika dianggap perlu, sessi tanya-jawab akan dibuka. Dalam proses ini, peran aktif sepenuhnya ada di pihak pendamping. Lebih dari itu, pendamping menjadi faktor penentu apakah proses pendidikan bisa berjalan atau tidak. Hal ini tampak saat pendamping tidak bisa datang dan peserta didik „berkreativitas sendiri tanpa arah‟.

Dari sisi lain, peserta didik menjadi pihak pasif. Dalam kepasifan itu, tersirat pesan bahwa „proses pendidikan bukanlah

(6)

6

urusanku‟. Karena pola lama ini juga, peserta didik hanya menunggu „kapan masuk, kapan keluar kelas, kapan ujian, dan kapan lulus‟. Materi pun dilihat hanya sebagai paparan teori yang dalam kenyataannya pasti berbeda (kalau tidak bisa dikatakan tidak berlaku). Sementara itu, tentang tanggungjawab, kita bisa lihat bahwa walaupun tidak bisa dikatakan nol, hanya sedikit sekali peserta didik yang sadar bahwa pendidikan (pinter atau tidaknya si aku) pertama-tama adalah urusanku dan tanggungjawabku.

Kedua, metode baru. Supaya jernih, kata „baru‟ dan „lama‟

hanyalah sebuah penamaan sebagaimana urutannya saja. Tidak ada makna yang menyangkut isi metode. „Metode baru‟ dan „metode lama‟ di sini sama dengan „metode satu‟ dan „metode „dua‟. Dengan penjernihan ini, kita bisa melihat bahwa metode baru ini adalah metode lama. Supaya jelas, mari kita lihat perjalanan pendidikan.

Awalnya, pendidikan dimulai di alam terbuka. Peserta didik adalah para pencari kebenaran yang ingin memenuhi rasa ingin

tahu-nya. Mereka mencari guru (orang yang bijaksana) dan

menjadikannya sang guru. Aktivitas terbesarnya adalah diskusi dan berdialog. Topik diskusi dan dialog pun relevan dengan kehidupan zamannya. Mereka melihat, berpikir kritis, mempertanyakan, dan mencari jawab. Guru menjadi teman pencarian, moderator diskusi, bidan yang melahirkan gagasan-gagasan (menurut Sokrates). Misalnya, Sokrates melakukan pendidikannya dengan berdiskusi dan berdialog sampai para muridnya melahirkan sendiri kebenaran yang dicarinya.

Model a la Sokrates inilah yang dikatakan sebagai metode baru. Peserta didik aktif, mencari, kritis, mempertanyakan, dan menemukan jawabannya. Peserta didik menjadi pusat aktivitas

(7)

7

dan perhatian. Sementara itu, pendamping tetap memainkan peran sebagai moderator dalam segala aktivitas. Dalam beberapa kesempatan, materi tetap diberikan sebagai bahan diskusi, dan arah pendampingan tetap ditentukan secara tegas dan jelas. Pendidikan agama selayaknya ditempatkan dalam wilayah pencarian nilai dan metodologi ini.

Dalam konteks ini, eksposure harus dipahami. Sebagai metode pendidikan, eksposure mengangkat dua hal sekaligus: 1) aktivitas peserta didik sebagai pusat proses (buttom-up), dan 2) pengalaman sebagai sarana pembelajaran.Yang perlu dan penting untuk ditetapkan di awal adalah apa saja yang harus dipenuhi atau

dicapai oleh mahasiswa sebagai individu dan kelompok.

c. Eksposure: Metode Pendidikan.

Buku ini dibagi dalam dua skema besar, yaitu Dasar-dasar Pemahaman dan dasar-dasar Eksposure. Dalam dasar-dasar pemahaman, kita akan melihat berbagai telaah teologis, yang kiranya harus dipahami sebagai bekal konseptual dalam (nantinya) melaksanakan eksposure.

Sementara, dalam dasar-dasar eksposure, kita akan melihat observasi partisipatif sebagai metode eksposure, lingkaran pastoral, dan teknis eksposure.

(8)
(9)

9

BAGIAN I DASAR-DASAR PEMAHAMAN

(10)
(11)

11 BAB I.

WAHYU-IMAN: Gerak Dialogis Allah-Manusia (tematik eksposure 1)

WAHYU adalah sapaan Allah dalam hidup manusia. “Allah mewahyukan diri kepada manusia sebagai „Keputusannya yang berbelas kasih”. DV 2 (Dei Verbum no. 2) menyatakan “Dalam

kebaikan dan kebijaksanaan-Nya, Allah berkenan mewahyukan diri-Nya dan memaklumkan rahasia kehendak-diri-Nya....”. Dengan

demikian, sangat jelas bahwa dalam Gereja Katolik, Wahyu dipahami sebagai gerakan atau tindakan aktif dari Allah yang mendahului manusia dengan sapaan yang berbelas kasih. Allah-lah yang pertama mendatangi manusia dan me-Wahyu-kan diri-Nya sendiri.

Sementara itu, IMAN adalah tanggapan manusia atas sapaan

Allah dalam wahyu-Nya. Inilah gerak dialogis. Wahyu sebagai

inisiatif pribadi Allah kepada manusia dilanjutkan dengan Iman sebagai tanggapan pribadi manusia kepada Allah. Dalam gerak dialogis relasi Allah dan manusia ini, yang harus kita ingat adalah bahwa inisiatif dan aktornya adalah Allah. Artinya, Allah yang menyapa terlebih dahulu dan Allah pulalah yang memampukan manusia untuk menanggapi sapaan-Nya. Allah „yang bersemayam dalam terang yang tak terhampiri‟ (1 Tim 6: 1-6) hendak menyampaikan kepada manusia, yang Ia ciptakan dalam kebebasan, kehidupan ilahi-Nya sendiri, supaya melalui Putra-Nya yang tunggal Ia mengangkat mereka menjadi anak-anak-Putra-Nya (Bdk. Konsili Vat: DS 3015, Ef 1: -45). Dengan demikian,

„....berkat rahasia itu, manusia dapat menghadap Bapa melalui Kristus, Sabda yang menjadi daging, dalam Roh Kudus, dan ikut serta dalam kodrat ilahi‟ (DV. 2).

(12)

12

Pewahyuan Allah terjadi dalam tahapan. 1) Allah membiarkan diri dikenal sejak awal mula. Silahkan dilihat dalam Rm 1: 19-20. Allah, yang menciptakan segala sesuatu melalui

Sabda-Nya serta melestarikannya dalam makhluk-makhluk, senantiasa memberikan kesaksian tentang diriNya kepada manusia. DV 3

menegaskan: karena Ia bermaksud membuka jalan menuju keselamatan di surga, Ia sejak awal mula telah menampakkan Diri kepada manusia pertama.

2) Allah mengadakan perjanjian dengan Nuh. Dalam perjanjian dengan Nuh sesudah air bah, kehendak keselamatan ilahi dinyatakan kepada „bangsa-bangsa”; artinya, kepada manusia, yang tinggal di „negerinya masing-masing dan mempunyai bahasa serta suku-sukunya sendiri‟ (Kej 10: 5).

3) Allah memilih Abraham. Supaya mengumpulkan kembali umatnya, Allah menunjuk Abraham sebagai bapa para bangsa.

4) Allah membentuk bangsa Israel Bagi Dirinya. Tuhan menjadikan bangsa Israel, membebaskan dari perbudakan Mesir, mengadakan perjanjian Sinai, memberi hukum-Nya lewat Musa, supaya teguh iman bahwa Allah adalah satu dan penyelamat.

5) Yesus sebagai perantara dan pemenuhan seluruh Wahyu Allah. Dalam diri Yesus, Allah secara utuh dan penuh mewahyukan diri-Nya dengan senyatanya. Dalam diri Yesus pula, manusia dimampukan untuk menjawab pewahyuan Allah sebagai jawaban Ya atas tawaran keselamatan Allah bagi manusia.

(13)

13 BAB II.

IMAN dan AGAMA (Tematik eksposure 2) 1. Relasi Allah dan Manusia secara personal

Kita akan melihat arti agama dan iman. Selenjutnya, kita akan mendudukan agama dan iman dalam relasional. Semoga penjelasan ini memberi bekal pemahaman yang jelas.

Agama adalah institusi atau sistem sosial yang meng-organisasi-kan orang-orang atau pribadi-pribadi yang mempunyai kepercayaan tertentu. Agama sebagai institusi atau sistem sosial memuat berbagai unsur atau bagian, antara lain: sistem kepercayaan, sistem organisasional, sistem keanggotaan dan struktur, sistem kegiatan. Bagi anggota-anggotanya, agama menjadi sisi outside (sisi luaran) diri. Artinya, agama sangat berkaitan erat dengan „aku berhubungan dengan orang lain‟.

Pendirian atas kelembagaan agama mempunyai tujuan „pemeliharaan nilai-nilai religius‟. Artinya, agama ada dan didirikan, bertahan dan berkembang demi tujuan pengembangan iman umatnya. Sebaliknya, iman atau kepercayaan atau nilai-nilai hidup dipelihara dan dikembang-tumbuhkan dalam lembaga atau institusi atau sistem sosial yang bernama Agama.

Sementara itu, iman adalah nilai-nilai hidup yang dipercayaai berguna dan baik sehingga pantas diperjuangkan atau dihidupi oleh pribadi yang mempercayainya. Iman mengajarkan nilai, tujuan, hakekat dari hidup. Boleh dibilang, iman adalah sisi inside (sisi dalam) diri. Artinya, iman sangat berkaitan erat dengan „aku berhubungan dengan diriku dan tuhan‟. Adanya iman memungkinkan orang untuk melihat dan membangun nilai pribadi yang dihayati secara pribadi dan kelompok.

(14)

14

Bagaimana keduanya dihubungkan? Di atas, sudah dijelaskan bahwa agama ada untuk pengembangan iman atau bahwa iman berkembang dalam agama. Secara ekstrim-positif, seharusnya agama mengembangkan iman seseorang. Atau, iman seseorang bertumbuh dalam lembaga keagamaan. Akan tetapi, kita tidak bisa menutup mata sisi ekstrim-negatif dari keduanya. Sisi ekstrim-negatif itu adalah bahwa orang bisa mempunyai iman „A‟ tetapi mempunyai agama „B‟. Ada banyak faktor penyebab atau pendukung dari „situasi-pecah‟ tersebut. Salah satunya adalah pemaksaan dalam konteks perkawinan. Tetapi, lepas dari sisi-negatif, kita pantas menengok agama sebagai salah satu pengembangan iman.

2. Dua Dimensi Agama: Sosial dan Ilahi.

Telah dibahas bahwa agama merupakan institusi sosial, dimana anggota masyarakat berkumpul sesuai dengan keyakinan religiusnya. Di dalam agama, satu anggota berhubungan dengan anggota lain. Iman yang diyakini dan dirayakan pun merupakan iman seluruh umat beragama. Tata cara perayaan dan kegiatan agama pun semata-mata demi para anggota. Singkatnya, agama mempunyai (1) dimensi sosial.

Sejalan dengan dimensi sosial-internal, agama bersentuhan dengan dunia. Yang dimaksud dengan dunia di sini adalah kenyataan seluruh umat manusia beserta alam semesta.i Jika

dunia diartikan sebagai keseluruhan kenyataan alam semesta, maka agama mempunyai dimensi sosial-eksternal, yaitu kenyataan manusiawi dan duniawi. Konsekuensi dari dimensi sosial-eksternal ini sangat jelas dan tegas, yaitu bahwa agama tidak bisa diam dalam dan sebagai wilayah mandiri yang lepas dari kenyataan hidup di dunia.

(15)

15

Dimensi kedua adalah dimensi internal. Agama didirikan untuk menjaga kelestarian ajaran dan demi pemeliharaan anggota dan pengikut. Agama menghantar anggotanya kepada pengalaman akan Allah. Atau, agama menghantar umatnya kepada Allah yang adikodrati.

Dari ulasan di atas, kita bisa menempatkan agama sebagai institusi dengan dua dimensi. Agama bersifat ilahi tetapi juga tidak bisa terasing dari kenyataan hidup. Urusan agama yang religius pun tidak bisa dilepaskan dari kenyataan sosial.

3. Dua Dimensi Iman: Imanen dan Transenden

Jikalau agama mempunyai dimensi iman, kita juga bias melihat dan memahami iman dalam dua dimensi. Banawiratma menempatkan iman sebagai istilah teologis yang berkaitan dengan apa yang oleh orang beriman disebut juga pengalaman iman. Pengalaman iman ini merupakan tanggapan manusia atas sapaan atau panggilan Allah Yang Maha Kuasa.

Dalam teologi, dinyatakan bahwa karena belas kasih dan cinta-Nya, Allah terlebih dahulu telah menyapa manusia. Demikian pula, manusia diharapkan membalas sapaan Allah (Iman). Jelas, iman bukan masalah tindakan manusia lepas dari yang lain. Sebaliknya, iman adalah urusan relasional dan komunikasi, yaitu antara Allah dan manusia. Inilah dimensi transenden dari iman.Manusia beriman berarti manusia menanggapi, menjawab, meng‟iya‟kan sapaan Allah, dan menyerahkan hidupnya kepada-Nya. Sikap iman berarti sikap „iya‟ dan „setuju‟ atas pewahyuan Allah dalam diri Yesus Kristus.

Allah yang mewahyukan diri adalah Allah yang hadir dalam diri Yesus Kristus, rela hidup sebagai manusia, tinggal, menderita, dan wafat sebagai penjahat. Pewahyuan dan histori

(16)

16

ini menjelaskan dan menegaskan bahwa Allah adalah pribadi yang dekat, Allah yang beserta kita. Beriman kepada Allah berarti sikap penyerahan diri kepada Dia yang begitu dekat dan ada di sekitar kita. Dimensi vertical (transcendental) bersatu dengan dimensi horizontal (imanen). Demikian pula, iman-personal bersinggungan dengan iman-sosial. Doa berkorelasi dengan tindakan.

Dengan tegas dan jelas, Yesus menyatakan isyarat tersebut: barang siapa melakukan kebaikan kepada sesama, hal itu dilakukan juga untuk Yesus. Sabda senada juga diungkapkan: memberi makan kepada kaum miskin, menjenguk tawanan di penjara, dan sebagainya.

(17)

17 BAB III.

KITAB SUCI & TRADISI SUCI (tematik eksposure 3)

Gereja Katolik Roma menghargai warisan iman rasuli dalam dua bentuknya, yaitu Kitab Suci yang sekian abad lalu telah ditetapkan oleh Gereja dan Tradisi Suci yang juga dilestarikan dan dihidupi dalam Gereja. Bagaimana hal ini bisa terjadi?

Kehidupan Yesus Kristus hanya berlangsung kurang lebih 33 tahun. Dalam waktu itu, banyak peristiwa terjadi dan saksi atas peristiwa itu adalah para rasul. Dalam 1 Tim 2: 4, jelas dinyatakan bahwa Allah „menghendaki supaya semua orang idselamatkan dan memperoleh pengetahuan akankebenaran. Artinya supaya semua orang mengenal Yesus Kristus. Karena itu Kristus harus diwartakan kepada semua bangsa dan manusia dan wahyu mesti sampai ke batas-batas dunia (Katekismus. P. 30). Dei Verbum 7 menjelaskan bahwa „Dalam kebaikan-Nya, Allah telah menetapkan, bahwa apa yang diwahyukan-Nya demi keselamatan semua bangsa, harus tetap utuh untuk selamanya dan diteruskan kepada segala keterunan‟.

Nah, sesuai dengan amanat tersebut, Terjadilah pengalihan injil dengan dua cara. Yang pertama, secara lisan „oleh para Rasul, yang dalam perwartaan lisan, dengan teladan serta penetapan-penetapan meneruskan entah apa yang mereka terima dari mulut, pergaulan, dan karya Kristus sendiri, entah apa yang atas dorongan Roh Kudus telah mereka pelajari‟; dan, secara tertulis „ oleh para Rasul dan tokoh-tokoh rasuli, yang atas ilham Roh Kudus itu juga telah membukukan amanat keselamatan (DV. 7).

Penulisan amanat keselamatan disebut Kitab Suci. Dan, penerusan amanat dalam bentuk menghidupi dan menghayati

(18)

18

dalam hidup keseharian dinamakan dengan Tradisi, yang

walaupun berbeda dengan Kitab Suci, namun sangat erat berhubungan dengannya(DV. 7). Demikianlah,dalam ajaran, hidup serta

ibadatnya,Gereja melestarikan serta meneruskan kepada semuaketurunan dirinya seluruhnya, imannya seutuhnya. Ungkapan-ungkapan para BapaSuci memberi kesaksian akan kehadiran tradisi itu yang menghidupkan dan yang kekayaannya meresapi praktik serta kehidupan Gereja yang beriman dan berdoa(DV8).

Bagaimana hubungan TRADISI dan KITAB SUCI? „Tradisi Suci dan Kitab suci berhubugnan erat sekali dan terpadu. Sebab, keduanya mengalir dari sumber ilahi yang sama, dan dengan cara tertetenut bergabung menjadi satu dan menjurus ke arah tujuan yang sama‟. Kedua-duanya menghadirkan dan mendayagunakan misteri Kristus di dalam Gereja,yang menjanjikan akan tinggal bersama orang-orang-Nya sampai akhir Zaman.

Dua Cara yang berbeda dalam mengalihkannya. Kitab Suci adalah

pembicaraaan Allah sejauh itu termaktub dengan ilham Roh ilahi. Oleh Tradisi Suci, Sabda Allah yang oleh Kristus Tuhan dan Roh Kudus dipercayakan kepada para Rasul, disalurkan seutuhnya kepada para pengganti mereka supaya mereka ini dalam terang Roh kebenaran dengan pewartaan mereka memelihara, menjelaskan dan menyearkannya dengan setia (DV.9).

Dengan Demikian, maka Gereja, yang dipercayakan untuk meneruskan dan menjelaskan Wahyu, menimba kepastiannya tentang segala sesuatu yang diwahyukan bukan hanya melalui Kitab Suci, tetapi juga Tradisi Suci. Maka, keduanya (Tradisi Suci dan Kitab Suci) harus diterima dan dihormati dengan caita rasa kesalehan dan hormat yang sama.

(19)

19 Catatan:

1. Tradisi yang kita bicarakan di sini, berasal dari para rasul, yang meneruskan apa yang mereka ambil dari ajaran dan contoh Yesus dan yang mereka dengar dari Roh Kudus. Generasi Kristen yang pertama ini belum mempunyai perjanjian Baru yang tertulis, dan perjanjian baru ini pun sebenarnya memeberi kesaksian tentang proses tradisi yang hidup itu.

2. Tradisi-tradisi teologis, disipliner, liturgis, atau religius yang dalam perjalanan waktu terjadi di gereja setempat, bersifat lain. (Jadi, tidak termasuk dalam tradisi yang kita bicarakan). Tradisi lokal ini merupakan ungkapan Tradisi Suci yang disesuaikan dengan tempat dan zaman yang berbeda-beda. Dalam terang Tradisi Suci (utama) dan di bawah bimbingan Wewenang Mengajar Gereja, tradisi lokal itu dapat dipertahankan, diubah, atau dihapus.

(20)
(21)

21 Bab IV.

Ajaran Sosial Gereja, Gerak Gereja dalam dunia

(tematik eksposure 2)

Gereja menyadari bahwa walaupun bukan dari dunia, Gereja diutus ke tengah-tengah dunia, berada dalam dunia, dan menjadi bagian dari situasi dunia. (“Pergilah ke seluruh dunia….. Mark 16: 15 atau “diutus di tengah-tengah serigala”, Matius 10:16-25). Dengan demikian, Gereja tidak bisa memisahkan diri dengan dunia. Kehadiran Gereja adalah untuk mewartakan kabar sukacita kepada dan dalam dunia. Untuk itu, Gereja bersuara dan menanggapi permasalahan dunia sebagai bagian dari perutusan-Nya di dalam dunia. Semua perhatian dan gerak Gereja tersebut diungkapkan dalam ensiklik social, Ajaran Sosial Gereja.

Rerum Novaarum (RN) merupakan ensiklik pertama Gereja. Dikeluarkan oleh Paus Leo XIII (setelah meninggalnya Paus Pius IX, 1878). Perhatian besar paus Leo XIII adalah masalah politik dunia, semisal: “Mengenai Sosialisme (1878), Konstitusi Kristen tentang Negara (1885). RN merupakan ensiklik yang berfokus pada masalah buruh.

Quadragesimo Anno (QA) merupakan ensiklik kedua yang dikeluarkan oleh Pius XI (1922-39) sebagai pengganti Pius XI dan Paus benedictus XV (dua paus yang menggantikan Paus Leo XIII). QA membahas masalah kapitalisme dan sosialisme. Masalah social berkembang, tidak sekedar masalah buruh, tetapi meluas ke struktur-struktur social yang menindas kaum buruh.

Mater et Magistra (Ibunda dan Guru, MM) adalah ensiklik yang dikeluarkan oleh Paus Yohanes XXIII. MM merupakan ensiklik

(22)

22

ke-4 dari 7 ensiklik yang dikeluarkannya. Karena merupakan peringatan 70 tahun terbitnya Ensiklik Paus Leo XIII (Rerum Novarum), MM mengulas kembali RN dan QA dan menganalisa

Negara Dunia Ketiga (Negara yang belum terindustrialisasi), serta

ajakan kaum awam untuk peduli menciptakan keadilan social. PACEM IN TERRIS (Perdamaian di Dunia, PT) merupakan ensiklik terakhir Paus Yohanes XXIII. Focus ensiklik PT adalah perdamaian. Kewajiban individu, Negara, pemerintah, dan masyarakat (dunia) menjadi bahan pembicaraan penting dalam kerangka perdamaian dunia.

GAUDIUM ET SPES (Gereja dalam Dunia Modern, GS) merupakan dokumen pastoral Konsili Vatikan II, tentang panggilan manusia dan Gereja, keprihatinan perkawinan dan keluarga, budaya, social-ekonomi, politik dan perdamaian. Secara jelas, Gereja menemukan kembali arah perahu: perutusan gereja umat Allah dalam dunia.

POPULARUM PROGRESSIO (Perkembangan Bangsa-bangsa, PP) merupakan ensiklik Paus Paulus VI pada tahun 1967. PP mengabdikan diri pada kemiskinan dunia dan pengembangan solidaritas umat manusia demi deadilan social. Dalam kerangka ini, Kepausan membentuk Komisi Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian.

OCTOGESIMA ADVENIENS (Panggilan untuk Bertindak, OA) adalah surat apostolic Paus Paulus VI kepada cardinal Maurice Roy, Persiden Kepausan untuk Keadilan dan Perdamiana, pada tahun 1971. OA merupakan sekaligus peringantan ulang tahun ke-80 Ensiklik Paus Leo XIII, Rerum Novarum. OA masih menyoroti masalah ketidakadilan. Tetapi, OA menekankan masalah-masalah baru: kaum wanita, generasi muda, orang miskin karena urbanisasi.

(23)

23

KEADILAN DI DUNIA (KD) merupakan hasil Sinode Umum Kedua Para Uskup Sedunia, 30 September sampai 6 November 1971. Tema sinode ini adalah masalah keadilan dengan tema “misi Umat Allah dalam memajukan keadilan di dunia”. Para uskup memahami pentingnya memperhatikan ketidak-adilan dan system structural ketidakadilan tersebut. Tetapi, lebih dari itu, Gereja hendaknya memberi kesaksian akan pentingnya perkembangan sebagai hak.

REDEMPTOR HOMINI (Rahasia penebusan dan Martabat

manusia, RH) adalah ensiklik pertama Paus Yohanes Paulus II

pada tahun 1979. Lewat ensikliknya, Paus berbicara tentang arti penebusan Yesus bagi manusia dan Gereja serta kondisi manusia yang sudah ditebus dalam dunia modern. Akhirnya, paus menegaskan perutusan Gereja dalam dunia ini.

LABOREM EXERCENS (Tentang makna Kerja Manusia, LX) merupakan ensiklik Paus Yohanes Paulus II, tahun 1982 sebagai peringatan ke-90 dari ensiklik Rerun Novarum. LX berbicara tentang makna kerja dalam dunia, konflik tenaga kerja (buruh) dan modal, hak-hak kaum pekerja dalam kaitannya dengan HAM, serta unsur spiritualitas kerja berdasarkan Injil.

Sollicitudo Rei Socialis (Keprihatinan Sosial Gereja, SRS) adalah ensiklik Paus Yohanes Paulus II tentang keprihatinan social. Paus menyoroti tentang merosotnya ekonomi, struktur-struktur dosa dimana semua manusia dipanggil untuk bertobat, serta kesetiakawanan demi kehidupan yang lebih manusiawi.

Laudato Si (tentang Perawatan Rumah Kita Bersama, LS) merupakan ensiklik Puas Fransiskus tentang masalah ekologi sebagai paradigma untuk melihat dan menilai masalah ekonomi, politik, dan perkembangan dunia.

(24)
(25)

25

BAGIAN II DASAR-DASAR EKSPOSURE

(26)
(27)

27 BAB IV.

MENGENAL METODE SOSIAL a. Lingkaran Dinamika Eksposure

Kita akan melihat bahwa eksposure agama Katolik menggunkaan dinamika lingkaran: observasi, analasisa, refleksi, dan rumusan-aksi. Berikut lingkaran dinamika eksposure:

Eksposure memulaikan aktivitasnya dengan memakai berawal dari pengalaman (yaitu: apa yang sedang terjadi atau dialami).

Langkah pertama, Observasi.

Refleksi dan penghayatan iman tidak berada di menara gading. Ia tidak stiril terhadap pahit getirnya kehidupan. Oleh karena itu, tindakan „turun gunung‟ harus dilakukan supaya iman menjadi bergulatan pengalaman yang nyata. Dalam kerangka inilah, eksposure diawali dengan observasi. Observasi di sini adalah tindakan “keluar”, mengalami dan merasakan pengalaman atau situasi tertentu. Dalam kerangka gerak „keluar‟ ini, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan dipersiapkan sebelumnya. 1. OBSERVASI 2. ANALISA 3. REFLEKSI 4. PERUMUSAN DAN AKSI

(28)

28

Untuk menangkap pengalaman, kita bisa menggunakan banyak metode penelitian. Salah satunya adalah observasi. Berikut beberapa keterangan tentang metode tersebut.

1. Metode Partisipative observation (Observasi Partisipatif).

Dalam eksposure, kita akan menggunakan metode sosial observasi partisipatif. Secara sederhana, observasi partisipatif adalah metode penelitian ilmiah dengan cara hadir dan merasakan konteks yang diteliti. Di dalamnya, terjadi wawancara informal (wawancara „ngobrol warung kopi‟), pengumpulan data statistic, dan pengamatan langsung oleh peneliti. Sebagai gambaran, observasi partisipatif dapat dilakukan dengan cara: Tinggal bersama, Wawancara, Kunjungan, Pengamatan langsung, Informasi Instansi.

Dalam metode ini, seluruh panca indra digunakan secara optimal (mata untuk mengamati, telinga untuk mendengar, rasa untuk merasakan panas atau penat, dsb). Setelah dirasa menemukan data-data (sesederhana atau sekecil apapun), peneliti harus mengingat dengan cara menulisnya dalam catatan-pribadi atau catatan harian. Selain catatan, peneliti bisa memanfaatkan alat modern (smartphone, misalnya) untuk menghasilkan data berupa: audio, visual, atau audio-visual. Dengan data-data tersebut, peneliti akan melakukan analisa.

2. Analisa Fakta dan Penilian

Dalam pengalaman observasi, peserta sering kali melihat pengalaman dengan cara umum atau sekilas pandang. Dalam eksposure kali ini, peserta hendaknya membedakan fakta dan penilaian, atau fakta dan asumsi. Hal ini penting untuk membedakan manakah kenyataan dan manakah penafsiran.

(29)

29

Untuk itu, observer (mahasiswa) hendaknya membedakan fakta dan asumsi.

3. Mental Block

Bicara tentang orang lain atau kelompok sosial tertentu, kita sudah mempunyai aneka pengetahuan, cara berpikir, atau paradigm tertentu tentangnya.

Contoh pertama adalah pandangan terhadap kemiskinan para pemulung. Dalam kepala kita, sudah terpatri bahwa pemulung mempunyai hidup sengsara, melarat, dan miskin. Mereka mempunyai penghasilan kecil dari sumber penghasilan yang kotor dan pekerjaan pemulung dihindari oleh anggota masyarakat.

Contoh kedua adalah pandangan kita tentang pengemis. Seorang pengemis terpaksa mengemis karena tidak mempunyai kesempatan kerja. Mengemis adalah sebuah keterpaksaan, bukan pilihan. Jika mereka bisa memilih, tentunya mereka tidak mau menjadi pengemis. Mereka miskin dan berkekurangan, rentan terhadap kekerasan, dan berpendapatan kecil.

Dua contoh di atas adalah pikiran dan pengetahuan kita. Dalam pengalaman observasi, bisa jadi, peserta menemukan bahwa seorang pengemis bisa mendapatkan 100 ribu sehari Artinya, kurang lebih 3 juta per bulan. Penghasilan ini sudah di atas UMR Bandung. Jika demikian, apakah mereka miskin?

Dalam 2-3 jam, seorang pemulung di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) mampu mendapatkan hasil 30-50 ribu. Atau, pemulung mempunyai spesialisasi objek yang diambil: pemulung khusus plastic, botol, atau bahkan pemulung limbah rumah sakit.

(30)

30

Dengan demikian, pengetahuan awal tentang objek observasi harus disadari. Praduga atau asumsi harus disimpan untuk mendapatkan pengalaman dan pengetahuan baru selama observasi. Hal ini menghindarkan peneliti (mahasiswa) untuk tidak menilai sesuatu tanpa data dan informasi yang cukup dan secara sembrono.

Langkah kedua, Analisa Sosial.

Langkah analisa sosial ini mengandalkan kemampuan yang merupakan andil dari ilmu-sosial. Eksposure (pelaku eksposure) mengkaji, menelaah, dan mengadakan analisa atas data-informasi yang diperoleh dari lapangan. Data-informasi disusun sedemikian rupa sehingga menjadi cerita atau bangunan informasi yang lengkap tentang objek yang diteliti.

Cerita atau bangunan informasi mengarahkan peneliti (mahasiswa) untuk mendalami topic yang menjadi focus penelitian. Artinya, informasi tidak berhenti pada informasi. Data dan informasi mendorong mahasiswa untuk memperluas pengetahuan tentang topic pembicaraan. Tujuannya adalah untuk menempatkan masalah social secara lebih luas dan jelas.

Kita akan melihat satu contoh, yaitu masalah pengemis. Dari observasi, kita menemukan segala data tentang profil, sejarah, motivasi, dan aktivitas harian sejumlah pengemis di suatu tempat (dalam suatu waktu). Dari data tersebut, kita bisa mengembangkan pengetahuan tentang: berapa pengemis di kota Bandung (konteks: Bandung) dan Indonesia, bagaimana persebaran pengemis di Indonesia.

Kita bisa bertanya: a) Secara umum, dari mana asal pengemis, bagaimana karakter pengemis? b) apa motivasi mereka mengemis? Dan, apakah mereka mempunyai niat untuk berhenti

(31)

31

dan alih kerja? c) bagaimana kebijakan pemerinta untuk para pengemis? Adakan peraturan pemerintah (daerah atau pusat) tentang pengemis? Apa yang sudah dilakukan pemerintah (daerah atau pusat) terhadap para pengemis (selain Satpol PP merasia pengemis)? d) Adakah „organisasi‟ yang mengatur atau melindungi pengemis? Adakah „sindikat‟ pengemis, terkhusus anak-anak dan perempuan? e) Bagaimana dengan kekerasan yang dialami pengemis? Jenis kekerasan apa yang diperoleh? Apakah ada perlindungan pemerintah terhadap para pengemis? f) Adakah organisasi social (LSM cs) yang bergerak dalam bidang ini? Organisasi social apa saja yang peduli dengan para pengemis? Apa visi mereka? Dan, apa yang mereka lakukan untuk para pengemis?

Deretan pertanyaan dan pendalaman di atas bisa diteruskan. Pertanyaan terakhirnya adalah “apa yang sebenarnya dialami oleh para

pengemis?”, “Apa yang menjadi masalah para pengemis?”, atau “Apa yang bisa kita rumuskan tentang pengemis sebagai masalah social?!”

Jawaban atas pertanyaan ini cukup ditulis dalam satu kalimat inti (Maksimal tulisan adalah 2 kalimat). Dari rumusan masalah social ini, mahasiswa membawanya sebagai inti pengalaman yang akan direfleksikan dalam konteks iman (Katolik).

Langkah ketiga, Refleksi Iman.

Tentunya, analisa sosial menghasilkan rumusan pengalaman atau hipotesa sosial. Hipotesa sosial tersebut tidak boleh berhenti pada tataran humanis semata. Sebaliknya, hipotesa sosial didalami dalam refleksi iman sehingga kenyataan hidup tidak sekedar pengalaman manusiawi semata-mata. Kenyataan hidup dihayati menjadi medan pergulatan iman (Kristiani).

(32)

32

Dalam kenyataan hidup, iman (Kristiani) ditantang untuk bersuara dan bertindak.

Secara konkret, kita akan melihat rumusan analisa sosia: “kemiskinan dan kemurahan hati”. Intinya, analisas social melihat pengemis (lih, langkah kedua) dalam kaitan antara “kemiskinan” dan “Kemurahan hati”. Kemiskinan, karena pengemis adalah pihak yang mayoritas miskin; kemurahan hati, karena kehidupan pengemis tergantung pada sisa orang lain.

Dalam refleksi iman, mahasiswa bisa merenungkan makna

kemiskinan dan kemurahan hati. Apa arti kemiskinan dalam

konteks iman (khususnya, kristiani)? Bagaimana Kitab Suci dan Gereja melihat kemiskinan dan kemurahan hati? Bagaimana Ajaran Sosial Gereja menilai kemiskinan dan kemurahan hati? Pada tahap akhir refleksi, mahasiswa merumuskan makna kemiskinan dan kemurahan hati dalam konteks penghayatan iman.

Dalam tahap ini, mahasiswa melihat masalah iman dalam kacamata iman (Katolik). Dengan cara ini, persoalan social tidak bisa dilepaskan dalam penghayatan iman. Masalah sosial dibenturkan dengan nilai-nilai iman yang dihayati dan diperjuangkan oleh kaum beriman, yaitu Injil Yesus Kristus, Magisterium (Ajaran resmi Gereja), serta Tradisi Suci. Dengan gerak dialog tersebut, mahasiswa bisa berusaha menjawab dan mewujud-nyatakan iman kita dalam dinamika hidup.

Demikianlah, refleksi iman membutuhkan kerja sama dengan ilmu-ilmu profan (ilmu sosial). Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana refleksi iman bekerja sama dengan ilmu profan?

Tentang pertanyaan di atas, ada beberapa hal yang harus didsadari bersama. (1) dalam berefleksi iman, kita membutuhkan

(33)

33

pemahaman komprehensif atas pengalaman hidup (kenyataan sosial) dan hal itu dibantu oleh ilmu sosial. Ilmu sosial diharapkan mampu membuat gambaran dan analisa se-objektif mungkin. (2) Situasi sosial-objektif haruslah didekati olehlintas disiplin ilmu. Situasi yang semakin komplek pun membutuhkan kerjasama-intensif dengan ilmu-ilmu sosial.

Dan, (3) refleksi iman membutuhkan standart pelayanan. Untuk melakukan refleksi iman, kita mengandalkan ilmu sosial supaya mendapat lukisan situasi seobjektif mungkin. (4) Bagi pelayanan sosial, dimensi refleksi iman menjadikan tindakan tersebut sebagai ungkapan iman. (5) Telaah atau analisa sosial menyajikan premis-premis nilai (entah disadari atau tidak). Premis nilai itu perlulah diungkapkan untuk bias didiskusikan sehingga kajian yang dihasilkan bisa dipertanggung-jawabkan dengan baik.

Langkah keempat, Perumusan Aksi.

Analisa sosial dan Refleksi iman bermuara pada perumusan aksi. Perumusan aksi di sini harus diperjelas supaya tidak terkesan gerakan sosial. Peserta eksposure diminta untuk membuat kesimpulan, merumuskan opsi atau pilihan penilaian atas situasi, analisa, dan refleksi imannya. Sangat dimungkinkan bahwa saat perumusan opsi, peserta eksposure membuat niat dan rencana aksi sebagai tindak lanjut dari penilaian dan pilihan yang dilakukan.

(34)
(35)

35 BAB VI.

PENJELASAN METODE EKSPOSURE 1. Sekilas Exposure dalam Pendidikan Agama

Exposure merupakan salah satu sarana atau metode

pendidikan, yang memadukan unsur perencanaan, keterlibatan, studi pustaka, dan refleksi mahasiswa dalam rangka pengembangan iman.

2. Tema Exposure

Tema Exposure semester ini adalah “Keterlibatan dalam hidup

sesama sebagaI wujud cinta kepada Allah”.

3. Tujuan

Melatih kepekaan, kepedulian, dan keberanian untuk terlibat dalam hidup sesama sebagai wujud imannya dalam hidup nyata. 4. Fokus Eksposure

Siapa yang dimaksud dengan „sesama‟? Dalam eksposure kali ini, „sesama‟ itu adalah mereka yang dipinggirkan, „tidak dianggap‟,

menderita, miskin, cacat, terlantar dan terabaikan, menjadi korban.

Secara rinci, „sesama‟ itu bisa meliputi: a) Anak jalanan b) Yatim piatu c) Pemulung d) Gelandangan e) Pengamen f) Pedagangan asongan g) Tukang becak h) Tukang semir i) Buruh galian j) Buruh pabrik k) Kurban penggusuran l) Kurban perkosaan m) Kurban kekerasan n) ...dsb

(36)

36

Pada saat memilih objek eksposure, kita harus memperhatikan beberapa hal berikut.

a) Masyarakat ekonomi lemah

Kita akan belajar pengalaman hidup dari masyarakat ekonomi lemah. Secara asumtif, mereka adalah pedagang asongan atau PKL, buruh pabrik, satpam, pengamen, tukang parker (lih daftar di atas)

b) Masyarakat termarginal

Kita membedakan klas ekonomi lemah dan klas masyarakat termaginal. Istilah marginal ini bukanlah kata baku; yang dimaksud dengan marginal di sini adalah kelompok masyarakat yang (bisa jadi tidak-miskin) tetapi nereka disingkirkan atau dihindari olwh masyarakat. Misalnya adalah PSK (pekerja sex komersial).

c) Berdasarkan lokalitas

Eksposure semester ini tidak berfokus, pertama-tama, pada pengalaman personal tetapi lebih ingin menggali pengalaman

komunitas. Sejak awal, mahasiswa hendaknya berfokus pada

masalah social (bukan masalah personal).

 Objek yang dipilih harus atau sebaiknya bersifat komunal. Artinya, persoalan yang digali nantinya bukan hanya masalah pribadi dan personal, tetapi menyangkut situasi sosial dan bahkan struktur sosial.

 Contoh 1, tukang parkir.... Observasi dan penelian tidak berhenti pada masalah pribadi seorang tukang parkir tetapi sekelompok kang parkir sebagai elemen masyarakat. Contoh 2, pembantu rumah tangga. Tidak hanya menyangkut satu orang pemban rumah tangga, tetapi sekelompok pembantu rumah tangga.

 Peneliti mengambil objek penelitian menyangkut satu sektor dan weilayah tertentu dari sektor tersebut. Contoh 1,

(37)

37

sekelompok pkl di jalan X dimana fakta atau data diambil dalam rentang waktu juni tahun 2016.

 Intinya: tidak personal tetapi komunitas 5. Mekanisme Exposure

a) Mahasiswa membuat kelompok sekitar 4-6 orang per kelompok. Kelompok menentukan tema (pemulung, anak jalan, dll).

b) Kelompok melakukan kegiatan eksposure. Secara periodik, kelompok berkumpul dan men-sharing-kan pengalaman keterlibatan di antara anggotanya.

c) Kelompok mengikuti alur kerja sesuai dengan buku petunjuk. Beberapa hal praktis, bisa dibicarakan dalam pertemuan dengan pendamping atau dosen.

d) Kelompok membuat laporan akhir kelompok berupa

makalah atau paper dan mempresentasikan hasil di depan

pendamping atau dosen dan mahasiswa lainnya.

e) Hasil kelompok dikirim dalam bentuk hard-copy dan soft-copy. f) Masing-masing mahasiswa membuat laporan refleksi pribadi

dan evaluasi pribadi sesuai petunjuk.

Teknis: semua laporan dikumpulkan ke koordintar kelas (pilih sendiri di antara kelomok di kelas).

g) Secara kelompok, laporan dipresentasikan sebagai nilai UAS (lih. Kriteria Penilaian).

6. Proses Teknis Eksposure a) Tentang Identitas objek penelitan

1. Siapa objek observasi Anda? Nama? Tempat? Lahir? Riwayat hidup? Pekerjaan? Aktivitas non kerja? Minat? Keluarga? Jenis kelamin? Usia? Jenjang pendidikan?

(38)

38

2. Siapa saja yag berperan dalam hidupnya? b) Tentang Masalah objek penelitian

1. Rumuskan masalah apa yg anda lihat dalam objek observasimu?

2. Jelaskan alasannya! c) Tentang Metode Penelitian

1. Observasi-partisipatif.

Mahasiswa mengamati dan mengalami bersama objek observasinya.

2. Data bisa diperoleh dengan berbagai cara:  Anget untuk pemetaan situasi.

 Wawancara mendalam terhadap objek kunci.  Peta atau mapping masalah

d) Tentang Latar belakang masalah objek penelitian 1. Kenapa masalah itu bisa mubcul, sisi histotis?

2. Siapa pemicunya? siapa yg mengawali? Faktor yang mempengaruhinya?

e) Tentang Masalah dan dampak sosialnya

1. Apakah masalah dari objek tersebut mempunyai dampak atau berkaitan dengan masalah sosial?

2. Dimana titik penghubung antara masalah objek observasi dan masalah sosisal?

3. Jika tidak ada dampak atau kaitan sosial, objek dan masalahnya harus diganti karena hanya melingkupi masalah pribadi!!!!

f) Tentang Titik keprihatinan peneliti terhadap masalah sosial di

atas.

1. Sebagai peneliti, Anda bukanlah pihak netral. Apa keprihatinan awal atau dasarmu sebagai peneliti?

2. Mengapa Anda menaruh perhatian terhadap masalah tersebut?

(39)

39

3. Apa kaitannya keprihatinan Anda dengan masaalah sosial yabg sedang kita hadapi?

g) Tentang Masalah sosial dan iman katolik

1. Mengapa masalah sosial tersebut muncul?

2. Bagaimana iman katolik bisa menerangi atau memperjelas masalah sosial tersebut?

h) Tentang Keprihatinan kaum beriman terhadap masalah sosial. 1. Jika Anda menggunakan kacamata orang Katolik atau

Orang yang tahu ajaran katolik, bagaimana masalah sosial itu akan dilihat?

2. Bagaimana KS menjelaskan masalah sosial itu? 3. Bagaimana Tradisi ASG, menjelaskannya?

4. Bagaimana suara hatimu menjelaskan masalah tersebut? i) Tentang Opsi sosial sebagai wujud penghayatan iman katolik.

1. Sebutkan pilihat tindakan berdasarkan masalah tersebut? 2. Jelaskan alasan yg bisa mempertanggungjawabkan

pilihan tersebut?

3. Apa yg akan diperjuangkan dari pilkihan tindakan terasebut?

7. Jadwal Exposure Semester GENAP 2015/2016

Berikut jadwal kegiatan eksposure sampai dengan ujian akhir semester.

No TP Tgl Keterangan

1. I 28/Maret s.d 1 April

Pembagian kelompok, pemilihan tema, pembagian buku pegangan

(ebook)

2. I 4-8 April Laporan tema (objek), konsultasi kelompok

(40)

40

4. III 18-22 April Materi 2, konsultasi kelompok 5. IV 25-29 April Materi 3, konsultasi kelompok 6. V 02-06 Mei Presentasi 1, 2, 3

7. VI 09-13 Mei Presentasi 1, 2, 3 16-22 Pekan I UAS 8. Kriteria Penilaian

Penilaian akan dilihat dari: a) laporan pribadi (nilai dosen), b) laporan kelompok (nilai dosen), c) keaktifan (nilai dari anggota kel), d) keterlibatan diri (nilai diri sendiri), d) presentasi (nilai dosen).

Mahasiswa akan mendapat penilaian dari a) Mahasiswa itu sendiri, b) anggota satu kelompok, c) dosen pendamping.

Nilai yang akan diperoleh masing-masing mahasiswa adalah: a) nilai laporan pribadi, b) nilai laporan kelompok, c) nilai anggota kel, d) nilai pribadi, dan e) nilai presentasi. Nilai tersebut akan diproses dan menghasilkan nilai UAS. Perhitungan nilai UAS: (A+B+C+D+E)/5.ii

9. Hal-hal penting selama eksposure

a) Ada tiga tahap besar selama eksposure: Perkenalan, Keterlibatan, Study, Laporan. Silahkan mengikuti tahapan ini dengan menyesuaikan keadaan dan situasi.

b) Saat eksposure, sebaiknya anda sopan dalam berbicara dan pakaian. Silahkan memperkenalkan diri terlebih dahulu. Jangan sampai orang tersinggung perasaan atau menjaga jarak dengan anda. Buatlah orang lain mau terbuka dengan Anda sebagai bagian dari sahabat mereka.

(41)

41

c) Silahkan amati keadaan dengan seksama: rumah, tetangga, lingkungan sekitar, gang, jalan becek, panas, jalan bising, mimik, cara bicara orang, dll. Catatlah semua itu sebagai bagian dari laporan.

d) Pasang mata dan telinga untuk menangkap, tetapi buka hati untuk merasakan jerih payah, kesusahan, perjuangan. Catatlah semua perasaan pribadi sebagai bagian dari pengalaman.

e) Posisikan diri Anda sebagai sahabat atau bagian keluarga mereka. Ngobrol dengan santai. Nongkronglah bersama mereka di trotoar atau kios. Ngobrolah dengan santai jangan menjadi orang asing yang menginterogasi.

f) Hindari ngobrol sambil mencatat atau merekam. Sebaiknya, Anda merekam percakapan secara tersembunyi (merekam dengan HP, misalnya). Salinlah percakapan Anda di rumah dalam tulisan (verbatim). Salinan percakapan akan menjadi data bagi laporan. Menyalin atau membuat laporan, sebaiknya, dilakukan setelah selesai eksposure (sesegera mungkin dan jangan ditunda).

g) Jangan mengganggu jam kerja atau pekerjaan mereka. Anda harus bisa mencari waktu yang tepat untuk bicara atau melakukan pendekatan.

h) JANGAN PERNAH MENGUMBAR JANJI. Anda sebaiknya tidak menejanjikan ini atau memberikan itu. Kalau Anda tergerak untuk membantu, simpan keinginan Anda dan datanglah di lain waktu untuk mewujudkan keinginan dan gerakan hati itu tanpa menjanjikan hal itu

sebelumnya.

i) Sebaiknya, Anda membuat dokumentasi foto. Tetapi, HARUS DIINGAT: mengambilan dokumen harus alami.

(42)

42

Carilah alasan yang baik untuk berphoto. Misalnya: berfoto buat kenang-kenangan. Mengambil foto tetapi tidak tepat waktu, akan membuat benteng dalam diri mereka.

j) Jangan lupa berpamitan dan berterima kasih. 10. Tahap-Tahap Eksposure

a) Tahap Persiapan

Mahasiswa membuat kelompok, mencari subjek eksposure, dan membuat rencana kegiatan, baik pribadi atau kelompok.

b) Tahap I: Pengenalan & Identifikasi

Tahap pengenalan ini adalah tahap paling awal dan penentu dari seluruh proses keterlibatan. Jika mahasiswa berhasil di tahap ini, maka proses selanjutnya akan lebih mudah. Dalam tahap ini, mahasiswa harus berfokus pada pengumpulan data-data dan informasi:

1. identitas orang-nya: nama, usia, tanggal lahir, alamat rumah, nama anggota keluarga, dll;

2. sejarah: mengapa keadaannya seperti ini, asli penduduk Bandung atau pendatang, kapan tinggal bandung, bagaimana sejarah pekerjaannya, mengapa memilih pekerjaan tersebut;

3. Lingkungan sekitar: keadaan rumah, kontrakan atau hak milik, denah rumah, peta daerah sekitar rumah, kategori rumah: (rumah kardus, rumah permanen, rumah kayu), kategori sosial rumah: rumah kumuh, rumah elit, kampung/desa, dll.

4. Persoalan: apa yang dihadapi oleh dan menurut subjek.

Untuk tahu hal ini, mahasiswa tidak bisa langsung menanyakannya kepada subjek. Persoalan subjek

(43)

43

merupakan hasil analisa mahasiswa dari hasil wawancara, survei, dan pengamatan. Sebaiknya, analisa ini dikonfrontasikan dengan situasi subjek. Jangan sampai: “Menurut mahasiswa, suatu keadaan adalah persoalan, tetapi menurut subjek keadaan itu bukanlah persoalan.” Oleh karena itu, butuh second opinion dari anggota kelompok dalam diskusi kelompok.

5. Mahasiswa bisa melibatkan diri dalam kehidupan subjek: melakukan apa yang dilakukan subjek. Mahasiswa diharapkan secara total merasakan hidup subjek.

Tinggalkan keagungan diri dan kemewahan yang Anda alami saat ini. Walaupun Anda tidak akan 100% mengalami

kehidupan mereka, Anda tetap bisa mencicipi kehidupan mereka. Berikan waktu dan diri Anda dalam hidup mereka (bukan uang dan materi).

6. Tahap ini, mahasiswa mengalami menjadi sahabat bagi „sesama‟. Mahasiswa berfokus pada pengalaman: bagaimana perasaan Anda dan pikiran Anda dipengaruhi oleh kehidupan orang lain ini.

c) Tahap II: Analisa Sosial & Studi Pustaka

Mahasiswa sudah mempunyai banyak data-informasi yang bisa membantu mahasiswa untuk memahami pengalaman hidup dari objek observasi. Pengalaman dan data objek observasi diletakkan dalam lingkup yang lebih luas dan masalahnya dipahami dengan lebih mendalam. Mahasiswa mencari bahan referensi yang bisa memperkaya bahan sebelumnya. Dari semua bahan, mahasiswa membangun sebuah kerangka pemikiran konseptual dan paradigma sesuai dengan tema pilihan.

(44)

44

Tahap analisa social dan studi pustaka ini berakhir dalam pertanyaan: apa masalah sosialnya?

d) Tahap III: Refleksi Iman

Dalam tahap ke-3, refleksi iman dilakukan. Refleksi iman ini menggunakan sudut pandang Katolik. Mahasiswa memandang masalah social dengan cara pandang iman, baik itu Kitab Suci, Ajaran Sosial Gereja, Magisterium (Ajaran Gereja).

e) Tahap IV: Action Plan dan Pelaporan Eksposure.

Di sebelumnya, mahasiswa sudah melakukan analisa social dengan hasil “rumusan masalah social” dan refleksi iman dengan hasil “rumusan pergulatan iman”. Pada tahap akhir ini, mahasiswa dituntut untuk membuat rencana aksi sebagai konsekuensi atau tindak-lanjut dari “rumusan pergulatan iman”.

Mahasiswa juga membuat laporan akhir sebagai bahan penilaian UAS. Mahasiswa membuat laporan sebagai dokumentasi seluruh proses eksposure.

CATT:

Seluruh tahapan ini bisa dilakukan secara fleksibel. Artinya, mahasiswa bisa melakukan pengenalan-identifikasi bersamaan dengan keterlibatan. Tetapi, fokus utamanya adalah pengenalan dan identifikasi.

(45)

45 LAPORAN PROSES EXPOSURE “…(tema)…” Nama : NPM : Kelas : Kelompok :

LEMBAGA PENGEMBANGAN HUMANIORA UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

BANDUNG, 20… 11. Format Laporan Akhir.

Semua mahasiswa peserta eksposure harus melewati semua pelaporan berikut. Format ini tidak baku dan bisa dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan.

(46)

46

Beberapa hal penting dalam Laporan 1. Bentuk Laporan:

a) Ukuran kertas A4

b) Huruf: Cambria, huruf 12, spasi 1,5 c) Margn kanan-kiri-atas-bawah: 3 cm 2. Susunan Laporan:

1. COVER (sudah jelas)

2. PENGANTAR (sudah jelas) 3. DAFTAR ISI (Sudah jelas) 4. BAB I. Pendahuluan

a) Latar belakang, alasan memilih subjek, hasil yang diharapkan. b) Rumusan masalah penelitian

Sekitar 1 halaman saja, jelaskanlah masalah yang ingin Anda jelaskan. Kemukakanlah juga asumsi atau pikiran-pikiran awal yang sudah ada di dalam pikiran-pikiran Anda!

c) Metode Penelitian

Jelaskan bagaimana Anda akan melakukan eksposure secara rinci! Bagaimana prosesnya? Metode atau langkahnya? Jika ada angket atau sejenisnya, jelaskan! Kendalanya? Faktor Pendukungnya? Tantangannya?

5. Bab III. Profil Objek Penelitian

Judul di atas sebaiknya ditambah dengan rumusan tematik (hal khas, khusus, istimewa, atau yang menyentuh) dari objek observasi kelompok. Tulislah

6. BAB III. Analisa Sosial dan Refleksi Iman a) Analisa Sosial

Buatlah analisa social atas hasil observasi-partisipatif yang sudah dilakukan! Tampakkan dan munculkanlah masalah social yang melatar-belakangi objek eksposure!

(47)

47 b) Refleksi Iman

Jika Tuhan ada dalam konteks di atas, menurut Anda, apa yang akan dilakukan-Nya? Mengapa?

(Catt: Argumentasimu menentukan nilaimu.) 7. BAB IV. Rencana Aksi dan Rekomendasi

a) Rencana Aksi

Bagian ini merupakan bagian akhir.

Rumuskan kembali secara singkat: refleksi iman dan analisa social. Setelah mengungkapkan analisa social dan refleksi iman, rumuskanlah semua aksi yang bisa dilakukan atas dasar analisa dan refleksi tersebut! Dari semua kemungkinan aksi tersebut, pilihlah 2-3 aksi yang memenuhi kriteria berikut: realistic, terukur jelas, bisa dilakukan!

b) Rekomendasi

Buatlah rekomendasi atas hasil eksposure kelompok. Rekomendasi ini bukanlah evaluasi atau kritik-saran eksposure, tetapi rekomendasi atas tema yang kelompok olah selama eksposure.

8. DAFTAR PUSTAKA 9. DAFTAR LAMPIRAN

a) Refleksi pribadi atas proses eksposure per pribadi, maksimal 1 halaman, A4, 1 spasi, garamond. Meliputi emosi atau rasa, kognitif, skill.

b) Evaluasi pelaksanaan eksposure kelompok, rangkuman masing masing anggota kelompok. Meliputi buku

panduan, hp ndmpingan, objek, laporan, mekanisme laporan, refleksi, evaluasi dll.

c) Daftar pertanyaan angket. d) Hasil atau data mentah angket e) Hasil pengolahan angket

(48)

48

wawancara dibuat dalam notulensi verbatim dari hasil rekaman. (Audio disertakan dalam file)

g) Dokumentasi foto

Beberapa foto penting bisa disertakan dalam laporan

hard-copy. Foto pendukung lain bisa disatukan dengan

laporan soft-copy.

h) Identitas peserta Eksposure: profil mahasiswa anggota kelompok beserta foto pribadi.

12. Penegasan Aturan

a) Pelanggaran dan Konsekuensi:

 No copy paste internet! Kutipan harus disertai dengan catatan kaki. Jika dilanggar, kegiatan dan hasil eksposure

atas nama kelompok akan dibatalkan. Konsekuensinya: nilai UAS adalah 1.

 Seluruh anggota hadir dalam presentasi.

Ketidakhadiran anggota berarti absen UAS. Jika

dilanggar, mahasiswa akan dianggap tidak-hadir. Konsekuensnya: nilai UAS tidak ada (bukan 1).

b) Komponen nilai UAS adalah 1 nilai presentasi (dosen), 1 nilai partisipasi atau keaktivan dalam group (anggota kelompok), 1 nilai penampilan (kelompok lain saat presentasi), dan 1 nilai paper.

c) Unsur paper yang dinilai adalah kelengkapan data, struktur penulisan, kelengkapan informasi, rumusan-rumusan inti (analisa social, refleksi iman, aksi).

(49)

49 BAB V

METODE OBSERVASIiii

(BEBERAPA CATATAN TAMBAHAN) 1. Pengantar

Dalam ulasan berikut ini, eksposure akan disejajarkan dengan kegiatan penelitian sosial dan pelaku eksposure dianggap sebagai peneliti. Dalam kontes ini, beberapa hal yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut:

1. Peranan Peneliti dalam membentuk pengetahuan. Dalam proses

pembentukan pengetahuan, peneliti merupakan figur utama yang mempengaruhi dan membentuk pengetahuan. Peran ini dilakukan melalui proses pengumpulan, pemilihan dan interpretasi data. Jadi, sangatlah tidak mungkin untuk melakukan penelitian, jika penelitian tidak terjun langsung pada obyek yang diteliti.

Konsekuensinya, peneliti harus terlibat secara langsung dalam setiap tahap kegiatan penelitian dan harus berada langsung dalam setting penelitian yang dipilih.

2. Arti penting hubungan peneliti dengan pihak lain. Penelitian

kualitatif merupakan proses yang melibatkan peserta (yang diteliti), peneliti dan pembaca serta relationship yang mereka bangun. Jadi, peneliti dipengaruhi oleh lingkungan sosial, historis dan kultural dimana riset dilakukan.

Konsekuensinya, ketika melakukan penelitian, peneliti harus mampu membangun hubungan yang baik dengan obyek penelitian dan mampu menyajikan hasil penelitian sehingga pembaca dapat mengikuti dengan jelas alur pemikiran peneliti dalam membangun suatu pengetahuan.

(50)

50

3. Penelitian bersifat inductive, exploratory dan HypothesisGeneratin. Penelitian kualitatif selalu didasarkan pada fenomena

yang menarik dan dimulai dengan pertanyaan terbuka (open

question); bukan dimulai dengan hipotesis yang akan diuji

kebenarannya. Jadi, penelitian bertujuan menginvestigasi dan memahami social world bukannya memprediksi perilaku. Penelitian dilakukan secara induktif dan exploratif dengan melihat apa yang terjadi, mengapa terjadi, dan bagaimana terjadinya sehingga diharapkan dapat menghasilkan hipotesis baru.

4. Peranan Makna (Meaning) dan Interpretasi. Penelitian

kualitatif difokuskan pada bagaimana individu memahami dunianya dan bagaimana mereka mengalami peristiwa tertentu. Jadi, penelitian ini berusaha menginterpretasikan fenomena dari kacamata pelaku berdasarkan pada interpretasi mereka terhadap fenomena tersebut.

5. Temuan sangat kompleks, rinci, dan komprehensif. Penelitian

kualitatif didasarkan pada deskripsi yang jelas dan detail, karena mejawab pertanyaan apa, mengapa dan bagaimana. Oleh karena itu, penyajian atas temuan sangatlah kompleks, rinci dan komprehensif sesuai dangan fenomena yang terjadi pada setting penelitian.

2. Pengertian Observasi

Observasi adalah metode pengumpulan data melalui pengamatan langsung terhadap suatu subjek (lokasi, situasi,

masyarakat, kelompok, dll), dalam suatu periode tertentu (catt: waktu harus ditentukan dengan jelas supaya ada batasan waktunya) dan mengadakan pencatatan secara sistematis tentang hal-hal tertentu yang diamati.

(51)

51

Catt: Seberapa banyak (seberapa sering) observasi yang perlu dilakukan dan seberapa panjangnya waktu pada setiap periode observasi sangat tergantung kepada tujuan penelitian dan jenis data yang dikumpulkan.

Supaya efektif, observer (peneliti dengan metode observasi) sebaiknya melakukan setting plan atas proses observasinya. Harus ditentukan dulu: tujuan observasi, objek/subjek observasi, berapa lama dan tempatnya dimana saja, langkah-langkah (rencana tindakan) yang harus dilakukan, pihak-pihak yang bisa ditemui dan membantu (perantara), pihak-pihak kunci dalam penelitian (ketua suku, ketua RW/RT, sesepuh setempat, dll), sarana-sarana yang ada dan bisa dimanfaatkan (contoh: peristiwa posyandu, poskamling, rapat dusun, doa/ritual).

Dalam waktu pra-observasi, peneliti sebaiknya mengumpulkan segala informasi yang diperlukan untuk mengenal objek penelitian sebagai pengetahuan awal. Hal ini penting sehubungan dengan dimungkinkannya adanya „larangan‟, „hal tabu‟, atau hal-hal yang tidak boleh dilakukan selama observasi, di daerah atau kelompok tersebut.

Sebelum observasi itu dilaksnanakan, pengobservasi (observer) hendaknya telah menetapkan terlebih dahulu aspek-aspek apayang akan diobservasi dari tingkah laku seseorang. Aspek-aspek tersebut hendaknya telah dirumuskan secara operasional, sehingga tingkah laku yang akan dicatat nanti dalam observasi hanyalah apa-apa yang telah dirumuskan tersebut.

3. Jenis-jenis Observasi

Klasifikasi tentang jenis-jenis observasi dapat dilihat dari beberapa sudut pandangan antara lain:

(52)

52

Observasi terhadap situasi bebas (free situation). Jenis

observasi ini dilakukan terhadap situasi yang terjadi secara wajar. Peneliti tidak melakukan campur tangan. Misalnya adalah observasi yang dilakukan terhadap perilaku tawar menawar pedagang dan pembeli di pasar Bringharjo.

 Observasi terhadap situasi yang dimanipulasikan

(manipulated situation). Jenis observasi manipulated situation ini mengharuskan observer melakukan intervensi terhadap situasi yang ingin diobservasi. Situasitelah dirancang oleh pengobservasi dengan cara memodifikasi beberapa elemen situasi. Misalnya adalah observasi terhadap gaya kepemimpinan yang efektif bagi anak SD.

 Observasi terhadap situasi yang setengah terkontrol

(partially controlled). Jenis observasi ini adalah kombinasi dari kedua jenis observasi situasi bebas dan situasi yang dimanipulasikan. Contohnya adalah observasi terhadap sikap pembeli bensin di POM X.

b. Berdasarkan keterlibatan observer.

Observasi partisipasi, yaitu apabila pengobservasi ikut terlibat

dalam kegiatan subyek yang sedang diobservasi. Misalnya adalah seorang peneliti yang meneliti efek gempa kepada kehidupan warga masyarakat di desa Bulak di Kecamatan Gantiwarno, Kab. Klaten.

Observasi non partisipasi, yaitu apabila observer tidak ikut

terlibat dalam kegiatan yang diobservasi. Misalnya adalah observasi terhadap kebiasaan mandi (kebersihan diri) warga masyarakat di daerah Dagan, kab. Indramayu.

(53)

53

Observasi quasi partisipasi, yaitu apabila dalam jenis ini

sebagian waktu dalam satu periode observasi, observer ikut melibatkan diri dalam kegiatan yang diobservasi, dan sebagian waktu lainnya ia terlepas dari kegiatan tersebut. Misalnya adalah penelitian tentang efek bimbingan terhadap prestasi siswa. Di sini, dalam waktu linier (bersambung), peneliti terlibat langsung dalam proses belajar anak sebagai pembimbing. Di waktu lain, peneliti tidak terlibat dalam proses belajar.

c. Berdasarkan pencatatan hasil-hasil observasi

Observasi berstruktur.

Observasi berstruktur adalah observasi dimana aspek-aspek tingkah laku yang akan diobservasi sudah disusun secara sistematik dalam daftar.

Bentuk catatan sistematis ada 2 jenis, yaitu: 1) chek

list(suatu daftar yang memuat sejumlah tingkah laku yang

akan diobservasi). 2) rating scale(skala bertingkat yang berisi tingkatan-tingkatan gejalayang akan diobservasi.

Kelemahan dari observasi berstruktur ini adalah bahwa pengobservasi sangat terikat dengan daftar yang telah tersusun sehingga ia tidak mungkin mengembangkan observasinya dengan aspek-aspek lain yang kebetulan terjadi selama observasi berlangsung.

Untuk mengatasi kelemahan ini, dapat ditempuh dengan cara kombinasi, yaitu menggunakan suatu daftar yang terperinci tentang tingkah laku yang diobservasi, yang dilengkapi dengan blanko untuk mencatat tingkah laku tertentu yang muncul, yang belum terekam dalam daftar.

(54)

54

Dalam melaksanakan observasi ini, observer tidak menentukan daftar aspek-aspek yang akan diobservasi. Dalam observasi, peneliti mencatat semua tingkah laku yang dianggap penting dalam suatu periode observasi.

Hasil-hasil observasi ini dicatat dalam bentuk catatan yang bersifat anekdot (anecdotal record), yaitu suatu catatan (record) tentang tingkah laku siswa dalam suatu situasi tertentu. Catatan yang bersifat anekdot tersebut harus ditulis apa adanya, tanpa interpretasi. Setelah selesai, peneliti melakukan tindakan post-observation, yaitu: rangkuman, pemetaan hasil, evaluasi-refleksi atas proses yang berlangsung. Sangat ditekankan pula post-observation dilakukan segera setelah satu hari melakukan observasi, atau segera saat waktu kosong dimungkinkan.

Ada beberapa kelemahan dalam penggunaan observasi dan anecdotal record, yaitu sebagai berikut:

a. Karena tidak terstruktur, peneliti bisa tidak fokus terhadap aspek-aspek penelitiannya. Kemungkinan lain, peneliti terlalu fokus (=asyik) sehingga terlena dan melewati aspek penting lainnya.

b. Karena tidak terstruktur, peneliti harus mengandalkan catatan atau dokumentasi, serta proses rekapitulasi data yang diperoleh di lapangan.

c. Metode observasi tak berstruktur ini kiranya membutuhkan keahlian atau pengalaman penelitian karena membutuhkan kepekaan dalam menentukan aspek penting yang perlu diamati dan diperhatikan.

4. Keuntungan dan Keterbatasan Observasi a. Kelebihan observasi

(55)

55

1. Pengamat langsung melihat atau mencatat objek (perilaku pertumbuhan, dan sebagainya) saat kejadian atau perilaku tersebut masih berlaku. Keuntungannya adalah bahwa pengamat tidak menggantungkan data-data dari ingatan seseorang.

2. Pengamat dapat memperoleh data dan subjek melalui pengamatan-langsung. Hal ini menguntungkan karena sering kali subjek tidak mau berkomunikasi secara verbal dengan peneliti karena berbagai alasan (takut, tidak punya waktu, atau enggan). Maka, kendala ini dapat diatasi dengan adanya pengamatan (observasi) langsung. b. Kelemahan Observasi

Kelemahan dari observasi, antara lain:

1. Waktu Lama. Penelitian membutuhkan waktu yang relatif lama. Lamanya waktu ini terjadi karena proses mengalami situasi objek dan proses pengamatan membutuhkan waktu yang relative panjang. Observasi tidak bisa dilakukan sehari dua hari dan kemudian dinyatakan cukup. Kemungkinan lainnya adalah kita harus menunggu moment yang akan diteliti dan observasi bisa dilakukan. Misalnya adalah penguburan suku Toraja dalam peristiwa ritual kematian, maka seorang peneliti harus menunggu adanya upacara adat tersebut.

2. Pengamat biasanya tidak dapat melakukan pengamatan terhadap suatu fenomena yang berlangsung lama. Contohnya, kita ingin mengamati fenomena perubahan suatu masyarakat tradisional menjadimasyarakat modern akan sulit atau tidak mungkin dilakukan.

(56)

56

3. Adanya kegiatan-kegiatan yang tidak mungkin diamati. Misalnya adalah kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya pribadi, seperti kita ingin mengetahui perilaku anak saat orang tua sedang bertengkar. Kitatidak mungkin melakukan pengamatan langsung terhadap konflik keluarga tersebut karena kurang jelas.

d. Catatan Praktis

Beberapa hal penting diringkas dalam paparan berikut: a. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam melakukan observasi, yaitu checklist, rating scale, anecdotal record, catatan berkala, dan

mechanical device.

1. Check list, merupakan suatu daftar yang berisikan nama-nama responden dan faktor- faktor yang akan diamati. 2. Rating scale, merupakan instrumen untuk mencatat gejala

menurut tingkatan- tingkatannya.

3. Anecdotal record, merupakan catatan yang dibuat oleh peneliti mengenai kelakuan-kelakuan luar biasa yang ditampilkan oleh responden.

4. Mechanical device, merupakan alat mekanik yang digunakan untuk memotret peristiwa- peristiwa tertentu yang ditampilkan oleh responden.

b. Objek Pengamatan

Hal-hal yang biasanya menjadi pengamatan seorang peneliti yang menggunakan metode pengamatan adalah sebagai berikut.

(57)

57

1. Pelaku atau partisipan, menyangkut siapa saja yang terlibat dalam kegiatan yang diamati, apa status mereka, bagaimana hubungan mereka dengan kegiatan tersebut, bagaimana kedudukan mereka dalam masyarakat atau budaya tempat kegiatan tersebut, kegiatan menyangkut apa yang dilakukan oleh partisipan, apa yang mendorong mereka melakukannya, bagaimana bentuk kegiatan tersebut, serta akibat dari kegiatan tersebut.

2. Tujuan, menyangkut apa yang diharapkan partisipan dari kegiatan atau peristiwa yang diamati.

3. Perasaan, menyangkut ungkapan-ungkapan emosi partisipan, baik itu dalam bentuk tindakan, ucapan, ekspresi muka, atau gerak tubuh.

4. Ruang atau tempat, menyangkut lokasi dari peristiwa yang diamati serta pandangan para partisipan tentang waktu. 5. Waktu, menyangkut jangka waktu kegiatan atau peristiwa

yang diamati serta pandangan para partisipan tentang waktu.

6. Benda atau alat, menyangkut jenis, bentuk, bahan, dan kegunaan benda atau alat yang dipakai pada saat kegiatan berlangsung.

7. Peristiwa, menyangkut kejadian-kejadian lain yang terjadi bersamaan atau seiring dengan kegiatan yang diamati c. Persiapan Observasi

Langkah-langkah dalam melakukan observasi adalah sebagai berikut.

1. Harus diketahui di mana observasi itu dapat dilakukan. 2. Harus ditentukan dengan pasti siapa saja yang akan

(58)

58

3. Harus diketahui dengan jelas data-data apa saja yang diperlukan.

4. Harus diketahui bagaimana cara mengumpulkan data agar berjalan mudah dan lancar.

5. Harus diketahui tentang cara mencatat hasil observasi, seperti telah menyediakan buku catatan, kamera, tape recorder, dan alat-alat tulis lainnya.

d. Persiapan Observasi

Untuk memperoleh hasil yang baik, seseorang yang hendak melakukan pengamatan sebaiknya memperhatikan prinsippengamatan sebagai berikut.

1. Pengamatan sebagai suatu cara pengumpulan data harus terfokus pada objek yang diteliti dan dilakukan secara cermat, jujur, dan objektif.

2. Dalam menentukan objek yang hendak diamati, seorang pengamat harus mengingat bahwa makin banyak objek yang diamati, makin sulit pengamatan dilakukan dan makin tidak teliti hasilnya.

3. Sebelum pengamatan dilaksanakan, pengamat sebaiknya menentukan cara dan prosedur pengamatan.

4. Agar pengamatan lancar, pengamat perlu memahami apa yang hendak dicatat serta bagaimana membuat catatan atas hasil pengamatan yang terkumpul.

5. Pencatatan harus dilakukan secepat atau sesegera hasil bisa dicatat.

Referensi

Dokumen terkait