• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TELAAH TEORITIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TELAAH TEORITIS"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

A. Persepsi Terhadap Ospek Sebagai Ajang Kekerasan 1. Definisi Persepsi

Secara etimologis, persepsi berasal dari kata perception (Inggris) yang berasal dari bahasa latin percipare yang artinya menerima atau mengambil (Sobur, 2003: 445). Menurut kamus lengkap psikologi, persepsi adalah: (1) Proses mengetahui atau mengenali objek dan kejadian objektif dengan bantuan indera, (2) Kesadaran dari proses-proses organis, (3) (Titchener) satu kelompok penginderaan dengan penambahan arti-arti yang berasal dari pengalaman di masa lalu, (4) variabel yang menghalangi atau ikut campur tangan, berasal dari kemampuan organisasi untuk melakukan pembedaan diantara perangsang-perangsang, (5) kesadaran intuitif mengenai kebenaran langsung atau keyakinan yang serta merta mengenai sesuatu (Chaplin, 2006:358).

Kotler (2000) menjelaskan persepsi sebagai proses bagaimana seseorang menyeleksi, mengatur dan menginterpretasikan masukan-masukan informasi untuk menciptakan gambaran keseluruhan yang berarti. Adapun Robbins (2003) juga menjelaskan persepsi dalam kaitannya dengan lingkungan, yaitu sebagai proses di mana individu-individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka agar memberi makna kepada lingkungan mereka. Menurut Moskowitz dan Ogel (dalam Walgito, 2003:54) persepsi merupakan proses yang terintegrasi dari individu terhadap stimulus yang diterimanya.

(2)

pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan aktivitas yang integrated dalam diri individu.

Walgito (1993) mengemukakan bahwa persepsi seseorang merupakan proses aktif yang memegang peranan, bukan hanya stimulus yang mengenainya tetapi juga individu sebagai satu kesatuan dengan pengalaman-pengalamannya, motivasi serta sikapnya yang relevan dalam menanggapi stimulus. Individu dalam hubungannya dengan dunia luar selalu melakukan pengamatan untuk dapat mengartikan rangsangan yang diterima dan alat indera dipergunakan sebagai penghubungan antara individu dengan dunia luar. Agar proses pengamatan itu terjadi, maka diperlukan objek yang diamati alat indera yang cukup baik dan perhatian merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam mengadakan pengamatan. Persepsi dalam arti umum adalah pandangan seseorang terhadap sesuatu yang akan membuat respon bagaimana dan dengan apa seseorang akan bertindak. Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan proses kategorisasi yang terintegrasi dalam diri individu, sehingga ia dapat mengenali atau memberi arti dari suatu stimulus.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi

Persepsi seseorang tidaklah timbul begitu saja, melainkan dipengaruhi oleh beberapa faktor baik yang bersifat internal maupun yang bersifat eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang berkenaan dengan keberadaan individu yang bersangkutan, sedangkan faktor eksternal adalah faktor pengaruh yang diakibatkan oleh keberadaan rangsangan tersebut. Menurut Walgito

(3)

(2002, hal. 46) faktor yang dapat mempengaruhi proses persepsi merupakan faktor eksternal, yaitu faktor stimulus dan faktor lingkungan dimana persepsi tersebut berlangsung. Sedangkan faktor internal adalah individu itu sendiri. Oskamp (dalam Sadli, 1976, hal.72) mengemukakan empat karakteristik penting dari faktor-faktor pribadi dan sosial yang dapat mempengaruhi persepsi individu yaitu: Faktor ciri-ciri khas dari objek stimulus yang terdiri dari nilai, arti, familiaritas, dan intensitas. Kedua, faktor-faktor pribadi, termasuk di dalamnya ciri khas individu seperti, taraf kecerdasannya, minatnya, emosionalitasnya. Ketiga, faktor pengaruh kelompok, respon orang lain dapat memberi arah ke suatu tingkah laku konform, dan keempat, faktor perbedaan latar belakang kuturil, terdiri tiga variabel yang mempengaruhi persepsi yaitu, fuctional salience, familiaritas, dan sistem komunikasi.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa persepsi dipengaruhi oleh faktor rangsangan yang datang dari objek maupun peristiwa, dan faktor individu yang bersangkutan dengan karakteristiknya. Demikian halnya persepsi yang terdapat di tengah-tengah mahasiswa yang lebih senior mengenai esensi dari pelaksanaan Ospek. Merujuk kepada fakta-fakta seringnya kasus kekerasan terjadi di dalam Ospek, ajang bagi pelecehan dan perilaku kekerasan (abusement) telah terintegrasi menjadi sebuah persepsi di antara sejumlah mahasiswa dalam memaknai Ospek itu sendiri.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Kekerasan

Menurut WHO (dalam Bagong S., dkk, 2000), kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, dan ancaman atau tindakan terhadap

(4)

diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan mengakibatkan memar/ trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan, atau perampasan hak.

Thalib (2002) menjelaskan bahwa perilaku kekerasan dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal yang saling berinteraksi dalam diri individu. Faktor-faktor internal yaitu: cita-cita, harapan, kepercayaan, tempramen, dan kemampuan kognitif. Sedangkan Faktor eksternal dapat berupa: pengalaman perilaku kekerasan, praktik pengasuhan orang tua, faktor sosial budaya, tingkat pendidikan orang tua, serta lingkungan fisik seperti iklim, cuaca, dan kepadatan juga dapat mempengaruhi seseorang untuk memunculkan perilaku kekerasan.

Setiadi (2000, h. 62-63) mengemukakan beberapa faktor dari perilaku kekerasan:

1. Pembenaran secara moral, melalui restrukturisasi kognisi, seseorang dapat saja mencari pembenaran sehingga perilaku agresif yang tadinya dianggap buruk menjadi terhormat.

2. Pengalihan tanggung jawab, hal ini terjadi bila otoritas yang sah menyatakan kesediaannya untuk bertanggung jawab atas perilaku agresif tertentu. Perilaku tersebut tidak dilakukan secara langsung tetapi dengan membiarkan perilaku agresif tersebut berlangsung tanpa adanya sanksi.

3. Pengaburan tanggung jawab, seseorang cenderung bertindak agresif bila kekerasan tersebut dilakukan secara kolektif, karena dapat

(5)

mempersepsikan bahwa dirinya tidak bertanggung jawab secara pribadi terhadap korban.

4. Distorsi terhadap konsekuensi, setiap orang cenderung untuk mengingat efek positif dan melupakan efek negatif dari perbuatannya. 5. Dehumanisasi, seseorang akan lebih mudah berperilaku agresif

terhadap orang yang dianggap lebih rendah dari dirinya dibandingkan dengan orang yang sederajat dengan dirinya.

B. Ospek

1. Pengertian Ospek

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), definisi orientasi diartikan sebagai suatu aktivitas peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dsb) yang tepat dan benar. Berdasarkan definisi tersebut, orientasi studi dan pengenalan kampus (Ospek) dapat diartikan sebagai aktivitas orientasi terhadap objek berupa kegiatan serta lingkungan tempat berlangsungnya studi, dengan tujuan untuk dapat menentukan sikap yang tepat dan benar di kemudian hari. Orientasi studi juga mempunyai pengertian memberikan arah termasuk bimbingan terhadap suatu proses studi yang ada di perguruan tinggi yang di dalam Ospek ditujukan kepada mahasiswa baru (Utomo, 2006). Dalam prakteknya kegiatan orientasi ini biasanya berlangsung pada minggu pertama dari kalender akademik dari suatu perguruan tinggi atau lembaga pendidikan lain, karena itu secara umum kegiatan tersebut dinamai orientation week. Kegiatan orientasi atau orientation week memiliki nama yang berbeda-beda di

(6)

beberapa negara. Minggu pertama masa orientasi dikenal sebagai Frosh/ frosh week (USA), Fresher’s week (UK), Orientation week atau O-week (Australia dan New Zealand), Nollning (Swedia) (Koppi, 1998). Meskipun biasanya dikatakan sebagai minggu orientasi, lama waktu kegiatan dapat berlangsung kurang dari seminggu, tergantung kebutuhan dan tradisi universitas.

Isi orientasi sangat variatif, tetapi kegiatannya menjurus pada pengenalan studi hingga aktivitas sosial, olahraga dan alam terbuka, serta kesenian dan rekreasi. Sebagai contoh di Australia, masa orientasi diarahkan agar mahasiswa baru memahami tentang perkuliahan, kehidupan mahasiswa dan pengenalan kehidupan kampus (university life). Sedangkan orientasi mahasiswa baru di Inggris dan Amerika Serikat, mahasiswa diperkenalkan dengan fasilitas kampus yang akan digunakan, kegiatan ekstra di luar perkuliahan, hingga masalah untuk mempromosikan pesan-pesan yang berkepentingan dengan kehidupan remaja (Koppi, 1998).

2. Hakikat, Tujuan, dan Pelaksana Ospek

Menurut Pramudi Utomo (2006) hakikat, tujuan, dan pelaksanaan kegiatan ospek adalah sebagai berikut:

a. Hakikat Ospek

 Ospek merupakan kegiatan institusional yang menjadi tanggung jawab universitas untuk mensosialisasikan kehidupan di perguruan tinggi dan proses pembelajaran yang pelaksanaannya melibatkan unsur pimpinan universitas, fakultas, mahasiswa, dan unsur-unsur lain yang dipandang perlu

(7)

 Ospek merupakan sarana bagi mahasiswa baru untuk mengenal dan melakukan adaptasi dengan budaya perguruan tinggi

b. Tujuan Ospek

 Mahasiswa dapat mengenal dan memahami lingkungan kampus sebagai suatu lingkungan akademis serta memahami mekanisme yang berlaku di dalamnya

 Menambah wawasan mahasiswa baru untuk dapat menggunakan sarana akademik yang tersedia di perguruan tinggi secara maksimal

 Mempersiapkan mahasiswa agar mampu belajar di perguruan tinggi serta mematuhi dan melaksanakan norma-norma yang berlaku khususnya yang berkaitan dengan Kode Etik dan Tata Tertib Mahasiswa

 Menumbuhkan kesadaran mahasiswa baru akan tanggung jawab akademik dan sosial sebagaimana tertuang dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi. c. Organisasi Pelaksana

Berdasarkan Keputusan Dirjen Dikti 38/Dikti/Kep/2000 yang menyatakan Pengenalan Program Studi dan Program Pendidikan di Perguruan Tinggi diselenggarakan dalam rangka kegiatan akademik oleh pimpinan perguruan tinggi yang bersangkutan. SK Dirjen Dikti tersebut lebih lanjut menyatakan bahwa penanggung jawab penyelenggaraan Ospek adalah pihak rektorat yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan Pembantu Rektor III bidang kemahasiswaan. Selanjutnya pelaksanaan Ospek dilakukan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di bawah pengawasan Pembantu Rektor III

(8)

3. Penyelenggaraan Ospek

Penyelenggaraan OSPEK didasarkan pada SK Dirjen Dikti Nomor 38/DIKTI/Kep/2000 tentang pengaturan kegiatan penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi. Pada dasarnya Ospek bertujuan untuk memberikan pengenalan awal bagi mahasiswa baru terhadap berbagai aspek kehidupan perguruan tinggi seperti statuta universitas, peraturan akademik, sistem kurikulum, cara belajar di perguruan tinggi, etika mahasiswa, dan organisasi kemahasiswaan. Di samping itu kegiatan Ospek dapat menjadi tempat memperkenalkan pimpinan universitas, fakultas, dan jurusan/ program studi. Oleh karena itu, Ospek bagi mahasiswa baru merupakan kegiatan yang sangat penting sebagai gerbang masuk menuju kehidupan kampus yang sekaligus sebagai awal langkah pengenalan dan pengembangan budaya akademis.

Orientasi studi di Indonesia pada umumnya dikenal dengan nama Ospek, namun pada penerapannya ada yang memberi nama selain nama itu. Alasannya bisa bersifat situasional bergantung kepada organisasi mahasiswa yang disahkan birokrasi yang menyelenggarakannya. Nama yang digunakan bahkan berbeda-beda dalam satu kampus yang sama, dan berubah-ubah dari tahun ke tahun. Di ITB misalnya, pada tahun 2012 dan 2013 menggunakan istilah OSKM (Orientasi Studi Keluarga Mahasiswa), sedangkan sebelumnya pada tahun 2011 mereka masih menggunakan istilah POMB (Pekan Orientasi Mahasiswa Baru). Begitu juga dengan Universitas Sumatera Utara (USU), Fakultas Hukum masih menggunakan istilah Ospek pada tahun 2013, sedangkan Fakultas Psikologi menggunakan istilah POMB di tahun yang sama.

(9)

Begitu juga dengan kampus atau institusi lainnya menggunakan terminologi yang berbeda-beda untuk kegiatan yang pada prinsipnya sama-sama bersifat orientasi dan pengenalan budaya kampus. Akan tetapi, penelitian ini menggunakan istilah Ospek karena berdasarkan apa yang paling sering digunakan di tengah-tengah masyarakat luas serta berdasarkan kata pencarian (keyword) yang paling populer di kalangan pengguna mesin pencarian seperti internet, Ospek merupakan istilah yang paling sering muncul.

C. Orientasi Dominasi Sosial

1. Orientasi Dominasi Sosial dan Teori Social Dominance

Orientasi dominasi sosial (Social Dominance Orientation, disingkat SDO) berdasarkan Sidanius dan Pratto (1999) didefinisikan sebagai “derajat sejauh mana individu menginginkan dan mendukung hirarki yang berdasar pada kelompok (group-based hierarchy) dan dominasi kelompok yang lebih kuat atas kelompok yang lebih lemah.” Dengan kata lain, SDO merupakan faktor kepribadian yang merujuk kepada sejauh mana seseorang menginginkan agar kelompok di mana dirinya bernaung menjadi lebih superior daripada kelompok-kelompok lainnya (Pratto et al, 1994). Teori yang menjelaskan tentang SDO disebut sebagai Social Dominance Theory (SDT), merupakan teori yang didesain untuk menjelaskan asal muasal dan konsekuensi dari hirarki sosial dan berbagai bentuk penindasan yang terjadi dalam lingkungan sosial (Pratto, Sidanius, & Levin 2006). Teori tersebut berdalil bahwa lingkungan sosial meminimalkan konflik antar kelompok dengan menciptakan

(10)

permufakatan dari ideologi-ideologi yang mendukung superioritas satu kelompok atas kelompok lain (Sidanius, Pratto, Martin, & Stallworth, 1991). Ideologi-ideologi tersebut yang mempromosikan atau menjaga ketidak-setaraan pada tiap-tiap kelompok merupakan alat untuk mengesahkan berlangsungnya diskriminasi. Untuk dapat bekerja secara halus, ideologi ini harus dapat diterima secara luas oleh lingkungan sosial, terlihat seperti suatu kebenaran yang dianggap nyata, oleh karena itu Sidanius dan Pratto menyebut hal ini mitos pengesahan-hirarki (hierarchy-legitimizing myths). Ada dua jenis mitos pengesahan ini, pertama mitos pengesahan hal-hal yang meningkatkan hirarki, yang mempromosikan ketidak-setaraan yang lebih jelas antara satu kelompok dengan kelompok lain; kedua mitos pengesahan hal-hal yang memperkecil hirarki, yang mempromosikan kesetaraan di antara setiap kelompok (Pratto, Sidanius, Stallworth, & Malle, 1994).

Menurut teori social dominance, terdapat 3 struktur dari hirarki berbasis kekelompokan yang dibuat oleh lingkungan sosial, yaitu: (1) sistem usia (age system), di mana orang yang lebih tua mempunyai dominasi terhadap yang lebih muda ; (2) sistem jenis kelamin (gender system), di mana laki-laki mempunyai porsi dominasi yang lebih dibanding perempuan; dan yang ke (3) sistem kesewenangan (arbitrary set system), di mana kelompok yang mendominasi memiliki akses yang lebih terhadap sumber daya yang bernilai daripada kelompok yang didominasi (Pratto, Sidanius, & Levin, 2006).

(11)

2. Aspek-Aspek yang Mempengaruhi SDO

SDO diusulkan dipengaruhi oleh paling tidak 5 buah faktor yang sifatnya luas (Pratto, Sidanius, & Levin, 2006) :

a. Posisi kelompok

Berdasarkan teori social dominance, anggota dari kelompok yang dominan berdasarkan kewenangannya (arbitrary-set) diprediksi memiliki level SDO yang lebih tinggi dari anggota kelompok subordinat karena mereka ingin mempertahankan akses hak istimewa terhadap sumber ekonomi dan sosial yang dihasilkan oleh posisi mereka yang lebih dominan tersebut.

b. Konteks Sosial

Berdasarkan teori social dominance, ketika kesenjangan status antara kelompok dominan dan subordinat bervariasi, perbedaan SDO yang terdapat di dalam kelompok juga akan bervariasi, yakni kelompok berstatus lebih tinggi akan mempunyai keinginan yang lebih tinggi untuk mempertahankan hirarki sistem sosial dimana kelompok ingroup akan lebih diuntungkan, dan kelompok berstatus lebih rendah akan mempunyai keinginan lebih tinggi utuk menentang sistem tersebut.

c. Perbedaan tempramen dan kepribadian

Selain dipengaruhi oleh identitas sosial yang secara situasional bersifat kontingen, skor SDO juga dipengaruhi oleh tempramen dan kepribadian yang individu miliki. Sebagai contoh, SDO telah ditemukan mempunyai hubungan yang negatif dengan empati terhadap orang lain dan

(12)

faktor kepribadian dari Openness dan Agreeableness (2 dari dimensi kepribadian Big Five), dan berasosiasi positif dengan agresifitas, perilaku mendendam (vindictiveness), kedinginan (coldness), dan keras kepala (tough-mindedness).

d. Gender dan Sosialisasi

Sesuai dengan peran sosial mereka yang berbeda secara fundamental dalam hirarki sosial, rata-rata laki-laki dan perempuan juga memiliki attitude yang berbeda terhadap sosial dan politik (Lihat Pratto, Stallworth, & Sidanius, 1997a). Secara umum, wanita mendukung kesetaraan sosial, tradisi inklusif, dan kebijakan yang melindungi dan peduli kepada yang tertindas, lebih memilih kebijakan yang bersifat progresif, rasa takut yang lebih rendah kepada orang asing (less xenophobic), dan lebih menentang perang jika dibandingkan dengan laki-laki. Sedangkan laki-laki lebih tegas mendukung ketidaksetaraan (Pratto, Sidanius, & Levin, 2006). Hal ini konsisten dengan hipotesis yang tak berubah-ubah dari teori social dominance, laki-laki selalu mempunyai level SDO yang lebih tinggi dari perempuan (Levin, 2004; Sidanius, et al., 2000; Sidanius & Pratto, 1999). Sementara itu pengalaman sosialisasi dapat mempengaruhi SDO. Duckitt (2001) mengajukan bahwa sosialisasi dari lingkungan yang kurang kasih sayang secara tidak langsung berpengaruh kepada skor yang tinggi dari SDO (Pratto, Sidanius, & Levin, 2006).

(13)

D. Orientasi Dominasi Sosial dan Kekerasan

Berbagai penelitian sebelumnya telah meneliti relasi antara SDO dengan berbagai perilaku kekerasan. Individu-individu yang memiliki SDO tinggi lebih menilai penggunaan senjata oleh polisi dalam melaksanakan tugasnya sebagai hal yang lumrah dibandingkan dengan orang-orang yang memiliki SDO rendah (Perkins & Bourgeois, 2006). Sesuai dengan hasil penelitian tersebut, SDO dapat dianggap sebagai suatu faktor kepribadian yang mempengaruhi persepsi mengenai penggunaan tindakan kekerasan kepada orang lain (Hess, Gray & Nunez, 2012). Penelitian lain menunjukkan bahwa orang-orang yang memiliki SDO tinggi menilai bahwa pengambilan tindakan hukum yang keras dan kejam sebagai suatu hal yang patut dilakukan kepada tertuduh (Capps, 2002; Sidanius, Mitchell, Haley, & Navarrette, 2006).

Selanjutnya, Hess, Gray, Nunez (2012) melakukan penelitian mengenai SDO dengan hubungannya terhadap persepsi mengenai hukuman fisik. Mereka melakukan pengujian terhadap SDO sebagai faktor kepribadian yang mempengaruhi persepsi mengenai penerapan hukuman fisik pada anak, sejauh apa suatu hukuman dianggap sebagai hukuman fisik (yang wajar) dan dianggap sudah melampaui batas kewajaran atau telah digolongkan sebagai penyalahgunaan (abusement). Studi tersebut menghasilkan temuan bahwa individu dengan level SDO tinggi memiliki kecenderungan untuk mempersepsikan hukuman yang tergolong penganiayaan (abusement) sebagai hukuman fisik biasa. Sebaliknya individu dengan SDO rendah mempunyai kecenderungan untuk mempersepsikan hukuman yang menggunakan cara-cara

(14)

kekerasan sebagai bukan merupakan hukuman fisik yang biasa, melainkan sebuah penganiayaan atau penyiksaan yang tidak dapat ditolerir.

Sebagaimana penelitian yang telah ada mengenai hubungan antara SDO dengan persepsi mengenai hal yang berhubungan dengan kekerasan, hasil dari penelitian-penelitian terdahulu menunjukkan bahwa SDO memiliki korelasi yang positif terhadap persepsi seseorang mengenai perilaku ataupun tindakan yang mengandung unsur kekerasan. Teori social dominance berargumen bahwa hirarki berbasis kelompok dipengaruhi oleh umur (age system), jenis kelamin (gender system), dan kewenangan (arbitrary-set system). Jika mengacu kepada keberadaan Ospek, dimana para pelaksana kegiatan adalah kelompok mahasiswa yang lebih senior dan dilakukan kepada mahasiswa yang stambuknya lebih muda (junior), peneliti beranggapan bahwa kondisi ini dapat memiliki koneksi dengan social dominance orientation jika dihubungkan dengan teori social dominance.

E. Hipotesis

Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah “Ada hubungan antara level Orientasi Dominasi Sosial (SDO) dengan persepsi terhadap ospek sebagai ajang kekerasan.”

Referensi

Dokumen terkait

Keluarga pengrajin mebel memiliki kesibukan dalam bekerja, membuat orang tua kurang pengawasan dan perhatian kepada remaja sehingga membuat remaja belum bisa sepenuhnya mandiri.

Ipteks bagi Masyarakat (IbM) yang dilakukan pada UMKM pembibitan dan penggemukan sapi potong di kecamatan Kedungpring kabupaten Lamongan untuk menjawab permasalahan belum

Adapun upaya dalam negeri meliputi kontrol pengungsi dan pemeriksaan ketat diperbatasan, pengendalian perbatasan, mempercepat proses pemberian suaka dan mendeportasi pengungsi

tekanan darah, penurunan laju nadi dan penurunan laju nafas, CT-scan menunjukkan adanya perdarahan intraparenkim lobus parieto-tempro- occipital kanan dengan volume diperkirakan

Partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan permukiman dicirikan dengan: (a) sikap proaktif masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan masih rendah

Dalam hal ini dapat dilihat peran dan tugas seorang camat pada pemerintahan Kecamatan Salapian Kabupaten langkat adalah berusaha untuk mempengaruhi para pegawainya dengan

Kelainan bicara dan/atau bahasa adalah adanya masalah dalam komunikasi dan bagian-bagian yang berhubungan dengannya seperti fungsi organ bicara Keterlambatan dan

Karena Drake, Wong, dan Slater (2007) melakukan penelitian pada tingkat individu yang bekerja di posisi yang lebih rendah dalam organisasi yang secara langsung terlibat dalam