PENGARUH PAPARAN BISING KONTINYU AKUT TERHADAP CD8
+PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus).
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
MOHD NAZALUDDIN BIN MAT NAZIR
G 0006515
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
PENGESAHAN SKRIPSI
Skripsi dengan judul : Pengaruh Paparan Bising Kontinyu Akut terhadap CD8
+pada Tikus Putih (Rattus norvegicus)
Mohd Nazaluddin bin Mat Nazir, G0006515, Tahun 2010
Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada Hari Kamis, Tanggal 2 Sepetember 2010
Pembimbing Utama
Nama : Margono, dr., MKK
NIP
: 195409151986011001
...………
Pembimbing Pendamping
Nama : Dr. Hartono, dr., M.Si
NIP
: 196507271997021001
...………
Penguji Utama
Nama : drg. Enny Ratna Setyawati
NIP
: 19521103198003200
...………
Penguji Pendamping
Nama : dr. Yuliana Heri Suselo
NIP
: 198007182006042001
...………
Surakarta, ……….
Ketua Tim Skripsi
Dekan FK UNS
PERNYATAAN
Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan
sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam
naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Surakarta, 2 September 2010
Mohd Nazaluddin bin Mat Nazir
G0006515
ABSTRAK
Mohd Nazaluddin bin Mat Nazir, G0006515, Tahun 2010. Pengaruh Paparan
Bising Kontinyu Akut terhadap CD8
+pada Tikus Putih (Rattus norvegicus).
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Tujuan Penelitian
: Bunyi bising mempunyai dampak yang signifikan dalam
kualitas kehidupan dan kesehatan seseorang dan bunyi bising dapat menimbulkan
dampak kepada sistem imun. Jika bising tersebut adalah secara kontinyu dalam satu
jangka waktu yang singkat, ianya akan berpotensi untuk menjadi stressor terhadap
perubahan CD8
+yang bertanggunjawab kepada sistem imunologi tubuh. Berdasarkan
latar belakang masalah di atas, maka pada penelitian ini adalah bertujuan untuk
mengetahui apakah ada pengaruh antara paparan akut bising kontinyu 3 hari terhadap
kadar CD8
+pada tikus putih (Rattus norvegicus).
Metode Penelitian
: Penelitian ini bersifat eksperimen laboratorium dengan
rancangan penelitian ‘the post test only control group design’. Lokasi penelitian
adalah di rumah kaca Laboratorium Sentral MIPA Biologi, Universitas Sebelas Maret
Surakarta. Populasi penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) yang berasal
dari pembekal hewan ujicoba laboratorium di Yogyakarta dengan kriteria inklusi
jantan, galur Wistar, berat badan ±150-250 gram dan berumur 2-3 bulan. Tikus putih
diambil secara random sejumlah 27 ekor, kemudian dibagi dalam 3 kelompok yaitu:
Kelompok I (kontrol), Kelompok II (paparan intensitas 72 dB) dan Kelompok III
(paparan intensitas 90 dB). Tikus putih diadaptasikan selama 7 hari pada lingkungan
laboratorium kemudian diberi paparan bising secara kontinyu (frekuensi 350 Hz)
dengan pengaturan 5 jam (16.00-21.00) paparan kontinyu setiap hari selama 3 hari.
Hari berikutnya hewan uji tersebut diberi sedasi dengan kloroform sebelum darah
diambil dengan spuit steril secara tehnik intrakardiak. Darah dimasukkan kedalam
tabung EDTA sebelum dilakukan proses analisis ‘flow cytometry’ terhadap CD8
+di
Laboratorium Patologi Klinik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Hasil dinilai
dengan tingkat persentase CD8
+Hasil Penelitian : Berdasarkan hasil statistik, terdapat perbedaan yang bermakna
antara kelompok K-P1-P2, K-P2 dan K-P2. Perbedaan yang tidak bermakna antara P1
dan P2.
Simpulan : Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa paparan bising
kontinyu akut mempengaruhi kadar CD8
+pada tikus putih (Rattus norvegicus).
ABSTRACT
Mohd Nazaluddin bin Mat Nazir, G0006515, 2010. The Effect of Acute
Continuous Noise Exposure to the CD8
+in White Rat (Rattus norvegicus).
Faculty of Medicine, University of Sebelas Maret, Surakarta.
Objective: Noise has a significant impact in the quality of life and health of a person
and can cause impacts to the immune system. If the noise is continuous within a short
period of time, it's going to have the potential to become a stressor in a change of
CD8
+levels which is responsible to the body's immunological system. Based on the
background of the problems mentioned above, then the research is intended to
determine whether there is any influence between acute exposure of continuous noise
for three days and CD8
+levels in the white rat (Rattus norvegicus).
Methods: The nature of this research is a laboratory experiments with the post test
only control group design. The observation was done in a greenhouse, Faculty of
Science Central Laboratory, University of Sebelas Maret Surakarta. The population is
white rat (Rattus norvegicus) derived from laboratory animal’s supplier from
Yogyakarta with the inclusion criteria of male Wistar strain, weight 150-250 grams
and is ± 2-3 months old. Then, 27 of white rats are taken randomly and divided into
three groups: Group I (control), Group II (exposure intensity of 72 dB) and Group III
(exposure intensity of 90 dB). White rats are left for adaptation for 7 days in the
laboratory environment and then given continuous exposure to the noise (frequency
350 Hz) by setting of 5 hourly (16:00 to 21:00) continuous exposure every day for
three days. On the next day, the subjects were given sedation with chloroform before
the blood is withdrawn with sterile syringes by intracardiac technique. The blood was
stored in EDTA blood tube temporarily for transportation before been introduced to
the flow cytometry analysis process to check for CD8
+changes in the Laboratory of
Clinical Pathology, University of Gadjah Mada, Yogyakarta. The results then
assessed by the percentage of CD8
+levels as indicator.
Results: Based on statistical results, there were significant differences between
groups P1-P2-K, K-K-P2 and P2. No significant difference between P1 and P2.
Conclusion: The results of this study concluded that acute exposure to continuous
noise affecting the changes in CD8
+in the white rat (Rattus norvegicus).
____________________________________________________________________
PRAKATA
Syukur Alhamdulillah ke hadirat Allah SWT atas segala karunia dan
rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Paparan
Bising Kontinyu Akut terhadap CD8
+pada Tikus Putih (Rattus norvegicus)”.
Penyusunan skripsi ini sebagai salah satu syarat kelulusan tingkat sarjana di Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Dalam penelitian dan penulisan laporan ini, penulis tidak terlepas dari
berbagai hambatan. Namun berkat bimbingan dan bantuan banyak pihak, penulis
dapat menyelesaikannya. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan rasa terima
kasih kepada:
1. Prof. Dr. A.A.Subijanto, dr., MS. selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
2. Muthmainah, dr., M.Kes., selaku Ketua Tim Skripsi Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Margono, dr., MKK selaku Pembimbing Utama yang telah memberikan
bimbingan, saran dan motivasi kepada penulis.
4. Dr. Hartono, dr., M.Si. Selaku pembimbing pendamping atas segala saran dan
bimbingan yang telah diberikan kepada penulis.
5. drg. Enny Ratna Setyawati, selaku penguji utama yang telah memberikan saran
dan nasihat untuk menyempurnakan kekurangan skripsi ini.
6. dr. Yuliana Heri Suselo, selaku penguji pendamping yang telah memberikan saran
dan nasihat untuk memperbaiki kekurangan dalam penulisan skripsi ini.
7. Kepala Laboratorium MIPA UNS beserta segenap staf atas kerjasamanya.
8. dr. Teguh Triyono, Sp.PK(K), Dosen Patologi Klinik, FK UGM atas konsultasi
dan ijinnya menggunakan fasilitas laboratorium.
9. dr. Umi Solekhah Intansari, M.Kes., Sp.PK(K)
,
Dosen Patologi Klinik, FK UGM
atas konsultasi dan ijinnya menggunakan fasilitas laboratorium.
10. Seluruh keluarga dan teman-teman atas motivasi, bantuan dan kerjasamanya
selama pelaksanaan penelitian sampai selesainya penulisan skripsi ini.
11. Semua pihak yang tidak sempat penulis sebut satu persatu yang telah banyak
memberikan bantuan kepada penulis sehingga terselesainya penulisan skripsi ini
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih terdapat
banyak kekurangan. Oleh itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca untuk perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini. Akhir
kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca, bagi dunia kedokteran pada
khususnya dan ilmu pengetahuan pada umumnya.
DAFTAR ISI
PRAKATA ………..………...……… v
DAFTAR ISI………..………....…………. vi
DAFTAR TABEL………..………....………. viii
DAFTAR LAMPIRAN………..………...…...……..……. ix
BAB I
PENDAHULUAN ……..…...……….…….…………. 1
A. Latar belakang ……….………..……….…... 1
B. Perumusan Masalah .………... 3
C. Tujuan Penelitian ………..………... 3
D. Manfaat penelitian ………..…………. 4
BAB II
LANDASAN TEORI ………..…………. 5
A. Tinjauan Pustaka ……….. 5
1. Bunyi .……… 5
2. Bising
……….……… 5
3. Klasifikasi Bising ………....……….. 6
B. Dampak dari Bunyi Bising .………....……….. 8
1. Gangguan Fisiologi ………...……….. 9
2. Gangguan Pendengaran ………...……… 9
3. Gangguan Psikologis ………...……… 10
4. Gangguan Komunikasi ………...………. 10
5. Gangguan Sistem Hormonal ………...……… 10
C. Limfosit dan Sel T CD8
+……….. 11
D. Hubungan antara bunyi bising dengan Sel T CD8
+………... 14
E. Kerangka Pemikiran ……….. 18
F. Hipotesis ……… 18
BAB III
METODE PENELITIAN ………..……… 19
A. Jenis Penelitian ……….. 19
C. Subjek Penelitian ………...……… 19
D. Populasi dan Sampel ………. 19
E. Teknik Sampling ………... 20
F. Rancangan Penelitian ………...………. 20
G. Kerangka Penelitian ……….. 21
H. Instrumen dan Bahan Penelitian ………...……… 22
I. Cara Kerja ………...………….. 22
J. Pelaksanaan Penelitian ………..……… 23
K. Pengukuran Hasil ………...…………. 24
L. Identifikasi Variabel Penelitian ……….……… 24
M.Teknik Analisis Data Statistik ……….………. 28
BAB IV HASIL PENELITIAN ………...……… 29
A. Kareteristik Sampel ……….. 29
B. Kareteristik Lokasi Penelitian ………....….. 30
C. Hasil Penelitian ……….……… 31
D. Analisis Data ……….……… 33
BAB V
PEMBAHASAN ………..……. 34
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ………..……… 37
A. Simpulan ……….……….. 37
B. Saran ………. 37
DAFTAR PUSTAKA ………..……… 38
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Rata-rata berat badan tikus putih sebelum diberi paparan (satuan=gram)
Tabel 2. Rata-rata hasil pengukuran suhu (satuan = Celsius)
Tabel 3. Rata-rata hasil pengukuran kelembaban (satuan = persen)
Tabel 4. Rata-rata hasil analisis CD8
+flow cytometry (dalam satuan %) pada setiap
sampel darah masing-masing kelompok tikus putih (Rattus norvegicus)
Tabel 5. Hasil pengukuran berat badan tikus putih (gram)
Tabel 6. Hasil pengukuran suhu (satuan = Celsius)
Tabel 7. Hasil pengukuran kelembaban (satuan = persen)
LAMPIRAN
Lampiran 1. Tabel hasil pengukuran berat badan, suhu, kelembaban dan CD8
+Lampiran 2. Data hasil uji statistik Kruskal-Wallis
Lampiran 3. Data hasil uji statistik Oneway ANOVA untuk berat badan
Lampiran 4. Data hasil uji statistik Oneway ANOVA untuk suhu
Lampiran 5. Data hasil uji statistik Oneway ANOVA untuk kelembaban
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di zaman sekarang, perkembangan yang pesat berlaku dalam semua
sektor. Proses modernisasi ini penting untuk perkembangan sesebuah negara
tetapi dampaknya harus diperhatikan. Pembangunan yang tidak dikontrol akan
banyak membawa dampak yang buruk terhadap lingkungan dan manusia.
Dampak buruk tersebut antara lain polusi air, tanah, udara dan lain-lain yang
mengancam kesehatan masyarakat. Contoh salah satu dampak dari proses
perkembangan ini yang jarang diperhatikan adalah emisi bunyi bising.
Pencemaran bunyi atau bising adalah salah satu dari polusi karena mengakibatkan
ketidaknyamanan dan gangguan pada manusia. Kebisingan merupakan salah satu
polutan yang mendapat protes dan pada umumnya merupakan hasil samping
pemanfaatan teknologi tersebut (Sutter, 1991). Bunyi bising mempunyai dampak
yang signifikan dalam kualitas kehidupan dan kesehatan seseorang (Sutter, 1991).
Definisi kesehatan itu sendiri diartikan sebagai kesehatan kepada seluruh keadaan
fisik dan mental, dan juga bebas dari sebarang penyakit (WHO, 1971).
Kebisingan yang terus menerus dapat menyebabkan kenaikan tekanan darah dan
stress di tempat kerja (Lercher et al., 1993), gangguan sistem endokrin (Budiman,
2007), gangguan fisiologis dan psikologis (Roestam, 2004), gangguan
Bunyi bising diartikan sebagai suatu bunyi yang tidak dikehendaki
dengan intensitas (kebisingan) diukur dalam desibel (dB) dan frekuensinya diukur
dalam Herzt (Hz). Bukan hanya intensitas bunyi bising yang menentukan dampak
tetapi lama paparan juga memainkan peran yang penting sehingga timbulnya efek
samping (EASHW, 2009). Bunyi bising harus dikenal pasti sebagai ancaman
besar kepada kesehatan manusia (Suess, 1973). Bunyi bising itu sendiri jarang
menyebabkan ancaman yang serius kepada manusia tetapi paparan yang lama dan
terus menerus akan menyebabkan timbulnya efek samping (ONAC, 1981). Bunyi
bising seringkali menyebabkan ketidaknyamanan dan kadangkala kesakitan,
tetapi jarang sekali menyebabkan komplikasi yang serius seperti ketulian,
ketidakseimbangan tubuh dan lain-lain dalam jangka waktu yang sebentar. Perlu
paparan lama dan terus menerus untuk menyebabkan dampak serius bisa timbul.
Dampak bising terhadap kesehatan tergantung kepada kuatnya bising (intensitas),
tipe bising tersebut (terus-menerus, sementara, frekuensi, melengking) dan lama
pajanannya (Karvanen, 1986). Sumber bising yang dikenal pasti antara lain bising
lalulintas, pesawat udara, rel kereta api, proyek pembangunan, industri, bising
domestik dan produk konsumer (EPA, 1981). Bunyi bising menyebabkan
ketidaknyamanan dan meningkatkan morbiditas pada manusia (Niemann et al.,
2006).
Bunyi bising dapat menimbulkan dampak kepada sistem imun (Nevid,
biasanya dilakukan pada binatang coba. Kebanyakan penelitian dilakukan pada
tikus atau mencit karena lebih mudah diberi perlakuan dan variabel-variabel luar
atau pengganggu dapat dikendalikan dengan prediksi akan memberikan dampak
positif maupun negatif pada komponen-komponen sistem imun. Penelitian pada
hewan coba sering dilakukan karena lebih praktis, mudah dan murah berbanding
penelitian menggunakan manusia yang rumit, sulit dan kompleks (The American
Physiological Society, 2006).
Terdapat penelitian yang menunjukkan terjadinya peningkatan kadar
kortisol serta penurunan jumlah limfosit dan kadar IgG serum (p<0,01) pada
mencit dengan paparan bising dengan waktu 5 jam perhari dengan intesitas 90 dB
(A) selama 3 hari menunjukkan kenaikkan kadar kortisol, tiada perubahan
signifikan CD4
+dan CD8
+dan kadar IgG serum (p<0,01). (Kui Cheng, 2007).
Pada penelitian yang melibatkan perlakuan stress psikologis pada tikus yang
terinfeksi herpes simplex-1 (HSV-1) fase laten dan efeknya terhadap sel T CD8
+,
ternyata hasil yang didapatkan adalah reaktivasi infeksi herpes simplex dan
penurunan kapasitas sel CD8
+sebanyak 65% untuk beraksi dengan reaktivasi
HSV-1 tersebut (Michael, 2007). Berdasarkan penjelasan dan uraian di atas, maka
penulis mencoba untuk mencari hubungan antara paparan bising kontinyu akut
dengan efek supresinya pada sistem imunitas tubuh sebagai stressor. Penulis
mencoba melakukan penelitian untuk mengetahui “Pengaruh Paparan Bising
B. Rumusan Masalah
Apakah ada pengaruh paparan bising kontinyu akut terhadap CD8
+pada tikus putih (Rattus norvegicus)?
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui apakah ada pengaruh paparan bising kontinyu akut
terhadap CD8
+pada tikus putih (Rattus norvegicus).
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Meninjau lebih jauh dan memberi bukti-bukti secara empirik sesuai
dengan landasan pengetahuan tentang hubungan antara paparan bising
kontinyu akut terhadap kadar CD8
+pada tikus putih
.(Rattus norvegicus).
2. Manfaat Aplikatif
Penelitian ini dapat dijadikan landasan dasar kepada penelitian uji
klinis selanjutnya pada hewan yang tingkatannya lebih tinggi atau pada
manusia, serta untuk mencari efek dan implikasi bising kontinyu terhadap
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Bising
a. Bunyi
Bunyi timbul akibat terjadi perubahan mekanik pada gas, zat cair,
atau gas yang merambat kedepan dengan kecepatan tertentu secara
tranversal dan longitudinal, lain dengan cahaya yang menjalar secara
transversal saja (Gabriel, 1996). Bunyi adalah suatu sensasi yang
dihasilkan oleh getaran longitudinal molekul-molekul di lingkungan
eksternal, yaitu apabila berlaku fase pemadatan dan penghalusan molekul
secara bergantian, yang mengenai membrana timpani (Ganong, 2005).
Bunyi atau bising dihitung dalam satuan desibel (dBA). 0 dBA
adalah suara terhalus yang manusia mampu mendengar. Para ahli sepakat
bahwa paparan secara terus-menerus pada bising di atas 85 dBA,
lama-kelamaan akan membahayakan pendengaran. Secara umum, semakin kuat
bunyi, semakin kurang waktu yang diperlukan untuk mempengaruhi
b. Bising
Bising adalah suara atau bunyi yang tidak diinginkan yang
mungkin mempunyai efek merugikan bagi kesejahteraan individu dan
populasi (UNEP & WHO).
Terdapat beberapa tipe klasifikasi bising antaranya adalah,
1) Berdasarkan frekuensi, tingkat tekanan bunyi, tingkat bunyi dan
tenaga bunyi maka bising dapat dibagi dalam 3 kategori:
a) Audible Noise (Bising Pendengaran)
b) Bising ini disebabkan oleh frekuensi bunyi antara 31, 5- 8,000 Hz.
c) Occupational Noise (Bising Berhubungan Dengan Pekerjaan)
d) Bising ini disebabkan oleh bunyi mesin ditempat kerja, bising dari
mesin ketik.
e) Impulse Noise ( Impact Noise = Bunyi Impulsif)
f) Bising yang terjadi akibat adanya bunyi yang menyentak, misalnya
pukulan palu, misalnya pukulan palu, ledakan meriam bedil.
2) Berdasarkan waktu terjadinya, maka bising dibagi dalam beberapa
jenis:
a) Bising kontinyu dengan spektrum luas, misalnya bising karena
mesin, kipas angin.
b) Bising kontinyu dengan spektrum sempit, misalnya bunyi gergaji,
c) Bising terputus-putus (intermittent), misalnya lalu lintas, bunyi
kapal terbang di udara.
d) Bising sehari penuh (full-time noise).
e) Bising setengah hari (part-time noise).
f) Bising terus menerus (steady noise).
g) Bising impulsif (impuls noise) ataupun bising sesaat (letupan).
2) Berdasarkan skala intensitas, maka tingkat kebisingan dapat dibagikan
kepada beberapa tingkat yaitu Sangat Tenang, Tenang, Sedang, Kuat,
Sangat Hiruk Pikuk dan Menulikan (Gabriel, 1988).
3) Berdasarkan pengaruhnya terhadap manusia, bising dapat dibagikan
kepada:
a) Bising yang mengganggu (Irritating noise),
Intensitasnya tidak terlalu keras, misalnya berdengkur.
b) Bising yang menutupi (Masking noise),
Merupakan bising yang menutupi pendengaran yang jelas.
Secara tidak langsung bunyi ini akan membahayakan kesehatan
karena teriakan atau isyarat tanda bahaya dapat tenggelam dalam
bising dari sumber lain.
Adalah bunyi yang intensitasnya melampaui NAB. Bunyi
jenis ini dapat merusakkan atau menurunkan fungsi pendengaran
(Buchari, 2007).
5) Berdasarkan Lipscomb (1978), Klasifikasi Bising yaitu:
a) Bising Steady (Kontinyu),
Bising yang terus menerus dan intesitasnya relatif tetap
untuk periode waktu yang panjang seperti suara air terjun, bising
kapal terbang, turbin, mesin listrik. Bising ini relatif tetap dalam
batas kurang lebih 5 dB untuk periode 0.5 detik berturut-turut.
b) Bising Non-Steady,
(1) Bising fluktuasi yaitu bising yang terus menerus tetapi
intesitasnya naik turun secara cepat atau lambat sepanjang
periode observasi seperti lalulintas, televisi, bandara dan radio.
(2) Bising intermitten yaitu bising terus menerus yang
intensitasnya pada periode tertentu turun begitu rendah sampai
tidak terukur, pada level yang tidak membahayakan antara
periode-periode dengan amplitude tinggi seperti konser rock,
gergaji mesin, pekerjaan bangunan.
(3) Bising impulsif seperti tembakan, ledakan, palu memiliki
perubahan tekanan suara melebihi 40 dB dalam waktu sangat
(4) Bising impulsif berulang, sama seperti bising impulsif tetapi
berlaku berulang kali.
6) Klasifikasi Bising Akut dan Kronik (Kui-Cheng, 2007)
a) Bising akut
: Paparan jangka pendek (1 hari-3 hari)
b) Bising kronik
: Paparan jangka panjang (> 21 hari)
c. Dampak dari Bunyi Bising
Bising dapat berdampak pada gangguan kesehatan individu. Faktor
yang mempengaruhi dampak kebisingan terhadap gangguan kesehatan
adalah kuatnya bising (intensitas), tipe bising tersebut (terus menerus,
sementara, frekuensi, melengking atau tinggi) dan lama pajanan
(Karvanen dan Mikheev, 1986).
Dampak kebisingan yang dapat merugikan kesehatan antaranya
adalah seperti berikut:
1) Gangguan Fisiologi
Efek fisiologi kebisingan terhadap kesehatan manusia dapat
dibedakan dalam efek jangka panjang dan efek jangka pendek. Efek
jangka pendek yang terjadi dapat berupa reflek otot yaitu kontraksi
otot-otot, reflek pernapasan yaitu takipneu, dan respon sistem
kardiovaskular berupa takikardi dan meningkatnya tekanan darah.
gastrointestinal dapat berupa gangguan dismotilitas sampai timbulnya
keluhan dispepsia. Efek jangka panjang pula terjadi akibat adanya
pengaruh hormonal. Efek ini dapat berupa gangguan homeostasis
tubuh kerena hilangnya keseimbangan simpatis dan parasimpatis yang
secara klinis dapat berupa keluahan psikosomatik akibat gangguan
saraf otonom, serta aktivasi hormon kelenjar adrenal seperti hipertensi
dan disritmia jantung (Arifiani, 2004).
Berdasarkan badan WHO, dilatasi dan spasme arteri dapat
disebabkan oleh bising kontinyu dengan intensitas 100 dB serta
terdapat gangguan keseimbangan disebabkan bising dengan intensitas
95-120 dB.
2) Gangguan Pendengaran
Efek pada pendengaran adalah gangguan paling serius karena
dapat menyebabkan ketulian (Roestam, 2004). Ketulian bersifat
progresif, mula-mula efek kebisingan pada pendengran adalah
sementara dan pemulihan terjadi secara cepat sesudah dijauhkan dari
sumber bising, namun bila terus menerus bekerja di tempat bising,
daya dengar akan hilang secara menetap (Suma’mur, 1996).
Kehilangan pendengaran disebabkan karena bising impulsif spektrum
telinga tengah dengan intensitas bising 80-90 dB pada telinga yang
mengalami inflamasi (WHO, 1980).
3) Gangguan Psikologis
Dampak psikologis akibat bising lingkungan telah lama
dipelajari dalam penelitian epidemiologi di antaranya ketergangguan
(annoyance), kesehatan psikososial dan gangguan psikiatris. Efek
paling utama dari bising telah diteliti dalam penelitian epidemiologi
adalah ketergangguan (annoyance) (Passchier, 2000). Sedangkan
menurut Roestam (2004) gangguan psikologis dapat berasa tidak
nyaman, kurang konsentrasi, susah tidur, cepat marah. Bila kebisingan
diterima terlalu lama dapat menyebabkan penyakit psikosomatik
berupa gastritis, stres, kelelahan dan lain-lain.
4) Gangguan Komunikasi
Bising dapat mengganggu komunikasi yang berakibat
menurunnya kualitas bisnis dan pendidikan (Arifiani, 2004).
Gangguan komunikasi biasanya disebabkan masking effect (bunyi
yang menutupi pendengaran yang jelas) atau gangguan pejelasan
suara. Komunikasi pembicaraan harus dilakukan dengan cara berteriak
(Roestam, 2004)
Bising adalah salah satu penyebab stres yang dapat
mempengaruhi tubuh dengan meningkatnya sekresi dari hormon
stress, seperti adrenalin dan dopamine (Kui-Cheng, 2007). Selain itu
stressor juga dapat menyebabkan perubahan fisiologis dalam
membantu individu mengatasi stressor. Aktivasi stress akan
melibatkan
jaras
Hypothalamic–Pituitary–Adrenocortical
Axis
(Padgett, 2003). Stressor menyebabkan peningkatan corticotrophin
releasing factor (CRF) hipothalamus, yang memicu aktivitas HPA
aksis merangsang respon ‘fight or flight’ (Harmut, 2000). Pada kondisi
stress terjadi peningkatan sekresi corticotropic releasing factor (CRF)
oleh hipotalamus, yang menyebabkan pelepasan adrenocorticotropic
hormon (ACTH). Kemudian ACTH mengaktifkan proses biosintesis
dan melepaskan glukokortikoid terutama kortisol dari korteks adrenal
(Gunawan, 2007).
Peningkatan kortisol akan mempunyai efek terhadap sistem
imun dan reaksi inflamasi yaitu mengurangi inflamasi dari jangkitan
luka denga cara mensupresi pembentukan dan pelepasan asam
arakidonat yang merupakan prekursor utama mediator inflamasi,
mengurangi proliferasi dan diferensiasi sel mast lokal, menstabilkan
lisosom, mengurangi produksi aktivator platlet dan nitrit oksida,
interferon yang merupakan mediator respon imun, inhibisi produksi
sitokin sel Th1 seperti IL-2 dan IFN-γ dan inhibisi sinyal IL-2, IL-4,
IL-7, IL-15, dan IFN-γ pada penggunaan glukokortikoid sintetik
(Kavathas et al., 1984).
2. Limfosit dan Sel T CD8
+Sistem imun tubuh manusia berguna untuk melakukan resistensi terhadap
penyakit, terutama penyakit infeksi. Sistem imun tubuh manusia terdiri atas
sistem imun alamiah atau non-spesifik (innate/natural/native) dan didapat atau
spesifik (adaptive/acquired). Sistem imun spesifik memiliki kemampuan untuk
mengenali benda asing (antigen) dan kemudian menyingkirkannya dari sistem
tubuh untuk mencegah kerusakan pada tubuh. Sistem imun tubuh spesifik ini
utamanya diperankan oleh sel darah putih (leukosit) yang berperan banyak dalam
menjalankan sistem kekebalan humoral maupun selular. Fungsi utama sistem
imun spesifik seluler adalah pertahanan terhadap bakteri yang hidup intraseluler,
virus, jamur, parasit dan keganasan (kanker) (Baratawidjaya, 2006).
Limfosit, adalah salah satu jenis dari leukosit yang berperan dalam sistem
imun tubuh, baik humoral maupun selular. Lebih spesifik lagi, limfosit dibagi
menjadi 3, yaitu: limfosit T, Limfosit B dan Natural Killer Cell. Limfosit T dan B
berperan khususnya dalam sistem imun selular, sedangkan sel Natural Killer
berperan dalam sistem imun humoral (Baratawidjaya, 2006).
berasal dari sumsum tulang yang kemudian berdeferensiasi menjadi prolimfosit
dan seterusnya berdeferensiasi menjadi limfosit kecil (Guyton dan Hall, 1996).
Limfosit B mengalami deferensiasi di sumsum tulang, sedangkan Limfosit T
mengalami deferensiasi di timus atas pengaruh berbagai faktor asal timus.
Sebanyak 90-95% dari semua sel di timus mati dan hanya 5-10% menjadi matang
dan meninggalkan timus seterusnya masuk ke sirkulasi (Baratawidjaya, 2006).
Limfosit T naif adalah limfosit matang yang belum berdeferensiasi, belum
pernah terpajan dengan antigen. Setelah terpajan dengan antigen yang diikat
MHC yang dipresentasikan APC atau rangsang sitokin spesifik akan berkembang
menjadi subset limfosit T berupa CD4
+dan CD8
+dengan fungsi efektor yang
berlainan (Baratawidjaya dan Rengganis, 2006).
Sepanjang proses limfopoiesis, sitokin yang merupakan mediator solubel
short-acting banyak memainkan peran penting seperti regulasi pertumbuhan,
aktivasi, dan deferensiasi limfosit. Antara sitokin yang bertindak sebagai limfokin
adalah Interleukin-2 (IL-2), Interleukin-4 (IL-4), Interleukin-12 (IL-12),
Interleukin-15 (IL-15), Transforming Growth Factor-β (TGF-β) (Robbins dan
Cotran, 2005).
Antigen permukaan sel ini juga dikenali sebagai T8, Leu2, Lyt2 atau
OKT8. CD8 adalah tergolong dalam superfamili immunoglobulin. CD8 adalah
sebuah homodimer disulfide-linked atau homomultidimer kepada dua 34 kDa
dengan protein lain dinamakan CD8-β (CD8b=Lyt3, Ly3) (De Totero et al, 1992).
Gen manusia mengekoding map CD8-α dan CD8-β kepada kromosom 2p12 yang
duduk berdekatan antara satu sama lain. Gen ini berhubungan rapat dengan
kluster rantai ringan immunoglobulin kappa (κ) (Giblin et al,. 1989). Pada
permulaannya, progenitor sel T dalam timus tidak mengekspresi CD8 dan CD4.
Proses perkembangannya juga melalui beberapa tahapan. Timosit yang belum
matang mengekspresi CD8 dan CD4 dan sel ini akan meningkatkan kematangan
sel T yaitu CD4
+, CD8
-atau CD4
-, CD8
+. Sel T yang mampu mengenal pasti
MHC sendiri ini akan dipilih untuk proses pematangan yang dikenali sebagai
seleksi positif. MHC kelas 1 ini akan mengeluarkan sinyal instruksi untuk
mengarahkan differensisasi kepada jalur CD8 (De Totero et al,. 1992).
Sel T CD8
+naif memerlukan aktivasi dan deferensiasi lanjut untuk
menjadi sel T efektor yang bisa melisiskan sel target yang terinfeksi antigen dan
sel-sel tumor. Sel T CD8
+mengenali antigen yang dipaparkan oleh molekul MHC
I sahaja, oleh karena molekul MHC I boleh ditemukan pada sel-sel tubuh yang
mempunyai nukleus, maka sel T CD8
+dengan mudah memonitor sel jika terdapat
tanda-tanda infeksi. Sel T CD8
+juga akan diaktivasi menjadi sel T efektor setelah
bertemu langsung dengan antigen pada APC profesional atau non-profesional dan
menerima ‘second signal’ dari sitokin seperti IL-2, Interferon-γ (IFN-γ) dan
Tumor Necrosing Factor-α (TNF-α) yang dilepaskan oleh sel T-Helper CD4
+(Ross, 2006).
T-sitotoksik/suppressor yang berinteraksi dengan molekul MHC Kelas 1 bersama
dengan fragmen antigen yang diproses. Sel T-sitotoksik akan memusnahkan sel
yang lain dengan cara memasukkan perforin ke dalam membran sel target
sehingga menghasilkan porus melalui melalui jalan granzim (granzyme)
dimasukkan dan menyebabkan reaksi granule-associated osmotic lysis pada sel
target (sama reaksinya seperti komplemen membrane attack complex) atau
melalui aktivasi kaspases (caspases) untuk merangsang apoptosis pada sel target.
Respon-respon ini sangat berguna untuk mengontrol infeksi virus dan juga
keganasan (Borrow, 1994). Sel T sitotoksik/suppressor ini juga meregulasi respon
imun yang lain dengan cara melepaskan faktor-faktor solubel yang akan
bertindak ke atas Limfosit B untuk menghasilkan antibodi (Kumar dan Clark,
2002).
3. Hubungan antara Bising dengan Sel T CD8
+Banyak faktor panyebab stress yang diketahui mempunyai dampak
terhadap kesehatan, antara lain: suhu, kelembapan, radiasi, kecepatan angin,
polusi udara, ketersediaan makanan dan minuman, bising, kepadatan, interaksi
interspesies dan penyakit (Supardi, 2002). Paparan bunyi bising mengakibatkan
stres psikologi. Bising akan menyebabkan stres akut atau kronis yang mempunyai
implikasi yang jelas terhadap fungsi imunitas dan kesehatan manusia secara
Timbulnya stres pada manusia tidak terlepas dari sistem homeostasis yang
dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal (misalnya medan listrik) dan faktor
internal yang
dikendalikan oleh sistem saraf dan sistem endokrin. Dalam hal ini,
bising bertindak sebagai stressor yang akan menyebabkan respon perubahan
fisiologis dan perilaku untuk memulihkan homeostasis. Stres akibat bising dapat
menimbulkan reaksi dari aksis hypothalamus-hipofisis yang dikenali sebagai fight
or flight respons. (WHO, 1980).
Stres yang disebabkan oleh bising diduga dapat menyebabkan perubahan
gangguan fungsi sistem saraf otonom yang berhubungan dengan kelenjar adrenal.
Hampir setiap jenis stres fisik dan psikologis dalam waktu beberapa menit saja
sudah dapat sangat meningkatkan sekresi ACTH dan akibatnya sekresi kortisol
juga akan meningkat (Guyton dan Hall, 1997).
Dalam kondisi stres, sistem saraf
otonom akan mempengaruhi kerja sistem hormonal yang dapat merangsang
naiknya aktivitas hipotalamus dan corticotrophin releasing factor (CRF) yang
berhubungan dengan hipofisis anterior serta adrenocorticotrophin hormone
(ACTH). Dalam keadaan ini dihasilkan hormon adrenalin yang berlebihan,
sehingga mempengaruhi dan mengganggu kerja homeostasis tubuh, tetapi dalam
keadaan normal bagian korteks kelenjar adrenal akan melepaskan hormon
kortikosteroid yang berperan penting dalam aktivitas badan sel saraf. Hormon
kotikosteroid dalam bentuk glukokortikoid berfungsi merangsang degradasi
lemak dan protein menjadi metabolit-metabolit yang akhirnya menjadi glukosa
menaikkan kadar gula darah, menekan peradangan dalam tubuh, dan detoksifikasi
yang dibutuhkan oleh tubuh untuk menghindari stres
(Yurnadi, 2000).
Stres ringan merangsang peningkatan produksi hormon adrenalin. Dalam
keadaan normal hormon ini dapat mengatasi stres, tetapi pada keadaan stres berat
(misalnya disebabkan oleh paparan bising berlebihan) akan dihasilkan hormon
adrenalin secara berlebihan. Hormon adrenalin yang berlebihan tersebut diduga
dapat bersifat racun terhadap mekanisme mitosis dan proliferasi sel dalam tubuh
(Yurnadi, 2000).
Stres yang diakibatkan oleh bising yang berpanjangan akan mempunyai
efek pada sistem imun adaptif. Limfosit mempunyai reseptor untuk epinefrin
(adrenalin) dan kortikosteroid. Kedua hormon ini disekresikan akibat respon
terhadap stres tadi, epinefrin mempunyai onset yang cepat dan durasi yang
pendek manakala kortikosteroid mempunyai durasi yang lebih lama. Maka, stres
yang berlanjutan dapat menghambat respon imun terhadap infeksi. Penelitian
menunjukkan stres fisiologi dan psikologi dapat memberikan efek negatif pada
sistem imun tubuh sama ada dalam waktu yang panjang maupun pendek
(Roderick dan Matthew, 2002).
Berdasarkan penelitian efek estrogen terhadap limfopoeisis B pada
sumsum tulang ada menunjukkan adanya efek negatif hormon steroid pada
thymopoeisis.
(Monroe, 1998)
a. Mengurangi inflamasi dari jangkitan luka dengan mensupresi pembentukan
dan pelepasan asam arakidonat yang merupakan prekursorutama mediator
inflamasi.
b. Mengurangi proliferasi dan diferensiasi sel mast lokal
c. Menstabilkan lisosom
d. Mengurangi produksi aktivator platlet dan nitrit oksida (NO)
e. Glukokortikoid juga menekan respon imun dengan mengurangi jumlah
limfosit T
f. Mengurangi produksi interleukin dan gamma interferon yang merupakan
mediator respon imun,
1) Glukokortikoid dapat menyebabkan inhibisi produksi sitokin sel Th1
seperti IL-2 dan IFN-γ.
2) Glukokorticoid sintetik dapat menyebabkan inhibisi sinyal 2, 4,
IL-7, IL-15, and IFN-γ.
Stres juga bisa mempengaruhi jumlah sel CD4
+antara lain melalui
aktivitas β
2-adrenergik dan steroid endogen. Ini terbukti dengan menurunnya
kadar CD4
+di pagi hari sesuai dengan sekresi steroid yang maksimal pada waktu
itu (Baratiwidjaja, 2006). Glukokortikoid menekan respon imun dengan
mengurangi jumlah sel limfosit T (Mitrovic, 2002). Ekspresi utama dari sel
limfosit adalah subset CD4
+dan CD8
+. Hubungan perubahan kadar subset CD4
+dan CD8
+adalah saling berhubungan antara satu dengan yang lain karena
kedua-commit to user
duanya bergandingan dalam sistem imunitas tubuh (Kui-Cheng, 2007).
Sembarang paparan bising adalah bertindak sebagai stressor yang berpengaruh
terhadap kadar subset CD4
+dan CD8
+dalam sistem imunitas tubuh sehingga
boleh menyebabkan gangguan kepada kualiti pertahanan tubuh secara jangka
panjang.
B. Kerangka Pemikiran
Suhu, Radiasi,
Kelembaban
udara, Cuaca
PAPARAN
BISING
KONTINYU
AKUT
Kondisi lingkungan
Sosekbud
diteliti :
tidak diteliti :
C. Hipotesis
Adanya pengaruh paparan bising kontinyu akut terhadap CD8
+pada tikus
putih (Rattus norvegicus).
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorium dengan rancangan
penelitian ‘the post test only control group design’.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di rumah kaca Laboratorium Sentral MIPA
Biologi, Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) dan Laboratorium
Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
C. Subjek Penelitian
Subjek penelitian yang digunakan adalah tikus putih (Rattus
norvegicus).
D. Populasi dan Sampel
Populasi pada penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus)
yang memenuhi kriteria sebagai berikut :
1. Kriteria Inklusi
a. Jantan
b. Galur Wistar
c. Berat badan ± 150 – 250 gram
d. Umur 2-3 bulan
2. Kriteria Eksklusi
b. Sakit
c. Tuli
E. Teknik Sampling
Pengambilan sampel dilakukan dengan random sederhana dan
jumlahnya diperhitungkan dengan rumus Federer yaitu (k-1) (n-1) ≥ 15,
dengan k=jumlah perlakuan, n= jumlah tikus putih untuk tiap perlakuan.
(k-1)(n-1)
≥ 15
(3-1)(n-1)
≥ 15
2n-2
≥ 15
n
≥ 8.5 à 9 (minimal)
Jadi jumlah sampel total 27 ekor tikus putih.
F. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian ini adalah "the post test only control group
design” (Taufiqqurrahman, 2003).
G. Kerangka Penelitian
K1
HK1
Sampel
Bandingkan
tikus putih
A
K2
HK2
dengan uji
(27 ekor)
statistik
K3
HK3
Keterangan :
A : Adapatasi selama tujuh hari di dalam Laboratorium Sentral MIPA
UNS.
K1 : Kelompok satu sebagai kontrol, tidak diberi perlakuan bising.
K2 : Kelompok dua diberi paparan bising kontinyu sebesar 72 dB.
Pengaturan bising yang digunakan adalah 5 jam paparan/hari,
selama waktu tiga (3) hari.
K3 : Kelompok tiga diberi paparan bising kontinyu sebesar 90 dB.
Pengaturan bising yang digunakan adalah 5 jam paparan/hari,
selama waktu tiga (3) hari.
HK1: Pengamatan kadar CD8
+pada kelompok 1.
HK2: Pengamatan kadar CD8
+pada kelompok 2.
HK3: Pengamatan kadar CD8
+pada kelompok 3.
H. Instrumen dan Bahan Penelitian
Instrumen yang digunakan adalah sebagai berikut:
2. Sound Level Meter
3. Kandang
4. Timbangan Torbal
5. Termometer ruangan
6. Higrometer (mengukur tahap kelembapan ruangan)
7. Kloroform (anestesi)
Bahan yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. 1cc darah tikus putih
2. Makanan hewan percobaan
3. Minuman hewan percobaan
4. Reagen FITC anti-rat CD8
+antibody
I. Cara Kerja
Hewan percobaan diadaptasikan di rumah kaca Laboratorium
Sentral MIPA Biologi UNS selama tujuh hari dengan pemberian makanan
dan minuman. Makanan yang diberikan sebesar 8-25 gram/hari untuk
masing-masing tikus (Jan dan Gerald, 2003) dan minuman 15-30 ml per
hari. Hewan percobaan ini ditempatkan dalam kandang di mana tiap
kandang terdiri atas 9 ekor tikus.
2. Kadar CD8
+- Flow Ctyometry
Flow Cytometry menggunakan prinsip pencaran cahaya, eksitasi
cahaya dan emisi molekul flourokrom untuk menghasilkan data
multi-parameter spesifik dari partikel atau sel dengan saiz diameter berkisar dari
0.5µm hingga 40 µm. Sel secara hidrodinamik difokuskan dalam PBS
(phosphate buffer saline) sebelum dipintas dengan sumber fokus cahaya
yang optimal. Cahaya laser paling sering dipakai sebagai sumber cahaya
dalam flow cytometry. Pencaran dan emisi cahaya dari sel dan partikel
dirubah menjadi gelombang listrik oleh pengesan optik (optical detector).
Bentuk gelombang cahaya parelel ini diangkat oleh lenca konfokal yang
difokuskan pada titik persilangan antara sel dan sumber cahaya. Cahaya
dihantar pengesan-pengesan berbeda oleh filter optik. Tipe pengesan yang
paling sering dipakai flow cytometry adalah tuba fotomultiplier (PMT).
Gelombang listrik yang dideteksi oleh PMT adalah berasal dari cahaya
logaritmik paling sering dipakai untuk mengukur fluoresen dalam sel.
Tipe ini mampu merubah sinyal yang lemah kepada kuat sehingga boleh
diukur. Setelah itu, sinyal-sinyal atau gelombang-gelombang yang
berbeda ini akan diproses oleh ADC (Analog to Digital Converter) dan
diplotkan kepada skala grafik (One Parameter, Two Parameter
Hisotograms). Data output akan disimpan dalam fail komputer
menggunakan standar FCS 2.0 atau 3.0 sebagai fail listmode atau fail
histogram (Ormerod, 2000).
Flow Cytometry dipilih sebagai instrumen pengukuran karena
mempunyai kelebihan dalam mengukur fluoresen secara per sel dan
partikel. Hasil pengukuran adalah lebih akurat dan subjektivitas
pengukuran CD8
+menjadi sangat rendah berbanding dengan ELISA
(Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) dan spektrofotometri (Rahman,
2009).
a. Penyediaan Sampel untuk Flow Cytometry
Teknik ini digunakan apabila fluorokrom (molekul flouresen) secara
langsung
dihubungkan
ke
antibodi
primer
contohnya
PE
(phycoerythrin), PITC (fluorescein isothiocyanate) dan konjugat
Alexa Fluor® (Alexa Fluor® 488 Anti-mouse CD8a Antibody, Merek
1) Sediakan sel. Siapkan suspensi sel kepad konsentrasi 1.106 sel/ml
menggunakan buffer PBS/BSA. (phosphate buffered saline pH 7.4
and 1% / bovine serum albumin). (Sampel darah segar boleh
digunakan tanpa diencerkan melainkan jumlah sel yang tinggi
contoh: pasien leukemia. EDTA dan heparin adalah anti-koagulan
pilihan).
2) Ambil dan masukkan 100 µl suspensi sel (darah segar) ke dalam
seberapa banyak tabung uji yang dikehendaki.
3) Masukan antibodi pada dilusi yang direkomendasikan (lihat
lembar data spesifik). Campurkan dengan sebaiknya dan
inkubasikan pada suhu kamar selama 30 menit.
4) Cuci sel dengan menggunakan 2 ml PBS/BSA. Sentrifudge pada
400g selama 5 menit dan buang supernatan.
Untuk suspensi darah, masukkan buffer lisis sel darah
merah e.g. 2 ml AbD Serotec’s Erythrolyse dan campurkan dengan
baik. Inkubasikan 10 menit pada suhu kamar. Sentrifudge pada
400g selama 5 menit dan buang supernatan. Sel yang ditangguhkan
pemeriksaanya disimpan dalam 0.2 PBS/BSA atau 0.2 ml 0.5%
paraformaldehyde dalam PBS/BSA jika diperlukan.
1.
Masing-masing hewan coba ditimbang terlebih dahulu kemudian
dilakukan pengukuran suhu dan kelembaban. Hewan percobaan dibagi
menjadi 3 kelompok, masing-masing terdiri atas sembilan (9) ekor
tikus putih.
a. Kelompok 1:
Ditempatkan di rumah kaca Laboratorium Sentral MIPA UNS
tapi diletakkan di ruangan yang berbeda, tanpa diberi paparan
bising.
b. Kelompok 2:
Ditempatkan di dalam rumah kaca Laboratorium Sentral MIPA
Biologi UNS dengan intensitas bising 72 dB (Otten, 2004).
Pengaturan bising yang digunakan adalah lima (5) jam
paparan/hari selama waktu tiga (3) hari.
c.
Kelompok 3 :
Ditempatkan di dalam rumah kaca Laboratorium Sentral MIPA
Biologi UNS dengan intensitas bising 90 dB (Otten, 2004).
Pengaturan bising yang digunakan adalah lima (5) jam
Setelah hewan coba diberi perlakuan bising selama tiga (3) hari,
masing-masing tikus dalam tiap kelompok dikorbankan kemudian darah
sebanyak 1.5 hingga 2.5 cc diambil.
L. Identifikasi Variabel Penelitian
1. Variabel bebas
: Bising Kontinyu Akut
2. Variabel terikat
: Kadar CD8
+3. Variabel luar
:
a. Variabel Luar Kendali
Jenis kelamin, umur, berat badan, temperatur, jumlah cahaya,
variasi genetik, jenis makanan dan minuman.
b. Variabel Luar Tak Terkendali
Kondisi psikologis tikus putih, bising dari luar laboratorium.
M. Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Variabel bebas
Paparan bising kontinyu akut selama 3 hari dengan menggunakan
sumber bunyi yaitu sirine elektrik frekuensi 350Hz (Sarkaki dan Karami,
2004) kemudian intensitasnya diukur dengan Sound Level Meter. Ada tiga
perlakuan yang digunakan dalam percobaan ini :
a. Kelompok I tidak diberi paparan bising yang digunakan sebagai
b. Kelompok II diberikan paparan bising intensitas 72 dB (Otten,2004).
Pengaturan bising yang digunakan adalah 5 jam paparan per
hari dalam waktu 3 hari (Kui-Cheng, 2007).
c. Kelompok III diberi paparan bising dengan intensitas 90 dB.
Pengaturan bising yang digunakan adalah 5 jam paparan per hari
dalam waktu 3 hari (Kui-Cheng, 2007)
Skala pengukuran variabel ini adalah skala nominal karena hanya
mengukur perubahan jumlah CD8
+.
2. Variabel Terikat
Pemeriksaan kadar CD8
+menggunakan alat flow cytometry. Alat
tersebut menggunakan prinsip pencaran cahaya, eksitasi cahaya dan emisi
molekul flourokrom untuk menghasilkan data multi-parameter spesifik
dari partikel atau sel dengan ukuran diameter berkisar dari 0.5µm hingga
40 µm. Hasil pengukuran dinyatakan dalam persen. (Rahman, 2006)
Skala pengukuran variebel ini adalah skala rasio.
3. Variabel Luar
a. Variabel luar yang dapat dikendalikan.
2) Galur
: Wistar
3) Jenis Kelamin
: Jantan
4) Umur
: 2-3 bulan
5) Berat badan
: 150-250gram
6) Makanan
: BR 1
7) Minuman
: Air PAM 15-30 ml
b. Variabel luar yang tidak dikendalikan.
1) Kondisi psikologi tikus putih
Dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Misalnya kondisi
lingkungan di luar laboratorium yang terlalu ramai.
2) Bising dari luar laboratorium
Suara tikus putih mendapat paparan bising mungkin saja
sudah mengalami kelainan terlebih dahulu.
N. Teknik Analisis Data Statistik
Data yang diperoleh akan diuji menggunakan uji statistik Kruskal-Wallis (α
= 0,05). Jika terdapat perbedaan yang bermakna kemudian dilanjutkan
dengan uji statistik Multiple Comparison (α = 0,05).
BAB IV
A. Kareteristik Sampel
Penelitian ini dilakukan terhadap tikus putih (Rattus norvegicus) jantan
galur Wistar yang berumur 2-3 bulan dengan tidak ada perbedaan bermakna pada
berat badan (Lampiran 1).
Tabel 1. Rata-rata Berat Badan Tikus Putih Sebelum Diberi Paparan (satuan=gram)
____________________________________________________________________
Kelompok
N
Rata-rata BB tikus putih ± SD
Median
____________________________________________________________________
Kontrol
(N = 9)
188,38 ± 17,02
a182,00
Perlakuan 1
(N = 9)
171,56 ± 22,14
a170,50
Perlakuan 2
(N = 9)
167,94 ± 25,57
a164,00
_______________________________________________________________________________________________________