• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. dan dipelajari. Morgan et.al dalam Notoatmodjo (2010) menyatakan bahwa perilaku

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. dan dipelajari. Morgan et.al dalam Notoatmodjo (2010) menyatakan bahwa perilaku"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perilaku

Perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan dipelajari. Morgan et.al dalam Notoatmodjo (2010) menyatakan bahwa perilaku adalah suatu yang dilakukan oleh manusia atau binatang dalam bentuk yang dapat diamati dengan beberapa cara (Notoatmodjo 2010).

Notoatmodjo membagi ranah perilaku menjadi tiga bagian yaitu, pengetahuan (Knowledge), sikap (Attitude) dan Tindakan (Practice). Bentuk operasional perilaku ini dapat dikelompokkan menjadi 3 macam yaitu :

a. Perilaku dalam bentuk pengetahuan yaitu dengan mengetahui situasi atau rangsangan dari luar

b. Perilaku dalam bentuk sikap yaitu tanggapan terhadap keadaan atau rangsangan dari luar subjek

c. Perilaku dalam bentuk tindakan yang sudah nyata berupa perbuatan (action) terhadap situasi atau rangsangan dari luar (Notoatmodjo, 2010).

2.1.1. Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga dan sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi

(2)

terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera pendengaran (telinga) da indera penglihatan (mata). Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda. Secara garis besar dibagi dalam enam tingkat pengetahuan yaitu tahu, memahami, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi (Notoatmodjo, 2010).

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2007).

2.1.2. Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau obyek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya).

Menurut Campbell dalam Notoatmodjo (2010) mendefinisikan sikap adalah suatu sindrom atau kumpulan gejala dalam merespons stimulus atau objek, sehingga sikap itu melibatkan pikiran, perasaan, perhatian, dan gejala kejiwaan yang lain. Newcomb menyatakan bahwa sikap adalah kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Dengan kata lain, fungsi sikap belum merupakan tindakan (reaksi terbuka) atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi perilaku (tindakan atau reaksi tertutup) (Notoatmodjo, 2010). Berikut ini adalah bagan terjadinya sikap sebagai berikut:

(3)

Gambar 2.1. Hubungan Sikap dan Tindakan

2.1.3. Upaya Pencegahan

Gangguan kesehatan akibat dari berbagai faktor dalam pekerjaan dan lingkungan kerja bisa dihindarkan jika perusahaan, pimpinan atau manajemen perusahaan dan pekerja ada kemauan yang kuat untuk mencegahnya. Peraturan perundangan tidak akan ada faedahnya jika perusahaan dan pekerja tidak mengambil peranan proaktif dalam menghindarkan terjadinya gangguan kesehatan (Suma’mur, 2009).

Upaya pencegahan adalah suatu upaya yang dilakukan atau bentuk tindakan dalam hal pencegahan terjadinya suatu hal. Upaya pencegahan dalam penelitian ini dilihat dari tiga aspek yaitu tindakan, fasilitas kerja dan personal higiene.

a. Tindakan

Tindakan adalah hal yang sudah nyata (konkrit) berupa perbuatan (action) terhadap situasi atau rangsangan dari luar. Tindakan dapat dibedakan menjadi 3

Stimulus Rangsangan Proses Stimulus Reaksi Tingkah Laku (terbuka) Sikap (tertutup) Sumber : Notoatmodjo, 2010

(4)

tingkatan menurut kualitasnya yaitu tindakan terpimpin, tindakan secara mekanisme, dan adopsi (Notoatmodjo, 2010).

b. Fasilitas Kerja

Keselamatan dan kesehatan kerja dapat terwujud salah satunya dengan upaya preventif. Untuk mewujudkan suatu pencegahan juga tidak terlepas dengan ketersediaan fasilitas kerja ditempat kerja. Kondisi ini yang nantinya akan menunjang tindakan untuk melakukan atau tidak melakukan. Fasilitas kerja juga dapat berupa ketersediaan alat pelindung diri di tempat kerja yang nantinya digunakan atau tidak digunakan saat melakukan proses pekerjaan.

Alat pelindung diri (APD) adalah suatu kewajiban dimana biasanya para pekerja atau buruh bangunan yang bekerja disebuah proyek atau pembangunan sebuah gedung diwajibkan menggunakannya. Alat-alat demikian harus memenuhi persyaratan dan tidak mengganggu kerja dan memberikan perlindungan efektif terhadap bahaya kerja. Alat pelindung diri berperan penting terhadap keselamatan dan kesehatan kerja (Anizar, 2009).

Menurut Suma’mur (2009) fasilitas pekerjaan dalam bentuk alat pelindung diri untuk faktor bahaya dan bagian tubuh yang perlu dilindungi adalah:

1. Basah dan air, bagian tubuh yang dilindungi adalah tangan, jari dan kaki dengan fasilitas pekerjaan berupa sarung tangan pelastik/karet dan sepatu bot karet.

2. Dermatitis, bagian tubuh yang dilindungi tangan, jari dan kaki dengan menggunakan sarung tangan karet dan sepatu karet.

(5)

Dalam pelaksanaan perlindungan terhadap bahaya, prioritas utama seorang pengusaha adalah melindungi pekerjanya secara keseluruhan dari pada secara individu. Penggunaan alat pelindung diri hanya dipandang perlu jika metode-metode perlindungan yang lebih luas ternyata tidak praktis dan tidak terjangkau (Ridley, 2008).

Menurut Ridley (2008) alat pelindung diri yang efektif harus : 1. Sesuai dengan bahaya yang dihadapi

2. Terbuat dari bahan yang tahan terhadap bahaya tersebut 3. Cocok bagi orang yang akan menggunakannya

4. Tidak mengganggu kerja dan memiliki konstruksi yang kuat

5. Tidak mengganggu alat pelindung diri lain yang sedang digunakan secara bersamaan

6. Tidak meningkatkan risiko terhadap pemakainya

Menurut Harrington (2005) untuk perlindung kulit meliputi pelindung tangan, kaki, dan tubuh terhadap:

1. Kerusakan akibat bahan korosif dan yang menimbulkan dermatitis 2. Penyerapan ke dalam tubuh melalui kulit

3. Panas radian dan dingin

4. Radiasi pengion dan bukan pengion serta kerusakan fisik

Bahan yang dipergunakan untuk sarung tangan, apron atau pakaian harus cocok dengan manfaat dan harus dipilih secara cermat.

(6)

Pekerja di sektor informal juga memerlukan fasilitas kerja untuk menyelesaikan pekerjaan mereka, fasilitas yang diperlukan pekerja pengemasan ikan diantaranya adalah peti/fiber, sepatu bots, sarung tangan, wastafel, sabun mandi dan lain-lain.

c. Personal Higiene

Higiene adalah usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya mencegah timbulnya penyakit karena pengaruh lingkungan kesehatan tersebut, serta membuat kondisi lingkungan sedemikian rupa sehingga terjamin pemeliharaan kesehatan (Azwar, 1993). Entjang (2001) usaha kesehatan pribadi (Higiene perorangan) adalah upaya dari seseorang untuk memelihara dan mempertinggi derajat kesehatannya sendiri meliputi:

a. Memelihara kebersihan b. Makanan yang sehat c. Cara hidup yang teratur

d. Meningkatkan daya tahan tubuh dan kesehatan jasmani e. Menghindari terjadinya penyakit

f. Meningkatkan taraf kecerdasan dan rohaniah

g. Melengkapi rumah dengan fasilitas-fasilitas yang menjamin hidup sehat h. Pemeriksaan kesehatan

Pencegahan dan pemberantasan penyakit kecacingan pada umumnya adalah dengan pemutusan rantai penularan, yang antara lain dilakukan dengan pengobatan

(7)

massal, perbaikan sanitasi lingkungan dan hygiene perorangan serta pendidikan kesehatan (Soedarto, 1991).

Higiene perorangan sangat berhubungan dengan sanitasi lingkungan, artinya apabila melakukan higiene perorangan harus diikuti atau didukung oleh sanitasi lingkungan yang baik, kaitan keduanya dapat dilihat misalnya pada saat mencuci tangan sebelum makan dibutuhkan air bersih yang harus memenuhi syarat kesehatan.

2.2. Prinsip Dasar Kesehatan Kerja

Kesehatan kerja adalah spesialisasi dalam ilmu kesehatan/kedokteran beserta prakteknya yang bertujuan agar pekerja/masyarakat pekerja memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja merupakan 3 (tiga) komponen utama dalam kesehatan kerja, dimana hubungan interaktif dan serasi antara ketiga komponen tertentu akan menghasilkan kesehatan kerja yang optimal (Suma’mur, 2009).

2.2.1. Kapasitas Kerja

Kapasitas kerja adalah kemampuan seorang pekerja untuk menyelesaikan pekerjaannya dalam suatu medan kerja tertentu. Kapasitas kerja seperti status kesehatan kerja dan gizi kerja yang baik serta kemampuan fisik dan psikis yang baik diperlukan agar seorang pekerja dapat melakukan pekerjaannya dengan baik dan bagaimana mendapatkan hasil sebanyak-banyaknya. Kemampuan kerja seorang tenaga kerja berbeda satu kepada yang lainnya dan sangat tergantung kepada

(8)

keterampilan, keserasian, keadaan gizi, jenis kelamin, usia dan ukuran-ukuran tubuh (Notoatmodjo, 2007).

Kondisi atau tingkat kesehatan pekerja merupakan modal awal seseorang untuk melakukan pekerjaan yang perlu diperhatikan. Semakin tinggi keterampilan kerja yang dimiliki, semakin efisien badan dan jiwa bekerja, sehingga beban kerja menjadi relatif sedikit. Tidak heran, apabila angka sakit dan mangkir kerja sangat kurang pada mereka yang memiliki keterampilan tinggi, lebih-lebih bila mereka memiliki cukup motivasi dan dedikasi. Suatu contoh sederhana tentang kurangnya beban kerja bagi seorang ahli adalah seorang montir mobil yang dengan mudah membuka ban kenderaan bermotor (Depkes RI, 1994).

Kesegaran jasmani dan rohani adalah penunjang penting produktivitas seseorang dalam kerjanya. Kesegaran tersebut dimulai sejak memasuki pekerjaan dan terus dipelihara selama bekerja, bahkan sampai setelah berhenti bekerja. Kesegaran jasmani dan rohani tidak saja pencerminan kesehatan fisik dan mental, tetapi juga gambaran keserasian penyesuaian seseorang dengan pekerjaannya, yang banyak dipengaruhi oleh kemampuan, pengalaman, pendidikan, dan pengetahuan yang dimilikinya. Seorang pejabat tinggi yang menempati kedudukannya oleh karena dorongan relasi atau politik dan bukan atas kemampuannya akan tidak produktif (Suma’mur, 2009).

2.2.2. Beban Kerja

Setiap pekerjaan merupakan beban bagi pelakunya. Beban yang dimaksud mungkin fisik, mental atau sosial. Seorang pekerja berat, seperti pekerja-pekerja

(9)

bongkar dan muat di pelabuhan, memikul lebih banyak beban fisik dari pada beban mental atau sosial. Sebaliknya seorang pengusaha, mungkin tanggung jawabnya merupakan beban mental yang relatif jauh lebih besar. Adapun petugas sosial, mereka lebih menghadapi beban-beban sosial (Suma’mur, 2009).

Beban kerja meliputi jenis pekerjaan fisik yang cukup berat, misalnya mencangkul, menyabit, membabat dan lain-lain. Seorang tenaga kerja memiliki kemampuan tersendiri dalam hubungannya dengan beban kerja. Mungkin diantara mereka lebih cocok untuk beban fisik, atau mental, atau sosial. Namun sebagai persamaan yang umum, mereka hanya mampu memikul beban sampai suatu berat tertentu (Depkes RI, 1994).

Ada beban yang dirasa optimal bagi seseorang. Inilah maksud penempatan seorang tenaga kerja yang tepat pada pekerjaan yang tepat. Atau pemilihan tenaga kerja tersehat untuk pekerjaan yang tersehat pula. Derajat tepat suatu penempatan meliputi kecocokan pengalaman, keterampilan, motivasi dan lain-lain. Dalam usaha menentukan beban kerja maksimal, beban fisik lebih mudah dirumuskan yaitu 50 kg sebagai beban kerja tertinggi yang diperkenankan berdasarkan rekomendasi ILO.

Jumlah denyutan jantung merupakan petunjuk besar-kecilnya beban kerja. Pada pekerjaan sangat ringan denyut jantung adalah kurang dari 75, pekerjaan ringan diantara 75-100, agak berat 100-125, berat 125-150, sangat berat 150-175 dan luar biasa berat lebih dari 175/menit. Beban kerja ini menentukan berapa lama seseorang dapat bekerja sesuai dengan kapasitas kerjanya. Makin besar beban, makin pendek waktu seseorang dapat bekerja tanpa kelelahan atau gangguan (Suma’mur, 2009).

(10)

2.2.3. Beban Tambahan Akibat Lingkungan Kerja

Sebagai tambahan kepada beban kerja yang langsung akibat pekerjaan sebenarnya, suatu pekerjaan biasanya dilakukan dalam suatu lingkungan atau situasi, yang berakibat beban tambahan terhadap jasmani dan rohani tenaga kerja. Beban tambahan berasal dari lingkungan pekerjaan seperti suhu udara dingin atau panas, kebisingan, hujan serta keserasian pekerjaan dengan alat-alat yang digunakan (Depkes RI, 1994).

2.2.4. Waktu (Jam) Kerja

Jam kerja adalah jam waktu bekerja termasuk waktu istirahat. Waktu istirahat merupakan hal yang mutlak yang perlu diberikan pada pekerja, agar dapat mempertahankan kemampuan atau kapasitas kerja, dalam melakukan pekerjaan fisik maupun mental. Dianjurkan bahwa jam istirahat 20-39% dari jumlah jam kerja atau paling sedikitnya adalah 15% dari jumlah jam kerja per minggu (Depkes RI, 1994).

Waktu kerja bagi seseorang menentukan effisiensi dan produktivitasnya. Segi-segi terpenting bagi persoalan waktu kerja meliputi :

1. Lamanya seseorang mampu bekerja secara baik. 2. Hubungan diantara waktu bekerja dan istirahat.

3. Waktu bekerja sehari menurut periode yang meliputi siang (pagi, siang, sore) dan malam.

Lamanya seseorang bekerja sehari secara baik pada umumnya 6-8 jam. Memperpanjang jam kerja lebih dari kemampuan tersebut biasanya tidak disertai effisiensi yang tinggi, bahkan ada penurunan produktivitas serta kecendrungan untuk

(11)

timbulnya kelelahan, penyakit dan kecelakaan. Dalam seminggu, seseorang biasanya dapat bekerja dengan baik selama 40-50 jam. Lebih dari itu, terlihat kecendrungan tumbuhnya hal-hal negatif. Makin panjang waktu kerja, makin besar kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak diingini. Jumlah 40 jam seminggu ini dapat dibuat 5 atau 6 hari kerja. Jika diteliti suatu pekerjaan yang biasa, tidak terlalu ringan atau berat, produktivitas mulai menurun setelah 4 jam bekerja. Maka, istirahat setengah jam setelah 4 jam kerja terus-menerus sangat penting artinya (Suma’mur, 2009). 2.2.5. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja yaitu memuat ketentuan-ketentuan umum tentang keselamatan kerja yang sesuai dengan perkembangan masyarakat, industrialisasi, teknik dan teknologi. Undang-undang ini mengatur keselamatan kerja segala tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah, di permukaan air, di dalam air maupun di udara, yang berada di dalam kekuasaan hukum Republik Indonesia (Suma’mur, 2009).

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970, syarat-syarat keselamatan kerja seluruh aspek pekerjaan yang berbahaya berikut jenis bahaya akan diatur dengan peraturan perundang-undangan. Adapun beberapa syarat-syarat keselamatan kerja ditetapkan untuk:

1. Mencegah dan mengurangi kecelakaan 2. Memberikan pertolongan pada kecelakaan

(12)

4. Mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja, baik fisik maupun psikis, keracunan, infeksi dan penularan

5. Memelihara kebersihan, kesehatan dan ketertiban

6. Memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan, cara dan proses kerjanya

7. Memelihara dan mengamankan segala jenis bangunan (Suma’mur, 2009).

2.3. Penyakit Akibat Kerja

Penyakit akibat dan atau berhubungan dengan pekerjaan dapat diakibatkan oleh pemaparan terhadap lingkungan pekerjaannya. Pemaparan terus menerus misalnya pada pekerja sektor perindustrian yang melebihi 40 jam/minggu dapat menimbulkan berbagai penyakit. Apabila tidak ada perlindungan bagi tenaga kerja tersebut atau tidak ada pencegahan terhadap kemungkinan pemaparan terhadap faktor-faktor lingkungan yang melebihi nilai batas, hal ini dapat berakibat timbulnya penyakit atau kecelakaan akibat kerja (RS Persahabatan, 2002).

Penyakit akibat kerja (PAK) adalah setiap penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja. Penyakit ini timbul disebabkan oleh adanya pekerjaan. Berat ringannya penyakit dan cacat tergantung dari jenis dan tingkat sakit sehingga sering kali terjadi cacat yang berat sehingga pencegahannya lebih baik daripada pengobatan (Anies, 2005).

Ada dua elemen pokok dalam mengidentifikasi gangguan kesehatan akibat kerja atau penyakit akibat kerja:

(13)

1. Adanya hubungan antara pajanan yang spesifik dengan penyakit.

2. Adanya fakta bahwa frekuensi kejadian penyakit pada populasi pekerja lebih tinggi daripada masyarakat umum (RS Persahabatan, 2002).

Gangguan kesehatan pada pekerja dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang berhubungan dengan pekerjaan maupun yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa status kesehatan kerja dari masyarakat pekerja bukan hanya dipengaruhi oleh bahaya-bahaya kesehatan ditempat kerja dan lingkungan kerja, tetapi juga faktor-faktor pelayanan kesehatan kerja, perilaku kerja serta faktor-faktor lainnya (Depkes RI, 1992), seperti pada diagram berikut ini :

Gambar 2.2. Status Kesehatan Masyarakat Pekerja serta Faktor yang Memengaruhinya

Sumber : Depkes RI, 1992

Lingkungan Individu Lingkungan Kerja Pelayanan Kesehatan Kerja Faktor Genetik Status Kesehatan Masyarakat Pekerja Perilaku Kerja

(14)

2.4. Penyakit Kulit Akibat Kerja

Penyakit kulit akibat kerja atau Occupational Dermatitis adalah segala kelainan pada kulit yang diakibatkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja, sebagian besar disebabkan oleh karena pekerja kontak dengan bahan-bahan yang dipergunakan, diolah atau dihasilkan oleh pekerjaan tersebut.

Penyebab dari penyakit ini dapat digolongkan atas: a. Faktor Mekanik

Gesekan, tekanan trauma, menyebabkan hilangnya barrier sehingga memudahkan terjadinya sekunder infeksi. Penekanan kronis menimbulkan penebalan kulit seperti pada kuli bangunan dan pelabuhan.

b. Faktor Fisik

1. Suhu tinggi di tempat kerja dapat menyebabkan miliara, combustion. 2. Suhu rendah menyebabkan chillblains, trenchfoot, frostbite.

3. Kelembaban yang menyebabkan kulit menjadi basah, hal ini dapat menyebabkan malerasi, paronychia dan penyakit jamur.

c. Faktor Biologi

Bakteri, virus, jamur, serangga, kutu, cacing menyebabkan penyakit pada karyawan pelabuhan, rumah potong, pertambangan, peternakan, tukang cuci dan lain-lain.

d. Faktor Kimia

Apabila kulit terpapar dengan bahan kimia dapat terjadi kelainan kulit berupa dermatitis kontak iritasi atau dermatitis kontak alergi (Suma’mur, 2009).

(15)

Menurut Gilles et.al (1990), faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya penyakit kulit akibat kerja adalah:

1. Ras 2. Tipe kulit

3. Pengeluaran keringat 4. Iklim/musim

5. Terdapat penyakit kulit lain 6. Personal hygiene

7. Pengetahuan 8. Tindakan

2.5. Dermatitis Kontak Akibat Kerja

Kulit terdiri dari dua lapisan, yaitu epidermis dan dermis. Beberapa fungsi kulit adalah sebagai berikut:

1. Mempertahankan seluruh bagian tubuh

2. Mencegah terjadinya kehilangan cairan tubuh yang esensial

3. Melindungi dari masuknya zat-zat kimia beracun dari lingkungan dan mikroorganisme

4. Fungsi-fungsi imunologis

5. Melindungi dari kerusakan akibat radiasi sinar ultraviolet 6. Mengatur suhu tubuh dan sintesis vitamin D

(16)

Apabila faktor pekerjaan dianggap sebagai penyebab timbulnya dermatitis, maka riwayat yang rinci, termasuk informasi pasti tentang sifat pekerjaan seorang individu merupakan hal yang penting. Hendaknya informasi yang disertakan bukan hanya tentang pekerjaan pekerja yang sekarang, tetapi juga informasi yang rinci tentang pekerjaannya di masa lalu.

Riwayat perbaikan dari kondisi dermatitis selama waktu liburan merupakan ciri khas dermatitis akibat kerja. Selidikilah informasi mengenai bahan yang ditangani dalam melaksanakan pekerjaannya, dan apakah telah terjadi suatu perubahan yang bersamaan dengan permulaan timbulnya dermatitis. Bermanfaat juga untuk mengetahui apakah teman sekerjanya juga menghadapi masalah yang sama. Melakukan pengamatan terhadap pekerja dilingkungan kerjanya sering berguna untuk menentukan penyebab timbulnya dermatitis (Robin, 2005).

Dermatitis akibat kerja adalah kelainan pada kulit yang disebabkan oleh pekerjaan dan atau lingkungan kerja. Istilah lain untuk dermatosis akibat kerja adalah penyakit kulit yang timbul karena hubungan kerja. Penyakit tersebut timbul pada waktu tenaga kerja bekerja melakukan pekerjaannya atau disebabkan oleh faktor-faktor yang berada pada lingkungan kerja (Suma’mur, 2009).

Dermatitis kontak akibat kerja (occupational contact dermatitis) adalah dermatitis kontak dimana pekerjaan merupakan penyebab utama atau salah satu dimana faktor-faktor yang menyebabkan dermatitis kontak tersebut. Dermatitis kontak merupakan penyakit kulit terbanyak yang dilaporkan di tempat kerja yaitu kasusnya mencapai 80% (Agius and Seaton, 2005).

(17)

Menurut Fregert (1986), beberapa keadaan yang harus mendapat perhatian dalam suatu penelitian akan kecurigaan akibat dari pekerjaan adalah:

1. Adanya kontak dengan bahan-bahan yang diketahui menimbulkan dermatitis baik bahan yang sudah ada selama bertahun-tahun maupun bahan yang baru saja diperkenalkan dapat menjadi penyebabnya.

2. Adanya dermatitis dengan tipe serupa pada orang-orang lain yang bekerja pada pekerjaan yang sama. Jika banyak orang yang terkena pada suatu tempat kerja dalam saat yang bersamaan, maka keadaan tersebut lebih mungkin merupakan reaksi iritan dari reaksi alergi.

3. Adanya waktu antara kontak dan timbulnya kelainan.

4. Serangan terjadi ketika melakukan pekerjaan tertentu, sementara kesembuhan dapat dilihat ketika melakukan pekerjaan lainnya atau ketika cuti sakit, liburan ataupun setelah berakhir pekan.

5. Jika ada hubungan antara riwayat penyakit dan reaksi test yang positif, maka hal ini merupakan bukti yang kuat.

2.5.1. Dermatitis Kontak Iritan

Iritasi kulit dan alergika kulit merupakan kondisi yang paling lazim ditemui akibat paparan terhadap kulit yang terjadi di tempat kerja dalam industri kimia. Beberapa campuran pestisida dapat menjadi sangat berbahaya jika formulanya toksik dan mengandung solven yang larut lemak, seperti minyak tanah, xilen, dan produk petroleum lainnya yang dapat mempermudah pestisida menembus kulit. Iritasi kulit adalah kondisi pada kulit yang muncul akibat kontak yang berkepanjangan dengan

(18)

zat kimia atau faktor lainnya. Setelah beberapa waktu kulit akan mengering, terasa nyeri, mengalami perdarahan, dan pecah-pecah. Begitu kontak dihentikan, kulit akan pulih kembali. Umumnya, proses penyembuhan akan memakan waktu sampai beberapa bulan. Selama waktu tersebut, kulit akan menjadi rentan terhadap kerusakan daripada yang biasanya, sehingga memerlukan upaya perlindungan (Widyastuti, 2006).

Dermatitis kontak iritan dapat diderita oleh semua orang dari berbagai golongan umur, ras, dan jenis kelamin. Penderita iritasi kulit terutama yang yang disebabkan oleh kelainan ringan, sering tidak datang berobat, atau bahkan tidak mengeluh. Penyebab munculnya dermatitis kontak iritan adalah bahan yang bersifat iritan seperti bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu. Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan melalui kerja kimiawi atau fisik (Djuanda, 2008).

Dari segi pandangan praktis, dikenal dua tipe utama dermatitis kontak iritan yaitu:

1. Dermatitis kontak iritan tipe akut, reaksi ini bisa beraneka ragam dari nekrosis hingga keadaan yang tidak lebih dari pada sedikit dehidrasi (kering) dan kemerahan.

2. Dermatitis kontak iritan kumulatif tipe kronis, merupakan tipe yang umum. Dermatitis berkembang lambat setelah terjadi pemaparan yang berulang oleh zat iritan yang didukung oleh berbagai kondisi. Dermatitis biasanya disekitar jari, tetapi lambat laun menyebar sampai kesamping dan permukaan telapak tangan,

(19)

kemudian tersebar semakin nyata sampai pada pergelangan tangan. Tandanya berupa vesikel, kekeringan dan merekah (Taylor, 2003).

Dermatitis kontak iritan yang terjadi setelah pemaparan pertama kali disebut dermatitis kontak iritan akut, sedangkan dermatitis kontak iritan yang terjadi setelah kontak yang berulang disebut dermatitis kontak iritan kronis dan biasanya terjadi karena agen fisika seperti dampak mekanik, panas dan dingin, kelembaban atau cahaya matahari (Robin, 2005).

Jenis dermatitis kontak iritan kumulatif atau kronis adalah yang paling sering terjadi. Penyebabnya adalah kontak berulang-ulang dengan iritan lemah (faktor fisik misalnya, gesekan, kelembaban rendah, panas atau dingin, deterjen, sabun, pelarut, tanah bahkan air). Kelainan pada kulit baru nyata setelah kontak bermingu-minggu atau bulan, bahkan bisa bertahun-tahun kemudian, sehingga waktu dan rentetan kontak merupakan faktor penting. Gejala klasik berupa kulit kering, eritema, skuama, lambat laun kulit tebal (hiperkeratosis). Bila kontak terus berlangsung akhirnya kulit dapat retak seperti luka iris. Keluhan penderita umumnya rasa gatal atau nyeri karena kulit retak (Djuanda, 2008).

Iritasi kulit sering berhubungan dengan pekerjaan, oleh karena itu lebih banyak ditemukan di tangan dibandingkan dengan dibagian tubuh lainnya. Contoh pekerjaan yang berisiko tinggi untuk iritasi kulit adalah tukang cuci, kuli bangunan, montir di bengkel, juru masak, tukang kebun dan peñata rambut (Djuanda, 2008).

(20)

Sifat berbahaya utama penyebab terjadinya iritasi kulit adalah: 1. Kelarutan

2. pH

3. Ukuran molekul

4. Keadaan fisik, ionisasi dan polaritas 5. Konsentrasi pengiritasi dalam suatu bahan

Sifat utama yang berisiko dari iritasi kulit adalah: 1. Lama masa kontak

2. Intensitas dengan kontak

3. Penyumbatan (Farage et.al, 2007).

Prevalensi dermatitis akibat kerja dapat diturunkan melalui pencegahan yang sempurna, antara lain:

1. Pendidikan

2. Memakai alat pelindung diri 3. Melaksanakan uji tempel 4. Pemeriksaan kesehatan berkala

5. Pemeriksaan kesehatan secara sukarela 6. Pengembangan teknologi (Siregar, 1996).

(21)

2.6. Sektor Informal

Sektor informal adalah ekonomi tradisional yang mempunyai ciri-ciri :

1. Tidak menggunakan pola kegiatan yang diatur oleh sistem-sistem manajemen profesional, baik dalam arti waktu, permodalan, maupun penerimaannya. Pada umumnya tidak tersentuh oleh peraturan dan ketentuan yang tetapkan oleh pemerintah

2. Modal, peraturan dan perlengkapan maupun omsetnya biasanya kecil 3. Pada umumnya unit usaha tidak mempunyai izin usaha

4. Tidak selalu menggunakan keahlian dan keterampilan formal sehingga secara luwes dapat menyerap tenaga kerja dengan bermacam-macam tingkat pendidikan 5. Umumnya tiap-tiap satuan mempekerjakan tenaga dari lingkungan keluarga,

kenalan atau berasal dari daerah yang sama

6. Tidak menggunakan sistem manajemen sumber daya waktu, sumber daya manusia, permodalan, secara modern dan informal (Yustika, 2000).

2.6.1. Sektor Kelautan dan Perikanan

Indonesia sebagian besar wilayahnya terdiri dari lautan dan memiliki potensi kelautan yang cukup besar, sektor kelautan yang didefinisikan sebagai sektor yang mencakup perikanan, pariwisata bahari, pertambangan laut, industri maritim, perhubungan laut, bangunan kelautan dan jasa kelautan yang merupakan andalan dalam menjawab tantangan dan peluang di masa depan. Kenyataan tersebut didasari bahwa potensi sumberdaya kelautan yang besar yaitu 75% wilayah Indonesia adalah

(22)

lautan dan selama ini telah memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi keberhasilan pembangunan nasional (Nasution, 2005).

Sektor kelautan dan perikanan merupakan salah satu sektor ekonomi yang memiliki peranan dalam pembangunan ekonomi nasional, khususnya dalam bidang penyediaan bahan pangan protein, perolehan devisa dan penyediaan lapangan kerja. Sektor perikanan selama ini belum mendapat perhatian yang serius dari pemerintah dan kalangan pengusaha, padahal jika sektor perikanan dikelola secara serius akan memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap pembangunan ekonomi nasional serta dapat mengentaskan kemiskinan masyarakat Indonesia terutama masyarakat nelayan dan petani ikan (Subri, 2005).

Sesudah ikan-ikan didaratkan lalu ditampung oleh pemborong ikan basah ataupun pengecer-pengecer yang langsung membeli di tepi pantai. Oleh pemborong ikan-ikan basah dan pengecer-pengecer ini, ikan-ikan tersebut dimasukkan ke dalam peti/tong kayu yang telah dilapisi terlebih dahulu dngan hancuran es setebal ±7 cm, lalu dimasukkan ikan-ikan, diselingi dengan lapisan es. Di atas sekali dari lapisan-lapisan ini dilapisi lagi dengan es. Dengan demikian, pengumpul ikan-ikan basah dapat menjualnya ke luar daerah atau ke pusat-pusat konsumen (Subri, 2005).

2.7. Landasan Teori

Dalam dunia pekerjaan segala kendala kerja harus dihindari untuk mencapai produktivitas yang optimal. Salah satu kendala dalam dunia kerja adalah penyakit

(23)

yang menimbulkan dua kali lipat kerugian yaitu kerugian waktu kerja dan kerugian dalam biaya pengobatan oleh perusahaan (Silalahi, 1985).

Penyakit akibat kerja dapat terjadi karena disebabkan oleh pekerjaan dan lingkungan kerjanya (Depkes RI, 1994). Pencegahan penyakit akibat kerja dapat diawali dengan memperhatikan keseimbangan tiga faktor dalam kesehatan kerja agar tidak mengalami gangguan. Ganguan keseimbangan ini berupa kapasitas kerja, beban kerja dan beban tambahan akibat lingkungan kerja (Suma’mur, 2009).

Pencegahan penyakit akibat kerja salah satunya dilakukan dengan melakukan upaya pengendalian terhadap lingkungan kerja, salah satunya dengan tersedianya fasiilitas pekerjaan berupa alat pelindung diri di tempat kerja. Untuk mewujudkan suatu tindakan pencegahan tidak terlepas dengan ketersediaan fasilitas pekerjaan ditempat kerja. Alat pelindung diri merupakan salah saatu bentuk dari fasilitas pekerjaan yang harus tersedia di tempat kerja agar pekerja dapat bekerja dengan lebih aman untuk kesehatannya. Fasilitas pekerjaan ini nantinya akan menunjang/mendorong dalam melakukan atau tidak melakukan untuk tindakan pencegahan kepada pekerja pengemasan ikan.

Notoatmodjo membagi ranah perilaku menjadi tiga bagian yaitu, pengetahuan (Knowledge), sikap (Attitude) dan Tindakan (Practice). Bentuk operasional perilaku ini dapat dikelompokkan menjadi 3 macam yaitu :

a. Perilaku dalam bentuk pengetahuan yaitu dengan mengetahui situasi atau rangsangan dari luar

(24)

b. Perilaku dalam bentuk sikap yaitu tanggapan terhadap keadaan atau rangsangan dari luar subjek

c. Perilaku dalam bentuk tindakan yang sudah nyata (konkrit) berupa perbuatan (action) terhadap situasi atau rangsangan dari luar (Notoatmodjo, 2010).

2.8. Kerangka Konsep

Berdasarkan Gambar 2.3. di atas, diketahui bahwa variabel independen dalam penelitian ini adalah pengetahuan, sikap, dan upaya pencegahan, sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah kejadian iritasi kulit pada pekerja pengemasan ikan.

Gambar 2.3. Bagan Kerangka Konsep Penelitian Upaya Pencegahan

Kejadian Iritasi Kulit Pengetahuan

Gambar

Gambar 2.1. Hubungan Sikap dan Tindakan
Gambar 2.2. Status Kesehatan Masyarakat Pekerja serta Faktor yang   Memengaruhinya
Gambar 2.3. Bagan Kerangka Konsep Penelitian Upaya Pencegahan

Referensi

Dokumen terkait

Jika pencarian tersebut gagal, maka ES akan mencari rule lain yang memiliki konklusi yang sama dengan rule pertama tadi.. Tujuannya adalah membuat rule kedua

Skema ini mengacu pada Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 223 Tahun 2016 tentang Penetapan Jenjang Kualifikasi Nasional Indonesia bidang

Sedangkan minat terhadap bidang Theologia dipandang sebagai adanya ketertarikan pribadi dari dalam diri (autonomy) yang memotivasi atau mendorong mahasiswa untuk menjadi calon

Hal ini tidak sejalan dengan Suparmanto dan Rahayu (2000) yang menunjukan bahwa ibu yang memiliki 1-2 anak memiliki kecenderungan menyusui secara eklusif 10 kali

BPOM mengawasi produk yang beredar di masyarakat dengan cara memberikan persetujuan, pencantuman tulisan halal pada label berdasarkan sertifikasi halal yang dikeluarkan oleh

PT MITRA: UAD YOGYAKARTA, UPY YOGYAKARTA Sekretariat Pelaksana :.. WARSUTI NOOR AZIZAH P Guru Kelas PAUD/TK TK Masyitoh 25 Skj.. Tirtomartani, Kalasan, Sleman, D'1. Yoygakarta.

Kolagen pada tulang ikan nila merah dapat dihidrolisis setelah demineralisasi dalam asam menjadi ossein, dengan waktu ekstraksi gelatin dalam air yang optimal adalah 5

Partikel ni memiliki fungsi yang sama dengan partikel kara yang dapat di pakai untuk menyatakan pelaku atau dari suatu hal dari mana di dapat.. ( Saya telah mendapat oleh-oleh