• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

2.1. Sistem Transportasi Perkotaan Berkelanjutan

Sistem transportasi perkotaan berkelanjutan pada dasarnya merupakan cara pandang dalam perencanaan, manajemen, dan operasional yang bertumpu pada sisi permintaan (demand side). Oleh karena itu, sistem transportasi berkelanjutan sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan (sustainable

development) merupakan fungsi-fungsi transportasi yang terdiri dari: fungsi sosial

yaitu aksesibilitas, fungsi ekonomi yaitu kesetaraan, dan fungsi lingkungan yaitu lingkungan.

2.1.1. Aksesibilitas sebagai Fungsi Sosial Transportasi

Transportasi akan berkembang seiring dengan perkembangan aktivitas ekonomi dan kombinasi tiga faktor produksi, yaitu: lahan, pekerja, dan modal serta berkaitan dengan kepuasan manusia dengan perubahan posisi geografis penduduk atau barang (Banister, 1995). Selain itu, permasalahan sosio-ekonomi dalam sistem transportasi ditandai dengan adanya ketidakadilan akses bagi penduduk dan barang untuk generasi sekarang dan masa depan (Sterner, 2003). Oleh karena itu, terjadi interaksi antara tata ruang dengan transportasi yang sangat dinamis dan kompleks, dimana sistem transportasi yang baik akan memicu perubahan tata ruang yang berdampak positif maupun negatif atau terciptanya eksternalitas seperti yang diilustrasikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Interaksi Transportasi-Tata Ruang Pembangunan

TRANSPORTASI

TATA RUANG Aktifitas

Aksesibilitas Penempatan lokasi Daya tarik lahan Pemilihan lokasi oleh investor Pemilihan lokasi oleh pengguna Pemilihan moda Pemilihan rute Volume lalulintas Waktu tempuh/ jarak/biaya Pemilihan tujuan Keputusan melakukan perjalanan Ketersediaan kendaraan

(2)

Interaksi tersebut berjalan secara terus menerus dalam suatu siklus sistem tata ruang dan transportasi menuju suatu kesetimbangan (Wegener, 1996).

Selain itu, perubahan penggunaan lahan dan transportasi akan berimplikasi

pada: pergerakan lalu-lintas masa depan, lingkungan bagi pembangunan, dan faktor ekonomi pembiayaan transportasi serta perubahan nilai lahan, pekerja, dan produksi industri pada suatu kota atau wilayah (Dicken, 1990).

Penggunaan lahan kota ditentukan oleh: aksesibilitas, interaksi manusia, dan komunikasi yang timbul sebagai akibat adanya pola kegiatan dalam kota karena tujuan pergerakan dan kegiatan domestik (masyarakat). Selain itu, ditentukan pula oleh: perilaku masyarakat, kehidupan ekonomi, dan kepentingan

umum (Edwards, 1992).

Sistem Transportasi Nasional (Sistranas) disusun dengan tujuan terselenggaranya layanan transportasi yang mengutamakan kepentingan umum (Dikun, 2002) mencakup: kesehatan dan keselamatan (perlindungan), kenyamanan, efisiensi dan hemat energi, kualitas lingkungan, persamaan dan pilihan sosial, dan pelayanan dan kemudahan (aksesibilitas).

Faktor aksesibilitas merupakan akibat dari adanya aliran komoditi barang dan jasa dalam perekonomian pasar secara spasial dalam bentuk kegiatan yang dapat dihitung berdasarkan jumlah waktu dan jarak tempuh dari suatu tempat ke tempat lainnya atau cara deskriptif menjelaskan tingkat kemampuan suatu kawasan dalam menyelenggarakan transportasi antara elemen manusia, barang, dan ide ke kawasan lainnya (Hong, 2005).

Suatu kawasan yang mempunyai sarana transportasi yang baik merupakan lokasi yang lebih aksesibel (aksesibilitas tinggi) atau sebagai ukuran kenyamanan dan kemudahan bentuk penggunaan lahan yang berinteraksi satu sama lain. Ukuran tersebut sangat subyektif, sehingga diperlukan ukuran kinerja kuantitatif (terukur) dalam menyatakan aksesibilitas atau kemudahan (Warpani, 1990). Salah satu implikasi negatif adalah pada saat beban arus pergerakan mulai mengganggu keseimbangan kapasitas jalan jaringan kota, dimana aksesibilitas yang diharapkan tidak optimal atau tidak aksesibel lagi karena telah terjadi tundaan dan kemacetan.

2.1.2. Kesetaraan sebagai Fungsi Ekonomi Transportasi

Pengembangan transportasi sangat terkait dengan perekonomian suatu kota, sehingga sistem transportasi menjadi sangat kompleks. Pentingnya

(3)

hubungan antara kegiatan perkotaan dengan pelayanan transportasi sangat berkaitan dengan tujuan dasar sistem transportasi perkotaan (Tamin, 2005) yaitu menyebarluaskan dan meningkatkan aksesibilitas, memperluas kesempatan perkembangan kegiatan perkotaan, dan meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya kota.

Beberapa metodologi sistem perkotaan dan transportasi pada beberapa kota akan berpengaruh pada kebijakan transportasi dan penggunaan lahan terutama pada proses terbentuknya pola perjalanan. Studi yang dilakukan oleh Meyer dan Thompson dalam Tamin (1997) telah mengklasifikasikan komponen utama penggunaan lahan dan transportasi sebagai struktur kegiatan yaitu: proyeksi aktivitas ekonomi dan populasi, peramalan penggunaan lahan, estimasi bangkitan pergerakan, peramalan distribusi lalulintas, peramalan pembagian moda, pembebanan lalulintas, dan disain dan evaluasi.

Selain itu, kesejahteraan manusia sebagai sasaran pembangunan terkait erat dengan kebutuhan dasar yang harus terpenuhi sesuai daya dukung lingkungan yang salah satunya adalah adanya derajat kebebasan untuk memilih (Zubair, 2000). Oleh karena itu, maka fungsi ekonomi transportasi tidak dapat dipisahkan dari kebebasan atau kemampuan individu masyarakat dalam mendapatkan pelayanan angkutan umum, baik dari sisi tarif yang terjangkau maupun dari sisi radius pelayanan.

Perencanaan kota dan transportasi masa depan diharapkan dapat memanfaatkan jaringan jalan yang telah ada untuk mengembangkan sistem transportasi publik secara terpadu, nyaman dan dapat dijangkau oleh sebagian besar masyarakat serta seyogyanya dirancang secara ekonomis dibandingkan dengan membangun sistem jaringan perkereta-apian yang baru atau subway dengan biaya yang sangat mahal (Rosyidi, 2004).

2.1.3. Lingkungan sebagai Fungsi Lingkungan Transportasi

Paradigma baru dalam pembangunan yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan manusia juga mempertimbangkan aspek ekosistem (Zubair, 2000). Beberapa faktor transportasi dan lingkungan yang perlu diperhatikan adalah: emisi dan buangan berupa polusi udara, tanah dan air (natural

environment) yang tidak terbatas, inovasi kendaraan dari sumber energi yang

diperbaharui (sinar matahari), tidak digunakannya sumberdaya alam untuk daur ulang, dan belum dirancangnya suatu sistem transportasi yang meminimalkan

(4)

penggunaan lahan. Hal tersebut masih kurang mendapat perhatian seperti pada umumnya di kota-kota berkembang atau dunia ketiga lainnya seperti: Bogota, Brazil, dan Calcutta (Mohan et al.,1998).

Beberapa isu utama lingkungan dan transportasi adalah: kualitas udara, gas emisi rumah kaca, suara bising (noise), dampak pada biodiversity dan

penggunaan lahan. Komponen utama emisi transportasi mencakup: CO2, CO,

HCs, VOCs, NOx, SO2, PM, dan produksi lainnya yang berbahaya bagi mahluk

hidup (Hensher et al., 2003).

Faktor kelebihan volume lalulintas kendaraan di jalan menjadi penyebab kemacetan yang berdampak pada meningkatnya polusi dan kebisingan yang dapat dikurangi dengan mengembangkan transportasi publik seperti beberapa jenis bus dengan rute atau jangkauan pelayanan yang berbeda (Rosyidi, 2004).

Pada dasarnya untuk memperbaiki sistem transportasi yang berwawasan lingkungan (Sterner, 2003) dapat dilakukan melalui: pengembangan dan penyebaran sumber energi yang bersih dan dapat diperbaharui sebagai kekuatan baru berdasarkan teknologi kendaraan dan pembuatan keputusan yang berkaitan dengan partisipasi pemerintah, perusahaan, dan individu pengguna dalam perumusan regulasi dan kebijakan.

Berdasarkan berbagai hal yang berkaitan dengan faktor-faktor dan isu transportasi di atas, maka serangkaian pemahaman sistem transportasi perkotaan berkelanjutan disimpulkan (Matsumoto, 1998) sebagai berikut:

1) pembatasan emisi dan buangan di daerah yang mampu menyangga dengan sumber energi diperbaharui dan komponen daur ulang untuk meminimalisasi penggunaan lahan;

2) memberikan keadilan akses bagi penduduk dan barang dalam membantu meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup setiap generasi; dan

3) mempunyai kemampuan keuangan/ekonomi dan operasional yang maksimal. Prinsip dasar transportasi berkelanjutan (Tamin, 2007) adalah aksesibilitas, keadilan sosial, berkelanjutan lingkungan, kesehatan dan keselamatan, partisipasi publik dan transparansi, ekonomis dan murah, informasi dan analisis, advokasi, capacity building, dan jejaring. Oleh karena itu, sistem transportasi berkelanjutan yang diharapkan dalam pembangunan kota dan kawasan lebih difokuskan pada aksesibilitas dan mobilitas dibanding tujuan lainnya.

(5)

2.2. Pemodelan Transportasi Perkotaan Berkelanjutan

2.2.1. Pendekatan Sistem Transportasi Perkotaan Berkelanjutan

Pendekatan sistem transportasi perkotaan berkelanjutan berdasarkan perspektif pengguna dimaksudkan untuk memperoleh pandangan yang mendalam dan parameter-parameter teknis serta kondisi peraturan resmi agar sesuai dengan tujuan yang diharapkan dan tidak dapat dipisahkan dari pengembangan kota berkelanjutan (Miyamoto et al.,1996).

Perspektif pengguna bagi pergerakan orang antar zona per satuan waktu (bangkitan perjalanan) dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berpengaruh pada volume lalulintas dan penggunaan sarana perangkutan yang tersedia, yaitu: maksud perjalanan, penghasilan keluarga, pemilikan kendaraan, penggunaan lahan di tempat asal, jarak dari pusat kota, jarak perjalanan, moda perjalanan, penggunaan kendaraan, penggunaan lahan di tempat tujuan, dan hari-hari kerja dan jam-jam padat pada saat tertentu (Pignataro, 1973).

Formulasi permasalahan sistem transportasi perkotaan dapat ditinjau dari parameter lingkungan, sosial, dan ekonomi yaitu: identifikasi penggunaan lahan dan kendaraan alternatif ramah lingkungan, keadilan akses dan kesehatan, serta kemampuan dan keterjangkauan akan transportasi publik (Deakin, 2001).

Pemodelan sistem transportasi berkelanjutan sebagai turunan dari parameter tersebut diantaranya adalah: sistem lingkungan berupa ketersediaan lahan/prasarana, kemampuan daur ulang/pembersih emisi dan buangan serta sumber energi baru bagi kendaraan; sistem sosial berupa keadilan akses dan peningkatan kesehatan, keharmonisan dan peningkatan kualitas hidup, dibatasinya intrusi suara dan meningkatnya keamanan; dan sistem ekonomi berupa kemampuan keuangan masyarakat, maksimalisasi efisiensi ekonomi dan minimalisasi biaya ekonomi subsidi transportasi publik (Bernard et al., 2001; Deakin, 2001; Berling et al., 2004).

Metode (methods) dalam sistem transportasi adalah yang berkaitan dengan analisis kualitatif dan kuantitatif (Berck et al., 1999; Sterner, 2003; Santosa, 2005), baik berupa metode: skalogram, analisis faktor, analisis pengelompokan, perhitungan efek ganda, perhitungan jumlah penduduk dan kendaraan, dan analisis mengenai dampak lingkungan (polusi suara, udara, dan visual). Sedangkan model (models) dalam sistem transportasi adalah yang berkaitan dengan pemodelan berdasarkan kalibrasi persamaan untuk hasil survei

(6)

lapangan pola pergerakan penduduk, seperti model: (1) Growth, (2) Lowry, (3) Gravity, dan (4) Dispersion (Laheij et al., 2000; Rahmania, 2000). Model

tersebut mencerminkan hubungan antara sistem penggunaan lahan (kegiatan), sistem transportasi (jaringan) dan sistem lalulintas (pergerakan) yang menggunakan beberapa seri fungsi dan persamaan dalam bentuk model matematik yang terukur (Dios et al., 1990).

Oleh karena itu, verifikasi maupun validasi model tersebut diharapkan terkait dengan data kondisi eksisting dan faktor yang berpengaruh serta rekomendasi dalam bentuk skenario pengelolaan sistem transportasi (Manikam, 2003). Pengembangan model dengan mempertimbangkan sistem yang lebih kompleks adalah terkait dengan sistem kelembagaan dan lingkungan (ekonomi, sosial, budaya, politik, fisik, teknologi dan informasi) pada skala kota/lokal, regional, nasional, dan internasional (Kusbiantoro, 2004).

Perencanaan pada umumnya, baik aktivitas individual maupun kelompok (organisasi) seringkali merupakan suatu produk tinjauan yang bersifat substantif atau teritorial. Namun pada dunia nyata seringkali kehidupan sangat terkait dengan permasalahan yang kompleks dan saling terkait, bergantung, dan mempengaruhi satu dengan lainnya.

Berdasarkan hal tersebut, maka beberapa masalah yang selalu dihadapi oleh para perencana (planners) atau pembuat keputusan (decision makers) diantaranya adalah: permasalahan yang multi-kompleks; adanya keterkaitan antar berbagai isu kajian; berbagai macam dan lingkup kepentingan yang harus diakomodir; dan cara pengambilan keputusan yang dapat memberikan kepuasan bagi berbagai pihak berdasarkan berbagai usulan dan sangat terkait dengan horizon waktu, pengaruh lingkungan dan sifatnya serta berlandaskan logika berpikir rasional dan bertahap (Sujarto, 2001).

2.2.2. Pemodelan Interaksi Transportasi dan Tata Ruang

Pemodelan interaksi transportasi dan tata ruang atau model integrasi penggunaan lahan dan transportasi adalah model yang mengalokasikan masing-masing penggunaan lahan berdasarkan interaksinya dan menggunakan variabel aksesibilitas (faktor sarana dan prasarana) sebagai penghubung antar keduanya. Model integrasi tersebut dapat dibedakan menjadi model prediktif dan model optimasi yang mempertimbangkan faktor: aksesibilitas, daya tarik lahan, dan kebijakan pemerintah kota (Najid et al., 2001). Model penggunaan lahan akan

(7)

terkait dengan alokasi perumahan penduduk dan alokasi kegiatan komersil serta industri.

Model prediktif merupakan model yang akan menjelaskan perubahan penggunaan lahan terhadap transportasi serta sebaliknya atau merupakan model dinamik berdasarkan perilaku permintaan (demand behaviour). Sedangkan model optimasi merupakan pemetaan pola penggunaan lahan untuk mengoptimalkan utilitas dari pelaku perjalanan atau mengoptimasikan efisiensi kota yang ditentukan oleh biaya perjalanan dan pembangunan (Tamin, 1997).

Model dasar yang banyak digunakan dalam pengembangan model integrasi transportasi dan penggunaan lahan adalah Model Lowry, dimana perubahan penggunaan lahan ditentukan oleh: basic sector sebagai input awal, tempat tinggal sebagai basic sector, dan service sector sebagai dasar alokasi tempat tinggal. Model ini memperkenalkan dua inovasi dalam dunia pemodelan perkotaan, yaitu menggabungkan antara struktur peramalan economic base dan prosedur pengalokasian (model gravitasi) dan komunikasi, sehingga model ini sangat representatif dalam analisis struktur perkotaan masa depan (Najid et

al.,2001).

Model Lowry dimaksudkan untuk mengalokasikan atau mendistribusikan penduduk suatu wilayah pada suatu kawasan atau area yang lebih kecil dalam wilayah tersebut yang telah terbagi (bercabang) dalam tiga kategori yaitu ruang aktivitas bekerja untuk basic sector, non basic sector/retail sector, dan residential

sector dengan asumsi bahwa kekuatan penuh dipengaruhi antara lokasi tempat

tinggal dan lokasi bisnis dan industri yang dapat diekspresikan dalam bentuk biaya transportasi (Cartwright, 1993).

2.2.3. Proses Hierarki Analitik dalam Pengelolaan Transportasi

Proses Hierarki Analitik (AHP) merupakan model yang luwes dan memungkinkan dalam pengambilan keputusan dengan mengkombinasikan pertimbangan dan nilai-nilai pribadi secara logis (Saaty, 1993).

Prinsip Proses Hierarki Analitik (AHP) merupakan upaya penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, tetapi strategik, dan dinamis menjadi bagian-bagian serta menatanya dalam suatu hierarki. Tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik secara subyektif tentang arti pentingnya secara relatif dengan perbandingan antar variabel. Sintesa dilakukan berdasarkan berbagai pertimbangan untuk menetapkan variabel yang memiliki

(8)

prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut (Marimin, 2004).

Saaty (1993) telah mengembangkan AHP untuk menentukan cara konsisten mengubah perbandingan berpasangan menjadi suatu himpunan bilangan yang akan mempresentasikan prioritas relatif dari setiap kriteria dan alternatif yang akan dipilih. Persoalan keputusan AHP dapat dikonstruksikan secara grafis dalam bentuk diagram bertingkat dan dimulai dengan perumusan goal/sasaran, kriteria level pertama, subkriteria dan akhirnya alternatif serta sangat memungkinkan diberi nilai bobot relatif secara intuitif melalui perbandingan berpasangan.

Suatu keputusan strategi dalam pengelolaan transportasi berkelanjutan yang dilakukan setelah iterasi adalah terdiri dari aktor: pengguna, pengusaha, dan pemerintah dalam rangka pencapaian berbagai alternatif (Chavarria, 2002). 2.2.4. Sistem Informasi Geografis dalam Pengelolaan Transportasi

Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan suatu sistem yang terdiri dari perangkat lunak, data, manusia, organisasi dan pengaturan kelembagaan untuk pengumpulan, penyimpanan, penganalisaan, dan penyebaran informasi tentang daerah-daerah di permukaan bumi. Selain itu,SIG juga mengandung arti sebagai suatu model baru untuk pengorganisasian dan pendisainan sistem informasi.

Dalam sistem pengelolaan transportasi dikenal Transportation Information

System (TIS) yang mendukung atribut data base dalam memberikan data

referensi lokasi yang konsisten dalam bentuk kesesuaian dengan SIG, yaitu kemampuan menggambarkan dan memproses data geografi dalam bentuk yang diperlukan dalam aplikasi transportasi (Gunadi, 1996). Fungsi-fungsi yang membedakan GIS transportasi dengan pemetaan lainnya adalah dalam proses manipulasi data dan analisis ruang yaitu: pengukuran, analisis pendekatan, pemrosesan raster, pembangkitan dan analisis model permukaan, analisis jaringan, dan pelapisan poligon.

Untuk tujuan aplikasi SIG transportasi terdapat: fungsi dasar (editing,

display, measurement), penumpukan informasi (overlay), segmentasi dinamis,

pemodelan permukaan, penampilan dan analisis secara raster (baris per baris), penentuan rute, dan hubungan dengan piranti lunak yang lain atau program pemodelan transportasi. SIG transportasi dapat memudahkan para pengambil keputusan terkini untuk mengambil keputusan secara cepat dan tepat serta

(9)

memudahkan dalam melakukan koordinasi antar instansi yang berbeda, karena data dasar spesifik dan berdasarkan tujuan dapat dijadikan acuan dalam perencanaan, pemantauan, pengawasan, dan pelaporan (Gunadi, 1999).

Berdasarkan tujuan dan peran atau fungsi di atas, maka SIG juga dapat dikategorikan sebagai suatu koleksi perangkat lunak untuk mengatur informasi dalam basis data (Database Management System-DBMS) yang bertugas rutin dalam pemasukan, verifikasi, penyimpanan, pencarian, dan kombinasi informasi dalam berbagai hal termasuk pengelolaan transportasi. Oleh karena itu, SIG bukanlah solusi yang paling ampuh tetapi merupakan suatu proses yang dapat dimulai dari yang lebih kecil dan sederhana dengan kesepakatan peta dasar yang masih memerlukan updating oleh suatu organisasi dan sumberdaya manusia yang memadai dalam pengadaan, pemanfaatan, pengelolaan, dan pemeliharaannya.

2.2.5. Metode Perbandingan Eksponensial dalam Pengelolaan Transportasi Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) merupakan salah satu metode untuk menentukan urutan prioritas alternatif keputusan dengan kriteria jamak dan digunakan sebagai pembantu individu dalam pengambilan keputusan untuk menggunakan rancang bangun model yang telah terdefinisi dengan baik pada tahapan proses.

Selain itu, MPE mempunyai keuntungan dalam mengurangi bias yang mungkin terjadi dalam analisis, dimana nilai skor yang menggambarkan urutan prioritas menjadi besar (fungsi eksponensial) akan mengakibatkan urutan prioritas alternatif keputusan lebih nyata (Marimin, 2004).

Penggunaan MPE dalam pengelolaan transportasi dilakukan dalam beberapa tahapan yaitu: menyusun alternatif-alternatif keputusan yang akan dipilih, menentukan kriteria yang penting untuk dievaluasi, menentukan tingkat kepentingan dari setiap kriteria keputusan, melakukan penilaian terhadap setiap kriteria, menghitung skor total setiap alternatif, dan menentukan urutan prioritas keputusan berdasarkan nilai total masing-masing alternatif.

Oleh karena itu, MPE dapat digunakan dalam pengelolaan sistem transportasi yang kompleks dan terdiri dari beberapa alternatif kebijakan dalam bentuk nilai urutan prioritas yang besar (fungsi eksponensial) untuk keputusan yang lebih nyata.

(10)

2.2.6.Metode Sampling dalam Penelitian Transportasi

Metode atau teknik sampling dalam penelitian transportasi pada kawasan permukiman mengidentifikasi 3 (tiga) variabel utama yang menggambarkan karakteristik rumah tangga yang menimbulkan bangkitan perjalanan dari kawasan perumahan (Miro, 2005). Variabel tersebut merupakan dasar dalam penentuan sampling responden atau lokasi serta jenis kendaraan.

Ketiga variabel yang dimaksud di atas (Miro, 2005) adalah: 1) ukuran keluarga/jumlah orang dalam rumah (family size), 2) pemilikan kendaraan oleh rumah tangga (car ownership), dan 3) pendapatan keluarga rumah tangga tersebut (level of income).

Selain itu, teknik sampling dalam penelitian transportasi dapat difokuskan pada jumlah penduduk yang menggunakan angkutan umum penumpang baik bus maupun non-bus sebagai bagian lain dari ketiga variabel di atas. Kategori penduduk atau penumpang tersebut dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi tempat tinggal, lokasi tujuan perjalanan, umur, jenis kelamin, dan ragam pekerjaan atau profesi.

2.2.7.Metode Regresi Linier Berganda dalam Penelitian Transportasi

Metode regresi linier berganda dalam penelitian transportasi merupakan teknik analisis regresi yang menghubungkan 1 (satu) variabel terikat dengan 2 (dua) atau lebih variabel-variabel bebas yang dianggap atau mungkin mempengaruhi perubahan variabel terikat yang diamati (Miro, 2005). Metode analisis tersebut merupakan salah satu dari model-model yang tergabung dalam model statistik-matematika.

Analisis regresi yang menyatakan hubungan antar variabel ditentukan oleh koefisien korelasi yaitu suatu ukuran arah dan kekuatan hubungan linier antara dua variabel random (Sunyoto, 2007) dan koefisien determinasi yaitu suatu nilai yang menggambarkan seberapa besar perubahan atau variasi dari variabel dependen dapat dijelaskan oleh perubahan atau variasi dari variabel independen (Santosa et al., 2005).

Peramalan jumlah perjalanan atau permintaan di kawasan perkotaan pada tahap bangkitan perjalanan untuk seluruh perjalanan berbasis permukiman atau tempat tinggal dan perjalanan antar kota dapat menggunakan metode regresi linier dalam penelitian transportasi.

(11)

2.3. Sistem Transportasi Angkutan Umum Penumpang Non-Bus

2.3.1. Perencanaan, Manajemen, dan Operasional Angkutan Umum

Angkutan umum adalah pemindahan orang dan/atau barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan bermotor yang disediakan untuk digunakan oleh umum dengan dipungut bayaran atau angkutan penumpang yang dilakukan dengan sistem sewa atau membayar. Sedangkan berdasarkan kriteria pergerakan orang atau penumpang adalah terfokus pada pelayanan konsumen dan produsen serta hubungan antar kota dan intra kota (Warpani, 1990; Pemerintah Republik Indonesia, 1992a).

Sebagai salah satu tulang punggung ekonomi perkotaan, maka angkutan umum kota yang baik dan sehat dapat mencerminkan kondisi suatu kota, karena adanya faktor aksesibilitas sebagai cerminan keteraturan dan kelancaran kegiatan ekonomi suatu kota. Dalam pengoperasian angkutan umum perkotaan beberapa permasalahan pokok yang sering timbul diantaranya adalah: keinginan penumpang agar sarana yang tersedia banyak, murah, cepat, aman, dan nyaman; keinginan operator agar mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin tanpa memperhatikan keinginan penumpang; keinginan pengemudi mendapatkan penumpang sebanyak-banyaknya untuk upah tinggi dan setoran; ketidaksesuaian jumlah armada dan kebutuhan pergerakan;dan ketidakdisiplinan pengemudi akan semakin memberatkan permasalahan tersebut (Tamin, 2005).

Angkutan umum penumpang (AUP) jalan raya di Indonesia dapat dikelompokkan dua kategori yaitu: AUP bermotor (ojek, bajaj, helicak, bemo, taksi, mikrolet, minibus, dan bis kota) dan AUP tak bermotor (becak, andong, dokar, kereta, dan kuda). Kedua kategori angkutan umum penumpang di atas mempunyai karakteristik masing-masing dalam hal jumlah penumpang dan barang yang dapat diangkut, kecepatan, ongkos operasi dan pemeliharaan, harga, tarif, penggunaan ruang jalan, keselamatan dan pengaruhnya terhadap lingkungan (Soegijoko, 1991).

Beberapa karakteristik Angkutan Umum Penumpang (AUP) perkotaan berdasarkan fungsinya adalah: bus like, paratransit, dan taksi. Dimana bus like sangat tergantung dari fungsi waktu yang tetap, rute tetap, dan tempat perhentian tetap (fixed); paratransit adalah satu variasi yang fleksibel; dan taksi merupakan pilihan moda yang tergantung permintaan (demand driven/modal

(12)

secara garis besar dibedakan atas: perjalanan rumah, kommuter, bekerja, dan sosial (Warpani, 1990).

Soegijoko (1991) membandingkan karakteristik angkutan umum dalam konteks perkembangan kota berdasarkan: kecepatan rata-rata, biaya per penumpang per Km, penggunaan ruang jalan, dan keamanan. Sedangkan Tamin (2005) mempertegas bahwa tinjauan secara rinci dan mendalam juga berkaitan langsung dengan tingkatannya, baik tingkat operasional, manajemen, dan kebijakan maupun berdasarkan tingkat kota dan wilayah yang lebih luas.

Oleh karena itu, secara spesifik permasalahan angkutan umum kota sangat tergantung pada: tingkat pelayanan, jumlah armada, dan sistem rute/trayek yang efektif karena sebagian besar pengguna angkutan umum masih mengalami beberapa aspek negatif, yaitu: tidak adanya jadwal yang tetap, pola rute yang memaksa terjadinya perpindahan/transfer, kelebihan penumpang pada jam sibuk, cara mengemudikan kendaraan yang tidak disiplin dan cenderung membahayakan penumpang, dan kondisi internal dan eksternal pengusaha angkutan yang masih buruk, serta sistem pentarifan yang belum tertata dengan baik (Tamin, 2005).

Kebijakan pengembangan sistem transportasi perkotaan di Indonesia masih menggunakan pendekatan konvensional, yaitu peramalan dan sediaan

(predict and provide). Sedangkan paradigma baru pengelolaan bertumpu pada

pengelolaan dari sisi kebutuhan transportasi atau Manajemen Kebutuhan Transportasi (MKT) atau Transportation Demand Management (TDM) yang mengutamakan peramalan dan pencegahan (predict and prevent). Pelaksanaan konsep MKT/TDM tersebut harus mengarah pada perubahan, karena adanya pergeseran pergerakan dalam dimensi ruang dan waktu, yaitu: pergeseran waktu; pergeseran rute atau lokasi; pergeseran moda; dan pergeseran lokasi tujuan (Tamin, 2005).

Hakekat sistem transportasi berkelanjutan adalah memperbaiki efisiensi transportasi dengan mengurangi ketergantungan pada kendaraan bermotor dengan mengganti moda alternatif. Konsep strategi transportasi berkelanjutan dalam Matsumoto (1998) dapat disingkat menjadi Tiga E’s, yaitu: ekonomi

(economy), lingkungan (environment), dan kesetaraan (equity) untuk perlawanan

terhadap Tiga P’s yaitu: kemiskinan (poverty), penduduk (population), dan polusi

(13)

Pemecahan masalah transportasi menghadapi berbagai pilihan dan harus dilakukan secara simultan dan saling mendukung terutama rencana penggunaan lahan dan kebijakan pembangunan regional dan nasional yang bermuara kepada tiga pilar pendekatan yaitu: rencana penggunaan lahan, pengurangan lalulintas kendaraan pribadi, dan promosi angkutan umum (Riyanto, 2007).

2.3.2. Sistem Trayek/Rute Angkutan Umum Penumpang

Prinsip dasar sistem trayek/rute angkutan umum penumpang sangat terkait dengan pilihan rute terbaik dari suatu titik asal/origin (A/O) ke titik tujuan/

destination (T/D) yang ditentukan dalam pengertian waktu dan jarak, dan

sebagainya, sedangkan jaringan trayek adalah kumpulan trayek yang menjadi satu kesatuan pelayanan angkutan orang atau penumpang. Beberapa faktor yang dipertimbangan dalam menetapkan jaringan trayek adalah: pola penggunaan lahan, pola pergerakan penumpang angkutan umum, kepadatan penduduk, daerah atau area pelayanan, dan karakteristik jaringan jalan (Ditjen Perhubungan Darat, 1996).

Hubungan antara klasifikasi trayek dan jenis pelayanan, jenis angkutan, dan kapasitas penumpang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi Trayek

No. Klasifikasi Trayek

Jenis

Pelayanan Jenis Angkutan

Kapasitas Penumpang per

hari/ kendaraan

1. Utama § Cepat

§ Lambat

§ Bus besar (lantai ganda) § Bus besar (lantai tunggal) § Bus sedang § 1500-1800 § 1000-1200 § 500- 600 2. Cabang § Cepat § Lambat § Bus besar § Bus sedang § Bus kecil § 1000-1200 § 500- 600 § 300- 400

3. Ranting § Lambat § Bus sedang

§ Bus kecil § MPU

§ 500- 600 § 300- 400 § 250- 300

4. Langsung § Cepat § Bus besar

§ Bus sedang § Bus kecil

§ 1000-1200 § 500- 600 § 300- 400

Sumber: Ditjen Perhubungan Darat (1996)

Dalam melakukan proses perencanaan trayek/rute angkutan umum penumpang dapat dilakukan analisis yang meliputi analisis permintaan, analisis kinerja rute dan operasi, analisis kinerja prasarana, dan analisis penyusunan rencana.

(14)

Analisis kinerja rute dan operasi bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas dan efisiensi pengoperasian dan penentuan jumlah armada berdasarkan kajian beberapa parameter yaitu: faktor muat (load factor), jumlah penumpang yang diangkut, waktu antara (headway), waktu tunggu penumpang, kecepatan perjalanan, sebab-sebab kelambatan, ketersediaan angkutan, dan tingkat konsumsi bahan bakar (Ditjen Perhubungan Darat, 1996).

2.3.3. Sistem Pentarifan Angkutan Umum Penumpang

Prinsip dasar sistem pentarifan angkutan umum penumpang diberlakukan dalam pemberian layanan publik kepada konsumen karena alasan: adanya barang privat dan publik, efisiensi ekonomi, dan prinsip keuntungan. Tarif tersebut dibedakan atas: tarif rata (flat fare), yaitu tarif sama besar untuk setiap jarak sepanjang trayek yang ditentukan dan tarif progresif, yaitu tarif yang secara proporsional meningkat sejalan dengan makin jauhnya jarak pelayanan jasa angkutan (Warpani,2002).

Penentuan tarif angkutan umum penumpang diberlakukan pada dua kelompok, yaitu konsumen yang tidak mampu memiliki kendaraan sendiri atau menyewa secara pribadi (paksawan) dan konsumen yang mampu atau pilihwan (Warpani, 1990) dan didukung oleh Undang-undang tentang Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 serta Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 52 Tahun 2006 tentang Mekanisme Penetapan Tarif dan Formula Perhitungan Biaya Pokok Angkutan Penumpang.

Tarif angkutan umum penumpang merupakan hasil perkalian antara tarif pokok dan jarak (kilometer) rata-rata satu perjalanan (tarif Break Even

Point/BEP) dan ditambah 10% untuk jasa keuntungan perusahaan. Perhitungan

produksi angkutan umum penumpang di jalan raya dapat ditentukan dalam beberapa bentuk seperti: produksi km, produksi rit (trip), produksi penumpang orang (penumpang yang diangkut), dan produksi penumpang km dalam seat-km (Ditjen Perhubungan Darat, 1996).

Selain itu, diperhitungkan pula komponen-komponen biaya langsung, yaitu: penyusutan kendaraan, bunga modal, gaji dan tunjangan awak kendaraan, BBM, ban, servis kecil, servis besar, penambahan oli mesin, suku cadang dan bodi, cuci, retribusi, STNK/pajak kendaraan, kir, asuransi, dan lainnya serta biaya tak langsung seperti: biaya pegawai selain awak dan pengelolaannya (Ditjen Perhubungan Darat, 1996).

(15)

2.3.4. Sistem Lingkungan Angkutan Umum Penumpang

Sistem angkutan umum penumpang sebagai sistem ekonomi penduduk kota juga berdampak pada eksternalitas negatif terhadap penduduk dan lingkungan, yaitu: kemacetan lalulintas dimana fungsi utilitas waktu dan tempat berpengaruh secara langsung terhadap peningkatan kelelahan penglaju dan

biaya perjalanan; polusi udara meningkat karena emisi COX, HC dan NOX, dan

SOX yang semakin nyata mengakibatkan gangguan kesehatan penduduk kota;

tingkat kecelakaan; dan pemborosan energi (Anwar et al., 1996).

Emisi kendaraan akan berdampak pada skala lokal berupa kemacetan, kebisingan, dan polusi; pada skala regional akan berpengaruh pada hujan asam, sensitivitas ekosistem, tanah, dan batuan; dan pada skala global berpengaruh pada perubahan cuaca dan efek gas rumah kaca (green house effect). Selain itu, tingkat emisi juga dipengaruhi oleh karakteristik bahan bakar dan jenis mesin kendaraan, iklim, topografi, dan kepadatan populasi suatu kota (Sterner, 2003).

Perhitungan kualitas udara yang disebabkan oleh polusi dan kebisingan kendaraan dapat diperkirakan dengan mendeskripsikan kawasan padat kendaraan dan terjadi kemacetan maupun tundaan (Santosa, 2005). Untuk maksud tersebut, maka angkutan umum penumpang non-bus seyogyanya mempertimbangkan dampak negatif dari kemacetan dan umur kendaraan yang berakibat pada menurunnya kualitas lingkungan.

2.4. Tinjauan Studi-studi Terkait Terdahulu

Beberapa studi transportasi sebelumnya telah berupaya menilai restrukturisasi industri kota berkelanjutan di era globalisasi (perencanaan kota berkelanjutan dan struktur keruangan), disamping studi yang merancang model fungsional kemampuan lahan dalam kaitannya dengan pembangunan jalan dan kegiatan lain di sepanjang koridor jalan (Park, 1997; Purwaamijaya, 2005).

Selain itu, terdapat studi yang menggunakan parameter kualitas udara dari kendaraan bermotor serta implikasinya pada perumusan kebijakan penataan ruang kota dan studi yang memberikan alternatif kendaraan bebas polusi bagi negara berkembang yang cenderung sumberdayanya menipis dalam mengatasi persoalan lingkungan (Bernard dan Collins, 2001; Santosa, 2005). Sebelumnya terdapat studi yang mengaitkan antara penilaian ekonomi dengan tingkat polusi udara dan pencegahannya dalam konteks ruang dan waktu (Berck et al., 1999).

(16)

Studi lainnya mencoba mengaitkan antara pembangunan berkelanjutan dan transportasi berkelanjutan dalam perspektif ekonomi, kualitas lingkungan, dan keadilan atau kesetaraan (Deakin, 2001). Sebelumnya Mohan dan Tiweeri (1999) telah melakukan studi yang mengaitkan antara isu lingkungan, angkutan umum, dan keamanan angkutan tidak bermotor dalam suatu sistem transportasi yang berkelanjutan secara ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Penelitian lain yang telah dilakukan dan lebih mengandalkan penggunaan teknik analisis Proses Hierarki Analitik (AHP) dalam merumuskan strategi prioritas proyek dan alternatifnya oleh Chavarria (2002) dan Tamin (2005) menguraikan Transportation Demand Management bagi angkutan umum. Miyamoto et al. (1996) menggunakan Decision Support System (DSS) dalam menentukan pendekatan terintegrasi antara penggunaan lahan, transportasi, dan lingkungan.

Beberapa keterbatasan penelitian dan studi terkait di atas secara umum adalah:

§ kajian masih bersifat parsial yaitu masing-masing pada aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan;

§ belum sepenuhnya menggunakan pendekatan sistem atau belum bersifat holistik, sibernetik, dan efektif;

§ lokasi penelitian dan studi sebagian besar dilakukan di kota-kota besar dan negara maju dan negara berkembang;

§ sistem transportasi angkutan umum dilakukan pada kondisi kuantitas dan keadaan kualitas yang sudah mapan di kota besar negara maju;

§ sistem pengelolaan transportasi belum dikaji secara detail dan lebih fokus pada sisi sediaan (suplay side) dibandingkan sisi permintaan (demand side); § belum mempertimbangkan aspek karakteristik penduduk, tata nilai, dan

lainnya, sehingga inovasi dan alternatif temuan masih bersifat high cost

economy atau kurang realistis untuk kota-kota di Indonesia; dan

§ kebijakan yang dirumuskan masih terfokus pada pengembangan infrastruktur jalan dan mengandalkan dana dari pemerintah dibanding sisi pengelolaan.

Beberapa studi transportasi dan lingkungan antara tahun 1996 sampai tahun 2005 di atas berdasarkan keterkaitan penelitian, keluaran dan manfaat yang menjadi dasar studi atau penelitian lanjutan dengan tinjauan analisis, lokasi, dan variabel instrumen dapat dilihat pada Tabel 2.

(17)

Tabel 2. Penelitian dan Studi Terdahulu yang Berhubungan dengan Penelitian Transportasi Berkelanjutan

Penelitian/Studi (Analisis - lokasi)

Peneliti/ Penulis (thn)

Variabel

Instrumen Keluaran Manfaat

Keterkaitan Penelitian Kemampuan lahan

dan jalan

(Sistem Informasi Ge-ografis di Jl.Soekar-no-Hatta Bandung) Iskandar Muda Purwaamijaya (2005) 1. klasifikasi, penilai-an, dan pembobot-an pembatas 2. lebar interval kelas

jalan Kemampuan lahan berdasar-kan interval Lokasi dan luas kelas kemampuan lahan per kecamatan Dominasi aspek fisik dibanding aspek sosial dan nilai serta harga lahan Model pencemar

udara kendaraan ber-motor

(Metode Volume Tak Terhingga di Bogor)

Imam Santosa (2005)

1. baku mutu udara ambien 2. Indeks standar pencemar udara 3. penyebaran pencemar udara Kondisi lapang-an di bawah baku mutu udara ambien Input kebija-kan tata ru-ang dan transportasi dari pola pen-cemaran udara

Lokasi sampel difokuskan di pusat kota se-hingga kajian interaksi ruang belum menyelu-ruh Transportation Demand Management angkutan umum (Pendekatan Perma-salahan Transportasi di Bandung) Ofyar Z. Tamin (2005) 1. peningkatan kapa-sitas prasarana 2. optimasi kapasitas prasarana 3. rekayasa dan

ma-najemen lalulintas Sistem angkutan umum trangkutans -portasi perkota-an terpadu Arah pende-katan baru peramalan dan pence-gahan (MKT) Kajian fokus pada angkutan umum penum-pang termasuk bus dibanding non bus Proses Hierarki

Analitik pengelolaan trans -portasi (Metode AHP di Champaign, Illinois) Susan Chavarria (2002) 1. lingkungan yang bersahabat 2. aksesibilitas 3. penurunan jumlah kendaraan 4. efektifitas biaya untuk kota 5. sentralisasi barang dan jasa Pengurangan kemacetan lalulintas dan emisi Pengelolaan parkir dan perbaikan pelayanan transit Kajian terpadu dengan metode tunggal AHP Solusi kendaraan alternatif (Pendekatan Masalah dan Kebijakan di Amerika Serikat) Martin J. Bernard III dan Nancy E. Collins (2001) 1. demografi 2. infrastruktur trans -portasi 3. transportasi alter-natif 4. peran teknologi dan telekomuni-kasi

5. akses barang dan jasa 6. kepentingan daur ulang kehidupan Penggunaan kendaraan kecil elektrik Mengurangi dampak ke-cenderungan negatif dan menuju sis -tem transpor-tasi berkelan-jutan Keterpaduan berbagai aspek, tetapi pilihan solusi alternatif kendaraan high economy Pembangunan dan transportasi berkelan-jutan (Pendekatan Forum Diskusi dan Analisis Issue di California) Elizabeth Deakin (2001) 1. kualitas lingkung-an 2. keadilan sosial 3. vitalitas ekonomi 4. ancaman peruba-han iklim Strategi keber-lanjutan peren-canaan peng-gunaan lahan dan transportasi Meningkat-kan peran kepemimpin-an dalam pe-rencanaan Keterpaduan pada perenca-naan dan bersi-fat umum

Tata ruang dan nilai ekonomis polusi (Model Weltzman’s dan Mendelsohn’s di Amerika Serikat)

Peter Berck, Glo-ria E. Helfand, dan Hong Jin Kim (1999) 1. jumlah wilayah perdagangan yang berdekatan/ bersebelahan 2. wilayah perda-gangan optimal Kajian trade-off antara perdaga-ngan lokal dan jarak jauh Kebijakan ijin alokasi yang signifikan de-ngan efisiensi perdagangan Interaksi wila-yah berbasis kegiatan jasa perdagangan (service)

Isu lingkungan, ang-kutan umum, dan ke-amanan

(Kondisi Jalan dan Lingkungan di Delhi) Dinesh Mohan dan Geetam Tiweeri (1999) 1. kecepatan kenda-raan 2. tingkat polusi 3. rasio kecelakaan 4. tingkat kesehatan Transportasi publik, keaman-an dkeaman-an ling-kungan Pengurangan polusi dan kontrol ting-kat kecelaka-an Penataan fokus pada efek dan dampak angku-tan umum Restrukturisasi indus

-tri kota berkelanjutan di era globalisasi (Struktur Kota

multi-core di Seoul)

Sam Ock Park (1997)

1. lingkungan 2. aktivitas industri 3. transformasi

struk-tural dan restruktu-risasi industri 4. perubahan struktur dan restrukturisasi keruangan Kerangka konseptual keterkaitan antara industri, struktur, ruang, dan lingkungan Pengembang an lokasi industri berbasis tata ruang kota berkelanjutan Fokus kajian pada industri dan lingkungan dalam konteks keruangan

Decision Support Sys-tem integrasi

penggu-naan lahan, transpor-tasi, dan lingkungan

(Random Uti lity/ Rent Bidding Analysis/ RURBAN Model di Bangkok) Kazuaki Miya-moto, Rungsun Udomsri, Sathin-dra Sathyapra-sad, dan Fuhu Ren (1996) 1. perilaku lokasi 2. pilihan transpor 3. dampak lingkung-an Pendekatan baru keterpadu-an perencketerpadu-anaketerpadu-an penggunaan la-han, transpor, dan lingkungan Fleksibilitas aplikasi untuk negara ber-kembang Dominasi aspek ekonomi dan lingkungan di-banding sosial dan kelemba-gaan

Gambar

Gambar 2. Interaksi Transportasi-Tata Ruang
Tabel 2. Penelitian dan Studi Terdahulu yang Berhubungan                                 dengan Penelitian Transportasi Berkelanjutan

Referensi

Dokumen terkait

Selanjutnya penjelasan pasal 34 tersebut menyatakan : “Bahwa lembaga pengawasan jasa keuangan yang nantinya akan dibentuk, akan melaksanakan pengawasan seluruh sektor jasa

Perencanaan merupakan perhitungan dan penentuan tentang apa yang akan dijalankan dalam rangka mencapai tujuan tertentu, dimana hal tersebut menyangkut tempat, oleh

Gejala umum anemia yang disebut juga sebagai sindrom anemia (anemic syndrome) dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin turun di bawah 7-8 g/dl. Gejala

Pada subbab ini akan dijelaskan proses penyusunan HR strategies. Proses penyusunan HR strategies ini berawal dari pengidentifikasian misi atau strategi dari unit HR

Selain ulangan harian penulis juga mengumpulkan hasil PTS (Penilaian Tengah Semester) yang dilaksanakan tiap pertengahan semester pertama dan hasil PAS (Penilaian

Mahasiswa mampu menjelaskan anatomi histologi gigi geligi, morfologi gigi sulung dan permanen, anomali gigi ,menjelaskan radiografi dasar serta menjelaskan material wax kedokteran

Rendahnya nilai apgar skor merupakan salah satu cara untuk menilai kesejahteraan bayi yang baru lahir, penyebab rendahnya apgar skor tersebut yaitu bisa

Pada lingkungan tertutup, signage yang berisi pesan primer dipasang pada zona overhead dengan tujuan agar informasi utama tidak terhalang obyek dan mudah ditemukan