• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENINGGALAN PURBAKALA ISLAM KOMPLEK SUNAN SENDANG DI DESA SENDANGDUWUR KECAMATAN PACIRAN KABUPATEN LAMONGAN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENINGGALAN PURBAKALA ISLAM KOMPLEK SUNAN SENDANG DI DESA SENDANGDUWUR KECAMATAN PACIRAN KABUPATEN LAMONGAN."

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

PENINGGALAN PURBAKALA ISLAM KOMPLEK SUNAN SENDANG DI DESA SENDANGDUWUR KECAMATAN PACIRAN

KABUPATEN LAMONGAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana dalam Program Strata Satu (S-1) Pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI)

Oleh:

Iqra Alina Zaki NIM. A0.22.12.058

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)
(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

Kemegahan peradaban di kepulauan Hindia Timur (Nusantara) tidaklah dimulai dari Kerajaan Majapahit. Bukti-bukti arkeologis serta cacatan sejarah lainnya menunjukan sistem sosio-kultural yang kompleks juga telah berkembang di Nusantara sejak abad ketiga Masehi. Beberapa cacatan sejarah mengisyaratkan bahwa kerajaan Islam telah berdiri di Nusantara pada akhir abad ke-13 sampai abad ke-15 M (termasuk kerajaan Jeumpa, Tambayung, Malaka), sebelum proses Islamisasi mendapatkan momentum pentingnya di Jawa yakni saat berdirinya Kesultanan Demak.

Dalam penelitian ini penulis membuat rumusan masalah sebagai fokus pembahasan dalam penelitian, diantaranya: Bagaimana keberadaan desa Sendangduwur; Apa saja peninggalan purbakala Islam komplek makam Sunan Sendang di Desa Sendangduwur Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan; dan bagaimana hubungan budaya Hindu, Islam, Modern pada peninggalan purbakala Islam Sunan Sendang di Desa Sendangduwur Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan.

Dari penelitian diatas bisa disimpulkan bahwa; Desa Sendangduwur adalah salah satu desa yang terletak di sebelah selatan wilayah kecamatan Paciran kabupaten Lamongan; Peninggalan kepurbakalaan di Sendangduwur merupakan salah satu peninggalan sejarah yang bersal dari masa transisi Indonesia, Hindu dan Islam. Secara umum kepurbakalaan Islam pada komplek Sunan Sendang desa Sendangduwur yakni Masjid Sendangduwur dan makam Sunan Sendang. Sementara itu hubungan dari tiga budaya yakni Hindu, Islam, dan Modern yakni bersifat damai, setiap agama baru melakukan penyesuian terhadap agama yang terdahulu.

(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN PEDOMAN TRANSLITERASI ... v

HALAMAN MOTTO ... vi

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vii

HALAMAN ABSTRAK ... viii

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian... 8

D. Kegunaan Penelitian ... 8

E. Pendekatandan Kerangka Teori ... 10

F. Penelitian Terdahulu ... 11

G. Metode Penelitian ... 12

H. Sistematika Pembahasan ... 14

BAB II : DESA SENDANGDUWUR A. Letak Geografis Desa Sendangduwur ... 15

(7)

BAB III :SITUS PENINGGALAN PURBAKALA ISLAM KOMPLEK SUNAN SENDANG DI DESA SENDANGDUWUR

A. Masjid Sendangduwur ... 21

B. Makam Sunan Sendang ... 23

C. Arsitektur Masjid dan Makam Sunan Sendang ... 27

BAB IV : HUBUNGAN BUDAYA PADA PENINGGALAN PURBAKALA ISLAM KOMPLEK SUNAN SENDANG DI DESA SENDANGDUWUR A. Unsur Budaya Hindu, Islam, Modern pada Masjid dan Makam Sunan Sendang di Desa Sendangduwur ... 43

B. Hubungan Budaya Hindu, Islam dan Modern dalam Peninggalan Purbakala Masjid dan Makam Sunan Sendang di Desa Sendangduwur ... 50

BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ... 53

B. Saran ... 53

DAFTAR PUSTAKA ... 55

(8)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Nusantara adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kepulauan Indonesia yang merentang di wilayah tropis dari Sumatra di bagian barat sampai Papua di bagian Timur. Inilah wilayah yang tercirikan dengan keanekaragaman geografis, biologis, etnis, bahasa, budaya, dan serta situs-situs kepurbakalaan yang ditinggalkan pada masa silam.1

Kemegahan peradaban di kepulauan Hindia Timur (Nusantara) tidaklah dimulai dari Kerajaan Majapahit. Bukti-bukti arkeologis serta cacatan sejarah lainnya menunjukan sistem sosio-kultural yang kompleks juga telah berkembang di Nusantara sejak abad ketiga Masehi. Dan jauh sebelumnya, relasi ekonomi serta budaya juga telah terbentuk antara penduduk Nusantara dengan masyarakat manca, khususnya India dan Cina. Pengaruh budaya dan agama dari wilayah mancanegara secara cepat diserap oleh budaya Nusantara yang memang sangat

adaptif dan “ramah”.

Dari abad ke-7 sampai ke-10 M, Islam telah mengakar di kawasan Timur Tengah, juga dikawasan yang membentang dari Spanyol sampai Maroko hingga kawasan timur India. Islam melahirkan peradaban baru serta karya-karya brilian. Kawasan-kawasan tersebut mengalami proses Islamisasi secara bertahap tentunya Arabisasi pula, di kawasan Mediterania timur, Mesopotamia dan pantai timur Afrika sebagai hasil dari penaklukan para penguasa Islam.

1

(9)

2

Beberapa cacatan sejarah mengisyaratkan bahwa kerajaan Islam telah berdiri di Nusantara pada akhir abad ke-13 sampai abad ke-15 M (termasuk kerajaan Jeumpa, Tambayung, Malaka), sebelum proses Islamisasi mendapatkan momentum pentingnya di Jawa yakni saat berdirinya Kesultanan Demak.2

Penyebaran agama Islam di Indonesia atau Nusanata umunya di Jawa tidak dapat dipungkiri dari peranan pedagang Islam, ahli-ahli agama Islam dan raja-raja atau penguasa yang telah memeluk Islam. Proses masuknya Islam ke Indonesia pertama melalui masyarakat sepanjang pesisir utara. Dalam hal ini, pembawa Islam kepada masyarakat Nusantara adalah para saudagar-saudagar muslim, baik yang datang dari Gujarat maupun Arab dengan cara berdagang. Dari mereka ini mereka mengenal dan terjadi hubungan yang dinamis diantara mereka. Para saudagar muslim tidak semata-mata hanya berdagang melainkan juga berdakwah.3

Teori tentang masuknya Islam ke Indonesia yang dikemukakan oleh Azyumardi Azra di dalam buku Jaringan Ulama. Pertama teori yang dikemukakan oleh Pijnapel, dia mengaitkan asal mula Islam di Nusantara dengan Gujarat dan Malabar. Menurutnya, Islam di Nusantara berasal dari orang-orang Arab

bermazhab Syafi’i yang berimigrasi dan menetap di wilayah India tersebut yang

kemudian membawa Islam ke Nusantara.4

Bukti penyebaran Islam masyarakat lokal Indonesia adalah prasasti-prasasti Islam. Seperti ditemukan adanya makam Fatimah binti Maimun di Leran Gresik Jawa Timur, bertarikh tahun 475 H (1082 M) merupakan batu nisa muslim tertua yang masih ada dan tarikhnya terbaca jelas.

2

Ibid., 191-195.

3Abdurahman Mas’ud,

Sejarah Peradaban Islam (Semarang: PT pustaka Rizki Putra, 2009), 181.

4

(10)

3

Seperti yang dicontohkan diatas yakni salah satu situs kepurbakalaan Islam yang sekarang masih ada yakni makam Fatimah binti Maimun di Gresik, itulah salah satu contoh kepurbakalaan yang seharusnya kita jaga dengan baik. Untuk di kabupaten Lamongan pada abad XV-XVI, masyarakat Lamongan mengenal adanya situs kepurbakalaan Islam diawali dengan kebudayaan perunggu-besi terutama kebudayaan Hindu, yang dibuktikan dengan peninggalan kepurbakalaan di wilayah ini. Kebudayaan menyebar ke seluruh wilayah Lamongan terutama wilayah bagian Selatan, yakni wilayah Sambeng, Ngimbang Modo, dan Bluluk. Penyebaran kebudayaan Hindu tersebut ditandai oleh temuan araca, prasasti dan peninggalan kepurbakalaan lain seperti nekara, lempengan, logam serta prasasti-prasasti lainnya.5

Pada zaman Islam penduduk Desa Sendangduwur memeluk agama Islam. Penyebaran agama Islam dilakukan dari arah Timur dan utara oleh para wali penyebar agama Islam yang berasal dari Ampel Denta dan Giri. Tokoh-tokoh penyebar agama Islam awalnya di daerah Lamongan di antaranya Sunan Drajat Paciran dan Raden Noer Rochmat di Desa Sendangduwur.6

Pada Desa Sendangduwur terdapat seorang tokoh ulama yang menjadi salah satu tokoh penyebar agama Islam yakni Raden Noer Rochmat putra dari Raden Abdul Qohar dari Sedayu Lawas Kecamatan Brondong Kabupaten Lamongan, dan masih cucu dari Syekh Abu Yazid Al-Bagdadi yang juga seorang ulama terkenal yang berasal dari Mesir.7 Raden Noer Rochmat mendapat gelar

5

Mohammad Farid et al, Lamongan Melayu Raharja Ning Praja (Lamongan: Tim Penyusun Naskah Lamongan Memayung Raharjaning Praja, 1993), 8.

6

Ibid., 9-10.

7

(11)

4

dari Sunan Drajat atau Raden Qasim, saat mengetahui kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh Raden Noer Rochmat sebagai bukti tanda Waliyullah. Gelar yang diberi oleh Raden Noer Rochmat yakni Sunan Sendang.

Desa Sendangduwur kecamatan Paciran kabupaten Lamongan ini terletak di daerah dataran tinggi berada dijalur jalan sudah beraspal lebih tepatnya Desa Sendangduwur ini dikelilingi oleh sebuah desa yakni Desa Sendangagung.8 Desa Sendangduwur adalah termasuk kawasan yang banyak situs-situs kepurbakalaan Islam yang tepatnya pada komplek makam Sendangduwur. Desa ini juga merupakan jalur penyebaran agama Islam oleh para walisongo dan para sunan. Dahulu pada zaman kerajaan Hindu, Jawa Timur pesisir utara merupakan daerah perdagangan yang telah dikenal oleh pedagang dari Nusantara maupun para saudagar dari Timur Tengah yang datang singgah, pergi dan juga ada yang menetap.

Selain sebagai pedagang, saudagar dari Timur Tengah atau Asia Timur juga menyebarkan agama Islam di wilayah utara dan disebabkan di daerah ini banyak terdapat situs kepurbakalaan terutama kepurbakalaan Islam khususnya pada komplek makam Sunan Sendang Desa Sendangduwur Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan.

Pada saat Sunan Sendang menyebarkan Islam secara evolutif-kultural menggunakan kesenian Hindu Jawa yang saat itu masih melekat pada jiwa masyarakat setempat. Dengan demikian akan mudah masyarakat umum mudah

8

(12)

5

Islamkan. Yang kenyataanya, masyarakat di Sendangduwur kini merupakan Islam yang taat kepada agamanya.9

Peninggalan kepurbakalaan di Sendangduwur merupakan salah satu peninggalan sejarah yang bersal dari masa transisi Indonesia, Hindu dan Islam. Secara umum kepurbakalaan Islam pada komplek Sunan Sendang desa Sendangduwur yakni Masjid Sendangduwur dan makam Sunan Sendang.

Kepurbakalaan Islam Sendangduwur menurut tradisi setempat lokasi tersebut disebut Gunung Amitunon. Berdasarkan etimologi bahasa amitunon

berasal dari kata “tunu” yang berarti “membakar”. Karena terletak pada bukit

(gunung kecil) yang paling atas “duwur” maka komplek tersebut disebut dengan Sendangduwur.

Hal ini memberikan petunjuk bahwa peninggalan purbakala Islam Sendangduwur dahulunya merupakan situs bangunan suci yang digunakan sebagai tempat pembakaran jezanah. Kemudian tempat atau situs tersebut beserta dengan para pengikutnya berhasil diislamkan selanjutnya tempat itu dimanfaatkan sebagai tempat pemakaman khususnya makam Sunan Sendang atau Raden Noer Rochmat.10

Berbagai peninggalan dari zaman Majapahit selain kepurbakalaan Sendangduwur yang dapat diselaraskan dengan budaya Islam, antara lain: kepurbakalaan Sunan Giri, Menara Masjid Kudus, Makam Troloyo di Trowulan, dan lain-lain. Adapun peninggalan yang kemudian tetap sebagaimana adanya

9

Zein M Wiryoprawiro, Perkembangan Arsiktetur Masjid di Jawa Timur (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1986), 226.

10

Wiandik dan Aminuddin Kasdi, “Aspek-aspek Akulturasi pada Kepurbakalaan Sendangduwur di

(13)

6

sebagai bangunan Hindu dan Budha, seperti: Candi Penataran, Candi Sorowono, Candi Tiga Wangi, Candi Wringin Lawang, dan lain sebagainya.

Unsur-unsur budaya dari masyarakat Majapahit, atau zaman sebelum Islam yang ada di kepurbakalaan Sendangduwur, antara lain: gapura bentar, paduraksa, relief gunung bersayap ragam, hias kalamerga dan kalanaga, seni bangunan garupa bersayap, relief burung punik dan merak.

Peninggalan-peninggalan tersebut juga dapat dilacak pada bangunan-bangunan suci yang lain, seperti kalanaga pada Candi Jabung, kalamerga terdapat di Candi Penataran kemudian garupa bersayap terdapat pada kepurbakalaan Sunan Giri, relief burung punik atau burung garuda juga terdapat pada Candi Kidal di Malang dan Candi Sumberjati di Blitar.

(14)

7

Situs-situs kepurbakalaan diatas yakni peninggalan dari Sunan Sendang menjadi bukti terjadi penyebaran agama Islam. Penduduk sekitar myebutkan

kekunoan desanya dengan nama “Masjid Sendangduwur atau Makam Sunan

Sendang”.11

Atas dasar inilah peneliti merasa tertarik dan memandang perlu untuk menelaah lebih lanjut mengenai kepurbakalaan Islam pada komplek Sunan Sendang desa Sendangduwur kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan.

B. Rumusan Masalah

Dari pembahasan diatas, dapat ditarik suatu rumusan masalah sebagai fokus pembahasan dalam penelitian, diantaranya sebagai berikut:

1. Bagaimana keberadaan desa Sendangduwur.

2. Apa saja peninggalan purbakala Islam komplek makam Sunan Sendang di Desa Sendangduwur Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan.

3. Bagaimana hubungan budaya Hindu, Islam, Modern pada peninggalan purbakala Islam Sunan Sendang di Desa Sendangduwur Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan.

C. Tujuan Penelitian

Selain dengan rumusan masalah diatas, maka tujuan diadakannya penelitian ini adalah:

1. Mengetahui keberadaan desa Sendngduwur.

11

(15)

8

2. Untuk merekam jejak peninggalan purbakala Islam di Desa Sendangduwur Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan.

3. Untuk memahami hubungan budaya Hindu, Islam, dan Modern yang ada pada peninggalan purbakala Islam komplek Sunan Sendang di desa Sendangduwur.

D. Kegunaan Penelitian

Berdasarkan tujuan diatas penelitian ini dapat memberikan informasi dan pemahaman yang lebih mendalam, maka penelitian ini dapat memberikan arti guna kepada khazanah keilmuan.

Adapun hal-hal yang dihasilkan dari penelitian ini diharapkan dapat: 1. Untuk mengembangkan ilmu kebudayaan Islam di UIN Sunan Ampel

Surabaya khususnya pada Fakultas Adab dan Humaniora.

2. Untuk mengembangkan teori penetrion pasifique dengan membahas mengenai keberadaan desa Sendangduwur, apa saja peninggalan purbakala komplek Sunan Sendang, dan juga hubungan budaya Hindu, Islam dan Modern pada komplek Sunan Sendang di Desa Sendangduwur Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan.

E. Pendekatan dan Kerangka Teoritik

(16)

9

mendeskripsikan fakta kepurbakalaan Islam komplek Sunan Sendang di Desa Sendangduwur tersebut.

Kemudian landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori

Penetration Pacifique.12 Sebagai mana disebutkan bahwa pada mulanya di Jawa umumnya budaya Hindu dan seiring waktu mengalami perubahan yakni agama Islam yang dibawa oleh Sunan Sendang. Itulah yang menyebabkan banyaknya peninggalan kepurbakalaan Islam yang berunsur dari dua budaya tersebut yakni Hindu-Islam dalam unsur situs kepurbakalaan yang sekarang masih terjaga sampai sekarang ini dengan baik. Tidak hanya dua budaya yang akan dibahas akan tetapi akan membahas bagaimana hubungan budaya modern dengan budaya yang lama yakni budaya Hindu dan Islam. Teori Penetration Pacifique yakni suatu teori yang beranggapan bahwa kebudayaan asing yang masuk dalam kebudayaan penerima dengan jalan damai. Yang disini lebih tepatnya yakni masuknya kebudayaan Islam dalam kebudayaan Hindu dalam situs kepurbakalaan Sunan Sendang ini, dan tidak lepas dengan kedatangannya budaya baru yakni budaya modern.

Teori yang kedua yakni teori dari Jean Piaget, lebih tepatnya menggunakan teori strukturalisme. Teori ini beranggapan bahwa budaya hakikatnya suatu sistem simbolik atau konfigurasi sistem perlambangan. Pada penelitian ini bisa kita padukan bahwa dengan memakai teori ini kita akan bisa

12

(17)

10

membahas tentang simbol atau pun perlambangan pada kajian arkeologi mengenai peninggalan purbakala Islam pada komplek Sunan Sendang ini.13

Pada pembahasan disini hubungan perubahan sosial dan perubahan kebudayaan adalah kebudayaan dikatakannya suatu komplek yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat istiadat dan setiap kemampuan serta kebiasaan manusia sebagai warga masyarakat, perubahan-perubahan kebudayaan merupakan setiap perubahan-perubahan dari unsur-unsur tersebut. Misalnya, dari penjelasan diatas bisa dicontohkan dengan perubahan agama yakni yang dahulu sebelum datangnya agama Islam, Hindu masih mendominasi pada daerah Sendangduwur ini yang mengakibatkan perubahan budaya, kebiasaan, hukum, adat istiadat dan masih banyak hal yang lain. Lambat laun seorang tokoh Islam yakni penyebar agama Islam Raden Noer Rochmat atau lebih sering kita sebut dengan nama Sunan Sendang memberikan banyak perubahan, dari budaya Hindu yang kental menjadi budaya Islam yang sangat taat pada Tuhan. Dari dua budaya yang saling berdampingan yang damai itu memunculkan berbagai situs atau kepurbakalaan dari budaya lama yang juga akan memunculkan budaya baru yakni budaya modern akan dibahas pada pembahasan selanjutnya untuk lebih mengetahui apa saja kepurbakalaan atau khususnya kepuubakalaan Islam yang ditinggalkan pada desa Sendangduwur ini.

13

(18)

11

F. Penelitian Terdahulu

Dalam penelitian terdahulu dari berbagai penelusuran yang telah penulis lakukan terhadap literatur, dan juga karya ilmiah skripsi yang membahas Kepurbakalaan makam Sunan Sendang yakni:

1. Laporan Penelitian berjudul: “Laporan Penelitian Fisik Komplek Masjid

Makam Sendangduwur”. Penelitian ini membahas tentang fisik atau arsitektur

pada masjid dan makam yang ada di Sendangduwur.14

2. Buku peninggalan sejarah dan Kepurbakalaan Makam Islam di Jawa Timur, DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN PROPINSI JAWA TIMUR, 2003. Didalam buku membahas kepurbakalaan yang ada dalam kawasan Jawa Timur.15

3. E-book Ancient Indonesian Art By A. J. BERNET KEMPERS (Cambrigde, Massa Chusetts: Harvard University Press, 1959). Didalam E-book tersebut membahas mengenai berbagai kebudayaan dan kesenian yang ada di Indonesia.16

Dalam penelitian diatas berbeda dengan penelitian yang akan dibahas. Pada

penelitian ini dengan judul “Peninggalan Purbakala Komplek Makam Sunan

Sendang di Desa Sendangduwur Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan.

14

Mahasiswa Bebas Kuliah Fakultas Adab, Laporan Penelitian Fisik Komplek Masjid Makam Sendangduwur (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Surabaya Jurusan SKI, 1983), 2-12.

15

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Makam Islam di Jawa Timur (Surabaya: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur, 2003), 14.

16

(19)

12

G. Metode Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka untuk menghasilkan laporan penelitian yang ilmiah dan akuntabel, maka penulis akan menggunakan metode penelitian arkeologi yakni sebagai berikut:

1. Tahap Pengumpulan Data, yaitu dengan cara survei ke lapangan dengan menggunakan metode pengamatan, wawancara dan mencari dan mengumpulkan data yang berkaitan dengan penulisan penelitin ini baik dalam berbagai sumber yaitu dengan mengumpulkan buku-buku mapun literatur yang berkaitan dengan penelitian baik itu di perpustakaan, internet, kediaman narasumber sekaligus wawancara dengan narasumber itu sendiri, dan juga melakukan survei, pengamatan secara langsung. Wawancara pada bapak Hasan Mansur dan bapak Ali, selaku juru kunci pada makam Sunan Sendang di Desa Sendangduwur itu. Sumber yang berupa dokumen atau sumber tertulis dapat ditemukan pada artefak, foto-foto yang dijadikan dalam buku

(20)

13

berbentuk arsip catatan, arsip lapangan dalam penelitian tentang peninggalan Sunan Sendang ini. Untuk klasifikasi lanjutan yakni dengan mengklasifikasikan berbagai atribut mengenai peninggalan purbakala ini, atributnya antara lain yakni atribut gaya, bentuk, dan teknologi.

2. Tahap Diskripsi, disini akan membahas tentang pengolahan data yang beriukutnya hasil dari laporan lapangan dilanjutkan dengan tahap analisis tentang penelitian mengenai peninggalan purbakala Islam pada desa Sendangduwur ini. Tahap ini yakni membahas BAB II dan BAB III dengan menggunakan metode fenomenologi, yakni membahas deskripsi masjid dan makam Sunan Sendang dan hubungan budaya dalam peninggalan Sunan Sendang tersebut yakni dengan menggunakan teori utama yakni teori

Penetrion asifique.

3. Tahap Pelaporan, untuk tahap ini peneliti akan melakukan hasil laporannya dengan bentuk karya ilmiah berupa skripsi yang mengambil judul

“Peninggalan Purbakala Islam Komplek Sunan Sendang di Desa

Sendangduwur Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan”.

H. Sistematika Bahasan

Untuk mengetahui gambaran keseluruhan pembahasan penelitian ini, berikut akan dikemukakan beberapa pembahasan pokok dalam tiap bab.

(21)

14

Bab kedua, mengenai desa Sendangduwur yang membahas letak geografi sendangduwur dan keadaan sosial Sendangduwur.

Bab ketiga, mengenai situs peninggalan Islam komplek desa Sendangduwur diantaranya masjid, makam, dan arsitektur pada situs peninggalan Sunan Sendang.

Bab keempat, yakni hubungan budaya pada peninggalan purbakala Islam komplek Sunan Sendang di desa Sendangduwur. Budaya yang akan dibahas diantaranya unsure budaya Hindu, Islam, dan Modern.

(22)

BAB II

DESA SENDANGDUWUR

A. Letak Geografis desa Sendangduwur

Desa Sendangduwur ini merupakan salah satu Desa yang terletak di Sebelah Selatan Wilayah Kecamatan Paciran serta memiliki Luas Wilayah + 22,5 Ha/m2 dengan jumlah penduduk sampai bulan februari 2013 tercatat sebanyak 1.913 Jiwa, yang terdiri dari 965 Jiwa penduduk laki-laki dan 948 Jiwa adalah penduduk perempuan. Batas-batas Wilayah Desa Sendangduwur adalah sebelah utara, selatan, timur dan barat dikelilingi oleh sebuah desa, yakni desa Sendangagung Kecamatan Paciran.1

Awal mula Islam datang ke daerah Lamongan yakni semenjak abad XIV Lamongan menjadi wilayah kekuasaan kerajaan Majapahit. Sehubungan dengan itu pula pengaruh agama Hindu juga Budha cukup kuat terutama di daerah bagian selatan. Tetapi keadaan itu menjadi berubah tatkala pusat kerajaan Majapahit mulai melemah dan terus bertambah lemah sebagai akibat perang saudara untuk memperebutkan tahta semenjak perang Paregreg (1401 – 1406). Perang saudara itu tidak pernah berhenti, sampai akhirnya Majapahit dapat dikalahkan oleh Girindrawardhana dari Kediri pada tahun 1478 M.

Surutnya kerajaan Majapahit, memberikan kemudahan terhadap ber-kembangnya agama Islam di daerah Lamongan, dan daerah-daerah lain di Jawa Timur. Sebagaimana di daerah-daerah lainnya di Jawa, berkembangnya agama Islam di daerah Lamongan lewat usaha yang sungguh-sungguh oleh para ulama

1

(23)

16

dan para pedagang. Para ulama penyebar Islam pada masa awal itu oleh masyarakat diidentifikasi sebagai Waliyullah atau secara mudah disebut Wali.

Wali berarti orang yang sangat taat kepada Allah, terpelihara dari perbuatan maksiat dan memiliki karamahydkni kemuliaan, kelebihan dalam arti

ilmu dan kesaktian. Sedangkan kata “Sunan”, berarti sebutan penghormatan

seperti “Paduka yang mulia” sebutan para Wali Islam.2

Sejarah Desa Sendangduwur ini tidak lepas oleh peran penting seorang tokoh yang berpengaruh pada desa ini yakni Raden Noer Rachmat atau lebih dikenal dengan nama Sunan Sendang. Dari tokoh inilah awal mula muncul situs-situs kepurbakalaan khususnya Islam pada desa Sendangduwur ini.

Sunan Sendang adalah seorang tokoh penyebar agama Islam pada Desa mengetahui kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh Raden Noer Rochmat sebagai bukti tanda Waliyullah. Gelar yang diberi oleh Raden Noer Rochmat yakni Sunan Sendang.

Sunan Sendang merupakan seorang yang terlahir dengan sosok cerdas, dikenal sebagai orang yang berilmu tinggi dan alim, terpelajar dan mendapat pendidikan yang mendalam tentang agama Islam. Sunan Sendang juga

2

Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur, Lamongan Memayu Raharjaning Praja (Lamongan: Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II, 1994), 24

3

(24)

17

mempunyai akhlak yang mulia, suka menolong dan mempunyai keprihatinan sosial yang tinggi terhadap masalah-masalah sosial. Ia juga ahli dalam pertanian sejak berada di Desa Sendangduwur. Sosok yang arif dan bijaksana, sifatnya lemah lembut, belas kasih dan rama kepada semua orang membuatnya terkenal sebagai tokoh masyarakat yang disegani dan dihormati karena keteguhan dan kesederhanaannya. Kepribadiannya yang baik itulah yang menarik hati penduduk setempat sehingga mereka berbondong-bondong untuk masuk agama Islam dengan suka rela menjadi pengikut yang setia.Sunan Sendang menghabiskan masa-masa terakhirnya dengan menetap di Desa Sendangduwur dengan mendirikan masjid untuk mengajarkan agama Islam kepada penduduk sekitar sampai ia wafat.4

Masjid sebagai tempat berteduh juga sebagai tempat untuk mengajarkan agama Islam. Dalam mengajarkan agama Islam di daerah tempat tinggalnya itu akhirnya mempunyai beberapa murid. Sunan Sendang wafat pada hari Senin Legi tanggal 9 Sya‟ban 993 H, bertepatan dengan tanggal 5 Agustus 1585 M, dalam usia 65 tahun. Ia di makamkan di belakang masjid Sunan Sendang. Nisannya terdapat tulisan kapan Raden Noer Rochmat wafat, dapat diketahui pada pahatan di dinding makam. Oleh Stutterhein angka tersebut menunjukkan tahun 1507 S atau tahun 1585 M.5

Peninggalan kepurbakalaan di Sendangduwur merupakan salah satu peninggalan sejarah yang bersal dari masa transisi Indonesia, Hindu dan Islam.

4 Ibid., 1. 5

(25)

18

Secara umum kepurbakalaan Islam pada komplek Sunan Sendang Desa Sendangduwur yakni Masjid Sendangduwur dan makam Sunan Sendang.

Kepurbakalaan Islam Sendangduwur menurut tradisi setempat lokasi tersebut disebut Gunung Amitunon. Berdasarkan etimologi bahasa amitunon berasal dari kata “tunu” yang berarti “membakar”. Karena terletak pada bukit

(gunung kecil) yang paling atas “duwur” maka komplek tersebut disebut dengan

Sendangduwur.6

Hal ini memberikan petunjuk bahwa kepurbakalaan Sendangduwur dahulunya merupakan situs bangunan suci yang digunakan sebagai tempat pembakaran jezanah. Kemudian tempat atau situs tersebut beserta dengan para pengikutnya berhasil diislamkan selanjutnya tempat itu dimanfaatkan sebagai tempat pemakaman khususnya makam Sunan Sendang atau Raden Noer Rochmat.

Kepurbakalaan Islam yang sangat berfungsi sebagai penyebaran agama Islam yakni Masjid Sendangduwur yang terletak pada Desa Sendangduwur Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan Jawa Timur. Masjid ini mempunyai ciri khas yang mencolok dari dua unsur agama yakni agama Hindu dan Islam. Dan kedua kepurbakalaan Islam yang juga merupakan satu komplek dengan masjid Sendangduwur yakni makam Sunan Sendang dan sekaligus didalamnya terdapat makam-makam tokoh daerah setempat dalam membantu Raden Noer Rochmat atau Sunan Sendang untuk menyebarkan agama Islam. Makam Sunan Sendang

6

Wiandik dan Aminudin Kasdi, “Aspek-aspek Akulturasi pada Kepurbakalaan Sendangduwur di

(26)

19

banyak dikunjungi oleh peziarah, yang juga sangat dikeramatkan oleh pada penduduk setempat.

Bisa disimpulkan bahwa situs kepurbakalaan Islam peninggalan dari Sunan Sendang menjadi bukti terjadi penyebaran agama Islam. Penduduk sekitar

menyebutkan kekunoan desanya dengan nama “Masjid Sendangduwur atau

Makam Sunan Sendang”.7

B. Kondisi Sosial Desa Sendangduwur

Kondisi sosial masyarakat Sendangduwur yakni dengan penduduk 100% adalah beragama Islam, faham yang dianutnya yakni dengan didominasi faham NU (Nahdlotul Ulama). Masyarakat Desa Sendangduwur ini sangatlah taat dalam menjalankan ibadah shalat, hal ini terbukti dengan penuhnya jama’ah yang ada di mushalla maupun yang ada di masjid tersebut.8

Masjid dan mushalla pada desa tersebut bukan hanya digunakan sebagai tempat ibadah saja, akan tetapi digunakan sebagai kegiatan pengajian, pendidikan, dan pembinaan mental spiritual.

Kondisi sosial ekonomi pada daerah tersebut didominasi dengan usaha wiraswasta misalnya industri kecil sebagai pengrajin emas, pengrajin bordir atau batik. Nampaknya usaha seperti itulah yang mendominasi sebagai sumber penghasilan utama pada daerah tersebut. Banyak masyarakat bermata pencarian tersebut dikarenakan kondisi alam desa Sendangduwur yakni tanah yang kering.

7

UkaTjandrasasmita, Islamic Antiquities (Jakarta: PT Rindang Mukti, 1975), 1. 8

(27)

20

Dalam kehidupan sosial bermasyarakat tidak lepas dengan adanya suatu unsur budaya, begitu pula dengan warga Desa Sendangduwur tersebut. Kehidupan mereka yakni dengan cara bergotong royong dan kekeluargaan dengan ditandai dengan kehidupan antar warga yang saling akrab dan saling membantu warga yang satu dengan warga yang lain. Adanya persaudaraan yang tinggi yakni menimbulkan rasa saling menghormati, menghargai, atas dasar kekeluargaan. Kerja bakti antar warga menjadi budaya Desa Sendangduwur.

(28)

BAB III

SITUS PENINGGALAN ISLAM KOMPLEK DESA SENDANGDUWUR

A. Masjid Sendangduwur

Berdasar akar katanya masjid mengandung arti tunduk dan patuh, maka hakekat masjid adalah tempat melakukan segala aktifitas berkaitan dengan kepatuhan kepada Allah semata1. Masjid juga diartikan sebagai tempat bersujud, pensucian, tempat shalat dan bertayamum, namun juga sebagai tempat melaksanakan segala aktivitas kaum muslim berkaitan dengan kepatuhan kepada Tuhan.

Dari sejarah masjid Nabawi di Madinah didirikan oleh Rasulullah Saw, dapat dijabarkan fungsi dan peranannya pada masa itu. Tercatat tidak kurang dari sepuluh peranan dan fungsi masjid Nabawi yaitu tempat ibadah, konsultasi, dan komunikasi masalah ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, santunan sosial, latihan militer dan persiapan peralatannya, pengobatan korban perang, perdamaian dan pengadilan sengketa menerima tamu (di aula), menawan tahanan dan pusat penerangan atau pembelaan agama.

Dari sudut pandang tersebut masjid dapat diramkum sebagai tempat untuk memenuhi keperluan ibadah Islam, fungsi dan perannya ditentukan oleh lingkungan, tempat dan zaman dimana masjid itu didirikan.

1

(29)

22

Untuk situs yang pertama yakni masjid Sendangduwur. Awal mula sebelum menjadi masjid tempat ini dikatakan sebagai candi. Pada masa Indonesia-Islam timbul bangunan yang disebut masjid. Masjid secara umum sesuai dengan perkataan dalam bahasa asalnya yakni bahasa Arab atau Aramia, berarti bentuk diri untuk bersujud. Dengan kata lain masjid adalah tempat orang menundukan diri unttuk bersujud ketika bersembayang. Dalam pengertian sekunder, masjid

adalah sebuah bangunan tempat bersembayang berjama’ah yang terlindung dari

panas dan hujan.

Bentuk masjid kuno di Indonesia pada umumnya denahnya berbentuikbujur sangkar, di bagian depan (kadang-kadang dibagian samping) terdapat serambi, dan sebuah ruang menjorok ke luar pada sisi barat sebagai mihrab. Pola dasar itu kiranya masih mengikuti pola dasar masjid yang pertama didirikan oleh Nabi Muhammad SAW di Quba pada tahun 622 M.2

Masjid Sendangduwur atau biasanya disebut dengan Masjid Sunan Sendang. Menurut Ali Qosim juru kunci masjid, sejarah berdirinya masjid sendang duwur berawal dari keinginan Raden Noer rahmad atau Sunan Sendang duwur untuk memiliki masjid untuk memusatkan siar islam di desa sendang duwur. niat tersebut kemudian diutarakan ke sunan drajat.

Setelah itu Sunan Drajat memerintahkan Sunan Sendang membeli masjid milik mbok rondo mantingan, di Jepara, Jawa tengah yang memiliki masjid indah, peninggalan suaminya. Namun, mbok rondo mantingan ini tidak menjual

2

(30)

23

masjid tersebut. Seperti wasiat suaminya, siapa yang bisa memboyong masjid seorang diri dalam keadaan utuh akan diberikan cuma-cuma.

Mendengar jawaban mbok rondo mantingan, Sunan Sendang memberitahu ke Sunan Drajat. Setelah itu, Sunan Drajat memerintahkan Sunan Sendang cirakat di puncak gunung sedayu lawas selama 40 hari. Dalam cirakatnya, sunan sendang duwur srasa didatangi sunan kali jogo dan diperintahkan kembali ke mantingan mengambil masjid tersebut. Dalam semalam masjid ini terbang dari mantingan ke bukit amintuno, masjid ini disebut juga masjid tiban. Magrib tidak ada tiba-tiba subuh sudah ada.3

B. Makam Sunan Sendang

Maesan kubur dalam pengertian Islam lebih umum disebut makam. Makam di Indonesia ialah sistem penguburan bagi muslim, di atas permukaan tanah tokoh yang dikuburkan itu di buat tanda yang berbentuk bangunan persegi panjang dengan hiasan maesan di sisi utara dan selatan. Arah utara selatan dengan posisi mayat miring ke arah kiblat menunjukan pengertian penghormatan keagamaan.4

Makam yang akan dibahas disini yakni salah satu makam seorang tokoh penyebar agama Islam pada suatu desa di Kabupaten Lamongan Kecamatan Paciran yang tepatnya pada desa Sendangduwur. Makam tersebut yakni makam

3

Ali Qosim, Wawancara, Desa Sendangduwur Paciran Lamongan, 31 Oktober 2015. 4

(31)

24

Raden Noer Rachmat atau lebih terkenal dengan makam Sunan Sendang yang terbagi dalam beberapa halaman yang berada di sebelah utara dan Barat masjid Sendangduwur. Tiap-tiap halaman dibatasi oleh pagar dengan pintu gerbang sebagai jalan masuknya. Secara umum komplek makam tokoh utamanya (Sunan Sendang) berada di halaman III (paling belakang).

Makam Sunan Sendang (Raden Noer Rachmat) diambil oleh peneliti tanggal 3

Desember 2015

1. Halaman I

(32)

25

a. Pintu Gerbang G

Pintu gerbang ini menghadap ke Timur berbentuk candi bentar dan berbahan batu putih. Sebenarnya didepan pintu gerbang ini ada halaman yang tampaknya dahulu dihiasi oleh pagar yang sekarang hanya tinggal pondasinya saja, dengan pintu gerbang kecil bentuk candi bentar berbahan bata merah.

b. Pintu Gerbang F

Pintu gerbang ini menghadap ke selatan berbentuk paduraksa terbuat dari bahan batu putih sebagai jalan masuk ke halaman I lainnya.

c. Pintu Gerbang E

Pintu gerbang ini menghadap ke timur berbentuk paduraksa terbuat dari bahan batu putih, sebagai jalan menuju sebuah lorong di halaman II. 2. Halaman II

Halaman II ini yakni komplek makam Sunan Sendang yang di sekat-sekat lagi menjadi beberapa halaman yang lebih kecil, dibatasi oleh pagar dengan pintu gerbang sebagai jalan masuk. Di halaman ini ada dua pintu gerbang yang menarik untuk dibahas yaitu gerbang D dan pintu gerbang B.

a. Pintu Gerbang D

Pintu gerbang ini menghadap ke utara berbentuk candi bentar terbuat dari batu putih, sebagai jalan masuk menuju ke komplek masjid Sendangduwur dari sebuah lorong di halaman II.

(33)

26

Sebelum sampai ke pintu gerbang B, harus melalui beberapa sekat halaman yang lebih kecil dibatasi pagar dengan pintu masuknya. Dari lorong di sisi Timur halaman II pintu masuk berupa pilar pembatas pagar yang di atasnya ada hiasan kemuncak berbentuk ratna, sebagai jalan masuk ke bagian halaman II yang lain. Di sisi barat halaman ini ada bangunan yang berhimpitan dengan pagar di sebeah barat.

c. Halaman III

Halaman ini tepatnya berada disekitar sisi barat dari masjid Sendangduwur. Di halaman ini terdapat makam tokoh utama yakni makam Sunan Sendang (Raden Noer Rachmat) pendiri pertama masjid Sendangduwur.

d. Halaman IV

Halaman ini sebagian besar berada di sebelah selatan masjid Sendangduwur. Untuk masuk ke halaman ini dapat melewati jalan sempit diantara tumpuan batu yang memisahkan halaman IV dengan halaman II dan halaman III yang ada di sebelah barat masjid Sendangduwur. Halaman ini juga dapat dimasuki melalui pintu gerbang C yang ada di sisi selatan. Halaman ini juga disekat-sekat dengan pagar yang terbuat dari bata merah. Pada pagar dinding ini terdapat pilar-pilar yang diatasnya terdapat bentuk candi laras yang kelihatan sederhana.

e. Pintu Gerbang C

(34)

27

gerbang D disebelah utara masjid, yaitu terdiri dari bagian kaki, tubuh, dan atap. Bagian kakinya terdiri dari tiga lapis bidang makin mengecil ke depan, dengan permukaan paling depan berbentuk cembung.

C. Arsitektur Masjid dan Makam Sunan Sendang

Arsitektur merupakan bagian sistem budaya serta sistem tata nilai suatu masyarakat, ia adalah cerminan tata nilai yang berwujud bangunan dan struktur-struktur yang ada. Pribadi yang arsitek adalah sebagai perekam tata nilai masyarakat sekitarnya, yang kemudian kembali ke dalam bentuk atau struktur ciptaannya. Hasil karyanya akan turut serta mengembangkan tata nilai yang ada, begitulah suatu proses yang berlangsung terus menerus dengan hasil tata nilai masyarakat yang semakin meningkat.5

Arsitektur sebagai hasil karya manusia, dipengaruhi antara lain oleh keadaan geografis, geologis, dan iklim. Ketiga hal ini membantu secara fisik penjelmaan bentuk arsitektur. Sedangkan keadaan keagamaan dan kemasyarakatan, turut serta menentukan taraf peradaban. Semua segi tersebut saling menjalin, yang terkenal dengan sejrah, termasuk perkembangan politik dan ketatanegaraan.

Dalam menilai dan mengerti suatu gaya bentuk arsitektur dari zaman lampau sama halnya seperti menilai dan mengerti peninggalan-peninggalan benda-benda kesian lainnya dengan masalah-masalahnya. Kadangkala memang jelas karena petunjuk-petunjuk yang ditinggalkan cukup banyak. Baik secara

5

(35)

28

langsung yang terdapat pada bangunan itu sendiri, maupun secara tak langsung, dengan memulai penelaahan terhadap bidang arkeologi sastra, bahasa, antroplogi, dan lain-lain. Tetapi sering pula ada peninggalan-peninggalan yang lepas dari konteks. Sehingga sulit sekali memahami maksud dan tujuan, serta untuk mengetahui kapan dan siapa pendiri suatu bangunan. Tentu saja ini disebabkan petunjuk-petunjuk yang diperlakukan tidak lengkap atau musnah dimakan waktu, atau pun memang tak pernah ada. Oleh karena itu tinjauan arsitekturpun akan cenderung menimbulkan penafsiran yang berbeda.

Arsitektur sendiri berasal dari bahasa Yunani yakni architekton, yang terbentuk dari dua kata arkhe dan tektoon. Arkhe berarti asli, awal, utama, otentik, sedangkan tektoon berarati berdiri stabil, kokoh, stabil statis. Jadi architekton adalah pembangunan utama atau bisa juga bisa berarti tukang ahli bangunan. Di pihak Forrest Wilson dalam bukunya Struktur dan Essensi Arsitektur, berpendapat bahwa arsitektur adalah seni bangunan. Kemudian ia memperinci lagi dalam arti luas, bahwa arsitektur adalah suati seni yang logis, dan kelogisan tersebut terdapat pada prinsip-prinsip struktur. Dari keterangan diatas bisa diambil kesimpulan bahwa arsitektur dalam pengertian umum adalah tata ruang waktu dari lingkungan hidup manusia, individu maupun berkelompok.6

6

(36)

29

Babakan sejarah arsitektur Indonesia menurut Djauhari Sumintardja adalah sebagai berikut:

1. Rumah tradisional

Istilah rumah tradisional dapat diartikan sebuah rumah yang dibangun dan digunakan dengan cara yang sama sejak beberapa generasi. Suatu hal menarik dari ciri rumah tradisional adalah peninggalan lantai seperti di Aceh, Minangkabau dan lain-lain. Ciri lainnya adalah dari segi konstruksi yang dibangun dengan olong atau tiang yang tinggi. Sehingga kolong rumah dapat dimanfaatkan sebagai tempat menympan barang misalnya.7

2. Arsitektur Hindu

Arsitektutr masa kebudayaan Hindu adalah sejumlah arsitektur dari zaman dan tempat dari suatu lingkungan masyarakat Hindu. Istilah baru untuk kebudayaan Indonesia-Hindu adalah kebudayaan kejayaan nasional.

Ciri terpenting dari perkembangan suatu bangunan dalam kebudayaan Hindu, dalil-dalilnya tersusun dalam kitab keagamaan slipa sastra. Tentang bagaimana cara penerapan dalil-dalil itu ke dalam iklim Indonesia, masih belum tetap jelas. Contoh yang nyata tentang arsitektur Hindu antara lain yakni yang akan dibahas pada pembahasan ini adalah arsitektur pada situs peninggalan Sunan Sendang yang tepatnya ada dua yakni Masjid Sendangduwur dan Makam Sunan Sendang itu sendiri. Pada kedua peninggalan itu terdapat berbagai peninggalan yang berarsitektur Hindu yang sangat kental dan masih terjaga hingga sekarang.

7

(37)

30

3. Arsitektur Masa Kebudayaan Islam

Arsitektur masa kebudayaan Islam adalah sejumlah arsitektur dari zaman dan tempat dari suatu lingkungan masyarakat Islam. Kebudayaan Islam di Indonesia dimulai pada akhir abad XIII, ketika Sumatera didirikan suatu kerajaan Islam yang bernama Pasai tahun 1292. Dalam kekayaan arsitektur kebudayaan Islam di Indonesia, yang meliputi bangunan masjid, istana, menara, dan makam-makam.

Ciri khas yang dapat dilihat dalam arsitektur Islam khusunya di Pulau Jawa, bangunannya mengandung unsur-unsur Hindu, seperti tampak pada batu-batu nisan pada komplek Sunan Sendang desa Sendangduwur.

4. Arsitektur Masa Penjajahan Barat

Arsitektur masa penjajahan barat adalah arsitektur yang direncanakan dengan ide barat. Di Indonesia, ciri barat mulai tampak ketika Portugis abad XVI datang ke pulau Maluku untuk berdagang rempah-rempah. Disanalah mulai terdapat bangunan-bangunan yang didirikan dengan ide barat. Kemudian pada dekade berikutnya Belanda pun tak ketinggalan dengan benteng Fort Victoria nya yang dibangun tahun 1580 di Ternate.

5. Perkembangan arsitektur di Masa Empat Windu Merdeka

(38)

31

Hal penting dalam komplek masjid Sendangduwur diantara lain sebagai berikut:

a) Pada pintu masjid sebelah kiri terdapat inskripsi angka Jawa yang berarti 1851 C = 1929 M. Menurut Dr. G.F Piper tahun tersebut menunjukan mulainya dibuat konstruksi masjid dari batu.

b) Pada pintu sebelah kanan masjid terdapat inskripsi berangka tahun 1920 M, tahun tersebut menunjukan restorasi bangunan masjid yang ada sekarang ini. c) Pada balok penyangga dibagian depan dalam masjid terdapat inskripsi

bertuliskan huruf Jawa yang berbunyi “gunaning sarira tirta hayu”, yang

berarti 1483 C = 1561 M. Tahun ini menunjukan direstorasinya pertama dengan dinding kayu.

Didalam masjid ada sebuah mimbar yang penuh dengan relief kalanaga yang sudah distilir. Adanya lambang Majapahit dan relief kalanaga pada mimbar tersebut menunjukan keluwesan tokoh penyiar Islam di Sendangduwur yang menggunakan budaya yang sudah ada dan berkembang pada waktu itu. Begitu pula atap tumpang masjid merupakan budaya yang ada pada waktu itu yang mengambil bentuk bangunan meru di Bali

(39)

32

Arsitektur pada komplek Masjid dan Makam Sunan Sendang ini yang akan dibahas sebagai berikut:

a. Masjid Sendangduwur

Foto Masjid Sendangduwur diambil oleh peneliti tanggal 3 Desember 2015

Halaman depan masjid terbagi menjadi tiga bagian:

Pertama: bagian paling depan mempunyai ukuran panjang 1850 cm, lebar 3800 cm. Pada sudut tenggara halaman ini terdapat sebuah sumur (sumur giling) dengan kedalaman 3500 cm, berbentuk segi empat berukuran 165 cm dan beratap limas dan berukir.

(40)

33

kosong. Diselatan ketiga guci tersebut terdapat bangunan tempat berwudlu dan disebelah utaranya terdapat tembok berbentuk bulat sebagai pengukur waktu sembayang. Disamping kiri masjid juga terdapat halaman yang merupakan jalan menuju masjid dari sebelah utara yang dibatasi oleh tembok yang tidak berpilar. Lebar halaman 316 cm, pada halaman ini terdapat patung syiwa dalam keadaan tergeletak. Demiukian juga dikanan masjid ada halaman lebarnya 520 cm, yang dibatasi dengan pagar tembok setinggi 80 cm dan mempunyai satu pintu besi yang jarang dibuka, dan seakan-akan halaman tersebut beserta pintunya kurang berfungsi.

b. Serambi Masjid

Dari halaman untuk serambi masjid harus menaiki enam undak-undak. Pada serambi tersebut ada dua bedug yang satu disebelah selatan beserta kentongan dan satu disebelah utara. Pada bagian depan serambi tersebut terdapat enam tiang besi yang berderet dari utara ke selatan, sedang pada bagian belakang terdapat enam tiang tembok berbentuk persegi. Pada serambi kiri masjid terdapat kolam yang beratap tembok untuk mencuci kaki dan wudlu.

(41)

34

c. Fisik Masjid

Dari serambi depan untuk memasuki masjid melalui salah satu dari tiuga buah pintu yang berukuran sama, tinggi 297 cm, lebar 154 cm. Pada pintu sebelah kiri terdapat inskripsi bertuliskan huruf Jawa yakni 1851 C. Pada pintu tengah terdapat inskripsi bertuliskan huruf Arab 1231 H. Sedang pada pintu sebelah kanan terdapat inskripsi bertuliskan huruf latin 1920 M.

Foto kondisi dalam Masjid Sendangduwur (Diambil oleh peneliti tanggal 3 Desember

2015

(42)

35

disamping kiri dan 2 disamping kanan serta 4 buah di keempat sudut, dengan ukuran masing-masing mempunyai garis lingkar 74cm.

(43)

36

Foto mihrab dan mimbar dalam Masjid Sendangduwur

Diambil oleh peneliti tanggal 3 Desember 2015

Ragam hias pada mimbar tersebut terdapat pada:

1) Lengkung depan dan belakang berbentuk ular naga yang berhadap-hadapan yang sudah distilir dengan bunga dan daun-daunan.

2) Diantara dua naga tersebut terdapat ukiran matahari yang merupakan lambang kerajaan majapahit.

3) Sisi kanan kiri dan belakang reliefnya tumbuh-tumbuhan dan bunga teratai.

4) Pada sanadaran belakang terdapat inskripsi huruf Arab.

Pada balok penyangga bagian depan dalam masjid inskripsi bertuliskan

huruf Jawa kuno yang berbunyi “Gunaning Sarira TirtaHayu” yang berarti

(44)

37

Restorasi kedua tahun 1978-1979 dengan merubah bagian atap. Atap tumpang pertama dan kedua dirubah dari sirab menjadi ganting press, sedang tumpang ketiga masih tetap asli yaitu sirab.

d. Komplek Makam Sunan Sendang

Dalam laporan komplek makam ini dibagi menjadi empat bagian, sebagai berikut:

1) Halaman makam pertama ini terletak disebelah utara masjid. Untuk memasuki komplek makam tersebut melewati pintu gerbang yang berbentuk candi bentar dengan ukuran 585cmx175cm dengan diapit oleh empat candi laras dengan ukuran 2x125cm. Gapura tersebut memiliki 4 undak-undak. Didepan kanan kiri gapura terdapat dua kolam yang sudah tidak dipakai. Kolam ini dulu berfungsi sebagai tempat wudlu. Pada halaman pertama ini ada 2 komplek makam. Komplek makam pertama berukuran 1083cmx1070cm dengan dipisah pleh pagar batu dan ditengah-tengahnya terdapat gapura paduraksa dengan ukuran tinggi 360cm, lebar 120cm. Sedang luas pintu 160cmx66cm. Diatas pintu terdapat relief bermotif bunga teratai.

(45)

38

2) Antara halaman makam pertama dan kedua dibatasi oleh pagar tembok yang ditengahnya terdapat gapura paduraksa dengan ukuran tinggi 631cm, lebar 246cm, sayap 350cm. Lebar kaki masing-masing 114cm. Pada kaki kanan kiri gapura bagian depan terdapat relief bermotif burung punik. Sedang pada dua disisi kaki tersebut terdapat relief singa mengendarai garuda.

Diantara semua burung, garuda itu mendapat tempat yang istimewa sekali. Dalam metologi Hindu burung garuda itu jadi burung kendaraan Dewa Wisnu, sehingga dalam kesenian Hindu-Jawa garuda itu dapat berulang-ulang atau bersama-sama dengan Dewa Wisnu atau bisa juga sendirian.

Gapura pada komplek Makam Sunan Sendang dengan motif Garuda Diambil oleh peneliti tanggal 3 Desember 2015

(46)

39

itu berlawanan dengan ular, yang menjadi lambang air dan benua bawah.8 Dalam ornamen-ornamen Indonesia yang sekarang garuda itu masih banyak dipakai, antara lain sebagai ragam hias lampu, terutama untuk lampu wajang. Sebagai contoh sebuah lampu wajang dari kuningan menyerupai garuda yang besar. Dalam badannya ditaruh minyak kelapa, sumbunya diletakkan pada paruhnya. Lampu itu harus digantungkan pakai rantai, sedikit dibelakangdan kepala dalang.

Pada tembok kanan kiri garupa terdapat relief kalamakara yang sudah distilir dengan bunga-bunga. Jika dilihat dari belakang (arah barat) pada tubuh gapura terdapat relief naga yang sudah distilir dengan bunga-bunga. Pada kaki kiri kanan gapura ada relief kalamakara bermata satu yang sudah distilir pula. Dikanan kiri gapura terdapat miniatur dan maket dari gapura tersebut. Dibagian sayap terdapat relief bermotif angsa. Pada bagian gapura tersebut terdapat relief bunga-bunga.

Disebelah tenggara halaman makam kedua ini terdapat gapura candi bentar untuk menuju masjid dari arah utara. Pada sebelah kanan gapura terdapat pagar yang memiliki dua motif yakni bermotif gunung yang dihiasi dengan bunga melati dan yang kedua bermotif bunga teratai.

Pada halaman ini terdapat 5 lokasi makam. Yang pertama yakni dengan 5 deret makam, yang kedua ada 7 deret makam yang batu nisannya ada inskripsi haruf Jawa dengan angka tahun 1730 C, yang

8

(47)

40

ketiga terdapat ada 3 makam, deret keempat 5 makam, dan terakhir deret kelima ada 2 makam.

3) Komplek halaman makam ketiga ini dibagi menjadi 3 lokasi yaitu:9

Lokasi pertama terletak disebelah barat daya masjid. Dari komplek halaman kedua untuk menuju komplek halaman makam ketiga harus menuruni 4 undak-undak dan melewati jalan yang diapit oleh dua pagar. Pada sebelah kiri pagar terdapat 5 makam dan tidak terdapat tulisan apapun. Pada sebelah kiri makam ada 17 makam dan 1 diantaranya ada

tulisa inskripsi huruf Arab yang berbunyi “laailahaillah”.

Di lokasi itu terdapat sumur yang mempunyai kegunaan yang pertama untuk minum, yang kedua untuk cuci muka. Disebelah kiri ada tebing dan diatas tebing ada 20 makam.

Lokasi yang kedua terletak dibelakang masjid sebelum memasuki makam Raden Noer Rachmat. Disini ada pintu gerbang bersayap akan memasuki makam komplek makam Sunan Sendang.

Lokasi ketiga terletak dibelakang masjid yang merupakan komplek makam utama yakni makam Sunan Sendang dan pembantu-pembantunya yang terbagi dalam dua cungkub. cungkub pertama terdapat inskripsi yang bertuliskan huruf dan angka Arab, yang cungkub kedua yakni terdapat makam Sunan Sendang yang dikelilingi oleh dinding dari lempengan kayu dengan fondasi batu putih. Pada lempengan sebelah kanan pintu masuk terdapat relief yang bermotif pohon. Sedang disebelah kiri pintu ada

9

(48)

41

bermacam-macam relief yang bermotif bunga-bunga, daun-daunan, keris, dan burung yang berhadap-hadapan.

Dalam ruangan tersebut terdapat makam Sunan Sendang beserra istrinya ytang diberi tabir terdapat 1 makam.

4) Untuk memasuki masjid dari arah selatan harus melalui gapura candi bentar. Pada halaman ini terdapat banyak makam akan tetapi merupakan makam baru semua yaitu makam dari abad dua puluh.

Masjid ini berfungsi sebagai tempat beribadah, terutama melakukan shalat berjamaah maupun individu. Selain digunakan untuk shalat masjid ini digunakan sebagai kegiatan sosial dan pendidikan Al-Quran dan agama serta kegiatan lain yang terdapat hubungan dengan kebudayaan Islam. Dengan demikian masjid ini merupakan bangunan istimewa yang senantiasa dihormati siapapun, bukan saja oleh kalangan internal Islam akan tetapi juga sarana eksternal oleh umat beragama lainnya yang ada di Indonesia sebagai tempat peribadatan yang disucikan oleh ajaran Islam.

Untuk situs kepurbakalaan Islam yang kedua yakni makam Sunan Sendang itu sendiri. Makam sendiri bagi masyarakat yang mempercayainya bukan hanya sebagai sekedar tempat menyimpan jenazah akan tetapi sebagai tempat keramat karena disitu dikuburkan jasad orang keramat.

(49)

42

belakang dengan makam tokoh utamanya (Sunan Sendang) berada di halaman III (paling belakang).10

Makam Sunan Sendang berarsitektur tinggi, yakni perpaduan kebudayaan Hindu dengan Islam. Dibangunan ini terdapat gapura bagian luar berbentuk mirip tugu bentar di Bali dan gapura bagian dalam berbentuk paduraksa.11

10

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur, Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Makam Islam di Jawa Timur (Surabaya: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur, 2003), 15.

11

(50)

BAB IV

HUBUNGAN BUDAYA PADA PENINGGALAN PURBAKALA ISLAM KOMPLEK SUNAN SENDANG DI DESA SENDANGDUWUR

A. Unsur Budaya Hindu, Islam, dan Modern pada Masjid dan Makam Sunan Sendang Di Desa Sendangduwur

Hasil pertemuan antara unsur-unsur kebudayaan Indonesia, Hindu-Budha dan kebudayaan Islam salah satu diantaranya dalam bentuk bangunan ialah kompleks kepurbakalaan Sunan Sendang Duwur., khususnya pada bangunan makam. Kompleks Sendang Duwur sebagai salah satu peninggalan kuno dari masa transisi budaya Indonesia asli, Hindu-Budha, dan Islam merupakan salah satu warisan budaya dari zaman permulaan Islam di Jawa , di samping peninggalan yang lain misalnya makam Sunan Giri, makam Malik Ibrahim, dan sebagainya.1 Tidak dapat dipungkiri bahwa tiap-tiap benda kebudayaan atau seni adalah pencerminan cara berpikir, merasa, dan cipta dari masyarakat pendukungnya, dan dengan demikian peninggalan-peninggalan di Sendang Duwur juga merupakan pencerminan cara merasa, cara berpikir, dan cara mencipta bangsa Indonesia pada zaman permulaan Islam. Sehubungan dengan itu apabila mengamati kompleks Sendang Duwur dengan seksama dapatlah diperkirakan bagaimana cara merasa, berpikir, mencipta, adat istiadat, tingkatan kebudayaan, hingga kemudian dapatlah dijelaskan berbagai aspek kepurbakalaan di kompleks Sendang.

1

Wiandik dan Aminuddin Kasdi, “Aspek-aspek Akulturasi pada Kepurbakalaan Sendangduwur di

(51)

44

Bangunan masjid itu sendiri merupakan hasil dari kebudayaan Islam. Seandainya masjid diartikan sekedar sebagai tempat yang dikhususkan untuk sembahyang secara umum, maka bisa berupa tanah lapang yang khusus disediakan untuk ibadah. Maka dapat disimpulkan bahwa masjid adalah hasil kebudayaan Islam. Hal ini juga nampak jika rumah tempat kediaman biasa langsung diubah fungsinya menjadi tempat sembahyang, itu juga tetap bukan merupakan sebuah masjid, tetapi rumah yang digunakan sebagai masjid. Bangunan Ayasifia yang merupakan gereja termashur setelah direbut oleh Sultan Muhammad II dari Turki, diubah menjadi sebuah masjid dengan memberikan beberapa perubahan pada bagian-bagiannya. Masjid Sendang Duwur yang ada saat ini hampir tidak menyisakan artefak yang berasal dari abad XV, hanya beberapa bagian saja dari sisi yang lama tetap di gunakan seperti pondasi dan letak tiang-tiangya yang tidak berubah.2

Dikelilingi tembok Denah dan ukuran masjid tetap seperti semula. Pintu masuk di masjid ini rendah sekali, yaitu 1,30 meter agar orang membungkuk ketika masuk. Jadi seakan-akan mendidik untuk menghormati tempat suci tersebut. Hal ini sebenarnya terdapat pada candi-candi yang masih dapat dilihat saat ini. Pintu tengah berhiaskan lengkung makara di atasnya atau kerttimukha yang biasa terdapat di atas pintu candi (sebenarnya hal ini tidak selaras dengan bangunan suci Islam) sedang pintu itu sendiri berhias motif daun dan lotus yang merupakan hiasan yang penting sekali dalam bangunan suci Hindu. Ompak yang tampak seperti bulan, tetapi aslinya berbentuk seperti buah waluh (atau gentong)

2

(52)

45

yang masih dapat dilihat hingga sekarang di gudang di utara masjid. Pilar seperti ini terdapat pada wihara di Karli dan Nasik tetapi pada masjid Sendang Duwur ini diambil dari Demak atau Cirebon.3 Atap tumpang bersusun tiga pada masjid merupakan pengaruh Hindu yang dapat dilihat pada atap meru bangunan suci Hindu. Atap tumpang bersusun tiga terang menyerupai atap tumpang pada meru dan hal ini juga terdapat pada relief candi Jawi, Jago, Surawana, dan Panataran. 4

Letak kompleks yang berada pada puncak gunung merupakan kelangsungan dari adat asli Indonesia. Maka mungkin tempat ini dulu merupakan tempat suci pra Islam. Demikian halnya dengan kompleks makam Islam beserta masjidnya yang banyak terdapat di pantai utara Jawa. Tidak adanya menara mungkin karena masalah teknis, sebagai gantinya orang naik ke dalam ruangan di bawah susun atap yang paling atas untuk memperdengarkan adzan untuk memanggil ummat.

Lotus yang terdapat di beberapa bagian masjid terang merupakan pengaruh dari Hindu bukan dari Islam. Tetapi panil- panilnya dengan penampang segi enam yang runcing dengan pinggiran seperti tali yang dianyam merupakan pola seni Islam.

Motif ini terdapat pada masjid-masjid di Persi dan India pada zaman raja-raja Islam Mongol. Penampang geometris dengan hiasan bidang rosetta juga merupakan ragam hias Islam. Hiasan seperti ini juga terdapat di Masjid Mantingan, Giri dan masih tetap digunakan menghias lembaran pinggiran kitab suci Islam.

3

Uka Tjandrasasmita, Islamic Antiquities (Jakarta: PT Rindang Mukti, 1975), 39.

4

(53)

46

Di kompleks Sendang Duwur unsur lotus dalam hiasan sangat menonjol (hiasan lotus ini mendominasi seluruh hiasan yang ada di kompleks). Dalam keyakinan Hindu lotus dianggap sebagai lambang (sumber) air, sedangkan dalam ikonigrafi selain sebagai lambang (sumber) air. Lotus juga merupakan lambang yang memperkuat, membantu, mendasari kehidupan secara magis. Sedangkan hiasan motif tali yang merupakan batas panil hiasan tali dapat dikembalikan pada motif hiasan zaman Mesolitikum atau Megalitikum seperti terdapat pada pandosa dari Padaringan, Bondowoso.5

Mimbar yang ada sekarang ini merupakan barang baru, sehingga tidak ada unsur pengaruh Hindu di dalamnya. Mimbar yang lama hingga saat ini masih tersimpan di dalam gudang sebelah utara masjid dalam keadaan lapuk dan rusak. Mimbar tersebut berbentuk kursi yang tinggi dan besar dengan kedua pasang kaki muka dan belakang yang ditinggikan sedang yang di muka lebih tinggi. Kedua pasang kaki muka dan juga belakang dihubungkan dengan lengkungan yang menyerupai lengkung makara. Di tengah lengkung itu terdapat lingkaran sinar dan di tengahnya terdapat lukisan mulut, hidung, dan mata (jadi seperti kala yang digayakan). Pada bidang yang lain terdapat hiasan motif daun dan lotus yang dominan, seperti pada lengkung, tangan, dan kaki. Hiasan lotus pada mimbar ini lebih melambangkan Padma sebagai sumber kehidupan, disamping sebagai lambang sumber air. Menurut kepercayaan Hindu, di dalam Padma terdapat sekeping bagian yang menjadi dasar bagi alam semesta.

5

(54)

47

Mimbar pada masjid kuno akan mengingatkan pada “asana” tempat duduk

Dewa. Makara dan lotus sebagai hiasan pada mimbar tentunya berdasar pada kepercayaan atas fungsinya dan bukan pada jiwanya. Fungsi seorang imam (saat itu juga seorang wali) dianggap sebagai penghubung antara dunia (manusia) dengan surga (Tuhan). Maka pengarahan fungsi mimbar dapat disamakan dengan altar yang dipandang sebagai lambang kosmos, di mana pada waktu-waktu tertentu Dewa bersemayam pada altar tersebut.

Hiasan mimbar berupa lotus yang merupakan lambang air sedangkan pada altar lambang tersebut diwujudkan dengan tikar rumput kusa sebagai tempat duduk dewa. Oleh karena itu, asana pada patung-patung dewa hampir selalu bermotif teratai sebagai hiasannya (padmasana). Itulah sebabnya pada masjid-masjid yang kuno mimbar-mimbarnya selalu berbentuk kursi bukan seperti podium kita dewasa ini, meskipun fungsinya sama. Jika pada altar terdapat kepercayaan bahwa Dewa pada waktu tertentu bersemayam di sana, tetapi pada mimbar hanya terbatas pada imam (karena pembatasan oleh ajaran agama dalam hal keyakinan). Tetapi fungsi mempersatukan dunia dan akhirat adalah sama.

Wali adalah “kekasih” Tuhan dan sekaligus adalah penguasa. Bahkan pada

(55)

48

Tidak hanya dua budaya yang muncul pada peninggalan Sunan Sendang, akan tetapi masih ada satu budaya baru yaitu budaya modern. Budaya modern ini bisa dilihat dengan adanya pembaharuan pada masjid dan makam Sunan Sendang. Perubahan yang muncul dengan ditandai dengan munculnya semen pada arsitektur yang ada pada masjid dan makam Sunan Sendang. Semen itulah yang menjadi tolak ukur muncul budaya baru pada peninggalan purbakala Sunan Sendang ini.

Dari penjelasan kedua unsur budaya ditemukan hal penting dalam masjid dan makam Sunan Sendang yakni dalam komplek masjid Sendangduwur diantara lain sebagai berikut:

1) Pada pintu masjid sebelah kiri terdapat inskripsi angka Jawa yang berarti 1851 C = 1929 M. Menurut Dr. G.F Piper tahun tersebut menunjukan mulainya dibuat konstruksi masjid dari batu.

2) Pada pintu sebelah kanan masjid terdapat inskripsi berangka tahun 1920 M, tahun tersebut menunjukan restorasi bangunan masjid yang ada sekarang ini. 3) Pada balok penyangga dibagian depan dalam masjid terdapat inskripsi

bertuliskan huruf Jawa yang berbunyi “gunaning sarira tirta hayu”, yang berarti 1483 C = 1561 M. Tahun ini menunjukan direstorasinya pertama dengan dinding kayu.

(56)

49

Begitu pula atap tumpang masjid merupakan budaya yang ada pada waktu itu yang mengambil bentuk bangunan meru di Bali.

Pada makam Sunan Sendang juga tidak luput ditemukan yang hal penting, berikut ini:

1) Komplek ini mulai berfungsi sebagai makam pada pertengahan abad XVI M, dan dengan didirikannya masjid pada pertengahan abad tersebut mulai berfungsi sebagai tempat ibadah dan penyiaran agama Islam.

2) Komplek makam juga disebut tempat yang sangat sakral atas dasar yakni adanya patung yang diperkirakan merupakan patung Sisa yang ditemukan pada pintu masjid bagian utara dalam keadaan tergeletak, seni bangunan candi bentar yang ada pada komplek makam mempunyai tipe yang sama dengan bangunan candi bentar yang ditemukan pada suatu relief di Trowulan yang berasal dari seniman Majapahit.

(57)

50

B. Hubungan Budaya dalam Peninggalan Purbakala Masjid dan Makam Sunan Sendang Di Desa Sendangduwur

Masa peralihan budaya Hindu ke Islam terjadi secara bertahap dengan intensitas yang berbeda-beda di masing-masing wilayah. Di Jawa Timur termasuk di Sendangduwur, Paciran terjadi sekitar abad XV-XVI, yang dibuktikan oleh inskripsi angka tahun 7-0-4-1 Saka dalam huruf Jawa atau setara dengan 1485 M. Dan peninggalan berupa bangunan-bangunan yang terdapat di kompleks tersebut yang bercorak masa peralihan. Proses penerimaan Islam sebagai budaya baru bisa cepat dan mudah diterima oleh masyarakat setempat. Hal itu berkat kemampuan Raden Nur Rahmat dalam berdakwah dengan menenpuh jalan pendekatan kultural sosiologis. Pendekatan itu dilakukan sebgai upaya untuk menemukan kesejajaran, kemiripan antara berbagai unsur kebudayaan Islam dan unsur budaya pra Islam.6

Dalam proses interaksi unsur budaya tersebut terjadi penyerapan, transformasi adaptasi antara unsur-unsur budaya Islam dengan unsur-unsur budaya pra-Islam. Sebagai hasilnya terjadi kontinuitas dan diskontinuitas budaya. Terjadi kontinuitas karena adanya kesesuaian antara budaya yang bertemu tersebut dan terjadi diskontinuitas apabila budaya lama bertentangangan dengan budaya yang baru. Pemahaman Raden Nur Rahmad dan adanya tolerasnsi Islam terhadap unsur budaya pra-Islam di Sendang Duwur menjadi salah satu faktor penting yang berperan menghasilkan budaya Islam bercorak masa peralihan. Unsur-unsur budaya Indonesia asli dan Hindu-Budha selaku budaya setempat

6

(58)

51

dapat ditarik ke dalam tradisi agama Islam selaku pendatang baru dengan jalan memberi penjelasan teologi atau filsafat yang sesuai.

Contoh khas dan kecenderungan ini dalam Islam adalah pembenaran wali-wali dalam rangka ajaran orthodoks. Sang wali-wali ditafsirkan seolah-olah memilki kekuatan gaib, karena kedekatannya kepada Allah dibandingkan dengan sesama muslim lainnya. Kebijakan dari menteri Kebudayaan dan Pariwisata turut memberikan perlindungan terhadap kelestarian cagar budaya yang ada di Sendang Duwur, yaitu peraturan menteri Kebudayaan dan Pariwisata nomor: PM. 56/PW.007/MKP/2010 tentang Penetapan Lapangan Golf Ahmad Yani Surabaya, Petirtaan Songgoriti, Stupa Sumberawan, Petirtaan Watugede, Kompleks Makam Maulana Malik Ibrahim, Kompleks Makam Sunan Giri, Kompleks Makam Sunan Prapen, Kompleks Makam Leran, Makam Sunan Drajat, Makam Sendang Duwur, Kompleks Makam Sunan Bonang, Petirtaan Panataran, Petirtaan Jolotundo, Gapura Jedong, Balai Sahabat, yang berlokasi di wilayah Provinsi Jawa Timur sebagai benda cagar budaya, situs, dan/atau kawasan cagar budaya yang dilindungi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.7

Sesuai dengan teori penetration pacifique dijelaskan bahwa dua budaya yang berbeda bisa bersatu berdampingan secara damai. Tidak hanya dua budaya saja yang ada pada peninggalan purbakala Sunan Sendang, budaya baru yakni modern merupakan budaya baru pada peninggalan purbakala pada komplek Sunan Sendang setelah budaya Hindu dan Islam. Jadi tiga budaya disini diantara lain

7

(59)

52

disimpulkan adalah Hindu, Islam dan Modern, ketiga budaya itu berhubungan secara damai. Damai disini yakni diartikan budaya baru yakni budaya Islam dan modern tidak merubah budaya yang lama yakni disini budaya lama adalah Hindu. Ciri khas dari budaya Hindu pada peninggalan purbakala komplek Sunan Sendang yakni adanya Candi yang masih utuh dan terjaga rapi. Untuk budaya Islam yakni budaya kedua yang datang ditandai dengan adanya mihrab dimasjid Sunan Sendang. Budaya ketiga yakni budaya modern yang sudah dijelaskan diatas yakni ditandai dengan pembaharuan pada masjid dan makam Sunan Sendang yakni datangnya semen pada dua peninggalan tersebut.

(60)

BAB V PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari penelitian diatas bisa disimpulkan sebagai berikut:

1. Desa Sendangduwur adalah salah satu desa yang terletak di sebelah selatan wilayah kecamatan Paciran kabupaten Lamongan.

2. Peninggalan kepurbakalaan di Sendangduwur merupakan salah satu peninggalan sejarah yang bersal dari masa transisi Indonesia, Hindu dan Islam. Secara umum kepurbakalaan Islam pada komplek Sunan Sendang desa Sendangduwur yakni Masjid Sendangduwur dan makam Sunan Sendang. 3. Hubungan dari tiga budaya yakni Hindu, Islam, dan Modern yakni bersifat

damai, setiap agama baru melakukan penyesuian terhadap agama yang terdahulu.

B. SARAN

(61)

54

Referensi

Dokumen terkait

Adapun RW/RT yang paling banyak terdapat nelayan kecilnya adalah RW 1 RT 2 Desa Paciran Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan yang jumlah populasi sebanyak 37 orang nelayan kecil

pengelolaan potensi wisata yang berwawasan lingkungan sering berbenturan dengan konsep pembangunan pemerintah, terutama dalam menjadikan suatu kawasan ekowisata sebagai aset

Terdapat variasi tingkat perkembangan wilayah pada setiap desa di Kecamatan Paciran, desa yang memiliki tingkat perkembangan tinggi terdiri dari 5 desa atau 29% yaitu

Masyarakat yang belum menyadari arti penting konservasi lingkungan pesisir, dengan adanya program pengorganisasian pemuda yang berfokus pada konservasi lingkungan pesisir

Kritik intern adalah upaya yang dilakukan untuk melihat apakah isi sumber tersebut cukup layak untuk dipercaya kebenarannya. 22 Dalam kritik sumber apabila

Dalam wanprestasi pada tanah hibah di desa Kemantren, pihak pengelolah telah melaksanakan atau memenuhi perjanjian yaitu menggunakan tanah yang dihibahkan oleh

Perihal ini disebabkan desa lebih dekat dengan masyarakat sehingga program dari pemerintah lebih cepat tersampaikan.Desa mempunyai peran untuk mengurusi serta mengatur

Profesionalisme seorang guru sangat berpengaruh terhadap peningkatan mutu pendidikan keberhasilan terhadap peserta didik karena profesionalisme guru adalah perangkat