• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. memaksimumkan kemakmuran pemegang saham atau stockholder (Brigham dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. memaksimumkan kemakmuran pemegang saham atau stockholder (Brigham dan"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Teori Keputusan Keuangan

Konsep manajerial pada perusahaan publik memiliki tujuan untuk memaksimumkan kemakmuran pemegang saham atau stockholder (Brigham dan Gapenski, 1996, dalam Wahidahwati, 2002). Tujuan tersebut seringkali hanya bisa dicapai apabila pemilik modal menyerahkan pengelolaan perusahaan kepada para profesional (manajerial) atau sering disebut agen, karena pemilik modal memiliki banyak keterbatasan. Maka dari itu, Manajer diharapkan melakukan tindakan yang terbaik bagi perusahaan dengan memaksimumkan nilai perusahaan sehingga kemakmuran dapat dicapai (Jensen dan Meckling, 1976, dalam Wahidahwati, 2002). Para profesional ini akan bertanggung jawab terhadap: 1) keputusan alokasi dana baik yang berasal dari dalam perusahaan maupun dari luar perusahaan untuk investasi, 2) keputusan pembelanjaan, dan 3) keputusan deviden.

Menurut Handono Mardiyanto (2008) dalam pengambilan keputusan keuangan, manajer keuangan suatu perusahaan dihadapkan pada tiga keputusan, yaitu keputusan pendanaan, keputusan investasi, dan kebijakan dividen. Ketiga keputusan tersebut diimplementasikan dalam kegiatan sehari-hari perusahaan untuk meningkatkan nilai perusahaan.                

(2)

1. Keputusan Investasi

Keputusan investasi adalah masalah bagaimana manajer keuangan harus mengalokasikan dana kedalam bentuk – bentuk investasi yang akan dapat mendatangkan keuntungan di masa yang akan datang. Bentuk, macam dan komposisi dari investasi tersebut akan mempengaruhi dan menunjang tingkat keuntungan di masa depan yang diharapkan dari investasi tersebut tidak dapat diperkirakan secara pasti.

2. Keputusan Pendanaan

Keputusan pendanaan ini sering disebut sebagai kebijakan struktur modal. Pada keputusan ini manajer keuangan dituntut untuk mempertimbangkan dan menganalisis kombinasi dari sumber – sumber dana yang ekonomis bagi perusahaan guna membelanjai kebutuhan – kebutuhan investasi serta kegiatan usahanya.

3. Kebijakan Dividen

Dividen merupakan bagian keuntungan yang dibayarkan oleh perusahaan kepada para pemegang saham. Oleh Karena itu deviden ini merupakan bagian dari peghasilan yang diharapkan oleh pemegang saham.

Menurut Sutrisno (2005 :5-6) Fungsi manajemen keuangan terdiri dari tiga keputusan utama yang harus dilakukan oleh suatu perusahaan diantaranya: keputusan investasi, keputusan pendanaan, dan keputusa dividen.

               

(3)

1. Keputusan investasi

Keputusan investasi merupakan masalah bagai mana manjer keuangan harus mengalokasikan dana dalam bentuk–bentuk investasi yang akan menguntungkan di masa yang akan datang.

2. Keputusan pendanaan

Keputusan pendanaan ini sering disebut sebagai kebijakan struktur keuangan dituntut untuk mempertimbangkan dan menganalisis kombinasi dari sumber– sumber dana yang ekonomis bagi perusahaan guna membelanjai kebutuhan-kebutuhan investasi serta kegiatan usahanya.

3. Keputusan deviden

Keputusan deviden merupakan keputusan manajemen keuangan untuk menentukan :

 Besarnya prosentase laba yang dibagikan kepada para pemegang

saham dalam bentuk cash deviden.

 Stabilitas deviden yang dibagikan

Deviden saham (Stock deviden)

 Pemecahan saham (Stock Split)

 Penarikan kembali saham yang beredar yang semuanya di tunjukan

untuk meningkaatkan kemakmuran para pemegang saham.

               

(4)

2.2. Tinjauan Tentang Keputusan Pendanaan

Dasar keputusan pendanaan atau kebijakan pendanaan berkaitan dengan sumber dana, baik itu sumber internal (laba ditahan dan modal sendiri) maupun sumber eksternal (hutang, saham preferen). Pada prakteknya dana-dana yang dikelola perusahaan harus dikelola dengan baik, karena masing-masing sumber dana tersebut mengandung kewajiban pertanggung jawaban kepada pemilik dana. Proporsi antara modal sendiri (internal) dengan modal pinjaman (eksternal) harus diperhatikan, sehingga dapat diketahui beban perusahaan terhadap para pemilik modal tersebut. Secara teoritis, keputusan pendanaan didasarkan pada dua kerangka teori yaitu balance theory atau pecking order theory. Harris dan Raviv (1991) berpendapat bahwa dasar pemikiran teoritis kedua kerangka tersebut telah didefinisikan dengan jelas. Namun tidak dapat dipahami pada kondisi mana sesungguhnya kedua kerangka teori tersebut dapat diterapkan.

Berdasarkan balance theory, struktur modal yang optimal dibentuk dengan menyeimbangkan manfaat dari penghematan Pajak atas penggunaan utang terhadap biaya kebangkrutan (Myers 1984; dan Brigham & Gapenski, 1996). Balance theory memprediksi suatu hubungan variabilitas pendapatan dan penggunaan utang. Konsisten dengan balance theory, Theis dan Klock (1992), menyatakan bahwa variabilitas pendapatan berpengaruh negatif terhadap hutang jangka panjang, namun Titman dan Wessels (1988) tidak mendukung harapan teoritisnya bahwa modal

               

(5)

dipengaruhi oleh perlindungan pajak terutang, variabilitas pendapatan dan pertumbuhan perusahaan.

Pendanaan atas dasar pecking order theory, perusahaan lebih cenderung memilih pendanaan yang berasal dari internal daripada eksternal. Apabila digunakan dana yang berasal dari eksternal maka urutan pendanaan yang disarankan adalah pertama dari utang, diikuti penerbitan ekuitas baru dan yang terakhir dari laba ditahan (Myers, 1984). Gordon Donaldson dalam Myers (1984) mengajukan teori tentang asimetri informasi (pecking order) manajemen perusahaan mengetahui lebih banyak tentang perusahaan dibandingkan investor di pasar modal.

Van Horne (1998) menjelaskan bahwa keputusan pendanaan, yaitu menentukan sumber dana yang akan digunakan, menentukan perimbangan pembelanjaan yang terbaik, atau menentukan struktur modal yang optimal. Apakah perusahaan akan menggunakan sumber ekstern yang berasal dari utang atau emisi obligasi atau menggunakan sumber intern, yaitu dengan emisi saham baru. Sedangkan menurut Husnan (2003), keputusan pendanaan adalah keputusan tentang berapa banyak hutang akan digunakan, dalam bentuk apa hutang dan modal sendiri akan ditarik, dan kapan akan memperoleh dana-dana tersebut.

Modal dalam suatu bisnis merupakan salah satu sumber kekuatan untuk dapat melaksanakan aktivitasnya. Setiap perusahaan dalam melaksanakan kegiatannya selalu berupaya untuk menjaga keseimbangan finansialnya. Struktur modal berasosiasi dengan profitabilitas. Struktur modal perusahaan merupakan komposisi

               

(6)

hutang dengan ekuitas. Dana yang berasal dari hutang mempunyai biaya modal dalam bentuk biaya bunga. Dana yang berasal dari ekuitas mempunyai biaya modal berupa deviden. Perusahaan akan memilih sumber dana yang paling rendah biayanya di antara berbagai alternatif sumber dana yang tersedia. Komposisi hutang dan ekuitas tidak optimal akan mengurangi profitabilitas perusahaan dan sebaliknya.

Keputusan Pendanaan merupakan kebijakan yang diambil oleh pihak manajemen dalam rangka memperoleh sumber dana sehingga dapat digunakan untuk aktivitas operasional perusahaan. Keputusan yang diambil oleh manajemen dalam pencarian sumber dana tersebut sangat dipengaruhi oleh para pemilik/ pemegang saham. Sesuai dengan tujuan utama perusahaan adalah untuk meningkatkan kemakmuran para pemegang saham, maka setiap kebijakan yang akan diambil oleh pihak manajemen selalu dipengaruhi oleh keinginan para pemegang saham (Brigham, 1983 : p. 457).

Robert Ang (1997), setelah struktur modal ditentukan, maka perusahaan selanjutnya akan menggunakan dana yang diperoleh tersebut untuk operasional perusahaan. Aktivitas operasional perusahaan dikatakan menguntungkan jika return yang diperoleh dari hasil operasional tersebut lebih besar daripada biaya modal (cost of capital); dimana biaya modal ini merupakan rata-rata tertimbang dari biaya pendanaan (cost of funds) yang terdiri dari biaya (bunga) pinjaman dan biaya modal sendiri. Biaya modal sendiri terdiri dari dividen yang dibayarkan kepada pemegang saham biasa dan dividend kepada pemegang saham preferen. Sedangkan biaya pinjaman merupakan biaya bunga bersih (setelah dikurangi tarip pajak). Besarnya

               

(7)

komposisi dari hutang dan modal sendiri serta biaya yang ditimbulkan itulah yang perlu dipertimbangkan oleh manajemen; apakah akan memperbesar rasio hutang, ataukah memperkecil rasio hutang. Peningkatan rasio hutang, apabila biaya hutang relatif lebih kecil daripada biaya modal sendiri; demikian sebaliknya.

2.2.1. Pecking Order Theory

Teori ini pertama kali dikenalkan oleh Donaldson pada tahun 1961 sedangkan penamaan Pecking Order Theory dilakukan Oleh Myers 1984 ( Anissa’u ,2007). Dalam Pecking Order Theory manajer konsisten dengan tujuan utama perusahaan yaitu memakmurkan kekayaan pemegang saham. Pada Pecking Order Theory mengatakan bahwa perusahaan lebih cenderung memilih pendanaan yang berasal dari internal dari pada eksternal perusahaan. Penggunaan dana internal lebih didahulukan dibandingkan dengan penggunaan dana yang bersumber dari eksternal. Penggunaan sumber pendanaan eksternal oleh perusahaan dilakukan apabila sumber internal tidak mencukupi.

Urut-urutan yang dikemukakan oleh teori ini dalam hal pendanaan yaitu laba ditahan, hutang , hutang obligasi dan saham preferen serta yang terakhir adalah penerbitan saham biasa. Pemilihan urutan pendataan ini menunjukkan bahwa pendanaan ini didasarkan oleh tingkat resiko atas keputusan untuk menggunakan pendanaan tersebut. Pemilihan ini juga dikaitkan dengan biaya atas sumber pendanaan dari mulai yang termurah hingga termahal. Ada dua alasan mengapa dana eksternal lebih disukai dalam bentuk hutang daripada modal sendiri. Pertama,

               

(8)

adalah pertimbangan biaya emisi. Biaya emisi obligasi akan lebih murah dari biaya emisi saham baru. Hal ini disebabkan karena penerbitan saham baru akan menurunkan harga saham lama. Kedua, manajer khawatir kalau penerbitan saham baru akan ditafsirkan sebagai kabar buruk oleh para pemodal dan membuat harga saham akan turun. Hal ini disebabkan antara lain oleh kemungkinan adanya asimetri informasi antara pihak manajer dengan pihak modal.

Gordon Donaldson (1961 & 1969) dalam penelitian Sitorus mengemukakan hasil penelitian yang dikenal dengan pecking order theory (POT), bahwa penetapan struktur modal perusahaan adalah sebagai berikut:

1. Perusahaan lebih menyukai mempergunakan sumber pendanaan internal dalam keputusan pendanaannya (laba ditahan ).

2. Penetapan target rasio pembayaran deviden dilakukan berdasarkan kesempatan investasi masa depan dan arus kas yang akan diperoleh dimasa depan.

3. Dividend is "sticky", perusahaan enggan untuk meningkatkan dan menurunkan pembayaran devidennya kecuali dengan alasan-alasan tertentu.

4. Jika masih terdapat kelebihan dana dari sumber dana internal setelah digunakan untuk kegiatan investasi, maka akan digunakan untuk investasi di sekuritas, pembayaran hutang, meningkatkan pembayaran deviden, buyback saham atau akuisisi perusahaan.                

(9)

Teori ini kemudian diperkuat lagi dengan penelitian yang dilakukan oleh Laksmi Sham-Sunder dan Stewart C. Myers (1984) dalam penelitian Anissa’u (2007). Dalam penelitian ini dikatakan bahwa, dalam bentuk yang paling sederhana Pecking Order Model dalam pendanaan perusahaan menjelaskan bahwa ketika arus kas internal perusahaan tidak cukup untuk mendanai investasi real dan dividen, perusahaan akan menerbitkan hutang. Saham tidak akan pernah diterbitkan, kecuali biaya financial Distress perusahaan tinggi. Selain itu, Stewart C. Myers (1984) dalam penelitian Anissa’u (2007) menemukan bahwa adanya penilaian negatif dari pemegang saham akibat penerbitan saham atau pengurangan leverage. Beberapa point penting yang dikemukakan dari penelitian ini yaitu:

1. Perusahaan lebih menyukai membiayai kegiatan investasinya secara internal, dan pembiayaan eksternal jika tidak memenuhi.

2. Ketika pembiayaan eksternal dipilih, maka pembiayaan pertama kali yang dipilih adalah hutang (debt securities), baru kemudian equity securities.

3. Jika diperlukan pembiayaan eksternal yang lebih besar untuk proyek yang mempunyai NPV positif, maka model pembiayaan dengan pecking order akan diikuti.

Menurut (Myers, 1984) dalam penelitian Sitorus bahwa pecking order theory menyatakan beberapa hal antara lain :

a) Perusahaan menyukai internal financing (pendanaan dari hasil operasi).

               

(10)

b) Perusahaan mencoba menyesuaikan rasio pembagian deviden yang ditargetkan dengan berusaha menghindari perubahan pembayaran deviden secara drastis. c) Kebijakan deviden yang relatif segan untuk diubah, disertai untuk fluktuasi

profitabilitas dan kesempatan investasi yang tidak bisa diduga, mengakibatkan bahwa dana hasil operasi kadang-kadang melebihi kebutuhan dana untuk investasi, meskipun dalam kesempatan lain mungkin kurang.

d) Apabila pendanaan dari luar (external financing) diperlukan, maka perusahaan akan menerbitkan sekuritas yang paling aman terlebih dahulu. Yaitu dimulai dengan menerbitkan obligasi terlebih dahulu, kemudian diikuti dengan sekuritas yang berkarakteritik opsi (seperti obligasi konversi), baru kemudian bila masih belum mencukupi saham baru diterbitkan.

2.2.2. Balancing Theory

Model struktur modal dalam lingkup Balancing theories ( Myers,1984 dan Bayles and Diltz,1994) disebut sebagai teori keseimbangan yaitu menyeimbangkan komposisi hutang dan modal sendiri. Teori ini pada intinya yaitu menyeimbangkan antara manfaat dan pengorbanan yang timbul sebagai akibat penggunaan hutang. Sejauh manfaat masih besar, hutang akan ditambah. Tetapi bila pengorbanan karena menggunakan hutang sudah lebih besar maka hutang tidak lagi ditambah. Pengorbanan karena menggunakan hutang tersebut bisa dalam bentuk biaya kebangkrutan (Bankruptcy cost) dan biaya keagenan (agency cost).

               

(11)

Contoh lain yang mengadakan pembahasan mengenai balancing theories seperti Kraus dan Litzenberger (1972), Kim (1982), Ross (1985), dan Leland (1994) pada intinya membuktikan bahwa peningkatan DER sesungguhnya menyebabkan peningkatan biaya yang berkaitan dengan leverage dimana peningkatan nilai perusahaan pada akhirnya akan berhenti. Masih dalam lingkup balancing theories, model optimal yang dinamik dari Fisher, Heinkel, dan Zechner (1989), serta Mauer dan Triantis (1994) tidak mendukung struktur modal yang statis. Meskipun demikian, kebijakan pendanaan dinamik yang optimal masih dicirikan dengan trade off, antara manfaat corporate tax shield dari hutang dan biaya hutang (Robert M. Hull,1999).

Penggunaan hutang yang semakin besar akan meningkatkan keuntungan dari penggunaan hutang tersebut, namun semakin besar pula biaya kebangkrutan dan biaya keagenan bahkan lebih besar. Dengan memasukkan pertimbangan tersebut, disimpulkan bahwa penggunaan hutang akan meningkatkan nilai perusahaan tapi hanya sampai titik tertentu. Setelah titik tersebut, penggunaan hutang justru akan menurunkan nilai perusahaan karena kenaikan keuntungan dari penggunaan hutang tidak sebanding dengan kenaikan biaya kebangkrutan dan biaya keagenan. Titik balik tersebut disebut struktur modal yang optimal (Lukas S. Atmaja, 1999).

2.3. Tinjauan Tentang Hutang

Semua perusahaan baik kecil maupun perusahaan yang besar mempunyai hutang. Hutang adalah kewajiban suatu perusahaan yang timbul dari transaksi pada

               

(12)

waktu lalu dan harus dibayar dengan kas, barang dan jasa di waktu yang akan datang (Jusuf, 2001). Menurut FASB, hutang adalah pengorbanan manfaat ekonomi masa mendatang yang mungkin timbul karena kewajiban sekarang suatu entitas untuk menyerahkan aktiva atau memberikan jasa kepada entitas lain dimasa mendatang sebagai akibat transaksi masa lalu.

Menurut Ghozali dan Chairiri (2007), kewajiban merupakan hutang perusahaan masa kini yang timbul dari peristiwa masa lalu, penyelesaiannya diharapkan mengakibatkan arus keluar dari sumber daya perusahaan yang mengandung manfaat ekonomi.

Menurut Munawir (2004) hutang adalah semua kewajiban keuangan perusahaan kepada pihak lain yang belum terpenuhi, di mana hutang ini merupakan sumber dana atau modal perusahaan yang berasal dari kreditor.

Menurut Nurwahyudi dan Mardiyah (2004) menyatakan bahwa hutang adalah pengorbanan ekonomi yang harus dilakukan perusahaan di masa yang akan datang karena tindakan atau transaksi sebelumnya. Pengorbanan ekonomi dapat berbentuk uang, aktiva, jasa-jasa atau dilakukannya pekerjaan tertentu. Hutang merupakan salah satu sumber pembiayaan eksternal yang digunakan oleh perusahaan untuk membiayai kebutuhan dananya. Suatu perusahaan dapat mengukur sampai sejauh mana baik buruknya kinerja perusahaan tersebut dengan melihat sumber pendanaan (modal) yang dibiyai oleh hutang. Sebagian perusahaan menganggap bahwa penggunaan hutang dirasa lebih aman daripada menerbitkan saham baru.

               

(13)

Menurut Babu dan Jain (1998) terdapat 4 (empat) alasan mengapa perusahaan lebih menyukai menggunakan hutang daripada saham baru, yaitu sebagai berikut :

1. Adanya manfaat pajak atas pembayaran bunga;

2. Biaya transaksi pengeluaran hutang lebih murah daripada biaya transaksi emisi saham baru;

3. Lebih mudah mendapatkan pendanaan hutang daripada pendanaan saham; 4. Kontrol manajemen lebih besar dari adanya hutang baru dibandingkan saham

baru.

Penentuan kebijakan hutang ini berkaitan dengan struktur modal karena hutang merupakan salah satu komposisi dalam struktur modal. Semakin besar proporsi hutang yang digunakan untuk struktur modal suatu perusahaan, maka akan semakin besar pula jumlah kewajibannya (Prihantoro, 2003). Perusahaan dinilai berisiko apabila memiliki porsi hutang yang besar dalam struktur modal, namun sebaliknya apabila perusahaan mengunakan hutang yang kecil atau tidak sama sekali maka perusahaan dinilai tidak dapat memanfaatkan tambahan modal eksternal yang dapat meningkatkan operasional perusahaan (Mamduh, 2004).

Menurut Sartono (2001), penggunaan hutang bagi perusahaan mengandung tiga dimensi, yaitu:

1. Pemberi kredit akan menitikberatkan pada besarnya jaminan atas kredit yang diberikan.                

(14)

2. Penggunaan hutang akan meningkatkan keuntungan perusahaan jika perusahaan mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari beban tetapnya. 3. Hutang sebagai sumber dana perusahaan dan sistem pengendali perusahaan.

Weston dan Brigham (1993) menyatakan bila kondisi ekonomi bagus, sangat memungkinkan perusahaan dapat menutup cost of capital dari hutang, maka hutang yang tinggi akan lebih menguntungkan. Penggunaan hutang dapat dibenarkan di dalam perusahaan sejauh penggunaan hutang tersebut diharapkan memberikan rentabilitas ekonomi yang lebih besar dari bunga hutang tersebut. Hal itu disebabkan karena penggunaan hutang tersebut diharapkan akan meningkatkan rentabilitas modal sendiri, yang menunjukkan bagian keuntungan yang menjadi hak pemilik perusahaan. Pada penelitian ini untuk mengukur modal atau sumber dana perusahaan yang di biayai dengan hutang, peneliti menggunakan debt to equity ratio (DER). Karena DER menunjukkan struktur modal yang digunakan oleh perusahaan (Suad husnan, 2004).

2.4. Tinjauan Tentang Debt to Equity Ratio (DER).

Menurut Riyanto (1998), Debt to Equity Ratio (DER) ialah Perbandingan antara total hutang dengan total modal sendiri yang mencerminkan struktur modal

perusahaan. Sedangkan menurut Sumadji, Yudha Pratama dan Rosita (2006:238)

berpendapat bahwa, Debt to Equity Ratio (DER) menunjukan perbandingan antara hutang dan modal sendiri untuk menilai batas kemampuan modal sendiri dalam menanggung resiko atau batas perluasan usaha dengan menggunakan modal

pinjaman.                

(15)

Menurut Darsono (2005: 54), Debt to Equity Ratio adalah rasio yang menunjukan persentase penyedian dana oleh pemegang saham terhadap pemberi pinjaman. Semakin tinggi rasio, semakin rendah pendanaan perusahaan yang disediakan oleh pemegang saham. Dari perspektif kemampuan membayar kewajiban jangka panjang, semakin rendah rasio akan semakin baik kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jangka panjangnya.

Suad Husnan dan Enny Pudjiastuti (2006:70) berpendapat bahwa, Debt to Equity Ratio (DER) merupakan perbandingan antara total hutang dengan total modal sendiri (ekuitas). Total hutang merupakan total liabilities (kewajiban), baik hutang jangka pendek maupun jangka panjang. Total modal sendiri atau yang biasa disebut juga dengan total shareholders equity merupakan total modal disetor dengan laba ditahan yang dimiliki perusahaan (Robert Ang, 1997). DER menunjukkan bagian dari setiap rupiah modal sendiri yang dijadikan jaminan untuk keseluruhan utang.

Menurut Kasmir (157:2009), debt to equity ratio digunakan untuk menilai utang dan modal dengan cara membandingkan antara seluruh utang dengan seluruh modal. DER juga digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam menutup sebagian atau seluruh hutang-hutangnya baik jangka panjang maupun jangka pendek dengan dana yang berasal dari total modal dibandingkan besarnya hutang. Oleh karena itu, Semakin rendah DER akan semakin tinggi kemampuan perusahaan untuk membayar seluruh kewajibannya. Sedangkan jika DER semakin tinggi akan semakin tinggi pula beban perusahaan untuk membayar seluruh kewajibannya.

               

(16)

Semakin tinggi DER maka akan menunjukkan semakin besarnya modal pinjaman yang digunakan untuk pembiayaan aktiva perusahaan (Brigham dan Houston, 2001). Jika DER perusahaan semakin tinggi, maka semakin besar financial leverage, dan semakin besar pula proporsi dana kreditur yang digunakan untuk menghasilkan laba. Oleh karena itu, Semakin tinggi DER maka semakin berisiko bagi perusahaan (kemungkinan perusahaan tidak dapat membayar semua hutangnya).

Semakin tinggi DER (DER>1) juga menunjukkan komposisi total hutang semakin besar dibanding dengan total modal sendiri. Hal ini di pertegas oleh Munawir (2001:120) yang mengatakan bahwa, semakin tinggi debt to equity ratio (DER) menunjukkan komposisi total hutang (jangka pendek maupun jangka panjang) semakin besar dibanding dengan total modal sendiri, sehingga berdampak semakin besar beban perusahaan terhadap pihak luar (kreditur). Hal tersebut sangat berpengaruh dan berkemungkinan menurunkan profitabilitas perusahaan yang secara otomatis juga akan menurunkan kinerja perusahaan, karena perusahaan lebih banyak menggunakan unsur hutang untuk melakukan aktivitas pendanaannya sehingga tingkat ketergantungan dengan pihak luar pun semakin tinggi.

2.5. Tinjauan Tentang Profitabilitas

Profitabilitas adalah kemampuan perusahaan memperoleh laba dalam hubungannya dengan penjualan, total aktiva, maupun modal sendiri (Sartono, 2001: 119). Profitabilitas juga merupakan alat yang digunakan untuk menganalisis kinerja manajemen, karena tingkat profitabilitas akan menggambarkan posisi laba

               

(17)

perusahaan. Para investor di pasar modal sangat memperhatikan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan dan meningkatkan laba, hal ini merupakan daya tarik bagi investor dalam melakukan jual beli saham, oleh karena itu manajemen harus mampu memenuhi target yang telah ditetapkan.

Tingkat profitabilitas suatu perusahaan memperlihatkan seberapa besar kemampuan perusahaan untuk memperoleh keuntungan dari keputusan pendanaan

yang dilakukan perusahaan. Hal ini sesuai dengan pendapat Brigham dan Houston

(2001:197) yang menyatakan bahwa profitabilitas adalah hasil bersih dari serangkaian kebijakan dan keputusan, khususnya keputusan keuangan. Sedangkan menurut Hasan (2003), profitabilitas adalah ukuran spesifik dari performance sebuah perusahaan, dimana ia merupakan tujuan dari manajemen perusahaan dengan memaksimalkan nilai dari para pemegang saham, optimalisasi dari berbagai tingkat return, dan meminimalisir risiko yang ada.

Menurut Kasmir (2008), Rasio profitabilitas merupakan rasio untuk menilai kemampuan perusahaan dalam mencari keuntungan. Rasio ini juga digunakan untuk mengukur efektifitas manajemen berdasarkan hasil pengembalian yang dihasilkan dari pinjaman dan investasi. Hal ini di pertegas oleh pendapat Weygandt et al. (1996), rasio profitabilitas adalah rasio yang digunakan untuk mengukur efektivitas manajemen perusahaan secara keseluruhan, yang ditunjukkan dengan besarnya laba yang diperoleh perusahaan.

               

(18)

Rasio profitabilitas dianggap sebagai alat yang paling valid dalam mengukur hasil pelaksanaan operasi perusahaan, karena rasio profitabilitas merupakan alat pembanding pada berbagai alternatif investasi yang sesuai dengan tingkat risiko. Semakin besar risiko investasi, diharapkan profitabilitas yang diperoleh semakin tinggi pula. Karena tingkat profitabilitas sangat penting tidak hanya bagi perusahaan, tapi bagi stakeholder lainnya. Bagi perusahaan, tentu profitabilitas berkaitan langsung dengan tingkat pendapatan yang akan diperoleh. Selain itu, profitabilitas yang tinggi akan berimplikasi pada naiknya harga saham yang selanjutnya akan menarik minat investor.

Menurut Harahap (2004), profitabilitas adalah kemampuan perusahaan mendapatkan laba melalui semua sumber yang ada, yaitu penjualan, kas, aset, dan modal. Sedangkan, menurut John (2005) Rasio profitabilitas merupakan perbandingan antara laba perusahaan dengan investasi atau ekuitas yang digunakan untuk memperoleh laba tersebut.

Menurut Buyung (2009), menyatakan bahwa laba yang diraih dari kegiatan yang dilakukan merupakan cerminan kinerja sebuah perusahaan dalam menjalankan usahanya. Mengukur besarnya laba menjadi begitu penting untuk mengetahui apakah perusahaan telah menjalankan usahanya secara efisien, karena efisiensi baru dapat diketahui dengan membandingkan laba yang diperoleh dengan aktiva atau modal yang menghasilkan laba tersebut, atau dengan kata lain adalah menghitung

               

(19)

profitabilitas. Menurut Kamus Bank Indonesia, profitabilitas adalah ukuran mengenai kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan selama periode tertentu.

Cara untuk menilai tingkat profitabilitas suatu perusahaan beraneka ragam dan tergantung pada laba dan modal mana yang akan diperbandingkan satu dengan yang lainnya. Ada beberapa penulis yang menggunakan rentabilitas untuk mengukur profitabilitas perusahaan seperti yang dikemukakan berikut ini :

Menurut Munawir (2001:115) menyatakan bahwa

“Rentabilitas atau profitabilitas menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba selama periode tertentu”.

Menurut Bambang Riyanto (1997:36) menyatakan bahwa :

“Cara penilaian rentabilitas suatu perusahaan ada dua yaitu rentabilitas ekonomi dan rentabilitas modal sendiri. Rentabilitas ekonomi adalah kemampuan suatu perusahaan dengan seluruh modal yang bekerja didalamnya untuk menghasilkan laba, sedangkan rentabilitas modal sendiri adalah kemampuan suatu perusahaan dengan menggunakan modal sendiri untuk menghasilkan laba.”

Indikator yang biasa digunakan untuk mengukur profitabilitas perusahaan adalah ROA (Return on Assets), ROE (Retun on Equity), ROI (Return on Investment), Net Profit Margin, CAR dan BOPO. Namun rasio yang sering dibicarakan yaitu ROA (Return on Assets), ROE (Retun on Equity) dan ROI (Return on Investment).

2.6. Retun on Equity (ROE)

Pada penelitian ini, indikator profitabilitas yang digunakan adalah Return On Equity (ROE). Menurut Sofyan Syafri Harahap (2004:305), Return On Equity (ROE)                

(20)

adalah rasio rentabilitas yang menunjukkan berapa persen diperoleh laba bersih bila diukur dari modal pemilik. ROE menunjukkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dengan menggunakan modal sendirinya sehingga besarnya ROE mengindikasikan tingkat efisiensi perusahaan dalam mengelola modal sendirinya untuk menghasilkan keuntungan. Rasio ini digunakan untuk mengukur efektivitas perusahaan didalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan ekuitas yang dimilikinya.

Analisis ROE pun sering diterjemahkan sebagai rentabilitas modal sendiri yang berarti juga ukuran untuk menilai seberapa besar tingkat pengembalian (prosentase) dari modal sendiri yang ditanamkan dalam bisnis yang bersangkutan. Beberapa ahli yang menyatakan pengertian Return on Equity Ratio (ROE) yaitu :

Menurut Agus Sartono (2001), ROE merupakan pengembalian hasil atau ekuitas yang jumlahnya dinyatakan sebagai suatu parameter dan diperoleh atas investasi dalam saham biasa perusahan untuk suatu periode tertentu.

Sedangkan menurut Agnes Sawir (2001:19) menjelaskan bahwa return on equity (ROE) adalah rasio yang memperlihatkan sejauh manakah perusahaan mengelola modal sendiri secara efektif, mengukur tingkat keuntungan dari investasi yang telah dilakukan pemilik modal sendiri atau pemegang saham perusahaan.

               

(21)

Menurut Keown (2005, p.86), Return On Equity (ROE) ialah rasio laba bersih setelah pajak terhadap modal sendiri yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba yang tersedia bagi pemegang saham perusahaan.

Menurut Brigham dan Houston (2010:149) menjelaskan bahwa, pengembalian atas ekuitas biasa (Return on Equity) merupakan rasio laba bersih terhadap ekuitas biasa yang mengukur tingkat pengembalian atas investasi pemegang saham biasa.

Menurut Robert Ang (1997), ROE menggunakan modal sendiri untuk menghasilkan laba atau keuntungan bersih. Besarnya ROE sangat dipengaruhi oleh besarnya laba yang diperoleh perusahaan, semakin tinggi laba yang diperoleh maka akan semakin meningkatkan ROE. ROE merupakan rasio antara laba sesudah pajak terhadap total modal sendiri (ekuitas) yang berasal dari setoran pemilik, laba tidak dibagi dan cadangan lain yang dimiliki oleh perusahaan. Rasio ini menggunakan ukuran profitabilitas dari sudut pandang pemegang saham.

Dilihat dari sudut investor, penanam modal lebih mengharapkan ROE yang tinggi daripada ROA, karena ROA sangat berkaitan dengan hutang perusahaan yang mengandung biaya hutang. Hal tersebut sesuai dengan metode Duppont dalam Robert Ang (1997) yang menyatakan bahwa ROA masih mengandung leverage multiplier. Dengan demikian, alat pengukur kinerja perusahaan dari rasio profitabilitas yang paling popular di antara para penanam modal dan manajer senior adalah hasil atas hak pemegang saham yaitu return on equity (ROE). Hal ini diperkuat oleh pendapat

               

(22)

Husnan (2001) yang menyatakan bahwa, keberhasilan kinerja keuangan perusahaan dapat diukur dari return on equity.

2.7. Faktor-faktor yang mempengaruhi Profitabilitas

Menurut para peneliti terdahulu pada penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi profitabilitas yaitu sebagai berikut :

Kwan Billy Kwandinata (2005), melakukan penelitian tentang profitabilitas dan beberapa faktor yang mempengaruhinya. Variabel dependen ROE, sedangkan variabel independennya adalah DER, NPM, TAT, Institusional Ownership. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regressi berganda untuk pengujian pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Hasil dari penelitian tersebut adalah variabel DER, NPM, TAT berpengaruh positif terhadap ROE, sedangkan variabel institusional ownership tidak berpengaruh signifikan terhadap ROE sehingga hipotesis ditolak. Pengujian secara simultan DER, NPM, TAT, institusional ownership terhadap ROE berpengaruh signifikan karena pada level kurang dari 5% sehingga hipotesis diterima.

Debora Setiati Santosa (2009), melakukan penelitian tentang Analisis pengaruh Current Ratio, Total Asset Turnover dan Debt to Equity Ratio terhadap ROE (Studi kasus pada perusahaan manufaktur go public di BEI periode 2005-2007). Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: sebagai Variabel-variabel indipenden CR, TAT, DER. Metode yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah analisis regresi berganda menggunakan uji t, uji F, dan Adjusted R². Hasil dari

               

(23)

penelitian tersebut variabel TAT berpengaruh signifikan positif terhadap ROE perusahaan. Sedangkan variabel CR, DER tidak berpengaruh signifikan terhadap ROE.

2.8. Hubungan DER dengan ROE

Tinggi rendah DER akan mempengaruhi tingkat pencapaian ROE yang dicapai oleh perusahaan. Hal ini sesuai dengan pendapat Brigham (1990) yang mengatakan bahwa, jika biaya yang ditimbulkan oleh pinjaman (cost of debt ) lebih kecil daripada biaya modal sendiri (cost of equity), maka sumber dana yang berasal dari pinjaman atau hutang akan lebih efektif dalam mengahasilkan laba (meningkatkan return on equity); demikian sebaliknya. Bagi perusahaan hutang tidak boleh melebihi modal sendiri agar beban hutangnya tidak terlalu tinggi. Dimana hutang (DER) yang tinggi menunjukkan struktur permodalan usaha lebih banyak memanfaatkan hutang terhadap ekuitas.

Hutang mempunyai dampak yang buruk terhadap kinerja perusahaan, karena tingkat hutang yang semakin tinggi berarti beban bunga pun akan semakin besar yang artinya mengurangi keuntungan. Perusahaan yang pertumbuhan labanya rendah akan berusaha menarik dana dari luar untuk mendapatkan investasi dengan mengorbankan sebagian besar labanya. Sehingga perusahaan dengan pertumbuhan laba rendah akan semakin memperkuat hubungan antara DER yang berpengaruh negatif dengan profitabiltas. Dimana peningkatan utang akan mempengaruhi besar kecilnya laba perusahaan, yang mencerminkan kemampuan perusahaan dalam

               

(24)

memenuhi semua kewajibannya, yang ditunjukkan oleh beberapa bagian modal sendiri yang digunakan untuk membayar seluruh kewajibannya, karena semakin besar penggunaan utang maka semakin besar kewajibannya, (Ni Putu Ena Marberya, dan Agung Suryana, n.d).

Sedangkan perusahaan dengan laba bertumbuh mempunyai kesempatan yang profitable dalam mendanai investasinya secara internal sehingga perusahaan menghindar untuk menarik dana dari luar dan berusaha mencari solusi yang tepat atas masalah-masalah yang terkait dengan hutangnya, selain itu dengan profitabilitas yang meningkat akan meningkatkan laba ditahan sehingga akan mengurangi minat perusahaan untuk melakukan pinjaman dan rasio DER menurun, (Barclay, Smith dan Watts, (1998) yang dikemukakan Subekti, 2001).

Menurut Horne dan Wachowicz (2006 : 209) Semakin tinggi hutang (DER) menunjukkan semakin besar beban perusahaan terhadap pihak luar, hal ini sangat memungkinkan menurunkan kinerja perusahaan, karena tingkat ketergantungan dengan pihak luar semakin tinggi. Maka pengaruh antara DER dengan ROE adalah negatif, (Brigham dan Houston, 2001). Sedangkan menurut Suad Husnan (2001) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa DER tidak signifikan berpengaruh terhadap ROE bagi pemegang saham multinasional, sedangkan bagi pemegang saham mayoritas bukan multinasional DER berpengaruh signifikan negatif terhadap ROE. Dilanjutkan dengan penelitian Kwan Billy Kwandinata (2005) yang menunjukkan pengaruh signifikan positif DER terhadap ROE.

               

Referensi

Dokumen terkait

Keith Davis dalam Anwar Prabu Mangkunegara (2017:129) mengemukakan bahwa “discipline is management action to enforce organization standarts”. Berdasarkan pendapat Keith

menunjukkan bahwa buku ajar konsep dasar IPA SD yang dikembangkan dapat digunakan sebagai buku teks dalam pembelajaran konsep IPA SD dan dapat meningkatkan minat

Jagatrah Jaya Palembang dalam melakukan kegiatan peyewaan alat berat, Sistem Informasi Penyewaan Alat Berat Berbasis Desktop dan SMS Gateway berupa Transaksi sewa,

RENSTRA disusun untuk memenuhi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) sekaligus sebagai dokumen perencanaan dalam kurun waktu lima tahunan, yang akan

Distribusi awal onset tanam padi pada musim tanam pertama yang umumnya dilakukan petani: (A) Kalimantan Barat, (B) Kalimantan Tengah, (C) Kalimantan Timur, (D) Kalimantan Selatan,

Intervensi yang direncanakan pada nyeri akut adalah observasi nyeri dengan PQRST, berikan posisi nyaman, ajarkan nyeri akut adalah observasi nyeri dengan PQRST, berikan

Meningkatnya kebutuhan manusia menyebabkan banyaknya hutan mangrove yang ditebang, diubah untuk berbagai kepentingan seperti pertambakan, pemukiman dan

Setelah teralokasinya DAK Subbidang Jalan mulai dari Tingkat Pusat/Kementerian, kemudian tingkat pemerintah provinsi, dana untuk penanganan jalan baik