• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Service Encounter

2.1.1 Pengertian Service Encounter

Dalam bisnis jasa, aspek-aspek terpenting dan menjadi faktor yang membedakan dari bisnis manufaktur adalah terjadinya pertemuan dan interaksi antar wakil perusahaan yang biasnya diwakili oleh para karyawan dengan para pelanggan secara teratur dan terus menerus. Pendapat ini didasarkan kepada Zeithaml, Bitner dan Gremler 2006:267 (www.wordpress.com), menyatakan bahwa:

Service are produces and consumed simultaneously and often involved interaction beetwen and Consumer.

Pendapat tersebut menyatakan bahwa jasa diproduksi dan dikonsumsi secara simultan dan hampir pada umunya melibatkan interaksi antara karyawan dan konsumen. Bentuk interaksi seperti jasa dikenal sebagai Service Encounter. Bentuk interaksi inilah yang merupakan inti dari setiap usaha jasa.

Pernyataan tersebut mengacu kepada pendapat dari Heskett, Sasser dan Hart (1990: 2) yang menyatakan bahwa:

At the heart of every service in the service encounter.

Pendapat tersebut menyatakan bahwa inti dari setiap kegiatan jasa adalah proses Service Encounter. Pernyataan itu pula yang menguatkan pentingnya interaksi antara penyedia jasa dengan para pelanggannya.

Selain hal yang mutlak terjadi dalam bidang jasa, Service Encounter pun dapat dijadikan salah satu faktor yang bisa dijadikan keunggulan bersaing bagi suatu perusahaan jasa agar dapat terus bertahan dalam tingkat persaingan bisnis yang ketat.

Secara umum Service Encounter diartikan sebagai suatu pertemuan jasa. Namun beberapa para ahli berikut mendefinisikan Service Encounter secara berbeda-beda.

(2)

Menurut Bateson yang dikutip oleh Wulan Sari (2008:37), mendefinisikan Service Encounter sebagai berikut:

Face to face interaction between buyer and seller in an service marketing .

Definisi diatas menyatakan bahwa Service Encounter merupakan interaksi secara langsung antara pembeli (pelanggan) dengan penjual (penyedia jasa) dalam suatu pemasaran jasa.

Zeithaml, Bitner dan Gremler 2006:125 (http//sriharso.wordpress.com), mendefinisikan Service Encounter sebagai berikut:

The customer interact with the service firm.

Definisi ini lebih singkat dan mengandung pengertian yang lebih umum dengan menyatakan bahwa Service Encounter merupakan suatu interaksi antar pelanggan (customer) dengan perusahaan jasa.

Dari definisi yang telah dikemukakan para ahli diatas, ternyata terdapat adanya kesamaan pendapat dimana seluruh para ahli tersebut menyatakan bahwa Service Encounter merupakan suatu interaksi antara para penjual jasa, yaitu para perusahaan jasa dengan pembeli jasa yang juga dikenal sebagai pelanggan, yang bentuknya dapat berupa kegiatan tatap muka secara langsung.

Selain pendapat-pendapat diatas, masih terdapat pendapat ahli yang turut memberikan definisi Service Encounter seperti yang dikemukakan oleh Heskett dkk (1990:2) yang menyatakan Service Encounter sebagai:

Service Encounter is the event at which a customer into contact with a service provider, its people, its communications and other technology and the service it provided.

Definisi diatas mengemukakan bahwa Service Encounter merupakan saat dimana pihak pemasaran, operasional, dan manajemen sumber daya manusia perusahaan mempunyai peran yang sangat besar dalam proses penciptaan dan penyampaian jasa yang sesuai dengan kebutuhan.

Melihat pentingnya Service Encounter terhadap loyalitas pelanggan, Zeithaml, Bitner dan Gremler 2006:129 (http//sriharso.wordpress.com), menyatakan terdapat empat indikator yang dapat menentukan puas atau tidak dan

(3)

loyal atau tidak seorang pelanggan terhadap Service Encounter yang terjadi. Keempat dimensi tersebut menurut adalah sebagai berikut:

1. Adaptability

Employee response to customer needs and request.

Adalah bagaimana respon/ tanggapan para karyawan terhadap permintaan dan keinginan yang dating dari pihak pelanggan.

2. Coping

Employee response to problem customer.

Bagaimana sikap/tanggapan para karyawan/staff dalam membantu setiap kesulitan/ masalah yang dihadapi oleh para pelanggannya selama proses Service Encounter dilakukan.

3. Spontaneity

Unpromt and unsolicited employee actions.

Adalah sikap dan tingkah laku dari para karyawan terhadap para pelanggannya pada saat interaksi antara kedua pihak tersebut terjadi.

4. Recorvery

Employee response to service delivery system failures.

Menurut dimensi ini kepuasan pelanggan dapat dibentuk dari bagaimana respon/tanggapan para karyawan terhadap kesalahan-kesalahan yang terjadi selama proses penyampaian jasa dilakukan.

Tjiptono (2006:143) mengemukakan secara garis besar, service encounter bisa dikelompokan menjadi tiga macam yaitu:

1. Remote encounter

Service encounter berlangsung tanpa kontak langsung dengan karyawan, contohnya pelanggan berinteraksi dengan bank melalui ATM, dengan pengecer tertentu lewat internet.

2. Phone encounter

Mayoritas interksi dilakukan melalui telepon, contohnya perusahaan asuransi, telekomunikasi, dan layanan publik.

(4)

3. Face-to-face encounter

Merupakan yang paling kompleks dari tiga tipe service encounter, contohnya tempat rekreasi/ hiburan, pelanggan berinteraksi dengan penjual tiket,staf pemeliharaan, petugas kebersihan, petugas keamanan, dan lain-lain.

2.2 Jasa

2.2.1 Pengertian Jasa

Setiap manusia memiliki keinginan serta kebutuhan yang berbeda beda dan beragam yang terus meningkat seiring dengan berjalannya waktu, baik jumlah maupun ragam jenisnya Kebutuhan yang tidak terpenuhi membuat orang tahu seseorang menjadi tidak puas, sehinggan ia akan berusaha mencari sesuatu yang memenuhi kebutuhannya. Pemenuhan atas keinginan biasanya dilakukan dengan bebagai cara seperti dengan memproduksi sendiri, memperoleh dengan mengadakan pertukaran. Telah banyak para ahli yang mengemukakan beberapa definisi-definisi mengenai pengertian jasa. Diantaranya adalah menurut Lovelock & Wright 2005:5 (http://digilib.petra.ac.id), mendefinisikan jasa adalah:

Kegiatan ekonomi yang menciptakan dan memberikan manfaat bagi pelanggan pada pada waktu dan tempat tertentu, sebagai hasil dari tindakan mewujudkan perubahan yang diinginkan dalam diri atau atas nama penerima jasa tersebut.

Definisi tersebut menjelaskan bahwa jasa merupakan kegiatan ekonomi yang menciptakan dan memberikan manfaat bagi pelanggan pada waktu dan tempat tertentu manfaat yang diberikan berupa keuntungan atau laba yang diperoleh pelanggan dari kinerja jasa atau penggunaan barang fisik. Sebagai hasil dari tindakan mewujudkan perubahan yang diinginkan dalam diri atau atas nama penerima.

Sedangkan menurut Kotler (Tjiptono 2006:16), mengemukakan pengetian jasa sebagai berikut:

An service is any act or performance that one party can offer to another that is essentially intangible and does not result in the ownership of anything. Its production may or may not be tied to a physical product .

(5)

Jasa adalah setiap tindakan atau kinerja yang ditawarkan oleh satu pihak ke pihak lain yang secara prinsip tidak berwujud dan tidak menyebabkan perpindahan kepemilikan. Produk jasa dapat terikat atau tidak terikat pada suatu produk fisik.

Pengertian jasa secara luas dikemukakan oleh Zeithaml, Bitner & Gremler 2003:3 (www.demandiri.or.id), adalah sebagai berikut:

Include all economic activities whose output is not a physical product or construction, is generally consumed at the time it is produced, and provides added value in forms (such as convenience, amusement, timelines, comfort or health) that are essentially intangible concerns of its first purchaser.

Dari definisi diatas dapat diartikan bahwa jasa merupakan keseluruhan aktivitas ekonomi dimana output yang dihasilkan tidak berupa produk yang berbentuk fisik dan pengkonsumsian jasa, umumnya dilakukan pada saat jasa tersebut diproduksi dan terdapat penambahan nilai pada bentuknya (seperti keyakinan, kesukaan, kenyamanan, kesehatan) merupakan hal yang paling penting yang dipertimbangkan pada saat pembelian pertama.

Dari keseluruhan definisi diatas terdapat satu kesamaan pendapat yang menyatakan bahwa pada dasarnya jasa mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

a) Suatu yang tidak berwujud, tetapi dapat memenuhi kebutuhan konsumen.

Proses produksi jasa dapat menggunakan atau tidak menggunakan bantuan suatu produk fisik.

b) Jasa tidak mengakibatkan peralihan hak atau kepemilikan. c) Terdapat interaksi antara penyedia jasa dengan pengguna jasa.

2.2.2 Klasifikasi Jasa

Industri jasa sangat beragam, sehingga tidak mudah untuk menyamakan cara pemasaranya. Klasifikasi jasa dapat membantu memahami batasan-batasan dari industri jasa dan memanfaatkan pengalaman industri jasa lainnya yang

(6)

mempunyai masalah dan karakteristik yang sama untuk diterapkan pada suatu bisnis jasa.

Menurut Lovelock, Evans dan Berman (Tjiptono 2006:26), klasifikasi jasa tersebut dapat dilakukan berdasarkan tujuan kriteria yaitu:

1) Segmen Pasar

Berdasarkan segmen pasar, jasa dapat dibedakan menjadi jasa kepada konsumen akhir seperti jasa angkutan umum, taksi, asuransi jiwa, dan pendidikan dan jasa konsumen organisasional seperti jasa akuntansi dan perpajakan, jasa konsultasi manajemen, hukum perbedaan utama antara kedua segmen tersebut terletak pada alasan dalam memilih jasa, kuantitas jasa yang dibutuhkan dan kompleksitas pengerjaan jasa tersebut.

2) Tingkat Keberwujudan

Kategori ini berhubungan dengan tingkat keterlibatan produk fisik dengan konsumen. Berdasarkan kriteria ini, jasa dapat dibedakan menjadi:

a. Rented goods service

Dalam jenis ini, konsumen menyewa dan menggunakan produk-produk tertentu berdasarkan tarif tertentu selama jangka waktu tertentu pula. Contohnya penyewaan mobil, VCD, villa, dan apartemen.

b. Owned goods service

Pada kriteria ini produk-produk yang sebelumnya dimiliki konsumen telah dilakukan suatu perbaikan atau reparasi, dikembangkan atau ditingkatkan untuk kinerjanya, atau bahkan dipelihara dan dirawat oleh perusahaan yang menawarkan jasa tersebut. Jenis jasa ini juga mencakup perubahan bentuk pada produk yang dimiliki konsumen. Seperti pencucian mobil, pencucian pakaian (laundry and dry cleaning), jasa reparasi (mobil, computer dll).

3) Keterampilan Penyedia Jasa

Berdasarkan tingkat keterampilan penyedia jasa, jasa terdiri atas beberapa kriteria tertentu dari mulai Professional Service seperti konsultan manajemen, dokter, perawat, dosen hingga Non Professional Service seperti supir taksi, kuli

(7)

bangunan. Pada jasa yang memerlukan keterampilan tinggi dalam proses operasinya, pelanggan akan cenderung sangat selektif dalam penyedia jasa, sebaliknya jika tidak memerlukan suatu keterampilan tinggi, seringkali tingkat loyalitas pelanggan rendah karena penawarannya sangat banyak.

4) Tujuan Organisasi Jasa

Berdasarkan tujuan organisasi, jasa dapat dibagi-bagi menjadi Commercial Service seperti atau Profit Service Bank, jasa parsel dan Non Profit Service seperti yayasan-yayasan, atau panti-panti.

5) Regulasi

Aspek ini membagi jasa menjadi Regulated Service seperti pialang. AngkutanUmum, dan perbankan, dan Non Regulated Service seperti makelar, catering.

6) Tingkat Intensitas Karyawan

Berdasarkan intensitas karyawan (keterlibatan), jasa dapat dikelompokkan menjadi:

a. Equipment Based Service

Seperti pada jasa-jasa cuci mobil otomatis, jasa sambungan telepon jarak jauh, ATM, Vending Manchines dan binatu. Perusahaan ini lebih mengandalkan kepada penggunaan mesin dan peralatan canggih yang dapat dikendalikan atau dipantau secara otomatis atau semi otomatis. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menjaga konsistensi kualitas jasa yang diberikan.

b. People Based Service

Seperti jasa-jasa yang diberikan oleh pelatih suatu keterampilan, dosen, konsultasi hukum, arsitek, dokter. Pada jasa ini ditemukan pada perusahaan yang memang memerlukan banyak para ahli dan apabila pemberian jasa itu harus dilakukan di rumah atau di tempat usaha pelanggan.

7) Tingkat Kontak Penyedia Jasa Pelanggan

Berdasarkan tingkat kontak ini secara umum jasa dapat dikategorikan lagi menjadi High-Contact Service (seperti universitas, bank, dokter, dan sekolah) dan

(8)

Low-Contact Service seperti pada jasa bioskop. Pada jasa yang tingkat kontak dengan pelayanannya cukup tinggi, keterampilan dari tiap interpersonal karyawan sangat perlu diperhatikan oleh perusahaan jasa, karena menekankan pula pada pembinaan hubungan baik dengan orang lain, misalnya sopan santun, komunikatif. Sebaliknya pada jasa yang tingkat kontak dengan pelanggan rendah, keahlian tekhnis dari karyawan itu sendiri paling penting.

2.2.3 Karakteristik Jasa

Sifat-sifat khusus jasa yang menyatakan diberikan oleh suatu pihak kepada pihak lain yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan terjadinya perpindahan kepemilikan perlu diperhatikan dan dipertimbangkan dalam merancang program pemasaran. Menurut Kotler (2000:429), jasa memiliki empat ciri utama yang sangat mempengaruhi rancangan program pemasaran, yaitu sebagai berikut:

1. Intangibility (Tidak Berwujud)

Hal ini menyebabkan konsumen tidak dapat melihat, mencium, meraba, mendengar dan merasakan hasilnya sebelum mereka membelinya. Untuk mengurangi ketidakpastian, konsumen akan mencari informasi tentang jasa tersebut, seperti lokasi perusahaan, para penyedia dan penyalur jasa, peralatan dan alat komunikasi yang digunakan serta harga produk jasa tersebut.

2. Inseparability (Tidak Terpisahkan)

Jasa tidak dapat terpisahkan dari sumbernya, yaitu perusahaan jasa yang menghasilkannya. Jasa diproduksi dan dikonsumsi pada saat bersamaan. Jika konsumen membeli suatu jasa maka ia akan berhadapan langsung dengan sumber atau penyedia jasa tersebut, sehingga penjualan jasa lebih diutamakan untuk penjualan langsung dengan skala operasi terbatas. Untuk mengatasi masalah ini, perusahaan dapat menggunakan strategi-strategi, seperti bekerja dalam kelompok yang lebih besar, bekerja lebih cepat, serta melatih pemberi jasa agar mereka mampu membina kepercayaan konsumen.

(9)

3. Variability (Bervariasi)

Jasa yang diberikan sering kali berubah-ubah tergantung dari siapa yang menyajikannya, kapan dan dimana penyajian jasa tersebut dilakukan. Hal ini mengakibatkan sulitnya menjaga kualitas jasa berdasarkan suatu standar. Menurut Tjiptono (2000:17-18) untuk mengatasi hal tersebut, perusahaan dapat menggunakan tiga pendekatan dalam pengendalian kualitasnya, yakni:

a. Melakukan investasi dalam seleksi dan pelatihan personil yang baik b. Melakukan standarisasi proses produksi jasa

c. Memantau kepuasan pelanggan melalui sistem saran dan keluhan, survey pelanggan sehingga pelayanan yang kurang baik dapat diketahui dan diperbaiki.

4. Perishability (Mudah Musnah)

Jasa tidak dapat disimpan atau mudah musnah sehingga tidak dapat dijual pada masa yang akan datang. Keadaan mudah musnah ini bukanlah suatu masalah jika permintaan stabil, karena mudah untuk melakukan persiapan pelayanan sebelumnya. Jika permintaan berfluktuasi, maka perusahaan akan menghadapi masalah yang sulit dalam melakukan persiapan pelayanannya. Untuk itu perlu dilakukan perencanaan produk, penetapan harga, serta program promosi yang tepat untuk mengatasi ketidaksesuaian antara permintaan dan penawaran jasa.

2.3 Loyalitas Pelanggan

2.3.1 Pengertian Loyalitas Pelanggan

Loyalitas pelanggan memiliki peran penting dalam sebuah perusahaan, mempertahankan mereka berarti meningkatkan kinerja keuangan dan mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan, hal ini menjadi alasan utama bagi sebuah perusahaan untuk menarik dan mempertahankan mereka. Usaha untuk memperoleh pelanggan yang loyal tidak bisa dilakukan sekaligus, tetapi melalui beberapa tahapan, mulai dari mencari pelanggan potensial sampai memperoleh patners. Sebelum membahas lebih jauh mengenai tahapan pembentukan loyalitas pelanggan, berikut ini akan diuraikan definisi loyalitas pelanggan.

(10)

Menurut Lovelock & Wright 2005:133 (www.journal.ui.ac.id), Loyalitas pelanggan adalah:

Merupakan keputusan pelanggan secara suka rela terus berlangganan dengan perusahaan tertentu dalam jangka waktu yang lama.

Definisi diatas mengemukakan bahwa loyalitas merupakan kesediaan pelanggan untuk terus berlangganan pada sebuah perusahaan dalam jangka panjang, dengan membeli dan menggunakan barang dan jasanya secara berulang-ulang dan lebih baik lagi secara eksklusif, dan dengan sukarela merekomendasikan produk perusahaan tersebut kepada teman-teman dan rekan-rekannya.

Menurut Griffin (2005:5) Loyalitas pelanggan adalah :

Loyalti is defined as non random purchase expressed over time by some decision making unit.

Berdasarkan definisi tersebut dapat dijelaskan bahwa loyalitas lebih mengacu pada wujud perilaku dari unit-unit pengambilan keputusan untuk melakukan pembelian secara terus menerus tehadap barang/ jasa suatu perusahaan yang dipilih secara teratur, membeli antarlini produk/ jasa, mereferensikan kepada orang lain, menunjukan kekebalan terhadap tarikan dari pesaing.

Selanjutnya Griffin (2005:13), mengemukakan keuntungan-keuntungan yang akan dieroleh perusahaan apabila memiliki pelanggan yang loyal antara lain: 1) Dapat mengurangi biaya pemasaran (karena biaya untuk menarik

pelanggan yang baru lebih mahal). 2) Dapat mengurangi biaya transaksi.

3) Dapat mengurangi biaya turn over konsumen (karena penggantian konsumen yang lebih sedikit).

4) Dapat meningkatkan penjualan silang, yang akan memperbesar pangsa pasar perusahaan.

5) Mendorong word of mount yang lebih positif, dengan asumsi bahwa pelanggan yang loyal juga berarti mereka yang merasa puas.

(11)

Menurut Gremler & Brown (Suhartanto & Sutisna, 2000:13), mendefinisikan loyalitas sebagai berikut:

Service Loyalty is the degree exhibits repeat purchasing behavior from a service provider, posseses a positive attitude disposition toward the provider, and considers using only this provider when a need for this service arises.

Dari definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa loyalitas pelanggan melibatkan dua dimensi yaitu perilaku dan sikap, dimana dalam perilaku dan sikap pelanggan ditunjukan bahwa pelanggan yang setia tidak hanya mengulangi pembelian saja di lain waktu, tapi juga memberikan kesan yang positif kepada perusahaan dengan cara merekomendasikan pembelian kepada orang lain.

Berdasarkan pendapat Gremler & Brown (Suhartanto & Sutisna, 2004:14), dimensi dari loyalitas pelanggan ada dua, yaitu sikap (attitudinal dimension) dan perilaku (behavioral dimension). Brown & Shoemaker (Suhartanto & Sutisna, 2000:14), menerangkan bahwa dimensi perilaku adalah aspek dari perilaku pelanggan, seperti pembelian berulang, yang ditujukan pada suatu barang atau jasa dalam kurun waktu, dan memberikan referensi.

Dari sumber yang sama, dimensi sikap didefinisikan sebagai niat dan preferensi konsumen untuk menggunakan suatu jasa atau produk tertentu. Dimensi ini penting karena adanya keinginan seorang pelanggan untuk bertransaksi di suatu perusahaan penyedia jasa dan menjadikan perusahaan tersebut sebagai pilihan utama dan pertama baginya serta akan mencerminkan bahwa ia adalah seorang pelanggan yang setia. Dengan demikian, perusahaan akan menghemat biaya untuk mempertahankan dan atau mencari konsumen baru bagi perusahaan itu dengan sendirinya.

2.3.2 Karakteristik Loyalitas Pelanggan

Pelanggan yang loyal merupakan asset penting bagi perusahaan, hal ini dapat dilihat dari karakteristik yang dimilikinya, banyak perusahaan yang

(12)

mengandalkan kepuasan pelanggan sebagai jaminan keberhasilan dikemudian hari tetapi kemudian kecewa mendapati pelanggannya yang merasa puas dapat belanja produk pesaing tanpa ragu ragu. Sebaliknya, loyalitas pelanggan tampaknya merupakan ukuran yang lebih dapat diandalkan untuk memprediksi pertumbuhan penjualan dan keuangan.

Berbeda dari kepuasan yang merupakan sikap, loyalitas dapat didefenisikan berdasarkan perilaku pembeli, sebagaimana diungkapkan Griffin (2005:31), pelanggan yang loyal memiliki karakteristik sebagai berikut:

a) Melakukan pembelian berulang secara teratur. b) Membeli antar lini produk dan jasa.

c) Mereferensikan kepada orang lain.

d) Menunjukan kekebalan terhadap tarikan dari pesaing.

Sedangkan menurut Lovelock yang dikutip Nelova Hutabarat (2006:27) karekteristik pelanggan loyal antara lain adalah:

a. Reparchase (pembelian ulang)

Yaitu melakukan transaksi secara berulang setiap waktu.

b. Retention (perhatian dan fanatisme)

Menunjukan adanya perhatian pelanggan tentang apa yang dilakukan perusahaan, memberikan informasi dan keuntungan.

c. Refferal (pemberian referensi)

Menunjukan tindakan pelanggan dalam memberikan referensi kepada relasinya untuk mengkonsumsi suatu produk atau menggunakan yang telah dirasakan.

(13)

2.2.3 Tahapan Loyalitas Pelanggan

Proses seorang calon pelanggan untuk menjadi pelanggan yang loyal terhadap perusahaan terbentuk melalui beberapa tahapan. Tahapan loyalitas pelanggan menurut Griffin (2005: 35), adalah sebagai berikut:

1. Suspect (tersangka)

Meliputi semua orang yang mungkin akan membeli barang/jasa tetapi belum tahu apapun mengenai perusahaan dan barang/jasa yang ditawarkan

2. Prospects (prospek)

Merupakan orang-orang yang memiliki kebutuhan akan produk atau jasa tertentu dan mempunyai kemampuan untuk membelinya. Para prospects ini, meskipun mereka belum melakukan pembelian, mereka telah mengetahui keberadaan perusahaan akan barang/jasa yang ditawarkan, karena seseorang telah merekomendasikan barang/jasa tersebut padanya.

3. Disqualified Prospects (prospek yang didiskualifikasi)

Yaitu prospects yang telah mengetahui keberadan barang/jasa tertentu, tetapi tidak mempunyai kebutuhan akan barang/jasa tersebut atau tidak mempunyai kemampuan untuk membeli barang/jasa tersebut.

4. First Time Customer (pelanggan pertama kali)

Yaitu pelanggan yang membeli pertama kalinya. Mereka masih menjadi pelanggan yang baru.

5. Repeat Customer (pelanggan berulang)

Yaitu pelanggan yang telah melakukan pembelian suatu produk sebanyak dua kali atau lebih. Mereka adalah yang melakukan pembelian atas produk yang sama sebanyak dua kali, atau membeli dua macam produk yang berbeda dalam dua kesempatan yang berbeda pula.

6. Clients (klien)

Clients membeli semua barang/jasa yang ditawarkan dan mereka butuhkan. Mereka membeli secara teratur, hubungan dengan jenis pelanggan ini sudah kuat dan berlangsung lama, yang membuat mereka tidak terpengaruh oleh produk pesaing.

(14)

7. Advocates (penganjur)

Seperti halnya clients, advocates membeli barang/jasa yang ditawarkan dan yang mereka butuhkan, serta melakukan pembelian secara teratur. Selain itu mereka mendorong teman-teman mereka agar mereka membeli barang/jasa perusahaan atau merekomendasikan perusahaan tersebut pada orang lain, dengan begitu secara tidak langsung mereka telah melakukan pemasaran untuk perusahaan dan membawa konsumen untuk perusahaan.

Tahapan loyalitas yang diungkapkan oleh Griffin tersebut dikenal dengan istilah Profit Generator System seperti terlihat pada gambar berikut:

Gambar 2.1

Profit Generator System

Sumber: Griffin (2002:36)

Suspect

Prospect

Disqualified Prospect

First Repeat Client

(15)

Cara kerja Profit Generator System menurut Griffin (2002:36) di atas adalah sebagai berikut:

Seluruh suspect masuk kedalam sistem pemasaran, kemudian akan tersaring menjadi qualified prospect dan disqualified prospect. Dalam hal ini, disqualified prospects tidak menguntungkan bagi perusahaan, maka disqualified prospect keluar dari system, sementara disqualified prospect masuk ke proses selanjutnya. Semakin cepat menentukan disqualified prospect, semakin menguntungkan bagi perusahaan karena proses ini menghabiskan uang dan waktu yang dimiliki. Kemudian seluruh disqualified prospect difokuskan menjadi first time buyers, setelah itu di dorong menjadi repeat customer, loyal clients dan paling akhir menjadikan mereka sebagai advocates bagi perusahaan dimana para advocates ini akan mempengaruhi orang lain agar membeli produk dari perusahaan.

Bagi perusahaan yang telah memiliki first time buyers, repeat customer atau clients tidak selamanya menguntungkan bagi perusahaan, karena setiap saat sebagian dari mereka dapat menghilang dari perusahaan atau tidak kembali lagi pada perusahaan, mereka dinamakan inactive customer/clients. Hal seperti ini harus diperhitungkan karena kehilangan mereka berarti kerugian bagi perusahaan.

2.2.4 Penggolongan Loyalitas

Penggolongan loyalitas dibagi berdasarkan pembelian ulang dan tingkat perlengkapannya:

Tabel 2.1 Empat Jenis Loyalitas

Pembelian berulang Tinggi Rendah Tinggi Loyalitas premium Loyalitas tersembunyi Rendah Loyalitas yang lemah Tanpa loyalitas

Sumber: Griffin, Customer Loyalti (How to Earn How to Keep It), Lexinton Books, 2005:22

(16)

Keterangan:

1. Tanpa Loyalitas (No Loyalty), dimana beberapa konsumen yang tidak loyal terhadap suatu produk atau jasa.

2. Loyalitas yang Lemah (Interia Loyalty), dimana tingkat perlengkapan yang rendah dengan tingkat pengulangan pembelian konsumen. Pada bagian ini melakukan pembelian diluar kebiasaannya. Mereka membeli lebih karena mereka membutuhkan atau karena produk tersebut cocok. 3. Loyalitas Tersembunyi (Latent Loyalty), tingkat sikap yang relatif tinggi

dikombinasikan dengan rendahnya tingkat pembelian ulang. Ketika konsumen ada pada situasi ini efek lebih menentukan pembelian ulang. 4. Loyalitas Premium (Premium Loyalty), tipe ini merupakan yang paling

berpengaruh dari keempat tipe yang ada. Pada tingkat pilihan yang tinggi, konsumen merasa bangga atas penemuan dan penggunaan produk dan dengan senang hati mereka berbagi apa yang mereka ketahui itu dengan keluarga dan orng-orang yang terdekat lainnya.

2.3 Hubungan Service Encounter dengan Loyalitas Pelanggan

Bentuk interaksi yang terjadi antara para pelanggan dengan perusahaan yang diwakilkan kepada karyawannya merupakan sesuatu yang sangat penting. Hal ini mengacu kepada pendapat dari Heskett et el (1990:65) mengatakan:

moment of truth at which the representative of a service company must prove to their customers that their company is the best alternative.

Bagi konsumen tingkat kepuasan yang didapatnya dari hasil interaksi dengan para wakil perusahaan tersebut akan menjadi tolak ukur menilai kualitas suatu perusahaan jasa dan juga menjadi pertimbangan untuk melakukan pengkonsumsian ulang (repeat buying). Sedangkan bagi perusahaan, pemberian Service Encounter yang baik bertujuan akhir untuk menciptakan kepuasan pelanggan atau yang bisa di bilang loyalitas pelanggan (customer loyalty), yang merupakan tujuan final dari setiap usaha bisnis.

(17)

at the heart of every service is the service encounter.

Definisi diatas menyatakan bahwa Service Encounter merupakan jantung atau inti dari sebuah usaha jasa. Pendapat diatas menguatkan pentingnya interaksi antara service provider dengan para pelanggannya. Sehingga service encounter yang diberikan perusahaan melalui para service provider dinilai baik oleh pelanggan dan dapat memuaskan mereka, maka hal tersebut dapat menjadi keuntungan bagi perusahaan karena akan tercipta loyalitas pelanggan (customer loyalty).

Referensi

Dokumen terkait

1. Dengan mengamati contoh gerak saling mendorong yang diperagakanoleh guru, siswa dapat menjelaskan prosedur gerak bertumpu padatangan dengan runtun dan percaya diri.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dibahas dalam Bab IV, didapatkan hasil bahwa adanya hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan formal berdasarkan

Telekomunikasi (Telkom) Akses Jambi dirasakan menyulitkan calon pelanggan baru dalam proses pelayanan untuk pemasangan telepon, dan modem speedy, selain itu informasi

Sejak Januari 2015, Indonesia mengalami peningkatan pengguna aktif internet sebesar 15%, pengguna aktif media sosial sebesar 10%, akses informasi melalui

Laba Kotor belum cukup untuk menutup Beban Usaha dan Beban Pendanaan, sehingga Perseroan mengalami Rugi Usaha Setelah Beban Pendanaan sebesar Rp157,33 miliar, ditambah Beban

Dari keseluruhan hasil analisis mikrostruktur dengan uji SEM, menambah bukti yang semakin jelas bahwa spesimen pelat baja dengan anoda korban yang diberikan perlakuan panas

Pemohon yang tersebut di bawah ini telah memohon kepada saya supaya tanah yang dibutirkan di bawah ini dijadikan Kawasan Rizab Melayu di bawah peruntukan-peruntukan

Dari 18 rumah yang digunakan sebagai sampel dalam penelitian Rahayu (Rahayu, 2010) dan pengamatan 6 rumah yang di observasi yang terletak di Dusun Lakah, dapat