• Tidak ada hasil yang ditemukan

Surveilans Integratif Brucellosis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Surveilans Integratif Brucellosis"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Saat ini masyarakat dunia menghadapi peningkatan ancaman dari penyakit-penyakit menular (infeksius) yang bersumber dari hewan sebagai akibat kerusakan lingkungan,pemanasan global, dan urbanisasi yang progresif. Pemicu paling umum terhadap munculnya penyakit baru adalah pertumbuhan cepat dalam populasi manusia dan hewan, urbanisasi yang cepat, sistem peternakan yang berubah (intensifikasi peternakan), integrasi yang semakin mendekat antara hewan domestik dan satwa liar, perusakan hutan, perubahan-perubahan dalam ekosistem, dan globalisasi perdagangan hewan dan produk-produk hewan.

Dalam program pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan menular di tingkat nasional, terdapat 5 (lima) jenis penyakit hewan menular strategis pada ruminansia yang perlu mendapat prioritas dan perhatian khusus karena kerugian ekonomi dan dampak kesehatan masyarakat yangditimbulkan. Kelima jenis penyakit tersebut adalah penyakit keluron menular (Brucellosis) pada sapi potong dan sapi pera, penyakit radang limpa (Anthrax) pada ruminansia, penyakit Jembrana, penyakit SE dan penyakit IBR. (Sjamsul, 2010)

Bruselosis merupakan salah satu penyakit zoonosis utama yang bisa berdampak negatif pada kesehatan masyarakat dan perekonomian di banyak bagian dunia (Agasthya et al. 2007). Agen patogen utama pada sapi adalah genus Brucella abortus). Penyakit ini pada manusia dikenal dengan Malta fever, Mediterranean fever dan Gilbaltar fever sesuai dengan nama daerah tempat pertama kali penyakit ini ditemukan. Juga dikenal sebagai nama undulant fever karena gejala demam dengan suhu yang bervariasi dan berulang pada orang yang terinfeksi (Megid et al. 2010).

Infeksi penyakit ini ditularkan secara langsung maupun tidak langsung melalui kontak dengan hewan atau produk hewan yang terinfeksi (WHO 2006).

Brucellosis atau penyakit keluron menular merupakan salah satu penyakit hewan menular strategis karena penularannya yang relatif cepat antar daerah dan lintas batas serta memerlukan pengaturan lalulintas ternak yang ketat (DITJENNAK, 1988). Brucellosis mengakibatkan tingginya angka keguguran pada sapi, pedet lahir mati/ lemah, infertilitas, sterilitas dan turunnya produksi susu (HUBBERT et al., dalam Anonimus 2009).

(2)

Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 2

Penyakit Brucellosis tersebar di seluruh dunia, diestimasikan 500.000 manusia terinfeksi setiap tahunnya di negara berkembang. Estimasi prevalensi brucellosis pada manusia di negara industri, antara lain < 1 dari 100.000 manusia terinfeksi di Inggris, Amerika dan Australia, serta > 70 dari 100.000 manusia terinfeksi di Timur Tengah (Sriranganathan dkk.,2009). Infeksi pada manusia dapat disebabkan oleh konsumsi produk hewan terkontaminasi, seperti susu non-pasteurisasi dan keju. Resiko lain berada di pengolahan karkas hewan dan/atau penanganan kesehatan hewan terkait dengan sekresi uterus atau abortus. Selain itu, brucellosis pada manusia disebabkan akibat medik veteriner melakukan uji coba modifikasi vaksin hidup (modified live vaccine) ataupun strain virulen (Sriranganathan dkk dalam Mario Lintang, 2009).

Penderita yang dilaporkan terjadi di AS, kurang dari 120 kasus tiap tahunnya; diseluruh dunia, penyakit ini terkadang tidak diketahui dan tidak dilaporkan. Infeksi saluran kemih dilaporkan terjadi pada 2 – 20 % kasus dan yang paling umum adalah orkitis dan epididimitis. Biasanya terjadi penyembuhan tetapi bisa juga terjadi kecacatan. “Case Fatality Rate” dari bruselosis sekitar 2 % atau kurang dan biasanya sebagai akibat dari endokarditis oleh infeksi Brucella melitensis.

Di Arab Saudi meskipun kontrol dilakukan di banyak negara maju penyakit ini tetap endemik, di mana sero-prevalensi nasional penyakit ini sekitar 15%. Penyakit ini dikenal melalui impor daging yang tidak terkendali pada hewan yang kurang diskrining untuk penyakit ini. Brucella mellitensis tetap menjadi penyebab utama brucellosis pada manusia di Arab Saudi, yakni 88-93% dari semua kasus, meskipun infeksi campuran bersama dengan Brucella abortus jarang terjadi. (Sabra M, 2012)

Beberapa wilayah di Indonesia masih menjadi wilayah yang endemis Brucellosis seperti Pulau Jawa, beberapa wilayah di Sulawesi, Aceh, beberapa wilayah di bagian timur lainnya. Adapun wilayah yang merupakan daerah bebas adalah Pulau Bali, Bangka Belitung, Kepulauan Riau; dibebaskan Pulau Sumba dan Lombok, Kalimantan (Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan), Sumatera Barat, Riau, dan Jambi.

Penyakit ini telah menjadi ancaman global karena penyebarannya dan kemungkinan yang disepakati para pakar bahwa dimasa yang akan datang, penyakit menular yang muncul dan sebagian besar bersumber hewan dapat

(3)

Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 3

merupakan penyakit baru (emerging infectious diseases) atau penyakit menular lama yang muncul kembali (re-emerging infectious diseases). Selain itu, Penyakit zoonosis memiliki dampak yang luas tidak hanya pada sektor kesehatan, juga pada sektor perekonomian, pariwisata, dan konservasi satwa liar. Meskipun dampak yang ditimbulkan oleh penyakit zoonosis bersifat lintas sektor, namun selama ini pengendalian zoonosis masih bersifat sektoral.

Kementerian Kesehatan melaporkan bahwa 75% dari 130 penyakit baru di Indonesia berasal dari hewan (zoonosis) sehingga peran aktif organisasi profesi sangat diperlukan. Penanganan zoonosis memerlukan kerjasama berbagai pihak untuk mempelajari etiologi, epidemiologi, dan siklus perkembangan serta model transmisi agen penyakit dan vektornya; juga gejala klinik, metode diagnosis, terapi dan pencegahan penyakit serta menghitung dampak negatif yang diakibatkannya secara multi sektor. (Renstra Penyakit Zoonotic Terpadu, 2012)

Makalah ini akan membahas tentang survailans integrative Brucellosis dan semua aspek terkait didalam penanggulangan serta pengendaliannya.

B. Tujuan Penulisan

a. Mengetahui analisis situasi penyakit Brucellosis

b. Mengetahui definisi surveilans integratif penyakit Brucellosis c. Mengetahui tujuan surveilans integratif penyakit Brucellosis

d. Mengetahui kajian dan kerjasama lintas sektor surveilans integratif penyakit Brucellosis.

(4)

Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 4 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Penyakit Brucellosis

Penyakit Keluron Menular (Brucellosis) disebabkan oleh mikroorganisme berbentuk batang dari golongan Brucella, sehingga dinamai Brucellosis karena penghargaan dan kenangan bagi di bidang peternakan mortalitas Brucellosis tidaklah tinggi, Brucellosis dapat menyerang ternak-ternak Sapi, Kambing, Domba, Kuda, Babi, dll. (Bruce dalam Julman, 2010). Hampir semua hewan domestik dapat terinfeksi, kecuali kucing yang diketahui resisten terhadap infeksi brucella. Infeksi pada hewan dapat menyebabkan abortus, anak lahir lemah, infertilitas, kepincangan, penurunan produksi susu dan penurunan berat badan, yang merupakan faktor penghambat utama dalam perdagangan ternak (Radostits et al. dalam Omar, 2006).

Roza tahun 1958 bahwa sampai tahun 1957 bruselosis belum dimasukan ke dalam daftar penyakit menular di Indonesia sedangkan penyakit ini diidentifikasi sudah bersifat endemis pada banyak peternakan sapi perah di Indnesia. diusulkan agar bruselosis segera diklasifikasikan sebagai penyakit hewan menular dan pada tahun 1959 terbit surat keputusan menteri pertanian No5494 C/SK/M tertanggal 4 Juli 1959 tentang Peraturan pengawasan dan tindakan-tindakan terhadap hewan bruselosis (Putra et al. 2002).

Brucellosis adalah penyakit reproduksi menular ruminansia yang disebabkan oleh kuman Brucella sp. Penyakit ini merupakan penyakit penting di Indonesia yang dapat menular ke manusia (zoonotik) (Anonimus, 2004). Brucellosis dilaporkan menyebar ke berbagai wilayah Indonesia sehingga menimbulkan kerugian ekonomis yang cukup besar bagi pengembangan peternakan akibat kematian dan kelemahan pedet, abortus, infertilitas, sterilitas, penurunan produksi susu dan tenaga kerja ternak, serta biaya pengobatan dan pemberantasan yang mahal (Gede Agung,2007)

B. Etiologi Brucellosis

Brucellosis disebabkan oleh bakteri Gram negatif dari genus Brucella. Agen infeksi memiliki morfologi khas, seperti berbentuk cocobacilli dan bersifat fakultatif intrasellular. Dasar untuk membedakan spesies pada genus Brucella adalah hospes spesifik dan patogenesitas. Berdasarkan hospes

(5)

Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 5

spesifik, bakteri ini dikelompokkan sebagai B. abortus (ternak ruminansia besar), B. canis (anjing), B. melitensis (kambing dan domba), B. neomatae (rodensia), B. ovis (domba) dan B. suis (babi) (Mario Lintang P, 2012).

Identifikasi kelompok dalam spesies Brucella lebih dikenal sebagai variasi biovar. Identifikasi subspesies, B. Abortus diklasifikasikan menjadi biovar 1, 2, 3, 4, 5, 6 dan 9, B. suis diklasifikasikan menjadi biovar 1, 2, 3, 4 dan 5, serta B. melitensis diklasifikasikan menjadi serotipe 1, 2 dan 3 (Verger dkk.,1987). Secara lengkap, isolat Brucella dengan variasi spesies dan biovar telah dikoleksi oleh American Type Culture Collection (ATCC) di Amerika,

National Collection of Type Cultures - Great Britain (NCTC) di Inggris dan

telah didistribusikan ke beberapa negara di dunia sebagai strain koleksi untuk laboratorium diagnosis brucellosis manusia dan hewan. (Anonimus, 2005).

C. Gejala Brucellosis

Penyakit bakteri sistemik dengan gejala akut atau insidius, ditandai dengan demam terus menerus, intermiten atau tidak tentu dengan jangka waktu yang bervariasi. Gejala yang timbul berupa sakit kepala, lemah, berkeringat, menggigil, arthralgia, depresi, kehilangan berat badan dan sakit seluruh tubuh. (Hartigan dalam Mario Lintang P, 2012)

Infeksi supuratif terlokalisir dari organ tubuh termasuk hati dan ginjal bisa terjadi; gejala sub klinis dan infeksi kronis yang terlokalisir juga bisa terjadi. Penyakit ini bisa berlangsung beberapa hari, beberapa bulan atau terkadang bertahun-tahun jika tidak diobati dengan tepat.(Abdillah F, 2011)

D. Masa Inkubasi Penyakit Brucellosis

Masa inkubasi dari bakteri penyakit ini sangat bervariasi dan sangat sulit dipastikan, biasanya sekitar 5 – 60 hari, umumnya 1 – 2 bulan, terkadang beberapa bulan serta Tidak ada bukti terjadi penularan dari orang ke orang. (Abdillah F, 2011)

E. Cara Penularan

Penularan terjadi karena kontak dengan jaringan, darah, urin, sekrit vagina, janin yang digugurkan, dan terutama plasenta (melalui luka di kulit) dan karena mengkonsumsi susu mentah dan produk susu (keju yang tidak di pasturisasi) dari binatang yang terinfeksi. Penularan melalui udara oleh binatang terjadi di kandang, dan pada manusia terjadi di laboratorium dan tempat pemotongan hewan.

(6)

Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 6

Beberapa kasus penularan terjadi karena kecelakaan karena tertusuk jarum suntik pada saat menangani vaksin brusella strain 19, risiko yang sama dapat terjadi pada waktu menangani vaksin Rev-1. Pada sapi penularannya terjadi per oral. Sapi yang mengalami keguguran oleh brucellosis mengeluarkan bakteri Br. abortus dalam jumlah besar melalui membran fetus, cairan reproduksi, urine dan feses.

F. Upaya Penanganan Brucellosis

Penyakit Keluron Menular (Brucellosis) dapat dilakukan penanganan sebagai berikut (Subronto dalam Abdilillah, 2011):

a) Pemeriksaan Serologik

Dilakukan dengan uji aglutinisasi cepat (slide/plate agglutination test) dan uji aglutinasi tabung (tube agglutination test)

b) Vaksinasi dengan Strain 19

Vaksinasi ini akan merangsang tubuh membentuk antibody 1gM, 1gG1, 1gG2.

c) Pada penderita hewan kesayangan (Anjing) dapat dicoba dengan

memberikan suntikan dengan Antibiotika Streptomisin dan

Chlortetrasiklin berbarengan (kombinasi), hasilmya cukup memuaskan. d) Pemeriksaan Patologis – Anatomis

 Perubahan di dalam rahim : perubahan patologis yang di temukan di dalam rahim yang berisi janin terdiri dari proses degenerasi melemak dan nekrose dari berkas-berkas korion, perubhan tersebut disertai dengan pengeluaran eksudat yang bersifat purulen, yang pada suatu saat menyebabkan terpisahnya kotiledon maternal dan kotiledon fetal.

 Perubahan di dalam kelenjar limfe dan limpa : hewan yang menderita brucellosis, reaksi jaringan mungkin berupa sebagai granuloma yang bersifat infektif ringan, yang dapat mlanut menjadi nekrotik.

 Higromata : terbentuk terutama pada sendi lutut. Lesi berbentuk sebagai regangan sedarhana atas bungakus sinovia pada pesendiaan, berisi cairan yang jernih atau jonjot fibrin maupun nanah.

 Lesi pada hewan jantan : pada hewan jantan Br. Abortus dapat menyebabkan abses serta nekrose pada buah pelir dan

(7)

kelenjar-Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 7

kelenjar kelamin tambahan. Mani yang di ambil dari pejantan penderita mungkin mengandung kuman Brucellosis Abortus.

e) Pemeriksaan Mikroskopik

Preparat tempel tersebut yang tersebut yang terbaik diwarnai dengan metode koster.

f) Pemeriksaan Biakan Kuman

Media khusus untuk membiakan kuman yang harus digunakan dipersiapkan dari pepton, serum, infusi hati, dll.

g) Uji Antibodi Fluoresen

Merupakan cara yang cepat untuk mengatahui adanya kuman brucella dari preparat tempel yang diambil dari lambung janin, membran janin dan sebagainya.

h) Uji Aglutinasi Serum (UAS)

i) Uji Ikat Komplemen (Complement fixation test, CFT) j) Uji Pelat Rose Bengal (UPRB)

k) Uji Cincin Air Susu (UCAS, Milk Ring Test)

G. Strategi Pencegahan dan Pengendalian Bruselosis

Pencegahan, pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan termasuk bruselosis merupakan tujuan utama dari pelayanan kesehan hewan. Pemilihan strategi dalam pencegahan, pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan menjadi sangat penting dan sering menjadi penyebab kontroversi diantara pengambil keputusan. Strategi yang akan dilaksanakan harus sesuai dengan kualitas instansi pelayanan kesehatan hewan, sumber daya ekonomi yang tersedia dan Pelaku kebijakan lingkungan kebijakan Kebijakan Publik prevalensi penyakit. Kerjasama dengan petani menjadi sangat penting sebagai dasar untuk melaksanakan program strategi ini (Blasco 2010).

a) Strategi Pencegahan

Menurut WHO (2006) Pencegahan penyakit akan selalu lebih ekonomis dan praktis daripada pengendalian dan pemberantasan. Strategi pencegahan bruselosis meliputi :

• Seleksi pada hewan ternak pengganti. Ternak harus bebas bruselosis dan harus berasal dari peternakan yang bebas bruselosis pula.

(8)

Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 8

• Isolasi ternak pengganti setidaknya selama 30 hari dan dilakukan pemeriksaan secara serologis.

• Pencegahan kontak dengan ternak lain

• Pengawasan secara periodik pada sapi (setidaknya empat kali per tahun) dan pemotongan bersyarat pada hewan dengan prosedur skrining serologis sederhana seperti RBT dan CFT.

• Melakukan disposal pada material bekas aborsi (fetus, plasenta dan organ lainnya) dengan cara penguburan atau pembakaran serta desinfeksi daerah yang terkontaminasi secara menyeluruh.

b) Strategi Pengendalian

Menurut WHO (2006) Tujuan dari program pengendalian hewan adalah untuk mengurangi dampak dari penyakit dan konsekuensi ekonomi. Eliminasi penyakit dari populasi bukanlah tujuan dari program kontrol, kejadian penyakit masih ada dalam populasi dengan prevalensi yang dapat diterima. Program pengendalian memiliki durasi yang tidak terbatas dan perlu dipertahankan bahkan setelah "tingkat yang dapat diterima" infeksi telah tercapai, sehingga penyakit tidak muncul kembali.

Di banyak negara, metode untuk pengendalian bruselosis didukung oleh peraturan pemerintah/perundang-undangan tetapi ada di sebagian negara yang tidak. Oleh karena itu, prosedur untuk pengelolaan populasi ternak yang terinfeksi sangat bervariasi. Namun demikian, ada beberapa prinsip yang berlaku, yaitu:

1) Pengurangan paparan Brucella sp. dan

2) Meningkatkan perlawanan terhadap infeksi hewan dalam populasi. Prosedur Ini selanjutnya dapat diklasifikasikan pada kategori umum yaitu test and Isolation/slaughter, higiene lingkungan, pengendalian lalulintas hewan, vaksinasi serta surveilans untuk menentukan status daerah yang diperlukan dalam menentukan kebijakan.

(9)

Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 9 BAB III

PEMBAHASAN

A. Analisis Situasi

Penyakit-zoonosis di Indonesia cenderung menjadi epidemi/mewabah dan selebihnya bersifat endemik yang menyebar secara sporadik dan perlahan, namun pasti menggerogoti kesehatan masyarakat. Harus diakui bahwa pendekatan penanganan zoonosis baik di sektor kesehatan maupun di sektor pertanian, sejauh ini masih lebih bersifat insidental, parsial dan kasuistik, belum kepada pendekatan yang benar-benar preventif, holistik dan terintegrasi. Situasi ini sangat tidak mendukung bagi dicapainya kinerja yang optimal. Dengan kata lain, pendekatan dalam pengendalian zoonosis masih lebih banyak kepada tindakan kuratif daripada pendekatan preventif.(Abdillah, 2011)

Situasi ini sangat tidak menguntungkan karena berakibat kurangnya kesempatan bagi masyarakat luas untuk ikut berpartisipasi dalam proses pengendalian penyakit. Dalam rangka pengendalian zoonosis, pendekatan di kesehatan manusia cenderung bersifat kuratif sehingga berakibat melemahnya penerapan sistem surveilans dan respon cepat di lapangan.

Sektor kesehatan yang masih tetap memberikan perhatian pada penyakit-penyakit tersebut karena menimbulkan dampak terhadap kesehatan masyarakat. Perbedaan pertimbangan mengenai prioritas zoonosis yang bernilai strategis bagi keduanya perlu disepakati untuk ditangani bersama. Pengendalian zoonosis di dalam negeri sudah sangat mendesak dibeberapa daerah karena penyakit tersebut sudah menyatu dengan kondisi sosial budaya serta di pengaruhi oleh tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat.

Di Indonesia telah menyebar di 26 propinsi, secara ekonomi dan sosial menimbulkan kerugian besar. Jika pengendalian tidak dilakukan kerugian ekonomi akibat penyakit ini dapat mencapai 385 milyar per tahun. Sampai saat ini wilayah yang bebas dari penyakit Brucellosis adalah Propinsi Bali, sedangkan Pulau lombok telah berhasil dibebaskan pada tahun 2002 dan P. Sumbawa bebas pada awal tahun 2006. Meskipun demikian, kemungkinan timbulnya wabah Brucellosis harus tetap diwaspadai karena pemberantasan penyakit yang tidak optimal dan seksama akan memperluas penyebaran penyakit. (Sjamsul B, 2010)

(10)

Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 10 B. Situasi Endemisitas

Di Indonesia, bruselosis secara serologis diketahui pertama kali pada tahun 1953, ditemukan pada sapi perah di Grati, kabupaten pasuruan, Jaawa Timur. B. abortus berhasil diisolasi pada tahun 1938. Pada tahun 1940 penyakit bruselosis juga dilaporkan di Sumatera Utara dan Aceh, dikenal dengan nama sebutan sakit sane (radang sendi) atau sakit burut (radang testis). Dilihat dalam daftar penyakit hewan menular yang diatur oleh Pemerintah Hindia Belanda yang tertuang staatsblaad 1912 No.432 dan 435, penyakit ini belum terdaftar dalam staatsblaad tersebut.

Gambar 1. Peta Distribusi Bruselsosis Secara Serologis (PerkembanganKasus Brucellosis 1 Januari s.d. 31 Desember 2010 (Data: Kementerian Pertanian)

Perkembangan penyakit brucellosis sangat cepat, pada awal tahun 2010 brucellosis hanya terdeteksi di 5 provinsi tetapi pada akhir tahun 2010 kasus brucellosis telah terdeteksi di 10 provinsi walaupun hewan yang terjangkit penyakit tersebut langsung dipotong (Ditjennakeswan 2010).

Untuk tahun 2010, jumlah kasus brucellosis sebanyak 558 untuk 10 Provinsi (Banten, DI Yogyakarta, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Nanggroe Aceh Darussalam, Nusa Tenggara

(11)

Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 11

Timur, dan Sulawesi Selatan). Sampai Bulan Oktober 2011, jumlah yang tercatat 106 kasus untuk 5 Provinsi (Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Nanggroe Aceh Darussalam, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tengah).

Namun demikian, data yang disediakan Kementerian Pertanian tidak dapat mewakili nasional karena diperoleh dari survey di beberapa provinsi. Selain itu, dari data tersebut tidak bisa melihat kecenderungan perkembangan kasus brucellosis karena perbedaan provinsi yang disurvei setiap tahunnya. Oleh karena itu, data ini hanya dapat menggambarkan jumlah kasus brucellosis yang terdata.

C. Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis

Surveilans adalah suatu kegiatan yang bersifat rutin dan teratur, tepat dan menyeluruh berupa pencatatan, pengamatan, dan pelaporan (RR) yang cermat dan lengkap mengenai distribusi, frekuensi, dan faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan untuk kepentingan baik perencanaan maupun intervensi. Sedangkan integratif adalah suatu keterpaduan dalam beberapa hal.

Jadi surveilans integratif Brucellosis adalah suatu kegiatan yang menghasilkan suatu informasi dari hasil pencatatan, pengamatan, dan pelaporan mengenai distribusi, frekuensi, dan faktor risiko penyakit Brucellosis dimana dalam hal intervensi dan pencegahan penyakit ini dilakukan keterpaduan antara lintas sektor sehingga menghasilkan suatu perencanaan yang mampu menangani masalah kesehatan dalam hal ini penyakit.

D. Langkah Dasar Untuk Mendesain Sistem Surveilans Brucellosis

Sistem tes surveilans brucellosis seharusnya berimbang antara

sensitivitasnya dan spesifitasnya dan harus terstandarisasi. Sedangkan sistem surveilansnya sendiri harus fleksibel dengan motto adaptasi dan bukan adopsi. Tradisionalnya terdapat dua sistem surveilans brucellosis, yaitu surveilans pasif dan aktif. Surveilans pasif (monitoring) adalah sistem rutin yang kegiatannya dilaporkan baik dari departemen kesehatan atau departemen peternakan dimana surveilans aktif digunakan untuk menunjang dan melengkapi data yang diperoleh dari surveilans pasif yang dilakukan dengan cara investigasi secara langsung, survey, atau studi epidemiologi.

Survei pasif biasanya dilakukan lebih murah daripada survey aktif. Tapi dari segi sensitivitas dan spesifisitas biasanya tidak diketahui. Surveilans aktif lebih spesifik dan sensitive, dan hasil kegiatan lebih dapat diukur. Kedua sistem

(12)

Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 12

tersebut, adalah penting dan harus terintegrasi semaksimal mungkin. Infeksi dari penyakit brucellosis biasanya bersifat kronik baik pada manusia maupun hewan, gejala dan masa inkubasi bervariasi, dan hasil dari tes laboratorium bersifat essensial. Terdapat sepuluh langkah dasar dalam mendesain dan mengkoordinasi sistem surveilans brucellosis, diantaranya adalah :

1. Identifikasi indikator kesehatan dari manusia dan hewan. Surveilans harus selalu berorientasi pada outcome dan fokus pada kejadian yang berasosiasi dengan penyakit yang disurvei.. Hilangnya hari yang digunakan untuk bekerja pada manusia, dan berkurangnya fertility, dan kesuburan pada binatang. Indikator surveilans dapat berbentuk :

a) Numerikal, seperti jumlah yang terinfeksi, dll.

b) Rasio, seperti jumlah kasus baru yang diidentifikasi pada tahun tersebut yang dibandingkan dengan jumlah kasus yang sama pada tahun sebelumnya.

c) Rate atau persentase. Idealnya, ukuran rasio lebih disukai. Insiden rate akan sangat berguna untuk merefleksikan dinamika penyakit brucellosis atau infeksi pada sistem surveilans dibandingkan dengan prevalens rate. Semua indikator tersebut harus dievaluasi secara periodik untuk memastikan indikaor tersebut masih sesuai dengan tujuan awal dilakukan surveinya. 2. Menetapkan Tujuan Utama Secara Jelas

Untuk brucellosis, tujuan dapat termasuk :

a) Determinasi dari insiden dan prevalensi dari manusia yang terinfeksi, binatang, kelompok binatang, desa, jalan, dsb.

b) Mandeteksi apakah kasus tesebut menjadi wabah, sporadic, atau kasus endemis.

c) Identifikasi vehicle dan rute transmisi ke manusia, apakah termasuk foodborbe, airborne, atau kontak dengan binatang.

d) Memonitoring tren penyakit jangka pendek dan jangka panjang berdasarkan lokasi dan waktu.

3. Mengembangkan definisi kasus secara spesifik.

Untuk penyakit manusia, kumpulan gejala spesifik dan tanda dan tes laboratorium diperlukan untuk mendeskripsikan possible, probable, atau confirmed case. Pada binatang, isolasi spesies brucella digunakan dengan atau tanpa tes serologi. Apapun sistem yang digunakan haruslah

(13)

Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 13

komprehensif dan bermutu. Dengan kata lain, untuk binatang dapat positif, negative, atau uncertain. Harus ada batasan waktu dan berapa lama binatang dikategorikan menjadi uncertain. Sedangkan kasus aborsi dapat digunakan sebagai sistem surveilans sentinel.

4. Mengidentifikasi sumber data yang ada atau mengembangkan sistem pengumpulan data baru termasuk diagram alirnya.

Sistem pengumpulan data yang baru harus dilakukan secara hati – hati untuk melihat apakah beberapa atau seluruh sistem pengumpulan data dapat diadaptasi untuk surveilans brucellosis. Sebagai contoh, apabila kunjungan rutin pada peternakan dilakukan untuk melakukan vaksinasi sekaligus dapat dilakukan pengambilan sampel darah untuk dilakukan pengamatan brucella dalam waktu yang bersamaan.

5. Tes awal / Uji coba awal (pilotest) metode surveilans yang kita buat di lapangan.

Dalam melaksanakansurveilans, selalu ditemukan masalah yang tidak diduga – duga sebelumnya, terutama pada sistm yang baru dibentuk. Jadi, pilotest selalu dibutuhkan. Sebagai contohnya, pre-test kuesioner, form, dan program computer. Kesalahan terbesar dapat diakibatkan minimnya partisipasi masyarakat, terutama jika pemilik peternakan tidak percaya dan tidak kooperatif.

6. Mendefinisikan peraturan tes laboratorium pada sistem brucellosis surveilans.

Direktur dari laboratorium kesehatan dan peternakan harus selalu dilibatkan pada tahap perencanaan. Identifikasi sumber daya yang sekarang dan telah ada baik pada wilayah regional dan pusat menginventarisi sumber daya yang ada pada laboratorium daerah dan pusat termasuk pelatihan, perlengkapan, reagensia, dan ketersediaan. Semua uji yang dilakukan harus terdokumentasi berdasarkan SOP termasuk program kualitas kontrolnya.

7. Mengontrol validitas sistem

Baik menggunakan catatan ataupun computer, error selalu dapat terjadi. Orang yang paling bertanggungjawab pada database seurvailans harus berhubungan degan seorang epidemiologis mengembangkan sistem checking error secara rutin termasuk data yang hilang sehingga kesalahan besar dapat dicegah.

(14)

Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 14

8. Analisis dan Interpretasi data surveilans.

Kegiatan ini harus dilakukan secara tepat. Pemilihan metode analisis data dan interpretasi data harus dilakukan untuk mempermudah teknik pengendalian yang nantinya akan dilakukan. Analisis dan interpretasi pada area yang luas dapat dilakukan dengan cara maping untuk mengetahui penyebaran penyakit.

9. Mengambangkan metode diseminasi.

Diseminasi harus dilakukan secara tepat untuk dapat dilakukan pengendalian. Apakah dilakukan dengan surat berita, siposkan, fax, email, atau disuratkan secara elektronik pada level daeah. Atau sistem yang lebih kompleks pada pengambil keputusan. Media massa seperti Koran, radio, televisi, internet, dapat digunakan ntuk menginformasikan kepada public terutama pada produsen daging dan peternakan.

10. Evaluasi sistem surveilans brucellosis

Idealnya, evaluasi sistem surveilans harus dilakukan pada interval tertentu oleh individu maupun kelompok yang memiliki pengalaman epidemiologi brucellosis. Pihak – pihak yang bertanggngjawab pada sistem haru mempertanyakan pada komponen dokumen yang antara lain :

a) Deskripsi kejadian kesehatan di bawah sistem survailans dalam bentuk jumlah kasus, insiden, dan prevalen. Indikator performance, diagnostic yang berhubungan dengan indicator juga harus berhubungan dengan tujuan.

b) Deskripsi sistem harus dievaluasi, termasuk tujuan dan definisi kasus kejadian kesehatan dalam survailans. Diagram alir sistem harus tersedia. Setiap komponen dalam diagram alir harus dideskripsikan secara detail, dan bersamaan dengan overview dan bagaimana sistem beroperasi.

c) Mengindikasikan kegunaan dari sistem dengan cara mendeskripsikan aksi yang diambil oleh decision maker dan lainnya sebagai hasil dari informasi yang didapatkan dari data survailans.

d) Mengevaluasi sistem secara keseluruhan pada atribut di bawah ini : 1) Simplisity

2) Fleksibility 3) Acceptability

(15)

Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 15 4) Sensitivity 5) Predictive value 6) Positive resource 7) Representativness, dan 8) Timeliness

e) Mendeskripsikan sumber daya yang digunakan oleh operator sistem dan apabila memungkinkan memprediksikan biaya yang diperlukan.

f) Membuat list keismpulan dan rekomendasi.

E. Tujuan Surveilans Integratif Brucellosis

Tujuan utama dari human surveillance Brucellosis adalah untuk mengidentifikasi infeksi baru pada manusia. Hal ini biasanya dilaporkan sebagai kasus per 100.000 populasi. Tujuan lainnya adalah untuk mendeterminasi apakah infeksi adalah utamanya berasal dari makanan atau berasal dari lainnya. Jika berasal dari makanan apakah infeksi tersebut berasal dari produksi rumahan atau komersial food. Surveilans rutin terhadap makanan yang beresiko tinggi biasanya mahal dan tidak menjamin 100% keamanan makanan yang dapat dilakukan saat

Hazard Analisis And Critical Control Point (HACCP) program, seperti

memonitor treatment pemanasan dan pemasakan. Tujuan kedua adalah apakah infeksi pada manusia didahului pada infeksi yang tidak terukur sebelumnya pada binatang.

Indikator survailans pada manusia :

1) Performance Based Indicators Jumlah kasus baru (confirmed) per 100.000 populasi yang dibandingkan dengan tahun sebelumnya atau batas waktu yang sama dengan sebelumnya.

2) Diagnostic Based Indicator Termasuk :

a) Proporsional comparisons : suspected, probable, and confirm.

b) Comparison of source of report, seperti physicans, rumah sakit, ahli pengobatan, dsb.

c) Comparison of probable source, seperti foodborne, kontak dengan hewan, dsb.

3) Indikator berdasarkan sumber daya termasuk:

a) Jumlah test bacteriological, relative pada jumlah tes serologis.

b) Jumlah kasus kultur positif, dalam hubungannya terhadap jumlah kultur yang diperiksa.

(16)

Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 16 F. Kajian Surveilans Integratif Brucellosis

Gambar 2. Mekanisme Koordinasi Lintas Sektor (Sumber: Restra Penyakit Zoonotik

2012)

Mekanisme koordinasi/ komando yang dirumuskan (Gambar 2) adalah pada tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pusat. Dinas Kesehatan (Dinkes) dan DINPKH (Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan atau Dinas yang menaungi fungsi Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner) beserta Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan Lembaga Non Pemerintah (LNP) terkait lainnya pada tingkat Kabupaten/Kota ataupun Provinsi dikoordinasikan sesuai dengan pengaturan Perpres no.30 tahun 2011 tentang pengendalian zoonosis yang pelaksanaan koordinasi lintas sektor dilaksanakan melalui wadah koordinasi Komisi Nasional Pengendalian Zoonosis pada tingkat pusat.

Komisi Provinsi Pengendalian Zoonosis pada tingkat provinsi dan Komisi Kabupaten/Kota pada tingkat Kabupaten/Kota. Sifat koordinasi yang dilakukan dalam wadah koordinasi tersebut bersifat koordinatif fungsional dan berubah menjadi komando operasional saat keadaan wabah dengan mempertimbangkan tingkatan prevalensi wabah yang terjadi. Pejabat struktural di daerah provinsi atau kabupaten/kota yang mengoordinasikan pengendalian zoonosis secara lintas sektor adalah sekretaris daerah (Sekda) atau pejabat yang memiliki fungsi koordinatif sesuai dengan peraturan Gubernur dan Bupati/Walikota yang mengacu kepada Perpres nomor 30 tahun 2011. Hasil koordinasi pelaksanaan pengendalian dan perkembangan zoonosis dilaporkan secara berkala atau sewaktu-waktu kepada Gubernur dan

(17)

Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 17

Bupati/Walikota yang menjabat secara ex officio sebagai ketua komisi pengendalian zoonosis Provinsi dan ketua komisi pengendalian zoonosis Kabupaten/Kota. Gubernur mengoordinasikan Bupati/Walikota di wilayah provinsi dalam pelaksanaan pengendalian zoonosis.

Bupati melaporkan hasil pelaksanaan pengendalian zoonosis kepada Gubernur. Gubernur melaporkan hasil pengendalian zoonosis dalam wilayah provinsi kepada Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua Komisi Nasional Pengendalian Zoonosis. Instansi pemerintah pusat melaporkan hasil pengendalian zoonosis sesuai tupoksinya kepada Menko Kesra dalam sidang Komisi Nasional Pengendalian Zoonosis. Hasil Sidang Komnas Pengendalian Zoonosis dilaksanakan oleh instansi anggota Komnas Pengendalian Zoonosis sesuai tupoksinya masing-masing. Hasil sidang Komnas disampaikan kepada Komisi Provinsi sebagai acuan dalam pengendalian zoonosis. Menko Kesra selaku ketua Komnas melaporkan pengendalian zoonosis nasional kepada Presiden.

Gambar 3. Alur Strategi Kebjakan untuk pengendalian Bruselosis. (Sumber :

Abellan 2002)

Berbagai negara atau daerah yang berbeda dalam suatu negara mungkin memerlukan strategi yang berbeda dalam melaksanakan program pencegahan dan pengendalian brucellosis. Strategi bisa tergantung pada epidemiologi dan kondisi sosial ekonomi. Keputusan mengenai strategi yang tepat untuk pengendalian

(18)

Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 18

dan/atau pemberantasan brucellosis biasanya tanggung jawab pemerintah pusat meskipun ada beberapa negara yang mendelegasikan kepada daerah atau provinsi serta dibuat berlaku untuk individu atau masyarakat pulau.

Dari gambar 2 mengenai alur skema lintas sektor dalam pengendalian penyakit Zonotik di Indonesia serta gambaar 3, maka penulis mencoba memberikan alur integritas mengenai penyakit Brucellosis secara khusus dimana dapat dilihat pada gambar 4 (Alur Integritas Surveilans Brucellosis).

Gambar 4. Alur Integritas Surveilans Brucellosis

Gambar 4 menunjukkan alur integritas pelaksanaan surveilans Brucellosis. Surveilans Brucellosis terdiri dari surveilans resorvoar, entomologi, surveilans penderita, surveilans perilaku, sosial ekonomi, dan surveilans pelaksanaan program.

Surveilans entomologi melakukan pemeriksaan spesimen nyamuk dengan menggunakan data entomologi. Kemudian survey ini dikonfirmasi oleh data UPT

Survailans Entomologi Survailans Perilaku Survailans Pelaksanaan Program Survailans sosial ekonomi Konfirmasi Puskesmas/ petugas BPPV Konfirmasi Puskesmas/ Lab Kesehtan Petugas BPPVR atau petugas BPPOM Survailans Penderita Pendekatan Klinis Konfirmasi Puskesmas/ Lab Kesehtan Analisis Data

Data yang dibutuhkan: 1. Data Hewan Reservoar 2. Data RBT dan CFT 3. Data Penderita 4. Demografi 5. Perilaku Output data LNP/ LSM Backup data Base Pusat DINPKH DINKES Data RBT dan CFT Konfirmasi Lab. Keswan Pemeriksaan Specimen reservoar Konfirmasi UPT BPPV Survailans Reservoar Konfirmasi Balai Kesehatan Hewan

(19)

Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 19

BPPV (Balai Penyelidikan dan Pengujian Veteriner) dan laboratorium Kesehatan Hewan. Selain itu, kerjasama lintas sektor sangat dibutuhkan untuk menangani penularan brucellosis dan melibatkaan stakeholder dalam pengendalian dan jika perlu juga terliba dalam pengawas dimana pengawasan ini bertujuan untuk meminimalisir terjadinya penularan Brucellosis.

Stakeholder adalah orang yang berkepentingan atau berwenang dalam melakukan tindakan/ action secara tepat dan cepat dalam mengatasi masalah penyakit termasuk

Brucellosis. Stakeholders dalam sistem kesehatan terdapat 2 jenis, yaitu :

1. Stakeholders aktif, yang dapat menjadi stakeholder kunci. Stakeholders ini pada umumnya yang mempunyai kewenangan resmi seperti Depkes, Dinkes, Dinkeswan dinas peternakan, perkebunan, dan lain lain.

2. Stakeholders pasif, yang dapat disebut stakeholder pendukung. Pada umumnya kelompok ini sebagai kelompok target dari implementasi sistem kesehatan serta Lembaga Non-Pemerintah (LPN). Misalnya kelompok masyarakat dan swasta, yang pada umumnya tidak memiliki kewenangan resmi. Stakeholder ini dapat juga mendekati stakeholders aktif jika memiliki kepentingan dan pengaruh untuk mendapatkan pengakuan dari stakeholder lainnya.

Beberapa stakeholders dan peranan yang dapat dilakukan oleh stakeholders tersebut dalam masalah Brucellosis adalah :

1. Stakeholders aktif

Dinas yang terkait dalam stakeholders dan peranan dalam masalah Brucellosis: a. Pemerintah

Pemerintah kota/kabupaten berwenang dalam masalah kebijakan-kebijakan pencegahan dan pengendalian Brucellosis. Kebijakan ini menjadi langkah represif untuk penanganan dan pengendaaliaan Brucellosis dari Pemerintah kota/kabupaten langsung ke masyarakat. Bentuk peran lainnya adalah pengalokasian dana untuk program pengendalian penyakt tersebut. 1) Bupati : memberikan surat keputusan atau kebijakan kepada setiap

kecamatan agar berperan aktif dalam pengendalia penyakit Brucellosis. 2) Kecamatan : memberikan surat keputusan atau kebijakan dari bupati

kepada desa/kelurahan.

3) Kelurahan : melaksanakan surat keptusan atau kebijakan mengenai pengenalan, pengendalian dan penanganan brucellosis dengan cara

(20)

Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 20

memberitahukan kepada perangkat desa, tokoh masyarakat, tempat pemtongan hewan, pedagang daging di pasar tradisional untuk waspada. b. Dinas Kesehatan

Dinas Kesehatan merupakan penyelenggara kegiatan surveilans

berkoordinasi dengan DINPKH (Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan atau Dinas yang menaungi fungsi Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner) terhadap penyakit brusellosis. Kedua sektor ini bekerjasama dalam membentuk UPT BPPV dengan melakukan sensus dan resampling yang dilakukan di kabupaten tempat reaktor hewan dengan menempatkan beberapa petugas BPPV yang terlatih (para dokter hewan) untuk menyisir , menguji RBT di tempat dan menandai sapi-sapi reaktor.

c. Puskesmas

Puskesmas sebagai bagian dari dinas Kesehatan, melakukan sosialisasi dengan warga tentang bahaya Infeksi Brucellosis. Perannya yaitu memberikan penyuluhan langsung terhadap masyarakat yang bekerja sama dengan kader masyarakat dengan metode .

d. Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan

Dinas Peternakan dan Karantina Hewan menjalin komitmen dengan pemasok untuk melakukan uji RBT dan uji konfirmatif dengan CF sapi/ hewan reservoir untuk lebih meningkatkan jaminan bahwa sapi bibit yang masuk dan akan disebarkan ke peternak memang benar-benar bebas brucellosis, dan tidak ada tersembunyi sapi karier yang false negatif uji. 2. Stakeholders pasif

Stakeholder pasif yang dimaksud disini adalah masyarakat. Adapun peranan masyarakat dalam program Brucellosis yaitu :

1) Membantu dinas kesehat hewan melakukan pennyedian vaksin dalam memberantas reaktor virus melalui kegiatan pengawasan serta penanganan lalu lintas daging sapi di pasaran.

2) Membantu petugas kesehatan dalam hal pelaporan kasus Brucellosis jika ada termasuk kasus suspek ke pihak yang berwenang.

3) Mengikuti program pemerintah dalam penyuluhan dan pengendalian penyakit Brucelloisis.

(21)

Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 21 BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Brucellosis merupakan penyakit zoonosis yang dapat menular dari hewan ke manusia. Rendahnya publikasi brucellosis pada manusia serta tidak adanya laporan kasus brucellosis pada manusia di Indonesia adalah sebagai penyebab kurang dikenalnya brucellosis oleh masyarakat.

2. Jumlah kasus Brucellosis masi banyak terjadi di wilayah Indonesia. Sebanyak 558 untuk 10 Provinsi dan Sampai Bulan Oktober 2011, jumlah yang tercatat 106 kasus untuk 5 Provinsi yakni Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Nanggroe Aceh Darussalam, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tengah.

3. Surveilans integratif Brucellosis adalah suatu kegiatan yang menghasilkan suatu informasi dari hasil pencatatan, pengamatan, dan pelaporan mengenai distribusi, frekuensi, dan faktor risiko penyakit Brucellosis dimana dalam hal intervensi dan pencegahan penyakit ini dilakukan keterpaduan antara lintas sektor sehingga menghasilkan suatu perencanaan yang mampu menangani masalah kesehatan dalam hal ini penyakit.

4. Tujuan utama dari human surveillance Brucellosis adalah untuk mengidentifikasi infeksi baru pada manusia. Hal ini biasanya dilaporkan sebagai kasus per 100.000 populasi serta untuk mendeterminasi apakah infeksi utamanya adalah berasal dari makanan atau berasal dari lainnya.

5. Adapun bentuk surveilans integratif Brucellosis yaitu kerjasama lintas sektor atau stakeholder dalam menangani masalah ini. Adapun stakeholder yang berperan yaitu Dinas Kesehataan Hewan, Pemerintah, Dinas Kesehatan, Puskesmas, UPT BPPV (Balai Penyelidikan dan Pengujian Veteriner)Dinas Peternakan, balai laboratorium kesehatan Hewan dan juga masyarakat.

B. Saran

1. Pengendalian brucellosis pada hewan dengan program eradikasi yang komperhensif berupa eliminasi hewan positif brucellosis secara serologis dan melalui program vaksinasi dapat menanggulangi kejadian brucellosis pada manusia .

2. Kerjasama lintas sektor dalam menangani masalah Brucellosis sebaiknya lebih ditingkatkan lagi mengingat Brucellosis merupakan salah satu penyakit yang

(22)

Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 22

endemis. Menggaet juga lebih banyak LSM untuk membantu penanganan dan pengawannya. Dengan meningkatnya kerjasama lintas sektor maka diharapkan tidak ada lagi daerah endemis Brucellosis yang baru atau berkurangnya status endemisitas penyakit ini di suatu daerah.

3. Kelengkapan pencatatan dan pelaporan kasus brucellosis yang lebih baik dapat berpengaruh terhadap program-program yang akan dilakukan dalam rangka penanganan penyakit brucellosis.

4. Apabila pelaksanaan kegiatan di daerah tidak optimal, perlu dipertimbangkan perubahan kebijakan terhadap PHM (Penyakit Hewan Menular) yaitu Brucellosis. Strategis termasuk yang bersifat zoonosis yaitu dari program pemberantasan menjadi program pengendalian. Sangat strategis untuk melibatkan peran dan keikutsertaan Depdagri dalam pengendalian PHM Strategis termasuk yang zoonosis.

Gambar

Gambar 1. Peta Distribusi Bruselsosis Secara Serologis (PerkembanganKasus  Brucellosis 1 Januari s.d
Gambar 2. Mekanisme Koordinasi Lintas Sektor (Sumber: Restra Penyakit Zoonotik  2012)
Gambar  3.  Alur  Strategi  Kebjakan  untuk  pengendalian  Bruselosis.    (Sumber  :  Abellan 2002)
Gambar 4. Alur Integritas Surveilans Brucellosis

Referensi

Dokumen terkait

apakah perusahaan terseut erada diantara anyak perusahaan ke&#34;il, atau erada apakah perusahaan terseut erada diantara anyak perusahaan ke&#34;il, atau

menetapkan prioritas pengembangan kawasan agropolitan dengan mengarahkan pada Kecamatan Ngrambe sebagai Kota Tani Utama (KTU) sedangkan untuk Kota Tani (KT) dan Kawasan

Saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian yang telah dilakukan Dimensi budaya organisasi pada unit kerja RSI H.M Mawardi Krian sudah cukup baik karena

Berdasarkan spektrum IR dapat dilihat bahwa padatan yang dianalisis mengandung gugus karbonil yang terkonjugasi dengan cincin aromatis dan atau ikatan rangkap -C=C-, sedangkan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji beberapa parameter populasi yakni hubungan panjang berat, parameter pertumbuhan, mortalitas dan laju eksploitasi ikan lohan di Waduk

[r]

Perusahaan masih perlu memperbaiki Standar Operating Procedure (SOP) yang ada karena dari standar tersebut tidak terlaksana dengan baik yaitu tidak dilakukannya proses

Dengan adanya penelitian ini perusahaan dapat mengetahui kondisi tingkat kinerja keuangan perusahaan sebelum terjadi kebangkrutan (financial distress) dan diharapkan dapat