• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam. sedangkan pemidanaan diartikan sebagai penghukuman.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam. sedangkan pemidanaan diartikan sebagai penghukuman."

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Pemidanaan

1. Pengertian Pemidanaan

Secara Pengertian Tentang Pemidanaan Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada umumnya diartikan sebagai hukum,

sedangkan “pemidanaan” diartikan sebagai penghukuman.8

Adapun Menurut para pakar hukum tentang pengertian pemidanaan yakni : Menurut Barda Nawawi Arief, apabila pengertian pemidanaan diartikan secara komprehensif sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimanana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum pidana). Ini berarti semua aturan perundang-undangan mengenai hukum pidana substantif, Hukum Pidana Formal dan Hukum Pelaksanaan pidana dapat

dilihat sebagi suatu kesatuan sistem pemidanaan. 9

Andi Hamzah secara tegas memberi pengertian pemidanaan, adalah: “Penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan

8 Leden. 2005. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Penerbit : Sinar Grafika,. Jakarta, , hal 2 9 Barda. 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung. Penerbit : Citra Aditya Bakti.

(2)

13 sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya

(berechten).10

2. Tujuan Teori Pemidanaan

Tujuan diadakan pemidanaan diperlukan untuk mengetahui sifat dan dasar hukum dari pidana. Franz Von List mengajukan problematik sifat pidana di dalam hukum yang menyatakan bahwa "rechtsguterschutz durch

rechtsguterverletzung" yang artinya melindungi kepentingan tetapi dengan

menyerang kepentingan. Dalam konteks itu pula dikatakan Hugo De Groot

"malum passionis (quod ingligitur) propter malum actionis" yaitu

penderitaan jahat menimpa dikarenakan oleh perbuatan jahat. 11

Salah satu untuk mencapai tujuan hukum pidana adalah menjatuhkan pidana terhadap seseorang yang telah melakukan suatu perbuatan tindak pidana dan pidana itu sendiri pada dasarnya adalah merupakan suatu penderitaan atau nestapa yang sengaja dijatuhkan kepada negara kepada seseorang yang telah melakukan suatu peristiwa tindak pidana. Sehubungan dengan hal tersebut timbullah suatu pertanyaan apakah dasar pembenarannya penjatuhan pidana, sedangkan undang – undang hukum pidana itu di diadakan justru untuk melindungi kepentngan hukumnya maka dalam ilmu hukum pidana di kenal beberapa teori tujuan

pemidanaan tersebut.11

10 Tolib. 2010. Pokok-Pokok Hukum Penintesier Indonesia. Penerbit : Alfabeta. hal 21

11 Bambang. 2000. Hukum Pidana Kumpulan karangan Ilmiah. Penerbit : Bina Aksara Jakarta. hal

27

(3)

14 Adapun teori tujuan pemidanaan di digolongkan menjadi tujuh teori tujuan pemidanaan yaitu:

a. Teori Retribusi adalah suatu akibat hukum yang mutlak harus ada sebagai pembalasan kepada orang yang telah melakukan tindak pidana. Teori ini di pandang bahwa pemidanaan adalah akibat nyata/mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada seoranng yang melakukan tindak pidana dan sanksi pidana sebagai suatu pemberian derita namu petugas dapat dinyatakan gagal apabila penderitaan ini tidak dirasakan oleh terpidana.

b. Teori Deterrence adalah penjatuhan sanksi pidana hanya sebagai pembalasan semata, maka dalam hal teori ini memandang adanya tujuan lain yang lebih bermanfaat dari pada sekedar pembalasan yaitu rtujuan yang lebih bermanfaat. Sehubungan dengan teori ini dalam hal ini di tegaskan oleh muladi dan barda nawawi arif bahwa pidana di jatuhkan bukan qual peccatum est (karena orang membuat kejahatan) melainkan

ne peccatum (supaya orang jangan melakukan kejahatan).12

c. Teori Rehabilitasi adalah dimasukan dalam sub kelompok teori deterrence sebab memiliki tujuan pemidanaan meskipun menurut Adrew Ashworth sesungguhnya rehabilitasi merupakan suatu alasan penjatuhan pidana yang berbeda dengan teori deterrence dalam hal ini tujuan utama dari teori deterrence adalah melakukan tindakkan preventif terhadap terjadinya pritiwa tindak pidana, maka rehabilitasi lebih mengfokuskan diri untuk mereformasi pelaku.

12 Ibid. hal 85

(4)

15

d. Teori Incapacitation adalah Teori pemidanaan yang memiliki pembatasan orang dari masyarakat selama waktu tertentudengan tujuan untuk perlindungan terhadap masyarakat pada umumnya. Teori ini ditunjukkan kepada jenis pidana yang bersifat berbahaya pada masyarakat seperti kejahatan luarbiasa yakni genosida, terorisme, cerier criminal, atau yang sifatnya meresahkan masyarakat contoh kejahatan sodomi, atau perkosaan yang dilakukan secara berulang – ulang sebab jenis pidana mati juga dapat dimasukkan dalam jenis pidana dalam teori ini.13

e. Teori Resosialisasi adalah proses yang mengakomodasi dan memenuhi kebutuhan pelaku tindak pidana akan kebutuhan sosialnya artiannya teori ini yang telah mengusung pelaku masuk dalam bentuk pemidanaan yang manusiawi dan lebih mengahargai hak asasi manusia teori ini banyak di kritik karena teori tersebut dalam hal ini hanya di pakai dan jelas terlihat sebagai sarana diakhir masa hukuman untuk mempersiapkan diri memasuki masa kebebasan.

f. Teori Reparasi, Restitusi dan kompensasi adalah teori reparasi merupakan perbuatan untuk menggantikan kerugian akibat dari suatu yang tidak benar sementara teori restitusi dapat diartikan sebagai mengembalikan atau memperbaiki beberapa hal yang khusus berkaitan dengan kepemilihan atau status, sedangkan teori kompensasi adalah sebagai pembayaran atas kerusakan atau perbuatan lain yang

13 Ibid. hal 86

(5)

16 diperintahkan oleh pengadilan kepada tersangka yang terbukti menyebabkan kerusakan sebagai proses selanjutnya.

g. Teori Intergratif adalah merupakan teori gabungan yang dalam teori pemidanaan yang berkembang di dalam sistem civil law disebut

vereningin teorieen. Sekalipun menganggap teori retributive sebagai

asas dari utama dan bahwa beratnya pidana tidak boleh melampui suatu pembalasan yang adil namun ia berpendirian bahwa pidana mempunyai berbagai pengaruh antara lain pencegahan, penjeraam dan perbaikan

suatu yang rusak dalam masyarakat.14

B. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Pemerkosaan 1. Pengertian Tindak Pidana

Dalam Kitab Undang – undang Hukum Pidana yang di singkat (KUHP) di kenal dengan istilah bahasa belanda yakni Strafbaar feit, kemudian di terjemahkan dalam bahasa Indonesia Sebagai Delik, Tindak

Pindana atau Perbuatan Pidana.15 Tindak Pidana secara pengertian

mengandung suatu pengertian Dasar dalam Ilmu Hukum yang memiliki suatu Pengertian yang abstrak dari peristiwa yang kongkrit dalam praktek hukum pidana.

Setelah mengetahui dan memahami beberapa doktrin tentang pengertian tindak pidana tersebut maka didalam tindak pidana itu sendiri

14 Ibid. hal 87

15 Sudarto, hukum pidana jilid 1 A-B. Fakultas Hukum Diponegoro. Semarang. 1975. hal 31-32

dalam Tongat. 2012. Dasar-dasar Hukum Pidana dalam Perspektif Pembaharuan. Penerbit : UMM Press. Malang. hal 91

(6)

17 terdapat 2 (Dua) unsur- unsur tindak pidana yakni Unsur Obyektif dan

Unsur Subyektif yaitu :16

1. Unsur Obyektif adalah Perbuatan yang terdapat di luar subyek hukum (Manusia/Pelaku) yang dapat berupa :

1) Perbuatan, baik dalam arti berbuat maupun dalam arti tidak berbuat

2) Akibat, yang menjadi syarat mutlak dalam tindak pidana materiil

3) Keadaan atau masalah-masalah tertentu dilarang dan diancam oleh undang-undang

2. Unsur Obyektif adalah Perbuatan yang terdapat di diri subyek hukum (Manusia/Pelaku) yang dapat berupa :

a. Hal yang dapat dipertanggung jawabkan seseorang terhadap perbuatan yang telah dilakukan (kemampuan bertanggung jawab).

b. Kesalahan atau schuld berkaitan dengan masalah kemampuan bertanggungjawab diatas, persoalannya kapan seseorang dikatakan mampu bertanggungjawab. Seseorang dapat dikatakan bertanggung jawab apabila pada diri orang itu memenuhi tiga syarat yaitu :

16 P.A.F Lamintang dan Djisman Samosir. 1981. Delik-delik Khusus kejahatan yang ditujukan

Terdapat Hak Milik Tarsito. Bandung. hal. 25 dalam Tongat. 2002. Hukum Pidana Materiil. Penerbit : UMM Press. Malang. hal 4

(7)

18 1) Keadaan jiwa seseorang adalah sedemikian rupa, sehingga ia dapat mengerti akan nilai perbuatannya dan karena juga mengerti akan akibat perbuatannya itu.

2) Keadaan jiwa seseorang itu sedemikian rupa, sehingga ia dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang ia lakukan.

3) Seseorang itu harus sadar perbuatan maa yang tidak dilarang oleh undang-undang.

2. Pengertian Pemerkosaan

Pemerkosaan secara etimologi berasal dari bahasa belanda ialah

“verkrachting” dan bahasa inggris ialah “rape” secara terminology adalah “rapere” yang artinya: Merampas,Mencuri,Memaksa, atau Membawa

pergi.17 Menurut doktrin para ahli pakar hukum pidana tentang tindak pidana

pemerkosaan ialah :

Menurut Wirdjono P, mendifinisikan pemerkosaan yakni “seorang laki – laki yang memaksa seorang perempuan yang bukan istrinya untuk memenuhi kebutuhan biologisnya untuk bersetubuh dengannya, maka sedemikian rupa ia tidak dapat melawan, maka dengan terpaksa melakukan perbuatan persetubuhan itu. Menurut Soetandyo W, mendifinisikan Pemerkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu birahinya dengan seorang pria terhadap wanita dengan cara melanggar moral dan aturan

hukum yang berlaku.18

17 Lamintang, P.A.F. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung. Penerbit : PT. Citra

Aditya Bakti hal 19

18 Abdul Wahid. 2001. Perlindungan Terhadap Kekerasan Seksual: Advokasi Atas Hak Asasi

(8)

19 Menurut R.Sughandhi tentang pemerkosaan ialah: seorang laki laki yang memaksa pada seorang perempuan yang bukan istrinya atau perempuan yang tidak terikat dengan perkawinan melakukan aksi persetubuan dengan ancaman kekerasan, sehingga dengan demikian kemaluan laki laki telah masuk ke dalam kemaluan seorang perempuan yang

kemudian mengeluarkan air mani.19

3. Tindak Pidana Pemerkosaan

Secara normatif tindak pidana perkosaan diatur pada bab Bab XIV Kitab Kitab Undang- undang Hukum Pidana sebagai perbuatan kejahatan kesusilaan yang sebagaimana diatur dalam pasal 285 yang berbunyi ialah: “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa wanita yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, di hukum karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama- lamanya dua belas tahun.”

Adapun Unsur – unsur Tindak Pidana Pemerkosaan dalam pasal 285 tersebut dirinci, akan terlihat unsur-unsur berikut :

a. Perbuatannya : memaksa;

b. Caranya : 1) dengan kekerasan; 2) ancaman kekerasan;

c. Objek : seseorang perempuan bukan istrinya;

d. Bersetubuh dengan dia;

Ancaman kekerasan mengandung dua aspek penting yaitu sebagai berikut: a) Aspek objektif ialah;

i. Wujud nyata dari ancaman kekerasan yang berupan perbuatan

persiapan dan mungkin sudah merupakan perbuatan permulaan

19 Ibid

(9)

20

pelaksanaan untuk dilakukannya perbuatan yang lebih besar

yakni kekerasan secara sempurna; dan

ii. menyebabkan orang menerima kekerasan menjadi tidak berdaya

secara psikis, berupa rasa takut, rasa cemas (aspek subjektif yang diobjektifkan).

b) Aspek subjektif ialah;

Timbulnya suatu percayaan bagi si penerima kekerasan (korban) bahwa jika kehendak pelaku yang dimintanya tidak dipenuhi yang in casu bersetubuh dengan dia, maka kekerasan itu benarbenar akan diwujudkan. Aspek kepercayaan ini sangan penting dalam ancaman kekerasan sebab jika kekerasan ini tidak timbul pada diri korban, tidaklah mungkin korban akan membiarkan dilakukan suatu

perbuatannterhadap dirinya.20

4. Jenis - Jenis Pemerkosaan

Ditinjau dari motif pelaku melakukan tindak pidana perkosaan dapat digolongkan menjadi beberapa motif diantaranya:

a. Seductive Rape Perkosaan yang terjadi karena pelaku merasa terangsang nafsu birahi, dan bersifat subjektif. Biasanya perkosaan semacam ini karena diantara kedunya sudah saling mengenal misalnya: pemerkosaan oleh pacar, pemerkosaan oleh anggota keluarga dan pemerkosaan oleh teman.

b. Sadistic Rape Permerkosaan yang dilakukan secara sadis. Dalam hal ini pelaku mendapat kepuasan seksual bukan karena hubungan tubuhnya

(10)

21 melainkan perbuatan kekerasan yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban.

c. Anger Rape Perkosaan yang dilakukan sebagai ungkapan marah pelaku. Perkosaan semacam ini biasanya disertai tindakan brutal pelakunya secara fisik. Kepuasan seksual bukan merupakan tujuanya melainkan melampiaskan rasa marahnya.

d. Domination Rape Dalam hal ini pelaku ingin menunjukan dominasinya terhadap korban. Kekerasan fisik tidak merupakan tujuan utama korban karena tujuan utamanya adalah pelaku ingin menguasai korban secara seksual dengan demikian pelaku dapat menunjukan bahwa ia berkuasa atas orang tertuntu. Misalnya : Pemerkosaan pembantu oleh majikan. e. Exploitasion Rape Pemerkosaan semacam ini dapt terjadi karena

ketergantungan korban terhadap pelaku, baik secara ekonomi atau social. Dalam hal ini pelaku tanpa menggunakan kekerasan fisik namun pelaku

dapat memaksa keinginanya terhadap korban.21

C. Tinjauan Tentang Putusan Hakim 1. Pengertian Putusan Hakim

Secara etimologi putusan hakim berasal dari dua suku kata yakni “Putusan” dan “hakim”. Putusan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata “Putus” yang artinya: (1) tidak berhubungan (bersambung) lagi karena terpotong dan sebagainya, (2) habis, (3) selesai, rampung, berakhir, (4) ada kepastian (ketentuan, ketetapan, penyelesaian),

(11)

22

mendapatkan kepastian.22 Sedangkan istilah Hakim itu sendiri dalam

Bahasa Inggris berasal dari kata “Judge” sedangkan dalam Bahasa Belanda berasal dari kata “rechter” yang artinya pejabat yang memimpin persidangan. Sedangkan dalam Bahasa Arab berasal dari kata “hakima”

yang berarti aturan, peraturan, kekuasaan, pemerintah. 23

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hakim diartikan sebagai (1) orang yang mengadili perkara (dalam pengadilan atau mahkamah), (2) pengadilan, (3) juri, penilai (dalam perlombaan dan sebagainya), berbuat

sewenang-wenang terhadap orang yang dianggap bersalah.24 Putusan

hakim juga lazimnya disebut dengan putusan pengadilan. Putusan dalam hukum acara pidana Pasal 1 angaka 11 KUHAP menyebutkan bahwa “putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas dan atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam

undang-undang ini”.25 Selaras dengan konsep tersebut, Sudikno

Mertokusumo menjelaskan bahwa putusan hakim adalah suatu pernyataan oleh hakim sebagai pejabat yang diberi wewenang untuk itu, dan diucapkan dalam persidangan dengan tujuan untuk mengakihiri perkara atau sengketa

tertentu antara para pihak. 26

22 Kamus Besar Bahasa Indonesia. Putu.san, dalam https://kbbi.web.id/putus.html. diakses pada 15

April 2020

23 Ensiklopedia, wikipedia Bahasa Indonesia. hakim dalam https://wikipedia.org/hakim. html.

diakses pada 15 April 2020

24 Kamus Besar Bahasa Indonesia. Haki., dalam https://kbbi.web.id/hakim.html. diakses pada 15

April 2020

25 Andi Hamzah. 2013. KUHP & KUHAP Edisi Revisi. Penerbit : Rineka Cipta, Cetakan Ketujuh

Belas. Jakarta. hal 231

(12)

23 Hakim merupakan pejabat negara baik sebagai hakim karir maupun sebagai hakim non karir, yang diberikan tugas untuk melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dengan Undang-Undang. Hakim yang dimaksud adalah hakim pada Mahkamah Agung yang selanjutnya MA dan hakim pada badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pengadilan khusus yang

berada dalam lingkungan peradilan tersebut.27 Suatu putusan hakim

diambil berdasarkan hasil sidang permusyawaratan hakim yang bersifat

rahasia,28 yang di dalam pengambilan putusan tersebut, masing-masing

hakim mempunyai hak yang sama dalam mengemukakan analisis, argumentasi, pendapat, kesimpulan yang didalamnya memuat alasan dan dasar hukum yang menjadi dasar atau sumber hukum dalam memutus. 2. Dasar Pertimbangan Putusan Hakim

Dasar pertimbangan bagi Majelis Hakim pemeriksa perkara dalam memutuskan suatu putusan tentunya berdasarkan fakta-fakta persidangan sebagai tolak ukur terpenuhinya unsure-unsur materil tindak pidana, peristiwa dan perbuatan hukum yang didakwakan terhadap terdakwa, yang diperoleh dari rangkaian proses pemeriksaan perkara. Pertimbangan yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada factor-faktor yang telah terungkap di dalam persidangan dan undang-undang telah ditegaskan sebagai hal yang harus ada dalam putusan sebagaimana penulis jelasakan

27 Lihat Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman.

28 Lihat Pasal 14 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang

(13)

24 diatas. Yakni meliputi (1) Dakwaan Penuntut Umum; (2) Tuntutan Pidana; (3) Keterangan Saksi; (4) Keterangan Terdakwa; (5) Barang Bukti; dan (6)

Pasal-Pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 29

Dua Ketentuan Pasal diatas merupakan dasar pertimbangan formil yang tidak hanya mendasarkan pada terbukti dan atau terpenuhinya dua alat bukti yang sah diantara lima jenis alat bukti diatas, melainkan Pasal tersebut juga mensyaratkan adanya keyakinan hakim bahwa benar terdakwalah yang melakukann tindak pidana dan terpenuhi unsure objektif dan subyektif dalam tindak pidana yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum. Terdapat dua (2) criteria pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara, yaitu pertimbangan hakim yang bersifat yuridis dan pertimbangan hakim yang bersifat non yuridis.

1) Pertimbangan Yuridis mengenai pada pertimbangan formil pasal 183 jo pasal 184 KUHAP.

Disamping itu salah satu landasan formilnya pertimbangan hakim adalah terpenuhinya dua alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 183 Juncto Pasal 184 KUHAP yang masing-masing berbunyi: Pasal 183 KUHAP “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi

dan terdakwalah yang bersalah melakukannya”.30

Pasal 184 KUHAP “ayat (1) alat bukti yang sah ialah: a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; e. keterangan terdakwa;

29 Syarifa Dewi Indawati S. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim Menjatuhkan Putusan Lepas Dari

Segala Tuntutan Hukum Terdakwa Dalam Perkara Penipuan (Studi Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar Nomor24/PID/2015/PT.DPS ) Jurnal Verstek Volume 5 Nomor 2 Bagian Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. hal. 269-270

(14)

25 ayat (2) hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu

dibuktikan;31

2) Pertimbangan non Yuridis pertimbangan materiil.

Pertimbangan non yuridis adalah pertimbangan yang terdiri dari latar belakang perbuatan terdakwa, ekonomi terdakwa, ditambah hakim haruslah meyakini apakah terdakwa melakukan perbuatan pidana atau tidak sebagaimana yang termuat dalam unsure-unsur tindak pidana

yang di dakwakan kepadanya.32

3. Jenis-Jenis Putusan Hakim

Berdasarkan amar putusan, maka dapat ditemukan jenis-jenis putusan pengadilan atau putusan hakim dalam acara pidana yakni putusan pengadilan berupa pemidanaan, putusan pengadilan yang berupa pembebasan dari segala dakwaan (vrijspraak), dan putusan pengadilan yang berupa lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechts

vervolging).

a. Putusan Pidana adalah putusan yang dikeluarkan berdasarkan pemeriksaan di persidangan pengadilan, dalam hal ini Majelis Hakim berpendapat bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang di dakwakan kepadanya, maka

pengadilan menjatuhkan pidana,33 sebagaimana yang ditentukan dalam

Pasal 193 ayat 1 KUHAP. Ketentuan tersebut secara tegas menerangkan sebagai berikut “jika pengadilan berpendapat bahwa

31 Ibid.

32 Ibid. hal. 271

33 HMA. Kuffal. 2008. Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum. Penerbit UMM Press. Cetakan

(15)

26 terdakwa melakukan tindak pidana yang di dakwakan kepadanya, maka

pengadilan menjatuhkan pidana”.34

b. Putusan pembebasan dari segala dakwaan (vrijspraak) adalah putusan yang dikeluarkan berdasarkan pemeriksaan di persidangan pengadilan, yang dimana Majelis Hakim berpendapat bahwa terdakwa tidak terbukti secara syah dan meyakinkan bersalah telah melakukan tindak

pidana yang telah di dakwakan kepadanya35, maka pengadilan

membebaskan dari segala dakwaan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 191 ayat 1 KUHAP. Ketentuan tersebut menyatakan sebagai berikut “jika pengadilan berpendapat lain bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka

terdakwa harus diputus bebas”.36

c. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechts

vervolging) adalah putusan yang dikeluarkan berdasarkan pemeriksaan

di persidangan pengadilan, yang dimana Majelis Hakim berpendapat bahwa terdakwa terbukti secara syah dan meyakinkan bersalah

melakukan perbuatan yang telah di dakwakan kepadanya37, akan tetapi

perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana, maka pengadilan menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan pidana sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 191 ayat 2 KUHAP. Ketentuan tersebut

34 Andi Hamzah. Op.cit. hal. 310. 35 Ibid.

36 Ibid. hal. 309

37 Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Republik Indonesia. 2019. Modul Eksekusi

Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan Jaksa 2019. Penerbit : Tim Penyusun Modul Badan Diklat Kejaskaan R.I. Jakarta. hal 13

(16)

27 menyatakan sebagai berikut “jika pengadilan berpendapat bahwa kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindakan pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan

hukum”.38

Setiap keputusan hakim merupakan bagian dari salah satu dari tiga kemungkinan putusan yakni pemidanaan atau penjatuhan pidana, putusan

bebas dan/atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum.39 Sebagai suatu

produk hukum yang dihasilkan dari serangkaian proses persidangan dalam: (1). Pengadilan Negeri dan pengadilan Tinggi dalam lingkungan peradilan umum; (2). Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama dalam lingkungan Peradilan Agama; (3). Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dalam lingkungan peradilan Tata Usaha Negara; (4). Pengadilan Militer dan Pengadilan Tinggi Militer

dalam lingkungan peradilan militer.40

4. Isi Putusan Hakim

Putusan hakim atau putusan pengadilan selain harus memuat alasan

dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hokum tidak tertulis yang

dijadikan dasar untuk mengadili.41 Dalam KUHAP mengatur syarat

formalitas yang harus dipenuhi dalam setiap putusan hakim dan memiliki

38 Andi Hamzah. Op.cit. hal 309

39 Sulardi dan Yohana Puspitasari Wardoyo. Kepastian Hukum, Kemanfaatan dan Keadilan

terhadap Perkara Pidana Anak, Kajian Putusan Nomor 201/Pid.Sus/2014/PN.Blt. Jurnal yudisial Vol.8 No.3 Desember 2015. hal 257

40 Ibid.

41 Lihat Pasal 50 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang

(17)

28 akibat hukum tertentu, sebagaimana dalam Pasal 197 ayat 1 KUHAP memuat syarat batalnya suatu putusan pemidanaan bila terpenuhi muatan yang secara tersirat dalam ketentuan sebagai berikut:

1. Surat putusan pemidanaan memuat:

a. Kepala putusan yang dituliskan berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”

b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa

c. Dakwaan sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan

d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pebuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa

e. Tuntutan pidana, sebagaimana dalam surat tuntutan

f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa

g. Hari dan tanggal diadaknya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal

h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan

i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti

j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu

k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan

l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera

2. Tidak terpenuhinya ketentuan dalam ayat 1 huruf a,b,c,d,e,f,g,h,i,j,k dan i pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum

3. Putusan dilaksanakan dengan segera menurut ketentuan dalam

undang-undang ini42

42 Ibid. hal. 312

(18)

29

Dengan demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 197 ayat 1, 2 dan 3

KUHAP maka suatu putusan pidana akan batal demi hukum bilamana tidak memenuhi unsur tersebut. Ketentuan tersebut menjadi dasar penilaian dalam penulisan hukum ini.

Sementara bilamana putusan hakim bukan merupakan putusan yang

berupa pemidanaan, maka syarat formalitas yang harus ada dalam suatu putusan hakim sebagaimana dalam Pasal 199 KUHAP yang berbunyi : Ayat (1) “suatu keputusan bukan pemidanaan memuat: (a) ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam pasal 197 ayat 1 kecuali huruf e, f dan h; (b) pernyataan bahwa terdakwa diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, dengan menyebutkan alasan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar putusan; dan ayat (2) ketentuan sebagaiman dimaksud dalam pasal 197 ayat 2 dan ayat 3 berlaku juga bagi pasal ini;43

dengan demikian bila terpenuhi syarat tersebut maka, putusan hakim yang dikeluarkan oleh hakim akan berakibat batal demi hukum sebagaimana ketentuan Pasal 197 KUHAP.

43 Ibid. hal 313-314

(19)

30

D. Konsep Umum tentang Tujuan Hukum 1. Pengertian Asas Hukum

Secara etimologi “asas” berasal dari bahasa arab yakni “asasun”

yang mengadung arti dasar, basis, dan pondasi. Jika dikaitkan dengan system

berpikir maka asas adalah landasan berfikir yang sangat mendasar.44

Pengertian lain, asas adalah suatu alam pikiran yang dirumuskan secara luas

dan mendasari adanya sesuatu norma hukum.45 Kamus Besar Bahasa

Indonesia mendefinisikan asas dengan tiga komponen yakni (1) dasar, alasan, pondamen; (2) suatu kebenaran yang menjadi pokok dasar atau

tumpuan berfikir; (3) cita-cita yang menjadi dasar.46

Sudikno mengemukakan bahwa asas hukum bukan merupakan

peraturan yang bersifat kongkrit, melainkan pikiran-pikiran dasar yang umum yang sifatnya merupakan latar belakang dari peraturan yang kongkrit yang terdapat dalam setiap system hukum yang terwujud dalam peraturan

perundangan dan putusan hakim sebagai hukum positif.47 Dengan demikian

dapat disimpulkan bahwa asas hukum adalah hal-hal yang didalamnya mengandung sutau rumusan yang memuat hal-hal yang mendasar, dan menjadi dasar berlakunya sutau norma hukum.

44 Rohidin. 2016. Buku Ajar Pengantar Hukum Islam”, Lintang Rasi Aksara Books, Jogjakarta,

Hal. 37 dalam Darmansyah, 2019, Analisa Yuridis Normatif Memorandum Of Understanding (MOU) Antara TNI Dengan Kepolisian RI Nomor: B/2/I/2018 Kerma Nomor: 2/I/2018 Tentang Perbantuan TNI Kepada Polri Dalam Memelihara Keamanan dan Ketertiban Masyrakat (Harkatibmas) Ditinjau Dari Aspek Kepastian Hukum, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang. hal 23

45 Kamus Hukum. 2008. Penerbit : Citra Umbara. Bandung. hal 31

46 Darmansyah. 2019. Analisa Yuridis Normatif Memorandum Of Understanding (MOU) Antara

TNI Dengan Kepolisian RI Nomor: B/2/I/2018 Kerma Nomor: 2/I/2018 Tentang Perbantuan TNI Kepada Polri Dalam Memelihara Keamanan dan Ketertiban Masyrakat (Harkatibmas) Ditinjau Dari Aspek Kepastian Hukum, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang. hal 24

47Sudikno Mertokusumo. 2003. Mengenal Hukum Sutau Pengantar. Penerbit : Lyberty.

(20)

31

2. Teori Tujuan Hukum

Tujuan hukum merupakan arah atau sasaran yang hendak

diwujudkan dengan memakai hukum sebagai alat dalam mewujudkan tujuan tersebut dengan mengatur tatanan dan prilaku masyarakat. Begitu banyak teori tentang tujuan hukum, namun paling tidak, ada beberapa teori yang dapat di golongkan sebagai grand theory tentang tujuan hukum, sebagaimana dikemukakan Acmad Ali dalam bukunya.

Mengutip pnadanganya Achmad Ali dalam bukunya Prof. Acmad

Ali S.H.,MH, 2009, Menguak Teori Hukum (legal theory) dan Toeri Peradilan (judicialprudence) termasuk interpretasi Undang-Undang (legisprudence), Jakarta, Hal. 212,48 ia membagi tentang tujuan hukum ke

dalam beberapa teori yakni teori barat, teori timur, dan teori hukum islam

yakni sebagai berikut :49

a. Teori Barat

Menempatkan teori tujuan hukumnya yang mencakup kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan.

b. Teori Timur

Berbeda dengan teori barat, bangsa-banga timur masih menggunakan kultur hukum asli mereka, yang hanya menekankan maka teori tentang tujuan hukumnya hanya menekankan “keadilan adalah

keharmonisasian, dan keharmonisasian aalah kedamaian”.50

48 Darmansyah. Op.Cit. hal 27 49 Ibid.

(21)

32

c. Teori Hukum Islam

Teori tujuan hukum islam, pada prinsipnya bagaimana mewujudkan “kemanfaatan” kepada seluruh umat manusia, yang mencakup “kemanfaatan” dalam kehidupan dunia maupun diakhirat. Tujuan mewujudkan kemafaatan ini sesuai dengan prinsip umum Al-Qur’an: a.

Al-Asl fi al-manafi al-hall wa fi al-mudar al man’u (segala yang

bermanfaat dibolehkan, dan segala yang mudarat dilarang). b. La darara

wa la dirar (jangan menimbulkan kemudaratan dan jangan menjadi

korban kemudaratan). c. Ad-darar yuzal (bahaya harus dihilangkan).51

Dalam bukunya yang sama Prof. Acmad Ali S.H.,MH, 2009,

Menguak Teori Hukum (legal theory) dan Toeri Peradilan

(judicialprudence) termasuk interpretasi Undang-Undang

(legisprudence), yang dikutip oleh Darmansyah bahwa Ahcmad Ali

mengemukakan tentang “teori barat” yang disebut dengan Grand Western

Theory tentang Tujuan Hukum.52 Grand Theory meliputi (1). Teori Klasik

yang di dalamnya meliputi tiga teori dasar tujuan hukum yakni Teori Etis, Teori Utilitas, dan Teori Legalistik.

Teori Etis memandang bahwa tujuan hukum yang utama adalah

semata-mata untuk mewujudkan keadilan (justice).53 Teori Utilitas juga

memandang bahwa tujuan hukum yang utama adalah semata-mata untuk mewujudkan kemanfaatan (utility), dan Teori Legalistik menegaskan bahwa tujuan hukum yang utama adalah semata-mata untuk mewujudkan

51 Ibid. hal 28

52 Ibid. hal 28-29 53 Ibid. hal 28-29

(22)

33 kepastian hukum (legal certainity). (2). Teori Modern yang di dalamnya meliputi dua teori yakni Teori Prioritas Baku dan Teori Prioritas Kasuitik. Teori Prioritas Baku menentukan bahwa tujuan hukum yang mendasar mencakup tiga tujuan yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian

hukum.54 Sedangkan Teori Prioritas Kasuitik memandang bahwa tujuan

hukum pada prinsipnya sama dengan teori prioritas baku yakni mencakup keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, dan urutan prioritas tujuan hukum tersebut sesuai dengan kasus yang dihadapi dan ingin

dipecahkan.55

Tujuan hukumnya sama dengan Teori Prioritas Baku, Tetapi Teori tidak berhierarki. Keadilan dapat lebih diutamakan dari Kemanfaatan dan Kepastian sesuai dengan kausu yang dihadapi. Dengan demikian dalam

praktik penyelesaian masalah hukum aparatur negara dapat

mengendepankan keadilan, kemanfaatan, dan/atau kepastian atau sebaliknya yang dilakukan secara proporsional. Selaras dengan tujuan hukum barat, Indonesia mengunakan hukum formal barat yang konsep tujuan hukumnya adalah keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, namun Indonesia juga menganut sistem eropa kontinental secara dominan dalam sistem hukumnya, sehingga corak pemikirannya sangat legalistik. Hal itu disebabkan oleh keadaan dan sejarah perkembangan indonesia sebagaimana dikemukakan oleh Ahmad Ali.

54 Ibid. hal 29

(23)

34 Soebekti, berpendapat bahwa hukum itu mengabdi kepada tujuan negara, yaitu mendatangkan kemakmuran dan keabahagiaan para rakyat. Dalam mengabdi kepada tujuan negara dengen menyelenggarakan

keadilan dan ketertiban.56 Menurut Teori Campuran, Mochtar

Kusuatmadja mengemukakan tujuan pokok dan pertama dari hukum adalah ketertiban. Kebutuhan akan ketertiban adalah syarat pokok bagi adanya masyarakat manusia yang teratur. Disamping itu, tujuan lain hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda isi dan ukuranya

menurut masyarakat dan zamanya.57

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Indonesia merupakan negara yang menggunakan konsep umum tujuan hukum yang sama dengan negara-negara barat yang menggunakan sistem hukum civil law dan living law yakni keadilan, kemanafaatan dan kepastian. Namun yang lebih dominan bercorak legalistik yang menekankan pada aspek hukum tertulis yang berorientasi pada kepastian.

E. Konsep Umum Teori Keadilan

Teori tujuan hukum pada dasarnya lahir berdasarkan aliran hukum yang melatar belakanginya. Sehingga setiap aliran hukum memiliki para ahli hukumnya masing-masing, termasuk dalam hal ini para ahli hukum yang mengemukakan teori tujuan dalam aspek keadilan maupun kemanfaatan. Selaras dengan yang telah dikemukakan dalam Ahmad Ali sebagai Teori Klasik

56 Sudikno Mertokusumo. Op.cit. hal 81 57 Ibid.

(24)

35 pada bagian sebelumnya, yang dimana dalam perkembangan ilmu hukum dikenal tiga jenis aliran konvensional tentang tujuan hukum yakni aliran etis, aliran utilitas dan aliran yuridis formal. Keadilan berasal dari suku kata “adil” yang dalam Kamus Besar Bahasa Inonesia diartikan: sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak, sepatutnya, dan tidak sewenang-wenang. Sedangkan

keadilan adalah sifat (perbuatan, perlakuan, dan sebagainya) yang adil.58

Sehingga keadilan secara terminologi lebih menekan pada suatu perbuatan atau tindakan yang sama rata dan tidak memihak.

Menurut Aliran Etis bahwa pada asasnya tujuan hukum itu semata-mata untuk mencapai keadilan. Teori etis menekankan kepada tujuan hukum yang bernuansa moral-etis baik bagi individu maupun masyarakat secara keseluruhan. Di teori inilah keadilan dititikberatkan sebagai tujuan hukum. Hal ini dikarenakan isi hukum dianggap ditentukan oleh keyakinan etis terhadap apa

yang adil (justice) dan yang tidak adil (unjustice).59 Salah satu penganut Aliran

Etis adalah Aristoteles yang membedakan keadilan dalam dua jenis yakni : a. Keadilan distributif, yakni keadilan yang memberikan kepada setiap orang

jatah menurut jasanya. Artinya keadilan ini menuntut supaya setiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya berdasarkan jasa dan atau prestasi

seseorang.60

58 Kamus Besar Bahasa Indonesia yang di muat dalam https://kbbi.web.id/adil. diakses pada 15 April

2020

59 Sabatika Sinung Wibawanti. Keadilan Sebagai Tujuan Hukum Dalam Prespektif Filsafat Hukum.

hal 3

60 H. Sarwohadi. Rekonstruksi Pemikiran Hukum di Era Demokrasi, Pengadilan Tinggi Agama

Bengkulu. hal.3. yang dimuat dalam http://www.ptabengkuli.go.id/images/artikel/teori20 hukum pdf diakses pada 15 april 2020

(25)

36 b. Keadilan komunikatif, yakni keadilan yang memberikan kepada setiap orang yang sama banyaknya, tanpa melihat atau mengingat jasa dan/atau prestasi

seseorang.61

Pandangan mengenai keadilan sebagai tujuan hukum berkembang menjadi suatu yang pesat dan yang cukup terkenal dalam hal ini keadilan menurut para ahli ialah :

1. Keadilan menurut Aristoteles : Keadilan ialah tindakan yang terletak diantara memberikan terlalu banyak dan juga sedikit yang dapat diartikan ialah memberikan sesuatu kepada setiap orang sesuai dengan memberi apa yang menjadi haknya.

2. Keadilan menurut Magnis Suseno : Keadilan ialah keadaan antarmanusia yang diperlakukan dengan sama ,yang sesuai dengan hak serta kewajibannya masing-masing.

3. Keadilan menurut Thomas Hubbes: Keadilan ialah sesuatu perbuatan yang dikatakan adil jika telah didasarkan pada suatu perjanjian yang telah disepakati.

4. Keadilan menurut Plato: Keadilan ialah diluar kemampuan manusia biasa yang mana keadilan tersebut hanya ada di dalam suatu hukum dan juga perundang-undangan yang dibuat oleh para ahli .

5. Keadilan menurut W.J.S Poerwadarminto: Keadilan ialah tidak berat sebelah yang artinya seimbang, dan yang sepatutnya tidak sewenang-wenang.

61 Ibid

(26)

37 6. Keadilan menurut Notonegoro: Keadilan ialah suatu keadaan yang

dikatakan adil apabila sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku

7. Keadilan menurut John Rawls: Ia berpendapat bahwa keadilan diperlukan adanya keseimbangan diantara kepentingan pribadi dan kepentingan

bersama, dimana ukuran dari keseimbangan tersebut adalah keadilan.62

Hukum itu ada agar tidak terjadi benturan kepentingan pribadi dan kepentingan bersama itu, sehingga hukum baru akan ditaati apabila ia

mampu meletakan prinsip-prinsip keadilan.63

Berdasarkan berbagai pandangan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa keadilan harus menjadi titik keseimbangan dan tidak berat sebelah dalam penerapan hukum yang dimana kepentingan pribadi dan kepentingan bersama harus dapat dinilai secara proporsional.

F. Konsep umum Teori Kemanfaatan

Secara ideal, bila mengacu pada pemikiranya Gustav, hukum hrusnya dapat mengakomodir baik keadilan, kemanfaatan dan kepastian. Akan tetapi kenyataan praktik hukum lebih condong pada satu tujuan dan mengesampingkan tujuan yang lain. Dalam artikelnya Sabtika Sinung yang berjudul “Keadilan

Sebagai Tujuan Hukum Dalam Prespektif Filsafat Hukum”. Ia membedakan

sudut pandang tujuan hukum yakni :

a. Sudut pandang filsafat hukum yang lebih menekankan kepada keadilan (gerechtigkeit)

62 Darji Darmodiharjo dan Shidarta. 2006. Pokok-Pokok Filsafat Hukum : Apa dan Bagaimanakah

Filsafat Hukum Indonesia. Penerbit : Gramedia. Jakarta. hal 161

(27)

38 b. Sudut pandang sosiologi hukum yang lebih menekankan kepada

kemanfaatan (Zweckmassigkeit)

c. Sudut pandang positif normatifyang lebih menekankan kepada kepastian

hukum (Rechtssicherheit);64

Pandangan tentang kemanfaatan pada awalnya muncul dan berangkat dari pemikiran utilitarianisme yang salah satu tokoh besarnya adalah Jeremy Bentham. Menurut Teori Utilitas bahwa tujuan hukum harus memberikan kebahagian yang sebesar-besarnya (the greatests happiness the greatest number) bagi setiap orang. Teori inilah yang dianut oleh aliran utilitatianisme yang

menitikberatkan kepada kemanfaatan sebagai tujuan hukum.65 Kemanfaatan

menjadi salah satu penilaian sosial dalam penerapan hukum oleh aparatur negara. Suatu aturan yang baik tentu akan membawa kebahagian dan kesejahteraan bagi masyarakat, bila sebaliknya. Maka ia tidak mencerminkan nilai-nilai tujuan yang ada.

64 Sabatika Sinung Wibawanti. Keadilan Sebagai Tujuan Hukum Dalam Prespektif Filsafat Hukum.

hal 1

65 Prisca Oktaviani Samosir. “Tujuan dan Fungsi Hukum Dalam Perspektif Filsafat Hukum”. Jurnal

Referensi

Dokumen terkait

TIMBAL: Pemajaan yang berkepanjangan terhadap uap atau asap pada suhu yang lebih tinggi dapat menyebabkan iritasi saluran pernapasan dan keracunan timbal sistematis.. Gejala

Konsep Freud tentang “ketidaksadaran” dapat digunakan dalam proses pembelajaran yang dilakukan pada individu dengan harapan dapat mengurangi

Penelitian yang dilakukan meliputi pengumpulan dan determinasi bahan, pembuatan simplisia, pemeriksaan parameter standar simplisia, ekstraksi, penetapan kadar

Simpulan dari penelitian pengembangan ini yakni: (1) Tahap-tahap dalam pengembangan media pembelajaran berbasis e-learning menggunakan program Moodle pada tema Hujan

Berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, tujuan penelitian ini adalah berusaha mendeskripsikan bentuk variasi leksikon suara burung yang digunakan

sehingga tidak bisa menyatakan semangat kepada diri sendiri. 4) Konseli menganggap tugas- tugas yang ada adalah beban sehingga sering mengeluh dan mengerjakan

Persepsi masyarakat terhadap peranan partai politik dalam pemilihan kepala daerah di Desa Branti Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan tahun 2015 berdasarkan