• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

9 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penerimaan Diri

2.1.1 Definisi Penerimaan Diri

Penerimaan diri adalah sejauh mana seseorang dapat menyadari dan mengakui karakteristik pribadi dan menggunakannya dalam menjalani kelangsungan hidupnya. Sikap penerimaan diri ditunjukkan oleh pengakuan seseorang terhadap kelebihan-kelebihannya sekaligus menerima kelemahan-kelemahannya tanpa menyalahkan orang lain dan mempunyai keinginan yang terus menerus untuk mengembangkan diri (Handayani, Ratnawati & Helmi, 1998).

Seseorang yang dapat menerima diri secara baik, dikatakan oleh Calhoun dan Acocella (dalam Hermawanti & Widjanarko, 2011) tidak memiliki beban perasaan terhadap diri sendiri, sehingga lebih banyak memiliki kesempatan untuk beradaptasi dengan lingkungan.

Penerimaan diri menurut Jersild (dalam Pancawati, 2013) seseorang yang menerima dirinya adalah seseorang yang menghormati dirinya serta hidup nyaman dengan keadaan dirinya, dia mampu mengenali, harapan, keinginan, rasa takut serta permusuhan-permusuhannya dan menerima kecendrungan-kencendrungan emosinya bukan dalam arti puas dengan diri sendiri tetapi memiliki kebebasan untuk menyadari sifat dari perasaan-perasaan yang ada pada

(2)

10

dirinya. Penerimaan diri tidak berarti bahwa seseorang objek dapat menerima begitu saja kondisi yang ada tanpa berusaha mengembangkan diri, objek yang dapat menerima diri berarti telah mengenali dimana dan bagaimana dirinya saat ini, serta mempunyai keinginan untuk mengembangkan diri lebih lanjut (Pancawati, 2013).

Menurut Hurlock (2003) penerimaan diri merupakan suatu tingkatan kesadaran individu tentang karakteristik keperibadiannya, akan kemauan untuk hidup dengan keadaan tersebut. Jadi, individu dengan penerimaan diri memiliki penilaian yang realistis tentang potensi yang dimilikinya, yang di kombinasikan dengan penghargaan atas dirinya secara keseluruhan (Sari & Nuryoto, 2002). Artinya, individu ini memiliki kepastian akan kelebihan-kelebihannya, dan tidak mencela kekurangan-kekurangan dirinya (Sari & Nuryoto, 2002). Individu yang memiliki penerimaan diri mengetahui potensi yang dimilikinya dan dapat menerima kelemahannya (Sari & Nuryoto, 2002).

Hal tersebut didukung oleh pendapat Hjelle dan Ziegler (dalam Sari & Nuryoto, 2002) yang menyatakan bahwa individu dengan penerimaan diri memiliki toleransi terhadap frustasi atau kejadian-kejadian yang menjengkelkan, dan toleransi terhadap kelemahan-kelemahan dirinya tanpa harus menjadi sedih atau marah. Individu ini dapat menerima dirinya sebagai seorang manusia yang memiliki kelebihan dan kelemahan (Sari & Nuryoto, 2002). Jadi, individu yang mampu menerima dirinya adalah individu yang dapat menerima kekurangan dirinya sebagaimana dirinya mampu menerima kelebihannya (Sari & Nuryoto, 2002).

(3)

11

Penerimaan diri menurut Cronbach (Badaria & Astuti, 2004; dalam Salwa, Kuncoro & Setyaningsih, 2010) adalah sikap individu untuk menerima kenyataan pada dirinya berupa kekurangan atau kelebihannya, serta mempu mengaktualisasikan kehidupannya di masyarakat dan berusaha untuk melakukan hal- hal yang terbaik untuk dirinya.

Ceyhan & Ceyhan (dalam Ardilla & Herdiana, 2013) mengatakan individu yang dapat menerima keadaan dirinya dapat menghormati diri mereka sendiri, dapat menyadari sisi negatif dalam dirinya, dan mengetahui bagaimana untuk hidup bahagia dengan sisi negatif yang dimilikinya, selain itu individu yang dapat menerima dirinya memiliki kepribadian yang sehat dan kuat, sebaliknya, orang yang mengalami kesulitan dalam penerimaan diri tidak menyukai karakteristik mereka sendiri, merasa diri mereka tidak berguna dan tidak percaya diri.

Karakteristik utama dari penerimaan diri adalah spontanitas dan tanggung jawab pada self, menerima kualitas kemanusiaannya tanpa menyalahkan diri sendiri untuk kondisi yang berada di luar kontrolnya (Ardilla & Herdiana, 2013).

Penerimaan diri merupakan suatu keadaan ketika individu dapat memahami diri sendiri, memiliki penghargaan yang tinggi terhadap diri, menyadari dan menerima kelebihan maupun kekurangan dalam diri secara realistis (Kaheksi, Yuliadi & Andayani, 2013). Adanya penerimaan diri mempermudah seseorang untuk menerima orang lain, menerima kritikan, serta lebih percaya diri dalam berbagai situasi interaksional sehingga dapat mengarahkan terciptanya suatu interaksi yang menyenangkan (Umbara, Lilik & Agustin, 2012).

(4)

12

Penerimaan diri menurut Panners (dalam Hurlock, 2003) merupakan ungkapan rasa penghargaan yang ditujukan pada kenyataan dirinya sendiri. Rubin menyebutkan (dalam Wrastari, 2003), penerimaan diri merupakan sikap yang mencerminkan rasa senang sehubungan dengan kenyataan dirinya.

Menurut Johnson (dalam Ulina, Kurniasih & Putri, 2013) penerimaan diri dipandang sebagai suatu keadaan dimana seseorang memiliki penghargaan yang tinggi pada dirinya sendiri. Jika seseorang memiliki konsep diri yang positif maka ia akan memiliki penerimaan diri yang positif, dan jika ia memiliki konsep diri yang negatif maka ia tidak akan memiliki penerimaan atas dirinya (Burns, dalam Ulina, Kurniasih & Putri, 2013).

Penerimaan diri adalah sikap yang merupakan rasa puas pada kualitas dan bakat, serta pengakuan akan keterbatasan diri. Pengakuan akan keterbatasan diri ini tidak diikuti dengan perasaan malu ataupun bersalah. Individu ini akan menerima kodrat mereka apa adanya (Chaplin, 2008).

Lebih lanjut Wulandari & Babari (dalam Lestari, 2013) menjelaskan bahwa penerimaan diri adalah suatu sikap memandang diri sendiri sebagaimana adanya dan memperlakukannya secara baik disertai rasa senang serta bangga sambil terus mengusahakan kemajuannya. Menerima diri sendiri memerlukan kesadaran kemauan melihat fakta-fakta yang ada pada diri, baik secara fisik maupun psikis menyangkut berbagai kekurangan dan ketidaksempurnaan yang ada, menerimanya secara total tanpa kekecewaan.

(5)

13

Penerimaan diri menurut Arthur (dalam Ridha, 2012) adalah sebuah sikap seseorang menerima dirinya. Istilah ini digunakan dengan konotasi khusus kalau penerimaan ini didasarkan kepada ujian yang relatif objektif terhadap talenta-talenta, kemampuan dan nilai umum yang unik dari seseorang. Sebuah pengakuan realistik terhadap keterbatasan dan sebuah rasa puas yang penuh akan talenta maupun keterbatasan dirinya.

Menurut Johnson (dalam Wrastari, 2003), penerimaan diri dipandang sebagai suatu keadaan dimana seseorang memiliki penghargaan yang tinggi pada dirinya sendiri. Dalam hubungannya dengan penyandang cacat tubuh, Wright (Morgan & Leung, 1980; dalam Wrastari, 2003) mengemukakan bahwa penerimaan diri merupakan variabel utama dalam proses rehabilitasi, maka penerimaan diri dianggap sebagai hal yang penting bagi penyandang cacat tubuh dalam melakukan penyesuaian diri. Penerimaan diri telah dianggap sebagai komponen kesehatan psikologis sejak pertama kali dijelaskan abad yang lalu, dan anggapan ini telah mendapat dukungan dari investigasi empiris selanjutnya (Williams & Lynn, 2011).

Penerimaan diri mengandaikan adanya kemampuan diri dalam psikologis seseorang, yang menunjukkan kualitas diri. Hal ini berarti bahwa tinjauan tersebut akan diarahkan pada seluruh kemampuan diri yang mendukung perwujudan diri secara utuh (Hermawanti & Widjanarko, 2011). Hal ini sesuai dengan pendapat Schultz (dalam Hermawanti dan Widjanarko, 2011) mengenai penerimaan diri, bahwa penerimaan diri merupakan hasil dari tinjauan pada seluruh kemampuan diri.

(6)

14

Roger (dalam Feist & Feist, 2010) mengatakan bahwa penerimaan merupakan dasar bagi setiap orang untuk dapat menerima kenyataan hidup, semua pengalaman baik ataupun buruk. Penerimaan ditandai dengan sikap positif, adanya pengakuan atau penghargaan terhadap nilai-nilai individual tetapi menyertakan pengakuan terhadap tingkah lakunya (Chaplin, 2008).

Menurut Maslow (Feist & Feist, 2008; dalam Purnaningtyas, 2013) penerimaan diri adalah pribadi yang dapat menerima diri apa adanya, memiliki sikap positif atas dirinya, tidak terbebani oleh kecemasan atau rasa malu. Subjek menerima kelemahan dan kelebihan dirinya.

Menurut pendapat Riyanto (dalam Hartati, Erlamsyah & Syahniar, 2013) penerimaan diri adalah kemampuan seseorang untuk mengakui kenyataan diri secara apa adanya. Selanjutnya pendapat Allport (Shultz, 1991; Hartati, Erlamsyah & Syahniar, 2013) penerimaan diri merupakan sifat dari suatu kepribadian yang sehat. Dimana mereka mampu menerima segala kekurangan kekurangan dan kelebihan-kelebihan yang mereka miliki. Dapat dikatakan bahwa pada dasarnya penerimaan diri merupakan aset pribadi yang sangat berharga (Hartati, Erlamsyah & Syahniar, 2013).

Papalia, Olds dan Feldman (2009) menyatakan bahwa individu yang memiliki penerimaan diri berpikir lebih realistik tentang penampilan dan bagaimana dirinya terlihat dalam pandangan orang lain. Ini bukan berarti individu tersebut mempunyai gambaran sempurna tentang dirinya, melainkan individu tersebut dapat melakukan sesuatu dan berbicara dengan baik mengenai dirinya. Orang-orang yang mengaku menerima kelebihan-kelebihan yang dimiliki dan

(7)

15

bebas untuk menolak atas apa yang tidak sesuai dengan dirinya serta mengakui kekurangan tanpa perlu menyalahkan diri sendiri (Meilinda, 2013).

Penerimaan diri menurut Supratiknya (1993) adalah memiliki penghargaan yang tinggi terhadap diri sendiri, atau lawannya tidak bersikap sinis terhadap diri sendiri. Santrock (2007) menjelaskan penerimaan diri merupakan suatu kesadaran untuk menerima diri sendiri apa adanya.

Ahli-ahli lainnya, Sartain dkk, Hurlock, dan Skinner (dalam Sari & Nuryoto, 2002) berpendapat bahwa penerimaan diri adalah keinginan untuk memandang diri seperti adanya, dan mengenali diri sebagaimana adanya. Ini tidak berarti kurangnya ambisi karena masih adanya keinginan-keinginan untuk meningkatkan diri, tetapi tetap menyadari bagaimana dirinya saat ini. Dengan kata lain, kemampuan untuk hidup dengan segala kelebihan dan kekurangan diri ini tidak berarti bahwa individu tersebut akan menerima begitu saja keadaannya, karena individu ini tetap berusaha untuk terus mengembangkan diri. Individu dengan penerimaan diri akan mengetahui segala kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya, dan mampu mengelolanya (Sari dan Nuryoto, 2002).

Menurut Hjelle dan Ziegler (Munandar, 2001; dalam Sari & Nuryoto, 2002). Penerimaan diri berhubungan secara erat dengan kesehatan fisiologis individu. Individu dengan penerimaan diri menunjukkan selera makan yang baik, dapat tidur dengan nyenyak, dan menikmati kehidupan seks. Proses biologis dasar; seperti kehamilan, menstruasi, dan proses menua; adalah bagian dari perkembangan yang dapat diterima dengan perasaan bahagia.

(8)

16

Dari semua uraian diatas mengenai definisi penerimaan diri menurut para ahli, dapat di tarik kesimpulan bahwa penerimaan diri merupakan sikap yang ditunjukkan oleh seseorang dalam menerima segala kekurangan serta kelebihan yang dimilikinya dengan rasa bangga terhadap pencapaian diri yang telah diraih yang menunjukkan kualitas diri orang tersebut.

2.1.2 Karakteristik Penerimaan Diri

Ada beberapa karakteristik penerimaan diri menurut Sheerer yang kemudian di modifikasi oleh Berger (Denmark, 1973) yaitu :

1. Nilai-nilai dan standar diri tidak dipengaruhi lingkungan luar. 2. Keyakinan dalam menjalani hidup.

3. Bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukan. 4. Mampu menerima kritik dan saran subjektif mungkin.

5. Tidak menyalahkan diri atas perasaannya terhadap orang lain. 6. Menganggap dirinya sama dengan orang lain.

7. Tidak ingin orang lain menolaknya dalam kondisi apapun. 8. Tidak menganggap dirinya berbeda dari orang lain.

9. Tidak malu atau rendah diri.

2.1.3 Komponen Penerimaan Diri

Ada beberapa komponen penerimaan diri menurut Sheerer (Cronbach, 1963; dalam Sari dan Nuryoto, 2002) adalah:

a) Memiliki keyakinan akan kemampuan dirinya dalam menjalani kehidupan.

(9)

17

b) Menganggap dirinya berharga sebagai seorang manusia yang sederajat dengan individu lain.

c) Menyadari dan tidak merasa malu akan keadaan dirinya.

d) Menempatkan dirinya sebagaimana manusia yang lain sehingga individu lain dapat menerima dirinya.

e) Bertanggung jawab atas segala perbuatannya.

f) Menerima pujian atau celaan atas dirinya secara objektif.

g) Mempercayai prinsip-prinsip atau standar-standar hidupnya tanpa harus diperbudak oleh opini individu-individu lain.

h) Tidak mengingkari atau merasa bersalah atas dorongan-dorongan dan emosi-emosi yang ada pada dirinya.

2.1.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri

Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri menurut Hurlock (2003) adalah:

a. Pemahaman diri. b. Harapan dan realitas.

c. Tidak hadirnya hambatan-hambatan dari lingkungan. d. Tingkah laku sosial yang mendukung (dukungan sosial). e. Tidak adanya tekanan emosi yang berat.

f. Sukses yang terjadi.

g. Identifikasi bagi orang yang memiliki penyesuaian diri baik. h. Cara seseorang melihat diri sendiri..

(10)

18 2.1.5 Aspek-aspek Penerimaan Diri

Teori penerimaan diri Jersild (Florentina, 2008; dalam Meilinda, 2013) mengemukakan beberapa aspek-aspek penerimaan diri sebagai berikut :

a) Persepsi mengenai diri dan sikap terhadap penampilan.

b) Sikap terhadap kelemahan dan kekuatan diri sendiri dan orang lain. c) Perasaan infeoritas sebagai gejala penolakan diri.

d) Respon atas penolakan dan kritikan.

e) Keseimbangan antara “real self” dan “ideal self”. f) Penerimaan diri dan penerimaan orang lain.

g) Penerimaan diri, menuruti kehendak, dan menonjolkan diri. h) Penerimaan diri, spontanitas, dan menikmati hidup.

i) Aspek moral penerimaan diri. j) Sikap terhadap penerimaan diri.

2.1.6. Ciri-Ciri Penerimaan Diri

Menurut Johnson (dalam Putri & Hamidah, 2012) ciri-ciri orang yang menerima dirinya adalah:

1. Menerima diri sendiri apa adanya.

2. Tidak menolak diri sendiri, apabila memiliki kelemahan dan kekurangan. 3. Memiliki keyakinan bahwa untuk mencintai diri sendiri, maka seseorang

tidak harus dicintai oleh orang lain dan dihargai oleh orang lain.

4. Seseorang merasa berharga, maka seseorang tidak perlu merasa benar-benar sempurna.

(11)

19

5. Memiliki keyakinan bahwa dia mampu untuk menghasilkan kerja yang berguna.

2.1.7. Kondisi yang Dapat Mempengaruhi Pembentukkan Penerimaan Diri Hurlock (dalam Wrastari, 2003) mengemukakan beberapa kondisi yang mengarah pada pembentukan penerimaan diri. Kondisi tersebut adalah :

a. Bebas dari hambatan lingkungan.

b. Adanya kondisi emosi yang menyenangkan.

c. Identifikasi dengan individu yang penyesuaian dirinya baik. d. Adanya pemahaman diri.

e. Harapan-harapan realistik.

f. Sikap lingkungan sosial yang menyenangkan. g. Frekuensi keberhasilan.

h. Perspektif diri .

2.1.8. Dampak Penerimaan Diri

Hurlock (dalam Ridha, 2012) membagi dampak penerimaan diri menjadi dua kategori:

a) Dalam penyesuaian diri.

Orang yang memiliki penerimaan diri, mampu mengenali kelebihan dan kekurangannya. Individu yang mampu menerima dirinya biasanya memiliki keyakinan diri (self confidence) dan harga diri (self esteem). Selain itu mereka juga lebih dapat menerima kritik demi perkembangan dirinya. Penerimaan diri yang disertai dengan adanya rasa aman untuk mengembangkan diri ini

(12)

20

memungkinkan seseorang untuk menilai dirinya secara lebih realistis sehingga dapat menggunakan potensinya secara efektif. Penilaian yang realistis terhadap diri sendiri, membuat individu akan bersikap jujur dan tidak berpura-pura, merasa puas dengan menjadi dirinya sendiri tanpa ada keinginan untuk menjadi orang lain.

b) Dalam penyesuaian sosial.

Penerimaan diri biasanya disertai dengan adanya penerimaan pada orang lain. Orang yang memiliki penerimaan diri akan merasa aman untuk menerima orang lain, memberikan perhatiannya pada orang lain, serta menaruh minat terhadap orang lain, seperti menunjukan rasa empati dan simpati. Dengan demikian orang yang memiliki penerimaan diri dapat melakukan penyesuaian sosial yang lebih baik dibandingkan dengan orang yang merasa rendah diri sehingga mereka cenderung berorientasi pada dirinya sendiri (self oriented). Ia dapat mengatasi keadaan emosionalnya tanpa mengganggu orang lain, serta toleran dan memiliki dorongan untuk membantu orang lain.

2.2. Self-Regulation

2.2.1. Defenisi Self-Regulation

Self-regulation adalah proses dimana seseorang dapat mengatur

pencapaian dan aksi mereka sendiri. Menentukan target untuk diri mereka, mengevaluasi kesuksesan mereka saat mencapai target tersebut, dan memberikan penghargaan pada diri mereka sendiri karena telah mencapai tujuan tersebut (Friedman & Schustack, 2008).

(13)

21

Papalia, Olds, Feldman (2009) mengatakan self-regulation merupakan kendali tingkah laku independent seseorang untuk mengikuti, mengerti ekspektasi sosial. Menurut Schunk & Zimmerman (dalam Susanto, 2006) self-regulation dapat dipahami sebagai penggunaan suatu proses yang mengaktivasi pemikiran, perilaku, dan affects (perasaan) yang terus menerus dalam upaya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, self-regulation berhubungan dengan metakognisi, motivasi dan perilaku yang berpartisipasi aktif untuk mencapai tujuan personal (Hidayat, 2013).

Zimmerman (dalam Widawati, 2008) sendiri berpendapat bahwa dalam proses perkembangannya, individu memerlukan suatu kemampuan self-regulation sedemikian rupa, sehingga dapat digunakan sebagai alat adaptasi terhadap setiap perubahan yang ada di sekelilingnya.

Paris & Paris (dalam Susetyo & Kumara, 2012) menyatakan bahwa belajar berdasar self-regulation tergantung pada seberapa baik motivasi dan kontrol individu. Seseorang membutuhkan motivasi untuk mengerahkan usaha, bertahan ketika menghadapi kesulitan, menetapkan tujuan yang menantang, dan merasa mempunyai efikasi diri yang tinggi untuk mencapai sukses.

Self-regulation merupakan hal yang dilakukan individu untuk mengubah

respon sebelumnya yang ditampilkan mengenai stimulus tertentu untuk mencapai respon baru (perilaku baru), seperti mengendalikan impuls perilaku (dorongan perilaku), mengontrol hasrat, mengendalikan emosi serta pikiran. Beberapa yang berkaitan dengan regulasi diri adalah observasi diri, evaluasi diri dan penguatan oleh diri sendiri (Pramitya & Valentina, 2013). Hal lain yang berkaitan dengan

(14)

22

regulasi diri diantaranya efikasi diri, pembentukan nilai moral dan penundaan terhadap kepuasan (Wulandari & Zulkaida, 2007).

Santrock (dalam A’isah, Widodo & Setyawan, 2010) mengatakan regulasi diri meliputi self-generation dan pemantauan secara kognitif terhadap pikiran, perasaan dan perilaku dalam rangka mencapai suatu tujuan tanpa mengandalkan orang lain. Zimmerman (Ormrod, 2003; dalam A’isah, Widodo & Setyawan, 2010) juga menjelaskan bahwa seseorang disebut memiliki self-regulation jika pikiran dan perilakunya berada di bawah kendalinya sendiri, tidak dikendalikan oleh orang lain dan lingkungan.

Kemampuan self-regulation tidak dapat berkembang dengan sendirinya. Dibutuhkan suatu lingkungan yang kondusif agar seseorang dapat mengembangkan self-regulation (A’isah, Widodo & Setyawan, 2010). Teori sosial kognitif oleh Bandura (dalam Alwisol, 2009) menyatakan bahwa

self-regulation dalam belajar tidak hanya ditentukan oleh oleh faktor pribadi, tetapi

juga faktor perilaku dan faktor lingkungan/faktor eksternal, yang berhubungan secara timbal balik. Penguatan (reinforcement) adalah salah satu faktor eksternal dalam self-regulation.

Schunk & Zimmerman (dalam Nuraeni & Rahmatanti, 2011) mengatakan bahwa teori self-regulation memandang belajar sebagai open-ended process yang membutuhkan aktivitas berkesinambungan dalam proses belajar. Self-regulation digambarkan sebagai sebuah siklus karena feedback dari performance sebelumnya digunakan untuk penyesuaian diri terhadap upaya yang sedang dilakukan.

(15)

23

Pandangan self-regulation bersifat siklus menunjukan bahwa refleksi diri terhadap usaha yang telah dilakukan akan berpengaruh pada tahap pemikiran kedepan, misalnya ketidakpuasan diri akan menyebabkan rendahnya efikasi diri dan membatasi usaha pada belajar selanjutnya (Susetyo & Kumara, 2012). Namun, satu hal yang harus kita pahami juga bahwa self-regulation merupakan suatu kemampuan. Dibutuhkan suatu lingkungan yang kondusif agar seseorang dapat mengembangkan kemampuan self-regulation (Susanto, 2006).

Winne (dalam Santrock, 2004) menjelaskan bahwa self-regulation atau pengaturan diri adalah kemampuan dalam diri seseorang untuk memunculkan dan memonitor sendiri pikiran, perasaan dan perilaku untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Self-regulation merupakan suatu interaksi dari faktor-faktor pribadi, tingkah laku dan lingkungan (Aslamawati dkk, 2012).

Self-regulation merupakan salah satu aspek penting dalam menentukan

perilaku seseorang, baik di lingkungan keluarga, teman dan masyarakat. Seseorang yang mampu melakukan pengelolaan diri dengan baik mampu menciptakan lingkungan sosial dan fisik seimbang dalam pengoptimalan pencapain aktivitas yang dilakukan (Asizah & Hendrati, 2013).

Self-regulation dapat diartikan sebagai pengarahan diri atau pengaturan

diri dalam berperilaku. Suatu proses self-regulation membutuhkan kerja keras individu untuk melakukannya. Keberhasilan atau kegagalan self-regulation tergantung pada proses yang terjadi pada jangka waktu tertentu. Proses tersebut dapat diuraikan mulai dari adanya kemauan dan keyakinan akan kemampuan

(16)

24

(efikasi diri). Oleh karena itu, bagi individu yang menginginkan diri lebih sehat,

self-regulation merupakan obat yang baik (Ningrum & Hasanat, 2009).

Self-regulation menurut Kowalski (dalam Wulandari & Zulkaida, 2007)

diartikan sebagai tugas seseorang untuk mengubah respon-respon, seperti mengendalikan impuls-impuls perilaku, menahan hasrat, mengontrol pikiran, dan mengubah emosi.

Self-regulation merupakan sebuah konsep psikologis yang telah dipelajari

secara luas di seluruh disiplin ilmu, diakui sebagai sesuatu hal yang penting untuk mendorong kendali pribadi, perilaku yang diarahkan pada tujuan melalui proses selektif informasi, monitoring perilaku, menilai kinerja individu, dan

self-evaluation (Yeom & Fleury, 2011).

Self-regulation merupakan kemampuan untuk mengatur dan mengarahkan

apa yang difikirkan dan apa yang dirasakan untuk kemudian mengimplementasikannya dalam perilaku guna mencapai kesuksesan dalam pekerjaan, dalam hubungannya dengan orang lain, dan dalam keadaan fisik maupun mental. Self-regulation juga berhubungan dengan latihan mengendalikan diri, terutama mengenai membawa dirinya ke dalam garis dengan standar yang di pilih (Baumeister & Vohs, 2011).

Self-regulation mengacu pada proses sadar dan sadar yang mempengaruhi

kemampuan untuk mengendalikan respon. Ini adalah keterampilan yang memiliki efek menyeluruh pada kemampuan individu untuk menoleransi keinginan atau kebutuhan yang tak terpenuhi, menangani kekecewaan dan kegagalan, dan bekerja menuju kesuksesan. Kemampuan untuk mengatur diri adalah dasar untuk

(17)

25

memenuhi standar yang diterima dari perilaku di rumah, sekolah, dan kemudian, di tempat kerja. Self-regulation sering dianggap sebagai proses kognitif ganda dan sosial-emosional (Bandy & Moore, 2010).

Self-regulation yang kurang efektif dapat menimbulkan perilaku agresif,

sedangkan mereka yang memiliki regulasi diri efektif, akan mampu mengendalikan dirinya. Dengan demikian self-regulation mempengaruhi keberhasilan seseorang melalui pengendalian perilaku yang akan dimunculkan.

Self-regulation dapat dimunculkan oleh seseorang dengan cara berlatih, atau

mengatur aktivitas-aktivitas yang akan dilakukannya (Alfiana, 2013).

Self-regulation merupakan salah satu komponen penggerak utama

kepribadian manusia. Istilah self-regulation pertama kali dimunculkan oleh Albert Bandura dalam teori belajar sosialnya, yang diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengontrol perilakunya sendiri (Boeree, 2010; dalam Alfiana, 2013). Self-regulation memiliki peran yang lebih besar bagi perkembangan moral yang positif di bandingkan penalaran abstrak (Alfiana, 2013).

Self-regulation adalah fenomena multifaset yang beroperasi melalui

sejumlah proses kognitif seseorang termasuk pemantauan diri, standar diri, penilaian evaluatif, penilaian diri, dan reaksi diri afektif. Regulasi kognitif, motivasi, dan tindakan sangat mengandalkan pada sistem penetapan tujuan bukan hanya pada sistem umpan balik reaksi yang negatif (Bandura, 1991).

(18)

26

Pengertian self-regulation menurut Ghufron & Risnawati (dalam Asizah & Hendrati, 2013) merupakan upaya individu untuk mengatur diri dalam suatu aktivitas dengan mengikutsertakan kemampuan metakognisi, motivasi dan perilaku aktif.

Self-regulation mengacu pada kedua proses sadar dan bawah sadar yang

berdampak pada pengendalian diri, tetapi kegiatan-kegiatan regulasi berlangsung kurang lebih terus-menerus untuk memungkinkan kita untuk berpartisipasi dalam masyarakat, pekerjaan, kehidupan keluarga, dan sebagainya (Tabor, 2006).

Para peneliti telah berteori bahwa self-regulation diatur oleh sumber daya terbatas yang memungkinkan orang untuk mengendalikan dorongan dan keinginan (Oaten & Cheng, 2006).

Self-regulation merupakan kapasitas diri untuk mengubah suatu perilaku.

Hal ini guna meningkatkan fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi dari perilaku manusia, memungkinkan orang untuk menyesuaikan tindakan mereka dalam tuntutan sosial dan situasional (Baumeister & vohs, 2007).

Self-regulation merupakan motivasi internal, yang berakibat pada

timbulnya keinginan seseorang untuk menentukan tujuan-tujuan dalam hidupnya, merencanakan strategi yang akan digunakan, serta mengevaluasi dan memodifikasi perilaku yang akan dilakukan (Cervone & Pervin, 2010; dalam Alfiana, 2013).

Self-regulation penting dimiliki oleh seseorang dalam membantu

perkembangannya, karena self-regulation juga dapat mengontrol keadaan lingkungan dan implus emosional sekitarnya yang dapat mengganggu

(19)

27

perkembangan seseorang (Cervone & Pervine, 2010; dalam Alfiana, 2013). Sehingga individu yang ingin berkembang akan berusaha untuk meregulasi dirinya semaksimal mungkin dalam mencapai tahap perkembangan yang diinginkannya. Sementara individu yang kurang mampu dalam meregulasi diri, dimungkinkan tidak mampu untuk mencapai kesuksesan yang sempurna (Alfiana, 2013).

Goleman (dalam Alfiana, 2013) menyatakan bahwa 80% dari kesuksesan seseorang ternyata dipengaruhi oleh faktor-faktor non-IQ, yang dinamakan dengan emotional intelligence atau kecerdasan emosi yang salah satu domainnya adalah self-regulation. Selain itu Maddux (dalam Alfiana, 2013) menyebutkan bahwa self-regulation yang kurang efektif akan menjadikan seseorang mengalami permasalahan psikologis yang serius, misalnya depresi dan gangguan kecemasan.

Dari keseluruhan penjelasan tentang self-regulation, dapat ditarik kesimpulan bahwa self-regulation merupakan pengaturan diri berupa kontrol terhadap tingkah laku, pemikiran dan perasaan guna mencapai tujuan-tujuan tertentu.

2.2.2 Struktur Sistem Self-Regulation

Setiap orang akan berusaha untuk meregulasi fungsi dirinya dengan berbagai cara untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan Winne (Boerkaerts, 2000; dalam Susanto, 2006). Oleh karena itu yang membedakan hanyalah efektivitas dari self-regulation itu sendiri. Pada waktu seseorang mampu mengembangkan kemampuan self-regulation secara optimal, maka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai secara optimal. Sebaliknya pada saat

(20)

28

seseorang kurang mampu mengembangkan kemampuan self-regulation dalam dirinya, maka pencapaian tujuan yang telah ditetapkannya tidak dapat dicapai secara optimal. Ketidakefektifan dalam kemampuan self-regulation ini bisa disebabkan oleh kurang berkembangnya salah satu fase dalam proses

self-regulation terutama pada fase forethought dan performance control yang tidak

efektif (Bandura, 1991).

Berdasarkan perspektif social cognitive, proses self-regulation

digambarkan dalam tiga fase perputaran: Fase forethought (perencanaan),

performance or volitional control (pelaksanaan), self-reflection (proses evaluasi).

Fase forethought berkaitan dengan proses-proses yang berpengaruh yang mendahului usaha untuk bertindak dan juga meliputi proses dalam menentukan tahap-tahap untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkannya. Fase performance

or volitional control meliputi proses-proses yang terjadi selama seseorang

bertindak dalam upaya mencapai tujuan yang telah ditetapkan pada fase sebelumnya. Fase self-reflection meliputi proses yang terjadi setelah seseorang melakukan upaya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, dan pengaruh dari respon (feedback) terhadap pengalamannya yang kemudian akan memberikan pengaruh pada fase forethought dalam menetapkan tujuan dan langkah-langkah yang harus dilaksanakannya.

Ketiga fase tersebut terus menerus berulang dan membentuk suatu siklus. Secara ringkas proses yang terjadi dalam ketiga fase tersebut dalam dilihat dari tabel di bawah in:

(21)

29 Tabel 2.1

Struktur Fase dan Sub Proses pada Self-Regulation

Forethought Performance/volitional control Self-reflection Task analysis - goal setting - strategic planning Self-control - self-instruction - imagery - attention focusing - task strategies Self-judgment - self-evaluation - causal attribution Self-motivation - self-efficacy - outcomes expectations - intrinsic interest/value - goal orientation Self-observation - self-recording - self-experimentation Self-reaction - self-satisfaction/affect - adaptive - devensive

(Boekaerts, 2000; dalam Susanto, 2006)

1. Fase Forethought (Perencanaan)

Terdapat dua kategori yang saling berkaitan erat dalam fase forethought: a. Task Analysis (Analisis Tugas)

Inti dari analisis tugas meliputi goal setting (penentuan tujuan) dan perencanaan strategi. Goal Setting dapat diartikan sebagai penetapan/penentuan hasil yang ingin dicapai oleh seseorang, misalnya militer menerima keadaan disability akibat berperang dan kecelakaan kerja (Locke & Lathan, 1990, Boekaerts, 2000; dalam Susanto, 2006). Goal

system dari seseorang yang mampu melakukan self-regulation tersusun

secara bertahap. Proses tersebut dilakukan sebagai regulator untuk mencapai tujuan yang sama dengan hasil yang pernah dicapai. Bentuk kedua dari analisis tugas adalah strategic planning (perencanaan strategi).

(22)

30

Strategi ini merupakan suatu proses dan tindakan seseorang yang bertujuan dan diarahkan untuk memperoleh dan menunjukkan suatu keterampilan yang dapat digunakannya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkannya (Zimmerman, 1989, Boekaerts, 2000; dalam Susanto, 2006). Strategi yang dipilih secara tepat dapat meningkatkan performance dengan mengembangkan kognitif, mengontrol affect, dan mengarahkan kegiatan motorik (Pressley & Wolloshyn, 1995, Boekaerts, 2000; dalam Susanto, 2006). Perencanaan dan pemilihan strategi membutuhkan penyesuaian yang terus menerus karena adanya perubahan-perubahan baik dalam diri militer itu sendiri ataupun dari kondisi lingkungan.

b. Self Motivation Beliefs (Keyakinan Motivasi Diri)

Dasar dari analisis tugas dan strategic planning adalah self motivation

beliefs yang meliputi self-efficacy (efikasi diri), outcome expectation

(harapan hasil), intrinsic interest or valuing (minat/nilai intrinsik), dan

goal orientation (orientasi tujuan). Self-efficacy merujuk pada keyakinan

seseorang terhadap kemampuannya untuk memiliki performance yang

optimal untuk mencapai tujuannya, sementara outcomes expectation

merujuk pada harapan seseorang tentang pencapaian suatu hasil dari upaya yang telah dilakukannya (Bandura, 1997; Boekaerts, 2000; dalam Susanto, 2006). Sebagai contoh, self-efficacy yang mempengaruhi goal setting adalah sebagai berikut: semakin mampu seseorang meyakini kemampuan mereka sendiri, maka akan semakin tinggi tujuan yang mereka tetapkan

(23)

31

dan semakin mantap ia akan bertahan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkannya (Bandura, 1991).

2. Fase Performance/Volitional Control (Pelaksanaan)

a. Self-Control (Kontrol Diri)

Proses self-control seperti self-instruction (pengarahan diri), imagery (imajinasi), attention focusing (pemusatan perhatian), dan task strategies (strategi melaksanakan tugas), membantu seseorang memfokuskan pada tugas yang dihadapinya dan mengoptimalkan usaha untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkannya. Salah satu perilaku yang dapat diamati pada saat seseorang sedang berada di fase ini adalah saat militer mencoba untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru di Pusat Rehabilitasi, militer mulai melakukan aktivitas di Pusat Rehabilitasi (self-instruction), mencoba untuk membentuk suatu kebiasaan baru dengan encoding

(imagery) ataupun memfokuskan diri dan menyesuaikan diri agar terbiasa

menjalani kehidupan saat berada di Pusat Rehabilitasi (attention focusing). b. Self-Observation (Observasi Diri)

Proses self-observing, mengacu pada penelusuran seseorang terhadap aspek-aspek yang spesifik dari performance yang mereka tampilkan, kondisi sekelilingnya, dan akibat yang dihasilkannya (Zimmerman & Paulsen, 1995, Boekaerts, 2000; dalam Susanto, 2006). Penetapan tujuan yang dilakukan pada fase forethought mempermudah self-observation, karena tujuannya terfokus pada proses yang spesifik dan terhadap kejadian di sekelilingnya.

(24)

32

3. Fase Self Reflection (Proses Evaluasi) a. Self-Judgement (Penilaian Diri)

Self-judgement meliputi self-evaluation terhadap performance yang

ditampilkannya dalam upaya mencapai tujuan dan menjelaskan penyebab yang signifikan terhadap hasil yang dicapainya. Self-evaluation mengarah pada upaya untuk membanding informasi yang diperolehnya melalui

self-monitoring dengan standar atau tujuan yang telah ditetapkan pada fase forethought.

b. Self-Reaction (Reaksi Diri)

Proses yang kedua yang terjadi pada fase ini adalah self-reaction yang terus menerus akan memperngaruhi fase forethought dan seringkali berdampak pada performance yang ditampilkannya di masa mendatang terhadap tujuan yang ditetapkannya.

2.2.3. Aspek-aspek Self-Regulation

Ada 7 aspek mengenai self-regulation yang diungkapkan oleh Miller dan Brown (1991) yaitu:

1. Receiving (Penerimaan Informasi).

Menerima informasi yang relevan, yaitu langkah awal individu dalam menerima informasi dari berbagai sumber. Dengan informasi-informasi tersebut, individu dapat mengetahui karakter yang lebih khusus dari suatu masalah, seperti kemungkinan adanya hubungan dengan aspek lainnya.

(25)

33

2. Evaluating (Mengevaluasi Informasi).

Setelah memperoleh informasi, langkah selanjutnya adalah menyadari seberapa besar masalah tersebut. Dalam proses evaluasi diri, individu menganalisis informasi dengan membandingkan suatu masalah yang terdeteksi di luar diri (eksternal) dengan pendapat pribadi (internal) yang tercipta dari pengalaman sebelumnya yang serupa. Pendapat itu didasari oleh harapan yang ideal yang diperoleh dari pengembangan individu sepanjang hidupnya (pengalaman) yang termasuk dalam proses pembelajaran sebagai hasil dari perbandingan norma-norma kehidupan yang didapatkan.

3. Triggering (Mendorong Perubahan).

Hasil dari proses evaluasi yang telah dilakukan, diharapkan mampu mendorong perubahan terhadap suatu masalah yang sedang di hadapi yang tercipta dari pengembangan individu sepanjang hidupnya tersebut. Individu mampu menciptakan suatu perubahan besar kearah yang lebih positif terhadap suatu masalah yang dihadapi.

4. Searching (Mencari Pilihan).

Pada tahapan mendorong perubahan, individu harus dapat untuk mencari pilihan yang terbaik dalam menghadapi suatu permasalahan. Pada akhir proses mendorong perubahan tersebut menunjukkan pertentangan antara sikap individu dalam memahami masalah. Dari pertentangan tersebut, individu akhirnya menyadari beberapa jenis tindakan atau aksi untuk mengurangi perebedaan yang terjadi.

(26)

34

Kebutuhan untuk mengurangi pertentangan dimulai dengan mencari jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi.

5. Formulating (Merumuskan Rencana).

Merancang suatu rencana, yaitu perencanaan aspek-aspek pokok untuk meneruskan target atau tujuan, seperti tentang waktu, aktivitas untuk pengembangan, tempat-tempat dan aspek-aspek lainnya yang mampu mendukung dengan efisien dan efektif.

6. Implementing (Menerapkan Rencana).

Setelah semua perencanaan telah terealisasi, berikutnya adalah secepatnya mengarah kepada aksi-aksi atau melakukan tindakan-tindakan yang tepat yang mengarah ke tujuan dan memodifikasi sikap sesuai dengan yang diinginkan dalam proses.

7. Assessing (Menilai Efektivitas Rencana, Mengevaluasi Receiving dan Evaluating).

Penilaian ini dilakukan pada tahap akhir. Penilaian tersebut dapat membantu dalam menentukan dan menyadari apakah perencanaan yang tidak direalisasikan itu sesuai dengan yang diharapkan atau tidak, serta apakah hasil yang diidapat sesuai dengan yang diharapkan. Mengevaluasi kembali penerimaan informasi yang didapatkan.

(27)

35

2.2.4. Faktor Yang Mempengaruhi Self-Regulation

Faktor-faktor yang mempengaruhi self-regulation (Pramitya & Valentina, 2013) yaitu:

1. Faktor internal.

Faktor internal terdiri dari self-observation atau observasi diri adalah pengamatan pribadi yang dilakukan oleh individu, judgmental process atau proses penilaian adalah membandingkan perilaku dengan norma atau standar yang menjadi acuan individu, dan self-response atau reaksi diri adalah reaksi-reaksi yang timbul berdasarkan hasil pengamatan diri.

2. Faktor eksternal.

Faktor eksternal terdiri dari standard atau dasar perilaku. Dasar perilaku menjadi acuan dalam mengevaluasi tingkah laku dan reinforcement yaitu penguatan yang menjadi hal yang digunakan untuk mempertahankan perilaku yang diinginkan.

2.2.5. Disfungsi Self-Regulation

Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan seseorang kurang mampu untuk mengembangkan self-regulation (Susanto, 2006).

1. Kurangnya pengalaman dari lingkungan sosial adalah faktor yang pertama yang menyebabkan kegagalan seseorang dalam mengembangkan

self-regulation. Seringkali mereka mengalami kesulitan untuk mengembangkan self-regulation disebabkan mereka tumbuh di rumah atau lingkungan yang tidak mengajarkan mereka untuk melakukan

(28)

self-36

regulation, tidak diberikan contoh, ataupun tidak diberikan reward

(Brody, Stoneman, Flor, 1996; Boekaerts, 2000; dalam Susanto 2006). 2. Batasan kedua yang menghambat seseorang dalam mengembangkan

kemampuan self-regulation bersumber dari dalam dirinya yaitu adanya sikap apatis (disinterest). Hal ini disebabkan dalam menggunakan teknik-teknik self-regulation yang efektif dibutuhkan antisipasi, konsentrasi, usaha, self-reflection yang cermat (Steinberg, Brown, Dornbusch, 1996, Boekaerts, 2000; dalam Susanto, 2006).

3. Gangguan suasana hati, seperti mania atau depresi adalah batasan ketiga yang dapat menyebabkan disfungsi self-regulation. Sebagai contoh, seseorang yang mengalami depresi cenderung menunjukkan perilaku menyalahkan diri sendiri, salah dalam mempersepsikan hasil perilaku mereka, bersikap negatif (Bandura, 1991).

4. Batasan yang keempat yang sering dihubungkan dengan disfungsi

self-regulation adalah adanya learning disabilities, seperti masalah kurang

mampu konsentrasi, mengingat, membaca dan menulis (Borkowski & Thorpe, 1994; Boekaerts, 2000; dalam Susanto, 2006).

2.3 Disabilitas

2.3.1 Definisi Disabilitas

Disabilitas diserap dari bahasa Inggris disability dengan bentuk jamak

(29)

37

yang keadaan fisik atau sistem biologisnya berbeda dengan orang lain pada umumnya (Purnaningtyas, 2013).

Istilah disabilitas merupakan salah satu upaya untuk merekontruksi pandangan, pemahaman dan persepsi masyarakat pada seorang penyandang disabilitas adalah seseorang yang tidak normal, cacat dan tidak mempunyai kemampuan (Purnaningtyas, 2013). Maka dengan menggunakan kata disabilitas bisa memperhalus kata dan merubah persepsi serta pemahaman masyarakat bahwa setiap manusia diciptakan berbeda dan seorang penyandang disabilitas hanyalah sebagai seseorang yang memiliki perbedaan kondisi fisik namun tetap mampu melakukan segala aktifitas dengan cara pencapaian yang berbeda (Purnaningtyas, 2013).

Somantri (dalam Purnaningtyas, 2013) mengartikan disabilitas sebagai suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot dan sendi dalam fungsinya yang normal atau dapat diartikan sebagai suatu kondisi yang menghambat kegiatan individu sebagai akibat kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot, sehingga mengurangi kapasitas normal individu untuk mengikuti pendidikan dan berdiri sendiri. Kondisi ini dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan atau dapat juga disebabkan oleh bawaan sejak lahir.

Sesuai dengan UU tahun 1997 (dalam Haryati, 2007) yang dimaksud dengan disabilitas adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik/mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk

(30)

38

melakukan kegiatan secara layaknya yang terdiri dari disabilitas fisik, disabilitas mental dan disabilitas ganda (fisik dan mental).

Disability fisik merupakan hal yang seringkali dianggap suatu bencana

bagi individu yang mengalaminya, bahkan dianggap suatu alasan untuk menghindar bagi individu yang normal (Park, Faulkner, Schaller, 2003).

2.3.2. Kategori Disabilitas

Menurut klasifikasi WHO (dalam Wirawan, 2011) pada dasarnya yang termasuk ke dalam kategori penyandang disabilitas adalah:

1. Impairment, yakni orang yang tidak berdaya secara fisik sebagai konsekuensi dari ketidaknormalan psikologik, psikhis, atau karena kelainan pada struktur organ tubuhnya. Tingkat kelemahan itu menjadi penghambat yang mengakibatkan tidak berfungsinya anggota tubuh lainnya seperti pada fungsi mental. Contoh dari kategori impairment ini adalah kebutaan, tuli, kelumpuhan, amputasi pada anggota tubuh, gangguan mental (keterbelakangan mental) atau penglihatan yang tidak normal. Jadi kategori disabilitas yang pertama ini lebih disebabkan oleh faktor internal atau biologis dari individu.

2. Disabilitas. Disabilitas dalam kategori ini adalah ketidakmampuan dalam melakukan aktivitas pada tataran aktifitas manusia normal, sebagai akibat dari kondisi impairment tadi. Akibat dari kerusakan pada sebagian atau semua anggota tubuh tertentu, menyebabkan seseorang menjadi tidak berdaya untuk melakukan aktifitas manusia normal, seperti mandi,

(31)

39

makan, minum, naik tangga atau ke toilet sendirian tanpa harus dibantu orang lain.

3. Handicap, yaitu ketidakmampuan seseorang di dalam menjalankan peran sosial-ekonominya sebagai akibat dari kerusakan fisiologis dan psikologis baik karena sebab (impairment), atau karena disabilitas sebagaimana disebutkan di atas. Disabilitas dalam kategori ke tiga ini lebih dipengaruhi oleh faktor eksternal individu penyandang disabilitas, seperti terisolir oleh lingkungan sosialnya atau karena stigma budaya, dalam arti penyandang disabilitas adalah orang yang harus dibelas-kasihani, atau harus bergantung pada bantuan orang lain yang normal.

2.3.3. Reaksi Terhadap Disabilitas

Menurut Hurlock (dalam Wrastari, 2003) berbagai reaksi terhadap penyandang disabilitas, dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu :

a. Usia ketika terjadinya disabilitas.

Jika hal ini terjadi pada awal kehidupan, biasanya penyesuaian yang terjadi akan sangat baik.

b. Jenis disabilitas.

Reaksi masyarakat cenderung lebih menyenangkan pada disabilitas tubuh daripada disabilitas mental.

c. Berat ringannya jenis disabilitas.

Disabilitas kebutaan dan kelumpuhan lebih sering dibandingkan dengan tuli.

(32)

40 e. Sikap sosial.

Sikap dari masyarakat berakibat pada sikap individu. f. Sikap individu.

Sikap individu terhadap jenis disabilitas ditentukan oleh sikap sosial.

2.3.4. Dampak psikologis disability

Dampak psikologis yang mengikuti disability tersebut menurut Senra (dalam Puspasari & Alfian, 2012) antara lain:

1. Depresi, yaitu dirasakannya berbagai kesulitan dalam menggunakan kemampuan dasar pada kehidupan sehari-hari dan hilangnya kepercayaan diri yang menyebabkan perasaan rendah diri pada individu tersebut hingga menimbulkan depresi.

2. Trauma, yaitu mengalami periode kesedihan dan frustasi terutama dalam proses mencapai well-being terutama ketika merasakan identitasnya berubah menjadi penyandang cacat dan merasa memiliki ketergantungan kepada orang lain.

3. Marah, yaitu perasaan menyesal melakukan kegiatan tersebut, maupun tidak meyakini garis kehidupan yang sudah diberikan namun perasaan marah dapat hilang ketika penyandang cacat fisik tersebut telah dapat berpikir secara rasional akan keadaan yang dialami.

4. Shock yaitu perasaan yang sangat sedih dan tidak menyangka akan keadaaannya yang telah berubah hingga merasa sangat banyak memerlukan bantuan dari pihak lain.

(33)

41

5. Tidak dapat menerima keadaan, yaitu keadaan dimana subjek belum bisa mengintegrasikan atau membiasakan diri dengan tubuh barunya yang dimiliki. Proses adaptasi dan penerimaan diri yang positif membutuhkan waktu yang lama terutama ketika kejadian tersebut terjadi ketika waktu yang dihabiskan dalam hidup normal tanpa kecacatan yang dimiliki berlangsung cukup lama.

6. Bunuh diri, yaitu berpikir untuk bunuh diri adalah dampak ekstrem dari dampak psikologis yang mengikuti pasca kecelakaan.

2.4 Penelitian Sebelumnya

Ada banyak penelitian-penelitian sebelumnya yang mengungkapkan tentang penerimaan diri dengan self-regulation. Berdasarkan hasil uji statistika dan hasil ungkapan subjek selama proses pelatihan yang dilakukan oleh Handayani, Ratnawati, & Helmi (1998) mengungkapkan bahwa pelatihan pengenalan diri efektif untuk meningkatkan penerimaan diri dan harga diri bagi masyarakat terutama mereka yang berusia remaja, yang mempunyai harga diri rendah ataupun kurang mampu menerima diri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerimaan diri dan harga diri sejumlah subjek pada kelompok eksperimen lebih tinggi daripada kelompok kontrol.

Pelatihan pengetahuan diri secara efektif meningkatkan penerimaan diri dan harga diri subjek. Hasil penelitian saat ini terkait dengan penerimaan diri dan

self-regulation yang dilakukan peneliti, menunjukkan adanya keterkaitan dengan

penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Handayani, Ratnawanti & Helmi (1998). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerimaan diri dapat meningkatkan

(34)

42

harga diri. Harga diri merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terbentuknya self-regulation sehingga dalam meningkatkan penerimaan diri yang baik maka seseorang membutuhkan pengaturan diri yang baik agar dapat menciptakan harga diri yang positif. Tentara penyandang disabilitas yang mempunyai harga diri yang tinggi akan mampu untuk menerima diri dengan segala kekurangan yang mereka miliki.

Lain halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Herawanti & Widjanarko (2011) mengatakan dalam jurnal bahwa penerimaan diri terhadap status HIV positif pada perempuan pekerja seks berbeda tingkatannya yang di pengaruhi oleh faktor dukungan, pengalaman, pengetahuan, penghargaan terhadap diri sendiri dan pekerjaan serta kemandirian. Penghargaan terhadap diri sendiri merupakan salah satu faktor pendukung dalam membentuk self-regulation. Proses dalam mencapai penerimaan diri yang baik oleh tentara penyandang disabilitas dibentuk seiring dengan adanya penghargaan terhadap diri sendiri. Semakin tentara penyandang disabilitas mampu meningkatkan penghargaan terhadap dirinya maka akan semakin baik pula penerimaan dirinya.

Hasil penelitian lainnya yang dilakukan oleh Purnaningtyas (2011) menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri adalah faktor internal yang berupa aspirasi realistis, keberhasilan, perspektif diri, wawasan sosial, konsep diri yang stabil dan faktor eksternal yang berupa dukungan dari keluarga dan lingkungan. Dalam penelitian tersebut mengatakan bahwa kedua subjek bisa menerima diri sendiri dengan baik dan menunjukkan bahwa masa kecil yang bahagia dan lingkungan keluarga yang harmonis dapat

(35)

43

menjadikan subjek sebagai pribadi yang stabil sehingga ketika mengalami kecelakaan, kedua subjek mempunyai modal internal yang kokoh untuk mendorongnya segera pulih dari keguncangan pasca kecelakaan. Faktor yang kondusif juga telah memberikan motivasi yang kuat bagi penerimaan diri yang positif pada kedua subjek laki-laki dewasa penyandang disabilitas fisik karena kecelakaan.

Jika dikaitkan dengan penelitian saat ini yang dilakukan oleh peneliti, faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi pembentukan penerimaan diri merupakan bagian proses pembentukan self-regulation dimana tentara penyandang disabilitas harus mempunyai perspektif diri, motivasi diri dan konsep diri yang stabil dalam mencapai self-regulation.

Penerimaan diri merupakan suatu tingkatan kesadaran individu tentang karakteristik kepribadiannya, akan kemauan untuk hidup dengan keadaan tersebut (Tentama, 2010). Dalam hal ini remaja penyandang cacat tubuh dapat menerima segala kekurangan serta kelebihan yang mereka punya dalam hidupnya dan juga mempunyai dorongan untuk dapat mengembangkan diri dengan kemampuan yang dimiliki. Untuk mengembangkan diri dalam mencapai penerimaan diri yang baik, seseorang dapat belajar dengan cara meregulasikan dirinya. Setiap orang akan berusaha untuk meregulasi fungsi dirinya dengan berbagai cara untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Apabila dikaitkan dengan penelitian yang ada saat ini maka dapat dilihat bahwa penerimaan diri mempengaruhi self-regulation pada tentara penyandang disabilitas. Hal ini ditunjukkan dengan adanya faktor-faktor yang medukung

(36)

44

penerimaan diri dan membentuk self-regulation pada tentara penyandang disabilitas.

(37)

45 2.5 Kerangka Pemikiran TENTARA Perang/Kecelakaan Disabilitas Self-regulation Receiving (penerimaan informasi). Evaluating (mengevaluasi informasi dan membandingkannya dengan norma-norma). Triggering (mendorong perubahan).

Searching (mencari pilihan). Formulating (merumuskan rencana).

Implementing (menerapkan rencana).

Assessing (menilai efektivitas rencana, mengevaluasi tahap 1 dan 2).

Penerimaan Diri

Nilai dan standart diri tidak di pengaruhi lingkungan luar. Keyakinan menjalani hidup. Bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukan.

Mampu menerima kritik dan saran subjektif mungkin. Tidak menyalahkan diri atas perasaannya terhadap orang lain.

Tidak ngin orang lain menolaknya dalam kondisi apapun.

Tidak menganggap dirinya berbeda dari orang lain. Tidak malu rendah diri. Tinggi

(38)

46 2.6 Hipotesis

Berdasarkan deskripsi teoritis dan kerangka berpikir di atas, maka dapat dilihat bahwa tentara yang mengalami kecelakaan dan peperangan yang membuat dirinya menjadi cacat/disabilitas, maka akan mengakibatkan gangguan pada penerimaan dirinya. Hipotesis menunjukkan semakin tinggi tingkat self-regulation pada tentara penyandang disabilitas, maka akan semakin baik penerimaan dirinya. Sebaliknya, jika semakin rendah tingkat self-regulation pada tentara penyandang disabilitas, maka akan semakin buruk pula untuk penerimaan dirinya.

Referensi

Dokumen terkait

Dari definisi-definisi mengenai sistem akuntansi diatas dapat kita simpulkan bahwa sistem akuntansi selain berkaitan erat dengan prosedur- prosedur, juga banyak

Berdasarkan definisi-definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa secara garis besar kinerja adalah sebagai hasil kerja seseorang karyawan secara kualitas dan kuantitas

Dari definisi - definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pada umumnya, pendapatan adalah aliran masuk aktiva atau penyelesaian kewajiban yang terjadi dalam suatu periode

Berdasarkan 8 konsep pada tabel diatas mengenai definisi kinerja menurut pendapat beberapa ahli, maka penulis memilih menggunakan konsep yang sesuai dengan fenomena yang

Menurut pengertian diatas mengenai definisi menurut para ahli return on asset (ROA) merupakan rasio yang bertujuan untuk mengukur efektifitas dan mengetahui seberapa mampu

Dari ketiga definisi diatas yang dikemukakan oleh beberapa ahli, dapat disimpulkan bahwa manajemen sumber daya manusia merupakan suatu kegiatan pengelolaan dan

Berdasarkan definisi-definisi tersebut diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa psychological well-being adalah suatu keadaan kehidupan yang berjalan baik, ditunjukkan

Dari definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa loyalitas merupakan suatu sikap positif konsumen terhadap suatu produk atau jasa yang disertai dengan perilaku pembelian