• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fertigasi pada Budidaya Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Fertigasi pada Budidaya Tanaman Sayuran dalam Greenhouse"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

F

Fe

er

rt

ti

ig

ga

as

si

i

p

pa

ad

da

a

B

Bu

ud

di

id

da

ay

ya

a

T

Ta

an

na

am

ma

an

n

S

Sa

ay

yu

ur

ra

an

n

d

da

al

la

am

m

G

Gr

re

ee

en

nh

ho

ou

us

se

e

Bahan Ajar Dasar-dasar Hortikultura

AGH 342

Anas D. Susila, Ph.D

Bagian Produksi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultutra,Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Kampus IPB Darmaga, Bogor, Telp : 62-251-8629353,

Fax:62-251-8628060,e-mail:anas@ipb.ac.id

(2)

Fertigasi pada Budidaya Tanaman Sayuran

dalam Greenhouse

Anas D. Susila, Ph.D

Bagian Produksi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultutra,Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Kampus IPB Darmaga, Bogor, Telp : 62-251-8629353,

Fax: 62-251-8628060, e-mail:anas@ipb.ac.id

Pada budidaya tanaman dengan sistem hidroponik pemberian air dan pupuk memungkinkan dilaksanakan secara bersamaan. Oleh karena itu, manajemen pemupukan (fertilization) dapat dilaksanakan secara terintegrasi dengan manajemen irigasi (irrigation) yang selanjutnya disebut fertigasi (fertilization and irrigation) . Dalam sistem hidroponik, pengelolaan air dan hara difokuskan terhadap cara pemberian yang optimal sesuai dengan kebutuhan tanaman, umur tanaman dan kondisi lingkungan sehingga tercapai hasil yang maximum.

Hidroponik

Hidroponik, budidaya tanaman tanpa tanah, telah berkembang sejak pertama kali dilakukan penelitian-penelitian yang berhubungan dengan penemuan unsur-unsur hara esensial yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman. Penelitian tentang unsur-unsur penyusun tanaman ini telah dimulai pada tahun 1600-an. Akan tetapi budidaya tanaman tanpa tanah ini telah dipraktekkan lebih awal dari tahun tersebut, terbukti dengan adanya taman gantung (Hanging Gardens) di Babylon, taman terapung (Floating Gardens) dari suku Aztecs, Mexico dan Cina (Resh, 1998)

Istilah hidroponik yang berasal dari bahasa Latin yang berarti hydro (air) dan ponos (kerja). Istilah hidroponik pertama kali dikemukakan oleh W.F. Gericke dari University of California pada awal tahun 1930-an, yang melakukan percobaan hara tanaman dalam skala komersial yang selanjutnya disebut nutrikultur atau hydroponics. Selanjutnya hidroponik didefinisikan secara ilmiah sebagai suatu cara budidaya tanaman tanpa menggunakan tanah, akan tetapi menggunakan media inert seperti gravel, pasir, peat, vermikulit, pumice atau sawdust, yang diberikan larutan hara yang mengandung semua elemen esensial yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan normal tanaman (Resh, 1998).

(3)

Budidaya tanaman secara hidroponik memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan budidaya secara konvensional, yaitu pertumbuhan tanaman dapat di kontrol, tanaman dapat berproduksi dengan kualitas dan kuantitas yang tinggi, tanaman jarang terserang hama penyakit karena terlindungi, pemberian air irirgasi dan larutan hara lebih efisien dan efektif, dapat diusahakan terus menerus tanpa tergantung oleh musim, dan dapat diterapkan pada lahan yang sempit. (Harris, 1988).

Hidroponik, menurut Savage (1985), berdasarkan sistem irigasisnya dikelompokkan menjadi (1) Sistem terbuka dimana larutan hara tidak digunakan kembali, misalnya pada hidroponik dengan penggunaan drip irrigation atau trickle irrigation, (2)

Sistem tertutup dimana larutan hara dimanfaatkan kembali dengan cara resirkulasi.

Sedangkan berdasarkan penggunaan media atau substrat dapat dikelompokkan menjadi (1)

Substrate System, dimana digunakan media untuk membantu pertumbuhan tanaman

seperti: Sand culture, gravel culture, Rockwool, dan Bag culture, dan (2) BareRoot System, dimana tanpa digunakan media untuk pertumbuhan akar sehingga akar terekspos di dalam larutan hara seperti: Deep Flowing System, Aeroponics, Nutrient Film Tehnique (NFT), dan

Ein-Gedi System (EGS).

Irigasi Tetes

Irigasi tetes (Drip irrrigation) adalah sistem irigasi pemberian air irigasi dengan cara diteteskan langsung di zona perakaran. Irigasi tetes sering digunakan dalam hidroponik dengan sistem substrat. Akhir-akhir ini, di Indonesia telah banyak diusahakan teknologi hidroponik sistem terbuka dengan menggunakan substrat untuk produksi sayuran secara komersial. Sistem ini sangat tergantung terhadap ketersediaan energi listrik untuk menjalankan pompa karena adanya sirkulasi dan distribusi hara tanaman. Beberapa produksi sayuran secara hidroponik dengan sistem irigasi tetes telah diusahakan di PT Saung Mirwan (Purwadi, 1994; Supardiono, 1992; Winarti, 1991), di Taman Buah Mekarsari (Hananto, 1995), serta di PT Dieng Jaya (Anggraeni, 1992).

Fertigasi yang merupakan cara pemberian air irigasi bersamaan dengan pemupukan melalui emiter yang diletakkan dekat dengan perakaran tanaman. Drip atau

trickle irigasi adalah tipe mikro-irigasi dimana air dan hara diberikan melalui pipa plastik

dengan drip-emiter yang diletakkan di dekat barisan tanaman (Hochmuth dan Smajstrla, 1997).

(4)

Irigasi tetes mempunyai beberapa keuntungan, diantaranya merupakan hal yang sangat penting dalam budidaya tanaman bila dikaitkan dengan isu lingkungan. Keuntungan utama irigasi tetes adalah kemampuannya menghemat penggunaan air dan pupuk dibandingkan dengan overhead sprinkler dan sub irigasi. Data penelitian menunjukkan bahwa penghematan air dengan irigasi tetes sebesar 80% dibanding subirigasi, dan 50% dibanding irigasi overhead sprinkler (Locascio et al., 1981; Elmstorm et al., 1981; Locascio et al., 1985).

Irigasi tetes juga dapat menekan serangan penyakit pada daun dibandingkan dengan overhead sprinkler irigasi. Air tidak diaplikasikan lewat daun sehingga dapat mempertahankan daun dalam kondisi kering yang mengakibatakan dapat menekan kerentanan tanaman terhadap serangan penyakit. Hal ini juga dapat mengakibatkan menekan penggunaan fungisida. Kualitas buah tomat dapat ditingkatkan ketika N dan K diaplikasikan lewat irigasi tetes dibanding dengan aplikasi secara preplant (di tebar saat

tanam) (Dangler dan Locascio, 1990b).

Irigasi tetes dapat meningkatkan presisi saat dan cara aplikasi pupuk pada produksi sayuran. Pupuk dapat diformulasikan sesuai dengan kebutuhan tanaman dan diaplikasikan pada saat tanaman memerlukan. Kemampuan irigasi tetes untuk meningkatkan efisiensi aplikasi pupuk dapat menekan kebutuhan pupuk untuk produksi sayuran. Efisiensi ini dapat dicapai dengan pemberian pupuk dalam jumlah kecil merata sepanjang musim dibanding dengan pemberian sekaligus pada saat tanam (Locascio dan Smajstrla, 1989; Locascio et al., 1989; Dangler dan Locascio, 1990a). Aplikasi yang terkontrol tidak hanya dapat menghemat pupuk akan tetapi dapat pula menekan potensi polusi air tanah oleh pencucian pupuk pada saat hujan besar atau irigasi yang berlebihan.

Irigasi tetes lebih baik daripada sub irigasi dalam sistem produksi tanaman yang memanfaatkan air yang berkualitas rendah dengan salinitas yang tinggi untuk irigasi. Hal ini disebabkan karena dengan irigasi tetes dapat melarutkan garam-garam menjauh dari dripper, daripada menumpuk garam-garam dekat dengan perakaran tanaman (Hochmuth dan Smajstrla, 1997).

Walaupun irigasi tetes memiliki banyak keuntungan yang sangat penting dalam produksi sayuran secara modern, namun banyak tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan teknologi ini. Irigasi tetes harus didisain dan di install secara tepat supaya dapat dioperasikan dengan efisiensi yang tinggi. Irigasi tetes memerlukan biaya investasi

(5)

awal yang mahal karena harus di install oleh tenaga ahli yang berpengalaman dan memerlukan ketersediaan energi listrik untuk mengoperasikan. Untuk mengoperasikan teknologi ini juga diperlukan tenaga kerja yang terlatih sehingga dapat dicapai efisiensi yang diharapkan (Hochmuth dan Smajstrla, 1997).

Kultur Air

Diantara budidaya tanaman tanpa tanah, kultur air adalah budidya tanaman yang menurut definisi merupakan sistem hidroponik yang sebenarnya. Kultur air juga sering disebut true hydroponics, nutri culture, atau bare root system. Di dalam kultur air, akar tanaman terendam dalam media cair yang merupakan larutan hara tanaman, sementara bagian atas tanaman ditunjang adanya lapisan medium inert tipis yang memungkinkan tanaman dapat tumbuh tegak (Resh, 1998).

Dalam sejarah perkembangan hidroponik, penelitian-penelitian pertama tentang hidroponik tercatat menggunakan sistem kultur air tanpa adanya substrat atau media tanam (Woodward, 1699). Teknik-teknik dasar kultur air modern telah dikembangkan oleh Sach dan Knopp pada tahun1860 (Hewitt dan Smith, 1975) dari beberapa hasil penemuan sebelumnya oleh Senebier tahun 1791 yang menyatakan bahwa akar tanaman akan mati bila terendam dalam air. Pada tahun 1804, De Sausser juga menyatakan bahwa disamping mengandung udara air juga mengandung CO2, campuran gas mengandung 20% O2 (Hewit, 1966; Hewitt dan Smith, 1975).

Aerasi adalah suatu hal yang esensial untuk aktivitas perakaran walaupun hal ini sangat beragam antar spesies tanaman. Pengambilan unsur mineral akan terjadi ketidak seimbangan bila kondisi oksigen di perakaran menurun, sebaliknya akan terangsang bila konsentrasi oksigen di zone perakaran meningkat. Akumulasi karbondioksida (CO2) di dalam larutan hara akan menghambat absorbsi sebagian besar unsur hara tanaman dan hara, sedangkan kekurangan oksigen (O2) walaupun tidak akan menekan absorbsi air (dalam periode tertentu) akan tetapi tetap menekan pengambilan unsur hara dari larutan hara (Soffer, 1985).

Selama lebih dari 300 tahun kultur air merupakan suatu sistem yang paling sesuai untuk penelitian-penelitian hara dan metabolisme tanaman hingga saat ini. Beberapa hal yang menyebabkan hal di atas adalah sistem kultur air memiliki larutan hara yang homogen, adanya keseragaman seluruh sistem dalam mempengaruhi sistem perakaran, serta kemungkinan pengaturan kandungan unsur hara yang tepat. Kultur air

(6)

dikelompokkan ke dalam: (1) Aeroponik, (2) Nutrient Film Tehnique (NFT), dan (3) Deep

Flow Technique (DFT) yang semuanya memiliki tanaman dengan akar yang terbuka (bare root plant) (Vestergaard, 1984).

Keberhasilan sistem kultur air dipengaruhi oleh beberapa faktor yang langsung berhubungan dengan perakaran tanaman diantaranya adalah (1) aerasi di zone perakaran (2) kondisi perakaran, dan (3) sistem penopang tanaman yang memungkinkan tanaman tumbuh tegak. Manipulasi aerasi di zone perakaran pada sistem kultur air menurut Resh (1998) dapat dilakukan dengan pemberian udara ke dalam larutan hara tanaman menggunakan pompa atau kompresor. Disamping itu peningkatan aerasi di zone perakaran dapat pula dilakukan dengan sirkulasi larutan hara antara bak tanam dengan reservoar hara. Untuk memenuhi kebutuhan oksigen bagi perakaran menurut Hochmuth (1991) di dalam kultur air (NFT) paling sedikit 1/3 – 1/2 sistem perakaran seharusnya tidak terendam larutan hara. Hal ini merupakan kunci perakitan teknologi hidroponik sistem terapung dimana tidak lagi diperlukan adanya energi listrik untuk menjalankan pompa ataupun kompresor guna meresirkulasi ataupun meningkatkan aerasi larutan hara.

Pengusahaan kultur air secara komersial untuk produksi tanaman sayuran telah dilakukan di beberapa negara antara lain Canada (Ingratta et al., 1985), Jepang (Takakura, 1985), Israel (Soffer, 1985), United Kingdom (Hurd, 1985), dan USA (Carpenter, 1985). Pengusahaan kultur air secara komersial di Jepang mencapai kurang lebih 2000 greenhouse atau sekitar 300 hektar. Unit kultur air sistem Jepang terdiri dari beberapa seri bak yang terbuat dari plastik yang berukuran lebar 0.8 m dan panjang 3 m dengan kedalaman 6-8 cm. Tanaman diselipkan dalam lubang pada styrofoam. Larutan hara dipompakan ke dalam bak selam 10 menit setiap jam, yang bertujuan untuk memelihara aerasi. Bak selalu penuh dengan larutan hara dimana akar tanaman terendam didalamnya. Pipa aerasi dapat dipasang pada bak tanam untuk meningkatkan aerasi. Pipa aerasi ini mempunyai lubang berdiameter 2 mm pada setiap 4 cm panjang pipa (Resh 1998).

Modifikasi kultur air sistem Jepang telah dilakukan oleh Dr. Merle Jensen dari Environmental Research Laboratory (ERL), Universitas Arizona, Tucson, USA dengan pengembangan prototipe Raceway, Raft atau Floating System untuk produksi selada antara tahun 1981-1982 . Dalam percobaan ini dapat dihasilkan 4.5 juta head selada per hektar per tahun (Jensen dan Collins, 1985). Sistem kultur air ini terdiri dari bak tanam yang relatif lebih dalam 15-20 cm, dengan lebar 60 cm dan panjang 30 m. Volume larutan hara kurang

(7)

lebih 3.5 m kubik atau setara dengan 3 600 liter. Hara didalam bak relatif statik dengan pergerakan hanya 2-3 liter per menit. Dalam penelitian ini juga telah diuji efektivitas penggunaan alat sterilisasi larutan hara dengan UV-sterilizer terhadap fungi patogenik maupun non patogenik yang berasosiasi dengan tanaman di dalam greenhouse.

Produksi komersial sayuran daun untuk salad dalam sistem terapung (floating raft

system) telah digunakan di Florida sejak awal tahun 1980-an. (Resh, 1998). Sepuluh

sampai 12 kali panen tanaman selada terutama bibb lettuce dihasilkan dalam greenhouse yang berpendingin. Dengan jarak tanaman yang rapat sistem ini dapat menghasilkan 1 juta per acre per tahun tanaman selada yang dapat dipasarkan. Masalah utama dari sistem komersial ini adalah tingginya modal awal untuk membangun sistem ini, dan biaya teknisi yang diperlukan untuk mengoperasikan sistem ini. Hal ini menyebabkan sistem terapung ini sulit diaplikasikan diberbagai tingkat petani. Teknologi hidroponik pasif, low-tech, dan

non recirculating system telah dipelajari di Asian Vegetable Research Center (AVRDC) di

Taiwan dan di Universitas Hawaii (Kratky et al., 1988; Kratky, 1993, 1996). Penelitian hidroponik terapung untuk produksi tanaman sayuran didalam greenhouse di Florida menunjukkan hasil yang positif (Fedunak dan Tyson, 1997; Tyson et.al, 1998). Lima dari tujuh varietas komersial selada berhasil dibudidayakan menggunakan passive floating

hydroponics di luar greenhouse, serta memenuhi persyaratan kualitas untuk dipasarkan

(Tyson et al., 1999).

Teknologi Hidroponik Sistem Terapung (THST) merupakan sistem hidroponik

tanpa substrat yang dikembangkan dari sistem kultur air. Teknologi ini dapat dioperasikan tanpa tergantung adanya energi listrik karena tidak memerlukan pompa untuk re-sirkulasi larutan hara. Hal ini menyebabkan THSTmenjadi lebih sederhana, mudah dioperasikan, dan murah, sehingga berpotensi untuk dikembangkan pada tingkat petani kecil. Studi pengembangan THST dilakukan untuk mengetahui jenis tanaman, disain panel, jenis dan volume media, umur bibit, sumber dan konsentrasi larutan hara, pupuk daun dan naungan, serta pemanfaatan kembali larutan hara yang optimal. Hasil studi menunjukkan bahwa jenis tanaman yang dapat dibudidayakan dengan THST adalah Caisim (Tosakan), Pakchoy (White tropical type), Kailan (BBT 35) Kangkung (Bangkok LP1), Selada (Panorama,Grand Rapids, Red Lettuce, Minetto), dan Seledri (Amigo). Komposisi larutan hara yang digunakan adalah (ppm) Ca++177, Mg++ 24, K+ 210, NH4+ 25, NO3- 233 , SO4= 113, dan PO4= 60 serta Fe 2.14, B 1.2, Zn 0.26, Cu 0.048, Mn 0.18, dan Mo 0.046.

(8)

Electrical conductivity (EC) larutan hara optimum berkisar antara 515 - 550 µScm-1. Namun demikian beberapa tanaman masih dapat tumbuh baik sampai EC 1550 µScm-1. Jenis media tanam yang dapat digunakan adalah rockwool dan busa sintetik dengan volume media 20 cm3. Pemanfaatan kembali larutan hara sampai 3 musim tanam masih dapat mendukung pertumbuhan dan hasil Selada (Panorama, Minetto) dan Kangkung, akan tetapi kurang baik untuk sayuran daun lain. Aplikasi pupuk daun dan naungan 55% yang diharapkan dapat memperbaiki kualitas dan kuantitas hasil ternyata tidak dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil Kailan, Selada, maupun Seledri. (Susila, 2003)

Kualitas Air

Kualitas air merupakan faktor utama yang perlu dipertimbangakan dalam budidaya tanaman secara hidroponik. Tanaman terdiri atas 80 – 90% air (Salisbury and Ross 1978) sehingga ketersediaan air yang berkualitas sangat penting untuk mendukung keberhasilan proses budidayanya (Portree 1996, Styer and Koranski 1997). Kualitas air dapat di tentukan dari apa yang terkandung di dalam sumbernya (sumur atau sungai), juga tingkat kemasamannya. Air adalah pelarut yang dapat mengandung jumlah tertentu garam-garam terlarut. Salah satu garam terlarut tersebut adalah pupuk. Untuk menyediakan sumber hara yang cukup bagi tanaman pupuk perlu dilarutkan di dalam air.

Kualitas air dapat ditentukan dengan dengan keberadaan partikel fisik (pasir, limestone, bahan organik), jumlah bahan terlarut (hara dan bahan kimia non hara), dan pH air. Beberpa hal yang berhubungan dengan kualitas air yang perlu di chek di laboratorium adalah electrical conduktivity (EC), pH, konsentrasi sulfate (SO4), sodium (Na), besi (Fe), dan bikarbonat (HCO3). Kesadahan air berhubungan juga dengan kandungan Ca dan Mg yang juga perlu diperhitungkan juga dalam penghitungan pupuk (Hochmuth, 1991).

Air dengan nilai EC lebih besar dari 1.5 dS.m-1 (1.5 mmhos per cm), termasuk kategori kurang baik untuk budidaya tanaman dalam greenhouse. Bila kandungan N, P, K dalam air masing-masing lebih besar daripada 5 ppm, terindikasi bahwa air tersebut terkontaminasi akan tetapi hal ini tidak menjadi masalah bila untuk pertumbuhan tanaman. Kandungan Ca, Mg, dan bikarbonat yang tinggi pada air irrigasi dapat menyebabkan pengendapan berupa magnesium dan calsiun carbonat. Demikian juga bila kandungan Fe lebih besar dari 0.5 ppm. Konsentrasi S yang tinggi sebenarnya tidak membahayakan tanaman, akan tetapi kandungan S yang tinggi ini dapat menyebabkan tingginya populasi bakteri sulfur yang akhirnya dapat menyumbat emiter. Konsentrasi bikarbonat yang

(9)

melebihi 60 ppm dikategorikan tinggi dan dapat meningkatkan pH larutan (Hochmuth, 1991)

Sebelum menggunakan air dari berbagai sumber untuk budidaya tanaman pertanian sebaiknya dilakukan analisis dahulu. Analisis kualitas air biasanya terkait dengan berbagai garam terlarut yang terkandung di dalamnya. Maksimum konsentrasi yang diperkenankan dalam part per millions (ppm) garam-garam terlarut untuk budidaya tanaman di dalam greenhouse disajikan pada Tabel 1. Parts per million (ppm) adalah satu satuan pengukuran jumlah ion terlarut, atau garam terlarut, dan biasanya digunakan untuk mengukur konsentrasi garam-garam pupuk di dalam larutan hara. Tingkat konsentrasi ion terlarut dapat juga dinyatakan dalam milligrams/Liter larutan. Terdapat hubungan antara milligrams/Liter (mg/L) dan ppm, dimana 1 mg/L = 1 ppm.

Uji kualitas air juga meliputi pH atau tingkat kemasaman air. Sekalipun suatu sumber air telah ditetapkan sebagai sebagai sumber air yang baik untuk produksi tanaman di dalam greenhouse , namun harus tetap dimonitor secara rutin untuk memastikan bahwa terjadinya fluktuasi kualitas air tidak mempengaruhi produksi tanaman.

Electrical Conductivity (EC)

Hasil analisis air juga dilakukan terhadap Electrical Conductivity atau E.C air. Kemampuan air sebagai penghantar listrik dipengaruhi oleh jumlah ion atau garam yang terlarut di dalam air. Semakin banyak garam yang terlarut semakin tinggi daya hantar listrik yang terjadi. EC merupakan pengukuran tidak langsung terhadap konsentrasi garam yang dapat digunakan untuk menentukan secara umum kesesuaian air untuk budidaya tanaman dan untuk memonitor konsentrasi larutan hara. Pengukuran EC dapat digunakan untuk mempertahankan target konsentrasi hara di zone perakaran yang merupakan alat untuk menentukan pemberian larutan hara kepada tanaman.

Satuan pengukuran EC adalah millimhos per centimeter (mmhos/cm),

millisiemens per centimeter (mS/cm) atau micro-siemens per centimeter. Air yang

sesuai untuk budidaya tanaman di dalam greenhouse sebaiknya mempunyai E.C. yang tidak melebihi1.0 mmhos/cm. (EC=1).

(10)

Tabel 1. Konsentrasi maksimum ion garam terlarut dalam air untuk budidaya tanaman di dalam Greenhouse (ppm).

Elemen Kosentrasi Maksimum (ppm) Nitrogen (NO3 - N) 5 Phosphor (H2PO4 - P) 5 Potassium (K+) 5 Calsium (Ca++) 120 Magnesium (Mg++) 25 Chlorida (Cl-) 100 Sulphat (SO4--) 200 Bicarbonat (HCO3-) 60 Sodium (Na++) 30 Iron (Fe+++) 5 Boron (B) 0.5 Zinc (Zn++) 0.5 Manganese (Mn++) 1.0 Copper (Cu++) 0.2 Molybdenum (Mo) 0.02 Fluoride (F-) 1 pH 75 E.C. 1

Kemasaman (pH) Air

Kemasaman dan kebasaan dari air dinyatakan dalam pH (Styer and Koranski 1997), dan diukur dalam skala 0 sampai 14. Angka yang semakin rendah menunjukkan kondisi larutan yang semakin masam, sebaliknya semakin tinggi pH semakin alkalin (Boikess and Edelson 1981). Skala pH adalah logaritmik, artinya peningkatan 1 angka, misalnya 4 ke 5 menunjukkan 10 kali meningkat alkalinitasnya, demikian juga sebaliknya.

Pada lokasi tertentu pH air cukup alkalin dengan pH 7.0 sampai 7.5. Alkalinitas air ini meningkat dengan meningkatnya konsentrasi Bicarbonat (HCO3-). Pengukuran pH mencerminkan reaksi kimia air dan larutan hara. Kondisi pH larutan hara sangat menentukan tingkat kelarutan unsur hara, dan ketersediaan hara bagi tanaman (Portree 1996, Styer dan Kornaski 1997).

Kondisi pH optimum larutan hara, yang mencerminkan ketersediaan hara bagi tanaman berkisar dari 5.5 - 6.0 (Portree 1996). Pengaturan pH larutan dapat dilakukan dengan menggunakan larutan asam : asam phosphat, asam nitrat. Ketika bahan-bahan

(11)

tersebut digunakan kandungan N, P yang terikut harus diperhitungkan dalam pemberian hara.

Jumlah asam yang diperlukan untuk mengatur pH biasanya tergantung konsentrasi

bicarbonate (HCO3-) di dalam air. Jumlah ini diketahui dari analisis air yang dinyatakan dalam ppm. Target pH larutan hara biasanya 5.8 atau setara dengan 60 ppm konsentrasi bicarbonate. Bila kandungan air yang digunakan untuk melarutkan hara mempunyai pH 8.1 dan bicarbonat 207 ppm, maka 200 ppm - 60 ppm = 140 ppm bicarbonat yang perlu dinetralkan untuk mengurangi pH dari 8.1 menjadi 5.8.

Untuk menetralkan 61 ppm atau 1 miliequivalen bicarbonate memerlukan kurang lebih 70 ml asam phosphat 85%, atau 84 ml asam nitrat 67% per 1000 liter air. Sehingga untuk menetralkan 140 bicarbonat diperlukan , sebagai berikut:

Menggunakan Asam phosphat 85%

140/61 =2.3 milliequivalen bicarbonate yang harus dinetralkan 2.3 milliequivalen x 70 ml asam phosphat 85% untuk setiap miliequivalen quivalent = 2.3 x 70 ml = 161 ml asam phosphat 85% untuk setiap 1000 liter air.

Menggunakan Asam Nitrat 67%

2.3 milliequivalen bicarbonate yang harus dinetralkan. 2.3 milliequivalen x 76 ml per milliequivalen = 2.3 x 76 ml = 175 ml Asam Nitrat 67% untuk setiap 100 liter air

Penghitungan tersebut harus dilakukan untuk setiap sumber air sesuai dengan hasil analisis kandungan bicarbonat. Asam mempunyai sifat yang korosif sehingga harus ditangani secara hati-hati.

Unsur Hara Tanaman

Pertumbuhan dan hasil tanaman yang optimum dapat dicapai dengan pemberian larutan hara sesuai dengan kebutuhan tanaman. Meskipun unsur hara tanaman sangat kompleks, namun demikian kebutuhan dasar terhadap hara dalam budidaya tanaman secara hidroponik telah diketahui. Terdapat 13 unsur hara essensial untuk pertumbuhan tanaman. Air (H2O) dan karbon dioksida (CO2) juga essensial untuk tanaman. Hidrogen, Carbon dan Oksigen juga diperlukan untuk pertumbuhan tanaman mengakibatkan total hara essensial sebanyak 16 elemen (Salisbury and Ross 1978).

Kriteria hara esensial adalah apabila tanaman tidak dapat melengkapi siklus hidupnya tanpa adanya hara tersebut (Salisbury and Ross 1978). Beberapa unsur Na, Cl,

(12)

dan Si tidak tergolong essensial namun mempengaruhi pertumbuhan tanaman atau juga unsur esensial bagi tanaman tertentu (Wilson and Loomis 1967, Salisbury and Ross 1978, Styer and Koranski 1997).

. Unsur hara essensial dapat dikelompokkan menjadi hara makro dan hara mikro. Hara makro diperlukan dalam jumlah yang lebih banyak untuk pertumbuhan tanaman dari pada hara mikro (Salisbury and Ross 1978). Hara esensial untuk pertumbuhan tanbaman disjikan pada Tbel 2. Pengelompokan lain berdasarkan mobilitas unsur hara di dalam tanaman . Hara mobil adalah hara yang ditranslokasikan dari daun tua ke daun muda contohnya nitrogen (Salisbury and Ross 1978). Calsium adalah contoh unsur hara yang tidak mobil, dimana bila sudah ditranlokasikan di suatu bagian tanaman Ca tidak bisa di re-translokasikan di dalam phloem ke tempat lain. (Salisbury and Ross 1978).

Table 2. Hara Esensial untuk Pertumbuhan Tanaman

Element Simbol Tipe Mobilitas Gejala Defisiensi

Nitrogen N makro mobil Tanaman hijau muda, daun

tua menguning

Phosphorus P makro Mobil Tanaman hijau tua berubah keunguan

Potassium K makro Mobil Tepi daun tua hijau kekuningan

Magnesium Mg makro Mobil Interveinal chlorosis, Chlorosis mulai dari daun tua berubah ke nekrosis, Calcium Ca makro Imobil Die back daun muda (tip burn) Blossom end rot of fruit (tomat and paprika).

Sulfur S makro Immobil Warna daun hijau muda.

Iron Fe mikro Immobil Interveinal chlorosis, dengan “netted pattern”. Manganese Mn mikro immobil Interveinal chlorosis, dengan

“netted pattern”.

Boron B mikro Immobil Pucuk terminal menjadi

hijau muda, dan mati.

Copper Cu mikro Immobil Daun muda rontok, dan

kelihatan layu.

Zinc Zn mikro Immobil interveinal chlorosis daun tua

(13)

Air merupakan komponen penting dalam penyerapan ion oleh tanaman, dan hara hanya terjadi bila dalam larutan. Dalam kondisi padat ion-ion hara berada dalam bentuk garam (Boikess and Edelson 1981). Bila tidak ada air ion hara yang bermuatan berlawanan akan bergabung membentuk garam yang padat yang stabil. Contohnya, anion nitrate (NO3-) pada umumnya bergabung dengan calsium kation (Ca+2) atau potassium (K+) membentuk garam calsium nitrat Ca(NO3)2 dan potassium nitrat (KNO3). Ketika garam-garam ditambahkan ke dalam air ia akan larut dan berdisosiasi menjadi kation dan anion. Dalam keadaan terlarut inilah hara akan tersedia bagi tanaman. Beberapa hal penting yang perlu diingat adalah bahwa garam-garam mempunyai tingkat kelarutan yang berbeda.. Calcium sulfate (CaSO4) relatif tidak mudah larut sehingga kurang baik untuk pupuk, sebab hanya sedikit sekali kation Calsium (Ca++) yang tersedia bagi tanaman. Bentuk unsur hara mineral yang tersedia bagi tanaman disajian pada Tabel 3.

Tabel 3. Bentuk Unsur Hara Mineral yang Tersedia bagi Tanaman

Unsur Simbol Bentuk tersedia Simbol Macronutrients

Nitrogen N Nitrate ion Ammonium ion

NO3 -NH4+

Phosphor P Monovalent phosphate ion Divalent phosphate ion

H2PO4 -HPO4-2

Potassium K Potassium K+

Calcium Ca Calcium ion Ca+2

Magnesium Mg Magnesium ion Mg+2

Sulfur S Divalent sulfate ion SO4-2

Chlorine Cl Chloride ion Cl

-Micronutrients

Iron/Besi Fe Ferrous ion Ferric ion

Fe-2 Fe-3

Manganese Mn Manganous ion Mn+2

Boron B Boric acid H3BO4

Copper Cu Cupric ion chelate Cuprous ion chelate

Cu+2 Cu+

Zinc Zn Zinc ion Zn+2

Molybdenum Mo Molybdate ion MoO4

-Beberapa unsur mikro disamping dalam bentuk garam, biasanya juga dalam bentuk Chelat; Besi, Zinc, Mangan and Copper. Chelate adalah bahan yang mudah larut yang terbentuk ketika atom tertentu bereaksi dengan molekul organik tertentu.

(14)

Garam-garam sulfat dari Fe, Zn, Mn, dan Cu biasanya kelarutannya rendah, dan dalam bentuk chelate unsur tersebut akan mudah tersedia bagi tanaman (Boikess and Edelson 1981).

Program Pemupukan

Larutan hara untuk pemupukan tanaman hidroponik di formulasikan sesuai dengan kebutuhan tanaman menggunakan kombinasi garam-garam pupuk. Jumlah yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan optimal tanaman. Program pemupukan tanaman melaui hidroponik walaupun kelihatannya sama untuk berbagai jenis tanaman sayuran, akan tetapi terdapat perbedaan kebutuhan setiap tanaman terhadap hara. Pupuk yang dapat digunakan dalam sistem hidroponik harus mempunyai tingkat kelarutan yang tinggi .

Larutan Hara

Dua ringkasan tulisan terbaik tentang perkembangan budidaya tanaman secara hidroponik telah ditulis oleh Cooper (1979) untuk sistem komersial dan ditulis oleh Jones (1982) untuk tujuan akademik. Dalam tulisan ini dikemukakan bahwa telah banyak diformulasikan berbagai macam hara untuk hidroponik, akan tetapi pada dasarnya penggunaan hara standar untuk tujuan komersial saat ini tidak berubah banyak dari komposisi hara tanaman yang didiskripsikan para ahli pada tahun 1800-an.

Sebagian besar tanaman hijau memerlukan total 16 elemen kimia untuk mempertahankan hidupnya. Dari total elemen ini hanya 13 yang dapat diberikan sebagai pupuk lewat perakaran tanaman, sedangkan 3 yang lain (Okisgen, Karbon dan Hidrogen) dapat diambil dari udara dan air (Mengel dan Kirkby, 1987). Dalam budidaya tanaman terkendali yang menggunakan tanah sebagai media, hanya sebagian kecil dari 13 unsur hara yang perlu menjadi perhatian. Sebab unsur yang diperlukan dalam jumlah kecil (hara mikro) dapat disuplai oleh tanah. Sehingga sebagian besar budidaya tanaman dalam greenhouse yang secara tradisional menggunakan tanah sebagai media hanya diberikan unsur makro N,P,K saja untuk pemupukannya.

Budidaya tanaman secara hidroponik memungkinkan petani mengontrol pertumbuhan tanaman, akan tetapi juga memerlukan kemampuan manajemen yang tepat untuk mencapai keberhasilan. Petani hidroponik tidak hanya harus memberikan 6 hara makro ( N, P, K, Ca, Mg, S) saja, akan tetapi harus juga memberikan 7 hara mikro (Fe, Mn, Cu, Zn, Mo, B) untuk mendukung pertumbuhan tanaman (Gerber, 1985).

(15)

Konsentrasi Hara

Menurut Hewitt (1966) terdapat kurang lebigh160 hara berdasar bentuk garam dan kandungan individual elemennya. Sedangkan menurut Resh (1998) terdapat hanya sekitar 30 komposisi hara tanaman. Namun demikian masih saja hal ini membingung bagi calon pengguna untuk memilih hara tanaman yang cocok untuk budidaya tanaman tertentu. Beberapa larutan hara untuk budidaya tanaman tanpa tanah yang populer sampai saat ini adalah seperti terlihat pada Tabel 4.

Table 4. Konsentrasi Hara (ppm) Beberapa Larutan Standar untuk Budidaya Tanaman Tanpa Tanah Nutrient Hoagland and Arnon Cooper Modified Steiner Wilcox 1 Wilcox 2 N 210 200 171 132 162 P 31 60 48 58 58 K 234 300 304 200 284 Ca 200 170 180 136 136 Mg 48 50 48 47 47 Fe 5 12 3 4 4 Mn 0.5 2 1 0.5 0.5 B 0.5 1.5 0.3 1.5 1.5 Zn 0.05 0.1 0.4 0.3 0.3 Cu 0.02 0.1 0.2 0.1 0.1 Mo 0.01 0.2 0.1 0.1 0.1 Sumber: Gerber (1985)

Larutan hara Hoagland dan Arnon pertama kali dikembangkan untuk tanaman tomat akan tetapi digunakan juga sebagai larutan standar untuk berbagai penelitian pada kultur air. Larutan Cooper adalah larutan hara ideal untuk budidaya tanaman secara NFT. Larutan Wilcox-1 adalah dirancang untuk persemaian tanaman selada dan tomat. Pada saat tanaman tomat berkembang dari fase vegetatif menuju fase generatif pada larutan Wilcox-2 unsur N dan P ditingkatkan. Akan tetapi peningkatan unsur K lebih tinggi dibanding unsur K untuk mendukung pertumbuhan buah (Gerber, 1985).

(16)

Pengelolaan Larutan Hara

Penghitungan jumlah pupuk yang dilakukan secara tepat dan akurat, sehingga didapatkan konsentrasi akhir individual unsur yang dikehendaki, merupakan hal yang sangat kritis dalam keberhasilan program pemupukan. Dalam hampir semua sistem produkasi tanaman secara hidroponik, paling sedikit diperlukan 2 tangki larutan stok untuk pencampuran hara. Hal ini dilakukan karena terdapat beberapa jenis sumber pupuk yang mengalami reaksi pengendapan bila dicampur dalam keadaan konsentrasi tinggi. Pada umumnya endapan calsium phosphat terbentuk bila calsium nitrat dicampur dengan beberapa sumber phosphat. Juga endapan calsium sulfat akan terbentuk bila terjadi pencampuran calsium nitrate dengan magnesium sulfat. Pengelompokan stok hara dapat dibuat sebagai berikut: Stok A yang berisi potasium nitrat, calsium nitrat, Fe EDTA, dan Stok B yang berisi sumber phospor, magnesium sulfate, hara-mikro, potasium chlorida, juga potassium nitrat (Hochmuth, 1991).

Status larutan hara harus selalu dimonitor dan dikontrol secara kontinyu. Pada saat ini penggunaan kontrol elemen secara individual belum banyak diterapkan pada sistem hidroponik untuk tujuan komersial. Biasanya larutan hara dikontol dengan mengukur total konsentrasi garamnya, dan dibaca dalam satuan electrical conductivity (EC). Sebagaian besar tanaman dapat tumbuh baik dalam larutan hara yang mempunyai level EC antara 1.8 – 3.5, dan hal inipun tergantung dari jenis tanaman, radiasi matahari, suhu, dan kualitas air. Didalam sistem resirkulasi biasanya sering terjadi kesalahan pembacaan karena terjadinya perubahan kandungan unsur secara individual selama proses pertumbuhan tanaman (Gerber, 1985)

Di dalam budidaya tanaman tanpa tanah, kondisi pH di zone perakaran tanaman biasanya meningkat dengan berjalannya waktu. Penambahan larutan asam biasanya diperlukan untuk mempertahankan pH larutan antara 5.5-6.5. Pada umumnya asam nitrat atau phosphat dapat digunakan untuk penurunan pH. Bila diperlukan untuk penigkatan pH larutan yang bisa digunakan adalah potasium hidroksida. Bila sumber air ber pH tinggi karena adanya bikarbonant, pH seharusnya diturunkan sebelum pupuk dilarutkan untuk menjaga terjadinya pengendapan (Cooper, 1979).

Kebutuhan konsentrasi berbagai macam hara biasanya dinyatakan dalam parts per million (ppm). Rekomendasi konsentrasi hara untuk budidaya paprika di dalam Greenhouse secara hidroponik disajikan dalam Tabel 5. Target konsentrasi semua unsur

(17)

hara disajikan kecuali Sulfur dan Chloride. Hal ini dilakukan karena S sudah terbawa dalam K-sulfat, atau Mg-Sulfat. Chloride biasanaya ditemukan dalam jumlah yang cukup dalam pupuk sebagai bahan bawaan. Apabila kebutuhan hara sudah diketahui maka formulasi kebutuhan pupuk dapat ditentukan.

Beberapa informasi dasar diperlukan dalam memformulasikan pupuk adalah: 1. Volume larutan stok dan volume akhir yang diperlukan.

2. Jenis pupuk yang diperlukan serta kandungan hara di dalam pupuk tersebut.

Table 5. Traget konsentrasi larutan hara untuk budidaya paprika di dalam Greenhouse.

Hara Resh (ppm) Agrotisari (ppm) PT Joro (ppm) Target (ppm) Nitrogen 142 99.1 218 (NO3), 10.1 (NH4) 200 Phosphorus 24 58 97.9 55 Potassium 152 214 346 318 Calcium 114 64.4 174.2 200 Magnesium 22 38.8 59.6 55 Sulfur 34 52 139 - Iron 1 1.6 0.78 3.00 Manganese 0.3 0.44 0.3 0.50 Copper 0.04 0.4 0.05 0.12 Molybdenum 0.03 0.3 0.065 0.12 Zinc 0.3 0.54 3.5 0.20 Boron 0.3 0.24 0.28 0.90

Target Pemupukan dan Keseimbangan Fase Tumbuh Tanaman

Pemberian hara meningkat jumlahnya sesuai dengan tingkat pertumbuhan tanaman. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan EC larutan hara mulai dari EC 2.5 pada stadia vegetatif menjadi EC 3.0 mmhos pada fase generatif.

Peningkatan EC meningkatkan konsentrasi total garam terlarut, akan tetapi tidak merubah rasio unsur hara yang terkandung di dalamnya. Peningkatan konsentrasi hara di zone perakaran akan memnyebabkan tanaman mengalami stress karena kesulitan menyerap air dari media. Respon tanaman dalam mengatasi stress tersebut adalah dengan merubah kecenderungan pertumbuhan ke fase generatif (bunga dan buah). Salah satu tantangan dalam memproduski tanaman adalah bagaimana menghasilkan tanaman dengan pertumbuhan vegetatif yang bagus dan dilanjutkan dengan pembentukan buah yang

(18)

optimum sepanjang musim tanam. Beberapa pengaruran keseimbangan fase vegetative/generative dapat dilakukan dengan pengaturan rasio hara khususnya Nitrogen – Potasium. Target nilai absolute dan relative rasion antara N, P, K dan Ca dalam budidaya sayuran disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Target nilai absolute dan relative rasion antara N, P, K dan Ca dalam budidaya sayuran (E.C. of 2.5 mmhos)

Tanaman Target Hara(ppm) Rasio Hara

N K Ca N K Ca

Mentimun 200 300 173 1.00 1.51 0.86

Paprika 214 318 200 1.00 1.48 0.93

N:K rasio yang disajikan pada Tabel 6 adalah 1:1.5. Peningkatan level K akan meningkatkan rasio menjadi 1:1.7 dan mengarahkan tanaman untuk mengalami pertumbuhan generatif. Hal ini disebabkan karena N mendorong pertumbuhan vegetative, sedangkan K mendorong pertumbuhan generative dan pematangan buah. Calsium juag penting untuk mendorong pertumbuhan jaringan, buah dan pematangan buah. Calsium biasanya mempunyai perbandingan yang seimbang dengan nitrogen. Rario N:Ca = 1:1, cocok untuk paprika dan tomat, sementara itu rasio N:Ca= 1:0.85 cocok untuk tanaman mentimun.

Formulasi pupuk untuk Hidroponik

Penghitungan pupuk untuk budidaya tanaman secara hidroponik biasanya cukup rumit, karena menyangkut berbagai macam unsur yang berasal dari berbagai macam sumber pupuk. Beberapa garam pupuk tersebut ada yang berbentuk tungal maupun majemuk. Program computer “IFF SYSTEM” telah dikembangkan untuk memperudah penghitungan hara untuk budidaya sayuran secara hidroponik berdasar kebutuhan hara tanaman dan kandungan analisis

air (Susila, 2001). Beberapa sumber pupuk yang dapat dipergunakan dalam

(19)

Tabel 7. beberapa jenis pupuk untuk formulasi hara tanaman pada program budidaya tanaman sayuran secara hidroponik

Hara Pupuk Hara Hara Makro Calcium nitrate 15.5-0-0 15.5% nitrogen (NO3-N) 19% calcium Potassium nitrate 13-0-44 13% nitrogen (NO3-N) 37% potassium Nitrogen Ammonium nitrate 34-0-0 17% nitrogen (NO3-N) 17% nitrogen (NH4-N)

Phosphorus Monopotassium phosphate 0-53-44 23% phosphorus 29% potassium Potassium nitrate 13-0-44 37%potassium 13% nitrogen (NO3-N) Potassium sulfate 0-0-50 41.5% potassium 17% sulfur Monopotassium phosphate 0-53-44 23% phosphorus 29% potassium Potassium Potassium chloride 0-0-60 49% potassium 26% chlorine Calcium nitrate 15.5-0-0 19% calcium 15.5% (NO3-N) Calcium Calcium chloride CaCl2-2H2O 27% calcium 48% chlorine Magnesium sulfate MgSO4-7H2O 10% magnesium 13% sulfur Magnesium Magnesium nitrate Mg(NO3)2-6H2 10% magnesium 11% nitrogen (NO3-N) Magnesium sulfate MgSO4-7H2O 10% magnesium 13% sulfur Sulfur Potassium sulfate 0-0-50 41.5% potassium 17% sulfur Calcium chloride CaCl2-2H2O 27% calcium 48% chlorine Chlorine Potassium chloride 0-0-60 49% potassium 26% chlorine Hara Mikro

Iron Iron chelate 13% iron

Manganese Manganese chelate 13% manganese

Copper Copper chelate 14% copper

Molybdenum Sodium molybdate 39% molybdenum

(20)

Pedoman Pencampuran Pupuk Hidroponik

Volume larutan hara yang dibutuhkan setiap hari sangatlah besar, sangatlah tidak praktis apabila mencampur larutan hara setiap hari. Oleh karena itu pencampuran larutan hara biasasanya dilakukan dengan membuat konsentrasi tinggi (100 sampai 200 kali) sebagai larutan stok. Hal ini juga dilakukan untuk memudahkan penyimpanan dalam volume stok yang tidak terlalu besar. Selanjutnya pada saat aplikasi dilakukan kembali pengencerean larutan stok tersebut.

Setelah jumlah dan jenis berbagai pupuk telah diketahui selanjutnya dilakukan pencampuran hara. Sebagian besar produksi sayuran dalam greenhouse secara komersial menggunakan 2 tangki larutan stok, meskipun beberapa menggunakan tangki ketiga untuk larutan asam.

Beberapa Tips pencampuran larutan hara:

1. Pililah sumber pupuk yang mempunyai kualitas yang baik dan kelarutan yang tinggi.

2. Ketika bekerja dengan larutan berkonsentrasi tinggi janganlah mencampur pupuk yang mengandun Calsium (contoh calsium nitrat) dengan pupuk lain yang mendandung phosphat (contoh. monopotassium phosphate) atau sulfat (contoh. potassium sulfat, magnesium sulfat). Ketika pupuk yang mengandung calsium, phosphate, sulfat dicampur dalam konsentrasi tinggi akan terjadi pengendapan dalam calsium phosphat and calsium sulfat. Endapan ini akan menggumpal di dasar tangki dan dapat menyumbat emitter pada jaringan irigasi tetes.

3. Gunakanlah air panas untuk mencapur pupuk di masing-masing Tangki. Akan tetapi masukkanlah hara mikro pada saat air sudah menjadi hangat, dan tidak panas.

4. Aduklah terus pada saat pupuk ditambahkan ke tangki larutan hara.

Bila menggunakan pupuk tambahan pastikan bahwa calsium tidak tercampur dengan phosphate atau sulfate. Pada umumnya sumber pupuk nitrat dapat ditambahkan ke Tangki A, sedangkan yang lain di Tangki B. Besi (Fe) selalu tambahkan ke Tanggki A untuk menghidari reaksi dengan phosphate yang dapat mengakibatkan pengendapan yang mengakibatkan tanaman dapat kekurangan besi (Wieler and Sailus 1996), apabila menggunakan asam untuk koreksi pH dapat ditambahkan di Tangki A atau B, atau dapat

(21)

ditambahkan di tangki C. Apabila menggunakan potassium bicarbonate diperlukan untuk menaikkan pH buatlah di Tangki C. Isi masing larutan stock disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Isi Masing-masing Tangki Stok Larutan Hara A dan B

Tangki A Tangki B

Calcium nitrate Potassium nitrate (Setengah jumlah total)

Potassium nitrate (Sengah jumlah total) Magnesium sulfate

Iron chelate Monopotassium phosphate

Potassium sulfate Manganese chelate Zinc chelate Copper chelate Sodium molybdate Boric acid

Aplikasi Pupuk dan Air (Fertigasi)

Air dan pupuk diberikan secara bersamaan sebgai larutan hara. Jumlah air dan hara akan selalu berubah sesuai dengan umur dan pertumbuhan tanaman. Kebutuhan tananaman terhadap hara dan terus meningkat sejak persemaian sampai tanaman menghasilkan . Secara umum pengaruh frekuensi penyiraman berpengaruh terhadap hasil tanaman paprika yang dibudidayakan secara hidroponik disajikan pada Tabel 9 dan Tabel 10. Penyiraman sebanyak 250 ml 4 atau 5 kali sehari sesui dengan jadwal memberikan hasil terbaik bagi tanaman paprika.

Tabel 9. Jadwal Fertigasi pada Budidaya Paprika secara Hidroponik

Fekuensi Penyiraman (250 ml) Waktu Penyiraman 3x 7.30 11.00 14.30 4x 7.30 9.30 13.30 16.30 5x 7.30 9.30 11.00 13.30 16.30 6x 7.30 9.30 11.00 13.30 14.30 16.30

(22)

Tabel 10. Pengaruh Frekuensi Penyiraman terhadap hasil buah Paprika

Frekuensi Penyiraman (250 ml larutan hara) Peubah Varietas 3X 4X 5X 6X Spartacus 105 108 111 103 Bobot per Buah (g) GoldFrame 108 110 113 105 Spartacus 634 785 625 559 Bobot buah/tanaman (g) GoldFrame 603 661 742 616 Spartacus 6 7.3 5.6 5.4 Jumlah buah/tanaman GoldFrame 5.6 6.1 6.6 5.9 Spartacus 55.6 5.6 5.5 5.2 Ketebaln daging buah (mm) GoldFrame 5.0 5.1 5.2 5.2

Secara umum lebih baik meningkatkan frekuensi penyiraman daripada meningkatkan jumlah air yang diberikan pada tanaman yang mendekati masa panen. Frekuensi pemberian air juga dapat untuk mengatur keseimbngan fase vegetative/generatif tanaman. Pada jumlah volume yang tetap semakin banyak frekuansi penyiraman tanaman akan cenderung mengalami pertumbuhan vegetative, sebaliknya semakin jarang frekuensi cenderung mendorong pertumbuhan generative.

Gambar 1. Skema Umum Monitoring Larutan Hara

Jadwal fertigasi untuk budidaya tanaman sayuran di dalam greeenhouse secara hidroponik serta kirsan pH masuk dan pH keluar disajikan pada Tabel 11. Pengukuran EC larutan hara dapat dipakai sebagai ukuran tingkat pemberian hara bagi tanaman. EC larutan hara yang memiliki target nitrogen 200 ppm kira-kira sebesar 2.5 mmhos. Tentu saja jumlah hara yang lain secara proporsional mengikuti jumlah nitrogen. Monitoring EC dan pH dapat dilakukan pada EC masuk (sebelum melewat media tanam) dan EC keluar

(23)

(setelah melewati media tanam). Hal ini dapat memantau kecukupan hara selama pertumbuhan tanaman. Tingkat pH optimum adalah 5.8, aktivitas perakaran biasanya dapat menurunkan pH sekitar perakaran untuk mengatasi hal tersebut perlu digunakan pupuk yang tidak bersifat masam. Tidak direkomendasikan menggunakan pupuk masam pada pH larutan 5.5. Penggunaan ammonium nitrat at 2 to 5 ppm of ammonium nitrogen (NH4 - N) akan menurunkan pH perakaran akera pengaruh asam dari pupuk tersebut

Tabel 11. Jadwal Fertigasi unuk Budidaya Tanaman Sayuran secara Hidroponik

Waktu pemberian (WIB)

EC (mS/cm)

Umur

tanaman Suhu<30,RH

>50%

Suhu >30,

RH <50%

Vol.

(ml/ta

n)

Masuk Keluar

07.00 07.00

100

1.6-1.7

1.3-1.8

09.00 09.00

100

1.6-1.7 1.3-1.8

11.00 10.30

100

1.6-1.7 1.3-1.8

13.00 12.00

100

1.6-1.7 1.3-1.8

15.00 13.30

100

1.6-1.7 1.3-1.8

Fase Veg. I

(1-6 MST)

15.00

100

1.6-1.7 1.3-1.8

07.00 07.00

150

1.8-1.9

2.0-2.1

09.00 09.00

150

1.8-1.9 2.0-2.1

11.00 10.30

150

1.8-1.9 2.0-2.1

13.00 12.00

150

1.8-1.9 2.0-2.1

15.00 13.30

150

1.8-1.9 2.0-2.1

Fase Veg II

(6-8 MST),

Berbunga

dan mulai

berbuah

15.00

150

1.8-1.9 2.0-2.1

07.00 07.00

250

2.0-2.1

2.1-2.2

09.00 09.00

250

2.0-2.1

2.1-2.2

11.00 10.30

250

2.0-2.1

2.1-2.2

13.00 12.00

250

2.0-2.1

2.1-2.2

15.00 13.30

250

2.0-2.1

2.1-2.2

Fase Gen.

(>8 MST)

Pematangan

buah

15.00

250

2.0-2.1

2.1-2.2

Penyiraman pada malam hari dapat meningkatkan perkembangan buah, akan tetapi biasanya berasosiasi dengan resiko pecah buah bila aplikasi terlalu banyak. Sehingga penyiraman pada malam hari perlu dikalibrasikan dengan kondisi agroklimat setempat.

(24)

Manajemen fertigasi merupakan cara yang fleksible dalam pemberian pupuk untuk memenuhi kebutuhan tanaman. Dengan pengalamanya, petani dapat dengan mudah menyesuaikan jumlah dan jenis pupuk untuk memenuhi kebutuhan tanaman berdasarkan tingkat perkembangannya. Pemberian hara yang tepat sesuai dengan kebutuhan tanaman adalah salah satu “keyword” dalam budidaya tanaman secara hidroponik, sehingga kesuksesan dalam manjemen larutan hara merupakan juga kesuksesan dalam berbisnis tanaman secara hidroponik.

DAFTAR PUSTAKA

Aziz, S.A. 2003. Pengaruh umur bibit dan konsentrasi hara terhadap pertumbuhan dan produksi selada (Lactuca sativa L.) dalam teknologi hidroponik sistem terapung (THST) tanaman selada. Skripsi. Departemen BDP, Faperta IPB

Damayanti, M. 1999. Budi Daya melon varietas ’Sky Rocket’ secara hidroponik di Taman Buah Mekarsari. Laporan Ketrampilan Profesi. Jurusan Budi Daya Pertanian Faperta IPB. Bogor. 42 hal.

Dangler, J.M. and S.J. Locascio. 1990a. Yield of tricklr-irrigated tomatoes as affected by time of N and K application. J. Amer. Soc. Hort. Sci. 115:585-589.

Dangler, J.M. and S.J. Locascio. 1990b. External and internal blotchy ripening and fruit elemental content of trickle-irrigated tomatoes as affected by N and K application time. J. Amer. Soc. Hort. Sci. 115:547-549.

[DEPTAN] Departemen Pertanian. 2006. Produksi, Luas Areal dan Produktivitas Sayuran di Indonesia. http://www.deptan.go.id [3 Februari 2007].

Drew, M. C.& L. H. Stolzy. 1991. Growth Under Oxygen Stress. p. 331-342. In : Y. Waisel. A. Eshel and U. Kafkafi (Eds.) Plant Roots The Hidden Half. Marcel Dekker. Inc. New York

Ecih. 1998. Tanaman melon (Cucumis melo L.) di PT Hortitek Tropikasari Kec. Semplak Kab. Bogor. Laporan Ketrampilan Profesi. Jurusan Budi Daya Pertanian Faperta IPB. Bogor. 66 hal.

Elmstorm, G.W., S.J. Locascio, and J.M. Myers. 1981. Watermelon response to

drip and sprikler irrigation. Proc. Fla. State Hort. Soc. 94:161-163.

Febriana, M. 1997. Budi Daya tanaman tomat secara hidroponik di PT Saung Mirwan. Laporan Ketrampilan Profesi. Jurusan Budi Daya PertanianFaperta IPB. Bogor. 64 hal

Hikmah, Z.M. 2005. Pengaruh naungan dan pupuk daun terhadap pertumbuhan dan produksi kailan (Brassica oleracea L.var alboglabra) dalam teknologi hidroponik sistem terapung (THST). Skripsi. Departemen BDP, Faperta IPB.

(25)

Hochmuth, G.J. and A.G. Smajstrla. 1997. Fertilizer application and management for micro (drip)-irrigated vegetable in Florida. Fla.Coop. Ext. Circ, 1181.

Ismail. 1992. Rumah plastik untuk Budi Daya Selada di Kem Farms. Laporan Ketrampilan Profesi. Jurusan Budi Daya Pertanian Faperta IPB. Bogor. 89hal.

Kusumainderawati, E.P. 1998. Peranan pemupukan dan penggunaan mulsa terhadap produktivitas cabai di luar musim. Prosiding seminar nasional dan pertemuan tahunan Komisariat Daerah Himpunan Ilmu Tanah Indonesia Tahun 1998 (buku 2). di Malang. Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI), hal. 167-172.

Locascio, S.J, and A.G. Smajstrla. 1989. Drip irrigated tomato as affected by water quantity and N and K application timing. Proc. Fla. State. Hort. Soc. 102:307-309.

Locascio, S.J., and J.M. Myers. 1974. Tomato response to plug-mix, mulch and irrigation methods. Proc. Fla. State. Hort. Soc. 87:126-130

Locascio, S.J., J.M. Myers, and S.R. Kostewicz. 1981. Quantity and rate of water application for drip irrigated tomatoes. Proc. Fla. State Hort. Soc. 91:163-166.

Locascio, S.J., G.J. Hochmuth, S.M. Olson, R.C Hochmuth, A.A. Csizinszky, and K.D. Shuler. 1997a. Potassium source and rate for polyethylene-mulched tomatoes. HortSci. 21(7):1204-1207.

Locascio, S.J., G.J. Hochmuth, F.M. Rhoads, S.M. Olson, A.G. Smajstrla, and E.A. Hanlon. 1997b. Nitrogen and potassium application scheduling effects on drip-irrigated tomato yield and leaf tissue analysis. HortSci. 32:230-235.

Locascio, S.J., S.M. Olson, F.M. Rhoads, C.D. Stanley, and A.A. Csizinszky. 1985. Water and fertilizer timing for trickle-irrigated tomatoes. Proc. Fla, State Hort. Soc. 102:307-309.

Locascio, S.J., S.M. Olson, F.M. Rhoads. 1989. Water quantity and time of N and K application for trickle-irrigated tomatoes. J. Amer. Soc. Hort. Sci. 114:265-268.

Morard, P. & J. Silvestre. 1996. Plant injury due to oxygen deficiency in the root environment of soilless culture: a review. Plant and Soil 184:243-254.

Morgan, L. 2000. Are your plants suffocating? The importance of oxygen in hydroponics. The Growing Edge 12(6):50-54.

Muchtadi, T.R. 2006. Peningkatan Daya Saing Buah Melalui Riset dan Pengembangan Teknologi. Prosiding Lokakarya Nasional Manajemen Riset Buah-buahan. Kerjasama Ristek, Puslitbanghort dan PKBT, IPB. Bogor.

(26)

Napitupulu, L . 2003. Pengaruh aplikasi pupuk daun dan sumber larutan hara terhadap pertumbuhan dan produksi selada (Lactuca sativa L.) dalam teknologi hidroponik sistem terapung (THST) tanaman selada. Skripsi. Departemen BDP, Faperta IPB

Nurfinayati. 2004. Pemanfaatan berulang larutan hara pada budidaya selada (Lactuca sativa) dalam teknologi hidroponik sistem terapung (THST). Skripsi. Departemen BDP, Faperta IPB

Pamujiningtyas, B.K. 2005. Pengaruh naungan dan pupuk daun terhadap pertumbuhan dan produksi selada (Lactuca sativa L. var. Minetto) dalam teknologi hidroponik sistem terapung (THST). Skripsi. Departemen BDP, Faperta IPB.

Phaisal, R. 2005. Pengaruh naungan dan pupuk daun terhadap pertumbuhan dan produksi seledri (Apium graveolens) dalam teknologi hidroponik sistem terapung (THST). Skripsi. Departemen BDP, Faperta IPB.

Pitss, D.J., and G.A. Clark. 1991. Comparison of drip irrigation to sub irrigation for tomato production in southwest Florida. Applied Eng. Agr. 7(2):177-184

Putri, U.T. 2004. Pemanfaatan berulang larutan hara pada budidaya beberapa sayuran daun dalam teknologi hidroponik sistem terapung (THST). Skripsi Departemen BDP, Faperta IPB

Resh, H. M. 1998. Hydroponic Food Production. Woodbridge Press Publ. Co. Santa Barbara. 527p.

Savage, A.D. 1985. Overview:Background, current situation, and future prospect, p.6 – 11. In: A.J. Savage (ed.). Hydroponics worldwide: State of the art in soiless crop production. Intl. Ctr. Special. Studies Inc. Honolulu, Hawaii.

Sesmininggar, A. 2006. Optimasi Konsentrasi Larutan Hara pada Budidaya Pakchoi (Brassica rapa L. cv. group Pak Choi) dengan Teknologi Hidroponik Sistem Terapung. Skripsi. Departemen BDP, Faperta IPB. Susila, A.D. and S.J. Locascio. 2001. Sulfur Fertilization for

Polyethylene-mulched Cabbage. Proc.Fla.State Hort. Soc. 114:318-322

Susila, A.D. 2003. Pengembangan teknologi hidroponik sistem terapung (THST) untuk menghasilkan sayuran daun berkualitas. Laporan Hibah Penelitian. Project DUE-like Batch III. Program Studi Hortikultura, Faperta, IPB. Susila, A.D. dan Y. Koerniawati. 2005. Pengaruh volume dan jenis media tanam

pada pertumbuhan dan hasil tanaman selada (Lactuca sativa L.) dalam teknologi hidroponik sistem terapung (THST). Buletin Agronomi. XXXII (3):16-21

Vos, J.G.M. , N. Sunarmi, S.U. Tinny, and R. Sutarya. 1991. Mulch trial with hor pepper in Subang (West Java) and Kramat (Central Java). ATA Project Report

(27)

Wulan, E.R. 2006. Optimasi Konsentrasi Larutan Hara pada Budidaya Selada (Lactuca Sativa L. Var. Grand Rapid) dengan Teknologi Hidroponik Sistem Terapung. Skripsi. Departemen BDP, Faperta IPB.

Gambar

Tabel 1. Konsentrasi maksimum ion garam terlarut dalam air  untuk budidaya tanaman di  dalam Greenhouse (ppm)
Table 2. Hara Esensial untuk Pertumbuhan Tanaman
Tabel 3. Bentuk Unsur Hara Mineral yang Tersedia bagi Tanaman
Table 4. Konsentrasi Hara (ppm) Beberapa Larutan Standar untuk Budidaya Tanaman  Tanpa Tanah                             Nutrient  Hoagland  and Arnon  Cooper  Modified Steiner  Wilcox  1  Wilcox 2  N  210  200  171  132  162  P  31  60  48  58  58  K  234
+7

Referensi

Dokumen terkait

yang terdiri dari rasio likuiditas, rasio solvabilitas, dan rasio profitabilitas dengan. menggunakan data Laporan Keuangan Perusahaan untuk kurun waktu 3

LATIEF,

Dengan demikian, strategi pembelajaran merupakan perpaduan dari urutan kegiatan, cara pengorganisasian materi pelajaran dan siswa, peralatan dan bahan, serta waktu

keagungan-Mu dari dibenamkan kedalam bumi&#34;. Ahmad dalam kitab Al Musnad, Abu Dawud, Nasa'i, Ibnu Majah dan merupakan hadits shahih menurut riwayat

Kondisi perairan Teluk Ambon Luar memiliki indeks pencemaran perairan berdasarkan baku mutu untuk biota laut seluruhnya dalam kondisi baik meskipun ada beberapa

Pada Cerebrum Dan Cerebellum Anak Rattus Norvegicus Baru Lahir” yang merupakan salah satu tugas akhir dalam menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis I Bidang Obstetri dan

Oleh karena itu tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian ketamin dosis tunggal 40 mg/kg terhadap ekspresi kaspase-3 pada korteks serebri

Hasil dari proses evaluasi terhadap konsumsi yang telah dilakukannya adalah konsumen akan puas atau tidak puas terhadap konsumsi produk atau jasa yang telah