• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 Ikan Gurame Osphronemus gouramy Lac.

Klasifikasi dan sistematika ikan gurame Osphronemus gouramy Lac. menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut :

Filum: Chordata Kelas: Pisces Ordo: Labirinthici Subordo: Anabantoidei Famili: Anabantidae Genus: Osphronemus

Spesies: Osphronemus gouramy Lac.

Gambar 1. Ikan gurame Osphronemus gouramy Lac.

Ikan gurame adalah ikan budidaya yang berasal dari rawa. Berat badannya bisa mencapai 6-8 kilogram per ekor meskipun pertumbuhannya lambat. Ikan ini adalah ikan omnivor yang menyukai tumbuh-tumbuhan (Sumantadinata, 1983). Jenis kelamin pada ikan gurame dapat diketahui berdasarkan ciri kelamin sekundernya. Beberapa ciri untuk membedakan ikan gurame jantan dan betina diantaranya perbedaan-perbedaan pada kepala, dasar sirip dada, operculum, dan sirip ekor. Ikan gurame jantan yang sudah tua mempunyai “cula” (semacam tonjolan pada kepala, antara bibir atas dengan mata), sedangkan yang betina tanpa “cula” ini. Makin tua ikan jantan, makin besar “cula”nya. Dasar sirip dada ikan jantan keputih-putihan, sedangkan betina agak hitam. Operculum berwarna kekuning-kuningan pada ikan jantan dan berwarna putih agak coklat pada ikan betina. Ujung sirip ekor ikan jantan relatif rata, sedangkan ikan betina lebih melengkung (Sumantadinata, 1983).

(2)

Pada umumnya ikan gurame dapat mulai dipijahkan pada umur sekitar 4-5 tahun, yaitu ketika individu mencapai berat berat sekitar 1,5-2 kilogram (Sumantadinata, 1983). Ikan betina yang sudah matang telur dicirikan oleh perutnya yang membundar dan agak lunak kalau diraba. Biasanya ikan gurame dapat dipijahkan setiap 3-4 bulan sekali. Induk betina yang sudah dipijahkan 6-7 kali, perlu diganti oleh induk yang baru (Sumantadinata, 1983).

2.2 Spermatogenesis

Spermatogenesis adalah proses yang terjadi secara terorganisir yang mencakup perubahan sel spermatogonia diploid menjadi sperma yang haploid (Segatelli et al., 2009). Menurut Mruk and Cheng (2004), spermatogenesis adalah proses dari satu spermatogonia menjadi 256 sperma dan tiap – tiap sperma mampu membuahi telur yang matang. Spermatogenesis dibagi menjadi tiga tahap utama, yaitu pembelahan spermatogonia, meiosis, dan spermiogenesis (Ozaki et al., 2006).

Menurut Sukumasavin (2007), proses spermatogenesis meliputi pembelahan mitosis untuk memproduksi sel kelamin dalam jumlah besar dan meiosis unutk menciptakan variasi genetik dan pengurangan kromosom menjadi setengahnya. Proses ini dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang diterima oleh otak dan diteruskan ke hipotalamus. Hipotalamus akan melepas Gonadotrophin Releasing Hormone (GnRH) yang akan bekerja pada hipofisa, menghasilkan Follicel Stimulating Hormon (FSH) dan Luteneizing Hormon (LH). Selanjutnya FSH merangsang Leydig cells pada testis untuk memproduksi testosteron. Testosteron akan menyebabkan spermatogonia (2n) mengalami pembelahan mitosis menjadi spermatosit pertama (2n). Spermatosit pertama akan mengalamami pembesaran ukuran dan mengurangi jumlah kromosomnya melalui pembelahan meiosis pertama, dan menjadi spermatosit kedua (n). Spermatosit kedua selanjutnya berkembang menjadi spermatid pada akhir pembelahan meiosis. Selanjutnya LH akan dilepaskan dan merangsang Leydig cells untuk memprooduksi 11-ketotestosteron, yang menyebabkan spermatid mengalami pertumbuhan ekor menjadi sperma (Gambar 2). Sperma adalah sperma dewasa yang berada pada lumen testis. Selanjutnya 17α-20β-dihidroprogesteron yang

(3)

berasal dari rangsangan LH, menyebabkan sperma dihirasi oleh larutan seminal yang menghasilkan larutan sperma yang disebut cairan semen. Menurut Waynarovich dan Horvath (1980), spermatogonia primitif akan mengalami pembelahan mitosis di dinding testis. Dari spermatogonia, spermatosit primer akan berkembang menjadi dua sel spermatosit sekunder. Tiap spermatosit sekunder akan berkembang menjadi dua sel sperma atau sperma. Selanjutnya sperma akan berkumpul pada tubulus testis dan akan mengalami fase dorman hingga mendapat sinyal lingkungan yang sesuai, ketika ada mekanisme kerja Gonadotropin, dan betina siap memijah. Meskipun dalam fase dorman dan tidak motil dalam testis, sperma akan motil bila ada kontak dengan air sehingga mampu membuahi sel telur yang sudah matang.

Gambar 2. Proses spermatogenesis (www.bio1151.nicerweb.com, 2009) Sperma adalah gamet jantan yang dihasilkan oleh testis (Afandi dan Tang, 2002). Sperma merupakan suatu sel kecil, kompak dan sangat khas, yang tidak bertumbuh dan membagi diri (Toelihere, 1981). Secara garis besar, sperma ikan yang sudah matang terdiri dari 2 bagian yaitu kepala dan ekor. Ginzburg (1972)

(4)

mengemukakan bahwa pada umumnya sperma terdiri atas dua bagian, yaitu bagian kepala dan ekor. Menurut Affandi dan Tang (2002), kepala sperma berbentuk bulat atau oval. Panjang pendeknya ukuran ekor sperma dapat menentukan keaktifan sperma dalam bergerak. Semakin panjang ekor sperma maka semakin aktif sperma tersebut bergerak.

Ukuran sel sperma sangat kecil. Pada umunya ukuran panjang kepala sperma antara 2-3 µm dan panjang total spermanya antara 40-60 µm (Affandi dan Tang, 2002). Beberapa spesies ikan teleostei, ukuran kepala spermanya adalah 2-3 µm. Selain itu diameter lubang mikrofil berhubungan erat dengan lebar kepala sperma. Lebar kepala sperma Oncorhynchus keta adalah 3 µm dan diameter lubang mikrofil telurnya adalah 3 µm, lebar kepala sperma Salmo salar adalah 3,5-4 µm dengan diameter lubang mikrofil 3-4 µm, lebar kepala sperma Salmo trutta m. lacustris adalah 3 µm dan diameter lubang mikrofil telurnya adalah 3 µm, lebar kepala sperma Carrasius carrasius adalah 3,2 µm dan diameter lubang mikrofil telurnya adalah 3,5-4 µm, dan lebar kepala sperma Crenilabrus griseus adalah 1,7-1,8 µm dan diameter lubang mikrofil telurnya adalah >2 µm. Akan tetapi, beberapa hal yang harus diperhatikan adalah peningkatan salinitas larutan dan beberapa bahan kimia dapat menyebabkan ukuran kepala sperma mengalami pembesaran atau pembengkakan (Ginzburg, 1972).

Sperma ikan yang fertilisasinya berlangsung secara internal mempunyai selubung mitokondria pada bagian tengahnya yang dibutuhkan untuk aktifitas metabolik yang ekstensif termasuk glikolisis. Sperma tersebut dapat bertahan hidup beberapa bulan di dalam saluran reproduksi betina. Sedangkan pada ikan-ikan yang fertilisasinya berlangsung secara eksternal struktur sperma sangat sederhana dan masa hidupnya pendek sesudah dilepaskan ke perairan (Ernawati, 1999). Menurut Waynarovich dan Horvath (1980), waktu motilitas sperma sangat pendek dan bergantung pada suhu air. Sperma ikan-ikan perairan hangat bergerak menggunakan ekornya dengan waktu motil antara setengah hingga satu menit. Ginzburg (1972), mengatakan bahwa durasi motilitas pada ikan-ikan yang memijah di air tawar tidak lebih dari 2-3 menit. Pada rainbow trout Oncorhynchus mykiss, durasi motilitas spermanya adalah 72,4±26,98 detik (Bozkurt, 2006). Menurut Fitzpatrick (2005), motilitas sperma coho salmon Oncorhynchus kisutch

(5)

mengalami penurunan yang signifikan pada detik ke 20 dan ke 30 setelah aktivasi. Hal ini terjadi pada tiap kelompok perlakuan yaitu sperma yang diperoleh secara alami, melalui stripping, dan pengambilan langsung dari gonad. Akan tetapi proporsi tertinggi sperma yang motil pada 10 detik setelah aktivasi adalah sperma yang berasal dari ikan jantan yang di-stripping biasa. Pada percobaan yang dilakukan oleh He dan Woods (2004), durasi motilitas sperma striped bass Morone saxatilis adalah 29±0,6 detik dan 29±0,5 detik. Menurut Schiavone et al. (2006), durasi motilitas European sea bass Dicentrarchus labrax murni yang diberi perlakuan HCG 1000 IU kg-1 adalah 67±10 detik sampai 83±5 detik. Sedangkan pada ikan yang tidak diberi perlakuan hormon memiliki durasi motilitas sperma antara 68±18 detik hingga 80±8 detik. Selain itu skor motilitas dari European sea bass Dicentrarchus labrax murni yang diberi perlakuan hormon berkisar antara 4,2-4,6 (80-100% sperma bergerak maju) dan pada ikan yang tidak diberi perlakuan hormon berkisar antara 4,2-4,5 (80-100% sperma bergerak maju). Menurut Joachim (1983), sperma ikan imotil di dalam cairan plasma dan baru bergerak apabila telah bercampur dengan air. Respon rangsangan aktivitas spermatozoa tergantung pada pH, tekanan osmosis, dan kandungan ion pada medium yang mengelilinginya.

Menurut Huet (1971), 1 ml cairan semen mengandung kurang lebih 10 miliar sperma. Selanjutnya Ginzburg (1972) mengemukakan bahwa dalam 1 ml cairan semen ikan mengandung 20 miliar sperma. Jumlah sel sperma dalam 1 cm3 diduga berkisar antara 10-20 miliar sel sperma (Waynarovich dan Horvath, 1980). Menurut Schiavone et al. (2006) melaporkan bahwa jumlah sel sperma European sea bass Dicentrarchus labrax yang diberi perlakuan HCG 1000 IU kg-1 adalah

53±8x109sel/ml sampai58±8x109sel/ml. Sedangkan pada ikan yang tidak diberi perlakuan menghasilkan jumlah sel sperma 50±8x109 sel/ml sampai 55±8x109 sel/ml. Menurut Bozkurt (2006), jumlah sel sperma pada rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) adalah 7,7±4,431x109sel/ml cairan semen. Menurut Lim et al. (2004), pada ikan Greenback flounder Rhomboselea tapirina yang tidak diberi perlakuan GnRH konsentrasi sel spermanya adalah 108,9±12,3x106/ml, pada ikan yang diberi perlakuan 50 µg/kg GnRH konsentrasi sel spermanya adalah 100,1±15,7x106/ml, pada ikan yang diberi perlakuan 100 µg/kg GnRH

(6)

konsentrasi sel spermanya adalah 77,5±10,1x106/ml, dan pada ikan yang diberi perlakuan 200 µg/kg GnRH konsentrasi sel spermanya adalah 72,2±9,9x106/ml. Menurut Kucharczyk et al. (2005), pemberian treatment GnRH pada Abramis brama menghasilkan cairan semen dengan kepadatan 10,2±1,4x109 sel/ml, sedangkan ikan kontrol menghasilkan cairan semen dengan kepadatan 6,8±1,1x109sel/ml.

2.3 Kontrol Hormonal dan Manipulasi Hormonal pada Pemijahan

Kegiatan pemijahan pada ikan diatur oleh faktor lingkungan eksternal yang selanjutnya akan mempengaruhi faktor internal yang selanjutnya akan berpengaruh pada organ reproduksi. Menurut Zairin (2003), ada tiga faktor yang terlibat dalam reproduksi ikan, yaitu sinyal lingkungan, sistem hormon serta organ reproduksi. Untuk ikan-ikan yang hidup di alam, sinyal lingkungan bukanlah suatu masalah untuk kegiatan pemijahan. Akan tetapi, untuk beberapa ikan yang dipelihara di lingkungan budidaya, sinyal lingkungan terkadang menjadi masalah untuk kegiatan pemijahan. Kondisi lingkungan yang berbeda antara wadah budidaya dan lingkungan alami sering kali menjadi penghambat yang menyebabkan kegagalan pemijahan ikan di lingkungan budidaya.

Faktor lingkungan eksternal akan diterima oleh sistem syaraf pusat yang kemudian diteruskan ke hipotalamus. Hipotalamus akan melepaskan Gonadotropin Realeasing Hormone (GnRH) yang akan merangsang kelenjar pituitari untuk memproduksi Hormon Gonadotropin (GtH) (Gambar 3). Sejalan dengan dilepasnya GnRH oleh hipotalamus, akan dilepas juga faktor penghambat hormon gonadotropin, yaitu dopamine. Hormon Gonadotropin yang diproduksi oleh kelenjar pituitari akan merangsang gonad untuk mensintesis steroid dan prostagladin yang menyebabkan ikan memijah (Rottman et al., 1991). Menurut Zairin (2003), pada proses pemijahan kelenjar hipofisa tidak mensekresikan hormon FSH yang berperan dalam pematangan gonad, akan tetapi akan mensekresikan hormon LH. Menurut Lin dan Peter (1996), hormon LH diproduksi oleh kelenjar hipofisa setelah mendapat rangsangan GnRH dan dihambat oleh dopamine.

(7)

Manipulasi hormon adalah salah satu upaya untuk mengatasi kegagalan pemijahan ikan di lingkungan budidaya. Menurut Zairin (2003), ada tiga cara yang dapat digunakan untuk mengatasi kegagalan ini yaitu penyuntikan ekstrak kelenjar hipofisa, penyuntikan analog LHRH, dan sistem induksi. Sedangkan menurut Rottman et al. (1991), ada lima cara yang dapat digunakan untuk mengatasi kegagalan pemijahan ikan di lingkungan budidaya yaitu, penyuntikan ekstrak kelenjar hipofisa, gonadotropin murni, analog LHRH, kombinasi analog LHRH dan zat penghambat dopamine dan steroid. Organ target dari tiap penyuntikan berbeda-beda. Misalnya pada penyuntikan ekstrak kelenjar hipofisa organ targetnya adalah gonad, karena kelenjar hipofisa mengandung hormon gonadotropin yang akan merangsang terjadinya pemijahan. Menurut Zairin (2003), selain mengandung hormon Gonadotropin, ekstrak kelenjar hipofisa mengandung hormon lain seperti prolaktin, hormon tumbuh, somalaktin, dan sebagainya.

Gambar 3. Proses spermatogenesis dan spermiogenesis oleh kelenjar endokrin pada ikan teleostei jantan (Sukumasavin, N., 2007)

LH FSH

(8)

Metode manipulasi hormon lain yang banyak digunakan adalah penyuntikan analog LHRH. LHRH adalah hormon dari golongan protein yang dihasilkan oleh hipotalamus. Hormon ini molekulnya sangat kecil dibandingkan dengan hormon lainnya yang terdiri dari 10 asam amino (dekapeptida). LHRH sebenarnya sama persis dengan GnRH. Karena waktu paruhnya pendek sehingga mudah terurai dari dalam tubuh, maka para ahli menciptakan LHRH sintetik yang lebih tahan dan dikenal dengan analog LHRH (Zairin, 2003).

Penyuntikan analog LHRH bertujuan untuk merangsang hipofisa agar mensintesis hormon Gonadotropin yang akan merangsang pemijahan. Akan tetapi, sintesin hormon Gonadotropin akan terhambat oleh dopamine. Pada beberapa spesies penyuntikan analog LHRH saja, misalnya goldfish, redtailed black shark, rainbow shark, tidak memberikan respon yang positif (Rottman et al., 1991). Selain itu, menurut Lin dan Peter (1996), pada goldfish dan catfish, pengaruh penghambatan oleh dopamine sangat kuat. Hal ini dibuktikan dengan penyuntikan zat penghambat dopamine, misalnya domperidon (DOM), memberikan efek yang sama dengan dengan analog GnRH, dan merangsang pelepasan LH dan ovulasi. 2.4 Rangsangan Spermiasi dengan Analog GnRH

Ovaprim adalah peptida dalam bentuk cairan yang digunakan untuk memanipulasi musim pemijahan, mengatur waktu pemijahan, dan meningkatkan produksi sperma pada jantan, dengan aman dan hasil yang dapat diperkirakan. Ovaprim adalah produk buatan Syndel Laboratories, Vancouver, British Columbia, Canada. Ovaprim mengandung salmon Gonadotropin Releasing Hormone analog (sGnRHa [D-Arg6-Pro9- NetsGnRH]) dan dopamine antagonis, domperidone. Ovaprim ditemukan pada tahun 1980-an dan lebih efektif dari Luteinizing Hormone Releasing Hormone (LHRH) yang dapat merangsang pengeluaran hormon gonadotropin pada ikan (Abdullah, 2007). Analog LHRH dan Dopamin antagonis dijual dengan nama. Ovaprim-C merupakan suatu produk komersial yang diproduksi oleh Syndell Laboratories. Ovaprim – C dikemas dalam 1 botol bervolume 10 ml. Setiap 1 ml ovaprim – C mengandung 20µg sGnRH (D-Arg6, Trp7, Leu8, Pro9 Net)-LH-RH dan 10 mg domperidone

(9)

(Nandeesha, 1990). Produk ini merupakan suatu suplemen peptida cair yang memiliki beberapa fungsi, diantaranya yaitu (Anonimus, 2009b):

 Mempersingkat musim pemijahan  Mengatur musim pemijahan

 Meniingkatkan propduksi sperma pada ikan jantan  Hasil dari pemijahan lebih aman dan dapat diprediksi

Di Indonesia, khususnya di sentra-sentra pembenihan ikan, ovaprim-c sering digunakan sebagai hormon perangsang pemijahan pada ikan. Dalam merangsang ikan memijah, pemakaian ovaprim-c lebih efektif daripada implantasi ekstrak hipofisa. Dosis pemakaian dari ovaprim-c sebesar 0,5 ml/kg untuk ikan konsumsi dan 0,7 ml/kg untuk ikan hias.

Proses spermatogenesis dan spermiasi dipengaruhi oleh hormon Gonadotropin. Hormon Gonadotropin akan merangsang sintesis testosteron dan 11-ketotestosteron yang mengakibatkan spermatogenesis dan spermiasi. Hal ini ditunjukan peningkatan kadar testosteron dan 11-ketotestosteron pada Anguila japonica yang diberi suntikan HCG (Nagahama, 1994). Menurut Schiavone et al. (2006), pemberian HCG 1000 IU kg-1 setiap minggu selama 3 minggu pada

European sea bass Dicentrarchus labrax galur murni menghasilkan cairan semen kira-kira 3,6 ml/kg bobot tubuh, sedangkan yang tidak diberi HCG hanya 1,1 ml/kg bobot tubuh. Jadi untuk meningkatkan produksi hormon Gonadotropin yang berperan pada spermatogenesis dan spermiasi, ikan dapat diberi treatment GnRH atau dopamine antagonis.

GnRH adalah produk hipotalamus yang akan merangsang hipofisa untuk mensekresikan hormon Gonadotropin. Hormon Gonadotropin akan bekerja pada gonad dan merangsang sekresi testosteron dan 11-ketotestoseron. Matty (1985), penyuntikan LHRH sintetik dapat meningkatkan pelepasan hormon Gonadotropin dalam plasma dari beberapa spesies teleostei. Menurut Kucharczyk et al. (2005), pemberian treatment GnRH pada Abramis brama menghasilkan cairan semen yang lebih banyak (4,4±0,2 ml/kg) dibandingkan kontrol yang tidak diberi treatmen hormon apapun (2,1±0,3 ml/kg), selain itu kualitas sperma yang dihasilkan juga paling baik dibandingkan perlakuan lainnya dan kontrol. Penelitian yang dilakukan Lim et al. (2004), menunjukan bahwa Rhombosolea

(10)

tapirina yang diberi perlakuan GnRH 200 µg/kg bobot tubuh melalui implan pellet kolesterol menghasilkan volume cairan semen antara 400 µl/100 gram bobot tubuh sampai 600 µl/100 gram bobot tubuh. Jika dibandingkan dengan perlakuan kontrol tanpa GnRH yang menghasilkan kurang dari 100 µl/100 gram bobot tubuh. Menurut Moon et al. (2003), pada Platichthys stellatus yang diberi implan pellet kolesterol GnRH dengan dosis 200 µg/kg bobot tubuh menghasilkan volume cairan semen tertinggi yaitu 7,8 ml/kg bobot tubuh, pada ikan yang diberi dosis 100 µg/kg bobot tubuh memberikan hasil produksi cairan semen 5,2 ml/kg bobot tubuh, pada ikan yang diberi dosis 50 µg/kg bobot tubuh memberikan hasil produksi cairan semen 4,5 ml/kg bobot tubuh, dan pada ikan yang tidak diberi implan pellet kolesterol GnRH dan diberi implan pellet kolesterol tanpa GnRH menghasilkan cairan semen 0,8 ml/kg bobot tubuh. Penyuntikan pimozide dosis 10 mg/kg+LHRH dosis 10 µg/kg bobot badan pada ikan Mas menghasilkan cairan semen 4.29±310 ml/kg bobot badan, sedangkan tanpa disuntik hanya menghasilkan cairan semen 0.49±0.34 ml/kg bobot badan (Billard et al., 1987).

Gambar

Gambar 1. Ikan gurame Osphronemus gouramy Lac.
Gambar 2. Proses spermatogenesis (www.bio1151.nicerweb.com, 2009)
Gambar 3. Proses spermatogenesis dan spermiogenesis oleh kelenjar endokrin      pada ikan teleostei jantan (Sukumasavin, N., 2007)

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengatasi permasalahan tingginya biaya produksi dalam budidaya ikan terutama pakan dilakukan dengan menggunakan bahan baku pakan yang murah dan mudah didapatkan, salah

Pemberian ekstrak kelenjar hipofisa 0.002 ml/gram dapat mempercepat waktu ovulasi ikan betok 3.77 jam, meningkatkan nilai GSI sebesar 4.72%, dan dapat meningkatkan jumlah

Pemberian ekstrak kelenjar hipofisa cukup efektif untuk pematangan gonad akhir ikan Betok, hal ini terlihat pada peningkatan persentase sebaran jumlah diameter

Pembalikkan massa air di Waduk Jatiluhur berpotensi membahayakan kehidupan organisme air (misalnya ikan-ikan budidaya dalam KJA) akibat terangkatnya massa air yang

kombinasi hCG dan ekstrak kelenjar hipofisa ikan mas yang diberikan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap waktu laten, jumlah telur ovulasi dan

Sistem budidaya tunggal kelamin adalah teknik buddidaya pemeliharaan ikan dengan jenis kelamin sama, misal dalam satu kolam hanya dipelihara ikan nila jantan

Kesesuaian lingkungan untuk budidaya ikan kerapu bebek dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya karakteristik biofisik lokasi (biologi, hidrologi, lokasi,

Perlu diketahui bahwa jenis kolam budidaya ikan belut harus dibedakan antara lain: kolam induk/kolam pemijahan, kolam pendederan (untuk benih belut berukuran 1-2 cm),