• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI PERILAKU BERBAHASA PADA MASYARAKAT PESISIR DESA BANJARWATI KECAMATAN PACIRAN KABUPATEN LAMONGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "SKRIPSI PERILAKU BERBAHASA PADA MASYARAKAT PESISIR DESA BANJARWATI KECAMATAN PACIRAN KABUPATEN LAMONGAN"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

PERILAKU BERBAHASA PADA MASYARAKAT PESISIR

DESA BANJARWATI KECAMATAN PACIRAN

KABUPATEN LAMONGAN

Oleh

SITI MASHLAHATUL UMMAH

NIM 121111100

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

(2)

SKRIPSI

PERILAKU BERBAHASA PADA MASYARAKAT PESISIR

DESA BANJARWATI KECAMATAN PACIRAN

KABUPATEN LAMONGAN

Oleh

SITI MASHLAHATUL UMMAH

NIM 121111100

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

(3)

PERILAKU BERBAHASA PADA MASYARAKAT PESISIR

DESA BANJARWATI KECAMATAN PACIRAN

KABUPATEN LAMONGAN

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada

Program Studi Sastra Indonesia

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga

Oleh

SITI MASHLAHATUL UMMAH

NIM 121111100

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

(4)
(5)
(6)

HALAMAN MOTTO

(7)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Untuk kedua orang tuaku tercinta,

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “Perilaku Berbahasa pada Masyarakat Pesisir Desa Banjarwati Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan”. Sholawat serta salam senantiasa tetap tercurahkan kepada junjungan kita nabi Muhammad SAW.

Perilaku berbahasa pada masyarakat pesisir Desa Banjarwati di lingkungan sekitar pondok pesantren memberikan gambaran tentang pemakaian bahasa yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari antara masyarakat Dusun Banjaranyar Desa Banjarwati baik dengan santri, pengurus, pengasuh pondok pesantren, maupun dengan sesama masyarakat Desa Banjarwati. Skripsi ini juga memaparkan faktor-faktor yang melatarbelakangi perilaku berbahasa pada masyarakat Dusun Banjaranyar Desa Banjarwati.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Drs. Aribowo, M.S. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga Surabaya.

(9)

3. Bapak Puji Karyanto, S.S., M.Hum. selaku dosen wali yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, serta dorongan positif bagi penulis dari semester satu hingga saat ini.

4. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga.

5. Kedua orang tua, Abah Sholihin dan Bunda Ummu Salma, S.Pd.I. yang tidak henti-hentinya memberikan dorongan semangat sehingga skripsi ini selesai tepat waktu.

6. Adik Moh. Arrozi Fachruddin dan Salsa Ayu Pratiwi yang selalu mendoakan dan selalu menghibur dengan canda tawa, Om Miftahur Rahman dan sepupu tercinta Mbak Hani’atur Rosyidah yang memberikan dukungan tiada henti serta bersedia menemani saat penelitian.

7. Teman-teman Sastra Indonesia angkatan 2011 terutama para sahabat terbaik penulis yaitu Aviva Sela D. dan Fitria Nur Hidayah yang selalu menemani disaat suka maupun duka.

8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah membantu kelancaran penyusunan skripsi ini.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca. Saran dan kritik yang membangun sangat diperlukan sebagai bahan untuk perbaikan kedepannya.

(10)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Karya tulis ini adalah karya tulis saya asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik sarjana, baik di Universitas Airlangga maupun di perguruan tinggi lain.

2. Karya tulis ini murni gagasan, penelitian, dan tulisan saya sendiri tanpa bantuan pihak lain

3. Karya tulis ini bukan karya jiplakan, dan di dalamnya tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya tulis ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di perguruan tinggi ini.

Surabaya, 29 April 2015 Yang membuat pernyataan,

(11)

ABSTRAK

Penelitian yang berjudul “Perilaku Berbahasa pada Masyarakat Pesisir Desa Banjarwati Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan” bertujuan untuk menunjukkan adanya perilaku berbahasa yang sopan dan santun pada masyarakat pesisir Dusun Banjaranyar Desa Banjarwati ketika berinteraksi dengan siapapun, adanya perilaku berbahasa tersebut dipengaruhi oleh keberadaan Pondok Pesantren Sunan Drajat sebagai sentral kegiatan masyarakat Dusun Banjaranyar Desa Banjarwati. Penelitian ini menggunakan teori sosiolinguistik menurut Dell Hymes untuk menganalisis data yang di peroleh. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan teknik observasi. Dari hasil observasi, penulis dapat memaparkan bentuk serta faktor yang mempengaruhi perilaku berbahasa pada masyarakat pesisir Dusun Banjaranyar Desa Banjarwati. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya interaksi secara terus-menerus antara Masyarakat Dusun Banjaranyar Desa Banjarwati dengan penghuni Pondok Pesantren Sunan Drajat dan tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap adanya Pondok Pesantren tersebut menimbulkan perilaku berbahasa yang berbeda pada masyarakat pesisir Dusun Banjaranyar Desa Banjarwati dalam kehidupan sehari-hari. Jika awalnya masyarakat pesisir Dusun Banjaranyar Desa Banjarwati hanya menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko, dengan adanya Pondok Pesantren Sunan Drajat masyarakat Dusun Banjaranyar Desa Banjarwati selalu menggunakan bahasa Jawa ragam madya dan krama untuk berinteraksi dengan siapapun.

Kata kunci: Masyarakat pesisir, perilaku berbahasa, Dusun Banjaranyar Desa

(12)

DAFTAR ISI

1.7.4 Undhak-Usuk (unggah-ungguhing basa)………...14

1.8 Metode Penelitian………..…………...16

1.8.1 Sumber Data………..………17

1.8.2 Penentuan Informan……...………...………18

(13)

1.8.4 Metode Analisis Data………19

1.9 Operasionalisasi Konsep………….………..………...21

1.10 Sistematika Penulisan Skripsi………..………..………22

BAB II GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN………24

2.1 Desa Banjarwati………..……….24

2.2.1 Sejarah Pondok Pesantren Sunan Drajat………….………..35

2.2.2 Visi dan Misi……….………39

2.2.3 Unit Pendidikan……….………40

2.2.4 Unit Wirausaha………..………41

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN………46

3.1 Perilaku Berbahasa pada Masyarakat Pesisir Dusun Banjaranyar Desa Banjarwati…….…...46

3.1.1 Bentuk Percakapan oleh Masyarakat Dusun Banjaranyar dengan Pengasuh Pondok Pesantren Sunan Drajat (Ndalem)………..46

3.1.2 Bentuk Percakapan oleh Masyarakat Dusun Banjaranyar dengan Pengurus Pondok Pesantren Sunan Drajat...54

3.1.3 Bentuk Percakapan oleh Masyarakat Dusun Banjaranyar dengan Santri Pondok Pesantren Sunan Drajat……...……65

3.1.4 Bentuk Percakapan oleh Masyarakat Dusun Banjaranyar dengan Sesama Masyarakat Dusun Banjaranyar………….75

(14)

3.2 Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Perilaku Berbahasa pada

Masyarakat pesisir Dusun Banjaranyar Desa Banjarwati………...102

BAB IV PENUTUP………...107

4.1 Simpulan………..………..107

4.2 Saran………...………109

DAFTAR PUSTAKA………..111

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Setiap kelompok manusia yang hidup bersama dan berdampingan pasti melakukan aktivitas berbahasa demi kelancaran dalam komunikasi. Masyarakat yang saling berkomunikasi dan saling mengerti pada akhirnya membentuk masyarakat bahasa. Setiap masyarakat memiliki bahasa tertentu sehingga tercipta ribuan bahasa yang di tuturkan oleh masyarakat dari seluruh dunia (Parera, 1991: 26). Bahasa merupakan ungkapan yang berupa maksud atau ujaran, yang nantinya akan disampaikan kepada seseorang. Seorang penutur berinteraksi dengan mitra tuturnya menggunakan bahasa yang baik agar mitra tutur memahami maksud dari tuturan orang tersebut dan ketika seseorang tersebut berinteraksi menggunakan bahasa yang baik maka yang menjadi pendengar akan menghormatinya.

(17)

berbahasa, dengan adanya komunikasi yang baik maka akan terjadi suatu interaksi berbahasa yang baik pula.

Bahasa berfungsi direktif, dilihat dari segi pendengar atau lawan bicara bahasa dapat mengatur tingkah laku pendengar. Dalam hal ini bahasa tidak hanya membuat si pendengar melakukan sesuatu, tetapi melakukan kegiatan yang sesuai dengan yang diinginkan oleh si pembicara. Hal ini dapat dilakukan oleh si pembicara dengan menggunakan kalimat-kalimat yang menyatakan perintah, imbauan, permintaan maupun rayuan.

Perilaku berbahasa adalah tindakan atau sikap berbahasa yang dilakukan oleh seseorang saat berkomunikasi, bertujuan agar terjadi suatu interaksi sosial. Perilaku berbahasa merupakan sebuah ciri dari suatu kelompok masyarakat tertentu dengan adanya interaksi secara terus menerus. Seperti aktivitas sosial lainnya, kegiatan berbahasa bisa terwujud apabila manusia terlibat di dalamnya. Dalam sebuah tuturan, penutur dan mitra tutur sama-sama menyadari bahwa ada kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan mitra tuturnya. Setiap peserta tindak tutur bertanggung jawab atas tindakan dan penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan di dalam interaksi sosial tersebut (Alan dalam Wijana, 2004:28).

(18)

mengenali bahwa bahasa tersebut merupakan bahasa yang digunakan masyarakat pesisir. Masyarakat pesisir adalah masyarakat yang tinggal di daerah pesisir (berdekatan dengan laut) dan sumber perekonomiannya bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir.

Masyarakat pesisir di lingkungan sekitar Pondok Pesantren Sunan Drajat sering mendengar pembicaraan yang diucapkan oleh santri kepada kiai yang menggunakan kata-kata sopan dan santun. Santri bersikap sangat tawadhu’ kepada kiai, baik dari segi pengucapannya maupun perbuatannya saat bertemu secara langsung dengan kiai. Kemudian apa yang terjadi ketika para santri berbicara dengan masyarakat yang berada diluar Pondok Pesantren Sunan Drajat namun masih menjadi satu lingkup dengan pondok pesantren tersebut, yakni masyarakat Dusun Banjaranyar Desa Banjarwati kecamatan Paciran kabupaten Lamongan yang berada di lingkungan sekitar Pondok Pesantren Sunan Drajat dan tergolong sebagai masyarakat pesisir. Hal tersebut membuat santri yang menyesuaikan bahasa masyarakat sekitar ataukah masyarakat sekitar yang menyesuaikan bahasa santri yang sopan dan santun, sedangkan bahasa masyarakat pesisir sangatlah berbeda dengan bahasa santri.

(19)

Penelitian ini menarik untuk dilakukan karena objek dalam penelitian ini adalah masyarakat pesisir yang daerahnya berada di lingkungan sekitar Pondok Pesantren Sunan Drajat. Adanya kultur yang berbeda serta interaksi sosial secara terus menerus antara masyarakat penduduk Desa Banjarwati yang berada di lingkungan sekitar Pondok Pesantren Sunan Drajat dengan para penghuni pondok pesantren tersebut seperti santri, pengurus, dan pengasuh (kiai) yang akan menghasilkan suatu perilaku berbahasa yang berbeda dari sebelumnya.

(20)

pesantren tradisional). Untuk itu, melalui penelitian ini, peneliti akan melakukan telaah terhadap pengaruh tuturan para penghuni Pondok Pesantren Sunan Drajat terhadap masyarakat Banjarwati Paciran Lamongan yang berada di lingkungan sekitar pondok pesantren tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

(1) Bagaimanakah perilaku berbahasa pada masyarakat pesisir Dusun Banjaranyar Desa Banjarwati Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan? (2) Faktor-faktor apa sajakah yang melatarbelakangi perilaku berbahasa pada

masyarakat pesisir Dusun Banjaranyar Desa Banjarwati Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan?

1.3 Batasan Masalah

1) Perilaku berbahasa yang dimaksud pada penelitian ini hanya terbatas pada sikap, tuturan, dan ragam bahasa yang digunakan oleh masyarakat pesisir Dusun Banjaranyar Desa Banjarwati.

2) Tuturan masyarakat pesisir Desa Banjarwati yang dimaksud ialah tuturan masyarakat Dusun Banjaranyar Desa Banjarwati.

(21)

1.4 Tujuan Penelitian

(1) Mendeskripsikan perilaku berbahasa pada masyarakat pesisir Dusun Banjaranyar Desa Banjarwati Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan. (2) Mendeskripsikan faktor-faktor yang melatarbelakangi perilaku berbahasa

pada masyarakat pesisir Dusun Banjaranyar Desa Banjarwati Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan.

1.5 Manfaat Penelitian

A. Manfaat Teoretis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan kajian kepustakaan khususnya dalam bidang sosiolinguistik yang berkaitan dengan penerapan teori tindak tutur dan ragam bahasa yang digunakan pada masyarakat pesisir.

B. Manfaat Praktis

(22)

1.6 Tinjauan Pustaka

Penelitian terdahulu yang dapat penulis temukan, yaitu:

1. Lutfiyatin (2008) dalam skripsinya yang berjudul “Kesantunan Imperatif dalam Interaksi antar Santri di Pondok Pesantren Sunan Drajat Banjar Anyar Paciran Lamongan” menjelaskan tentang penanda pemakaian kesantunan imperatif dalam interaksi antar santri di Pondok Pesantren Sunan Drajat Banjar Anyar Paciran Lamongan, dibagi menjadi penanda imperatif, kesantunan imperatif, dan penanda imperatif pragmatik. Kesantunan imperatif yang digunakan meliputi kesantunan linguistik dan kesantunan pragmatik. Penelitian tersebut memberikan contoh-contoh penanda kesantunan berbahasa pada Pondok Pesantren Sunan Drajat yang berguna untuk penelitian selanjutnya. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian ini terletak pada objek kajian dan teori yang digunakan untuk meneliti. Penelitian tersebut menggunakan teori pragmatik sedangkan penelitian ini menggunakan teori sosiolinguistik. Penelitian ini menitik beratkan pada tuturan masyarakat pesisir di lingkungan sekitar Pondok Pesantren Sunan Drajat sebagai objek, bukan pada tuturan penghuni Pondok Pesantren Sunan Drajat.

(23)

dan teori yang digunakan untuk meneliti. Penelitian tersebut menggunakan teori pragmatik sedangkan penelitian ini menggunakan teori sosiolinguistik yang menitik beratkan pada masyarakat pesisir di lingkungan sekitar Pondok Pesantren Sunan Drajat sebagai objek.

3. Rokayah (2010) dalam skripsinya yang berjudul “Kesantunan Berbahasa dalam Interaksi antara Santri dan Kiai di Pondok Pesantren At-Tauhid Surabaya” menghasilkan kesantunan berbahasa yang dibagi menjadi dua penanda yaitu penanda kesantunan verbal dan non verbal. Penanda kesantunan verbal meliputi kesantunan pragmatik dalam tindak direktif dan kesantunan pragmatik imperatif (dalam tuturan deklaratif dan interogatif). Kesantunan non verbal meliputi unsur-unsur para linguistik kinesik (gaya isyarat) dan proksemika. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian ini terletak pada objek kajian dan teori yang digunakan untuk meneliti. Penelitian tersebut menggunakan teori pragmatik sedangkan penelitian ini menggunakan teori sosiolinguistik. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah keduanya membahas tentang tindak kesopanan verbal dan non verbal yang digunakan oleh suatu masyarakat sebagai objek dari penelitian.

4. Nurdyansyah (2014) dalam skripsinya yang berjudul “Undhak-Usuk

(24)

kelompok sosial tertentu masyarakat Samin menggunakan ragam bahasa pilihan yang digunakan untuk berinteraksi. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian ini terletak pada objek kajian yang diteliti. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini terletak pada teori yang digunakan ialah teori sosiolinguistik. Penelitian tersebut memberikan manfaat pada penelitian ini karena menjelaskan contoh-contoh ragam bahasa Jawa yang juga terdapat pada perilaku berbahasa masyarakat pesisir Dusun Banjaranyar Desa Banjarwati.

(25)

1.7 Landasan Teori

Landasan teori dimaksudkan sebagai acuan untuk menganalisis objek penelitian terkait rumusan masalah berdasarkan judul penelitian “Perilaku Berbahasa pada Masyarakat Pesisir Desa Banjarwati Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan”. Teori yang digunakan adalah sebagai beriku:

1.7.1 Sosiolinguistik

Menurut Fishman, sosiolinguistik merupakan kajian tentang ciri khas variasi bahasa, fungsi-fungsi variasi bahasa dan pemakaian bahasa, karena ketiga unsur ini selalu berinteraksi, berubah, dan saling mengubah satu sama lain dalam satu tutur bahasa masyarakat. (J. A. Fishman, 1972:4)

Masyarakat membuat seseorang tidak lagi dipandang sebagai individu yang terpisah, tetapi sebagai anggota dari kelompok sosial. Oleh karena itu, bahasa dan pemakaiannya tidak diamati secara individual, tetapi dihubungkan dengan kegiatannya di dalam masyarakat atau dipandang secara sosial. Dipandang secara sosial, bahasa dan pemakaiannya dipengaruhi oleh faktor linguistik dan faktor nonlinguistik.

(26)

pemakaiannya terdiri dari siapa yang berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, di mana, dan masalah apa (Fishman dalam Suwito, 1982:3).

Fishman (dalam Caher 2003: 5) mengatakan kajian sosiolinguistik lebih bersifat kualitatif. Jadi sosiolinguistik berhubungan dengan perincian-perincian penggunaan bahasa yang sebenarnya, seperti deskripsi pola-pola pemakaian bahasa atau dialek tertentu yang dilakukan penutur, topik, latar pembicaraan. Sosiolinguistik memandang bahasa pertama-tama sebagai system sosial dan sistem komunikasi serta bagian dari masyarakat dan kebudayaan tertentu.

1.7.2 Peristiwa Tutur

(27)

1. Setting dan Scene

Setting dan scene berhubungan dengan latar atau tempat peristiwa tutur terjadi. Tempat peristiwa tutur berkaitan dengan where dan when (waktu bicara dan suasana, kapan dan suasana yang tepat untuk menggunakan tuturan).

2. Participant

Participant adalah alat penafsir yang menanyakan siapa saja pengguna bahasa (penutur, mitra tutur, dan pendengar).

3. End

Komponen tutur end mengacu pada maksud dan tujuan yang ingin dicapai dalam aktivitas berbicara.

4. Act Sequence

Komponen tutur act sequence berhubungan dengan bentuk dan isi suatu tuturan.

5. Key

Komponen tutur key berhubungan dengan manner, nada suara, sikap atau cara berbicara.

6. Instrumentalis

Instrumentalis berhubungan dengan channel/saluran dan bentuk bahasa yang digunakan untuk menyampaikan pesan.

7. Norms

(28)

oleh tingkat sosial atau hubungan sosial yang umum dalam sekelompok masyarakat.

8. Genre

Genre merupakan kategori yang dapat ditentukan lewat bentuk bahasa yang digunakan.

1.7.3 Ragam Bahasa dalam Sosiolinguistik

(29)

1.7.4 Undhak-Usuk (unggah-ungguhing basa)

Dalam masyarakat Jawa, kelompok sosial sangat berpengaruh pada perilaku berbahasa yang menghasilkan variasi bahasa. Ketika seseorang berbicara selain memperhatikan kaidah-kaidah tata bahasa, juga harus memperhatikan siapa orang yang diajak berbicara. Berbicara dengan orang tua berbeda dengan berbicara dengan anak kecil atau yang seumuran. Variasi bahasa yang ditujukan kepada orang lain itulah yang disebut perilaku berbahasa dalam penelitian ini, dan selanjutnya dalam penelitian ini akan menggunakan istilah perilaku berbahasa.

Uhlenbeck (dalam Chaer, 2010: 40), membagi tingkat variasi bahasa Jawa menjadi tiga bagian dasar, yaitu ngoko, madya, dan krama. Munculnya tingkatan bahasa ngoko, madya, dan krama tersebut digunakan jika suatu kelompok sosial berinteraksi dengan kelompok sosial yang lain. Berikut adalah penjelasan dari tingkatan variasi bahasa Jawa tersebut:

1. Ragam ngoko, adalah bentuk ragam bahasa Jawa yang berintikan leksikon dan afiks ngoko. Ragam ini digunakan oleh mereka yang sudah akrab dan oleh mereka yang merasa dirinya lebih tinggi status sosialnya daripada lawan tuturnya. Ada 2 varian dalam ragam ngoko ini, yakni pertama,

ngoko lugu adalah bentuk bahasa Jawa yang semua kosakatanya berbentuk

ngoko dan netral tanpa terselip leksikon krama. Kedua, ngoko andhap/alus

(30)

2. Ragam madya dibagi menjadi beberapa jenis. Pertama, madya ngoko ialah kata-kata madya yang dicampur kata ngoko yang tidak ada kata madya -nya. Biasanya digunakan oleh orang-orang pedesaan atau orang pegunungan. Kedua, madya krama ialah ragam yang dibentuk dari kata-kata madya dicampur dengan krama yang tidak mempunyai kata madya. Biasanya digunakan oleh orang desa yang satu dengan yang lainnya yang dianggap lebih tua dan dihormati. Ketiga, madyantara ialah kata-katanya dibentuk dari bahasa madya krama, tetapi kata-kata yang ditujukan pada orang yang diajak berbicara dirubah menjadi krama inggil (Setiyanto, 2007:37).

3. Ragam krama, ialah sebuah bentuk bahasa Jawa yang berintikan leksikon

krama. Afiks yang muncul dalam raga mini semuanya berbentuk krama

(misalnya afiks dipun-, -ipun, -aken). Ragam ini dipergunakan oleh mereka yang merasa berusia atau berstatus sosial lebih rendah daripada mitra tuturnya, selain itu ragam ini juga digunakan untuk mitra tutur yang belum dikenal. Jenis ragam ini terdiri dari krama lugu dan krama alus. Yang menjadi leksikon inti dalam ragam ini hanyalah leksikon yang berbentuk krama. Leksikon madya dan leksikon ngoko tidak muncul dalam tingkat tutur ini (Indrayanto, 2010:13-14).

(31)

akan menggunakan istilah garis besar dari penjabaran diatas yakni hanya analisis berupa ragam ngoko, madya, dan krama.

1.8 Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan cara terpenting yang diperlukan dalam sebuah penelitian. Metode penelitian bahasa adalah cara kerja yang digunakan untuk memahami dan menjelaskan fenomena objek ilmu bahasa atau merupakan cara mendekati, mengamati, menganalisis, dan menjelaskan masalah didalam objek ilmu bahasa itu (Kridalaksana, 2001: 106; Hartman dan Stork, 1972: 141). Metode penelitian merupakan alat prosedur dan teknik yang dipilih dalam melaksanakan penelitian (Djajasudarma, 1995:3).

Latar belakang dan masalah yang muncul dalam penelitian ini adalah masalah-masalah faktual. Maksudnya, masalah perilaku berbahasa adalah masalah yang sedang dihadapi oleh pemakai bahasa itu sendiri saat ini. Penelitian ini menggunakan analisis kualitatif bersifat deskriptif, menjelaskan data atau objek secara natural, objektif, dan faktual. Istilah deskriptif merupakan penelitian yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pada fakta-fakta yang ada.

(32)

masyarakat pesisir Dusun Banjaranyar Desa Banjarwati yang berada di lingkungan sekitar Pondok Pesantren Sunan Drajat. Dengan demikian, dari kedua fakta tersebut dapat diperoleh hasil tuturan dan informasi yang baru dari sebelumnya.

Metode penelitian deskriptif kualitatif dipilih karena penelitian ini mengidentifikasi serta mendeskripsikan masalah-masalah yang berkenaan dengan tuturan sehari-hari yang dilakukan oleh masyarakat pesisir Dusun Banjaranyar Desa Banjarwati yang berada di lingkungan sekitar Pondok Pesantren Sunan Drajat ketika berinteraksi dengan para penghuni pondok pesantren melalui wawancara. Selanjutnya penulis memperoleh data bagaimana persepsi yang muncul dari masyarakat Dusun Banjaranyar Desa Banjarwati ketika menerima tuturan yang santun dari para penghuni Pondok Pesantren Sunan Drajat Paciran Lamongan.

1.8.1 Sumber Data

(33)

1.8.2 Penentuan Informan

Penelitian ini menggunakan informan sebanyak 15 orang yang terdiri dari beberapa penduduk Dusun Banjaranyar dan beberapa penduduk Dusun Sukowati. Selain itu, beberapa informan juga merupakan santri, pengurus, dan pengasuh Pondok Pesantren Sunan Drajat. Data informan dijelaskan pada lampiran skripsi. Informan yang dipilih diharapkan dapat memberikan data yang sebenar-benarnya tanpa dibuat-buat atau memanipulasi data untuk tujuan lain di luar fokus penelitian. Informan tersebut memiliki kriteria sebagai berikut: (a) Informan mengetahui budayanya dengan baik tanpa harus memikirkannya, sebab dilakukan secara otomatis dari tahun ke tahun. (b) Informan terlibat langsung dalam permasalahan yang kita angkat dalam penelitian. (c) Informan memiliki cukup waktu untuk diwawancarai. (d) Informan menggunakan bahasa mereka untuk mendeskripsikan informasi tanpa analisis. (e) Informan memberikan informasi dengan interpretasi perspektif penduduk asli (Spradley: 1997: 59-70).

1.8.3 Metode Pengumpulan Data

(34)

lapangan. Langkah terakhir yang dilakukan adalah dengan teknik catat, yaitu mencatat semua kejadian dari tuturan masyarakat pesisir Dusun Banjaranyar Desa Banjarwati Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan.

1.8.4 Metode Analisis Data

Analisis data penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yang mengubah data rekaman dari wawancara, maupun cara komunikasi dari masyarakat pesisir Dusun Banjaranyar Desa Banjarwati dengan penghuni Pondok Pesantren Sunan Drajat dalam bentuk catatan tulis kemudian dianalisis dengan teori yang digunakan.

Mencatat fenomena kebahasaan yang telah direkam, lalu dari hasil transkripsi telah diperoleh data tulis yang selanjutnya dapat diidentifikasi. Proses identifikasi dari setiap data yang dilakukan untuk memisahkan kalimat mana yang sering digunakan masyarakat pada umumnya dan mana yang sangat jarang digunakan oleh masyarakat pada umumnya.

Setelah selesai melakukan dengan teknik rekam dan teknik catat, selanjutnya adalah dengan penyalinan ke dalam kartu data dan menganalisisnya, sehingga diperoleh data yang relevan. Berikut adalah rincian langkah-langkah dalam data yaitu sebagai berikut:

(1) Mentranskip Data Hasil Rekaman

(35)

memindahkan data tersebut dengan cara menulis kembali semua hasil tuturan yang diujarkan oleh masyarakat pesisir desa Banjarwati.

(2) Mengidentifikasi dan Mengklarifikasi Data

Berdasarkan hasil transkripsi diperoleh data tertulis yang selanjutnya siap untuk diidentifikasi. Proses identifikasi berarti mengenali/menandai data untuk memisahkan kalimat mana yang dibutuhkan untuk tahap selanjutnya, dan mana yang tidak dibutuhkan.

(3) Menyalin ke Dalam Kartu Data

Setelah data yang diperlukan sudah terkumpul, maka selanjutnya adalah penyalinan tiap tuturan yang telah diidentifikasi ke dalam kartu data. Hal itu dimaksudkan agar mudah untuk mengelompokkan tuturan tersebut menurut karakteristik tertentu.

(4) Menganalisis Kartu Data

Data yang diperoleh kemudian dianalisis berdasarkan teori yang ada. Dari analisis kartu data tersebut akan tergambar perilaku berbahasa masyarakat pesisir Dusun Banjaranyar Desa Banjarwati dilingkungan Pondok Pesantren Sunan Drajat.

(5) Menyimpulkan

(36)

1.9 Operasionalisasi Konsep

Operasionalisasi konsep memiliki arti yang penting tentang penjelasan istilah yang digunakan dalam penelitian. Selain itu, operasionalisasi konsep dapat digunakan untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas dan terarah serta untuk menghindari penafsiran yang salah mengenai istilah tersebut. Diperoleh batasan-batasan yang jelas agar pengertiannya tidak samar. Istilah-istilah yang perlu diberi penjelasan antara lain:

Interaksi sosial : Suatu fondasi dari hubungan yang berupa tindakan yang berdasarkan norma dan nilai sosial yang berlaku dan diterapkan didalam masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari tentunya manusia tidak dapat lepas dari hubungan antara satu dengan yang lainnya, manusia akan selalu membutuhkan individu atau kelompok lain untuk dapat berinteraksi ataupun bertukar pikiran.

(37)

dituntut menyampaikan kebenaran, tetapi harus tetap berkomitmen untuk menjaga keharmonisan hubungan. Masyarakat pesisir : Masyarakat yang tinggal di daerah pesisir dan sumber

kehidupan perekonomiannya bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir.

Pondok pesantren : Lembaga pendidikan Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.

Santri : Orang-orang yang belajar ilmu agama Islam dan tinggal di pondok pesantren, santri diklasifikasikan berdasarkan tingkat ilmu santri (menggunakan variabel santri dan ustadz/ustadzah) dan status kelembagaan (santri dan pengurus).

1.10 Sistematika Penulisan Skripsi

Penelitian ini terdiri dari empat bab, masing-masing bab tersebut berisi suatu bahasan tertentu, diantaranya:

(38)

Bab II merupakan gambaran umum obyek penelitian.

Bab III merupakan alanisis data hasil temuan berupa deskripsi “Perilaku Berbahasa pada Masyarakat Pesisir Desa Banjarwati Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan”.

(39)

BAB II

GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

2.1 DESA BANJARWATI

2.1.1 Sejarah Desa

Nama Banjarwati adalah perpaduan dari dua nama dusun yaitu Dusun Banjaranyar dan Dusun Sukowati, kedua dusun ini kemudian menjadi satu kesatuan nama desa yang tidak lain adalah Desa Banjarwati. Asal mula nama Dusun Banjaranyar adalah Kampung Jelak. Jelak kalau dibahasa Jawa kromoinggilkan adalah celak, yang artinya parek atau dekat, siapa yang bertempat tinggal dikampung itu berarti akan celak atau dekat dengan kebaikan dan perdamaian. Sinuwun atau pimpinan Kampung Jelak bernama Mbah Mayang Madu, pada saat itu Mbah Mayang Madu masih beragama Hindu.

(40)

di tepi pantai Kampung Jelak, beliau akhirnya menetapkan tinggal di Kampung Jelak dan dirawat oleh Mbah Mayang Madu. Keakraban mereka sudah seperti saudara sendiri, sampai pada suatu ketika Mbah Mayang Madu pun mengikuti agama yang di peluk oleh Mbah Banjar yakni agama Islam. Kedua tokoh tersebut sepakat untuk mendirikan surau (mushollah) yang sekarang dikenal menjadi Masjid Jami’ Jelak Banjaranyar Paciran Lamongan. Surau tersebut digunakan untuk mengembangkan ajaran agama islam. Pada awalnya Mbah Banjar hanya mengajar ngaji Al-Qur’an dikeluarga Mbah Mayang Madu saja, sampai akhirnya masyarakat Kampung Jelak mengetahui ada seorang guru ngaji dikeluarga Mbah Mayang Madu yang bernama Mbah Banjar, maka beberapa masyarakat Kampung Jelak pun berkata: “ Ayo podo ngaji agomo islam, agomo anyar sing ngulang

jenenge mbah Banjar”. Dari ucapan masyarakat Kampung Jelak itulah akhirnya

Kampung Jelak terkenal dengan sebutan Banjaranyar.

Dusun Sukowati diambil dari kata Suko dan Wati yang artinya Suko adalah nama sebuah pohon sebangsa pohon Sono Keling atau sekarang disebut pohon Achasiya yang terletak di tepi pantai laut Jawa, tepatnya sekarang di Dusun Sukowati. Sedangkan kata Wati berasal dari kata Kuwati, kemudian dua kalimat Suko dan Kuwati dijadikan nama sebuah kampung baru yaitu Sukowati.

(41)

Suko tersebut dengan sebutan nama Dusun Sukowati. Kata Wati diambil dari kosa kata bahasa Arab yakni Kuwati yang artinya kuat, dengan harapan masyarakat kampung tersebut mempunyai iman dan agama yang kuat. Namun, dari perkembangan dan kemajuan zaman nama Sukowati diplesetkan menjadi “Suko” yang artinya senang, sedangkan “Wati” artinya perempuan, sehingga orang Jawa mengatakan: “Seneng wedoan”. Sehingga terdapat beberapa kalangan masyarakat tertentu yang tidak menyukai orang yang berasal dari Dusun Sukowati karena terdapat anggapan yang buruk atas penduduk Dusun Sukowati, yaitu suka bermain perempuan. Maka dari itu masyarakat sepakat menyebut Dusun Sukowati dengan sebutan dusun Kuwati saja.

2.1.2 Letak Geografis Desa

Sebelah Utara : Laut Jawa

Sebelah Selatan : Desa Dagan kecamatan Solokuro dan desa Drajad

kecamatan Paciran

Sebelah Barat : Desa Kranji kecamatan Paciran

(42)

2.1.3 Kondisi Geografis Desa

Jumlah penduduk Desa Banjarwati sebanyak 5.769 jiwa dan 1.951 kepala keluarga. Desa Banjarwati terletak di daerah Kabupaten Lamongan dengan posisi 7 meter di atas permukaan laut dengan suhu rata-rata 30 derajat Celsius. Desa Banjarwati mengalami musim hujan selama 6 bulan pertahun. Jarak Desa Banjarwati menuju ke kecamatan adalah 7 km dan jarak menuju ke kabupaten adalah 42 km dengan batasan sebelah utara adalah laut Jawa, sebelah timur adalah Desa Kemantren, sebelah selatan adalah Desa Dagan dan Desa Drajad, serta sebelah barat adalah Desa Kranji.

(43)

bermotor. Berikut merupakan kondisi geografis Desa Banjarwati secara umum, berdasarkan data profil desa tahun 2014:

Luas Wilayah Desa Berdasarkan Penggunaan Tanah

 Pemukiman umum 142.192 Ha

 Persawahan 4 Ha

 Tanah kering berupa ladang/tegalan 72.405 Ha dan pemukiman 101.300 Ha

 Tanah fasilitas umum, berupa tempat pemakaman umum 4,5 Ha, perkantoran pemerintah 0,4 Ha, bangunan sekolah 8 Ha dan tanah bengkok (kas desa) 1,3 Ha.

2.1.4 Pembagian Wilayah Desa

(44)

2.1.5 Lembaga Pemerintahan Desa

SUSUNAN ORGANISASI PEMERINTAHAN

DESA BANJARWATI

KECAMATAN PACIRAN KABUPATEN LAMONGAN

Kepala Desa : SUTIYONO

Sekretaris Desa : MOH. MUNAWIR, S.Ag

Kaur Kesmas : KUSWINARNI, Ma

Kaur Keuangan : MUTHMAINNAH

Kaur Umum : MARTA ANDRI NOVIYANA, SE

Kasi Pemerintahan : ACHMAD KHAMZIM

Kasi Ekbang : MOH. HASYIM

Kasi Trantib : ASHAR

Kasi Pemb.perempuan : -

Kepala Dusun Banjaranyar : MOH. KHOIRUL, SH

(45)

Berikut merupakan nama-nama pengurus Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Banjarwati dengan jumlah anggota 11 orang yang aktif dalam kepengurusan:

NO NAMA JABATAN

1. JUNAEDI SUTARYO KETUA

2. NUE HAMIM WAKIL KETUA

3. ABDULLAH TAUFIQ SEKRETARIS

4. FREDY SETIAWAN ANGGOTA

5. ABDULLOH ANGGOTA

6.

UMI HUSNUL

KHOTIMAH

ANGGOTA

7.

HJ. LILIS

SETYOWATI

ANGGOTA

8. NUR LAELAH ANGGOTA

9. AIRIN SUTANTO ANGGOTA

10. H. AINUR ROFIQ ANGGOTA

(46)

2.1.6 Keadaan Sosial

Dengan adanya perubahan dinamika politik dan sistem politik di Indonesia yang lebih demokratis, memberikan pengaruh kepada masyarakat untuk menerapkan suatu mekanisme politik yang dipandang lebih demokratis. Dalam konteks politik lokal desa Banjarwati tergambar dalam pemilihan kepala desa dan pemilihan-pemilihan lain (pileg, pilpres, pemilukada, dan pimilugub) yang juga melibatkan warga masyarakat desa secara umum.

Khusus untuk pemilihan kepala Desa Banjarwati sebagaimana tradisi kepala desa dibeberapa wilayah Jawa, biasanya para peserta (kandidat) adalah mereka yang secara sah memiliki hubungan kekerabatan dengan kepala desa yang lama, atau seseorang yang berani mengajukan diri adalah mereka yang dari kalangan ekonomi menengah keatas. Hal ini dipengaruhi oleh budaya

Moneypolitic yang sedang berkembang dimasyarakat.

Jabatan kepala desa merupakan jabatan yang tidak serta merta dapat diwariskan kepada anak cucu ataupun karena seseorang tersebut dari kalangan yang berada. Namun dipilih karena kecerdasan, etos kerja, kejujuran dan kedekatannya dengan warga desa. Jabatan kepala desa bisa dicabut sewaktu-waktu jika seseorang tersebut melanggar peraturan maupun melanggar norma-norma yang berlaku.

(47)

partisipasi masyarakat sangat tinggi yakni hampir 85 % dari jumlah penduduk yang ada. Pada waktu itu ada 3 kandidat kepala desa yang mengikuti pemilihan. Acara pemilihan kepala desa bagi masyarakat desa Banjarwati adalah merupakan perayaan besar disetiap periodenya.

Setelah proses pemilihan kepala desa berakhir, situasi desa kembali berjalan normal. Hiruk pikuk warga dalam pesta demokrasi desa berakhir dengan kembalinya kehidupan sebagaimana mulanya. Masyarakat tidak terus menerus terjebak dalam sekat-sekat kelompok pilihannya. Hal ini ditandai dengan kehidupan yang penuh gotong-royong dan tolong menolong. Walaupun pola kepemimpinan ditangan kepala desa, namun mekanisme pengambilan keputusan selalu ada keterlibatan masyarakat baik melalui lembaga resmi desa seperti Badan Perwakilan Desa maupun langsung bermusyawarah dengan masyarakat. Dengan demikian terlihat bahwa pola kepemimpinan diwilayah Desa Banjarwati mengedepankan pola kepemimpinan yang demokratis.

(48)

Dalam catatan sejarah, selama ini belum pernah terjadi bencana alam dan bencana sosial yang cukup besar di Desa Banjarwati. Isu-isu terkait hal tersebut, seperti kemiskinan dan bencana alam, tidak sampai pada titik kronis yang membahayakan masyarakat dan sosial.

Kondisi sosial masyarakat Desa Banjarwati yang cenderung dinamis dan agamis menciptakan kerukunan antar masyarakat. Kultur yang kuat serta usaha masyarakat dalam pelestarian adat dan budaya desa dipertahankan sebagai warisan nenek moyang mereka. Maka tak jarang ritual-ritual khusus keagamaan masih sering dilakukan. Penduduk Desa Banjarwati seluruhnya memeluk agama Islam. Dalam menjalankan kewajiban umat beragamanya, masyarakat Desa Banjarwati didukung dengan fasilitas peribadatan yang memadai. Klasifikasinya sebagai berikut:

No Jenis Fasilitas Peribadatan Jumlah

1. Masjid 5 buah

2. Mushollah 18 buah

3. Gereja - -

4. Pura - -

5. Wihara - -

(49)

aspek tingginya kualitas pendidikan. Sarana pendidikan di Desa Banjarwati tersedia dari tingkat pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi. Berikut merupakan klasifikasinya:

No Jenis Fasilitas Jumlah

1. Play Group/PAUD 4 buah

2. TK/RA 4 buah

3. SD/Sederajat 4 buah

4. SLTP/Sederajat 4 buah

5. SLTA/Sederajat 5 buah

6. Islam TPQ/TPA 4 buah

7. Pondok Pesantren 4 buah

8. Madrasah Diniyah 4 buah

9. Sekolah Tinggi Agama Islam 1 buah

2.1.7 Keadaan Ekonomi

(50)

teridentifikasi dalam beberapa sektor, yaitu dalam sektor pertanian, peternakan, industri kecil dan kerajinan rumah tangga, industri menengah dan besar, serta dalam sektor jasa.

2.2 PONDOK PESANTREN SUNAN DRAJAT

2.2.1 Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Sunan Drajat

Berdasarkan dokumen PPSD 2010, Pondok Pesantren Sunan Drajat didirikan pada tanggal 7 September 1977 tepatnya di Dusun Banjaranyar Desa Banjarwati kecamatan Paciran kabupaten Lamongan oleh K. H. Abdul Ghofur. Nama dari Pondok Pesantren Sunan Drajat ini mempunyai ikatan historis, psikologis, dan filosofis yang sangat kuat dengan nama Kanjeng Sunan Drajat, bahkan secara geografis bangunan pondok tepat berada di atas reruntuhan pondok pesantren peninggalan Sunan Drajat yang sempat menghilang peradaban dunia Islam di Jawa selama beberapa ratus tahun.

(51)

perjuangan Mbah Banjar dan Mbah Mayang Madu guna mengembangkan syiar Islam di daerah pesisir pantai utara Kabupaten Lamongan.

Pada tahun 1440-an ada seorang pelaut muslim berasal dari daerah Banjar yang mengalami musibah di pesisir pantai utara, kapal yang ditumpanginya pecah terbentur karang dan karam di laut. Adapun sang pelaut dari Banjar tersebut terdampar di tepian pantai Jelak dan ditolong oleh Mbah Mayang Madu penguasa kampung Jelak pada saat itu.

Melihat kondisi masyarakat Jelak yang telah tersesat sedemikian jauh dalam hal beragama, sang pelaut muslim itu pun terketuk hatinya untuk menegakkan sendi-sendi agama Allah. Beliau pun mulai berdakwah dan mensyiarkan agama Islam kepada penduduk Jelak dan sekitarnya. Lambat laun perjuangan sang pelaut yang dikenal dengan julukan Mbah Banjar mulai membuahkan hasil. Bersamaan dengan itu Mbah Mayang Madu pun turut menyatakan diri masuk Islam dan menjadi pendukung utama perjuangan Mbah Banjar.

(52)

memberikan restu dengan mengutus putranya yakni Raden Qosim untuk turut serta membantu perjuangan kedua tokoh tersebut.

Sunan Drajat yang merupakan putra Sunan Ampel menjadi tokoh sentral dalam penyebaran agama Islam yang ada di wilayah Lamongan. Akhirnya Raden Qosim mendirikan pondok pesantren di suatu tempat yang terletak di area Pondok Pesantren Putri Sunan Drajat saat ini. Raden Qosim mengatakan bahwa barang siapa yang mau belajar mendalami ilmu agama di tempat tersebut, semoga Allah menjadikannya manusia yang memiliki derajat luhur. Karena doa Raden Qosim inilah para pencari ilmu berbondong-bondong belajar di tempat beliau dan Raden Qosim pun mendapat gelar Sunan Drajat. Sementara itu untuk mengenang perjuangan Mbah Banjar, maka dusun yang sebelumnya bernama Kampung Jelak, dirubah namanya menjadi Dusun Banjaranyar. Hal tersebut dilakukan untuk mangabadikan nama Mbah Banjar, dan nama Anyar merupakan gambaran suasana baru pada kampung tersebut karena mendapatkan sinar petunjuk Islam.

(53)

Saat itu hanya tinggal sumur tua yang tertimbun tanah dan pondasi bekas langgar (mushollah) yang tersisa. Kemaksiatan dan perjudian merajalela di sekitar wilayah Banjaranyar dan sekitarnya, bahkan di wilayah di mana Raden Qosim mendirikan pondok pesantren di Banjaranyar saat itu berubah menjadi tempat pemujaan.

Setelah mengalami proses kemunduran, bahkan sempat menghilang dari peradaban dunia Islam di Pulau Jawa, pada akhirnya Pondok Pesantren Sunan Drajat kembali menata diri dan menatap masa depan dengan sangat optimis dan tekat yang kuat. Hali ini bermula dari upaya yang dilakukan oleh anak cucu Sunan Drajat yang bercita-cita untuk melanjutkan perjuangan Sunan Drajat di Dusun Banjaranyar. Keadaan itupun berangsur-angsur pulih kembali saat di tempat yang sama didirikan kembali Pondok Pesantren Sunan Drajat oleh K. H. Abdul Ghofur yang masih termasuk salah seorang keturunan Sunan Drajat pada tahun 1977 yang bertujuan untuk melanjutkan perjuangan Wali Songo dalam menyebarkan syiar Islam di muka bumi.

Munculnya kembali Pondok Pesantren Sunan Drajat saat ini tentu tidak terlepas dari perjalanan panjang dan perjuangan dari anak cucu Sunan Drajat itu sendiri. Sebagai institusi resmi dan legal, Pondok Pesantren Sunan Drajat tentu memiliki persamaan dan perbedaan dengan cikal bakal berdirinya pondok pesantren itu sendiri.

(54)

pendidikan yang mengajarkan tentang pengetahuan dan keahlian/skill secara intensif terhadap para santrinya. Dengan demikian sangat penting bagi seorang akademis untuk mempelajari kembali ide-ide dasar yang muncul dan menyertai perkembangan Pondok Pesantren Sunan Drajat.

2.2.2 Visi dan Misi Pondok Pesantren Sunan Drajat

 Visi:

Menjadi sebuah pondok pesantren yang mampu melakukan perubahan bagi masyarakat untuk menjadi masyarakat yang madani dan meneruskan cita-cita Sembilan Wali. Selain itu juga membentuk insan yang berbudi luhur, berakhlakul karimah, bertakwa kepada Allah SWT, berpengatuhan luas dan bertanggung jawab terhadap agama, nusa dan bangsa.

 Misi:

 Menjadi pondok pesantren yang baik agar dapat menjadikan santri sebagai santri yang berkompeten serta menjadi contoh bagi pondok pesantren lainnya.

 Menyelenggarakan pendidikan Islam dan dibekali dengan pendidikan formal.

 Mengikuti pedoman Sunan Kalijaga “Kenek Iwake Gak Buthek Banyune” (Kena Ikannya Tapi Tidak Keruh Airnya).

(55)

 Membentuk insan yang berbudi luhur, berakhlakul karimah, bertakwa kepada Allah SWT, berpengetahuan luas dan bertanggung jawab terhadap agama, nusa, dan bangsa.

2.2.3 Unit Pendidikan

Pondok Pesantren Sunan Drajat sebagai tempat belajar santri memiliki pola pengajaran pendidikan formal dan non formal. Pendidikan formal yang tersedia di Pondok Pesantren Sunan Drajat antara lain:

 Madrasah Tsanawiyah (MTs), Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Paciran (SMPN 2 Paciran)

 Madrasah Aliyah Ma’arif 7 (MA Ma’arif 7 Sunan Drajat Paciran), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) NU 1 Paciran, Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) NU 2 Paciran, Sekolah Menengah Kejuruan Kelautan (SMKK), Madrasah Mualimin Mualimat (MMA)

 Sekolah Tinggi Agama Islam Raden Qosim (STAIRA), dan Ma’had Aly Sunan Drajat.

Adapun lembaga pendidikan non formal yang ada di Pondok Pesantren Sunan Drajat diantaranya adalah:

 Madrasah Diniyah Sunan Drajat

 Madrasatul Qur’an

(56)

2.2.4 Unit Wirausaha

Pondok Pesantren Sunan Drajat disamping memiliki lembaga pendidikan formal dan non formal, juga memiliki unit-unit usaha untuk menopang keuangan Pondok Pesantren Sunan Drajat serta berperan penting untuk perkembangan perekonomian masyarakat Desa Banjarwati khususnya di Dusun Banjaranyar. Unit bisnis yang dikembangkan Pondok Pesantren Sunan Drajat dengan masyarakat sekitar pondok pesantren antara lain sebagai berikut:

a. PT. Sunan Drajat Lamongan (SDL)

PT. SDL berdiri pada tahun 2004 dengan nama merek produk kemasan Kawasan Industri Sunan Drajat (KISDA) merupakan perusahaan tambang phosfat yang beroperasi secara terintegrasi, dimulai dari kegiatan penambangan, pengolahan, rehabilitasi lahan, hingga kemasan. PT. SDL menjadi pelopor dalam industri pupuk organik dengan menyediakan pupuk organik berkualitas tinggi, murah, ramah lingkungan, dan menjaga kelestarian alam.

(57)

b. Pengembangan Jus Mengkudu “Sunan”

Pengolahan sari buah mengkudu adalah penanganan paska produksi dari perkebunan mengkudu yang juga menjadi inti plasma dari petani mengkudu yang terdiri dari 6 kelompok tani se-Kabupaten Lamongan. Saat ini ada dua jenis produk sari buah mengkudu yang diperoduksi oleh Pondok Pesantren Sunan Drajat bersama masyarakat sekitar, yang pertama untuk konsumsi lokal/dalam negeri dengan merek “SUNAN” dengan kemasan 540 ml dan 110 ml, yang kedua adalah produk khusus ekspor ke Jepang dengan merek “JAWA NONI” dengan kemasan 540 ml.

c. Pembuatan Air Minum Dalam Kemasan “AIDRAT”

Air minum sunan drajat (AIDRAT) merupakan perusahaan air minum dalam kemasan gelas yang diproduksi menggunakan teknologi Reverse

Osmosis yang menghasilkan air murni ditambah dengan air oksigen sehingga

baik untuk tubuh dan membantu proses penyembuhan penyakit, khususnya apabila digunakan dengan metode terapi air. Air minum dalam kemasan (AMDK) AIDRAT ini didistribusikan ke daerah-daerah, antara lain: kabupaten Lamongan, kabupaten Gresik, kabupaten Bojonegoro, kabupaten Tuban, dan sekitarnya. Dengan pangsa pasarnya adalah wali santri Pondok Pesantren Sunan Drajat.

d. Peternakan Sapi dan Kambing

(58)

merupakan kerjasama antara Dirjen Peternakan Deptan, Dinas Kelautan dan Prikanan kabupaten Lamongan dengan Pondok Pesantren Sunan Drajat. e. Baitul Maal wat Tamwil (BMT) Sunan Drajat

Melihat kondisi pada masyarakat dari sisi ekonomi belum hidup secara layak dan mapan, masih sering terjerat rentenir, tidak adanya lembaga yang dapat membantu untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, tidak mempunyai posisi tawar dengan pihak lain, dan kondisi-kondisi lainnya yang serba tidak menguntungkan bagi masyarakat kecil. Padahal dari potensi yang dimiliki oleh masyarakat yang apabila dikelola dengan baik dengan sistem kebersamaan, akan dapat meningkatkan perekonomian masyarakat itu sendiri.

Dengan memperhatikan permasalahan di atas, maka dirintislah Baitul Maal Wattamwil (BMT) Sunan Drajat oleh pengurus Pondok Pesantren Sunan Drajat. Tujuan lain didirikannya BMT Sunan Drajat juga untuk menampung, melayani para santri dalam hal keuangan, pinjam meminjam, menabung, dan lain-lain.

f. Sunan Drajat Televisi (SDTV)

(59)

g. Radio Persada FM 97.2 MHz

Berdirinya radio persada FM ini bermula dari keinginan pengasuh Pondok Pesantren Sunan Drajat untuk mewujudkan masyarakat yang beragama dan berbudaya dengan meningkatkat ukhuwah islamiyah. Beliau punya pemikiran untuk mendirikan sebuah stasiun pemancar radio FM yang bisa menjangkau wilayah luas, hal ini dimaksudkan untuk sarana ibadah dan syiar agama, juga unutk media informasi bagi masyarakat serta sebagai sarana penyampaian informasi bagi pihak pemerintah.

Gagasan tersebut ditanggapi dengan baik oleh pihak pemerintah, sehingga pondok pesantren diberikan bantuan berupa pemancar radio FM yang nantinya sebagai sarana dakwah dan penyuluhan, juga sebagai media hiburan yang bisa diterima oleh masyarakat sekitar Provinsi Jawa Timur bagian barat.

Radio persada FM terus mengikuti perkembangan zaman, dan mulai tahun 2010 radio persada FM telah menyiarkan siarannya melalui website dan dapat didengarkan online live streaming di website persada di www.persadafm.com. h. Smesco Mart

(60)

i. Koperasi Pondok Pesantren (KOPP0TREN)

(61)

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan bagian inti dalam sebuah penelitian yang mencakup hasil serta pembahasan, yang disajikan dalam bentuk deskripsi berdasarkan kajian sosiolinguistik serta penerapan teori yang digunakan untuk menganalisis dan menelaah data berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian.

3.1 Perilaku Berbahasa pada Masyarakat Pesisir Dusun Banjaranyar Desa

Banjarwati Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan

3.1.1 Bentuk Percakapan oleh Masyarakat Dusun Banjaranyar dengan Pengasuh Pondok Pesantren Sunan Drajat (Ndalem). ñuwUn paŋestu, kawulᴐ kərsᴐ ŋastᴐ daməl sasi ŋarsᴐ dintən nᴐpᴐ saene yai]

“Mohon maaf, Yai. Saya kesini mau meminta restu, saya mau bekerja bulan depan. Sebaiknya hari apa, Yai?”

Mitra tutur : Nggih, Cung. Kula dungaaken mugi-mugi lancar nyambut damele, sedaya dinten niku sae, nedi ten gusti Allah mugi-mugi di paringi lancar sedaya urusane

[ŋgIh cUŋ kulᴐ dUŋa akən mugi-mugi lancar ñambUt daməle sədᴐyᴐ dintən niku sae nədi tən gusti Allah mugi-mugi di pariŋi lancar sədᴐyᴐ urusane]

“Ya, Nak. saya doakan semoga lancar pekerjaan baru nya. Semua hari itu baik, mintalah kepada Allah SWT supaya dilancarkan segala urusan.”

Penutur : Sendika, Yai.

(62)

Sumber: Transkip percakapan di lingkungan Pondok Pesantren Sunan Drajat, pada tanggal 2 April 2015 pukul 18.15.

Konteks tuturan: Penutur adalah salah seorang warga Dusun Banjaranyar dan mitra tutur merupakan Kiai (pengasuh) Pondok Pesantren Sunan Drajat.

Waktu dan tempat tuturan data di atas adalah saat malam hari di ruang tamu rumah (ndalem) Kiai Pondok Pesantren Sunan Drajat. Pihak-pihak yang berpartisipasi dalam tuturan tersebut adalah seorang warga yang berumur 28 tahun sebagai petutur yang merupakan penduduk Dusun Banjaranyar dan Kiai Pondok Pesantren Sunan Drajat yang berusia 66 tahun sebagai mitra tutur. Dalam tuturan tersebut warga bertujuan menghadap (sowan) kepada kiai untuk konsultasi tentang pekerjaan barunya dan meminta restu supaya didoakan kepada Allah SWT agar pekerjaan baru warga tersebut berjalan dengan lancar dan sukses.

Analisis berdasarkan data, penggunaan bahasa Jawa ragam krama oleh salah seorang warga Dusun Banjaranyar tersebut memperlihatkan bahwa posisi Kiai Pondok Pesantren Sunan Drajat bagi masyarakat Dusun Banjaranyar dianggap penting dan tinggi dalam status sosial masyarakat. Oleh karena itu, ketika berbicara dengan kiai, masyarakat Dusun Banjaranyar menggunakan bahasa Jawa ragam krama sebagai bentuk penghormatan.

Perilaku berbahasa verbal yang digunakan oleh salah satu warga Dusun Banjaranyar sebagai penutur dilihat dari penggunaan bahasa Jawa ragam krama

(63)

[sasi] “Bulan”, ngarsa [ŋarsᴐ] “Depan”, napa [nᴐpᴐ] “Apa”, sae [sae] “Bagus”, sendika [səndikᴐ] “Iya”.

Kata pangestu [paŋestu] “Restu” dan sendika [səndikᴐ] “Iya” sangat jarang digunakan oleh warga Dusun Banjaranyar ketika berinteraksi dengan masyarakat biasa, hanya digunakan ketika berbahasa dengan orang-orang tertentu saja seperti kepada kiai, orang tua, dan lain-lain. Perilaku berbahasa non verbal yang digunakan penutur adalah dengan sikap menundukkan kepala saat berbicara dan tawadhu’ di hadapan kiai sebagai penghormatan terhadap mitra tutur yang berusia jauh lebih tua dan merupakan Pengasuh Pondok Pesantren Sunan Drajat.

Perilaku berbahasa yang digunakan oleh Kiai Pondok Pesantren Sunan Drajat sebagai mitra tutur dilihat dari penggunaan ragam Madya dengan nada intonasi yang tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pelan, seperti pada kata: Inggih [ŋgIh] “Iya”, kula [kula] “Saya”, nyambut damel [ñambUt daməl] “Bekerja”, sedaya [sədᴐyᴐ] “Semua”, dinten [dintən] “Hari”, niku [niku] “Itu”, nedi [nədi] “Minta”.

 Data 2

Penutur : Badhe nyuwun tapak asta, Yai.

[badhe ñuwUn tapa? astᴐ yai] “Mau minta tanda tangan, Yai” Mitra tutur : Inggih, pundhi?

[IŋgIh pundhi] “Iya, mana?”

Penutur : Niki, matur sembah nuwun, Yai.

[niki matUr səmbah nuwUn yai] “Ini, terima kasih, Yai”

(64)

Konteks tuturan: Penutur adalah salah seorang warga Dusun Banjaranyar dan mitra tutur merupakan Kiai (pengasuh) Pondok Pesantren Sunan Drajat.

Waktu dan tempat tuturan data di atas adalah saat pagi hari di ruang tamu rumah (ndalem) Kiai Pondok Pesantren Sunan Drajat. Pihak-pihak yang berpartisipasi dalam tuturan tersebut adalah seorang warga Dusun Banjaranyar berumur 32 tahun sebagai petutur dengan K. H. Abdul Ghofur yang merupakan pengasuh Pondok Pesantren Sunan Drajat sebagai mitra tutur. Dalam tuturan tersebut warga bertujuan menghadap (sowan) kepada kiai untuk meminta tanda tangan terkait urusan suatu hal yang ada di Dusun.

Analisis berdasarkan data, penggunaan bahasa Jawa ragam krama oleh salah seorang warga Dusun Banjaranyar tersebut memperlihatkan bahwa posisi kiai bagi masyarakat Dusun Banjaranyar memang dianggap penting dan tinggi dalam status sosial. Oleh karena itu, ketika berbicara dengan Kiai Pondok Pesantren Sunan Drajat, masyarakat Dusun Banjaranyar menggunakan bahasa Jawa ragam krama sebagai bentuk penghormatan.

Perilaku berbahasa verbal yang digunakan oleh salah satu warga Dusun Banjaranyar sebagai penutur dilihat dari penggunaan bahasa Jawa ragam krama

dengan nada intonasi yang pelan dan halus, dilihat dari kata: Badhe [badhe] “Mau”, nyuwun [ñuwUn] “Minta”, tapak asta [tapa? astᴐ] “Tanda tangan”, niki [niki] “Ini”, matur sembah nuwun [matUr səmbah nuwUn] “Terima kasih”.

(65)

orang tua, dan lain-lain. Perilaku berbahasa non verbal yang digunakan adalah dengan sikap menundukkan kepala saat berbicara dan tawadhu’ di hadapan kiai sebagai penghormatan terhadap mitra tutur yang berusia jauh lebih tua dan merupakan Pengasuh Pondok Pesantren Sunan Drajat.

Perilaku berbahasa yang digunakan oleh Kiai Pondok Pesantren Sunan Drajat sebagai mitra tutur dapat dilihat dari penggunaan bahasa Jawa ragam

Madya dengan nada intonasi yang tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pelan, seperti pada kata [IŋgIh, pundhi] “Iya, mana”.

 Data 3

Penutur : Wonten napa Nduk?

[wᴐntən nᴐpᴐ ndo?] “Ada apa nak?”

Mitra tutur : Ngeten, Bah. Tiang sepah kawula kersa bukak usaha ten deso, dospundhi menurut penjenengan, Bah?

[ŋɛtən bah tiaŋ səpah kawulᴐ kərso buka? usaha tən dəso dᴐspundhi mənurut pənjənəngan bah]

“Begini, Bah. Orang tua saya mau membuka usaha di desa, bagaimana menurut, Abah?”

Penutur : Sae niku, menawi engken sampeyan kengken dhateng meriki mawon

[sae niku mənawi əngken sampeyan kengken dhatəng meriki mawon]

“Bagus itu, mungkin nanti kamu suruh kesini saja” Mitra tutur : Sendika, Bah. Matur sembah nuwun

[Səndikᴐ bah, matUr səmbah nuwUn] “Iya, Bah. Terima kasih”

Sumber: Transkip percakapan di dalam rumah Kiai Pondok Pesantren Sunan Drajat, pada tanggal 2 Maret 2015 pukul 11.00.

(66)

Waktu dan tempat tuturan data di atas adalah pada pagi hari di rumah (ndalem) Kiai Pondok Pesantren Sunan Drajat tepatnya di ruang tamu. Pihak-pihak yang berpartisipasi dalam tuturan tersebut adalah K. H. Abdul Ghofur sebagai Pengasuh Pondok Pesantren Sunan Drajat berusia 66 tahun sebagai penutur dengan seorang siswa bernama Siti Hamidah berusia 19 tahun sebagai mitra tutur. Dalam tuturan tersebut kiai sebagai penutur bertujuan menanyakan kepada siswa tentang hal apa yang mau dibicarakan dengannya. Sedangkan siswa sebagai mitra tutur bertujuan menanyakan tentang rencana orang tuanya untuk membuka usaha di Dusun Banjaranyar yang masuk dalam lingkungan Pondok Pesantren Sunan Drajat, maka dari itu siswa tersebut meminta izin atau menghadap (sowan) ke kiai pondok pesantren terlebih dahulu.

Analisis berdasarkan data, penggunaan bahasa Jawa ragam krama oleh siswa yang berasal dari Dusun Banjaranyar tersebut memperlihatkan bahwa posisi kiai bagi masyarakat Dusun Banjaranyar memang dianggap penting dan tinggi dalam status sosial. Oleh karena itu, ketika berbicara dengan Kiai Pondok Pesantren Sunan Drajat, masyarakat Dusun Banjaranyar menggunakan bahasa Jawa ragam krama sebagai bentuk penghormatan.

Perilaku berbahasa yang digunakan oleh Kiai Pondok Pesantren Sunan Drajat sebagai penutur, dilihat dari penggunaan bahasa Jawa ragam krama dan

(67)

Perilaku berbahasa verbal yang digunakan oleh siswa sebagai mitra tutur dilihat dari penggunaan bahasa Jawa ragam krama dengan nada intonasi yang pelan dan halus, seperti pada kata: Kawula [kawulᴐ] “Saya”, sepah [səpah] “Tua”, kersa [kərso] “Mau”, sendika [səndikᴐ] “Iya”, matur sembah nuwuwn [matUr səmbah nuwUn] “Terima kasih”. Susunan bahasa Jawa ragam krama tersebut sangat jarang digunakan oleh siswa ketika berinteraksi dengan masyarakat biasa, hanya digunakan kepada orang-orang tertentu saja seperti kepada kiai, orang tua, dan lain-lain. Perilaku berbahasa non verbal yang digunakan siswa adalah dengan sikap menundukkan kepala saat berbicara dan tawadhu’ di hadapan kiai sebagai penghormatan terhadap penutur yang berusia jauh lebih tua dan merupakan Pengasuh Pondok Pesantren Sunan Drajat.

 Data 4

Penutur : Bah, wonten tiyang kersa ngaturi

[bah wᴐntən tiyaŋ kərsᴐ ŋaturi] “Bah, ada orang mau memberi tahu” Mitra tutur : Inggih, Cung. Sekedhap

[IŋgIh cUŋ səkədhap] “Iya, Nak. Sebentar”

Sumber: Transkip percakapan di dalam rumah Kiai Pondok Pesantren Sunan Drajat, pada tanggal 14 Maret 2015 pukul 13.15.

Konteks tuturan: Penutur adalah seorang warga Dusun Banjaranyar sekaligus sebagai pengurus abdi dalem di Pondok Pesantren Sunan Drajat dan mitra tutur merupakan seorang Kiai (pengasuh) Pondok Pesantren Sunan Drajat.

(68)

yang menjadi pengurus abdi dalem bernama Ahmad Shiddiq berusia 32 tahun sebagai penutur dengan K. H. Abdul Ghofur yang merupakan Pengasuh Pondok Pesantren Sunan Drajat berusia 66 tahun sebagai mitra tutur. Dalam tuturan tersebut warga bertujuan memberitahu kepada kiai bahwa ada tamu yang hendak sowan (menghadap) ke beliau untuk memberikan sebuah informasi.

Analisis berdasarkan data, penutur menggunakan bahasa Jawa ragam

krama untuk menghormati mitra tutur yang berusia jauh lebih tua dan merupakan pengasuh dari Pondok Pesantren Sunan Drajat yang ia tempati saat ini, sedangkan mitra tutur menggunakan bahasa Jawa ragam madya untuk menghargai penutur yang berbahasa sopan dan santun menggunakan bahasa Jawa ragam krama.

Perilaku berbahasa verbal yang digunakan oleh salah satu warga Dusun Banjaranyar sebagai penutur dilihat dari penggunaan bahasa Jawa ragam krama

dengan nada intonasi yang pelan dan halus, dilihat dari kata: Wonten [wᴐntən] “Ada”, tiyang [tiyaŋ] “Orang”, kersa [kərsᴐ] “Mau”, ngaturi [ŋaturi] “Memberitahu“. Kata ngaturi [ŋaturi] “memberi tahu” sangat jarang digunakan oleh warga Dusun Banjaranyar ketika berinteraksi dengan masyarakat biasa, hanya digunakan ketika berbahasa dengan orang-orang tertentu saja seperti kepada kiai, orang tua, dan lain-lain. Perilaku berbahasa non verbal yang digunakan penutur adalah dengan sikap menundukkan kepala saat berbicara dan tawadhu’ di hadapan kiai sebagai penghormatan terhadap mitra tutur yang berusia jauh lebih tua dan merupakan Pengasuh Pondok Pesantren Sunan Drajat.

(69)

dengan nada intonasi yang tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pelan, seperti pada kata: Inggih [IŋgIh] “Iya”, sekedap [səkədhap] “sebentar”.

3.1.2 Bentuk Percakapan oleh Masyarakat Dusun Banjaranyar dengan Pengurus Pondok Pesantren Sunan Drajat.

 Data 5

Penutur : Mbak, kula badhe mundhut ageman seragam batik

[mba? kulᴐ badhe mundhUt agəman səragam batI?] “Mbak, saya mau beli baju seragam batik”

Mitra tutur : Sampeyan rantosi nggih, kula mriksani rumiyen, tasek wonten napa boten

[sampeyan rantᴐsi ŋgIh kulᴐ mriksani rumiyen tase? wᴐntən nᴐpᴐ bᴐtən]

“Tunggu ya, saya lihat dulu, masih ada atau tidak” Penutur : Inggih, Mbak

[IŋgIh mba?] “Iya, Mbak”

Mitra tutur : Inggih niki tasek wonten

[IŋgIh niki tase? wᴐntən] “Iya ini masih ada”

Sumber: Transkip percakapan di lingkungan Pondok Pesantren Sunan Drajat, pada tanggal 2 April 2015 pukul 10.40).

Konteks tuturan: Penutur adalah seorang siswa yang berasal dari Dusun Banjaranyar dan mitra tutur merupakan salah satu pengurus Pondok Pesantren Sunan Drajat.

(70)

Dusun Banjaranyar sebagai penutur, sedangkan mitra tuturnya adalah seorang pengurus pondok pesantren putri bernama Siti Azimatur Rohmah berusia 25 tahun yang saat itu sedang bertugas pagi mengurus semua kebutuhan siswa, kedua penutur tersebut tidak saling kenal sebelumnya. Dalam tuturan tersebut siswa bertujuan untuk membeli seragam baru untuk sekolah.

Analisis berdasarkan data, penggunaan bahasa Jawa ragam madya dan

krama oleh salah seorang siswa yang berasal dari Dusun Banjaranyar tersebut memperlihatkan bahwa Pengurus Pondok Pesantren Sunan Drajat bagi masyarakat Dusun Banjaranyar dianggap penting dalam status sosial masyarakat. Oleh karena itu, ketika berbicara dengan pengurus, masyarakat Dusun Banjaranyar menggunakan bahasa Jawa ragam madya dan krama sebagai bentuk penghormatan.

(71)

penghormatan terhadap mitra tutur yang berusia jauh lebih tua dan merupakan Pengurus Pondok Pesantren Sunan Drajat.

Perilaku berbahasa yang digunakan pengurus sebagai mitra tutur juga menggunakan Bahasa Jawa ragam madya dan karma, dilihat dari kata: Sampeyan [sampeyan] “Kamu”, nggih [ŋgIh] “Iya”, niki [niki] “Ini”, rantosi [rantᴐsi] “Tunggu”, mriksani [mriksani] “Lihat”, wonten [wᴐntən] “Ada”, tasek [tase?] “Masih”. Pengurus Pondok Pesantren Sunan Drajat sebagai mitra tutur menggunakan bahasa Jawa dengan pilihan ragam madya dan krama untuk menghargai siswa yang berbahasa sopan dan santun meskipun mitra tutur sadar bahwa si penutur usianya jauh lebih muda.

 Data 6

Penutur : Assalamualaikum, Yai wonten mas?

[Assalamualaikum yai wᴐntən mas] “Assalamualaikum. Yai ada mas?”

Mitra tutur : Waalaikumsalam, wonte tapi Yai tese sare, Bu

[waalaikumsalam wᴐntən tapi yai təse sare] “Waalaikumsalam, ada tapi Yai masih tidur, Bu”

Penutur : Oh nggih sampun, Mas. Mangke mawon mantun ngaos sore meriki male

[oh ŋgIh sampun mas maŋke mawᴐn mantUn ŋaᴐs sore məriki male]

“Oh ya sudah, Mas. Nanti saja setelah mengaji sore kesini lagi”

Sumber: Transkip percakapan di lingkungan Pondok Pesantren Sunan Drajat, pada tanggal 2 April 2015 pukul 13.40.

(72)

Waktu dan tempat tuturan adalah saat siang hari di dalam rumah (ndalem) Kiai Pondok Pesantren Sunan Drajat. Pihak-pihak yang berpartisipasi dalam tuturan tersebut adalah penutur merupakan seorang perempuan bernama Zurofah berumur 45 tahun warga Dusun Banjaranyar, sedangkan mitra tuturnya adalah seorang pengurus abdi ndalem Pondok Pesantren Sunan Drajat berusia 32 tahun bukan penduduk asli desa Banjarwati, kedua penutur tersebut tidak saling kenal sebelumnya. Dalam tuturan tersebut warga bertujuan untuk menemui Kiai Pondok Pesantren Sunan Drajat karena ada sesuatu hal yang akan dibicarakan.

Analisis berdasarkan data, penggunaan bahasa Jawa ragam krama oleh penutur yang merupakan salah satu warga Dusun Banjaranyar tersebut memperlihatkan bahwa Pengurus Pondok Pesantren Sunan Drajat bagi masyarakat Dusun Banjaranyar dianggap penting dalam status sosial masyarakat. Oleh karena itu, ketika berbicara dengan pengurus, masyarakat Dusun Banjaranyar menggunakan bahasa Jawa ragam krama sebagai bentuk penghormatan.

Perilaku berbahasa verbal yang digunakan oleh salah satu warga Dusun Banjaranyar sebagai penutur dilihat dari penggunaan bahasa Jawa ragam krama

(73)

Perilaku berbahasa verbal yang digunakan pengurus sebagai mitra tutur juga menggunakan Bahasa Jawa ragam krama, dapat dilihat dari kata: Wonten [wᴐntən] “Ada”, tese [təse] “Masih”, sare [sare] “Tidur”. Kata sare [sare] “Tidur” sangat jarang digunakan oleh masyarakat pesisir pada umumnya, kata tersebut hanya sering digunakan oleh masyarakat Dusun Banjaranyar di lingkungan Pondok Pesantren Sunan Drajat. Perilaku berbahasa non verbal yang digunakan pengurus sebagai mitra tutur adalah dengan bersikap sopan dan santun saat melayani penutur.

 Data 7

Penutur : Mbak, badhe bayar kitab ngaji”

[mba? badhe bayar kitab ŋaji] “Mbak, mau bayar kitab ngaji” Mitra tutur : Oh inggih sekedhap

[oh IŋgIh səkədhap] “Oh.. iya sebentar”

Sumber: Transkip percakapan di lingkungan Pondok Pesantren Sunan Drajat, pada tanggal 15 Maret 2015 pukul 09.15.

Konteks tuturan: Penutur adalah seorang siswa warga Dusun Banjaranyar dan mitra tutur merupakan pengurus Pondok Pesantren Sunan Drajat.

Referensi

Dokumen terkait

Sehubungan dengan tujuan utama perusahaan yakni memperoleh pendapatan dan keuntungan, maka diperlukan adanya suatu perencanaan penjualan yang dapat dipergunakan

„Ir žmogus sakė: čia dabar yra kaulas iš mano kaulų ir mėsa iš mano mėsos, ta bus Wyri ʃ ka vadinama, todėl, kad nuo vyro imta yra...“.. Ir vėlesniuose Biblijos

Data Alumni Mahasiswa Program Studi D3 Teknik Elektro

benar. 5) Ukuran huruf yang dipakai untuk cetak miring harus sama ukurannya dengan huruf untuk naskah. Cetak miring digunakan untuk judul buku dan nama

Oleh karena itu, buku panduan permainan edukatif yang dikembangkan dapat digunakan sebagai alternatif sumber kepustakaan bagi pendidik dalam mengoptimalkan pengembangan

Dari analisa persimpangan Jalan Sudirman – Jalan Gajah Mada pada harihari weekday dapat dilihat bahwa kondisi persimpangan tersebut tidak sesuai dengan parameter yang

• Memiliki panjang tali resistance berukuran 100 cm • Memiliki panjang pegangan tangan berukuran 12 cm • Memiliki dua pegangan tangan yang terbuat dari kain • Memiliki

1. Dua muatan listrik yang terpisahkan sejauh 10 cm mengalami gaya tarik-menarik 10 N. Mula-mula kedua muatan diletakkan terpisah 0,5 meter sehingga timbul gaya coulomb