• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PENDEKATAN TEORITIS"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Bawang Merah

Menurut Rahayu dan Berlian (1999) tanaman bawang merah dapat di klasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Plantae Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Ordo : Liliales Family : Liliaceae Genus : Alium

Spesies : Alium ascalonicum L.

Bawang merah atau Brambang (Allium ascalonicum L.) adalah nama tanaman dari Familia Alliaceae dan nama dari umbi yang dihasilkan. Umbi tanaman bawang merah merupakan bahan utama untuk bumbu dasar masakan Indonesia. Bawang merah juga bisa di manfaatkan sebagai obat herbal. Bawang merah memiliki nama lokal di antaranya: bawang abang mirah (Aceh), bawang abang (Palembang), dasun merah (Minangkabau), bawang suluh (Lampung), bawang beureum (Sunda), brambang abang (Jawa), bhabang merah (Madura), dan masih banyak lagi yang lainnya, masing-masing daerah memiliki sebutan tersendiri.

Bawang merah merupakan tanaman semusim dan memiliki umbi yang berlapis. Tanaman mempunyai akar serabut, dengan daun berbentuk silinder berongga. Umbi terbentuk dari pangkal daun yang bersatu dan membentuk batang yang berubah bentuk dan fungsi, membesar dan membentuk umbi berlapis. Umbi

(2)

bawang merah terbentuk dari lapisan-lapisan daun yang membesar dan bersatu. Umbi bawang merah bukan merupakan umbi sejati seperti kentang atau talas.

2.1.2. Usahatani

Usahatani menurut Rifa‟i dalam Soeharjo dan Dahlan (1973) adalah setiap organisasi dari alam tenaga kerja dan modal yang ditunjukkan kepada produksi di lapangan pertanian, dimana ketatalaksanaan organisasi tersebut dilaksanakan oleh seseorang atau kekumpulan orang-orang. Definisi lain

mengenai usahatani1 adalah suatu ilmu yang mempelajari seseorang

mengusahakan dan mengkoordinirkan faktor-faktor produksi berupa lahan dan alam sekitarnya sebagai modal sehingga memberikan manfaat yang sebaik-baiknya. Usahatani dikatakan berhasil apabila dapat memenuhi kewajiban membayar bunga modal, alat-alat luar yang digunakan, upah tenaga kerja luar serta sarana produksi yang lain dan termasuk kewajiban pada pihak ketiga.

2.1.3. Pengertian Rumahtangga Pertanian

Rumahtangga adalah seseorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik serta biasanya tinggal bersama dan menkonsusmsi makanan yang berasal dari satu dapur, dimana biasanya kebutuhan sehari-hari anggotanya dikelola menjadi satu. Adapun yang dimaksud dengan rumahtangga pertanian adalah rumahtangga yang sekurang-kurangnya satu anggota rumahtangga melakukan kegiatan bertani atau berkebun, menanam tanaman, beternak, dan lain-lain dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya dijual untuk memperoleh pendapatan ataupun keuntungan atas resiko sendiri. Dengan demikian, yang dimaksud dengan rumahtangga usahatani adalah rumahtangga yang salah satu atau lebih anggotanya mengolah lahan pertanian, baik lahan basah (sawah) maupun lahan kering, membudidayaakan tanaman pertanian, melakukan pengambilan hasil lahan pertanian dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya dimanfaatkan sendiri atau dijual untuk memperoleh pendapatan atau pun keuntungan atas resiko sendiri (Pratiwi, 2007).

1 http://wahyuaskari.wordpress.com/umum/evaluasi-usaha-tani/ diakses pada tanggal 20

(3)

2.1.4. Gender dan Kesetaran Gender

Secara mendasar, gender berbeda dari jenis kelelamin biologis. Konsep gender berbeda dengan jenis kelamin. Handayani dan Sugiarti (2008) mengungkapkan bahwa jenis kelamin (seks) adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis melekat pada jenis kelamin tertentu. Lebih lanjut Handayani menjelaskan, seks berarti perbedaan laki-laki dan perempuan sebagai makhluk yang secara kodrati memiliki fungsi-fungsi organisme yang berbeda. secara biologis alat-alat biologis tersebut melekat pada laki-laki dan perempuan selamanya, fungsinya tidak dapat dipertukarkan. Secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologi atau ketentuan Tuhan (kodrat).

Oleh karena itu Handayani dan Sugiarti (2008) mengatakan bahwa konsep gender adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh faktor-faktor sosial maupun budaya, sehingga lahir beberapa angggapan tentang peran sosial dan budaya laki-laki dan perempuan. Begitu pula yang dikemukakan oleh Mugniesyah (2002) bahwa konsep gender adalah perbedaan sifat laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan oleh sistem nilai budaya dan struktur sosial. Bentukan sosial atas laki-laki dan perempuan itu antara lain: kalau perempuan dikenal sebagai makhluk yang lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Sifat-sifat di atas dapat dipertukarkan dan berubah dari waktu ke waktu sehingga, dapat dikatakan bahwa gender dapat diartikan sebagai konsep sosial yang membedakan (dalam arti: memilih atau memisahkan) peran antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan itu tidak ditentukan antara keduanya terdapat perbedaan biologis atau kodrat, tetapi dibedakan atau dipilah-pilah menurut kedudukan, fungsi dan peranan masing-masing dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan.

Qoriah (2008) menambahkan bahwa perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan ini terjadi melalui proses yang amat panjang. Melalui proses yang amat panjang inilah maka gender dianggap sebagai kodrat Tuhan yang tidak dapat diubah lagi. Perbedaan peran gender ini akan menimbulkan pembagian kerja yang berbeda pula antara laki-laki dan perempuan yang disebut dengan pembagian kerja gender. Pembagian kerja gender ini tercermin dalam tiga peran gender yaitu

(4)

reproduktif, produktif, dan sosial. Peran reproduktif adalah kegiatan yang berkaitan dengan melahirkan dan mempersiapkan keperluan keluarga tiap harinya. Peran produktif adalah kegiatan yang mengahasilkan produksi barang atau jasa, untuk dikonsumsi sendiri atau dijual. Sedangkan peran sosial adalah yang mencakup kegiatan sosial dan gotong royong dalam kehidupan masyarakat.

Konsep ILO dalam Mugniesyah (2007), pengertian tentang keadilan gender (gender equity) merupakan keadilan perlakuan bagi laki-laki dan perempuan berdasar pada kebutuhan-kebutuhan mereka, mencakup setara atau perlakuan yang berbeda akan tetapi dalam koridor pertimbangan kesamaan dalam hak-hak, kewajiban, kesempatan-kesempatan, dan manfaat.

Kemudian, kesetaraan gender (gender equality) adalah suatu konsep yang menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kebebasan untuk mengembangkan kemampuan personal mereka dan membuat pilihan-pilihan tanpa pembatasan oleh seperangkat stereotype, prasangka, dan peran gender yang kaku.

Kesetaraan dan keadilan gender adalah suatu kondisi dimana porsi dan siklus sosial perempuan dan laki-laki setara, serasi, seimbang dan harmonis. Kondisi ini dapat terwujud apabila terdapat perlakuan adil antara perempuan dan laki-laki. Penerapan kesetaraan dan keadilan gender harus memperhatikan masalah kontekstual dan situasional, bukan berdasarkan perhitungan secara matematis dan tidak bersifat universal.

Wujud Kesetaraan dan Keadilan Gender adalah:

a. Akses: Kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki pada sumber daya pembangunan..

b. Partisipasi: Perempuan dan laki-laki berpartisipasi yang sama dalam proses pengambilan keputusan.

c. Kontrol: perempuan dan laki-laki mempunyai kekuasaan yang sama pada sumber daya pembangunan.

d. Manfaat: pembangunan harus mempunyai manfaat yang sama bagi perempuan dan laki-laki.

(5)

2.1.5. Peranan Gender

Konsep gender dalam komunitas telah tertanam sebagai norma, sehingga konsep gender telah membeda-bedakan peranan laki-laki dan perempuan dalam pembagian kerja. Mugniesyah (2006) menjelaskan bahwa peranan gender merupakan suatu perilaku yang diajarkan pada setiap masyarakat, komunitas dan kelompok sosial tertentu yang menjadikan aktivitas-aktivitas, tugas-tugas dan tanggung jawab tertentu dipersepsikan oleh umur, kelas, ras, etnik,agama dan lingkungan geografi, ekonomi dan sosial.

Peranan gender adalah peranan yang dilakukan perempuan dan laki-laki sesuai status, lingkungan, budaya dan struktur masyarakatnya. Peranan gender menurut Prasodjo et al.( 2003) mencakup:

1. Peranan Produktif (Peranan yang dikerjakan perempuan dan laki-laki untuk memperoleh bayaran atau upah secara tunai atau sejenisnya. Termasuk produksi pasar dengan suatu nilai tukar, dan produksi rumahtangga atau subsisten dengan nilai guna, tetapi juga suatu nilai tukar potensial. Contoh bekerja di sektor formal dan informal )

2. Peranan Reproduktif (peranan yang berhubungan dengan tanggungjawab pengasuhan anak dan tugas-tugas domestic yang dibutuhkan untuk menjamin pemeliharan dan reproduksi tenaga kerja yang menyangkut kelangsungan keluarga. Contoh melahirkan, memelihara dan mengasuh anak, mengambil air, memasak, mencuci, membersihkan rumah, memperbaiki baju, dan sebagainya)

3. Peranan Pengelolahan Masyarakat dan Politik

a. Peranan Penglolaan Masyarakat atau Kegiatan Sosial (semua aktivitas yang dilakukan pada tingkat komunitas sebagai kepanjangan peranan reproduktif. Bersifat volunteer dan tanpa upah)

b. Pengelolaan Masyarakat Politik atau Kegiatan Politik (peranan yang dilakukan pada tingkat pengoorganisasian komunitas pada tingkat formal secara politik. Biasanya dibayar langsung atau tidak langsung dan dapat meningkatkan status)

(6)

2.1.6. Relasi Gender dalam Usahatani

Peranan gender berhubungan dengan relasi gender yang merujuk pendapat Agarwal (1994) dalam Mugniesyah (2007) diartikan suatu hubungan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki yang terlihat pada lingkup gagasan (ide), praktik dan representasi yang meliputi pembagian kerja, peranan, dan alokasi sumberdaya antara laki-laki dan perempuan. Berdasarkan definisi tersebut, relasi gender menitikberatkan hubungan kekuasaan (akses dan kontrol) antara laki-laki dan perempuan terhadap pembagian kerja, peranan, dan alokasi sumberdaya.

2.1.7. Analisis Gender

Analisis gender adalah analisis sosial (meliputi aspek ekonomi, budaya, dan sebagainya) yang melihat perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi kondisi (situasi) dan kedudukan (posisi) di dalam keluarga dan komunitas atau masyarakat. Fokus utama analisis situasi gender meliputi tiga bagian utama, yaitu: (1) pembagian kerja atau peran, (2) akses dan kontrol terhadap sumberdaya serta manfaat program pembangunan, dan (3) partisipasi dalam kelembagaan dan pengambilan keputusan di dalam keluarga . Pada tingkat keluarga/rumahtangga, analisis gender dilihat dari dua aspek yang pertama, pembagian kerja antara perempuan dan laki-laki dalam kegiatan produkstif, reproduktif, dan pengelolaan kelembagaan masyarakat serta curahan waktu dalam kegiatan tersebut. kedua, akses dan kontrol perempuan dan laki-laki terhadap sumberdaya keluarga (lahan,anak, harta, pendidikan).

2.1.8. Peran Dan Status Perempuan dalam Keluarga Inti

Sajogyo (1983) dalam Meliala (2006) keluarga inti terdiri dari seorang suami dan isteri, serta anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan, sedangkan keluarga merupakan suatu grup atau kelompok kekerabatan yang menggambarkan kesatuan berdasarkan keanggotaan. Dalam hubunganya, setiap anggota menempati posisi masing-masing dan perbendaharaan peran ini berdasarkan berbagai pertimbangan yang ada, seperti perbedaan umur, jenis kelamin, posisi ekonomi, perbedaan generasi dan perbedaan dalam pembagian kekuasaan.

(7)

Perbedaan posisi individu dalam keluarga hanya sebagian disebabkan oleh perbedaan biologis antara fisik yang kuat dan lemah, terlibat atau tidaknya dalam kegiatan seperti mengandung, menyusui, melahirkan, serta membesarkan bayi (Sajogyo 1983 )Laki-laki dianggap mempunyai fisik yang lebih kuat sehingga ditempatkan di sektor yang lebih membutuhkan kekuatan fisik untuk menguasainya, sedangkan sebaliknya perempuan ditempatkan di sector yang lebih ringan. Selain perbedaan biologis sebagian lagi dibedakan secara social dan budaya lingkungan keluarga itu.

Sajogyo (1983) dalam Meliala (2006) menjelaskan bahwa kekuasaan dinyatakan sebagai kemampuan untuk mengambil keputusan yang mempengaruhi kehidupan keluarga itu. Pembagian kerja menunjukan kepada pola peranan yang ada dalam keluarga dimana khusus suami dan isteri melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut. Sajogyo berpendapat bahwa ada dua tipe peranan yang dilakoni oleh perempuan, yaitu:

1. Pola peranan yang menggambarkan perempuan seluruhnya hanya dalam pekerjaan pemeliharaan kebutuhan hidup seluruh anggota keluarganya.

2. Pola peranan yang menggambarkan dua peranan, yaitu peranan dalam pekerjaan rumahtangga dan pekerjaan mencari nafkah.

2.1.9. Bentuk-Bentuk Ketidakadilan Gender

Perbedaan gender tidak akan menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketimpangan gender. Pada kenyataanya perbedaan gender tersebut telah melahirkan berbagai ketidakadilan terutama pada perempuan. Ketimpangan gender (permasalahan atau isu gender) dapat diartikan sebagai suatu kesenjangan antara kondisi normatif atau kondisi gender sebagaimana yang dicita-citakan dengan kondisi objektif atau kondisi gender sebagaimana adanya.

Fakih (1999) dalam Puspitasari (2006) menyatakan bahwa ketidakadilan gender adalah suatu sistem dan struktur yang menempatkan laki-laki dan perempuan sebagai korban dari sistem. ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, misalnya: subordinasi, marjinalisasi, beban kerja lebih banyak, dan stereotip (Handayani dan Sugiarti, 2008).

(8)

1. Marjinalisasi

Marjinalisasi artinya : suatu proses peminggiran akibat perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kemiskinan. Misalnya dengan anggapan bahwa perempuan berfungsi sebagai pencari nafkah tambahan, maka ketika mereka bekerja diluar rumah (sektor publik), seringkali dinilai dengan anggapan tersebut. Jika hal tersebut terjadi, maka sebenarnya telah berlangsung proses pemiskinan dengan alasan gender.

Marjinalisasi sering juga disebut sebagai pemiskinan terhadap kaum perempuan atau disebut juga pemiskinan ekonomi. Dari segi sumbernya bisa berasal dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsiran, agama, keyakinan tradisi dan kebiasaan atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan. Marjinalisasi perempuan dapat berarti peminggiran perempuan. Pertama, perempuan terpinggirkan dari pekerjaan produktif yang karena perempuan dianggap tidak memiliki keterampilan tinggi. Terlepas dari persoalan sektor yang digeluti perempuan, keterlibatan perempuan di sektor manapun dicirikan oleh “skala bawah”. Kedua, masalah yang dihadapi oleh buruh perempuan yaitu adanya kecenderungan perempuan terpinggirkan pada jenis-jenis pekerjaan yang berupah rendah, kondisi kerja buruk dan tidak memiliki kestabilan kerja. Ketiga adalah marjinalisasi dengan adanya feminisasi sektor-sektor tertentu. Keempat, yaitu pelebaran ketimpangan ekonomi antara perempuan dan laki-laki yang diindikasikan oleh perbedaan upah.

Perempuan-perempuan pada rumahtangga petani menunjukkan fakta adanya isu marjinalisasi. Marjinalisasi dalam hal ini adalah banyak kaum perempuan yang termarginalkan atau terseingkirkan akibat masuknya teknologi. Selain itu ada juga keyakinan agama karena suami adalah tulang punggung keluarga dan harus bertanggung jawab terhadap keluarga, maka cukup suami saja yang mengurusi kegiatan produksi, sehingga perempuan-perempuan banyak yang hanya mengurusi kegiatan reproduksi atau rumahtangga saja.

2. Subordinasi

Subordinasi artinya : suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang dilakukan oleh satu jenis kelamin lebih rendah dari yang lain. Perempuan

(9)

dianggap bertanggung jawab dan memiliki peran dalam urusan domestik atau reproduksi, sementara laki-laki dalam urusan publik atau produksi.

Contoh : masih sedikitnya jumlah perempuan yang bekerja pada posisi atau peran pengambil keputusan atau penentu kebijakan dibanding laki-laki.

Subordinasi adalah anggapan bahwa perempuan tidak penting terlibat dalam pengambilan keputusan politik. Perempuan tersubordinasi oleh faktor-faktor yang dikonstruksikan secara sosial. Hal ini disebabkan karena belum terkondisikannya konsep gender dalam masyarakat yang mengakibatkan adanya diskriminasi kerja bagi perempuan. Anggapan sementara perempuan itu irrasional atau emosional, sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, dan berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting.perempuan diidentikkan dengan jenis-jenis pekerjaan tertentu. Diskriminasi yang diderita oleh kaum perempuan pada sektor pekerjaan misalnya prosentase jumlah pekerja perempuan, penggajian, pemberian fasilitas, serta beberapa hak-hak perempuan yang berkaitan dengan kodratnya yang belum terpenuhi.

Bentuk subordinasi terhadap perempuan yang menonjol adalah bahwa semua pekerjaan yang dikategorikan sebagai reproduksi dianggap lebih rendah dan menjadi subordinasi dari pekerjaan produksi yang dikuasai kaum laki-laki. Hal ini menyebabkan banyak laki-laki dan perempuan sendiri akhirnya menganggap bahwa pekerjaan domestik dan reproduksi lebih rendah dan ditinggalkan.

3. Stereotipi

Stereotipi adalah pelabelan terhadap suatu kelompok atau jenis pekerjaan tertentu. Stereotipi adalah bentuk ketidakadilan. Stereotipi merupakan pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu, dan biasanya pelabelan ini selalu berakibat pada ketidakadilan, sehingga dinamakan pelabelan negatif. Hal ini disebabkan pelabelan yang sudah melekat pada laki-laki, misalnya laki-laki adalah manusia yang kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Perempuan distrereotipikan sebagai makhluk yang lembut, cantik, emosional, atau keibuaan.

(10)

Dengan adanya pelabelan tersebut tentu saja akan muncul banyak stereotipi yang dikonstruksi oleh masyarakat sebagai hasil hubungan sosial tentang perbedaan laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu perempuan identik dengan pekerjaan-pekerjaan di rumah, maka peluang perempuan untuk bekerja di luar rumah sangat terbatas, bahkan ada juga perempuan yang berpendidikan tidak pernah menerapkan pendidikannya untuk mengaktualisasikan diri. Akibat adanya stereotipi (pelabelan) ini banyak tindakan-tindakan yang seolah-olah sudah

merupakan kodrat. Misalnya: karena secara sosial budaya laki-laki

dikonstruksikan sebagai kaum yang kuat, maka laki-laki mulai kecil biasanya terbiasa atau berlatih untuk menjadi kuat. Perempuan yang sudah terlanjur mempunyai label lemah lembut, maka perlakuan orang tua mendidik anak seolah-olah memang mengarahkan untuk terbentuknya perempuan yang lemah lembut. Fakta lain menunjukan bahwa semakin kaya petani, maka semakin sedikit anggota kelurganya yang terlibat langsung dalam pekerjaan-pekerjaan berat, terutama istri mereka. Istri biasanya dipercaya untuk memegang uang hasil usaha tani. Dengan tidak dilibatkannya perempuan-perempuan pada kegiatan produksi maka semakin perempuan dianggap lemah

4. Kekerasan

Kekerasan (violence) adalah suatu serangan (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap manusia ini sumbernya macam-macam, namun ada salah satu jenis kekerasan yang bersumber anggapan gender. Kekerasan ini disebut sebagai “gender-related violence”, yang pada dasarnya disebabkan oleh kekuasaan. Berbagai macam dan bentuk kejahatan yang dapat dikategorikan kekerasan gender ini, baik dilakukan di tingkat rumah tangga sampai di tingkat negara, bahkan tafsiran agama.

Hampir semua kelompok masyarakat, terdapat perbedaan tugas dan peran sosial atas laki-laki dan perempuan. Tanpa disadari, perbedaan tugas dan peran ini telah menghambat potensi dasar laki-laki dan perempuan dalam berbagai hal. Realitas ini menunjukkan bagaimana jenis kelamin telah menghambat seseorang untuk mempelajari ilmu pengetahuan tertentu, mengembangkan bakat dan minat dalam bidang tertentu dan sebagainya, semata-mata karena alasan bahwa hal itu telah pantas (secara sosial budaya) bagi jenis kelamin tertentu.

(11)

5. Beban Kerja

Berkembangnya wawasan kemitrasejajaran berdasarkan pendekatan gender dalam berbagai aspek kehidupan, maka peran perempuan mengalami perkembangan yang cukup cepat. Namun, perlu dicermati bahwa perkembangan perempuan tidaklah “mengubah” peranannya yang “lama” yaitu peranan dalam lingkup rumah tangga (peran reproduktif). Maka dari itu perkembangan peranan perempuan ini sifatnya menambah, dan umumnya perempuan mengerjakan peranan sekaligus untuk memenuhi tuntutan pembangunan. Untuk itulah maka beban kerja perempuan terkesan berlebihan.

Karena adanya anggapan bahwa kaum perempuan bersifat memelihara, rajin dan tidak akan menjadi kepala rumah tangga, maka akibatnya semua pekerjaan domestik menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Oleh karena itu perempuan menerima beban ganda, selain harus bekerja domestik, mereka masih harus bekerja membantu mencari nafkah.

Dalam bidang pertanian banyak contoh yang menggambarkan bahwa

inovasi dalam bidang pertanian telah meningkatkan beban kerja perempuan dan seringkali mereka adalah buruh keluarga yang tidak dibayar. Contoh-contoh klasik diantaranya meliputi, proyek-proyek komoditi komersial, perencanaan irigasi yang memungkinkan terlaksananya panen dua sampai tiga kali dalam setahun, dan introduksi paket bibit unggul yang menggunakan pupuk kimia kimia, dimana membutuhkan lebih banyak penyiangan yang pada umumnya dilakukan oleh perempuan. Varietas baru padi-padian serta kacang-kacangan membutuhkan lebih banyak waktu untuk memprosesnya menjadi makanan.

Perempuan bekerja sebagai buruh memiliki motivasi yang berbeda-beda. Di antaranya tentu saja karena butuh uang. Alasan lain karena keinginan untuk mandiri, diajak keluarga/teman/tetangga, disuruh orang tua. Untuk anak-anak ada alasan yang khas yaitu memperoleh uang untuk jajan. Bagi wanita muda yang bekerja di industri modern ada alasan khusus yaitu menunda usia perkawinan atau mencari calon suami. Selain itu, mereka sudah tidak mau bekerja sebagai buruh tani kerena dianggap kurang pantas. Motivasi lain karena suami tidak bekerja/pendapatan kurang, ingin mencari uang sendiri, mengisi waktu luang, mencari pengalaman, ingin berperan serta dalam ekonomi keluarga,

(12)

mengembangkan pengetahuan dan wawasan, memungkinkan aktualisasi kemampuan, memberikan kebanggaan diri dan kemandirian, serta memungkinkan subyek mengaktualisasikan aspirasi pribadi.

Alasan perempuan ini dimanfaatkan kaum kapitalis dengan memberikan upah yang rendah karena perempuan dianggap hanya sebagai pencari uang tambahan untuk keluarga. Keberadaan perempuan dianggap tidak terlalu penting dalam sektor publik. Dengan demikian buruh perempuan harus dilindungi agar tidak diperlakukan tidak adil oleh pihak-pihak yang hanya memanfaatkannya untuk keperluan ekonomi.

2.1.10. Faktor yang Mempengaruhi Ketidakadilan Gender

Analisis gender merupakan suatu kerangka kerja yang digunakan unttuk mempertimbangkan dampak suatu program pembangunan yang mungkin terjadi terhadap laki-laki dan perempuan dan juga terhadap hubungan sosial ekonomi diantara mereka. Analisis gender juga dapat digunakan untuk melihat sebuah bentuk ketidakadilan gender.

Menurut Irwan (2001) dalam Chairnani (2010) menjelaskan ada tiga hal yang menyebabkan terjadinya ketimpangan gender yaitu. Pertama akar sosial budaya dimana ketimpangan gender itu tersususn menjadi suatu realitas objektif, kedua melihat pada proses pemberian makna dan pemeliharaan ketimpangan secara terus-menerus, ketiga melihat pada integrasi pasar yang memiliki peran penting dalam segmentasi antara laki-laki dan perempuan. Selain itu, faktor teknologi juga mempengaruhi ketimpangan tersebut, karena ada tenaga perempuan yang tergantikan dengan kehadiran teknologi tersebut.

Fakih (1999) dalam Puspitasari (2006) menyatakan bahwa ketidakadilan gender dapat bersifat :

1. Langsung, yaitu pembedaan perlakuan secara terbuka dan berlangsung disebabkan perilaku/sikap, norma/nilai, maupun aturan yang berlaku.

2. Tidak langsung, seperti peraturan sama, tetapi pelaksanaannya menguntungkan jenis kelamin tertentu.

(13)

3. Sistemik, yaitu ketidakadilan yang berakar dalam sejarah, norma, atau struktur masyarakat yang mewariskan keadaan yang bersifat membeda-bedakan.

2.1.11. Pengambilan Keputusan

Akses atau jangkauan seseorang terhadap sumberdaya diukur dari kepemilikan atas sumberdaya dan kemampuan mereka untuk memperoleh atau melakukan sesuatu kegiatan. Kontrol terhadap sumberdaya diukur dari frekuensi pengambilan keputusan, serta tanggungjawab yang dilakukan oleh anggota rumahtangga, dimana berhubungan dengan kegiatan produktif, reproduktif maupun social kemasyarakatan.

Secara popular dapat dikatakan bahwa mengambil atau membuat keputusan berarti memilih satu diantara sekian banyak alternatif. Pada umumnya suatu keputusan dibuat dalam rangka untuk memecahkan permasalahan atau persoalan dimana setiap keputusan dibuat pasti ada tujuan yang akan dicapai. Supranto (2005) dalam Meylasari (2010) mengungkapkan bahwa inti dari pengambilan keputusan adalah terletak dalam perumusan berbagai alternative tindakan sesuai dengan yang sedang dalam perhatian dan dalam pengambilan alternative yang tepat setelah suatu evaluasi (penilaian) mengenai efektifitasnya dalam mencapai tujuan yang dikehendaki pengambil keputusan. Salah satu komponen terpenting dari proses pembuatan keputusan adalah kegiatan pengumpulan informasi dari mana suatu apresiasi mengenai situasi keputusan dapat dibuat.

Sajogyo (1983) dalam Meliala (2006) Pengambilan keputusan oleh istri dan suami dalam rumahtangga dapat diperinci menurut empat bidang sebagai berikut:

1. Pengambilan keputusan dihubungkan dengan produksi, yang mencakup pembelian sarana produksi, pembelian alat-alat, penanaman modal, penggunaan tenaga buruh, penjualan hasil, dan cara penjualan;

2. Pengambilan keputusan dihubungkan dengan pengeluaran dalam kebutuhan pokok, yang mencakup makanan, perumahan, pembelian

(14)

pakaian, biaya pendidikan, pembelian peralatan rumahtangga, dan perawatan kesehatan;

3. Pengambilan keputusan dihubungkan dengan pembentukan keluarga, yang mencakup jumlah anak, ajar atau sosialisasi anak, pembagian kerja antara anak-anak, dan pendidikan; serta

4. Pengambilan keputusan dalam rumahtangga dihubungkan dengan kegiatan sosial, sesuai dengan yang ada di dalam masyarakat, yang mencakup selamatan, kegiatan gotong royong dan sambatan, dan peranserta pengeluaran pada berbagai kegiatan kelompok.

Menurut Sajogyo (1983) dalam Meliala (2006), terdapat lima pola dalam pengambilan keputusan antara suami dan istri yaitu:

1. Pengambilan keputusan yang diambil oleh istri sendiri.

2. Pengambilan keputusan bersama yang dominan dilakukan istri.

3. Pengambilan keputusan yang dilakukan bersama antara suami dan istri.

4. Pengambilan keputusan yang dominan dilakukan suami.

5. Pengambilan keputusan oleh suami.

Selain pola pengambilan keputusan yang dipaparkan di atas Sajogyo juga mengemukakan faktor-faktor yang dianggap mempengaruhi peranan perempuan dalam pengambilan keputusan, yaitu,: Proses sosialisasi, Pendidikan, Latar belakang perkawinan, Kedudukan dalam masyarakat, dan Pengaruh luar lainya.

Pengaruh di luar rumah (lingkungan masyarakat) pada umumnya dapat memperkaya dan menambah pengalaman perempuan, yang memperkirakan dapat mengembangankan potensinya dalam mengambil keputusan di berbagai bidang kehidupan dalam rumahtangga. Selain itu, faktor pendidikan perempuan, sumber ekonomi yang paling banyak disumbangkan dalam perkawinan ataupun kemampuan personal yang berupa pengalamnya bergaul dalam masyarakat luas, menjadi hal yang menimbulkan potensi perempuan semakin besar dalam mengambil keputusan di dalam keluarga.

Lailogo (2003) dalam Meylasari (2010) memaparkan bahwa jika ditinjau dari pola pengambilan keputusan dalam kegiatan usaha tani, perempuan selalu memberikan andil dalam setiap keputusan yang diambil, mulai dari praproduksi

(15)

hingga pasca produksi. Bahkan hingga pada tahap pengelolaan pasca panen, keputusan didominasi oleh perempuan tani, artinya, perempuan tani sangat berperan dalam penentuan pengunaan hasil panen, baik untuk dikonsumsi, maupun untuk dipasarkan

2.1.12. Nilai

Menurut Abdulsyani (1994) sebagaimana dikutip oleh Tafalas (2010) mengemukakan nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat. Nilai dapat dikatakan sebagai ukuran sikap dan perasaan seseorang atau kelompok yang berhubungan dengan keadaan baik buruk, benar salah atau suka tidak suka terhadap suatu obyek baik material maupun non material. Sebagai contoh orang menolong itu baik, sedangkan mencuri bernilai buruk.

2.2. Kerangka Pemikiran

Usahatani berkaitan dengan pola kerjasama antara laki-laki dan perempuan dalam usahatani. Kerjasama antara laki-laki dan perempuan akan lebih efektif apabila di dalamnya terjadi kesetaraan dan keadilan gender (KKG). KKG dapat terwujud apabila ada kepekaan antara aktor dalam usahatani tersebut.

Penelitian mengenai kesetaraan dan keadilan gender (KKG) pada rumahtangga petani bawang merah, Desa Sidakaton, Kecamatan Dukuhturi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, didasarkan atas berbagai konsep yaitu konsep usahatani yang dikaitkan dengan konsep kesetaraan dan keadilan gender (KKG) dalam pengelolaan usahatani bawang merah yang diawali dari pra produksi (persiapan) hingga pasca panen (pemasaran) dan usahatani dilihat dari perencanaan, pengorganisasian, pengontrolan, penetapan prioritas dan keputusan. Faktor sosial ekonomi petani yang dilihat dari Usia (X1.1), Jenis Kelamin(X1.2),

Tingkat pendidikan (X1.3), Luasan lahan yang digarap(X1.4), dan Status

kepemilikan lahan (X1.5). yang yang diduga memiliki hubungan dengan relasi

gender antara laki-laki dan perempuan dalam (X2.1) kegiatan reproduktif, (X2.2 )

(16)

variabel penting dalam menganalisis faktor sosial ekonomi rumahtangga petani bawang merah.

Perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan membawa pengaruh terhadap lingkungan sosial. Perbedaan jenis kelamin tersebut tidak hanya menyebabkan permasalah dalam aras makro tetapi juga pada aras mikro. Gender dalam rumahtangga adalah perbedaan status dan peran antara laki-laki dan perempuan dalam menjalankan fungsi-fungsinya. Status dan peran (pembagian kerja) antara laki-laki dan perempuan yang akan diukur dengan akses dan beban kerja dilihat dari tiga kegiatan yaitu kegiatan produktif, reproduktif, dan sosial. Nilai sosial budaya (X3) dalam tingkat orientasi nilai sosial (X3.1) dan komunikasi

(X3.2) dan pola asuh anak (X3.3) memiliki hubungan dengan relasi gender antara

laki-laki dan perempuan dalam (X2.1) kegiatan reproduktif, (X2.2 ) kegiatan

usahatani bawang merah dan (X2.3) kegiatan sosial.

Relasi gender antara laki-laki dan perempuan diduga memiliki hubungan dengan Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) yang dilihat dari akses (Y1.1),

kontrol (Y1.2), manfaat (Y1.3), dan partisipasi (Y1.4). Indikator-indikator tersebut

digunakan untuk melihat bagaimana tingkat keberhasilan usahatani bawang merah..

(17)

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam usahatani bawang merah Keterangan :

: alur hubungan langsung :LingkupPenelitian

Faktor Sosial Ekonomi Petani (X1) (X1.1) Usia

(X1.2) Jenis Kelamin

(X1.3) Tingkat pendidikan

(X1.4) Luasan lahan yang digarap

(X1.5) Status kepemilikan lahan

Nilai sosial budaya (X3)

(X3.1) Orientasi nilai sosbud

(X3.2) Komunikasi

(X3.3) Pola Asuh anak

Tingkat Keberhasilan Usahatani bawang merah  Perencanaan

 Pengorganisasian  Pengontrolan

 Penetapan prioritas dan keputusan

RELASI GENDER (X2) (X2.1) Kegiatan reproduktif

(X2..2) Kegiatan usahatani bawang merah

(X2.3) Kegiatan sosial KKG (Y1)  Akses (Y1.1)  Kontrol (Y1.2)  Manfaat (Y1.3)  Partisipasi (Y1.4) 24

(18)

2.3. Hipotesis Penelitian

Secara general hipotesa yang diajukan yaitu bahwa faktor sosial ekonomi petani, pembagian kerja, dan nilai sosial budaya diduga memilki hubungan nyata dengan KKG dalam usahatani bawang merah. Hipotesis parsial dapat dirinci sebagai berikut:

1. Terdapat hubungan nyata antara antara usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, luasan lahan yang digarap, status kepemilikan lahan dengan relasi gender dalam pembagian kerja.

2. Terdapat hubungan nyata antara relasi gender dalam pembagian kerja bidang reproduktif, produktif, dan sosial dengan KKG dalam usahatani bawang merah.

3. Terdapat hubungan nyata antara orientasi nilai sosial, komunikasi, dan pola asuh dengan KKG dalam usahatani bawang merah.

2.4. Definisi Operasional

Dalam mengukur variabel-variabel yang akan digunakan untuk penelitian ini, maka perumusan dari masing-masing variabel akan dijabarkan dan dibatasi secara operasional.

1. Faktor sosial ekonomi petani adalah keadaan spesifik petani dan sosial ekonomi anggota rumahtangga. Variabel ini dapat diukur dengan:

a. Usia adalah umur seseorang yang dihitung dari tahun kelahirannya hingga penelitian ini dilakukan menggunakan satuan tahun. Pengklasifikasian usia didasarkan pada konsep teori perkembangan Hurlock (1980). Data usia diukur dalam skala rasio. Untuk kepentingan pengolahan dan analisis data maka digunakan skala ordinal dengan pengkategorian sebagai berikut:

(1) Muda (dewasa awal) : 18-40 tahun

(2) Sedang (dewasa madya) : 41-60 tahun (3) Tua (Usia lanjut) : > 60 tahun

b. Jenis kelamin adalah perbedaan individu berdasarkan kondisi biologis. Dikategorikan dalam dua kelompok, yaitu laki-laki dan perempuan. Diukur dengan skala nominal.

(19)

Laki-laki = Label 1

Perempuan = Label 2

c. Tingkat pendidikan adalah jenis pendidikan formal/sekolah tertinggi yang pernah diikuti , diukur menggunakan skala ordinal yang dibedakan menjadi tiga kategori:

1. Rendah : Tamat SD/Sederajat

2. Sedang : Tamat SMP/Sederajat

3. Tinggi : Tamat SMA/Sederajat dan perguruan tinggi

(D1/D2/D3/S1)

d. Luasan lahan yang digarap adalah besarnya lahan yang sedang dikelola oleh petani pada saat ini. Hal ini akan diukur sebagai berikut:

1. Sempit : jika lahan garapan berkisar kurang dari 0,5 hektar

2. Menengah : jika lahan garapan berkisar 0,5-1 hektar

3. Luas : jika lahan garapan berkisar lebih dari > 1 hektar

e. Pemilikan lahan adalah pemilikan atas dasar milik yang hanya terbatas pada akses terhadap lahan berupa lahan pribadi, sewa, bagi hasil, dan gadai

2. Relasi Gender dalam pembagian kerja adalah hubungan akses antara laki-laki dan perempuan terhadap pembagian kerja, peranan dan alokasi sumberdaya. Relasi gender dalam pembagian kerja diukur dengan melihat pembagian kerja laki-laki dan perempuan dalam rumahtangga dilihat dari kekuasaan dan beban kerja dalam satu bulan

Pengukuran mengenai relasi gender dapat dilihat dari jawaban responden mengenai pernyataan tentang relasi gender yang dikategorikan sebagai berikut:

1. setuju : skor 1

2. Tidak setuju : skor 0

Kemudian jumlah skor yang diperoleh dikategorikan dengan menggunakan tiga skala ordinal (1) Adil, jika pernyataan setuju skor > 10, (2) Kurang adil, jika pernyataan setuju total skor 6-10, (3) Tidak adil, jika pernyataan setuju total skor <6.

(20)

3. Pembagian kerja adalah profil seluruh aktivitas yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan dalam rumahtangga selama sehari. Analisis pembagian kerja laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga dapat dilihat dari kerja produktif reproduktif, sosial kemasyarakatan melalui pendekatan kualitatif yang diukur melalui curahan waktu.

a. Kerja reproduktif adalah kegiatan yang tidak langsung menghasilkan pendapatan baik berupa uang atau barang akan tetapi kegiatan yang dilakukan dalam kehidupan rumah tangga seperti mencuci, memasak, dan pekerjaan lain dalam mengurus rumah. Kegiatan ini diukur melalui curahan waktu dengan menggunakan metode recall sehari yang lalu dengan satuan jam perhari.

b. Kerja produktif adalah kegiatan dalam usahatani yang langsung menghasilkan pendapatan berupa uang. Peran dalam kegiatan ini dilihat melalui curahan waktu dalam pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan pada tiap tahapan kegiatan usahatani bawang merah.

c. Kegiatan sosial kemasyarakatan adalah kegiatan yang berhubungan dengan lingkungan masyarakat setempat contohnya gotong royong, hajatan, arisan, pengajian, dan lain sebagainya.

4. Kesetaraan dan keadilan gender yaitu tidak membedakan antara hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan. Diukur dengan beberapa indikator yaitu akses, dan kontrol.

a. Akses yaitu kesempatan atau peluang anggota rumahtangga (laki-laki dan perempuan) dalam memperoleh dan ikut serta dalam berbagai kegiatan usahatani (produktif), rumah tangga (reproduktif), dan sosial. Akses dapat diukur dengan membandingkan jumlah responden suami serta jumlah responden istri yang memiliki kesempatan untuk mengakses atau menggunakan sumberdaya dalam usahatani yang dikelola atau terkait dengan usahatani yaitu mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pengontrolan, penetapan prioritas dan keputusan.

b. Partisipasi yaitu keikutsertaan antara laki-laki dan perempuan dalam setiap kegiatan

(21)

Pengukuran mengenai ciri-ciri dikategorikan sebagai berikut :

1. Tidak Pernah = Skor 0

2. Jarang = Skor 1

3. Sering = Skor 2

4. Selalu = Skor 3

Kemudian jumlah skor yang diperoleh dikategorikan dengan

menggunakan tiga skala ordinal, (1) kurang adil jika total skor kurang dari 31, (2) adil jika total skor antara 31-32, (3) tidak adil jika total skor hal ini menunjukkan partisipasi responden terhadap kegiatan usahatani bawang merah tinggi.

c. Manfaat yaitu hasil yang diterima oleh laki-laki dan perempuan pada setiap kegiatan.

d. Kontrol yaitu kemampuan dan kekuasaan yang dimiliki oleh anggota rumahtangga dalam mengambil keputusan dalam rumahtangga. Hal tersebut dapat diukur dengan membandingkan besarnya frequensi terkait dengan usahatani (pengelolaan usahatani). Pengeloaan usahatani adalah kemampuan petani mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pengontrolan, penetapan prioritas dan keputusan dalam penggunaan faktor-faktor produksi seefektif mungkin sehingga memperoleh hasil produksi yang maksimal..

e. Tingkatan kontrol (pengambilan keputusan) dalam kegiatan reproduktif, usahatani (pengelolaan usahatani) dan kemasyarakatan dibedakan menjadi:

1. Keputusan suami sendiri. Skor 1

2. Keputusan istri sendiri. Skor 2

3. Keputusan bersama suami dan istri dengan pengaruh suami setara dengan pengaruh istri. Skor 3

f. Tingkat pengambilan keputusan dibedakan menjadi bidang produksi (20 jenis keputusan), bidang pengeluaran kebutuhan rumahtangga (17 jenis keputusan), bidang pembentukan keluarga (10 jenis keputusan), serta bidang sosial kemasyarakatan (13 jenis keputusan).

(22)

g. Tingkat pengambilan keputusan dalam bidang produksi dikategorikan menjadi: rendah (jumlah skor < 34), sedang (jumlah skor 34-47), dan tinggi (jumlah skor >47).

h. Tingkat pengambilan keputusan dalam bidang pengeluaran kebutuhan rumahtangga dikategorikan menjadi rendah (jumlah skor < 29), sedang (jumlah skor 29-40), dan tinggi (jumlah skor >40).

i. Tingkat pengambilan keputusan dalam bidang pembentukan keluarga dikategorikan menjadi: rendah (jumlah skor < 26) sedang (jumlah skor 26-28), dan tinggi (jumlah skor >28).

j. Tingkat pengambilan keputusan dalam bidang soaial kemasyarakatan dikategorikan menjadi: rendah (jumlah skor < 31), sedang (jumlah skor 31-33), dan tinggi (jumlah skor >33).

5. Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh suatumasyarakat, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat. Untuk menentukan sesuatu itu dikatakan baik atau buruk, pantas atau tidak pantas harus melalui proses menimbang. Hal ini tentu sangat dipengaruhi olehkebudayaanyang dianutmasyarakat.

a. Tingkat komunikasi adalah intensitas kejadian pertukaran

pemikiran/perasaan diantara dua orang atau lebih. Ukuran yang digunakan untuk mengukur variabel ini adalah frekuensi komunikasi.

b. Tingkat interaksi sosial adalah intensitas dan kedalaman perpaduan antara orientasi nilai sosial dan tingkat komunikasi

c. Pengukuran mengenai nilai sosial dikategorikan menjadi dua yaitu nilai sosial yang tinggi dan nilai sosial yang rendah, begitu juga dengan budaya lokal dikategorikan menjadi dua yaitu budaya lokal yang tinggi dan budaya lokal yang rendah

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Kesetaraan dan Keadilan Gender  dalam usahatani bawang merah  Keterangan :

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mendukung visi sekolah plus diperlukan dukungan sumber daya manusia yang handal, terutama kualitas gurunya, kurikulum internasional dengan tetap bersandar pada

Berdasarkan prosesnya inovasi Smart Card yang berada di UPTD Terminal Purabaya-Bungurasih termasuk Sustaining innovation (inovasi terusan) merupakan proses inovasi yang

Pengujian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa data mining classification dengan menggunakan metode pohon keputusan algoritma C4.5 untuk membentuk pohon

Ilmu pengetahuan Arab Islam yang muncul di dunia Arab yang semula diajarkan dengan nalar universal kemudian dibakukan melalui penafsiran tertentu yang diresmikan oleh

Menurut Koentjaraningrat (2009:230) ada empat unsur pokok dari religi pada umumnya ialah: 1) Emosi keagamaan atau getaran jiwa, yang menyebabkan manusia

Hasil kegiatan yang diikuti oleh peserta para kader Posyandu yang ada di Desa Barengkok, yaitu sepuluh orang dari perwakilan 6 kelompok Kader Posyandu (Perkutut

Dari latar belakang diatas, penulis melakukan penelitian berupa pengenalan gender berdasarkan parameter fitur atau matriks ( features-based ) pada wajah dengan menggunakan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa bakteri kitinolitik yang diisolasi dari cangkang rajungan ( Portunus pelagicus )