• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. jarang secara politis kebijakan berbasis bukti diubah menjadi bukti

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. jarang secara politis kebijakan berbasis bukti diubah menjadi bukti"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kebijakan yang berbasis bukti merupakan kebijakan yang disusun berdasarkan bukti dari hasil penelitian yang sahih. Sehingga dampak kebijakan tersebut dapat benar-benar bermanfaat bagi masyarakat. Dengan berbasis bukti kebijakan tersebut sudah teruji dampaknya, sehingga efektifitasnya. tinggi. Tidak jarang secara politis kebijakan berbasis bukti diubah menjadi bukti didasarkan/berbasis kepada kebijakan (policy based evidence) (Sutarjo, 2006).

Para dokter dituntut untuk memberikan pelayanan klinis berdasarkan bukti (evidence), yakni mengambil keputusan dalam pelayanan terhadap pasien atas dasar bukti yang terbaik, melalui pertimbangan masak, eksplisit dan cermat. Dalam jaminan kesehatan dengan sistem managed care, bukti bahwa cara diagnosis maupun pengobatan lebih memberikan manfaat dibandingkan mudarat menentukan apakah tindakan medis tersebut ditanggung atau tidak oleh pihak asuransi. Bukti klinis yang baik diperoleh dari penelitian klinis yang ketat, dilandasi kaidah-kaidah penelitian ilmiah. Rentang kekuatan bukti ilmiah tersebut berkisar dari pendapat ahli (expert judgment) sebagai bukti yang dianggap paling lemah, sampai hasil uji klinik dengan randomisasi (randomized controlled trial) sebagai bukti paling kuat, khususnya setelah dilakukan kajian sistematik atas beberapa uji klinik yang dilakukan. Pelbagai instrumen telah digunakan untuk menilai kajian efektivitas intervensi terapi atau pencegahan, hubungan sebab-akibat, perumusan pedoman klinik, dan program promosi

(2)

kesehatan. Dengan demikian bukti-bukti klinis terutama bersumber pada populasi pasien atau fenomena penyakit secara agregat. Bukti semacam ini tidak asing bagi praktisi kesehatan masyarakat yang melakukan intervensi kesehatan di masyarakat atas dasar bukti pada tingkat populasi, yang dikenal sebagai metode dan substansi epidemiologi (Kusnanto, 2008).

Sejarah menceritakan bagaimana James Lind menggunakan perasan jeruk nipis untuk mencegah penyakit scurvy atas dasar penelitian pada populasi pelaut yang berminggu-minggu berlayar di tengah laut. Ignaz Semmelweis mencegah infeksi pada ibu-ibu setelah melahirkan (puerperal fever) dengan mengharuskan mahasiswa kedokteran untuk mencuci tangan sebelum menolong persalinan. Singkat kata, bukti ilmiah tidak cukup hanya didasarkan pada intuisi, pengalaman, dan logika patofisiologi yang menjelaskan sebab-akibat penyakit. John Snow melakukan serangkaian kajian di masyarakat untuk menunjukkan bahwa penyakit cholera yang menelan banyak korban di London ditularkan melalui air yang tercemar (Kusnanto, 2008).

Di berbagai negara, proses keputusan kebijakan di sektor kesehatan diusahakan dilakukan berdasarkan kajian bukti yang tepat (evidence based policy making). Sementara itu di negara lain, keputusan dilakukan sebaliknya, lebih merupakan keputusan berdasarkan tekanan politik atau naluri belaka. Pengambilan kebijakan di Indonesia menunjukkan gejala yang belum memberikan tempat bagi evidence based policy making.

1.2. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka disusun suatu perumusan masalah tentang bagaimana kebijakan berbasis bukti dan manajemen.

(3)

1.3. Tujuan

Makalah ini bertujuan untuk mengetahui tentang kebijakan berbasis bukti dan manajemen.

1.4. Manfaat

Makalah ini diharapkan dapat memberi informasi, ‘aasan dan menambah referensi bagi pemakalah dan pembaca.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Kebijakan

Didalam bahasa inggris sering kita dengar dengan istilah policy. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kebijakan diartikan sebagai rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak (tentang pemerintahan, organisasi, dsb); pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip dan garis pedoman untuk manajemen

(4)

Kebijakan-kebijakan kesehatan dibuat oleh pemerintah dan swasta. Kebijakan merupakan produk pemerintah, walaupun pelayanan kesehatan cenderung dilakukan secara swasta, dikontrakkan atau melalui suatu kemitraan, kebijakannya disiapkan oleh pemerintah di mana keputusannya mempertimbangkan juga aspek politik (Buse, May & Walt, 2005). Jelasnya kebijakan kesehatan adalah kebijakan publik yang merupakan tanggung jawab pemerintah dan swasta. Sedangkan tugas untuk menformulasi dan implementasi kebijakan kesehatan dalam satu negara merupakan tanggung jawab Departemen Kesehatan (WHO, 2000). Pengembangan kebijakan biasanya top-down di mana Departemen Kesehatan memiliki kewenangan dalam penyiapan kebijakan. Implementasi dan strateginya adalah bottom-up. Kebijakan seharusnya dikembangkan dengan partisipasi oleh mereka yang terlibat dalam kebijakan itu. Hal ini untuk memastikan bahwa kebijakan tersebut realistik dan dapat mencapai sasaran. Untuk itu perlu komitmen dari para pemegang dan pelaksana kebijakan (Massie, 2009).

Kebijakan kesehatan harus berdasarkan pembuktian yang menggunakan pendekatan problem solving secara linear. Penelitian kesehatan adalah suatu kegiatan untuk mendapatkan bukti yang akurat. Setelah dilakukan penelitian kesakitan dan penyakit dari masyarakat, termasuk kebutuhan akan kesehatan, sistem kesehatan, tantangannya selanjutnya adalah mengetahui persis penyebab dari kesakitan dan penyakit itu. Walaupun disadari betapa kompleksnya yang berbasis bukti untuk dijadikan dasar dari kebijakan (Fafard, 2008).

(5)

Para ahli kebijakan kesehatan membagi kebijakan ke dalam empat komponen yaitu konten, process, konteks dan aktor (Frenk J. 1993; Buse, Walt and Kebijakan Kesehatan: Proses, Implementasi, Analisis dan Penelitian (Roy G.A. Massie)(Gilson, 1994; May & Walt, 2005). Keempat komponen kebijakan akan dibahas satu persatu.

1. Konten

Konten kebijakan berhubungan dengan teknis dan institusi. Contoh aspek teknis adalah penyakit diare, malaria, typus, promosi kesehatan. Aspek insitusi adalah organisasi publik dan swasta. Konten kebijakan memiliki empat tingkat dalam pengoperasiannya yaitu:

a. Sistemik atau menyeluruh di mana dasar dari tujuan dan prinsip-prinsip diputuskan.

b. Programatik adalah prioritas-prioritas yang berupa perangkat untuk mengintervensi dan dapat dijabarkan ke dalam petunjuk pelaksanaan untuk pelayanan kesehatan.

c. Organisasi di mana difokuskan kepada struktur dari institusi yang bertanggung jawab terhadap implementasi kebijakan.

d. Instrumen yang menfokuskan untuk mendapatkan informasi demi meningkatkan fungsi dari sistem kesehatan.

Proses

Proses kebijakan adalah suatu agenda yang teratur melalui suatu proses rancang dan implementasi. Ada perbedaaan model yang digunakan oleh analis kebijakan antara lain:

a. Model perspektif (rational model) yaitu semua asumsi yang mengformulasikan kebijakan yang masuk akal berdasarkan informasi yang benar.

(6)

b. Model incrementalist (prioritas pilihan) yaitu membuat kebijakan secara pelan dan bernegosiasi dengan kelompok-kelompok yang berminat untuk menyeleksi kebijakan yang diprioritaskan.

c. Model rational (mixed scanning model) di mana penentu kebijakan mengambil langkah mereview secara menyeluruh dan membuat suatu negosiasi dengan kelompok-kelompok yang memprioritaskan model kebijakan.

d. Model puncuated equilibria yaitu kebijakan difokuskan kepada isu yang menjadi pokok perhatian utama dari penentu kebijakan.

Masing-masing model di atas memilah proses kebijakan ke dalam komponen untuk mengfasilitasi analisis. Meskipun pada kenyataannya, proses kebijakan itu memiliki karakteristik tersendiri yang merujuk kepada model-model tersebut. Konteks

Konteks kebijakan adalah lingkungan atau setting di mana kebijakan itu dibuat dan diimplementasikan (Kitson, Ahmed, Harvey, Seers, Thompson, 1996). Faktor-faktor yang berada di dalamnya antara lain politik, ekonomi, sosial dan kultur di mana hal-hal tersebut sangat berpengaruh terhadap formulasi dari proses kebijakan (Walt, 1994). Ada banyak lagi bentuk yang dikategorikan ke dalam konteks kebijakan yaitu peran tingkat pusat yang dominan, dukungan birokrasi dan pengaruh aktor-aktor international juga turut berperan.

Aktor

Aktor adalah mereka yang berada pada pusat kerangka kebijakan kesehatan. Aktor-aktor ini biasanya memengaruhi proses pada tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Mereka merupakan bagian dari jaringan, kadang-kadang disebut juga mitra untuk mengkonsultasi dan memutuskan kebijakan pada setiap tingkat tersebut (Walt, 1994). Hubungan dari aktor dan peranannya

(7)

(kekuasaannya) sebagai pengambil keputusan adalah sangat tergantung kepada kompromi politik, daripada dengan hal-hal dalam debat-debat kebijakan yang masuk diakal (Buse, Walt and Gilson, 1994).

Kebijakan itu adalah tentang proses dan power (Walt, 1994). Kebijakan kesehatan adalah efektif apabila pada tingkatan maksimal dapat diimplementasikan dengan biaya yang rendah (Sutton & Gormley, 1999). Efisiensi dalam hal ini karena pemerintah memiliki keterbatasan dalam investasi untuk memantapkan status kesehatan. Jadi adalah sangat penting untuk untuk mengalokasikan sumber daya itu kepada masyarakat yang membutuhkan dan tentu saja berdasarkan bukti-bukti (Peabody, 1999).

2.3. Kebijakan Berbasis Bukti vs Bukti Berbasis Kebijakan

Health TechnologyAssessment (HTA) adalah suatu proses evaluasi yang dilaksanakan secara sistematik mengenai efek dan dampak lain dari teknologi kesehatan. dapat digunakan sebagai bahan penyusunan kebijakan, maka kebijakan yang disusun dapat dipastikan bermanfaat bagi masyarakat. HTA bertujuan menciptakan kebijakan yang berbasis bukti, atau yang sering disebut sebagai Evidence Based Policy. Kebijakan yang berbasis bukti merupakan kebijakan yang disusun berdasarkan bukti dari hasil penelitian yang sahih. Sehingga dampak kebijakan tersebut dapat benar-benar bermanfaat bagi masyarakat. Dengan berbasis bukti kebijakan tersebut sudah teruji dampaknya, sehingga efektifitasnya tinggi. Tidak jarang secara politis kebijakan berbasis bukti diubah menjadi bukti didasarkan/berbasis kepada kebijakan (policy based evidence) (Sutarjo, 2006).

Menurut Marmot pengertian pada pernyataan kedua sangat berbeda. Pertama kebijakan berbasis bukti disusun berdasarkan temuan ilmiah di lapangan,

(8)

sedangkan pernyataan kedua, kebijakan “memaksakan” adanya bukti sehingga kebijakan dapat disusun. Contoh yang paling sering digunakan adalah dalam penentuan kebijakan anti alkohol dan rokok. Sesuai dengan hasil penelitian dampak langsung alkohol jauh lebih besar dari merokok seperti timbulnya penyakit hati, jantung dan lain-lain. Belum lagi dampak sebagai akibat dari kecelakaan, kekasaran di rumah tangga dan banyak lagi tetapi tidak ada sama sekali kebijakan tentang alkohol yang diterbitkan. Sebaliknya untuk rokok ’dicarikan” berbagai bukti (yang memang benar ada) untuk dijadikan kebijakan (Sutarjo, 2006).

Memang hasil dari HTA dapat dimanfaatkan untuk mengkaji berbagai penelitian untuk melihat kesahihannya pada suatu teknologi bukan kepada prioritas sebagai kebijakan. HTA adalah suatu alat tidak mungkin digunakan untuk memecahkan semua masalah, tetapi lebih banyak merupakan alat konfirmasi akan kesahihan ilmiah dari proses penelitiannya. Oleh karena itu penggunaan HTA sejujur mungkin tanpa manipulasi dari tujuannya. Tantangan HTA dalam mendapatkan hasil kajian yang baik, memang cukup banyak. Tantangan mulai dari persiapan, pelaksanaan hingga diseminasi. Tantangan yang perlu mendapat perhatian adalah (Sutarjo, 2006):

1. Kesediaan dana yang cukup untuk melaksanakan teknologi yang bermanfaat. 2. Tersedianya sumber daya manusia yang mampu melaksanakan teknologi itu atau sarana peningkatan SDM.

3. Adanya kemampuan sarana atau prasarana yang sesuai untuk menjalankan teknologi.

(9)

5. Kesiapan masyarakat dalam menerima teknologi, baik dalam budaya, perilaku maupun kemampuan membayar

2.4 Bukti normatif dan operasional

Banyak kritik dilontarkan pada pelayanan klinis berbasis bukti yang mengartikan bukti ilmiah secara sempit, bersifat kuantitatif dan mengacu pada kaidah-kaidah probabilitas. Oleh karenanya disepakati bahwa sekuat apapun bukti klinis yang ada, pengambilan keputusan dalam pelayanan kesehatan perlu mempertimbangkan konteks lokal dan kebutuhan atau preferensi pasien. Dalam kebijakan kesehatan masyarakat, konteks lokal sering penuh ketidakpastian, kompleks dan sulit dipahami. Preferensi masyarakat diwarnai tarik-menarik kepentingan oleh pihak-pihak yang berbeda (Dobrow, 2004).

Bukti ilmiah secara normatif tidak dibatasi oleh konteks. Suatu bukti mempunyai nilai yang rendah atau tinggi, sehingga bisa kurang atau sangat bermanfaat dalam melandasi pengambilan keputusan atau kebijakan. Sifat-sifat bukti (misalnya kesesuaian dengan kenyataan dan konsistensi) menentukan kualitasnya, sejauh mana bukti tersebut dapat diandalkan, terlepas dari konteks yang ada. Fokus pada kualitas bukti ini dilembagakan, misalnya dengan adanya institusi seperti Cochrane and Campbell Collaborations, yang telah mengembangkan kajian sistematik atas bukti-bukti ilmiah bermutu tinggi dalam bidang kedokteran, kesehatan dan kebijakan sosial. Dalam kajian sistematik atas kebijakan kesehatan masyarakat, pelbagai metode digunakan untuk menilai banyak penelitian, menemukan konsistensi temuan-temuan penelitian dan memahami mengapa hasil penelitian bisa berbeda-beda dan bagaimana intervensi kesehatan dapat efektif dalam konteks tertentu (Anderson, 2005).

(10)

Berkebalikan dengan orientasi normatif sebagaimana yang sering diterapkan pada pelayanan klinis berbasis bukti, dalam kesehatan masyarakat bukti hanya dapat dipahami sebagai kesatuan dengan konteksnya. Paham yang praktis dan operasional ini lebih sesuai dengan teori pengambilan keputusan yang harus memperhitungkan banyak faktor. Pelbagai kebijakan kesehatan sering didasarkan pada perhitungan politik, kemungkinan keberhasilan, dan waktu yang tepat. Lalu, adakah bukti bahwa kebijakan kesehatan masyarakat tertentu cenderung bisa diterima atau sebaiknya ditolak? Kajian sistematik untuk menemukan dan menilai bukti ilmiah suatu kebijakan kesehatan tidak bisa mengandalkan penelitian yang bersifat eksperimen murni (randomized controlled trial), kerangka teori biomedik dan semata-mata merupakan sintesis statistik. Secara umum, kajian sistematik harus meminimalkan bias (Chalmers, 2003). Khusus untuk kebijakan kesehatan, Fielding dan Briss menganjurkan pemanfaatan analisis dampak kesehatan (projek, program dan kebijakan), kajian sistematik dan protofolio untuk menjamin kesesuaian kebijakan dengan masyarakat dan kelaikan dalam implementasi. Kajian sistematik atas bukti kebijakan kesehatan memang bukan segala-galanya untuk menilai apakah kebijakan tersebut sudah tepat, tetapi paling tidak bisa mengarahkan apakah perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk memperkuat bukti yang telah ada, dan bagaimana penelitian harus dilakukan untuk memaksimalkan kekuatan bukti yang mendukung suatu kebijakan tertentu.

2.5. Penelusuran bukti untuk kebijakan kesehatan

Serangkaian pertanyaan dapat mengarahkan proses penelusuran bukti atas kebijakan atau intervensi kesehatan masyarakat, sehingga mampu mendukung

(11)

kebijakan publik yang harus diimplementasikan di masyarakat (Tabel 1). Dalam kebijakan kesehatan, proses implementasi kebijakan atau intervensi kesehatan masyarakat juga dapat berpengaruh terhadap keberhasilan yang dicapai, sehingga hirarki bukti yang mendewakan uji klinik (randomized clinical trial) tidak cocok untuk diterapkan (Kusnanto, 2008).

Tipologi bukti yang relevan dengan isi maupun proses kebijakan kesehatan tidak dinilai dengan pembobotan untuk menyusun hirarki, tetapi kesesuaian dengan perumusan dan penerapan kebijakan (Tabel 2). Kebijakan kesehatan atau intervensi kesehatan masyarakat menterjemahkan bukti-bukti ilmiah mengenai prospek intervensi tersebut melalui serangkaian pemahaman, diseminasi dan keterlibatan pemangku kepentingan, adopsi, dan implementasi pada tingkat lokal. Tantangan dalam penggunaan bukti ilmiah untuk mendukung kebijakan kesehatan masyarakat adalah kajian sistematik memadukan bukti-bukti dari pelbagai dimensi kebijakan sesuai dengan persoalan nyata di masyarakat yang bersangkutan. akan menjadi model penting kebijakan kesehatan masyarakat berbasis bukti dalam memecahkan masalah-masalah kesehatan masyarakat pada umumnya (Kusnanto, 2008)

Tabel 1. Pertanyaan untuk menelusuri bukti yang melandasi penilaian atas intervensi kesehatan masyarakat

faktor Pertanyaan spesifik

Efikasi Efektivitas

Manfaat dan kerugian Biaya

Apakah intervensi dapat berhasil dalam kondisi ideal? Apakah dilandasi teori yang telah ada?

Apakah intervensi dapat berhasil di lingkungan nyata dalam masyarakat? Adakah intervensi lain yang lebih sesuai dengan kondisi yang dihadapi?

Apakah konsekuensi intervensi? Lebih banyak manfaatnya? Apakah biaya terjangkau?

(12)

Manfaat inkremental Kelaikan

Kesesuaian Keadilan Keberlanjutan

alternatif lain, relatif dibandingkan biaya yang dibutuhkan? Berapa besar biaya dan manfaat tambahan dibandingkan dengan apa yang telah dilakukan selama ini?

Apakah sumberdaya yang diperlukan dapat diperoleh? Apakah intervensi sesuai dengan prioritas masyarakat, budaya, nilai-nilai dan situasi politik?

Apakah ada pemerataan manfaat dan sumberdaya?

Apakah intervensi dapat didukung dengan sistem dan sumberdaya dalam jangka panjang?

Sumber: diadaptasi dari Anderson et al.

Tabel 2. Tipologi bukti untuk menilai intervensi kesehatan masyarakat

Faktor

Jenis rancangan penelitian yang menjadi sumber bukti Kualitatif Survey Cohort &

case control

RCT Kuasi-eksperimen Efikasi Efektivitas

Proses implementasi Manfaat dan kerugian Biaya

Nilai dibanding biaya Manfaat inkremental Kelaikan Kesesuaian Keadilan Keberlanjutan ++ ++ ++ ++ + + ++ ++ + ++ ++ + + + + + + ++ ++ ++ ++ ++ ++ + + + + +

Kajian sistematik atas bukti-bukti yang mendukung suatu intervensi kesehatan masyarakat masih membutuhkan pengembangan metodologis dengan aplikasi-aplikasi kebijakan publik yang luas. Sebagai contoh, upaya untuk menghentikan kebiasaan merokok telah diteliti melalui pelbagai uji klinik dengan randomisasi, antara lain untuk menilai efek konseling, pemberian obat

(13)

(bupropion) dan sulih nikotin (nicotine patch) terhadap keberhasilan individu berhenti merokok. Intervensi berhenti merokok yang dilakukan di masyarakat (dengan rancangan ramdomized community intervention trial) dapat menurunkan prevalensi merokok di antara perokok ringan dan sedang, tetapi tidak berhasil mengubah prevalensi merokok di antara perokok berat. Kebijakan kesehatan dalam memerangi kebiasaan merokok jauh lebih luas dari sekedar modifikasi perilaku individual atau pendekatan farmakologis (intervensi medis). Pengenaan pajak rokok yang tinggi, pembatasan tempat untuk merokok, peraturan pemberian label di bungkus rokok dan pariwara sosial melalui media massa merupakan instrumen yang mungkin lebih efisien dalam memerangi rokok. Bagaimana bukti yang kompleks dan kait-mengait dapat digunakan untuk mendukung kebijakan anti- rokok secara terpadu, efektif, efisien, dan merata (Kusnanto, 2008).

2.6 Pengembangan metodologi kebijakan berbasis bukti: kasus memerangi rokok

Kajian sistematik atas bukti-bukti yang mendukung suatu intervensi kesehatan masyarakat masih membutuhkan pengembangan metodologis dengan aplikasi-aplikasi kebijakan publik yang luas. Sebagai contoh, upaya untuk menghentikan kebiasaan merokok telah diteliti melalui pelbagai uji klinik dengan randomisasi, antara lain untuk menilai efek konseling, pemberian obat (bupropion) dan sulih nikotin (nicotine patch) terhadap keberhasilan individu berhenti merokok. Intervensi berhenti merokok yang dilakukan di masyarakat (dengan rancangan ramdomized community intervention trial) dapat menurunkan prevalensi merokok di antara perokok ringan dan sedang, tetapi tidak berhasil

(14)

mengubah prevalensi merokok di antara perokok berat. Kebijakan kesehatan dalam memerangi kebiasaan merokok jauh lebih luas dari sekedar modifikasi perilaku individual atau pendekatan farmakologis (intervensi medis). Pengenaan pajak rokok yang tinggi, pembatasan tempat untuk merokok, peraturan pemberian label di bungkus rokok dan pariwara sosial melalui media massa merupakan instrumen yang mungkin lebih efisien dalam memerangi rokok. Bagaimana bukti yang kompleks dan kait-mengait dapat digunakan untuk mendukung kebijakan antirokok secara terpadu, efektif, efisien, dan merata akan menjadi model penting kebijakan kesehatan masyarakat berbasis bukti dalam memecahkan masalah-masalah kesehatan masyarakat pada umumnya (Kusnanto, 2008).

2.7 Prinsip-Prinsip Evidence based Policy Makin

Sackett dkk mendefinisikan EBM sebagai: “the conscientious, explicit, and judicious use of current best evidence in making decisions about the case of individual patient’. Untuk EBP, Cookson memberikan definisi yang serupa, namun berfokus pada keputusan public tentang kelompok atau masyarakat, bukan sebuah keputusan tentang individu pasien. Lebih lanjut Cookson menggambarkan hubungan antara bukti ilmiah dengan keputusan. Keputusan berupa kebijakan publiK dapat dipengaruhi oleh berbagai hal yaitu (1)kepercayaan; (2) nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat; dan (3) berbagai hal lain seperti aspek politik, ekonomi, hukum, dan etik. Peran bukti ilmiah adalah mempengaruhi kepercayaan pengambil keputusan tentang hal yang harus ditetapkan. Akan tetapi kepercayaan ini dipengaruhi pula oleh pengalaman, bukti anekdot, ataupun opini yang didengar dan dibaca oleh pengambil kebijakan. Apabila tidak ada bukti ilmiah, dapat

(15)

dipahami bahwa pengambilan keputusan dipengaruhi oleh kepercayaan yang berasal dari opini misalnya (Trisnantoro, 2007).

2.6. Evidence Based Management

Manajemen berbasis bukti tampaknya telah membuat sedikit kemajuan dalam perawatan kesehatan dibndingkan sejenis klinis lainnya. Sementara akademisi dan praktisi manajer telah menuls tentang hal itu dalam jangka sebagian besar positif pemerintah dalam pembuat kebijakan . Meskipun ada beberapa manajemen mendorong pembangunan-seperti colaborations cochrane praktek efektif dan organisasi kelompok perawatan, yang pemerintah pengiriman U.K pelayanan kesehatan dan program penelitian organisasi. yayasan penelitian pelayanan kesehatan canadan baru-baru ini didirikan dan inisiatif baru untuk mempromosikan berbasis bukti oleh asosiasi untuk program sarjana dalam administrasi kesehatan. masih jauh dari melihat manajer membuat penggunaan yang tepat dari bukti dalam pengambilan keputusan mereka (Elukra, 2011).

(16)

Overuse

Underuse

Misuse

 Penggunaan merger organisasi sebagai respons terhadap masalah kualitas pelayanan, kapasitas atau kelayakan keuangan dalam organisasi perawatan kesehatan

 Pengukuran kepuasan pasien dengan menggunakan konseptual buruk, instrumen yang dirancang buruk, yang menghasilkan data yang sering tidak digunakan

 Penggantian dokter dengan tenaga kesehatan lain dalam memberikan berbagai pelayanan kesehatan rutin terutama dalam peraatan primer dan kecelakaan dan pengaturan gaat darurat

 Konsentrasi beban kerja untuk prosedur partikular dan memiliki autocome pasien yang lebih baik

 Penggunaan pengobatan berbasis masyarakat “rumah sakit seperti dirumah dan sejenisnya” sebagai alternatif untuk rawat inap dirumah sakit.

 Keterlibatan klinikan dala pengelolaan organisasi penyedia layanan kesehatan dan penataan pengaturan manajemen klinis

 Adopsi dan pelaksanaan manajemen kualitas total atau kualitas inisiatif perbaikan

(17)

BAB III KESIMPULAN

Kebijakan yang berbasis bukti merupakan kebijakan yang disusun berdasarkan bukti dari hasil penelitian yang sahih. Sehingga dampak kebijakan tersebut dapat benar-benar bermanfaat bagi masyarakat. Dengan berbasis bukti kebijakan tersebut sudah teruji dampaknya, sehingga efektifitasnya tinggi. Tidak jarang secara politis kebijakan berbasis bukti diubah menjadi bukti didasarkan/berbasis kepada kebijakan (policy based evidence) (Sutarjo, 2006).

Manajemen berbasis bukti tampaknya telah membuat sedikit kemajuan dalam perawatan kesehatan dibndingkan sejenis klinis lainnya. Sementara akademisi dan praktisi manajer telah menuls tentang hal itu dalam jangka sebagian besar positif pemerintah dalam pembuat kebijakan . Meskipun ada beberapa manajemen mendorong pembangunan-seperti colaborations cochrane praktek efektif dan organisasi kelompok perawatan, yang pemerintah pengiriman U.K pelayanan kesehatan dan program penelitian organisasi. yayasan penelitian

(18)

mempromosikan berbasis bukti oleh asosiasi untuk program sarjana dalam administrasi kesehatan. masih jauh dari melihat manajer membuat penggunaan yang tepat dari bukti dalam pengambilan keputusan mereka (Elukra, 2011).

DAFTAR PUSTAKA

Anderson L.M., Brownson R.C., Fullilove M.T., Teutsch S.M., Novick L.F., Fielding J.E., Land C.H.. Evidence-based public health policy and practice: promises and limits, American Journal of Preventive Medicine.2005;28:226-9.

Buse, K., Mays, N., Walt, G. 2005. Making Health Policy. New York

Chalmers I. Trying to do more good than harm in policy and practice: the role of rigorous, transparent, up-to-date evaluations, Annals of the American Academy of Political and Social Science.2003;589:22-40. Dobrow M.J., Goel V., Upshur R.E.G. Evidence-based health policy: context

and utilisation, Social Science and Medicine. 2004;58:207-217.

Fafard P, 2008. Evidence and Healthy Public Policy: Insights from Health and Political Sciences. National Collaborating Centre for Healthy Public Policy US.

Frenk J, 1993. The health transition and the dimensions of health system reform. Paper presented at the Conference on Health Sector Reform in Developing pp. 10–13. Harvard School of Public Health, New Hampshire. In Macrae, Zwi and Gilson, 1996 Ibid.

Kusnanto, H. 2008. Kebijakan Kesehatan Masyarakat Berbasis Bukti Evidence-based public health policy”. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan. Volume 11 No 01. Program Studi Pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran UGM.Yogyakarta; 2-4

(19)

Massie, R.G. 2009.”Kebijakan Kesehatan Proses, Implementasi, Analisis dan Penelitian”. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan .Vol. 12 No. 4: 409– 417

Mujiati, N. 2014. Kebijakan dan Aktivitas Keagamaan di Perusahaan

Peabody JW et al., 1999. Policy and Health: Implication for Development in Asia. Cambrige University Press. Cambrige UK.

Sutarjo, U.S. 2006. “Leadership Health Technology Assessment Menghadapi Perubahan”. Majalah Kedokteran Indonesia, Volum: 56, Nomor: 2. Trisnantoro, L. 2007. “Kebijakan Contracting-out untuk Penyediaan Tenaga

Kesehatan”. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4 Desember 2007 157 - 158

WHO. (2011). WHO Report On The Global Tobacco Epidemic, (http://whqlibdoc.who.int/publications/2008/9789241596282 eng.pdf) (diakses 4 Januari 2014)

Gambar

Tabel 2. Tipologi  bukti  untuk  menilai  intervensi  kesehatan  masyarakat

Referensi

Dokumen terkait

Skenario pengendalian banjir dilakukan dengan cara normalisasi sungai, yaitu memperbesar dimensi penampang sungai existing dengan lebar dasar sungai rata-rata 20 m

Sehubungan dengan uraian di atas perlu dibuat aplikasi berbasis Android yang memiliki tujuan dan fungsi yang belum ada di penelitian terdahulu untuk mempermudah

Kesimpulan yang dapat diambil dalam penelitian ini diantaranya: 1) pengembangan perangkat pembelajaran bermuatan integrasi Islam-sains untuk menanamkan

Lembaga praperadilan memang tidak boleh menilai kekuatan suatu alat bukti, tetapi dalam perkara ini, hakim hanya mempertimbangkan mengenai relevansi antara barang bukti

3) Pengefektifan fungsi dan peran pemerintah lokal. 4) Peningkatan kualitas dan kuantitas prasarana sarana sosisal dasar dan ekonomi masyarakat.. 5) Pengembangan

pembelajaran sejarah dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif STAD berbantuan media film Situs Astana Gede Kawali. Materi pada penelitian ini adalah

Harun Nasution sebagai salah seorang pembaharu Islam di Indonesia memandang berbagai tatanan kehidupan masyarakat dalam dunia modern harus diatur sendiri oleh umat Islam