Ranti Setya Cipta Pratama
ABSTRAK
ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENIPUAN TERHADAP CALON JEMAAH UMRAH
(Studi Kasus Perkara Nomor : 758/Pid.B/2011/PN.TK) Oleh
RANTI SETYA CIPTA PRATAMA
Dalam beberapa tahun terakhir ini, terdapat peningkatan permintaan perjalanan umrah yang cukup besar, sehingga banyak Biro Perjalanan Tour & Travel yang menawarkan perjalanan umrah. Namun, kondisi ini pun akhirnya dimanfaatkan oleh oknum Biro Perjalanan Tour & Travel nakal yang mengaku sebagai biro perjalanan umrah yang menawarkan biaya yang murah. Hal ini membuat banyak korban tergiur untuk mendaftarkan diri sebagai peserta calon jemaah umrah. Untuk itu, penulis ingin membahas permasalahan tentang bagaimana pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana penipuan terhadap Calon Jemaah Umrah pada Studi Kasus Perkara Nomor : 758/Pid.B/2011/PN.TK serta apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana penipuan pada perkara Nomor: 758/Pid.B/2011/PN.TK.
Metode penelitian ini menggunakan pendekatan masalah secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan melalui studi lapangan dan data sekunder diperoleh melalui studi pustaka. Data diperoleh dengan pengumpulan sampel secara purposive sampling yaitu dengan cara wawancara dengan menggunakan pedoman tertulis terhadap responden yang telah ditentukan.
Ranti Setya Cipta Pratama
di dalam hukum pidana. Hal-hal yang bersifat non yuridis yaitu latar belakang perbuatan terdakwa, akibat perbuatan terdakwa, kondisi diri terdakwa, keadaan sosial ekonomi terdakwa dan faktor agama dari terdakwa, hal-hal yang memberatkan dan meringankan pidana, dan terdapat lebih dari satu alat bukti sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 183 dan 184 KUHP.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kejahatan yang berlangsung ditengah-tengah masyarakat semakin hari kian
berkembang, salah satu yang mulai tampak menonjol ialah banyaknya
kejahatan-kejahatan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada umumnya bertalian dengan
uang, harta benda, atau harta kekayaan, kejahatan terhadap harta kekayaan ini
semakin berkembang apabila tingkat kehidupan masyarakat semakin rendah
sehingga berakibat semakin melunturnya nilai-nilai kehidupan.
Nilai-nilai kehidupan yang cenderung luntur, memberikan peluang tertentu kepada
sebagian masyarakat untuk melakukan suatu tindak pidana yang erat hubungannya
dengan kepercayaan dan harta kekayaan, yaitu tindak pidana penipuan
sebagaimana diatur dalam Buku Kedua Bab XXV Pasal 378 KUHP, yaitu:
"Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun."
Hal ini yang menyatakan bahwa tindak pidana penipuan memiliki masalah yang
manusia sebagai individu, seperti halnya kasus penipuan dana calon jemaah
umrah di Indonesia yang merupakan suatu problema masyarakat yang tidak dapat
dipercaya untuk diperbuat seseorang. Niat yang suci untuk melaksanakan perintah
Allah SWT dengan mempergunakan ongkos sebagai langkah untuk memenuhi
panggilan-Nya, tidak menjadi hambatan seseorang untuk melakukan kejahatan.
Pada penyelenggaraan ibadah umrah terdapat penipuan yang melanggar
kewenangan dan penyalahgunaan hak, walaupun pemerintah telah mengeluarkan
Undang-Undang No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji yang
telah berlangsung kurang lebih 4 tahun diberlakukannya, namun pada
kenyataannya masih banyak biro perjalanan umrah yang melakukan penipuan
kepada calon jemaah umrah. Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak
bertindak sebagai penyelenggara perjalanan Ibadah Umrah dengan
mengumpulkan dan/atau memberangkatkan Jemaah Umrah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta
rupiah).1
Pengadilan Negeri Tanjung Karang menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa
Heryanti Munayah Binti Gerudin yang bersalah melakukan tindak pidana
penipuan terhadap jemaah umrah sebagaimana diatur dalam Pasal 63 ayat (2)
Undang-Undang No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji .
Terdakwa dihukum dengan pidana penjara selama 1 tahun 4 bulan penjara
dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara, dengan perintah
1
terdakwa tetap dalam tahanan dan denda Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah),
karena secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana penipuan terhadap
calon jemaah umrah.2
Berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan
Ibadah Haji dan Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang Nomor:
758/Pid./B/2011/PN.TK tersebut, terlihat bahwa vonis yang dijatuhkan Majelis
Hakim kepada terdakwa, yaitu 1 tahun 4 bulan tidak sesuai dengan tuntutan jaksa
yaitu 2 (dua) tahun penjara dan masih jauh dari hukuman maksimalnya yaitu 4
(empat) tahun penjara.
Berdasarkan uraian di atas yang sekaligus juga melatarbelakangi masalah, maka
penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan kemudian membahasnya lebih
lanjut dalam bentuk Skripsi dengan judul “Analisis Pertanggungjawaban Pidana
Pelaku Tindak Pidana Penipuan Terhadap Calon Jemaah Umrah (Studi Perkara
Nomor : 758/Pid.B/2011/PN.TK.).”
2
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan
Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka permasalahan yang akan dibahas
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana penipuan
calon jemaah umrah (Studi Kasus Perkara Nomor: 758/Pid.B/2011/PN.TK)?
b. Apakah dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap
pelaku tindak pidana penipuan calon jemaah umrah (Studi Kasus Perkara
Nomor: 758/Pid.B/2011/PN.TK)?
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup studi dalam penelitian ini adalah kajian Ilmu Hukum Pidana,
khususnya yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku
tindak pidana penipuan dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
putusan terhadap pelaku tindak pidana penipuan sebagaimana terdapat pada
Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 758/Pid.B/2011/PNTK.
Ruang lingkup waktu penelitian adalah tahun 2012 dan ruang lingkup lokasi
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana penipuan
terhadap calon jemaah umrah.
b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan
terhadap pelaku tindak pidana penipuan calon jemaah umrah.
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam
pengembangan kajian hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan
pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penipuan dan dasar
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak
pidana penipuan.
b. Kegunaan Praktis
Dengan adanya penulisan skripsi ini, diharapkan dapat memberikan
sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan di dalam bidang hukum
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah abstraksi hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada
dasarnya untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi yang dianggap relevan
oleh peneliti3.
a. Pertanggungjawaban Pidana
Seorang yang melakukan tindak pidana baru boleh dihukum apabila si pelaku
sanggup mempertanggungjawabkan yang telah diperbuatnya, masalah
pertanggungjawaban erat kaitannya dengan kesalahan, oleh karena adanya asas
pertanggungjawaban yang menyatakan dengan tegas bahwa tidak dipidana tanpa
ada kesalahan. Pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa setiap
orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana
dirumuskan dalam undang-undang, maka orang tersebut patut
mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya.4
Pertanggungjawaban pidana menurut hukum pidana adalah kemampuan
bertanggungjawab seseorang terhadap kesalahan. Unsur pertama adalah
kemampuan bertanggung jawab yang dapat diartikan sebagai implementasi
tanggungjawab seseorang untuk menerima setiap resiko atau konsekuensi yuridis
yang muncul sebagai akibat tindak pidana yang telah dilakukannya, sedangkan
3
Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1983), Hlm. 73
4
unsur kedua adalah kesalahan yang dapat diartikan sebagai unsur kesengajaan,
kelalaian, atau kealpaan.
1) Kemampuan bertanggung jawab
Unsur pertama dari kesalahan adalah adanya kemampuan bertangggung jawab.
Tidaklah mungkin seseorang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana
apabila ia tidak mampu bertanggung jawab. Kemampuan bertanggung jawab
dapat diartikan sebagai suatu keadaan jiwa sedemikian, yang membenarkan
adanya penerapan sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum
maupun dari orangnya5. Kemampuan bertanggung jawab harus memuat unsur:
a) Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan
yang buruk sesuai hukum dan yang melawan hukum (intellectual factor);
b) Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan
tentang baik buruknya perbuatan tadi (volitional factor).
Orang yang mampu bertanggung jawab harus memenuhi tiga syarat6:
a) Dapat menginsyafi makna perbuatannya;
b) Dapat menginsyafi bahwa perbuatan itu tidak dapat dipandang patut
dalam pergaulan masyarakat;
c) Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan
perbuatan.
5
Tri Andrisman, Asas-asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, (Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2009), Hlm. 96
6
Seorang pelaku tindak pidana tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban
terhadap perbuatannya, apabila terdapat alasan-alasan pemaaf (kesalahannya
ditiadakan) dan alasan pembenar (sifat melawan hukumnya ditiadakan) yang
dasar-dasarnya ditentukan dalam KUHP, sebagai berikut:
a) Alasan pemaaf/kesalahannya ditiadakan, yaitu jiwanya cacat atau
terganggu karena penyakit (Pasal 44 KUHP), pengaruh daya paksa (Pasal
48 KUHP), pembelaan terpaksa karena serangan (Pasal 49 KUHP) dan
perintah jabatan karena wewenang (Pasal 51 KUHP).
b) Alasan pembenar/peniadaan sifat melawan hukum, yaitu keadaan darurat
(Pasal 48 KUHP), terpaksa melakukan pembelaan karena serangan
terhadap diri sendiri maupun orang lain, terhadap kehormatan kesusilaan,
atau harta benda sendiri atau orang lain (Pasal 49 KUHP), perbuatan yang
dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang (Pasal 50 KUHP) dan
perbuatan yang dilaksanakan menurut perintah jabatan oleh penguasa yang
berwenang (Pasal 51 KUHP).
2) Kesengajaan/kelalaian atau kealpaan
Unsur kedua dari kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya adalah hubungan batin
antara si pembuat terhadap perbuatannya, yang dicelakan kepada si pembuat.
Hubungan batin ini bissa berupa sengaja atau alpa. KUHP tidak memberikan
pengertian tentang kesengajaan. Petunjuk tentang arti kesengajaan dapat diketahui
menghendaki dan mengetahui.7 Bentuk atau corak kesengajaan ada 3 (tiga)
macam yaitu:
a) Sengaja dengan maksud (Dolus Directus), yaitu apabila si pelaku memang menghendaki dengan maksud akibat perbuatan yang dilakukan sesuai
dengan sempurna.
b) Sengaja dengan kepastian, yaitu apabila si pelaku mengetahui dari
perbuatannya yang dilakukan akan timbul atau pasti terjadi akibat lain dari
perbuatan yang dilakukan.
c) Sengaja dengan kemungkinan (Dolus Evertualis), yaitu apabila si pelaku
dapat memperkirakan kemungkinan yang timbul akibat lain dari perbuatan
yang dilakukan dan ternyata kemungkinan tersebut benar-benar terjadi.
Hubungan kemampuan bertanggung jawab dengan perbuatan yang dilakukan
merupakan masalah kesengajaan, kealpaan serta alasan pemaaf sehingga mampu
bertanggung jawab harus mempunyai kesengajaan atau kealpaan serta tidak
adanya alasan pemaaf merupakan unsur kesalahan dari semua unsur kesalahan.
Jadi harus dihubungkan pula dengan tindak pidana yang dilakukan, sehingga
untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa harus
memenuhi beberapa syarat yaitu8:
a) Melakukan perbuatan pidana;
b) Mampu bertanggung jawab;
c) Dengan sengaja atau kealpaan; dan
7
Tri Andrisman,Op. cit., Hlm. 102
8
d) Tidak adanya alasan pemaaf.9
b. Tindak Pidana Penipuan
Timbulnya tindak pidana tidak disebabkan oleh satu faktor saja yang berdiri
sendiri, sebagaimana yang dikemukakan oleh Sutherland bahwa:
“Tindak pidana adalah hasil dari faktor-faktor yang beraneka ragam dan bermacam-macam. Dan bahwa faktor-faktor itu dan untuk selanjutnya tidak bisa disusun menurut ketentuan yang berlaku umum tanpa ada pengecualian atau dengan perkataan lain, untuk menerangkan kelakuan kriminal memang
tidak ada teori ilmiah”.10
Menurut bahasa, penipuan berasal dari kata “tipu” yang berarti perbuatan atau
perkataan tidak jujur (bohong, palsu, dan sebagainya) dengan maksud untuk
menyesatkan, mengakali atau mencari untung. Sedangkan penipuan merupakan
proses dari tindakan menipu.11 Secara yuridis, penipuan berarti perbuatan dengan
maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum
dengan memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat atau kebohongan yang
dapat menyebabkan orang lain dengan mudah menyerahkan barang, uang atau
kekayaan12.
Tindak pidana penipuan yang terdapat pada Pasal 378 KUHP mengandung
unsur-unsur sebagai berikut:
a) Barang siapa dengan maksud menguntungkan dirinya atau orang lain;
b) Melawan hukum;
9Ibid. 10
Hari Saherodji,Pokok-Pokok Kriminologi, (Bandung: Aksara Baru, Bandung, 1980), Hlm. 35
11
Adam Normies,Kamus Bahasa Indonesia, (Bandung: Karya Ilmu, 1992), Hlm. 199
12
c) Dengan memakai nama palsu atau martabat palsu atau dengan tipu
muslihat atau rangkaian kebohongan.
Unsur-unsur tindak pidana penipuan yang terdapat pada Pasal 63 ayat (2)
Undang-Undang No. 13 Tahun 2008 sebagai berikut:
a) Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak bertindak sebagai
penyelenggara perjalanan ibadah umrah;
b) Dengan mengumpulkan dan/atau memberangkatkan jemaah umrah.
c. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana
Pada dasarnya tujuan hukum acara pidana itu adalah mencari, menentukan, dan
menggali kebenaran materil (materieele waarheid) atau kebenaran yang sesungguh-sungguhnya. Dengan demikian, berkorelatif aspek tersebut secara
teoritis dan praktek peradilan guna mewujudkan materieele waarheid maka suatu alat bukti mempunyai peranan penting dan menentukan sehingga haruslah
dipergunakan dan diberi penilaian secara cermat agar tercapai kebenaran hakiki
sekaligus tanpa mengabaikan hak asasi terdakwa.13
Menurut Barda Nawawi Arif, hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa hakim
tidak boleh menjantuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa
13
suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah
melakukannya.14Alat bukti sah berdasarkan Pasal 184 adalah:
a) Keterangan Saksi;
b) Keterangan Ahli;
c) Surat;
d) Petunjuk;
e) Keterangan Terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui
sehingga tidak perlu dibuktikan.
Pasal 185 ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa keterangan seorang saksi saja
tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan
yang didakwakan kepadanya, sedangkan dalam ayat 3 dikatakan ketentuan
tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya
(unus testis nullus testis ). Saksi korban juga berkualitas sebagai saksi, sehingga
apabila terdapat alat bukti yang lain sebagaimana dimaksud dalam ayat 3, maka
hal itu cukup untuk menuntut pelaku tindak pidana.
Selain itu, hakim Pengadilan Negeri mengambil suatu keputusan dalam sidang
pengadilan, mempertimbangkan beberapa aspek, yaitu:
(1) Kesalahan pelaku tindak pidana.
Hal ini merupakan syarat utama untuk dapat dipidananya seseorang.
Kesalahan di sini mempunyai arti seluas-luasnya, yaitu dapat dicelanya
pelaku tindak pidana tersebut. Kesengajaan dan niat pelaku tindak pidana
14
harus ditentukan secara normatif dan tidak secara fisik. Untuk menentukan
adanya kesengajaan dan niat harus dilihat dari peristiwa, yang harus
memegang ukuran normatif dari kesengajaan dan niat adalah hakim.
(1) Motif dan tujuan dilakukannnya suatu tindak pidana.
Kasus tindak pidana mengandung unsur bahwa perbuatan tersebut
mempunyai motif dan tujuan untuk dengan sengaja melawan hukum.
(2) Cara melakukan tindak pidana.
Pelaku melakukan perbuatan tersebut ada unsur yang direncanakan terlebih
dahulu untuk melakukan tindak pidana tersebut. Memang terdapat unsur
niat di dalamnya yaitu keinginan si pelaku untuk melawan hukum.
(3) Sikap batin pelaku tindak pidana.
Hal ini dapat diidentifikasikan dengan melihat pada rasa bersalah, rasa
penyesalan dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan tersebut. Pelaku
juga memberikan ganti rugi atau uang santunan pada keluarga korban dan
melakukan perdamaian secara kekeluargaan.
(4) Riwayat hidup dan keadan sosial ekonomi.
Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku tindak pidana juga
sangat mempengaruhi putusan hakim dan memperingan hukuman bagi
pelaku, misalnya belum pernah melakukan perbuatan tindak pidana apapun,
berasal dari keluarga baik-baik, tergolong dari masyarakat yang
berpenghasilan sedang-sedang saja (kalangan kelas bawah).
Pelaku dalam dimintai keterangan atas kejadian tersebut, ia menjelaskan
tidak berbelir-belit, ia menerima dan mengakui kesalahannya. Maka hal
yang di atas juga menjadi pertimbangan bagi hakim untuk memberikan
keringanan pidana bagi pelaku. Pengaruh pidana terhadap masa depan
pelaku. Pidana juga mempunyai tujuan yaitu selain membuat jera kepada
pelaku tindak pidana, juga untuk mempengaruhi pelaku agar tidak
mengulangi perbuatannnya tersebut, membebaskan rasa bersalah pada
pelaku, memasyarakatkan pelaku dengan mengadakan pembinaan, sehingga
menjadikannya orang yang lebih baik dan berguna.
(6) Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku.
Dalam suatu tindak pidana masyarakat menilai bahwa tindakan pelaku
adalah suatu perbuatan tercela, jadi wajar saja kepada pelaku mendapat
ganjarannya dan menjadikan pelajaran untuk tidak melakukan perbuatan
yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Hal tersebut dinyatakan
bahwa ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran dan
2. Konseptual
Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan
dalam penelitian.15 Berdasarkan definisi tersebut, maka batasan pengertian dari
istilah yang digunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut:
a) Analisis adalah penyidikan suatu peristiwa (karangan, perbuatan dan
sebagainya), untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya sebab-musabab,
duduk perkaranya dan sebagainya.16
b) Pertanggungjawaban pidana adalah suatu mekanisme hukum, dimana setiap
orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana
dirumuskan dalam undang-undang, harus mempertanggungjawabkan
perbuatan sesuai dengan kesalahannya.17
c) Pelaku adalah mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang
turut serta melakukan perbuatan.18
d) Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum
yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barang
siapa melanggar larangan tersebut.19
e) Tindak pidana penipuan adalah Barang siapa dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan
memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun
dengan rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan
15
Soerjono Soekanto,Op. cit. Hlm. 112
16
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa,Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), Hlm. 60
17
Andi Hamzah,Op. cit, Hlm. 12
18
Pasal 55 ayat (1) KUHP
19
sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun
menghapuskan piutang.20
f) Umrah (haji kecil) yaitu kunjungan (ziarah) ke tempat suci (sebagai bagian
dari upacara naik haji, dilakukan setiba di Mekah) dengan cara berihram,
tawaf, sai, dan bercukur, tanpa wukuf di Padang Arafah, yang pelaksanaannya
dapat bersamaan dengan waktu haji atau di luar waktu haji.21
g) Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang
pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari
segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini.22
E. Sistematika Penulisan
Sistematika yang disajikan, agar mempermudah dalam penulisan skripsi secara
keseluruhan diuraikan sebagai berikut:
I. PENDAHULUAN
Berisi Pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari latar belakang,
permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka
teori dan konseptual serta sistematika penulisan.
20
Pasal 378 KUHP
21
Kamus Bahasa Indonesia,Op. cit. Hlm. 1588
22
II. TINJAUAN PUSTAKA
Berisi Tinjauan Pustaka dari berbagai konsep atau kajian yang berhubungan
dengan penyusunan skripsi, yaitu pertanggungjawaban pidana pelaku tindak
pidana penipuan dan dasar pertimbangan hakim dalam Undang-Undang No.
13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji .
III. METODE PENELITIAN
Berisikan metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari pendekatan
masalah, sumber data, penentuan populasi dan sampel, prosedur pengumpulan
dan pengolahan data serta analisis data.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berisi deskripsi, berupa penyajian dan pembahasan data yang telah didapat
penelitian, terdiri dari deskripsi dan analisis pertanggungjawaban pidana
terhadap pelaku tindak pidana penipuan dan dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana penipuan.
V. PENUTUP
Berisi kesimpulan yang didasarkan pada hasil analisis dan pembahasan
penelitian, serta berbagai saran sesuai dengan permasalahan yang ditujukan
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana (criminal liability) atau (straafbaarheid),
sesungguhnya tidak hanya menyangkut soal hukum semata-mata, melainkan juga
menyangkut soal nilai-nilai moral atau kesusilaan umum yang dianut oleh
masyarakat atau kelompok-kelompok dalam masyarakat. Dipidananya seseorang
tidaklah cukup, apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi walaupun perbuatannya
memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, hal
tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan
masih perlu adanya syarat, yaitu bahwa orang yang melakukan perbuatan itu
mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt).1
Menurut Romli Atmasasmita, pertanggungjawaban atauliabilitydiartikan sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dan
seseorang yang dirugikan.2 Roeslan Saleh berpendapat bahwa tanggung jawab
atas sesuatu perbuatan pidana yang bersangkutan secara sah dapat dikenai pidana
karena perbuatan itu.3
1
Moeljatno,Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban pidana. (Jogjakarta, 1978), Hlm. 56
2
Romli Atmasasmita,Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana. (Jakarta: LBHI, 1989), Hlm. 79
3
Konsep dalam rancangan KUHP baru tahun 1991/1992 memberikan definisi
pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang obyektif ada pada
tindak pidana berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku dan secara subyektif
kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat dalam peraturan
perundang-undangan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu.
B. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana
Secara yuridis tindak pidana diartikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar
hukum atau dilanggar oleh undang-undang dari beberapa definisi tindak pidana
diketahui pada dasarnya adalah suatu bentuk perbuatan dan tingkah laku yang
melanggar hukum dan perundang-undangan lain serta melanggar norma sosial
hingga masyarakat menentangnya.4 Menurut Moeljatno tindak pidana merupakan
suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum yang disertai ancaman
atau sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan
tersebut.5 Pompe memberikan pengertian tindak pidana menjadi dua definisi,
yaitu:
1. Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum. 2. Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian/feit yang oleh
peraturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.6
4
H. Saherodji,Op. cit. Hlm. 12
5
Moeljatno,Op. cit. Hlm. 54
6
Menurut Simons mendefinisikan tindak pidana adalah kelakuan/handeling yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan
kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.7
Sedangkan Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa tindak pidana adalah suatu
perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana.8
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tindak pidana dibagi dalam 2
(dua) kelompok, yaitu:
1) Kejahatan (termuat dalam Buku II, Pasal 104 sampai Pasal 488). Yang
termasuk dalam kejahatan antara lain:
a. Kejahatan terhadap keamanan negara;
b. Kejahatan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden;
c. Kejahatan terhadap negara sahabat dan terhadap kepala dan wakil negara
tersebut;
d. Kejahatan terhadap ketertiban umum;
e. Kejahatan yang membahayakan keamanan orang dan barang;
f. Kejahatan terhadap kesusilaan;
g. Kejahatan terhadap nyawa;
h. Kejahatan terhadap tubuh;
i. dan lain-lain.
7
Moeljatno,Op. cit. Hlm. 56
8
2) Pelanggaran (termuat dalam Buku III, Pasal 489 sampai Pasal 569). Yang
termasuk dalam kelompok pelanggaran, antara lain:
a. Pelanggaran keamanan umum bagi orang atau barang dan kesehatan;
b. Pelanggaran terhadap ketertiban umum;
c. Pelanggaran terhadap kekuasaan umum; dan
d. Pelanggaran terhadap orang yang perlu ditolong.
2. Unsur-unsur Tindak Pidana
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui beberapa unsur yang terkandung
dalam suatu tindak pidana. Apabila unsur-unsur tersebut salah satunya tidak
terbukti, maka perbuatan tersebut bukanlah suatu tindak pidana atau kejahatan.
Menurut Moeljatno, unsur-unsur perbuatan pidana adalah9:
1. Kelakuan dan akibat (perbuatan);
2. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan;
3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana;
4. Unsur melawan hukum yang obyektif; dan
5. Unsur melawan hukum yang subyektif.
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam merumuskan suatu perbuatan pidana
perlu ditegaskan secara jelas hal-hal yang menjadi unsur-unsurnya. Unsur-unsur
tersebut diantaranya adalah suatu perbuatan, melawan hukum, kesalahan dan
dapat dipertanggungjawabkan. Lebih lanjut Moeljatno10 membedakan unsur
9
Moeljatno,Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), Hlm. 63
10Ibid
tindak pidana berdasarkan perbuatan dan pelaku dapat dibagi dalam 2 (dua)
bagian, yaitu:
1. Unsur subyektif, berupa:
a. Perbuatan manusia; dan
b. Mengandung unsur kesalahan.
2. Unsur obyektif, berupa:
a. Bersifat melawan hukum; dan
b. Ada aturannya.
Unsur-unsur tindak pidana terbagi menjadi 2, yaitu unsur subyektif dan unsur
obyektif. Unsur subyektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku
atau yang berhubungan dengan diri si pelaku. Unsur obyektif adalah unsur-unsur
yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu dalam keadaan mana
tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.
C. Tindak Pidana Penipuan
Menurut Andi Hamzah, tindak pidana adalah tindakan atau perbuatan seseorang
atau individu yang menyebabkan terjadinya suatu tindak kriminal, menyebabkan
orang tersebut menanggung pidana atas perbuatan yang dilakukannya.11Perbuatan
tersebut dinyatakan bertentangan dengan nilai-nilai dalam masyarakat, norma
hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Secara yuridis formal, tindak
kejahatan merupakan bentuk tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana.
11
Setiap perbuatan yang dilarang oleh undang-undang harus dihindari dan
barangsiapa melanggarnya, maka akan dikenakan pidana. Larangan-larangan dan
kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh setiap warga negara wajib
dicantumkan dalam undang-undang maupun peraturan-peraturan pemerintah, baik
di tingkat pusat maupun daerah.
Berdasarkan Pasal 378, penipuan itu terdapat unsur-unsur obyektif yang meliputi
perbuatan (menggerakkan), yang digerakkan (orang), perbuatan itu ditujukan pada
orang lain (menyerahkan benda, memberi hutang, dan menghapus piutang), dan
cara melakukan perbuatan menggerakkan dengan memakai nama palsu, memakai
tipu muslihat, memakai martabat palsu, dan memakai rangkaian kebohongan.
Unsur-unsur subyektif yang meliputi maksud untung menguntungkan diri sendiri
atau orang lain dan maksud melawan hukum. Perbuatannya yaitu:
a. Melakukan akal dan tipu muslihat atau perkataan-perkataan bohong atau
membujuk orang lain atau perbuatan curang.
b. Memakai nama palsu atau keadaan palsu.
c. Menggerakkan orang untuk memberikan suatu barang atau memberi
hutang atau menghapus piutang.
d. Melakukan akal dan tipu muslihat atau perkataan-perkataan bohong atau
membujuk orang lain atau perbuatan curang menguntungkan diri sendiri
Pasal 378 menentukan ancaman pidana yang dikenakan bagi setiap orang yang
melanggar ketentuan Pasal 378 adalah pidana penjara selama-lamanya 4 (empat)
tahun.
D. Dasar Pertimbangan Hakim
Hakim yang bebas dan tidak memihak telah menjadi ketentuan universal. Ia
menjadi ciri negara hukum. Sistem yang dianut di Indonesia, pemeriksaan di
sidang pengadilan yang dipimpin oleh hakim, hakim itu harus aktif bertanya dan
memberi kesempatan kepada pihak terdakwa, yang diawali oleh penasehat
hukumnya untuk bertanya kepada saksi-saksi, begitu pula Penuntut Umum.
Semua itu dengan maksud menemukan kebenaran materiil. Hakimlah yang
bertanggung jawab atas segala yang diputuskannya.12
Perihal putusan hakim atau putusan pengadilan merupakan aspek penting dan
diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Dengan demikian dapat
dikonklusikan lebih jauh, bahwasanya putusan hakim di satu pihak berguna bagi
terdakwa guna memperoleh kepastian hukum tentang statusnya, dan sekaligus
dapat mempersiapkan langkah berikutnya terhadap putusan tersebut dalam arti
dapat berupa menerima putusan, melakukan upaya hukum verzet, banding, atau
kasasi, melakukan grasi, dan sebagainya. Apabila ditelaah melalui visi hakim
yang mengadili perkara, putusan hakim adalah mahkota dan puncak pencerminan
nilai-nilai keadilan, kebenaran hakiki, HAM, penguasaan hukum atau fakta secara
12
mapan, mumpuni dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas dari
hakim yang bersangkutan.13
Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan
pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa sesuatu tindakan pidana
benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dengan
perkataan lain meskipun ada lebih dari dua alat bukti yang sah kalau hakim belum
atau tidak memperoleh keyakinan bahwa terdakwa benar-benar bersalah
melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka hakim tidak akan
memutuskan penjatuhan pidana terhadap terdakwa.
Kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan menurut hukum karena:
(1) Tidak terdapat alat bukti seperti ditentukan asas minimum pembuktian
menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewijs theorie) sebagaimana dianut KUHAP. Misalnya, hakim dalam persidangan
menemukan satu alat bukti berupa keterangan terdakwa saja (Pasal 184 ayat
(1) huruf e KUHAP) atau satu alat bukti petunjuk saja (Pasal 184 ayat (1)
huruf d KUHAP).
(2) Majelis Hakim berpendirian bahwa terhadap asas minimum pembuktian sesuai
undang-undang telah terpenuhi misalnya adanya dua alat bukti berupa
keterangan saksi (Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP) dan alat bukti petunjuk
13
(Pasal 184 ayat (1) huruf d KUHAP). Akan tetapi, majelis hakim tidak dapat
menjatuhkan pidana karena tidak yakin akan kesalahan terdakwa.
Berdasarkan Pasal 191 ayat (1) KUHAP, putusan bebas adalah jika pengadilan
berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas
perbuatan terdakwa yang didakwakan kepadanya jika terbukti secara sah dan
meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.
Teori dasar pertimbangan hakim, yaitu putusan hakim yang baik, mumpuni dan
sempurna, hendaknya putusan tersebut dapat diuji dengan empat kriteria dasar
pertanyaan (the four way test)14, berupa:
1. Benarkah putusanku ini?
2. Jujurkah aku dalam mengambil putusan?
3. Adilkah bagi pihak-pihak putusan?
4. Bermanfaatkah putusanku ini?
Prakteknya, walaupun telah bertitik tolak dari sifat/sikap seseorang hakim yang
baik, kerangka landasan berpikir/bertindak dan melalui empat buah titik
pertanyaan tersebut di atas, maka hakim ternyata seorang manusia biasa yang
tidak luput dari kelalaian, kekeliruan/kekhilafan (rechterlijk dwaling), rasa
rutinitas, kekuranghati-hatian dan kesalahan. Praktek peradilan pada saat ini, ada
14
saja aspek-aspek tertentu yang luput dan kerap tidak diperhatikan hakim dalam
membuat keputusan.15
Putusan hakim merupakan puncak dari perkara pidana, sehingga hakim harus
mempertimbangkan aspek-aspek lainnya selain dari aspek yuridis, sehingga
putusan hakim tersebut lengkap mencerminkan nilai-nilai sosiologis, filosofis, dan
yuridis. Hakekatnya dengan adanya pertimbangan-pertimbangan tersebut,
diharapkan nantinya dihindari sedikit mungkin putusan hakim menjadi batal demi
hukum (van rechtswege nietig atau null and void), karena kurang pertimbangan
hukum (onvoldoende gemotiverd).
Praktek peradilan pidana pada putusan hakim sebelum
pertimbangan-pertimbangan yuridis dibuktikan, maka hakim terlebih dahulu akan menarik
fakta-fakta dalam persidangan yang timbul dan merupakan konklusi kumulatif dari
keterangan para saksi, keterangan terdakwa, dan barang bukti yang diajukan dan
diperiksa di persidangan. Menurut Soerjono Soekanto, teori lain yang berkaitan
dengan dasar pertimbangan hakim, yaitu dalam mengadili pelaku tindak pidana
pemalsuan dokumen, maka proses menyajikan kebenaran dan keadilan dalam
suatu putusan pengadilan sebagai rangkaian proses penegakan hukum, maka dapat
dipergunakan teori kebenaran.16
Putusan pengadilan dituntut untuk memenuhi teori-teori sebagai berikut:
a. Teori Koherensi atau Konsistensi
15
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1986), Hlm. 125
16
Teori yang membuktikan adanya saling berhubungan antara bukti yang satu
dengan bukti yang lain, misalnya antara keterangan saksi yang satu dengan
keterangan saksi yang lain. Atau, saling berhubungan antara keterangan saksi
dengan alat bukti yang lain (alat-alat bukti yang tertuang dalam Pasal 184
KUHAP). Dalam hal seperti ini, dikenal adanya hubungan kausalitas yang
bersifatrasional a priori. b. Teori Korespondensi
Jika ada fakta-fakta di persidangan yang saling bersesuaian, misalnya antara
keterangan saksi bersesuaian dengan norma atau ide. Jika keterangan saksi
Mr. X menyatakan bahwa pembangunan proyek yang dilakukan oleh Mr. Y
tidak melalui proses lelang, tetapi dilaksanakan melalui penunjukan langsung
Perusahaan Z. Persesuaian antara fakta dengan norma ini, terlihat dalam
hubungan kausalitas yang bersifat empirisa pesteriori. c. Teori utilitas
Teori ini dikenal pula dengan pragmatik, kegunaan yang bergantung pada
manfaat (utility), yang memungkinkan dapat dikerjakan (workability),
memiliki hasil yang memuaskan (satisfactory result), misalnya, seseorang
yang dituduh melakukan korupsi karena melakukan proyek pembangunan
jalan yang dalam kontrak akan memakai pasir sungai, tetapi karena di daerah
tersebut tidak didapatkan pasir sungai, lalu pelaksana proyek itu
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis
normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan
untuk memahami persoalan dengan tetap berada atau bersandarkan pada lapangan
atau kajian ilmu hukum, sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk
memperoleh kejelasan dan pemahaman dari permasalahan penelitian berdasarkan
realitas yang ada atau studi kasus.1
Berdasarkan pengertian tersebut, maka pendekatan yuridis normatif dan yuridis
empiris digunakan dalam penelitian ini, untuk memahami persoalan mengenai
pertangungjawaban pidana pelaku tindak pidana penipuan dan dasar pertimbangan
hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana penipuan dalam
Undang-Undang No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaran Ibadah Umrah,
dengan berdasarkan pada studi kasus terhadap Putusan Pengadilan Negeri Kelas
IA Tanjung Karang Nomor: 758/Pid.B/2011/PN.TK.
1
B. Sumber dan Jenis Data
Jenis data dilihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data yang diperoleh
langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka.2 Sumber
dan jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:
1. Data Primer
Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan
penelitian dengan cara melakukan wawancara dengan orang-orang yang berkaitan
dengan masalah yang akan diteliti dalam penulisan skripsi. Data primer ini akan
diambil dari Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang dan Kejaksaan
Negeri Bandar Lampung.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data tambahan yang diperoleh dari berbagai sumber hukum
yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Data sekunder dalam
penelitian ini, terdiri dari:
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat terdiri dari:
(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo. Undang-Undang Nomor 73
Tahun 1958 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
(2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP); dan
(3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah
Umrah.
2
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder dapat bersumber dari bahan-bahan hukum yang
melengkapi hukum primer dan peraturan perundang-undangan lain yang sesuai
dengan masalah dalam penelitian ini. Selain itu, bahan hukum sekunder berasal
dari Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 758/Pid.B/2011/PN.TK.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier dapat bersumber dari berbagai bahan seperti teori/pendapat
para ahli dalam berbagai literatur/buku hukum, dokumentasi, kamus hukum dan
sumber dari internet.
C. Penentuan Populasi dan Sampel 1. Populasi
Menurut Soerjono Soekanto, populasi adalah keseluruhan subyek hukum yang
memiliki karakteristik tertentu dan ditetapkan untuk diteliti.3 Berdasarkan
pengertian di atas, maka yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah Jaksa
dari Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Hakim pada Pengadilan Negeri Kelas IA
Tanjung Karang dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas
Lampung.
3
2. Sampel
Menurut Soerjono Soekanto, sampel adalah bagian dari populasi yang masih
memiliki ciri-ciri utama dari populasi dan ditetapkan untuk menjadi responden
penelitian. Sampel dalam penelitian ditetapkan dengan teknikpurposive sampling,
yaitu sampel dipilih berdasarkan pertimbangan dan tujuan penelitian.4
Berdasarkan pengertian di atas, maka yang menjadi responden/sampel dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung = 2 orang
2) Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang = 2 orang
3) Dosen pada Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum = 1 orang
Universitas Lampung +
Jumlah = 5 orang
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Prosedur Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:
a. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan adalah prosedur yang dilakukan dengan serangkaian
kegiatan seperti membaca, menelaah dan mengutip dari buku-buku literatur
serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan terkait dengan permasalahan.
4
b. Studi Lapangan
Studi lapangan adalah prosedur yang dilakukan dengan kegiatan wawancara
(interview) kepada responden penelitian sebagai usaha mengumpulkan berbagai data dan informasi yang dibutuhkan sesuai dengan permasalahan
yang dibahas dalam penelitian.
2. Prosedur Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah analisis data yang telah
diperoleh sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Pengolahan data dilakukan
dengan tahapan sebagai berikut:
a. Seleksi data, adalah kegiatan pemeriksaan untuk mengetahui kelengkapan
data, selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti dalam
penelitian ini.
b. Klasifikasi data, adalah kegiatan penempatan data menurut
kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data, yang
benar-benar diperlukan dan akurat untuk dianalisis lebih lanjut.
c. Penyusunan data, adalah kegiatan menyusun data yang saling berhubungan
dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan,
sehingga mempermudah interpretasi data.
E. Analisis Data
Menurut Soerjono Soekanto, analisis data adalah menguraikan data dalam bentuk
diinterpretasikan untuk memperoleh suatu kesimpulan.5 Analisis data yang
dipergunakan dalam penelitian ini, adalah analisis kualitatif dan penarikan
kesimpulan dilakukan dengan metode induktif, yaitu menguraikan hal-hal yang
bersifat khusus lalu menarik kesimpulan yang bersifat umum, sesuai dengan
permasalahan yang dibahas dalam penelitian.
5
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pertanggungjawaban pelaku tindak pidana penipuan terhadap calon jemaah
umrah (Studi Kasus Perkara Nomor: 758/Pid.B/2011/PN.TK), dilaksanakan
dengan pertimbangan bahwa pelaku dapat dikatakan memiliki kemampuan
bertanggungjawab atas kesalahan yang dilakukan, hal ini berarti tidak
memenuhi ketentuan yang terdapat dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP, maka oleh
karena itu pelaku harus mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut di
depan hukum, pelaku terbukti bersalah serta mengetahui bahwa perbuatannya
bersifat melanggar hukum yaitu tanpa hak bertindak sebagai penyelenggara
umrah dengan unsur kesengajaan (dolus), serta tidak adanya alasan pemaf
yang dapat membenarkan perbuatannya. Putusan Pengadilan Kelas IA
Tanjungkarang Nomor: 758/Pid./B/2011/PN.TK dijatuhi pidana penjara
selama 1 tahun 4 bulan penjara dikurangi selama terdakwa berada dalam
tahanan sementara, dengan perintah Terdakwa tetap dalam tahanan dan denda
Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) subsider 2 (dua) bulan kurungan sesuai
dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah
Haji.
Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku
tindak pidana penipuan calon jemaah umrah (Studi Kasus Perkara Nomor:
2
memberikan suatu keputusan serta dalam memberikan keputusan hakim juga
mempertimbangkan hal-hal yang bersifat yuridis maupun non yuridis. Hal-hal
yang bersifat yuridis, yaitu dakwaan, keterangan terdakwa dan saksi, barang
bukti yang ditunjukkan dalam persidangan serta pasal-pasal yang terdapat
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dan hal-hal yang
bersifat non yuridis, yaitu latar belakang perbuatan terdakwa, akibat perbuatan
terdakwa, keadaan sosial-ekonomi terdakwa, faktor agama terdakwa.
Disamping itu dalam menjatuhkan putusannya, hakim juga
mempertimbangkan adanya suatu perbuatan pidana (peristiwa pidana) yang
telah terjadi dan unsur-unsur yang memenuhi perbuatan tersebut. Terdapatnya
lebih dari dua alat bukti sesuai dalam Pasal 183 dan Pasal 184 KUHP serta
mempertimbangkan hal-hal yang meringankan terdakwa, seperti terdakwa
mengakui kesalahannya dan menyesali perbuatannya, terdakwa belum pernah
dihukum, terdakwa sopan dalam persidangan, dan terdakwa memiliki
tanggungan keluarga. Pada akhirnya, seorang hakim memiliki kebebasan
dalam memberikan suatu keputusan yang didasarkan pada hati nurani, hal ini
diserahkan sepenuhnya pada diri masing-masing hakim, dimana putusan
3
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis menyarankan:
1. Kepada aparat penegak hukum khususnya hakim, agar dalam menjatuhkan
putusan mempertimbangkan aspek yuridis dan non yuridis. Hakim dalam
memutuskan suatu perkara, harus terlebih dahulu melihat nilai-nilai hukum
yang terdapat dalam perundang-undangan yang berlaku, sehingga dapat
memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana dan dapat menjadi contoh
bagi masyarakat lainnya agar tidak melakukan perbuatan yang sama.
2. Menghimbau kepada seluruh masyarakat untuk dapat lebih memahami
hukum, agar seorang pelaku tindak pidana dapat mempertanggungjawabkan
perbuatan yang telah dilakukan, sehingga tidak akan merugikan diri sendiri
dan orang lain.
3. Menghimbau kepada masyarakat yang ingin menunaikan ibadah umrah lewat
biro perjalanan umrah, agar lebih waspada dengan praktek penipuan yang
sedang marak terjadi serta mengingatkan masyarakat untuk lebih berhati-hati
terhadap penipuan bermoduskan pemberangkatan umroh dengan biaya yang
murah, kecuali ada bantuan dari pemerintah ataupun diselenggarakan oleh biro
ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENIPUAN TERHADAP CALON JEMAAH UMRAH
(Studi Kasus Perkara Nomor: 758/Pid.B/2011/PN.TK) (Skripsi)
RANTI SETYA CIPTA PRATAMA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
DAFTAR PUSTAKA
Andrisman, Tri. 2009. Asas-asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia. Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Arief, Barda Nawawi. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Atmasasmita, Romli. 1989. Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta: LBHI.
________. 1993.Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta. ________. 1987.Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara.
Hamzah, Andi. 2001.Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.
Moeljatno. 1978.Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban pidana. Jogjakarta. ________. 1987.Asas-asas Hukum Pidana.Jakarta: Bina Aksara.
________. 1993.Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia.Jakarta: Rineka Cipta. Muhammad, Abdulkadir. 2004.Hukum dan Penelitian Hukum.
Mulyadi. Lilik. 2007.Kekuasaan Kehakiman. Surabaya: Bina Ilmu.
Mulyadi. Lilik. 2010. Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Indonesia. Citra Aditya Bakti: Bandung.
Normies, Adam. 1992.Kamus Bahasa Indonesia. Karya Ilmu: Bandung.
Poernomo, Bambang. 1981.Asas-asas Hukum Pidana.Jakarta: Ghalia Indonesia
Prodjodikoro, Wirjono. 1986. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: Eresco.
Prodjohamidjojo, Martiman, 1997. Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.
Saherodji, Hari. 1980.Pokok-Pokok Kriminologi. Bandung: Aksara Baru.
Saleh, Roeslan. 1982.Asas-Asas Hukum Pidana. Bandung.
Soehandi. 2006. Kamus Populer Kepolisian Semarang: Koperasi Wira Raharja, Pokok-pokok Kriminologi. Aksara Baru: Bandung.
Soekanto, Soerjono. 1983. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Soekanto, Soerjono. 1986.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.
Wahyu, Affandi. 1984.Hakim dan Penegakan Hukum. Alumni. Bandung.
Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang Nomor: 758/Pid.B/2011/PNTK
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman.
MENGESAHKAN
1. Tim Penguji
Ketua : Tri Andrisman, S.H., M.H. ………….
Sekretaris/Anggota : Firganefi, S.H., M.H. ………….
Penguji Utama : Maya Shafira, S.H., M.H. ………….
2. Dekan Fakultas Hukum
Dr. Heryandi, S.H., M.S.
NIP. 19621109 198703 1 003
ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENIPUAN TERHADAP CALON JEMAAH UMRAH
(Studi Kasus Perkara Nomor : 758/Pid.B/2011/PN.TK)
Oleh
RANTI SETYA CIPTA PRATAMA
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
Judul Skripsi : ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENIPUAN
TERHADAP CALON JEMAAH UMRAH
Nama Mahasiswa : RANTI SETYA CIPTA PRATAMA
No. Pokok Mahasiswa : 0812011252
Bagian : Hukum Pidana
Fakultas : Hukum
MENYETUJUI
1. Komisi Pembimbing
Tri Andrisman, S.H., M.H. Firganefi, S.H., M.H.
NIP. 19611231 198903 1 023 NIP. 19631217 198803 2 003
2. Ketua Bagian Hukum Pidana
Diah Gustiniati, S.H., M.H.