• Tidak ada hasil yang ditemukan

Referat trauma hepar.docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Referat trauma hepar.docx"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I BAB I

PENDAHULUAN PENDAHULUAN

Trauma pada masyarakat masih menjadi penyebab kematian terbanyak terutama pada Trauma pada masyarakat masih menjadi penyebab kematian terbanyak terutama pada masyarakat usia produktif yaitu <45 tahun. Lebih dari setengah pasien trauma merupakan akibat masyarakat usia produktif yaitu <45 tahun. Lebih dari setengah pasien trauma merupakan akibat kecelakaan lalu lintas, dan sisnaya akibat terjatuh, luka bakar, dan tenggelam. Trauma abdomen kecelakaan lalu lintas, dan sisnaya akibat terjatuh, luka bakar, dan tenggelam. Trauma abdomen menempati peringkat ketiga sebagai penyebab kematian setelah cedera kepala dan cedera dada. menempati peringkat ketiga sebagai penyebab kematian setelah cedera kepala dan cedera dada. Trauma abdomen yang tidak diketahui masih menjadi momok penyebab kematian yang Trauma abdomen yang tidak diketahui masih menjadi momok penyebab kematian yang seharusnya bisa dicegah.

seharusnya bisa dicegah.11

Insidensi trauma tumpul atau tembus abdomen semakin bertambah. Hepar merupakan salah satu Insidensi trauma tumpul atau tembus abdomen semakin bertambah. Hepar merupakan salah satu organ yang paling sering mengalami cedera dan trauma tersebut sering menyebabkan organ yang paling sering mengalami cedera dan trauma tersebut sering menyebabkan  perdarahan.

 perdarahan. Didapatkan Didapatkan sekitar sekitar 30% 30% menjalani menjalani laparotomi laparotomi karena karena kerusakan kerusakan hepar hepar yangyang disebabkan oleh trauma tembus dan 15-20% menjalani laparotomi akibat trauma tumpul disebabkan oleh trauma tembus dan 15-20% menjalani laparotomi akibat trauma tumpul abdomen.

abdomen.33 Hampir 90% cedera hepar disebabkan oleh trauma tumpul pada pasien di Eropa. Hampir 90% cedera hepar disebabkan oleh trauma tumpul pada pasien di Eropa.

Beberapa penelitian menunjukan bahwa tatalaksana untuk trauma hepar dalam tiga decade Beberapa penelitian menunjukan bahwa tatalaksana untuk trauma hepar dalam tiga decade terakhir telah banyak berubah dengan hasil luaran yang lebih baik, husunya dalam trauma terakhir telah banyak berubah dengan hasil luaran yang lebih baik, husunya dalam trauma tumpul. Sebagian besar cedera hepar adalah grade I, II, atau dan III dan biasanya dapat diobati tumpul. Sebagian besar cedera hepar adalah grade I, II, atau dan III dan biasanya dapat diobati hanya dengan observasi (Non Operative Management-NOM). Sebaliknya, 2/3 dari

hanya dengan observasi (Non Operative Management-NOM). Sebaliknya, 2/3 dari grade grade IV danIV dan V memerlukan laparotomy (Operative Management-OM).

(2)

BAB II BAB II

ISI ISI

A.

A. Anatomi HeparAnatomi Hepar

Hepar merupakan organ terbesar didalam tubuh, menempati hampir seluruh regio hypochondrica Hepar merupakan organ terbesar didalam tubuh, menempati hampir seluruh regio hypochondrica dextra, sebagian besar epigastrium dan seringkali meluas sampai ke regio hypochondrica sinistra dextra, sebagian besar epigastrium dan seringkali meluas sampai ke regio hypochondrica sinistra sejauh linea mammilaria.

sejauh linea mammilaria.44

Gambar Letak hepar  Gambar Letak hepar 44

Bentuknya seperti suatu pyramid bersisi tiga dengan basis menunjuk ke kanan sedangkan apeks Bentuknya seperti suatu pyramid bersisi tiga dengan basis menunjuk ke kanan sedangkan apeks (puncak) nya ke kiri. Pada laki

(puncak) nya ke kiri. Pada laki  –  –   laki dewasa beratnya 1400  laki dewasa beratnya 1400 –  –   1600 gram, perempuan 1200  1600 gram, perempuan 1200 –  –  1400 gram.ukuran melintang (transversal) 20

1400 gram.ukuran melintang (transversal) 20 –  –  22,5 cm, vertikal 15 22,5 cm, vertikal 15 –  –  17,5 cm sedangkan ukuran 17,5 cm sedangkan ukuran dorsoventral yang paling besar adalah 10 - 12,5 cm.

(3)

a. Permukaan Hepar

1. Facies diaphragmatica (facies superior) hepar, ialah permukaan hepar yang menghadap ke diaphragma, dibedakan atas empat bagian, yaitu pars :

 Anterior (pars ventralis)  Superior

 Posterior  Dextra

Di sisi kanan, pars anterior dipisahkan oleh diaphragma dari costae dan cartilago costae VI-X, sedangkan di sisi kiri dari costae dan cartilago costae VII-VIII. Seluruhnya tertutup oleh  peritoneum, kecuali disepanjang perlekatannya dengan ligamentum falciforme hepatis. Bagian

dari pars superior dekat jantung mempunyai cekungan yang dinamakan impresio (fossa) cardiaca. Di sebelah kanan, pars posterior lebar dan tumpul sedangkan di sebelah kiri tajam. Agak ke kanan bagian tengah terdapat sulcus venae cavae (ditempati oleh vena cava inferior). Kira  –   kira 2-3 cm ke sebelah kiri vena cava inferior terdapat fissura ligamenta vensosi (ditempati oleh ligamentum venosum arantii). Diantara keduanya terdapat lobus caudatus.4

Di sebelah kanan vena cava inferior terdapat suatu daerah berbentuk segitiga yang dinamakan impressio suprarenalis. Di sebelah kiri fissura ligamenti venosi terdapat sulcus oesophagealis yang ditempati oleh antrum cardiacum oesophagei.

Pada pars dorsalis facies diaphragmaticae terdapat suatu bagian yang tidak tertutup oleh  peritoneum dan melekat pada diaphragma melalui jaringan ikat longgar. Bagian tersebut

dinamakan area nuda hepatis (bare area of the liver) yang dibatasi oleh partes superior et inferior ligamenti coronaria hepatis. Pars dextra bersatu dengan ketiga bagian lainnya dari facies diaphragmatica.4

2. Facies visceralis (fascia inferior) hepar

Cekung dan menghadap ke dorsokaudal kiri, ditandai oleh adanya alur dan bekas alat yang  berhubungan dengan hepar. Facies visceralis tertutup peritoneum kecuali di tempat vesica fellea.

Alur – alur memberikan gambaran seperti huruf “H” dan dibentuk oleh :

 Fossae sagitalis dextra et sinistra (kaki huruf “H”)  Porta hepatis (bagian yang melintang)

(4)

Fossa sagitalis sinistra (fisura longitudinalis) memisahkan lobus dextra dan lobus sinistra hepatis. Porta hepatis memotong tegak lurus dan membaginya menjadi dua bagian, yaitu fissura ligamenti teretis dan fossa duktus venosus. Fisura ligamenti teretis merupakan bagian ventral, ditempati oleh ligamentum teres hepatis (embriologi berasal dari V. umbilikalis) dan terdapat diantara lobus quadratus dan lobus sinister hepatis.4

Fossa ductus venosus terdapat dibagian dorsal diantara lobus caudatus an lobus sinistra hepar. Ditempati oleh ligamentum venosum arantii (embriologik berasal dari ductus venosus arantii). Fossa sagitalis dextra dibagi oleh porta hepatis menjadi dua bagian, yaitu fossa vesiva fellea (dibagian ventral, ditempati oleh vesika fellea) dan fossa vena cava inferior (di bagian dorsal ditempati oleh ven cava inferior). Porta hepatis (fissura transversa) panjangnya kira –  kira 5 cm, memisahkan lobus quadratus disebelah ventral serta lobus caudatus dan proc. caudatus di dorsal. Porta hepatis ditempati oleh :

 Vena porta  Arteri hepatica  Ductus choledochus   Nervus hepaticus  Ductus lymphaticus

Vena porta, arteri hepatica dan ductus choledochus terbungkus oleh ligamentum hepato-duodenale. Biasanya hepar dianggap mempunyai dua lobi, yaitu lobus dextra dan lobus sinistra hepar.4

Lobus Dextra Hepatis

Lobus dextra 6 kali lebih besar daripada lobus sinistra hepatis dan menempati regio hypocondrica dextra. Pada lobus dextra terdapat lobus quadratus dan lobus caudatus Spigeli. Lobus quadratus terdapat diantara vesica fellea da n fissura ligamenti teretis, batasnya adalah: Ventral : margo inferior hepar yaitu bagian yang tipis, tajam dan ditandai oleh adanya incisura ligamenti teretis.

Dorsal : porta hepatis Kanan : fossa vesica fellea Kiri : fissura ligamenti teretis

(5)

Lobus caudatus Spigeli terdapat pada facies dorsalis lobus hepatis dextra setinggi vertebrae Th X-XI, batas –  batasnya :

Kaudal : porta hepatis

Kanan : fossa venae cava inferior Kiri : fissura ligamenti venosi.

Proc. caudatus adalah penonjolan yang menghubungkan lobus caudatus dan lobus hepatis dextra, membentang miring ke arah lateral dari tepi distal lobus caudatus ke facies visceralis lobus hepatis dextra disebelah dorsal porta hepatis.

Lobus Si nistra Hepatis

Lebih kecil dan lebih rata dari lobus dextra, terletak di regio epigastrica dan regio hypochondrica sinistra.

 Hepatic Triad

Ductus choledochus, arteri hepatica dan vena porta yang terbungkus di dalam ligamentum hepato-duodenale di sebelah ventral foramen epiploicum Winslowi membentuk suatu triad (tiga serangkai) yang dinamakan hepatic triad, dengan susunan sebagai berikut :

 Ductus choledochus  Vena porta

 Arteri hepatica

 b. Ligamentum Hepaticae

1. Merupakan lipatan peritoneum :

 Ligamentum falciforme hepatis  Ligamentum coronaria hepatis  Ligamentum triangulare dextra  Ligamentum triangulare sinistra

(6)

Ligamentum falciforme hepatis dibentuk oleh dua lembaran peritoneum yang menjadi satu ligamentum coronaria hepatis terdiri dari atas dua lembar, lembar dibagian dorsal berjalan ke ren dan glandula suprarenalis dextra sehingga dinamakan ligamentum hepato-renalis.

Ligamentum triangulare dextra (ligamentum lateralis dextra) dibentuk oleh kedua lembaran ligamentum coronaria hepatis. Ligamentum triangulare sinistra (ligamentum lateralis sinistra) di sebelah kiri berakhir sebagai suatu ikat fibrosa yang kuat yang dinamakan appendix fibrosa hepatis.

Diantara hepar dan curvatura minor terdapat ligamnetum hepato-gastricum sedangkan dengan duodenum dihubungkan oleh ligamentum hepato-duodenale.

Hepar difiksasi oleh :

 Ligamentum coronaria hepatis  Ligamentum triangulare hepatis  Vena cava inferior

Vascularisasi hepar, yaitu :

 Arteri hepatica  Vena porta  Vv. hepaticae

Dalam perjalanannya ke dalam parenkim hepar A. Hepatica dan V. Porta terbungkus didalam capsula fibrosa Glissoni. Sedangkan persarafan hepar berasal dari :

  Nn. Vagi dextra et sinistra  Plexus symphaticus coeliacus

Apparatus excretorius hepar adalah salurang yang berhubungan dengan penyaluran sekresi yang dihasilkan oleh hepar, terdiri atas :

 Ductus hepaticus  Vesica fellea  Ductus cysticus  Ductus choledochus

(7)

Ductus hepaticus dibentuk oleh ductus hepaticus dextra dan ductus hepaticus sinistra, masing –  masing berasal dari lobus hepatis dextra dan lobus hepatis sinistra. Bersama  –   sama dengan ductus cysticus, ductus hepaticus membentuk ductus choleduchus.

Zona Hepar5

Couinaud scheme :

Gambar A.  Resin Corrosion cast (injected under water to eliminate the gravity. Pembagian segmen hepar menjadi segmen kanan dan segmen kiri. Cabang kanan dari vena porta diinjeksi dengan warna hijau, kiri dengan warna biru,vena hepatikum berwarna putih. (A1) aspek inferior. Perbatasan antara hepar kanan dan kiri dapat diperkirakan dari plane yang bergabunng dengan kantung empedu ke vena cava inferior (titik biru. (A2) aspek anterior. Cabang tengah dari vena hepatic dapat terlihat di permukaan berwarna putih. Gambaran ini tidak terlihat di  permukaanhepar yang sebenanrnya dan tidak sesuai dengan ligament falciform.

(8)

Gambar B. Divisi hepar dibagi menjadi 8 segmen. Cabang pertama vena porta kanan dibagi menjadi 2 yaitu cabang untuk sector anterior (terbagi menjadi two third-order cabang untuk segmen 5 dan 8) dan cabang sector posterior (segmen 6 dan 7).

B. Mekanisme Trauma Hepar

Cedera hepar secara luas dapat dikategorikan sebagai akibat dari mekanisme trauma baik tumpul maupun tembus, dengan perilaku kekerasan dan kecelakaan lalu lintas sebagai kasus tersering yang ditemukan di daerah UK. Terdapat pola distribusi yang jelas yang berlaku di laporan Eropa mengenai mekanisme trauma tumpul, biasanya dihuni oleh pengendara motor dibandingkan dengan jumlah trauma tembus yang lebih banyak di daerah Amerika Utara dan Afrika Selatan.

Trauma tumpul menyebabkan deselarasi atau cedera crush, dengan desalarasi yang menyebabkan perubahan posisi dari hepar dan crush menyebabkan kompresi langsung pada  parenkim hati. Perbedaan ini penting dimana cedera deselarasi cenderung membuat laserasi,

terutama di lobus kanan hepar, yang melibatkan adanya gangguan vaskular, sedangkan cedera crush cenderung melibatkan bagian sentral hepar. Cedera hepar massif yang tidak terselamatkan  biasanya disebabkan oleh deselarasi berenergi tinggi yang menyebabkan gangguan vaskular

mayor atau avulsi hepar dari IVC.3,

Pada pasien dengan hemodinamik stabil, anamnesis yang teliti terhadap pasien, saksi, dan  pelayanan gawat darurat dapat menyediakan informasi yang berguna untuk memprediksi pola

yang paling potensial menyebabkan terjadinya cedera hepar.3

C. Klasifikasi

Lesi trauma hepar dapat diklasifikasikan sebagai minor (grade I, II), moderate (grade III) dan mayor/berat (grade IV, V).3 tingkat keparahan dari cedera hepar berkisar dari yang minor yaitu lesi subkapsular hingga ke avulse hepar yang tak terselamatkan. Skala cedera Hepar merupakan system grade yang paling banyak digunakan dan dibuat oleh  American Association for the Surgery of Trauma (AAST). Skala tersebut mengklasifikasikan cedera dari grade I sampai VI dimana grade I dan II bersifat minor dan biasanya ditatalaksana dengan cara non-operasi; lesi tersebut terjadi sekitar 80-90% dari trauma hepar, sedangkan cedera hepar grade VI, dimana

(9)

terdapat avulsi hepar dari vaskular attachment, lebih jarang terjadi dan biasanya cenderung tidak terselamatkan.3,6

Klasifikasi ini tidak didefinisikan dengan baik dalam literature, namun klasifikasi ini bertujuan untuk mendefinisikan jenis terapi yang dapat dilakukan dan hasil yang berkaitan. Sebagian besar klasifikasi rendah berdasar AAST (grade I-III) dianggap sebagai lesi minor atau moderate dan ditatalaksanai secara Non Operative Management-NOM. Beberapa pasien dengan klasifikasi tinggi AAST (grade IV-V laserasi dengan disrupsi parenkimal melibatkan >75 lobus hepar atau >3 segmen Couinaud dalam 1 lobus) yang mungkin memiliki hemodinamik stabil dan ditatalksana dengan cara Non Operative Management-NOM. Disisi lain, pasien dengan lesi minor dengan hemodinamik tidak stabil harus ditatalaksana dengan Operative Management-OM.. Hal tersebut menunjukan bahwa klasifikasi dari cedera hepar sebagai minor atau mayor harus dipertimbangkan tidak hanya klasifikasi berdasarkan anatomi AAST namun yang lebih  penting adalah status hemodinamik pasien, ISS dan cedera yang berkaitan.2,6ATLS mendefinisikan kondisi tidak stabil tersebut apabila : TD <90 mmHg, HR >120 x/menit, dengan

(10)

adanya tanda vasokonstriksi (dingin, basah, CRT menurun), perubahan kesadaran dan atau napas  pendek.

Selain klasifikasi yang dibuat oleh AAST, terdapat juga klasifikasi cedera hepar yang dibuat oleh Worls Society of Emergency Surgery (WSES). WSES membagi cedera hepar menjadi 3

klasifikasi, yaitu :2

 Minor (WSES grade I)  Moderate (WSES grade II)  Severe (WSES grade III dan IV)

Klasifikasi tersebut mempertimbangkan baik klasifikasi dari AAST maupun status hemodinamik dan lesi yang berhubungan.2

 Cedera hepar minor

WSES grade I termasuk AAST grade I-II dengan hemodinamik stabil baik akibat trauma tumpul maupun trauma tembus

 Cedera hepar moderate

WSES grade II termasuk AAST grade III dengan hemodinamik stabil baik akibat trauma tumpul atau trauma tembus.

 Cedera hepar mayor/severe

 WSES grade III termasuk AAST grade IV-VI dengan h emodinamik stabil baik akibat trauma tumpul maupun trauma tembus

 WSES grade IV termasuk AAST grade I-VI dengan hemodinamik tidak stabil baik akibat trauma tumpul maupun trauma tajam.

(11)

D. Diagnosis Trauma Hepar

Diagnosis dan penanganan yang tepat dari trauma abdomen merupakan unsur terpenting dalam mengurangi kematian akibat trauma abdomen. Pada pasien trauma penilaian abdomen merupakan suatu hal yang menarik. Penilaian sirkulasi saat survey awal harus mencakup deteksi dini dari kemungkinan adanya perdarahan tersembunyi di dalam abdomen dan pelvis pada pasien trauma tumpul. Trauma tajam pada dada diantara putting dan perineum harus dianggap potensial menyebabkan cedera intraabdominal. Pada penilaian abdomen, prioritas maupun metode yang terbaik sangat ditentukan oleh mekanisme trauma, berat dan lokasi trauma maupun status hemodinamik penderita.1

Sebagian dokter menganggap bahwa rupture organ berongga atau perdarahan dari organ padat akan menyebabkan peritonitis dan akan mudah diketahui tapi kenyataanya gejala fisik yang tidak  jelas, kadang ditutupi oleh nyeri ( shadowed by pain) akibat trauma eksterna abdomen dan dikaburkan oleh intoksikasi atau trauma kepala yang semuanya merupakan alasan utama terlewatkanya diagnosis trauma abdomen. Pada sebagian pasien yang memerlukan tindakan segera (emergency laparotomy) pada awalnya memiliki gejala yang tidak khas (benign physical examination) sehingga jika tidak waspada akan dianggap sebagai tidak adanya trauma abdomen.1 Untuk dua mekanisme yang berbeda yaitu trauma tajam (penetrans) dan trauma tumpul (non  penetrans) terdapat pendekatan diagnostik yang berbeda. Adanya luka penetrasi saja sudah

menarik perhatian akan besarnya kemungkinan terjadi trauma pada organ intra abdominal, sedangkan pada trauma tumpul biasanya terjadi multisistem trauma yang menyebab-kan diagnosis lebih sulit ditegakkan. Agar hasil pemeriksaan baik, selain pemeriksaan fisik

(12)

diperlukan alat bantu diagnostik. Alat bantu utama yang ada saat ini ialah FAST, Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL), Computed Tomography (CT), Ultrasonography (USG), atau Diagnostic Laparoscopy (DL).1

1. Anamnesis (riwayat trauma)4

Mekanisme peristiwa trauma sangat penting dalam menentukan kemungkinan cedera organ intra-abdomen. Semua informasi harus diperoleh dari saksi mata kejadian trauma, termasuk mekanisme cedera, tinggi jatuh, kerusakan interior dan eksterior kendaraan dalam kecelakaan kendaraan bermotor, kematian lainnya di lokasi kecelakaan, tanda vital, kesadaran, adanya  perdarahan eksternal, jenis senjata, dan seterusnya.

2. Pemeriksaan fisik 4

Pemeriksaan abdomen harus dilakukan dengan cara yang teliti dan sistematis dengan urutan : inspeksi, auskultasi, perkusi dan palpasi. Penemuannya, positif atau negatif , harus direkam dengan teliti dalam catatan medis.

Pada saat kedatangan ke rumah sakit, mekanisme dan pemeriksaan fisik biasanya akurat dalam menentukan cedera intra-abdomen pada pasien dengan kesadaran yang terjaga dan responsif, meskipun terdapat keterbatasan pemeriksaan fisik. Banyak pasien dengan perdarahan intra-abdomen yang moderat datang dalam kondisi hemodinamik yang terkompensasi dan tidak memiliki tanda-tanda peritoneal.

a. Inspeksi

Penderita harus ditelanjangi. Kemudian periksa perut depan dan belakang, dan juga bagian  bawah dada dan perineum, harus diperiksa untuk goresan, robekan, luka, benda asing yang

tertancap serta status hamil. Penderita dapat dibalikkan dengan hati –  hati untuk mempermudah  pemeriksaan lengkap.4

b. Auskultasi

Melalui auskultasi ditentukan apakah bising usus ada atau tidak. Darah intraperitoneum yang  bebas atau kebocoran (ekstravasasi) abdomen dapat memberikan ileus, mengakibatkan hilangn ya  bunyi usus. Cedera pada struktur berdektan seperti tulang iga, tulang belakang, panggul juga dapat menyebabkan ileus meskipun tidak ada cedera di abdomen dalam, sehingga tidak adanya

(13)

c. Perkusi

Manuver ini menyebabkan pergerakan peritoneum, dan dapat menunjukkan adanya peritonitis yang masih meragukan. Perkusi juga dapat menunjukan bunyi timpani akibat dilatasi lambung akut di kuadran atas atau bunyi redup bila ada hemiperitoneum.4

d. Palpasi

Kecenderungan untuk menggerakan dinding abdomen (voluntary guarding ) dapat menyulitkan  pemeriksaan abdomen. Sebaliknya defans muscular (involuntary guarding ) adalah tanda yang handal dari iritasi peritoneum. Tujuan palpasi adalah mendapatkan adanya dan menentukan tempat dari nyeri tekan superfisial, nyeri tekan dalam atau nyeri lepas. Nyeri lepas terjadi ketika tangan yang menyentuh perut dilepaskan tiba –  tiba, dan biasanya menandakan peritonitis yang timbul akibat adanya darah atau isi usus.4

3. Pemeriksaan Penunjang4

Pasien hemodinamik stabil dengan trauma tumpul dan kondisi yang memadai dievaluasi oleh studi USG abdomen atau CT, kecuali luka parah lain mengambil prioritas dan pasien harus pergi ke ruang operasi sebelum evaluasi perut objektif. Dalam kasus seperti itu, peritoneal lavage diagnostik biasanya dilakukan di ruang operasi untuk menyingkirkan cedera intra-abdomen dan memerlukan eksplorasi bedah segera. Pasien trauma tumpul dengan ketidakstabilan hemodinamik harus dievaluasi dengan USG di ruang resusitasi, jika tersedia, atau dengan lavage  peritoneum untuk menyingkirkan cedera intra-abdomen sebagai sumber hilangnya darah dan

hipotensi.

a. Diagnostik Peritoneal Lavage (DPL)

DPL atau DPA telah banyak digunakan sejak awal diperkenalkan pada tahun 1965. Tehnik tersbut merupakan tehnik pilihan pada ATLS hingga akhirnya digantikan oleh FAST. DPL merupakan tehnik pendekatan diagnosis untuk mengevaluasi adanya hemoperitoneum atau esktravasasi usus pada pasien yang tidak stabil. DPL dianggap sebagai tindakan yang cepat, akurat dan sensitive untuk mengidentifikasi cedera intraabdomen. Kontraindikasi dari DPL adalah obesitas, riwayat laparotomy, coagulopaty dan kehamilan.

(14)

b. Pemeriksaan Rontgen

Pemeriksaaan ronsen servikal lateral, toraks anteroposterior (AP), dan pelvis adalah pemeriksaan yang harus dilakukan pada penderita dengan multitrauma. Pada penderita yang hemodinamik normal maka pemeriksaan ronsen abdomen dalam keadaan terlentang dan berdiri (sambil melindungi tulang punggung) mungkin berguna untuk mengetahui uadara ekstraluminal di retroperitoneum atau udara bebas di bawah diafragma, yang keduanya memerlukan laparatomi segera. Hilangnya bayangan pinggang (psoas shadow) juga menandakan adanya cedera retroperitoneum. Bila foto tegak dikontra-indikasikan karena nyeri atau patah tulang punggung, dapat digunakan foto samping sambil tidur (left lateral decubitus) untuk mengetahui udara bebas intraperitoneal.4

c. Ultrasound diagnostik

Ultrasound menjadi pemeriksaan yang sering dilakukan untuk menilai trauma tumpul abdomen. Ultrasound berfngsi sebagai skrining karena dapat memberikan gabaran ciran bebas didalam abdomen atau pericardium namun tidak dapat menunjukan secara jelas sumbernya. Pemeriksaan  Focus Assesment with Sonography for Trauma (FAST) telah menjadi standar diagnosis sejak

(15)

gambaran anekoik pada intraperitoneal dan intra pericardial yang menunjukan cairan dimana  pada trauma gabaran tersebut dianggap sebagai darah.7

Gambar cairan bebas (yang ditunjukan panah) pada Morison’s Pouch.7

Keunggulan dari penggunaan ultrasound adalah bersifat prtabel (dapat digunakan selama resusitasi), paparan radiasi sedikit, dapat dilaukan berulang (dapat dilakukan evaluasi sesuai kondisi pasien), dan cepat. Kerugianya adalah pemeriksaan ini bergantung pada operator dan memiliki sensitifitas yang rendah dalam mendeteksi cedera pada organ padat. Ultrasound dianggap paling berguna dalam mendeteksi cedera organ padat yang dikaitkan dengan adanya hemoperitoneum. Pemeriksaan ini dianggap tida sensitive untuk mendeteksi cedera usus atau organ retroperitoneal.7

(16)

Gambar ultrasonografi pada kontusio hepar. (A) Gambaran area hiperekoik post trauma pada hati konsisten dengan hematoma.(B) Evaluasi USG pada kontusio hepar : hari ke-3 post trauma : hematoma liqefikasi. Pada gambar diatas

tampak sebagai daerah dengan peningkatan echognicity.7

Beberapa senter telah menggunakan FAST sebagai pengganti dari DPL atau DPA untuk mengevaluasi ada atau tidaknya cairan intraabdomen pada pasien trauma tumpul yang tidak stabil. Keuntungan dari FAST adalah : ekonomis, tidak invasive, cepat, prosedur dapat diulang, sensitivitas 80-85% dan spesifisitas 97-100%. Kekurangan dari prosedur ini adalah : pasien obesitas, kasus ileus, atau emfisema subkutan, dan tergantung dari operatornya. FAST umumnya dapat mendokumentasi 400 ml atau lebih cairan intraperitoneal, dan karena hal tersebut maka  pemeriksaan ini bermanfaat untuk pasien yang tidak stabil untuk menentukan tindakan OM atau

tidak. Jika FAST positif secara mutlak menentukan tindakan OM atau tidak, maka adanya gambaran negative belum pasti dapat menyingkirkan kemungkinan adanya perdarahan intraperitoneal. Pada trauma tembus, FASt sangat spesifik (94,1-100 %), namun tidak dapat mengevaluasi grade lesi secara pasti dan tidak begitu sensitive.6

a. Computed Tomography Abdomen (CT Scan Abdomen)

CT scan telah digunakan selama bertahun-tahun dan telah menunjukan adanya perkembangan dalam mendeteksi cedera abdomen. Pada pasien dengan hemodinamik stabil baik disebabkan

(17)

sensitivitas yang baik, kecuali untuk cedera diafragma, pancreas atau usus halus. Beberapa  penulis menyebutkan bahwa CT merukan factor prediktif, bersamaan dengan tekanan darah

sistolik, untuk menentukan risiko terjadinya kegagalan NOM dan memprediksi hasil luaran  pasien, terutama pda lesi grade IV atau lebih. Faktanya, adanya keterlibatan dari satu atau lebih

vena hepatic, pembedahan hepar 6,5 kali lebih umum, dan risiko utnuk terjadinya perdarahan arteri 3,5 kali lebih tinggi. Sebaliknya, risiko dari adanya gambara false negative dari cedera vascular pada CT scan menunda intervensi yang sesuai. Karena alasan tersebut, beberapa penulis menyarakan utnuk melakukan angiografi pada semua pasien cedera hepar grade III-V, tanpa memandang stabilitas hemodinamik, terutama jika didapatkan adanya keterlibatan dari vena hepatic mayor. Di sisi lain, angiograpy hepar tidak harus dilakukan jika CT menunjukan tidak adanya gambaran perdarahan aktif diantara pasien cedera hepar grade II atau III, karena pada  pasien ini risiko utama yang muncul adalah perdarahan vena.6

Gambar CT contrast-enhanced menunjukan laserasi hepar kompleks : fraktur hepar. Hepar dikatakan mengalami fraktur ketika bands laserasi melewati parenkim hypodens menyatukan dua batas yang berlawanan melalui hilum.7

(18)

Gambar Kontusio hepar. Area yang mengalama cedera memberikan gambaran contrast-enhanced CT sebagai area  parenkim dengan atenuasi rendah dengan batas ireguler. Kontusio selalu merupakan cedera minor dan ukurannya

(19)

Gambar CT scan yang menunjukan adanya laserasi multiple dan hematom parenkim. Gambaran tersebut tampak sebagai hiperdensitas berbentuk bulat dibandingkan dengan parenkim nor mal. Setelah pemberian kontras, gambaran

tersebut muncul sebagai area dengan atenuasi rendah didala parenkim dapat bersifat homogeny maupun inhomogen.7

(20)

Gambar rupture hepar grade III AAST. Contrast-enhanced CT menunjukan focus dengan atenuasi tinggi didalam area hipodens hal tersebut menunjukan adanya ekstravasasi aktif dari bahan kontras: perdarahan aktif.7

Gambar CT scan yang menunjukan rupture hepar grade V dengan laserasi luas yang melibatkan >75% kerusakan dari lobus hepar kanan dan meluas hingga ke porta hepar.3

E. Tatalaksana Cedera Hepar 2,6

a. Rekomendasi tatalaksana Non Operatif Management pada Trauma Tumpul Abdomen  Pasien trauma tumpul dengan hemodinamik stabil dan tidak disertai dengan adanya

cedera internal lain yang memerlukan operasi, penanganan awal yang diberikan adalah  NOM tanpa melihat grade.

(21)

  NOM pada kasus cedera hepar sedang atau berat dapat dipertimbangkan hanya jika lingkungan pasien memungkinkan untuk dilakukan pemantauan intensif, angiography, ruang operasi tersedia, dan akses darah dan produk darah memadai.

 Pada pasien yang dipertimbangkan untuk NOM, CT-scan dengan kontras iv harus dilakukan untuk menentukan anatomy dari hepar yang cedera dan mengidentifikasi cedera yang berkaitan.

 Angiography dengan embolisasi dapat dipertimbangkan seba gai intervensi lini pertama  pada pasien dengan hemodinamik stabil dan artery blush pada CT-scan.

 Nom untuk trauma hepar, semakin banyak digunakan karena tingkat keberhasilan yang tinggi (82-100%). Pada trauma tumpul, NOM merupakan perawatan standar pada pasien dengan hemodinamik stabil, tanpa adanya cedera lain yang mengindikasikan dilakukan OM. Kontraindikasi untuk melakukan tindakan ini adalah pasien dengan hemodinamik tidak stabil dan peritonitis. Pada sebuah penelitian prospektif menunjukan bahwa NOM memiliki insidensi komplikasi dan transfuse yang lebih rendah, terlepas dari tingkat keparahan cedera hepar. Keuntungan dari NOM antara lain : biaya perawatan yang lebih rendah, menghindari laparotomy non-terapiutik dan reseksi hepar yang tidak perlu, komplikasi intraabdomen yang lebih rendah dan menurunkan kebutuhan tranfusi. Pada pasien dengan cedera otak berat dan usia tua, hypotensi kemungkinan merusak, dan OM dapat disarankan karena lebih aman.

Definisi dari hemodinamik tidak stabil tidak pasti. Berdasarkan ATLS definisi dari tidak stabil adalah apabila tekanan darah < 90 mmHg, HR > 120 kali/menit, adanya tanda vasokonstriksi kulit (dingin, CRT meningkat, basah), perubahan tingkat kesadaran dan atau nafas pendek. Setelah status hemodinamik grade cedera hepar AAST dan adanya cedera multiorgan menjadi  prediksi adanya kegagalan. Karena hal tersebut, NOM hanya dapat dilakukan di pusat yang dapat membuat diagnosis tingkat keparahan cedera hepar dan dapat memberikan perawatan intensif (kontorl Hb, monitoring klinis, CT scan 24 jam, angiography dan ruang operasi tersedia). Valmahos et. Al menganggap beberapa hal yang dapat dijadikan predictor klegagalan NOM adalah Hypotensi, cedera hepar grade tinggi berdasar CT, ekstravasasi kontras pada CT, dan kebutuhan transfuse darah, hemopertitoneum (darah di sekitar hepar, peri-colic gutter, dab di  pelvis) usia >55 tahun, perubahan status neurology, kadar laktat, hematokrit >20% pada jam  pertama. Angioembolisasi pada beberapa penelitian dianggap sebagai “esktensi” resusitasi pada

(22)

 pasien yang sedang melakukan resusitasi namun hal ini hanya dapat diaplikasikan pada center tertentu saja.

Follow up post trauma yang disarankan adalah pemeriksaan Hb serial setiap 6 jam dalam 24 jam  pertama pada pasien stabil grade I-II jika pasien tetap stabil, dan setiap 6 jam selama 12 jam  pertama dan slenjutnya setiap 12 jam pda cedera grade III-IV-V, pasien diijinkan berjalan setelah

24 jam.

a. Rekomendasi tatalaksana Non Operative Management-NOM pada trauma tembus hepar   NOM pada trauma tembus hanya dilakukan apabila hemodinamik stabil, tidak disertai

 peritonitis, dan atau evisceration dan atau impalement

  NOM pada trauma tembus dapat dilakukan hanya apabila terdapat lingkungan yang memungkjinkan untuk melakukan monitoring secara intensif, angiografi dan ruang operasi selalu tersedia

 Pemeriksaan klinis serial dan eksplor luka secara lokal pada luka tusuk

 CT scan harus dilakukan untuk mengidentifikasi cedera hepar sesuai untuk Nom atau tidak

 Angioembolisasi dapat dilakukan pada kasus perdarahan artery pada pasien dengan hemodinamik stabil tanpa ada tanda peritonitis, eviscerasi atau empalment

Hingga beberapa tahun sebelumnya, NOM tidak dianggap layak baik pada kasus luka tusuk ataupun luka tembak. Penelitian terbaru menunjukan pendekatan konservatif, menunjukan kesuksesan yang besar (50% untuk luka tusuk di abdomen anterior dan sekitar 85% pada abdomen posterior).

 b. Rekomendasi tatalaksana Operative Management-OM pada trauma tumpul dan tembus hepar

 Pasien harus melakasanakan operative management pada trauma hepar (tumpul atau tembus) pada kasus hemodinamik tidak stabil, adanya cedera organ internal lain yang memerlukan operasi, evisceration, impalement.

 Pebedahan orimer dilakukan untuk mengontrol perdarahan, kebocoran empedu, dan melakukan resusitasi sesegera mungkin

(23)

 Reseksi mayor hepar harus dihindari terlebih dahulu, dan dipertimbangkan hanya pada kasus large devitalized liver portions and in centers with the necessary expertise.   Angioembolisme dapat digunakan pada kasus perdarahan arterial yang persisten.

Rencana untuk melakukan operasi yang mendesak merupakan triage yang dilakukan di UGD dan keputusan untuk operasi dibuat oleh ahli bedah trauma. Ruang operasi di banyak rumah sakit tidak segera berdekatan dengan departemen gawat darurat dan dapat dihapus lebih lanjut jika  pasien harus menjalani evaluasi di departemen radiologi. Jadi, waktu transportasi pasien ke ruang operasi sangat penting dan tergantung pada mekanisme cedera, status fisiologis pasien dan respon terhadap resusitasi, hasil studi diagnostik kritis dan konsultasi yang tepat, dan ketersediaan ruang operasi. Untuk pasien dengan syok refrakter menyusul luka tembak perut dapat dirawat dalam unit gawat darurat tinggal dalam waktu yang singkat (misalnya 10 sampai 15 menit), sedangkan pasien yang stabil dengan trauma tumpul multisistem mungkin dapat tetap dirawat dalam ruang unit gawat darurat atau departemen radiologi untuk beberapa waktu. Triase yang prematur untuk memasukkan pasien ke ruang operasi dapat mengakibatkan laparotomy yang tidak perlu, penundaan dalam evaluasi keadaan pasien, atau ancaman terhadap anggota tubuh sebagai cedera extra abdominal. Namun, penundaan di unit gawat darurat dapat mengakibatkan kerusakan fisiologis yang mengarah ke shock ireversibel dan koagulopati. Transfer ke ruang operasi harus dilakukan oleh personel yang berpengalaman siap mengelola keadaan darurat akut. Kesalahan umum meliputi manajemen jalan nafas yang tidak memadai, tabung oksigen, garis aman, dan pemantauan pasien yang tidak baik. Setiap rumah sakit harus menetapkan protokol untuk memastikan transportasi pasien tepat waktu, efisien, dan aman dari ruang resusitasi gawat darurat menuju ke ruang op erasi.

F. Prognosis

Penyebab utama terjadinya kematian pada cedera hepar adalah perdarahan yang tidak segera diatasi, dan sepsis dengan kegagalan organ multiple dalam jangka waktu yang lebih lama. Angka kesembuhan setelah mengalami cedera hepar tergantung dari tigkat keparahan cedera hepar, mekanisme, dan ada tidaknya cedera lain yang menyertai dimana angka kematian secara keseluruhan sekitar 12%. Lebih dari 90% pada pasien tersebut berhasil di terapi dengan cara konservatif. 10% dari pasien trauma hepar-sebagian besar  grade IV dan V dan dengan  peningkatan angka mortalitas 46% dan sekitar 80% dari angka tersebut menjalani operasi. Pasien

(24)

dengan trauma tumpul atau luka tembak abdomen memiliki luka yang lebih parah dibandingkan dengan luka tusuk.3,8

G. Komplikasi

Persentase komplikasi yang terjadi pada pasien dengan cedera hepar grade tinggi adalah 11-13% dan dapat diprediksi berdasarkan grade dari cedera hepar dan jumlah sel darah merah yang di transfusi dalam waktu 24 jam setelah cedera. Komplikasi pada trauma tumpul dengnan NOM meningkat terutama pda cedera grade tinggi (secara keseluruhan 0-7%, komplikasi pada cedera grade III-V; 12,6%-14%). Pemeriksaan klinis, tes darah, USG dan CT san dapat membantu diagnosis, namun follow up ruti dengan CT scan tidak perlu dilakukan. CT scan kontrol diabjurkan pada kasus inflamasi persisten dari tes laboratorium, demam, nyeri perut. Jaundice,  penurunan Hb. Kompliaksi tersering pada NOM adalah empedu (kebocoran empedu, hemobilia,  bilioma, peritonitis bilier, fistula biliaris), perdarahan, kompartemen syndrome abdomen, infeksi (abses atau infeksi lain) dan nekrosis hepar. USG bermanfaat sebagai follow up pada cedera hepar dengan tatalaksanan NOM, khususnya dalam menilai adanya kebocoran empedu/biloma  pada cedera hepar grade IV-V terutama pada laserasi sentral.8

Komplikasi utama yang dapat terjadi adalah perdarahan ulang atau perdarahan sekunder (akibat rupturnya kasul hematoma atau pseudo-aneurysm). Perdarahan “ Late” terjadi dalan waktu 72

 jam setelah trauma, dan insidensi secara keseluruhan adalah 0-14%. Untungnya sebagian besar kasus (69%) dapat ditatalaksana dengan cara non-operatif. Pseudo-aneurysm arteri hepatic post trauma jarang ditemukan (1,2%, 70-80% ekstrahepatik dan 17-25% intrahepatik) dan dapat ditatalakana dengan sembolisasi selektif.

Komplikasi biliar dapat terjadi pada 1/3 kasus dan dapat dikontrol dengan cara Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP) dan eventual stenting, drainase perkutaneus dan terakhir dengan intervensi bedah (open atau laparoskopi). Kebocoran empedu dapat terjadi pada

(25)

3-20% NOM. Pada kasus kebocoran empedu minor, dapat ditatalaksana dengan cara konservatif, namun pada fistula biliar dengan output banyak (>300-400 ml/hari atau ketika drainase biliar minimal 50 ml/hari dan berlanjut selama 2 minggu) akan menguntungkan dari ERCP. Intrahepatik bilio-venus fistel (sering dikaitkan dengan bilemia) dapat ditatalaksana dengan ERCP.8

Abses perihepatik memiliki insidensi rendah (0-7%) dan dapat ditatalaksana dengan drainase yang diarahkan oleh CT-scan atau USG. Hemobilia tidak umum ditemukan (<3%), namun sering diakitkan dengan pseudo-aneurysm.  Pseudoaneurysm mungkin asimptomatik dan tidak terdeteksi dalam hitungan hari bahkan bulan setelah terjadinya cedera. Kondisi tersebut biasanya diketahui disaat pasien mengakami hemobilia dengan gejala nyeri perut, perdarahan gastrointestinal, dan kadang  jaundice.  Hemobilia sendiri merupakan perdarahan di dalam kantung empedu dan penyakit ini jarang ditemukan.9

(26)

DAFTAR PUSTAKA

1. Umboh, I.J., Sapan, H.B., Lampus, H. Hubungan Penatalaksanaan Operatif Trauma  Abdomen dan Kejadian Laparotomy Negatif di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado.

Jurnal Biomedik. Vol. 8. No. 2. 2016

2. Coccolini, F., et al . WSES Classification and Guidelines for Liver Trauma. World Journal of Emergency Surgery. 2016

3. Cresswell, A.B., Bowles, M.J., Wendon, J.A. The management of Liver Trauma. 4. Warsinggih. Ruptur Hepar. 2015

5. Majno, P. et al. Anatomy of the Liver: an Outline with Three Level of Complexity A

 Further Step towards Tailored Territorial Liver Resections. Journal of Hepatology. 2014 6. Coccolini, F., et al . Liver Trauma : WSES Position Paper. World Journal of Emergency

Surgery. 2015

7. Mama N. et al. Abdominal Trauma Imaging. INTECH. 2012

8. Bala, M., et al. Complications of High Grade Liver Injuries : Management and Outcome with Focus on Bile Leaks. Scandinavian Journal of Trauma, Resusitation and Emergency Medicine. 2012

9. Choi, P.M., et al. Late Complications After Blunt Liver Injury in Child : Hemobilia with  Pseudoanurysm, Hemocholecystitis and Biloma. Journal of Pediatric Surgery: Case

Gambar

Gambar Letak hepar Gambar Letak hepar 44
Gambar  A.  Resin  Corrosion  cast  (injected  under  water  to  eliminate  the  gravity
Gambar cairan bebas (yang ditunjukan panah) pada  Morison’s Pouch. 7
Gambar ultrasonografi pada kontusio hepar. (A) Gambaran area hiperekoik post trauma pada hati konsisten dengan hematoma.(B) Evaluasi USG pada kontusio hepar : hari ke-3 post trauma : hematoma liqefikasi
+5

Referensi

Dokumen terkait

Membina para lansia agar dapat menjaga kesehatan nya tidak datang Penyuluhan tentang Kesehatan Jiwa Penyuluhan tentang Kesehatan Jiwa sosialisasi tentang kesehatan jiwa di 14

Parameter ini diisi sesuai dengan Permendagri Nomor 113 tahun 2013. Dalam modul pelatihan ini menggunakan nama desa, kode rekening dan bidang kegiatan yang

Lain halnya dengan organisasi besar yang berbentuk perusahaan, biasanya mereka memanfaatkan semua elemen dari bauran promosi (promotion mix) untuk meningkatkan jumlah

Pembinaan akhlak remaja merupakan Pembinaan yang dilakukan oleh ornagtua dalam hal ini orangtua memberikan pendidikan agama Islam di tempat-tempat khusus.

Identifikasi bakteri dapat dilakukan dengan mengamati hasil reaksi biokimia yang terjadi pada bakteri, salah satu metode terbaru untuk identifikasi pada tingkat

Hasil uji beban statis untuk muka air tanah di atas dasar fondasi dengan berbagai variasi persentase campuran styrofoam pada lubang uji dengan media tanah lempung

Meningkatnya impor beras, terutama beras organik dari Indonesia ke Italia dan negara- negara Eropa lain yang memiliki konsumsi besar terhadap bahan makanan organik

Dengan menggunakan istilah “ pesantren” bagi nam a lembaganya, yang pada hakikatnya tidak berbeda dengan sistem m adrasah yang dikelola secara klasikal,