• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENIPUAN TERHADAP CALON JEMAAH UMRAH (Studi Kasus Perkara Nomor: 758/Pid.B/2011/PN.TK)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENIPUAN TERHADAP CALON JEMAAH UMRAH (Studi Kasus Perkara Nomor: 758/Pid.B/2011/PN.TK)"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

Ranti Setya Cipta Pratama

ABSTRAK

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENIPUAN TERHADAP CALON JEMAAH UMRAH

(Studi Kasus Perkara Nomor : 758/Pid.B/2011/PN.TK) Oleh

RANTI SETYA CIPTA PRATAMA

Dalam beberapa tahun terakhir ini, terdapat peningkatan permintaan perjalanan umrah yang cukup besar, sehingga banyak Biro Perjalanan Tour & Travel yang menawarkan perjalanan umrah. Namun, kondisi ini pun akhirnya dimanfaatkan oleh oknum Biro Perjalanan Tour & Travel nakal yang mengaku sebagai biro perjalanan umrah yang menawarkan biaya yang murah. Hal ini membuat banyak korban tergiur untuk mendaftarkan diri sebagai peserta calon jemaah umrah. Untuk itu, penulis ingin membahas permasalahan tentang bagaimana pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana penipuan terhadap Calon Jemaah Umrah pada Studi Kasus Perkara Nomor : 758/Pid.B/2011/PN.TK serta apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana penipuan pada perkara Nomor: 758/Pid.B/2011/PN.TK.

Metode penelitian ini menggunakan pendekatan masalah secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan melalui studi lapangan dan data sekunder diperoleh melalui studi pustaka. Data diperoleh dengan pengumpulan sampel secara purposive sampling yaitu dengan cara wawancara dengan menggunakan pedoman tertulis terhadap responden yang telah ditentukan.

(2)

Ranti Setya Cipta Pratama

di dalam hukum pidana. Hal-hal yang bersifat non yuridis yaitu latar belakang perbuatan terdakwa, akibat perbuatan terdakwa, kondisi diri terdakwa, keadaan sosial ekonomi terdakwa dan faktor agama dari terdakwa, hal-hal yang memberatkan dan meringankan pidana, dan terdapat lebih dari satu alat bukti sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 183 dan 184 KUHP.

(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kejahatan yang berlangsung ditengah-tengah masyarakat semakin hari kian

berkembang, salah satu yang mulai tampak menonjol ialah banyaknya

kejahatan-kejahatan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada umumnya bertalian dengan

uang, harta benda, atau harta kekayaan, kejahatan terhadap harta kekayaan ini

semakin berkembang apabila tingkat kehidupan masyarakat semakin rendah

sehingga berakibat semakin melunturnya nilai-nilai kehidupan.

Nilai-nilai kehidupan yang cenderung luntur, memberikan peluang tertentu kepada

sebagian masyarakat untuk melakukan suatu tindak pidana yang erat hubungannya

dengan kepercayaan dan harta kekayaan, yaitu tindak pidana penipuan

sebagaimana diatur dalam Buku Kedua Bab XXV Pasal 378 KUHP, yaitu:

"Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun."

Hal ini yang menyatakan bahwa tindak pidana penipuan memiliki masalah yang

(4)

manusia sebagai individu, seperti halnya kasus penipuan dana calon jemaah

umrah di Indonesia yang merupakan suatu problema masyarakat yang tidak dapat

dipercaya untuk diperbuat seseorang. Niat yang suci untuk melaksanakan perintah

Allah SWT dengan mempergunakan ongkos sebagai langkah untuk memenuhi

panggilan-Nya, tidak menjadi hambatan seseorang untuk melakukan kejahatan.

Pada penyelenggaraan ibadah umrah terdapat penipuan yang melanggar

kewenangan dan penyalahgunaan hak, walaupun pemerintah telah mengeluarkan

Undang-Undang No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji yang

telah berlangsung kurang lebih 4 tahun diberlakukannya, namun pada

kenyataannya masih banyak biro perjalanan umrah yang melakukan penipuan

kepada calon jemaah umrah. Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak

bertindak sebagai penyelenggara perjalanan Ibadah Umrah dengan

mengumpulkan dan/atau memberangkatkan Jemaah Umrah sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4

(empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta

rupiah).1

Pengadilan Negeri Tanjung Karang menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa

Heryanti Munayah Binti Gerudin yang bersalah melakukan tindak pidana

penipuan terhadap jemaah umrah sebagaimana diatur dalam Pasal 63 ayat (2)

Undang-Undang No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji .

Terdakwa dihukum dengan pidana penjara selama 1 tahun 4 bulan penjara

dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara, dengan perintah

1

(5)

terdakwa tetap dalam tahanan dan denda Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah),

karena secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana penipuan terhadap

calon jemaah umrah.2

Berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan

Ibadah Haji dan Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang Nomor:

758/Pid./B/2011/PN.TK tersebut, terlihat bahwa vonis yang dijatuhkan Majelis

Hakim kepada terdakwa, yaitu 1 tahun 4 bulan tidak sesuai dengan tuntutan jaksa

yaitu 2 (dua) tahun penjara dan masih jauh dari hukuman maksimalnya yaitu 4

(empat) tahun penjara.

Berdasarkan uraian di atas yang sekaligus juga melatarbelakangi masalah, maka

penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan kemudian membahasnya lebih

lanjut dalam bentuk Skripsi dengan judul “Analisis Pertanggungjawaban Pidana

Pelaku Tindak Pidana Penipuan Terhadap Calon Jemaah Umrah (Studi Perkara

Nomor : 758/Pid.B/2011/PN.TK.).”

2

(6)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka permasalahan yang akan dibahas

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana penipuan

calon jemaah umrah (Studi Kasus Perkara Nomor: 758/Pid.B/2011/PN.TK)?

b. Apakah dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap

pelaku tindak pidana penipuan calon jemaah umrah (Studi Kasus Perkara

Nomor: 758/Pid.B/2011/PN.TK)?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup studi dalam penelitian ini adalah kajian Ilmu Hukum Pidana,

khususnya yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku

tindak pidana penipuan dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan

putusan terhadap pelaku tindak pidana penipuan sebagaimana terdapat pada

Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 758/Pid.B/2011/PNTK.

Ruang lingkup waktu penelitian adalah tahun 2012 dan ruang lingkup lokasi

(7)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana penipuan

terhadap calon jemaah umrah.

b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan

terhadap pelaku tindak pidana penipuan calon jemaah umrah.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam

pengembangan kajian hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan

pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penipuan dan dasar

pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak

pidana penipuan.

b. Kegunaan Praktis

Dengan adanya penulisan skripsi ini, diharapkan dapat memberikan

sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan di dalam bidang hukum

(8)

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah abstraksi hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada

dasarnya untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi yang dianggap relevan

oleh peneliti3.

a. Pertanggungjawaban Pidana

Seorang yang melakukan tindak pidana baru boleh dihukum apabila si pelaku

sanggup mempertanggungjawabkan yang telah diperbuatnya, masalah

pertanggungjawaban erat kaitannya dengan kesalahan, oleh karena adanya asas

pertanggungjawaban yang menyatakan dengan tegas bahwa tidak dipidana tanpa

ada kesalahan. Pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa setiap

orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana

dirumuskan dalam undang-undang, maka orang tersebut patut

mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya.4

Pertanggungjawaban pidana menurut hukum pidana adalah kemampuan

bertanggungjawab seseorang terhadap kesalahan. Unsur pertama adalah

kemampuan bertanggung jawab yang dapat diartikan sebagai implementasi

tanggungjawab seseorang untuk menerima setiap resiko atau konsekuensi yuridis

yang muncul sebagai akibat tindak pidana yang telah dilakukannya, sedangkan

3

Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1983), Hlm. 73

4

(9)

unsur kedua adalah kesalahan yang dapat diartikan sebagai unsur kesengajaan,

kelalaian, atau kealpaan.

1) Kemampuan bertanggung jawab

Unsur pertama dari kesalahan adalah adanya kemampuan bertangggung jawab.

Tidaklah mungkin seseorang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana

apabila ia tidak mampu bertanggung jawab. Kemampuan bertanggung jawab

dapat diartikan sebagai suatu keadaan jiwa sedemikian, yang membenarkan

adanya penerapan sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum

maupun dari orangnya5. Kemampuan bertanggung jawab harus memuat unsur:

a) Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan

yang buruk sesuai hukum dan yang melawan hukum (intellectual factor);

b) Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan

tentang baik buruknya perbuatan tadi (volitional factor).

Orang yang mampu bertanggung jawab harus memenuhi tiga syarat6:

a) Dapat menginsyafi makna perbuatannya;

b) Dapat menginsyafi bahwa perbuatan itu tidak dapat dipandang patut

dalam pergaulan masyarakat;

c) Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan

perbuatan.

5

Tri Andrisman, Asas-asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, (Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2009), Hlm. 96

6

(10)

Seorang pelaku tindak pidana tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban

terhadap perbuatannya, apabila terdapat alasan-alasan pemaaf (kesalahannya

ditiadakan) dan alasan pembenar (sifat melawan hukumnya ditiadakan) yang

dasar-dasarnya ditentukan dalam KUHP, sebagai berikut:

a) Alasan pemaaf/kesalahannya ditiadakan, yaitu jiwanya cacat atau

terganggu karena penyakit (Pasal 44 KUHP), pengaruh daya paksa (Pasal

48 KUHP), pembelaan terpaksa karena serangan (Pasal 49 KUHP) dan

perintah jabatan karena wewenang (Pasal 51 KUHP).

b) Alasan pembenar/peniadaan sifat melawan hukum, yaitu keadaan darurat

(Pasal 48 KUHP), terpaksa melakukan pembelaan karena serangan

terhadap diri sendiri maupun orang lain, terhadap kehormatan kesusilaan,

atau harta benda sendiri atau orang lain (Pasal 49 KUHP), perbuatan yang

dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang (Pasal 50 KUHP) dan

perbuatan yang dilaksanakan menurut perintah jabatan oleh penguasa yang

berwenang (Pasal 51 KUHP).

2) Kesengajaan/kelalaian atau kealpaan

Unsur kedua dari kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya adalah hubungan batin

antara si pembuat terhadap perbuatannya, yang dicelakan kepada si pembuat.

Hubungan batin ini bissa berupa sengaja atau alpa. KUHP tidak memberikan

pengertian tentang kesengajaan. Petunjuk tentang arti kesengajaan dapat diketahui

(11)

menghendaki dan mengetahui.7 Bentuk atau corak kesengajaan ada 3 (tiga)

macam yaitu:

a) Sengaja dengan maksud (Dolus Directus), yaitu apabila si pelaku memang menghendaki dengan maksud akibat perbuatan yang dilakukan sesuai

dengan sempurna.

b) Sengaja dengan kepastian, yaitu apabila si pelaku mengetahui dari

perbuatannya yang dilakukan akan timbul atau pasti terjadi akibat lain dari

perbuatan yang dilakukan.

c) Sengaja dengan kemungkinan (Dolus Evertualis), yaitu apabila si pelaku

dapat memperkirakan kemungkinan yang timbul akibat lain dari perbuatan

yang dilakukan dan ternyata kemungkinan tersebut benar-benar terjadi.

Hubungan kemampuan bertanggung jawab dengan perbuatan yang dilakukan

merupakan masalah kesengajaan, kealpaan serta alasan pemaaf sehingga mampu

bertanggung jawab harus mempunyai kesengajaan atau kealpaan serta tidak

adanya alasan pemaaf merupakan unsur kesalahan dari semua unsur kesalahan.

Jadi harus dihubungkan pula dengan tindak pidana yang dilakukan, sehingga

untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa harus

memenuhi beberapa syarat yaitu8:

a) Melakukan perbuatan pidana;

b) Mampu bertanggung jawab;

c) Dengan sengaja atau kealpaan; dan

7

Tri Andrisman,Op. cit., Hlm. 102

8

(12)

d) Tidak adanya alasan pemaaf.9

b. Tindak Pidana Penipuan

Timbulnya tindak pidana tidak disebabkan oleh satu faktor saja yang berdiri

sendiri, sebagaimana yang dikemukakan oleh Sutherland bahwa:

“Tindak pidana adalah hasil dari faktor-faktor yang beraneka ragam dan bermacam-macam. Dan bahwa faktor-faktor itu dan untuk selanjutnya tidak bisa disusun menurut ketentuan yang berlaku umum tanpa ada pengecualian atau dengan perkataan lain, untuk menerangkan kelakuan kriminal memang

tidak ada teori ilmiah”.10

Menurut bahasa, penipuan berasal dari kata “tipu” yang berarti perbuatan atau

perkataan tidak jujur (bohong, palsu, dan sebagainya) dengan maksud untuk

menyesatkan, mengakali atau mencari untung. Sedangkan penipuan merupakan

proses dari tindakan menipu.11 Secara yuridis, penipuan berarti perbuatan dengan

maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum

dengan memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat atau kebohongan yang

dapat menyebabkan orang lain dengan mudah menyerahkan barang, uang atau

kekayaan12.

Tindak pidana penipuan yang terdapat pada Pasal 378 KUHP mengandung

unsur-unsur sebagai berikut:

a) Barang siapa dengan maksud menguntungkan dirinya atau orang lain;

b) Melawan hukum;

9Ibid. 10

Hari Saherodji,Pokok-Pokok Kriminologi, (Bandung: Aksara Baru, Bandung, 1980), Hlm. 35

11

Adam Normies,Kamus Bahasa Indonesia, (Bandung: Karya Ilmu, 1992), Hlm. 199

12

(13)

c) Dengan memakai nama palsu atau martabat palsu atau dengan tipu

muslihat atau rangkaian kebohongan.

Unsur-unsur tindak pidana penipuan yang terdapat pada Pasal 63 ayat (2)

Undang-Undang No. 13 Tahun 2008 sebagai berikut:

a) Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak bertindak sebagai

penyelenggara perjalanan ibadah umrah;

b) Dengan mengumpulkan dan/atau memberangkatkan jemaah umrah.

c. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana

Pada dasarnya tujuan hukum acara pidana itu adalah mencari, menentukan, dan

menggali kebenaran materil (materieele waarheid) atau kebenaran yang sesungguh-sungguhnya. Dengan demikian, berkorelatif aspek tersebut secara

teoritis dan praktek peradilan guna mewujudkan materieele waarheid maka suatu alat bukti mempunyai peranan penting dan menentukan sehingga haruslah

dipergunakan dan diberi penilaian secara cermat agar tercapai kebenaran hakiki

sekaligus tanpa mengabaikan hak asasi terdakwa.13

Menurut Barda Nawawi Arif, hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa hakim

tidak boleh menjantuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan

sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa

13

(14)

suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah

melakukannya.14Alat bukti sah berdasarkan Pasal 184 adalah:

a) Keterangan Saksi;

b) Keterangan Ahli;

c) Surat;

d) Petunjuk;

e) Keterangan Terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui

sehingga tidak perlu dibuktikan.

Pasal 185 ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa keterangan seorang saksi saja

tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan

yang didakwakan kepadanya, sedangkan dalam ayat 3 dikatakan ketentuan

tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya

(unus testis nullus testis ). Saksi korban juga berkualitas sebagai saksi, sehingga

apabila terdapat alat bukti yang lain sebagaimana dimaksud dalam ayat 3, maka

hal itu cukup untuk menuntut pelaku tindak pidana.

Selain itu, hakim Pengadilan Negeri mengambil suatu keputusan dalam sidang

pengadilan, mempertimbangkan beberapa aspek, yaitu:

(1) Kesalahan pelaku tindak pidana.

Hal ini merupakan syarat utama untuk dapat dipidananya seseorang.

Kesalahan di sini mempunyai arti seluas-luasnya, yaitu dapat dicelanya

pelaku tindak pidana tersebut. Kesengajaan dan niat pelaku tindak pidana

14

(15)

harus ditentukan secara normatif dan tidak secara fisik. Untuk menentukan

adanya kesengajaan dan niat harus dilihat dari peristiwa, yang harus

memegang ukuran normatif dari kesengajaan dan niat adalah hakim.

(1) Motif dan tujuan dilakukannnya suatu tindak pidana.

Kasus tindak pidana mengandung unsur bahwa perbuatan tersebut

mempunyai motif dan tujuan untuk dengan sengaja melawan hukum.

(2) Cara melakukan tindak pidana.

Pelaku melakukan perbuatan tersebut ada unsur yang direncanakan terlebih

dahulu untuk melakukan tindak pidana tersebut. Memang terdapat unsur

niat di dalamnya yaitu keinginan si pelaku untuk melawan hukum.

(3) Sikap batin pelaku tindak pidana.

Hal ini dapat diidentifikasikan dengan melihat pada rasa bersalah, rasa

penyesalan dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan tersebut. Pelaku

juga memberikan ganti rugi atau uang santunan pada keluarga korban dan

melakukan perdamaian secara kekeluargaan.

(4) Riwayat hidup dan keadan sosial ekonomi.

Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku tindak pidana juga

sangat mempengaruhi putusan hakim dan memperingan hukuman bagi

pelaku, misalnya belum pernah melakukan perbuatan tindak pidana apapun,

berasal dari keluarga baik-baik, tergolong dari masyarakat yang

berpenghasilan sedang-sedang saja (kalangan kelas bawah).

(16)

Pelaku dalam dimintai keterangan atas kejadian tersebut, ia menjelaskan

tidak berbelir-belit, ia menerima dan mengakui kesalahannya. Maka hal

yang di atas juga menjadi pertimbangan bagi hakim untuk memberikan

keringanan pidana bagi pelaku. Pengaruh pidana terhadap masa depan

pelaku. Pidana juga mempunyai tujuan yaitu selain membuat jera kepada

pelaku tindak pidana, juga untuk mempengaruhi pelaku agar tidak

mengulangi perbuatannnya tersebut, membebaskan rasa bersalah pada

pelaku, memasyarakatkan pelaku dengan mengadakan pembinaan, sehingga

menjadikannya orang yang lebih baik dan berguna.

(6) Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku.

Dalam suatu tindak pidana masyarakat menilai bahwa tindakan pelaku

adalah suatu perbuatan tercela, jadi wajar saja kepada pelaku mendapat

ganjarannya dan menjadikan pelajaran untuk tidak melakukan perbuatan

yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Hal tersebut dinyatakan

bahwa ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran dan

(17)

2. Konseptual

Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan

dalam penelitian.15 Berdasarkan definisi tersebut, maka batasan pengertian dari

istilah yang digunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut:

a) Analisis adalah penyidikan suatu peristiwa (karangan, perbuatan dan

sebagainya), untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya sebab-musabab,

duduk perkaranya dan sebagainya.16

b) Pertanggungjawaban pidana adalah suatu mekanisme hukum, dimana setiap

orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana

dirumuskan dalam undang-undang, harus mempertanggungjawabkan

perbuatan sesuai dengan kesalahannya.17

c) Pelaku adalah mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang

turut serta melakukan perbuatan.18

d) Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum

yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barang

siapa melanggar larangan tersebut.19

e) Tindak pidana penipuan adalah Barang siapa dengan maksud untuk

menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan

memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun

dengan rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan

15

Soerjono Soekanto,Op. cit. Hlm. 112

16

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa,Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), Hlm. 60

17

Andi Hamzah,Op. cit, Hlm. 12

18

Pasal 55 ayat (1) KUHP

19

(18)

sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun

menghapuskan piutang.20

f) Umrah (haji kecil) yaitu kunjungan (ziarah) ke tempat suci (sebagai bagian

dari upacara naik haji, dilakukan setiba di Mekah) dengan cara berihram,

tawaf, sai, dan bercukur, tanpa wukuf di Padang Arafah, yang pelaksanaannya

dapat bersamaan dengan waktu haji atau di luar waktu haji.21

g) Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang

pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari

segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam

undang-undang ini.22

E. Sistematika Penulisan

Sistematika yang disajikan, agar mempermudah dalam penulisan skripsi secara

keseluruhan diuraikan sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Berisi Pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari latar belakang,

permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka

teori dan konseptual serta sistematika penulisan.

20

Pasal 378 KUHP

21

Kamus Bahasa Indonesia,Op. cit. Hlm. 1588

22

(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Berisi Tinjauan Pustaka dari berbagai konsep atau kajian yang berhubungan

dengan penyusunan skripsi, yaitu pertanggungjawaban pidana pelaku tindak

pidana penipuan dan dasar pertimbangan hakim dalam Undang-Undang No.

13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji .

III. METODE PENELITIAN

Berisikan metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari pendekatan

masalah, sumber data, penentuan populasi dan sampel, prosedur pengumpulan

dan pengolahan data serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berisi deskripsi, berupa penyajian dan pembahasan data yang telah didapat

penelitian, terdiri dari deskripsi dan analisis pertanggungjawaban pidana

terhadap pelaku tindak pidana penipuan dan dasar pertimbangan hakim dalam

menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana penipuan.

V. PENUTUP

Berisi kesimpulan yang didasarkan pada hasil analisis dan pembahasan

penelitian, serta berbagai saran sesuai dengan permasalahan yang ditujukan

(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana (criminal liability) atau (straafbaarheid),

sesungguhnya tidak hanya menyangkut soal hukum semata-mata, melainkan juga

menyangkut soal nilai-nilai moral atau kesusilaan umum yang dianut oleh

masyarakat atau kelompok-kelompok dalam masyarakat. Dipidananya seseorang

tidaklah cukup, apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan

dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi walaupun perbuatannya

memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, hal

tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan

masih perlu adanya syarat, yaitu bahwa orang yang melakukan perbuatan itu

mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt).1

Menurut Romli Atmasasmita, pertanggungjawaban atauliabilitydiartikan sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dan

seseorang yang dirugikan.2 Roeslan Saleh berpendapat bahwa tanggung jawab

atas sesuatu perbuatan pidana yang bersangkutan secara sah dapat dikenai pidana

karena perbuatan itu.3

1

Moeljatno,Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban pidana. (Jogjakarta, 1978), Hlm. 56

2

Romli Atmasasmita,Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana. (Jakarta: LBHI, 1989), Hlm. 79

3

(21)

Konsep dalam rancangan KUHP baru tahun 1991/1992 memberikan definisi

pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang obyektif ada pada

tindak pidana berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku dan secara subyektif

kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat dalam peraturan

perundang-undangan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu.

B. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana

Secara yuridis tindak pidana diartikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar

hukum atau dilanggar oleh undang-undang dari beberapa definisi tindak pidana

diketahui pada dasarnya adalah suatu bentuk perbuatan dan tingkah laku yang

melanggar hukum dan perundang-undangan lain serta melanggar norma sosial

hingga masyarakat menentangnya.4 Menurut Moeljatno tindak pidana merupakan

suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum yang disertai ancaman

atau sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan

tersebut.5 Pompe memberikan pengertian tindak pidana menjadi dua definisi,

yaitu:

1. Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum. 2. Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian/feit yang oleh

peraturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.6

4

H. Saherodji,Op. cit. Hlm. 12

5

Moeljatno,Op. cit. Hlm. 54

6

(22)

Menurut Simons mendefinisikan tindak pidana adalah kelakuan/handeling yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan

kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.7

Sedangkan Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa tindak pidana adalah suatu

perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana.8

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tindak pidana dibagi dalam 2

(dua) kelompok, yaitu:

1) Kejahatan (termuat dalam Buku II, Pasal 104 sampai Pasal 488). Yang

termasuk dalam kejahatan antara lain:

a. Kejahatan terhadap keamanan negara;

b. Kejahatan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden;

c. Kejahatan terhadap negara sahabat dan terhadap kepala dan wakil negara

tersebut;

d. Kejahatan terhadap ketertiban umum;

e. Kejahatan yang membahayakan keamanan orang dan barang;

f. Kejahatan terhadap kesusilaan;

g. Kejahatan terhadap nyawa;

h. Kejahatan terhadap tubuh;

i. dan lain-lain.

7

Moeljatno,Op. cit. Hlm. 56

8

(23)

2) Pelanggaran (termuat dalam Buku III, Pasal 489 sampai Pasal 569). Yang

termasuk dalam kelompok pelanggaran, antara lain:

a. Pelanggaran keamanan umum bagi orang atau barang dan kesehatan;

b. Pelanggaran terhadap ketertiban umum;

c. Pelanggaran terhadap kekuasaan umum; dan

d. Pelanggaran terhadap orang yang perlu ditolong.

2. Unsur-unsur Tindak Pidana

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui beberapa unsur yang terkandung

dalam suatu tindak pidana. Apabila unsur-unsur tersebut salah satunya tidak

terbukti, maka perbuatan tersebut bukanlah suatu tindak pidana atau kejahatan.

Menurut Moeljatno, unsur-unsur perbuatan pidana adalah9:

1. Kelakuan dan akibat (perbuatan);

2. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan;

3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana;

4. Unsur melawan hukum yang obyektif; dan

5. Unsur melawan hukum yang subyektif.

Berdasarkan uraian di atas, maka dalam merumuskan suatu perbuatan pidana

perlu ditegaskan secara jelas hal-hal yang menjadi unsur-unsurnya. Unsur-unsur

tersebut diantaranya adalah suatu perbuatan, melawan hukum, kesalahan dan

dapat dipertanggungjawabkan. Lebih lanjut Moeljatno10 membedakan unsur

9

Moeljatno,Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), Hlm. 63

10Ibid

(24)

tindak pidana berdasarkan perbuatan dan pelaku dapat dibagi dalam 2 (dua)

bagian, yaitu:

1. Unsur subyektif, berupa:

a. Perbuatan manusia; dan

b. Mengandung unsur kesalahan.

2. Unsur obyektif, berupa:

a. Bersifat melawan hukum; dan

b. Ada aturannya.

Unsur-unsur tindak pidana terbagi menjadi 2, yaitu unsur subyektif dan unsur

obyektif. Unsur subyektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku

atau yang berhubungan dengan diri si pelaku. Unsur obyektif adalah unsur-unsur

yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu dalam keadaan mana

tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.

C. Tindak Pidana Penipuan

Menurut Andi Hamzah, tindak pidana adalah tindakan atau perbuatan seseorang

atau individu yang menyebabkan terjadinya suatu tindak kriminal, menyebabkan

orang tersebut menanggung pidana atas perbuatan yang dilakukannya.11Perbuatan

tersebut dinyatakan bertentangan dengan nilai-nilai dalam masyarakat, norma

hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Secara yuridis formal, tindak

kejahatan merupakan bentuk tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana.

11

(25)

Setiap perbuatan yang dilarang oleh undang-undang harus dihindari dan

barangsiapa melanggarnya, maka akan dikenakan pidana. Larangan-larangan dan

kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh setiap warga negara wajib

dicantumkan dalam undang-undang maupun peraturan-peraturan pemerintah, baik

di tingkat pusat maupun daerah.

Berdasarkan Pasal 378, penipuan itu terdapat unsur-unsur obyektif yang meliputi

perbuatan (menggerakkan), yang digerakkan (orang), perbuatan itu ditujukan pada

orang lain (menyerahkan benda, memberi hutang, dan menghapus piutang), dan

cara melakukan perbuatan menggerakkan dengan memakai nama palsu, memakai

tipu muslihat, memakai martabat palsu, dan memakai rangkaian kebohongan.

Unsur-unsur subyektif yang meliputi maksud untung menguntungkan diri sendiri

atau orang lain dan maksud melawan hukum. Perbuatannya yaitu:

a. Melakukan akal dan tipu muslihat atau perkataan-perkataan bohong atau

membujuk orang lain atau perbuatan curang.

b. Memakai nama palsu atau keadaan palsu.

c. Menggerakkan orang untuk memberikan suatu barang atau memberi

hutang atau menghapus piutang.

d. Melakukan akal dan tipu muslihat atau perkataan-perkataan bohong atau

membujuk orang lain atau perbuatan curang menguntungkan diri sendiri

(26)

Pasal 378 menentukan ancaman pidana yang dikenakan bagi setiap orang yang

melanggar ketentuan Pasal 378 adalah pidana penjara selama-lamanya 4 (empat)

tahun.

D. Dasar Pertimbangan Hakim

Hakim yang bebas dan tidak memihak telah menjadi ketentuan universal. Ia

menjadi ciri negara hukum. Sistem yang dianut di Indonesia, pemeriksaan di

sidang pengadilan yang dipimpin oleh hakim, hakim itu harus aktif bertanya dan

memberi kesempatan kepada pihak terdakwa, yang diawali oleh penasehat

hukumnya untuk bertanya kepada saksi-saksi, begitu pula Penuntut Umum.

Semua itu dengan maksud menemukan kebenaran materiil. Hakimlah yang

bertanggung jawab atas segala yang diputuskannya.12

Perihal putusan hakim atau putusan pengadilan merupakan aspek penting dan

diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Dengan demikian dapat

dikonklusikan lebih jauh, bahwasanya putusan hakim di satu pihak berguna bagi

terdakwa guna memperoleh kepastian hukum tentang statusnya, dan sekaligus

dapat mempersiapkan langkah berikutnya terhadap putusan tersebut dalam arti

dapat berupa menerima putusan, melakukan upaya hukum verzet, banding, atau

kasasi, melakukan grasi, dan sebagainya. Apabila ditelaah melalui visi hakim

yang mengadili perkara, putusan hakim adalah mahkota dan puncak pencerminan

nilai-nilai keadilan, kebenaran hakiki, HAM, penguasaan hukum atau fakta secara

12

(27)

mapan, mumpuni dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas dari

hakim yang bersangkutan.13

Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan

pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat

bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa sesuatu tindakan pidana

benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dengan

perkataan lain meskipun ada lebih dari dua alat bukti yang sah kalau hakim belum

atau tidak memperoleh keyakinan bahwa terdakwa benar-benar bersalah

melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka hakim tidak akan

memutuskan penjatuhan pidana terhadap terdakwa.

Kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti

secara sah dan meyakinkan menurut hukum karena:

(1) Tidak terdapat alat bukti seperti ditentukan asas minimum pembuktian

menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewijs theorie) sebagaimana dianut KUHAP. Misalnya, hakim dalam persidangan

menemukan satu alat bukti berupa keterangan terdakwa saja (Pasal 184 ayat

(1) huruf e KUHAP) atau satu alat bukti petunjuk saja (Pasal 184 ayat (1)

huruf d KUHAP).

(2) Majelis Hakim berpendirian bahwa terhadap asas minimum pembuktian sesuai

undang-undang telah terpenuhi misalnya adanya dua alat bukti berupa

keterangan saksi (Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP) dan alat bukti petunjuk

13

(28)

(Pasal 184 ayat (1) huruf d KUHAP). Akan tetapi, majelis hakim tidak dapat

menjatuhkan pidana karena tidak yakin akan kesalahan terdakwa.

Berdasarkan Pasal 191 ayat (1) KUHAP, putusan bebas adalah jika pengadilan

berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas

perbuatan terdakwa yang didakwakan kepadanya jika terbukti secara sah dan

meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.

Teori dasar pertimbangan hakim, yaitu putusan hakim yang baik, mumpuni dan

sempurna, hendaknya putusan tersebut dapat diuji dengan empat kriteria dasar

pertanyaan (the four way test)14, berupa:

1. Benarkah putusanku ini?

2. Jujurkah aku dalam mengambil putusan?

3. Adilkah bagi pihak-pihak putusan?

4. Bermanfaatkah putusanku ini?

Prakteknya, walaupun telah bertitik tolak dari sifat/sikap seseorang hakim yang

baik, kerangka landasan berpikir/bertindak dan melalui empat buah titik

pertanyaan tersebut di atas, maka hakim ternyata seorang manusia biasa yang

tidak luput dari kelalaian, kekeliruan/kekhilafan (rechterlijk dwaling), rasa

rutinitas, kekuranghati-hatian dan kesalahan. Praktek peradilan pada saat ini, ada

14

(29)

saja aspek-aspek tertentu yang luput dan kerap tidak diperhatikan hakim dalam

membuat keputusan.15

Putusan hakim merupakan puncak dari perkara pidana, sehingga hakim harus

mempertimbangkan aspek-aspek lainnya selain dari aspek yuridis, sehingga

putusan hakim tersebut lengkap mencerminkan nilai-nilai sosiologis, filosofis, dan

yuridis. Hakekatnya dengan adanya pertimbangan-pertimbangan tersebut,

diharapkan nantinya dihindari sedikit mungkin putusan hakim menjadi batal demi

hukum (van rechtswege nietig atau null and void), karena kurang pertimbangan

hukum (onvoldoende gemotiverd).

Praktek peradilan pidana pada putusan hakim sebelum

pertimbangan-pertimbangan yuridis dibuktikan, maka hakim terlebih dahulu akan menarik

fakta-fakta dalam persidangan yang timbul dan merupakan konklusi kumulatif dari

keterangan para saksi, keterangan terdakwa, dan barang bukti yang diajukan dan

diperiksa di persidangan. Menurut Soerjono Soekanto, teori lain yang berkaitan

dengan dasar pertimbangan hakim, yaitu dalam mengadili pelaku tindak pidana

pemalsuan dokumen, maka proses menyajikan kebenaran dan keadilan dalam

suatu putusan pengadilan sebagai rangkaian proses penegakan hukum, maka dapat

dipergunakan teori kebenaran.16

Putusan pengadilan dituntut untuk memenuhi teori-teori sebagai berikut:

a. Teori Koherensi atau Konsistensi

15

Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1986), Hlm. 125

16

(30)

Teori yang membuktikan adanya saling berhubungan antara bukti yang satu

dengan bukti yang lain, misalnya antara keterangan saksi yang satu dengan

keterangan saksi yang lain. Atau, saling berhubungan antara keterangan saksi

dengan alat bukti yang lain (alat-alat bukti yang tertuang dalam Pasal 184

KUHAP). Dalam hal seperti ini, dikenal adanya hubungan kausalitas yang

bersifatrasional a priori. b. Teori Korespondensi

Jika ada fakta-fakta di persidangan yang saling bersesuaian, misalnya antara

keterangan saksi bersesuaian dengan norma atau ide. Jika keterangan saksi

Mr. X menyatakan bahwa pembangunan proyek yang dilakukan oleh Mr. Y

tidak melalui proses lelang, tetapi dilaksanakan melalui penunjukan langsung

Perusahaan Z. Persesuaian antara fakta dengan norma ini, terlihat dalam

hubungan kausalitas yang bersifat empirisa pesteriori. c. Teori utilitas

Teori ini dikenal pula dengan pragmatik, kegunaan yang bergantung pada

manfaat (utility), yang memungkinkan dapat dikerjakan (workability),

memiliki hasil yang memuaskan (satisfactory result), misalnya, seseorang

yang dituduh melakukan korupsi karena melakukan proyek pembangunan

jalan yang dalam kontrak akan memakai pasir sungai, tetapi karena di daerah

tersebut tidak didapatkan pasir sungai, lalu pelaksana proyek itu

(31)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis

normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan

untuk memahami persoalan dengan tetap berada atau bersandarkan pada lapangan

atau kajian ilmu hukum, sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk

memperoleh kejelasan dan pemahaman dari permasalahan penelitian berdasarkan

realitas yang ada atau studi kasus.1

Berdasarkan pengertian tersebut, maka pendekatan yuridis normatif dan yuridis

empiris digunakan dalam penelitian ini, untuk memahami persoalan mengenai

pertangungjawaban pidana pelaku tindak pidana penipuan dan dasar pertimbangan

hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana penipuan dalam

Undang-Undang No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaran Ibadah Umrah,

dengan berdasarkan pada studi kasus terhadap Putusan Pengadilan Negeri Kelas

IA Tanjung Karang Nomor: 758/Pid.B/2011/PN.TK.

1

(32)

B. Sumber dan Jenis Data

Jenis data dilihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data yang diperoleh

langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka.2 Sumber

dan jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:

1. Data Primer

Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan

penelitian dengan cara melakukan wawancara dengan orang-orang yang berkaitan

dengan masalah yang akan diteliti dalam penulisan skripsi. Data primer ini akan

diambil dari Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang dan Kejaksaan

Negeri Bandar Lampung.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data tambahan yang diperoleh dari berbagai sumber hukum

yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Data sekunder dalam

penelitian ini, terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat terdiri dari:

(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo. Undang-Undang Nomor 73

Tahun 1958 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

(2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP); dan

(3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah

Umrah.

2

(33)

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder dapat bersumber dari bahan-bahan hukum yang

melengkapi hukum primer dan peraturan perundang-undangan lain yang sesuai

dengan masalah dalam penelitian ini. Selain itu, bahan hukum sekunder berasal

dari Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 758/Pid.B/2011/PN.TK.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier dapat bersumber dari berbagai bahan seperti teori/pendapat

para ahli dalam berbagai literatur/buku hukum, dokumentasi, kamus hukum dan

sumber dari internet.

C. Penentuan Populasi dan Sampel 1. Populasi

Menurut Soerjono Soekanto, populasi adalah keseluruhan subyek hukum yang

memiliki karakteristik tertentu dan ditetapkan untuk diteliti.3 Berdasarkan

pengertian di atas, maka yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah Jaksa

dari Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Hakim pada Pengadilan Negeri Kelas IA

Tanjung Karang dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas

Lampung.

3

(34)

2. Sampel

Menurut Soerjono Soekanto, sampel adalah bagian dari populasi yang masih

memiliki ciri-ciri utama dari populasi dan ditetapkan untuk menjadi responden

penelitian. Sampel dalam penelitian ditetapkan dengan teknikpurposive sampling,

yaitu sampel dipilih berdasarkan pertimbangan dan tujuan penelitian.4

Berdasarkan pengertian di atas, maka yang menjadi responden/sampel dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung = 2 orang

2) Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang = 2 orang

3) Dosen pada Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum = 1 orang

Universitas Lampung +

Jumlah = 5 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:

a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan adalah prosedur yang dilakukan dengan serangkaian

kegiatan seperti membaca, menelaah dan mengutip dari buku-buku literatur

serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan

perundang-undangan terkait dengan permasalahan.

4

(35)

b. Studi Lapangan

Studi lapangan adalah prosedur yang dilakukan dengan kegiatan wawancara

(interview) kepada responden penelitian sebagai usaha mengumpulkan berbagai data dan informasi yang dibutuhkan sesuai dengan permasalahan

yang dibahas dalam penelitian.

2. Prosedur Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah analisis data yang telah

diperoleh sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Pengolahan data dilakukan

dengan tahapan sebagai berikut:

a. Seleksi data, adalah kegiatan pemeriksaan untuk mengetahui kelengkapan

data, selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti dalam

penelitian ini.

b. Klasifikasi data, adalah kegiatan penempatan data menurut

kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data, yang

benar-benar diperlukan dan akurat untuk dianalisis lebih lanjut.

c. Penyusunan data, adalah kegiatan menyusun data yang saling berhubungan

dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan,

sehingga mempermudah interpretasi data.

E. Analisis Data

Menurut Soerjono Soekanto, analisis data adalah menguraikan data dalam bentuk

(36)

diinterpretasikan untuk memperoleh suatu kesimpulan.5 Analisis data yang

dipergunakan dalam penelitian ini, adalah analisis kualitatif dan penarikan

kesimpulan dilakukan dengan metode induktif, yaitu menguraikan hal-hal yang

bersifat khusus lalu menarik kesimpulan yang bersifat umum, sesuai dengan

permasalahan yang dibahas dalam penelitian.

5

(37)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban pelaku tindak pidana penipuan terhadap calon jemaah

umrah (Studi Kasus Perkara Nomor: 758/Pid.B/2011/PN.TK), dilaksanakan

dengan pertimbangan bahwa pelaku dapat dikatakan memiliki kemampuan

bertanggungjawab atas kesalahan yang dilakukan, hal ini berarti tidak

memenuhi ketentuan yang terdapat dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP, maka oleh

karena itu pelaku harus mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut di

depan hukum, pelaku terbukti bersalah serta mengetahui bahwa perbuatannya

bersifat melanggar hukum yaitu tanpa hak bertindak sebagai penyelenggara

umrah dengan unsur kesengajaan (dolus), serta tidak adanya alasan pemaf

yang dapat membenarkan perbuatannya. Putusan Pengadilan Kelas IA

Tanjungkarang Nomor: 758/Pid./B/2011/PN.TK dijatuhi pidana penjara

selama 1 tahun 4 bulan penjara dikurangi selama terdakwa berada dalam

tahanan sementara, dengan perintah Terdakwa tetap dalam tahanan dan denda

Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) subsider 2 (dua) bulan kurungan sesuai

dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah

Haji.

Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku

tindak pidana penipuan calon jemaah umrah (Studi Kasus Perkara Nomor:

(38)

2

memberikan suatu keputusan serta dalam memberikan keputusan hakim juga

mempertimbangkan hal-hal yang bersifat yuridis maupun non yuridis. Hal-hal

yang bersifat yuridis, yaitu dakwaan, keterangan terdakwa dan saksi, barang

bukti yang ditunjukkan dalam persidangan serta pasal-pasal yang terdapat

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dan hal-hal yang

bersifat non yuridis, yaitu latar belakang perbuatan terdakwa, akibat perbuatan

terdakwa, keadaan sosial-ekonomi terdakwa, faktor agama terdakwa.

Disamping itu dalam menjatuhkan putusannya, hakim juga

mempertimbangkan adanya suatu perbuatan pidana (peristiwa pidana) yang

telah terjadi dan unsur-unsur yang memenuhi perbuatan tersebut. Terdapatnya

lebih dari dua alat bukti sesuai dalam Pasal 183 dan Pasal 184 KUHP serta

mempertimbangkan hal-hal yang meringankan terdakwa, seperti terdakwa

mengakui kesalahannya dan menyesali perbuatannya, terdakwa belum pernah

dihukum, terdakwa sopan dalam persidangan, dan terdakwa memiliki

tanggungan keluarga. Pada akhirnya, seorang hakim memiliki kebebasan

dalam memberikan suatu keputusan yang didasarkan pada hati nurani, hal ini

diserahkan sepenuhnya pada diri masing-masing hakim, dimana putusan

(39)

3

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis menyarankan:

1. Kepada aparat penegak hukum khususnya hakim, agar dalam menjatuhkan

putusan mempertimbangkan aspek yuridis dan non yuridis. Hakim dalam

memutuskan suatu perkara, harus terlebih dahulu melihat nilai-nilai hukum

yang terdapat dalam perundang-undangan yang berlaku, sehingga dapat

memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana dan dapat menjadi contoh

bagi masyarakat lainnya agar tidak melakukan perbuatan yang sama.

2. Menghimbau kepada seluruh masyarakat untuk dapat lebih memahami

hukum, agar seorang pelaku tindak pidana dapat mempertanggungjawabkan

perbuatan yang telah dilakukan, sehingga tidak akan merugikan diri sendiri

dan orang lain.

3. Menghimbau kepada masyarakat yang ingin menunaikan ibadah umrah lewat

biro perjalanan umrah, agar lebih waspada dengan praktek penipuan yang

sedang marak terjadi serta mengingatkan masyarakat untuk lebih berhati-hati

terhadap penipuan bermoduskan pemberangkatan umroh dengan biaya yang

murah, kecuali ada bantuan dari pemerintah ataupun diselenggarakan oleh biro

(40)

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENIPUAN TERHADAP CALON JEMAAH UMRAH

(Studi Kasus Perkara Nomor: 758/Pid.B/2011/PN.TK) (Skripsi)

RANTI SETYA CIPTA PRATAMA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(41)

DAFTAR PUSTAKA

Andrisman, Tri. 2009. Asas-asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Arief, Barda Nawawi. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Atmasasmita, Romli. 1989. Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta: LBHI.

________. 1993.Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta. ________. 1987.Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara.

Hamzah, Andi. 2001.Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.

Moeljatno. 1978.Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban pidana. Jogjakarta. ________. 1987.Asas-asas Hukum Pidana.Jakarta: Bina Aksara.

________. 1993.Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia.Jakarta: Rineka Cipta. Muhammad, Abdulkadir. 2004.Hukum dan Penelitian Hukum.

Mulyadi. Lilik. 2007.Kekuasaan Kehakiman. Surabaya: Bina Ilmu.

Mulyadi. Lilik. 2010. Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Indonesia. Citra Aditya Bakti: Bandung.

Normies, Adam. 1992.Kamus Bahasa Indonesia. Karya Ilmu: Bandung.

Poernomo, Bambang. 1981.Asas-asas Hukum Pidana.Jakarta: Ghalia Indonesia

Prodjodikoro, Wirjono. 1986. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: Eresco.

Prodjohamidjojo, Martiman, 1997. Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.

(42)

Saherodji, Hari. 1980.Pokok-Pokok Kriminologi. Bandung: Aksara Baru.

Saleh, Roeslan. 1982.Asas-Asas Hukum Pidana. Bandung.

Soehandi. 2006. Kamus Populer Kepolisian Semarang: Koperasi Wira Raharja, Pokok-pokok Kriminologi. Aksara Baru: Bandung.

Soekanto, Soerjono. 1983. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Soekanto, Soerjono. 1986.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.

Wahyu, Affandi. 1984.Hakim dan Penegakan Hukum. Alumni. Bandung.

Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang Nomor: 758/Pid.B/2011/PNTK

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman.

(43)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Tri Andrisman, S.H., M.H. ………….

Sekretaris/Anggota : Firganefi, S.H., M.H. ………….

Penguji Utama : Maya Shafira, S.H., M.H. ………….

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S.

NIP. 19621109 198703 1 003

(44)

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENIPUAN TERHADAP CALON JEMAAH UMRAH

(Studi Kasus Perkara Nomor : 758/Pid.B/2011/PN.TK)

Oleh

RANTI SETYA CIPTA PRATAMA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(45)

Judul Skripsi : ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENIPUAN

TERHADAP CALON JEMAAH UMRAH

Nama Mahasiswa : RANTI SETYA CIPTA PRATAMA

No. Pokok Mahasiswa : 0812011252

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Tri Andrisman, S.H., M.H. Firganefi, S.H., M.H.

NIP. 19611231 198903 1 023 NIP. 19631217 198803 2 003

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustiniati, S.H., M.H.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, perlu dilakukan studi komparatif sekaligus korelasional untuk mengetahui sejauhmana pengaruh model pembelajaran (PBM, Inkuiri,

Seseorang yang mempunyai kemampuan interpersonal memadai akan menjadi pelaku tari yang baik. Ini disebabkan seperti Edi Sedyawati katakan bahwa rasa indah yang dihayati kemudian

Penguasaan konsep siswa di kelas eksperimen yang menggunakan model pembelajaran berbasis praktikum dengan pendekatan inkuiri dan di kelas kontrol dengan menggunakan

Manajemen kurikulum pondok pesantren berjalan cukup baik dan sistematis, dimana kurikulum dirumuskan oleh tim penyusun kurikulum untuk menentukan arah kebijakan pendidikan atau

Bagian A merupakan modus latihan dengan komponen F0 adalah layer input yang berfungsi melakukan normalisasi sampel training sehingga diperoleh gelombang pulsa yang sama panjang,

Kartini adalah satu-satunya perempuan pribumi yang ada disana, teman perempuan Kartini hanya anak-anak menir Belanda, jadi tak heran bahwa kartini

Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan aplikasi pigmen dari buah arben pada minuman ringan dan mempelajari kestabilan pH, total antosianin dan intensitas warnanya

PROGRAM/KEGIATAN : Koordinasi Kerjasama Pengembangan Peningkatan Kompetensi Pendidik dan Tenaga Kependidikan Seni Budaya Region Kalimantan. TANGGAL PELAKSANAAN :