• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan sebuah bentuk seni yang dituangkan melalui bahasa.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan sebuah bentuk seni yang dituangkan melalui bahasa."

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

1 1.1 Latar Belakang

Karya sastra merupakan sebuah bentuk seni yang dituangkan melalui bahasa. Hal ini ditegaskan oleh Wellek dan Werren, bahwa karya sastra dipandang sebagai suatu kegiatan kreatif sebuah karya seni (Wellek dan Werren, 1990: 3). Zainuddin (2002: 1) menambahkan bahwa karya sastra muncul ketika manusia mulai mengenal bahasa. Bahasa digunakan sebagai media dalam teks sastra yang memiliki unsur kata, kalimat dan makna. Sastra tidak sebatas hanya menafsirkan makna di dalam karya, tetapi dapat membantu masyarakat untuk mempelajari sastra yang sekaligus bertujuan mengembangkan karya sastra tersebut. Dengan adanya kegiatan penelitian sastra, diharapkan dunia penciptaan sastra dan juga masyarakat pembaca sastra lebih meningkat (Semi, 1993: 1).

Skripsi ini akan meneliti salah satu kesusastraan Jepang yaitu haiku (俳句). Haiku adalah puisi lama Jepang. Berdasarkan KBBI, haiku adalah puisi Jepang yang biasanya menggunakan ilusi dan perbandingan, terdiri atas 17 suku kata yg terbagi menjadi 3 larik, larik pertama 5 suku, larik kedua 7 suku, dan larik ketiga 5 suku. Haiku merupakan kombinasi dari kata hokku (発句) yang berarti syair pembuka dalam renga (5–7–5) dengan kata haikai (俳諧) yang berarti syair lanjutan setelah renga. Haiku merupakan pembebasan hokku dari rantai haikai. Haiku dapat berdiri

(2)

sendiri, tanpa tergantung pada rantai sajak yang lebih panjang (Ayu, 2009: 3). Haiku tidak akan dapat dipahami hanya dengan mengetahui atau menerjemahkan setiap katanya, akan tetapi harus memahami makna yang terkandung pada setiap kata.

Haiku memiliki ciri unik berupa penanda musim yang membuat sajak tersebut mempunyai makna. Haiku digunakan dalam suatu penulisan yang meliputi alam, terbagi menjadi empat musim yang masing-masing mengungkapkan rasa atau pemikiran untuk dicurahkan ke dalamnya. Penggunaan kata yang identik dengan alam disebut kigo (季語). Kigo sering juga ditulis dalam bentuk tersirat (metonimi). Tiap-tiap musim di Jepang mempunyai keistimewaan tersendiri, salah satunya yaitu musim semi yang dijuluki sebagai musim bunga. Seperti halnya bunga sakura yang sedang bermekaran akan selalu disambut hangat oleh masyarakat Jepang.

Tema musim semi di dalam haiku karya Masaoka Shiki akan menjadi objek di dalam penelitian ini. Pertama kali Masaoka Shiki memperkenalkan kata haiku sekitar abad ke-19 (Ayu, 2009: 3). Masaoka Shiki dikenal sebagai “Bapak Haiku Modern”. Dengan kata lain bahwa Masaoka Shiki adalah seorang penulis haiku modern pertama kali, baik tema atau topiknya. Beliau dianggap sebagai salah satu tokoh utama dalam perkembangan puisi haiku modern dan sebagai salah satu dari empat master haiku, diantaranya yaitu Matsuo Bashou, Yosa Buson, dan Kobayashi Issa. Sajak-sajak yang terkenal dari penyair zaman pertengahan (1600 – 1868) seperti Matsuo Bashou, Yosa Buson, dan Kobayashi Issa seharusnya dilihat sebagai hokku dan harus diletakkan dalam konteks sejarah haikai. Walaupun pada umumnya, sajak

(3)

mereka sekarang sering dibaca sebagai haiku yang berdiri sendiri. Oleh karena itu, untuk membedakan dan menghindari kesalahan, maka ada pula yang menyebut hokku sebagai haiku klasik dan haiku sebagai haiku modern (Ritsuki, 2008: 1).

Riffaterre mengatakan bahwa dalam memaknai karya sastra tanpa memperhatikan sistem tanda, makna tersebut tidak akan diketahui secara optimal. Untuk memaknai hal tersebut, diperlukan peranan semiotika yang berkaitan dengan sistem tanda. Tanda di dalam karya sastra menyatakan sesuatu dan mengandung arti yang lain. Riffaterre menganggap bahwa puisi atau karya sastra pada umumnya merupakan sebuah ekspresi yang tidak langsung, yakni menyampaikan sesuatu dengan hal lain (Riffaterre, 1978: 2). Hal ini berarti menjelaskan bahwa bahasa sehari-hari yang biasa digunakan oleh kita berada di tataran mimetik yang membangun arti (meaning). Adapun bahasa puisi berada di tataran semiotik yang membangun makna (significance).

Signifikansi adalah suatu proses pemaknaan. Dalam memaknai puisi, Riffaterre memberikan langkah kerja dan metode pemaknaan secara bertahap. Tujuan dilakukannya signifikansi adalah untuk menemukan makna dari meaning ke significance, yaitu menganalisis makna puisi tersebut melalui pembacaan heuristik (semiotik tahap pertama), pembacaan hermeneutik (semiotik tahap kedua), pencarian matriks, model dan varian, dan yang terakhir menemukan hipogram dari puisi yang akan diteliti untuk mendapatkan makna secara menyeluruh.

(4)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang beserta pemaparan di atas, maka permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah mengenai pemaknaan haiku musim semi karya Masaoka Shiki. Penulis akan menerapkan teori semiotik Riffaterre untuk menganalisis makna haiku musim semi secara keseluruhan.

Dari permasalahan mengenai pemaknaan puisi tersebut, dapat ditentukan rumusan masalah yaitu apa makna yang terkandung dalam haiku musim semi karya Masaoka Shiki berdasarkan proses signifikansi yang berupa pembacaan heuristik, pembacaan hermeneutik, pencarian matriks, model, dan varian-varian yang merujuk kepada hipogram haiku tersebut?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan teoritis serta tujuan praktis. Secara teoretis, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui makna yang terkandung di dalam haiku musim semi karya Masaoka Shiki berdasarkan proses signifikansi yang berupa pembacaan heuristik, pembacaan hermeneutik, pencarian matriks, model dan varian-varian serta merujuk kepada hipogram haiku tersebut.

b. Untuk menerapkan teori pemaknaan puisi, yaitu semiotik Riffaterre di dalam haiku musim semi karya Masaoka Shiki.

(5)

Secara praktis, penelitian ini bertujuan untuk memperkenalkan karya sastra Jepang kepada masyarakat luas, khususnya haiku karya Masaoka Shiki.

1.4 Tinjauan Pustaka

Beberapa referensi yang telah dibaca penulis sebagai rujukan dalam penelitian ini yaitu karya tulis atau skripsi yang membahas tentang puisi, terutama yang menggunakan analisis Semiotik Riffaterre. Skripsi yang telah dibaca di antaranya adalah skripsi yang disusun oleh Ersi Frimasari (2012), mahasiswi jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya UGM yang berjudul “Kumpulan Sajak Rumahku Dunia Karya Eka Budianta: Analisis Semiotika Model Riffaterre”. Di dalam skripsi tersebut Ersi meneliti tentang makna yang terdapat di dalam kumpulan sajak “Rumahku Dunia” secara pembacaan heuristik dan hermeneutik. Kemudian menganalisis makna tersebut dengan matriks, model dan varian-varian serta hipogram atau hubungan intertekstual. Dalam kumpulan puisi “Rumahku Dunia” (1993) yang diterbitkan oleh Puspa Swara. Dalam kumpulan sajak tersebut terdapat 200 sajak, sedangkan untuk objek dalam penelitian Ersi hanya mengambil lima sajak untuk dianalisis. Ersi menggunakan Semiotik Riffaterre untuk menganalisis objek penelitiannya.

Dwi Ernia R (2007), mahasiswi jurusan Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya UGM yang berjudul “Sajak Kemuri II dalam Ontologi Puisi Ichi Aku No Suna Karya Takuboku Ishikawa: Analisis Semiotik Riffaterre”. Dalam skripsi tersebut Dwi Ernia R meneliti tentang makna yang terkandung di dalam sajak Takuboku Ishikawa yang

(6)

berbentuk tanka berjudul Kemuri II. Tanka merupakan salah satu jenis puisi Jepang. Dwi Ernia R menggunakan teori Semiotik Riffaterre untuk menganalisis sajak Takuboku Ishikawa ini. Objek yang diteliti dalam skripsi Ersi dan Dwi Ernia adalah puisi Indonesia dan tanka sehingga penulis mencari sumber lain untuk dijadikan tinjauan pustaka yang berbentuk haiku.

Dalam hal ini, penulis menemukan skripsi dari Benardhi Yuliandra (2011), mahasiswa jurusan Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya UGM yang berjudul “Makna Sajak Kematian Masaoka Shiki: Analisis Semiotik Riffaterre”. Dalam skripsi ini Benardhi meneliti tentang makna yang terkandung di dalam sajak kematian karya Masaoka Shiki yang berbentuk haiku. Benardhi ingin melakukan penelitian mengenai “pencerahan” yang diraih oleh Masaoka Shiki yang diungkapkan melalui sajak kematian, sehingga makna sebenarnya dari sajak tersebut dapat diketahui. Pendekatan semiotik Riffaterre digunakan Benardhi dalam skripsinya. Semiotik Riffaterre mengacu pada tanda-tanda yang terdapat dalam sajak kematian Masaoka Shiki. Di dalam analisisnya, Benardhi melakukan pembacaan heuristik kemudian dilanjutkan dengan pembacaan hermeneutik untuk langkah selanjutnya. Langkah ketiga yaitu pencarian matriks, model, dan varian-varian. Pada langkah terakhir melakukan pencarian hipogram dan merumuskan kesimpulan sehingga tujuan penelitian yaitu mendapatkan makna secara utuh dapat tercapai.

Objek penelitian yang diteliti penulis adalah haiku musim semi, dan semua haiku tidak memiliki judul. Sepanjang pengetahuan penulis, penulis belum

(7)

menemukan adanya penelitian yang meneliti haiku musim semi Masaoka Shiki. Oleh karena itu penulis melakukan penelitian terhadap karya ini dengan menerapkan teori semiotik Riffaterre agar mendapatkan makna keseluruhan dari sajak tersebut.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Masaoka Shiki mengategorikan haiku berdasarkan musim yang ada di Jepang, yaitu musim semi, musim panas, musim gugur dan musim dingin. Masing-masing musim memiliki ciri dan varian yang berbeda. Di dalam buku haiku empat musim karya Masaoka Shiki terdapat kurang lebih 200 sajak musim semi. Ruang lingkup penelitian ini hanya mengambil contoh tiga sajak musim semi karya Masaoka Shiki. Dikarenakan jumlah sajak musim semi yang ditulis Masaoka Shiki sangat banyak dan memiliki arti yang berbeda-beda. Oleh karena itu, penulis mengambil tiga sajak secara acak untuk dijadikan objek penelitian.

Tiga sajak musim semi karya Masaoka Shiki sudah dapat merepresentasikan objek penelitian guna memfokuskan pencarian makna secara keseluruhan. Terlihat adanya simbol musim semi di dalam sajak tersebut yang berkaitan dengan bunga yang mekar, cuaca, dan juga hewan. Dari masing-masing sajak mempunyai varian diksi yang berbeda, namun tetap berada dalam ruang lingkup musim semi. Simbol dari awal musim semi yaitu bunga persik (peach blossom) yang mempunyai arti sederhana tetapi manis. Hal ini yang menyebabkan penulis tertarik untuk meneliti haiku dengan tema musim semi.

(8)

1.6 Landasan Teori

Pendekatan teoritis digunakan untuk membahas karya sastra sesuai dengan masalah yang diangkat. Untuk membahas dan memahami haiku musim semi, penulis menggunakan analisis semiotik. Menganalisis sajak itu bertujuan memahami makna sajak. Menganalisis sajak adalah usaha menangkap dan memberi makna terhadap sajak tersebut. Karya sastra merupakan struktur yang bermakna. Hal ini mengingat bahwa karya sastra merupakan sistem tanda yang mempunyai makna yang mempergunakan medium bahasa. Bahasa itu merupakan sistem ketandaan yang berdasarkan atau ditentukan oleh perjanjian (konvensi) masyarakat. Sistem ketandaan itu disebut semiotik. Ilmu yang mempelajari sistem tanda-tanda itu disebut semiotika atau semiologi (Pradopo, 1987: 121).

1.6.1 Semiotik

Istilah semiotik sebenarnya berasal dari sebuah akar kata bahasa Yunani, semion yang berarti tanda. Semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda (Zoest, 1993:1). Menurut Noth (1990), pemikiran tentang semiotik telah ada dalam periode Yunani-Romawi kuno, tepatnya dalam filsafat Plato, Aristoteles, Epicureams, dan Aurelius Augustine. Semiotik periode ini disebut sebagai semiotik implisit yang menurut Noth tidak dapat ditempatkan sebagai semiotik dalam pengertiannya seperti sekarang ini, semiotik eksplisit. Asal pemikiran dan pelopor dari semiotik dapat ditarik dari beberapa

(9)

pemikir yang muncul pada abad ke-20, yaitu Charles Sanders Peirce (1839-1982), Ferdinand de Saussure (1857-1913), Louis Hjemslev (1899-1965), dan Charles William Moris (1901-1979). Berbagai teori dari pelopor semiotik eksplisit di atas mempunyai pengaruh yang signifikan dalam teori-teori dan studi-studi semiotik yang muncul kemudian.

Menurut Pradopo (1995: 118), penelitian sastra dengan pendekatan semiotika sesungguhnya merupakan lanjutan dari pendekatan strukturalisme. Strukturalisme tidak dapat dipisahkan dengan semiotika karena karya sastra merupakan struktur tanda-tanda yang mempunyai makna. Tanpa memperhatikan sistem tanda dan maknanya, serta konvensi tanda, struktur karya sastra atau karya sastra tidak dapat dimengerti secara optimal. Dalam penelitian sastra yang menggunakan pendekatan semiotika, tanda yang berupa indekslah yang paling banyak dicari, yaitu berupa tanda-tanda yang menunjukkan hubungan sebab-akibat. Oleh karena itu, peneliti harus menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai makna. Hal tersebut yang akan diaplikasikan penulis dalam meneliti karya sastra puisi yang berbentuk haiku.

Semiotika modern mempunyai dua tokoh yang dianggap sebagai “bapak” semiotika. Tokoh semiotik itu adalah seorang ahli filsafat Amerika, yaitu Charles Sanders Peirce (1839-1914) dan seorang ahli linguistik berkebangsaan Swiss, Ferdinand de Saussure (1857-1913). Peirce menyebut ilmu itu dengan nama semiotik dan Saussure menyebutnya semiologi. Kedua istilah ini mengandung pengertian yang

(10)

persis sama, walaupun penggunaan salah satu dari kedua istilah tersebut biasanya menunjukkan pemikiran pemakainya. Peirce menggunakan semiotika sebagai sinonim kata logika. Menurut Peirce, logika harus mempelajari cara orang bernalar. Penalaran itu, menurut hipotesis yang mendasar, dilakukan melalui tanda-tanda. Dengan mengembangkan teori semiotik, Pierce memusatkan perhatian pada berfungsinya tanda secara umum (Van Zoest via Yuliandra, 2011: 20). Ferdinand de Saussure membahas semiotika dengan mengembangkan dasar-dasar teori linguistik umum. Kekhasan teorinya terletak pada kenyataan bahwa ia menganggap bahasa sebagai sistem tanda. Oleh karena itu, ahli semiotika pengikut Saussure menggunakan istilah-istilah pinjaman dari linguistik (Van Zoest via Yuliandra, 2011: 20).

Perbedaan mendasar pada teori semiotik pragmatik Peirce dan teori semiotik struktural Saussure tersebut adalah pada proses pemaknaan tanda. Teori semiotik pragmatik Peirce bersifat trikotomis dan dianalisis berdasarkan kognisi sosialnya. Sedangkan, teori semiotik struktural Saussure bersifat dikotomis, yang artinya mengkaji tanda menjadi dua bagian, yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda dilihat sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi atau nilai-nilai yang terkandung di dalam karya tersebut. Eksistensi semiotika Saussure adalah relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi, yang biasa disebut dengan signifikasi. Objek bagi Saussure disebut “referent”. Saussure memaknai objek sebagai referent dan menyebutkannya sebagai unsur tambahan dalam proses

(11)

penandaan. Sebagai contoh, ketika orang menyebut kata “anjing” (signifier) dengan nada mengumpat maka hal tersebut tanda kesialan (signified). Menurut Saussure, signifier dan signified merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan seperti dua sisi dari sehelai kertas.

1.6.2 Teori dan Metode Semiotik Michael Riffaterre

Ilmu semiotika juga berkembang dan semakin spesifik dalam mendekati objek kajian yang mencakup dalam disiplin ilmu tersebut. Beberapa ahli semiotika yang pemikirannya didasari oleh teori yang dikembangkan oleh Saussure, di antaranya adalah Roland Barthes, Umberto Eco, dan Michael Riffaterre (Yusita Kusumarini via Yuliandra, 2011: 20). Salah satu pengikut Ferdinand de Saussure yang mendasari penulis untuk menggunakan teori semiotika yang dikembangkan adalah Riffaterre. Riffaterre memfokuskan teori tentang semiotiknya pada penelitian karya sastra sebagai sebuah tanda. Karya sastra tersebut khususnya puisi. Riffaterre menggunakan pendekatan bahwa suatu tanda berada dalam tataran dialektik yaitu mimetik dan semiotik. Michael Riffaterre (1978) dalam bukunya, Semiotic of Poetry menggunakan pendekatan bahwa karya sastra berada dalam satu pihak, yaitu a dialectic between text and reader dan pada pihak lain adalah dialektik antara tataran mimetik dan semiotik. Hal ini menjelaskan bahwa berdasarkan fungsi bahasa yaitu sebagai alat komunikasi tentang gejala di luar (mimetic function), yang kemudian ditingkatkan ke tataran semiotik untuk membongkar kode karya sastra secara struktural atas dasar

(12)

significance-nya. Penyimpangan kode bahasa dari makna biasa yang disebut ungrammaticalities secara mimetik mendapat significance secara semiotik.

Teori dan metode ini diterapkan untuk menganalisis haiku bertema musim semi karya Masaoka Shiki. Menurut Riffaterre, ada empat hal penting yang harus diperhatikan dalam pemaknaan suatu karya sastra. Keempat hal tersebut antara lain:

(1) Ketidaklangsungan ekspresi yang meliputi: penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning). Puisi tersebut merupakan ekspresi tidak langsung dalam menyatakan suatu hal dengan arti yang lain,

(2) Pembacaan dalam dua tahapan, yaitu pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik,

(3) Pencarian matriks, model, dan varian-varian, serta

(4) Pencarian hipogram atau hubungan intertekstual yang berarti teks menjadi latar belakang penciptanya. Untuk pemaknaan karya sastra yang berupa prosa, metode dengan beberapa aspek pemaknaan yang dapat digunakan adalah bagian (2), (3), dan (4). Riffaterre mengatakan bahwa pembacalah yang bertugas memberikan makna tanda-tanda yang terdapat pada karya sastra. Tanda-tanda itu akan memiliki makna setelah dilakukan pembacaan dan pemaknaan terhadapnya (1978: 166).

(13)

1.6.2.1 Ketidaklangsungan Ekspresi

Dikemukakan oleh Riffaterre (1978: 2) bahwa ketidaklangsungan ekspresi itu disebabkan oleh tiga hal, yaitu:

Pertama yakni penggantian arti (displacing of meaning). Penggantian arti terjadi pada ragam bahasa kiasan merupakan penggantian arti yang terjadi ketika tanda berubah dari satu arti ke arti lain. Bahasa kiasan tersebut meliputi: metafora, personifikasi, metonimia, hiperbola, simile (perbandingan), allegori, sinekdoke dan perumpamaan epos.

Metafora merupakan salah satu jenis bahasa perbandingan, dalam metafora perbandingannya bersifat implisit, yakni tersembunyi di balik ungkapan harfiahnya (Sayuti, 2002: 196). Metafora sebagai perbandingan langsung tidak mempergunakan kata seperti bak, bagaikan, bagai, dan sebagainya sehingga pokok pertama langsung dihubungkan dengan pokok kedua (Keraf, 1984: 139).

Personifikasi adalah pelukisan benda atau objek tak bernyawa atau bukan manusia, baik yang kasat mata atau abstrak yang diperlakukan seolah-olah seperti manusia (Siswantoro, via Kasih, 2012: 14). Metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Metonimia adalah satu bentuk dari sinekdoke (Keraf, 1984: 142).

(14)

Hiperbola adalah suatu perbandingan atau perlambangan yang dilebih-lebihkan atau dibesar-besarkan (Semi via Kasih, 2012: 14). Simile merupakan bahasa kiasan yang bersifat eksplisit, yakni secara langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal lain (Pradopo, 1990: 62).

Allegori yaitu pemakaian beberapa kiasan secara beruntun. Semua sifat yang ada pada benda itu dikiaskan (Semi via Kasih, 2012: 14). Sinekdoke adalah bahasa kiasan yang menyebutkan suatu bagian yang penting suatu benda (hal) untuk benda atau hal itu sendiri (Altenbernd via Kasih, 2012: 14). Sinekdoke ini ada dua macam: pars pro toto yakni sebagian untuk keseluruhan dan totum pro parte yaitu keseluruhan untuk sebagian (Pradopo, 1990: 79).

Perbandingan epos ialah perbandingan yang dilanjutkan atau diperpanjang, yaitu dibentuk dengan cara melanjutkan sifat-sifat pembandingnya lebih lanjut dalam kalimat-kalimat atau frase-frase yang berturut-turut (Pradopo, 1990: 69).

Kedua, penyimpangan arti (distorting of meaning). Penyimpangan arti disebabkan oleh tiga hal, yaitu pertama ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense. Ambiguitas atau makna ganda sering terjadi dalam puisi, dengan ambiguitas semacam itu puisi memberikan kesempatan kepada pembaca untuk memberikan arti sesuai dengan asosiasinya (Pradopo, 2005: 215). Pada puisi yang memuat ambiguitas, tidak menutup kemungkinan terjadinya perubahan pemahaman setiap selesai membaca. Kontradiksi adalah kebalikan, kontradiksi dalam puisi biasanya dituangkan melalui ironi. Dengan ironi, penyair mencoba mengungkapkan realitas yang terjadi

(15)

dengan sesuatu yang sangat berlawanan (Pradopo, 2005: 215). Nonsense adalah kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti sebab hanya berupa rangkaian bunyi, tidak terdapat dalam kamus. Akan tetapi, puisi nonsense itu memiliki makna. Makna itu timbul dengan adanya konvensi sastra. Nonsense biasanya terdapat pada puisi mantra atau puisi yang bergaya mantra.

Ketiga yaitu penciptaan arti (creating of meaning). Penciptaan arti terjadi pada pengorganisasian ruang tekstual, seperti rima, homologues (persamaan bentuk), enjambement (peloncatan baris), dan tipografi. Penciptaan arti ini merupakan konvensi kepuitisan yang berupa bentuk visual yang secara linguistik tidak mempunyai arti tetapi menimbulkan makna di dalam puisi. Misalnya rima adalah nada akhir pada satu baris puisi. Homologues biasanya tampak pada sajak pantun, biasanya menyamakan posisi dalam bait. Tipografi yakni susunan dalam pemasangan huruf cetak dan enjambement yaitu peristiwa sambung-menyambungnya isi dua larik sajak yang berurutan (Riffaterre, 1978: 2).

Berdasarkan keempat aspek pemaknaan puisi yang disebutkan dalam model semiotik Riffaterre, tahapan-tahapan analisis yang dilalui untuk mengungkapkan makna dari puisi yang dikaji adalah sebagai berikut:

1. Pembacaan Heuristik

2. Pembacaan Hermeneutik/ Retroaktif 3. Matriks, Model dan Varian-varian

(16)

4. Hipogram

Berikut ini merupakan penjabaran mengenai empat tahapan yang akan dilakukan penulis berdasarkan semiotik Riffaterre dalam mengungkapkan makna yang terkandung dalam suatu teks puisi.

1.6.2.2 Pembacaan Heuristik

Langkah pertama untuk menganalisis puisi, karya sastra puisi harus dibaca secara heuristik. Pembacaan heuristik adalah pembacaan untuk menghasilkan arti secara keseluruhan berdasarkan tata bahasa normatif sesuai dengan sistem semiotik tingkat pertama. Pembacaan heuristik menurut Riffaterre (1978: 5) merupakan pembacaan tingkat pertama untuk memahami makna secara linguistik, sedangkan pembacaan hermeneutik, pembaca bergerak maju melalui teks. Pembacaan heuristik pada puisi dapat dilakukan dengan parafrase dengan menggunakan bahasa yang lebih logis sesuai dengan tata bahasa atau sintaksis. Maka dari itu, pembacaan heuristik merupakan pembacaan pada tataran denotatif (arti kamus). Pada tingkat pembacaan pertama, pembaca membaca teks secara mimesis. Teks dibaca apa adanya, pada tahap pembacaan ini akan banyak sekali ditemui ketidakgramatikalan (ungrammatikalitas), ungramatikalitas-ungramatikalitas yang terlihat pada level mimesis kemudian diintegrasikan ke dalam sistem lain (Riffaterre, 1978: 5). Di tahap ini, pembaca akan menemukan arti atau mencoba membaca untuk mencari “arti biasa”. Akan tetapi, pembacaan seperti ini belumlah cukup untuk memahami puisi yang sesungguhnya.

(17)

1.6.2.3 Pembacaan Hermeneutik

Dalam menganalisis karya sastra puisi, langkah awal yaitu pembacaan heuristik belum memberikan makna sastra yang signifikan. Oleh karena itu, karya sastra tersebut harus dibaca ulang dengan memberikan tafsiran yang disebut hermeneutik. Pada pembacaan hermeneutik, pembaca harus meninjau kembali dan membandingkan hal yang dibacanya pada pembacaan heuristik. Pembacaan hermeneutik merupakan pembacaan tingkat kedua untuk menginterpretasikan makna secara keseluruhan. Pembacaan hermeneutik dilakukan dengan cara menafsirkan makna bahasa kiasan, gaya bahasa, ambiguitas, kontradiksi, nonsense dan pengorganisasian ruang teks puisi. Adanya ketidaksesuaian di dalam diri pembaca yang disebabkan oleh adanya sesuatu yang ungramatikal. Unsur yang tidak gramatis ini merintangi penafsiran mimetis. Oleh karena itu, dari langkah kedua ini, penulis dapat melihat bahasa-bahasa kiasan yang ada di dalam objek yang diteliti.

Pembacaan baru menemukan makna pada proses pembacaan tahap kedua (Riffaterre, 1978: 5). Dengan arti, pembacaan ini dilakukan secara berulang-ulang (retroaktif) atau berdasarkan sistem semiotik tingkat kedua (konvensi sastra) untuk memperoleh daya interpretasi yang baik dalam mengungkapkan bahasa puisi yang lebih luas. Pada pembacaan tahap kedua, pembaca diarahkan pada pemahaman bahwa teks berawal dari adanya matriks (Riffaterre, 1978: 13).

(18)

1.6.2.4 Matriks, Model, dan Varian

Riffaterre menjelaskan bahwa untuk memahami sebuah puisi sama dengan melihat sebuah donat. Terdapat ruang kosong di tengah-tengah yang berfungsi untuk menunjang dan menopang terciptanya daging donat di sekeliling ruang kosong itu. Dalam puisi, ruang ini merupakan pusat pemaknaan yang disebut dengan matriks (Riffaterre, 1978:13). Untuk mengetahui tema dalam sajak atau puisi dapat melalui matriks atau kata kunci. Kata kunci ditransformasikan dalam model bentuk kiasan. Matriks dan model dapat digunakan untuk mencari varian-varian. Varian yang dituangkan pada bait dan baris merupakan pokok permasalahan dalam sajak. Matriks itulah yang akhirnya memberikan kesatuan sebuah sajak (Selden via Kasih, 2012: 18).

Teks berawal dari adanya matriks (Riffaterre, 1978: 12). Matriks adalah kata kunci yang memberikan makna kesatuan sebuah puisi. Matriks berupa suatu tuturan minimal dan harfiah (kata, frase, klausa, atau kalimat sederhana) yang selanjutnya ditransformasikan menjadi parafrase yang lebih panjang, kompleks, dan tidak harfiah, yakni keseluruhan puisi. Matriks tidak terdapat dalam teks, akan tetapi matriks akan diaktualisasikan lewat model. Model tersebut yaitu berupa satu kata atau kalimat yang bersifat puitis dan bentuk-bentuk variannya akan ditentukan (Riffaterre, 1978: 19).

Matriks dapat berupa satu kata atau kalimat tertentu. Matriks bukanlah tema atau belum merupakan tema, akan tetapi matriks mengarah kepada tema. Tema nantinya akan didapat setelah matriks, model dan varian ditemukan. Model yang akan

(19)

menentukan bentuk-bentuk varian (pengembangan) sehingga menurunkan teks secara keseluruhan. Ciri utama model adalah sifat puitisnya. Untuk mengaktifkan kepuitisan dalam teks, tanda kepuitisan harus mengacu pada hipogram tertentu dan juga menjadi sebuah varian dari matriks teks itu. Jadi, matriks senantiasa terwujud dalam bentuk-bentuk varian yang ditentukan oleh model sebagai aktualisasi pertama matriks. Matriks bisa ditemukan secara ekspansi (perluasan, pengembangan) atau secara konversi (pengubahan). Produksi teks, yakni teks sebagai tempat arti dihasilkan oleh adanya konversi dan ekspansi (Riffaterre, 1978: 47).

Berdasarkan hubungan antara matriks dengan model, dapat dikatakan bahwa matriks merupakan faktor penggerak derivasi tekstual, sedangkan model menjadi pembatas derivasi itu (via Sumbawati, 2012: 13). Dalam praktiknya, matriks yang dimaksud akan senantiasa terwujud dalam bentuk varian yang berurutan. Bentuk varian itu ditentukan oleh model. Dengan demikian, konsep semiotik Riffaterre yang akan digunakan dalam kajian ini dapat membantu menemukan makna secara keseluruhan dalam haiku bertema musim semi.

1.6.2.5 Hipogram atau Hubungan Intertekstual

Karya sastra tidak begitu saja lahir, melainkan sebelumnya sudah ada karya sastra lain, yang tercipta berdasarkan konvensi dan tradisi sastra masyarakatnya yang bersangkutan (Pradopo, 2005: 223). Dengan kata lain, kemunculan satu karya sastra bisa saja berkaitan dengan karya sastra lain yang terlebih dahulu muncul. Makna

(20)

sajak bisa dipahami sepenuhnya setelah diketahui hubungan antara sajak itu dengan sajak lain yang menjadi latar penciptanya.

Riffaterre (1978: 11) mengemukakan bahwa sebuah karya sastra baru mempunyai makna penuh dalam hubungannya atau pertentangannya dengan karya sastra lain. Ini merupakan prinsip intertekstualitas yang ditekankan oleh Riffaterre. Prinsip intertekstual adalah prinsip hubungan antarteks. Sebuah teks tidak mungkin terlepas dari teks yang lain. Karya sastra yang menjadi dasar penciptaan karya sastra yang kemudian oleh Riffaterre disebut hipogram.

Riffaterre (1978: 23) menyebutkan bahwa hypogrammatic derivation is a word or phrase is poeticized when it refers to (and, if a phrase, patterns it self upon) a preexistent word group. Ia menyatakan bahwa sajak akan bermakna penuh dalam hubungannya dengan sajak yang lain. Hubungan ini bisa berupa persamaan maupun pertentangan.

Hipogram ada dua macam, yaitu hipogram potensial dan hipogram aktual (Riffaterre, 1978: 23). Hipogram potensial tidak tereksplisitkan di dalam teks, tetapi harus diabstraksikan dari teks. Hipogram potensial itu adalah matriks yang merupakan inti teks atau kata kunci, dapat berupa satu kata, frase atau kalimat sederhana (Riffaterre, 1978: 23). Hipogram potensial terwujud dalam segala bentuk aplikasi makna kebahasaan, baik yang berupa presuposisi maupun sistem deskriptif atau kelompok asosiasi konvensional. Hipogram aktual yaitu dapat berupa teks nyata, kata, kalimat, peribahasa atau seluruh teks. Hipogram aktual terwujud dalam

(21)

teks-teks yang ada sebelumnya, baik berupa mitos maupun karya sastra lainnya (1978: 23-24).

Sebuah karya seringkali berdasar atau berlatar pada karya sastra lainnya, bukan hanya untuk meneruskan karya sastra yang menjadi latar, juga menentang karya sastra tersebut. Oleh karena itu, karya sastra tidak dapat lepas dari hal- hal yang menjadi latar penciptanya, baik secara umum maupun khusus. Teks yang menyerap dan mentransformasikan hipogram dapat disebut sebagai teks transformasi. Metode interterkstual digunakan untuk mendapatkan makna sebuah teks dengan hipogramnya. Dengan demikian, karya sastra dapat di transformasikan dengan teks lain.

1.7 Metode dan Teknik Penelitian

Pengertian metode menurut Siswantoro yaitu hal yang menyangkut langsung dengan yang ditempuh peneliti, sehingga tidak lagi bicara tentang paradigma yang dianutnya, dasar filsafat metode yang ditempuhnya, atau bicara tentang ciri penelitian kualitatif yang menjadi induk penelitian sastra (2005: 4).

Penelitian kualitatif khususnya pada penelitian sastra akhir-akhir ini tidak lepas dari tuntutan realistis tentang perlunya penelitian relevan dengan watak atau karakter ilmu sosial dan humaniora. Siswantoro (2005) menyatakan bahwa karya sastra merupakan cerminan dari ilmu humaniora, terbalut oleh fenomena yang lahir dari setting tertentu, ideologi serta sosio-kultural tertentu pula, serta nilai subjektivitas penulis yang melahirkan tokoh fiktif dengan perwatakan dan kemelut batin tertentu, sehingga tidak tepat didekati dengan penelitian yang berbasis statistik.

(22)

Menurut Anselm Strauss dan Juliet Corbin (2003: 4) dalam bukunya yang berjudul Dasar-dasar Penelitian Kualitatif menyebutkan bahwa penelitian kualitatif sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui proses statistik atau bentuk hitungan lainnya.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka metode yang digunakan untuk menganalisa haiku bertema musim semi karya Masaoka Shiki menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif kualitatif dengan cara memaparkan data dan hasil analisa menggunakan kata-kata. Penelitian ini akan membahas mengenai haiku bertema musim semi karya Masaoka Shiki. Adapun teknik dan langkah-langkah yang akan dilakukan untuk mengkaji makna yang terkandung, yaitu:

(1) Menentukan antologi yang dijadikan objek penelitian yakni haiku bertemakan musim semi karya Masaoka Shiki;

(2) Menetapkan sampel penelitian, dan yang diambil adalah haiku tema musim semi sebanyak tiga sajak;

(3) Melakukan analisis dengan cara pembacaan secara heuristik dengan memperjelas arti sajak untuk mendapatkan kalimat yang sesuai. Lalu dilanjutkan dengan pembacaan hermeneutik atau pengulangan (retroaktif) terhadap objek penelitian agar memperoleh makna yang terkandung berdasarkan konvensi sastranya sesuai teori yang digunakan;

(23)

(4) Pencarian matriks, model, dan variannya untuk memperjelas makna dalam menganalisis puisi.

(5) Menentukan hipogram atau hubungan intertekstual haiku karya Masaoka Shiki. Dengan adanya hipogram maka pemaknaan puisi menjadi penuh;

(6) Merumuskan dan mengambil kesimpulan dalam bentuk laporan penelitian. Dalam proses analisis data, penulis melakukan sintesis fakta-fakta yang diperoleh melalui tahapan verifikasi dengan teori yang sesuai dengan tema penelitian untuk menghasilkan interpretasi yang tepat.

Teori yang digunakan dalam menganalisis penelitian ini yaitu pendekatan semiotik Riffaterre yang mengacu pada tanda-tanda yang terdapat dalam haiku Masaoka Shiki bertema musim semi. Tahap akhir dalam penelitian ini adalah penyajian hasil analisis.

1.8 Sistematika Penulisan

Penelitian ini berjudul “Makna Haiku Musim Semi Karya Masaoka Shiki: Analisis Semiotik Riffaterre”. Hasil penelitian ini akan dipaparkan dalam empat bab. Adapun sistematika penyajiannya adalah sebagai berikut.

Bab I berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, ruang lingkup penelitian, landasan teori, metode dan teknik penelitian, dan sistematika penulisan.

(24)

Bab II berisi riwayat hidup Masaoka Shiki beserta sejarah haiku.

Bab III berisi proses signifikansi haiku musim semi Masaoka Shiki dengan metode Semiotika Riffaterre.

Bab IV berisi kesimpulan. Daftar Pustaka

Referensi

Dokumen terkait

Pola arus hasil simulasi saat MSL menuju pasang maksimum pada saat musim timur (Panel kiri atas sebelum reklamasi, Panel Kanan atas sesudah reklamasi, panel

yang jelek, sehingga menghasilkan keturunan yang tidak baik, tetapi apabila masih terdapat pohon-pohon dewasa berkualitas baik yang dijadikan pohon induk dan didukung dengan

Harap hubungi penjual persediaan yang telah diisi ulang, diproduksi ulang, atau yang kompatibel untuk informasi yang berlaku, termasuk informasi tentang peralatan pelindung diri,

Untuk mengetahui implementasi model Contextual Teaching and Learning (CTL) berbantuan outdoor study dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar geografi siswa

Timbal adalah logam lunak yang berwarna abu-abu kebiruan mengkilat serta mudah dimurnikan dari pertambangan. Timbal juga mudah dibentuk, memiliki sifat kimia yang aktif, sehingga

Dengan demikian, penelitian memandang perlu dilakukan penelitian terkait hal, tersebut utamanya menentukan harga produksi proses permesinan as sentral ini dengan kedua metode yang

Adapun pada masa sekarang ketika perbudakan sudah tiada, dan pada konteks masyarakat tertentu kehormatan atau ketidakhormatan tidak disimbolkan dengan pakaian jilbab,

Langkah awal yang penulis lakukan dalam penyusunan Usulan Mekanisme Pengawasan dan Pengendalian Pekerjaan Fisik Lingkup SUbdit Wilayah III adalah membuat rencana dan jadwal