• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS NILAI-NILAI PENDIDIKAN AQIDAH DAN AKHLAK MENURUT MIFTAHUL LUTHFI MUHAMMAD DALAM BUKU FILSAFAT MANUSIA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS NILAI-NILAI PENDIDIKAN AQIDAH DAN AKHLAK MENURUT MIFTAHUL LUTHFI MUHAMMAD DALAM BUKU FILSAFAT MANUSIA."

Copied!
195
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS NILAI-NILAI PENDIDIKAN AQIDAH DAN AKHLAK MENURUT MIFTAHUL LUTHFI MUHAMMAD DALAM BUKU

FILSAFAT MANUSIA

Oleh:

AHMAD RAHMATULLAH NIM. D01213004

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM JURUSAN PENDIDIKAN ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Ahmad Rahmatulah. D01213004. Analisis Nilai-Nilai Pendidikan Aqidah dan Akhlak menurut Miftahul Luthfi Muhammad dalam Buku Filsafat Manusia. Skripsi. Prodi Pendidikan Agama Islam, Jurusan Pendidikan Islam, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. Pembimbing Dr. H. Achmad Muhibin Zuhri, M.Ag., Drs. H. Syaifuddin, M.Pd.I.

Miftahul Luthfi Muhammad adalah seorang guru, kyai, motivator dan dai yang mendedikasikan hidupnya untuk umat. Sosoknya lebih banyak dikenal sebagai kyai lingkungan karena sering mendakwahkan hablum minal alam dan juga melakukan bakti sosial untuk kesejahteraan alam dan umat. Selain itu ia juga aktif menghasilkan karya tulis buah dari pemikiran-pemikirannya. Salah satunya buku yang berjudul filsafat manusia upaya memanusiakan manusia, yang di dalamnya terkandung pendidikan aqidah dan akhlak. Adapun fokus penelitian ini pada nilai pendidikan aqidah dan akhlak dalam buku filsafat manusia karya Miftahul Luthfi Muhammad.

Rumusan masalah yang menjadi fokus peneliti adalah mencari; 1) Konsep nilai pendidikan aqidah, 2) Pola pendidikan akhlak dan 3) Konsep memanusiakan manusia menurut Miftahul Luthfi Muhammad dalam buku Filsafat Manusia. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mendeskripsikan konsep nilai-nilai pendidikan aqidah dan pola pengajaran akhlak. Serta cara memanusiakan manusia dalam pendidikan islam yang terkandung pada buku filsafat manusia. Yang kemudian di relevansikan dengan pendidikan agama islam dan budi pekerti.

Adapun jenis penelitian berupa penelitian kualitatif dengan pendekatan konten analisis yang secara sederhana dapat diartikan sebagai kegiatan mengumpulkan dan menganalisis muatan sebuah teks kemudian diberi interpretasi. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik baca dan catat yaitu pembacaan yang berulang-ulang dan dilanjutkan dengan pencatatan yang sesuai dengan rumusan masalah. Sedangkan analisis data terdiri dari; pengolahan data, pengorganisasian data dan penarikan kesimpulan.

Nilai-nilai pendidikan aqidah dan akhlak yang terkandung dalam buku filsafat manusia yaitu; 1) Konsep pendidikan aqidah berupa Triple I yang melahirkan pendidikan rabbani. Yaitu pendidikan yang orisinil para nabi-nabi terdahulu, dimulai dengan tazkiyatun nafs dan islahul qalbi 2) Pola pendidikan akhlak berupa adabiyah dalam ta’lim dan muta’alim dan bermajlis ilmu menuju masyarakat berperadaban dengan berilmu 3) Konsep memanusiakan manusia yaitu mendalami eksistensi manusia berupa hakekat manusia dan jiwanya, serta mengolah kecerdasan intuisional disamping tiga kecerdasan yang lain. Terakhir, relevansi pendidikan islam dalam buku filsafat manusia terhadap pendidikan agama islam dan budi pekerti.

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Metode Penelitian... 7

F. Penelitian Terdahulu ... 13

G. Sistematika Pembahasan ... 15

BAB II LANDASAN TEORI A. Nilai ... 17

1. Pengertian Nilai ... 17

2. Macam-macam Nilai ... 19

(8)

1. Pengertian Pendidikan Aqidah dan Akhlak ... 21

2. Tujuan Pendidikan Aqidah dan Akhlak ... 31

3. Metode Pendidikan Aqidah dan Akhlak ... 36

BAB III PAPARAN DATA PENELITIAN A. Biografi Miftahul Luthfi Muhammad ... 46

B. Karya dan Kegiatan Dakwah Miftahul Luthfi Muhammad ... 51

C. Nilai Nilai Pendidikan Aqidah dan Akhlak Dalam Buku Filsafat Manusia Karya Miftahul Luthfi Muhammad ... 61

1. Konsep Nilai Pendidikan Aqidah Menurut Miftahul Luthfi Muhammad Dalam Buku Filsafat Manusia ... 63

2. Pola Pendidikan Akhlak Menurut Miftahul Luthfi Muhammad Dalam Buku Filsafat Manusia ... 82

3. Konsep Memanusiakan Manusia Menurut Miftahul Luthfi Muhammad Dalam Buku Filsafat Manusia ... 110

BAB IV ANALISIS DATA PENELITIAN A. Konsep nilai pendidikan Aqidah menurut Miftahul Luthfi Muhammad dalam buku filsafat manusia ... 130

1. Dinul Islam ... 131

a. Taqwa kepada Allah ... 133

b. Implementasi Sunnah Rasul ... 138

2. Pendidikan Rabbani ... 140

(9)

a. Bekal Bagi Pencari Ilmu ... 145

b. Adabiyah Guru dan Karakteristik Ulama ... 150

2. Menghidupi Hidup dengan ber-Majlis Ilmu ... 155

a. Perilaku Masyarakat Berilmu ... 156

3. Etiket Mendidik Manusia ... 159

C. Konsep Memanusiakan Manusia menurut Miftahul Luthfi Muhammad dalam buku filsafat manusia ... 161

1. Eksistensi Manusia ... 162

c. Memahami Hakekat Manusia ... 164

d. Potensi Jiwa Manusia ... 168

2. Khairun Nas Anfa’uhum Lin Nas ... 171

3. Kecerdasan Intuisi (IN-Q) ... 173

D. Relevansi Nilai Pendidikan Aqidah dan Akhlak dalam buku Filsafat Manusia dengan Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti ... 175

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 180

B. Saran ... 182

(10)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Aqidah merupakan jalan untuk membangun pondasi pengetahuan awal mengenai agama islam. Aqidah juga untuk mengetahui akan eksistensi Allah dan tujuan kehidupan yang diberikan serta aturan-aturan yang mesti dipatuhi dan larangan-larangan yang harus dijauhi. Aqidah seharusnya diberikan sejak awal perkembangan manusia dimulai. Sebab dari sinilah manusia mulai mempunyai pegangan dan pedoman yang dapat mengarahkannya dalam mengarungi amanat yakni kehidupan di dunia. Selain itu, dalam membahas aqidah tidak bisa terlepas dari term akhlak. Karena aqidah dan akhlak mempunyai kesinambungan makna dan implementasi. Dengan demikian, aqidah dan akhlak seyogyanya menjadi salah satu fokus pendidikan islam, hal ini melihat keurgensian aqidah dan akhlak dalam pendidikan yang sudah diterapkan sejak awal zaman Rasulullah hingga zaman modern seperti sekarang. Apabila fokus pendidikan aqidah dan akhlak mantab, maka sudah tentu dapat melahirkan insan kamil yang mencerminkan pribadi islam yang unggul.

Fenomena yang nyata dalam kehidupan kaum muslimin di negeri ini,

dimana mereka sebagian besar mengidap “penyakit hati”, yaitu; mengaku

muslim tapi tidak beriman, dan mengaku beriman namun tidak yakin.

Artinya, pengakuan keislamannya tidak ditindaklanjuti dengan

(11)

2

mahabesaran Allah Azza wa Jalla.1 Pendidikan aqidah dan akhlak yang dirasa hanya sebatas teori saja, melahirkan manusia yang ber- IQ, EQ, dan SQ rendah. Ilmu hanya sebagai bahan untuk berdebat, berhujjah dan pembenaran bagi kepuasan hati masing-masing. Pengetahuan akan aqidah yang hanya sebagai ritualitas dianggap cukup untuk menyelamatkan hidupnya di akhirat. Akhirnya kehidupan dengan aqidah pas-pasan berbuah dengan nilai keyakinan dan ibadah yang pas-pasan juga tanpa mengetahui substansinya.

Karena aqidah yang pas-pasan itulah berimbas pada akhlak yang dikerjakan sehari-hari. Shalat sebatas ritualitas menyebabkan sifat pragmatis, zakat sebatas formalitas melahirkan rasa terbebani ataupun menyepelehkan, dan keyakinan yang hanya bertumpu pada logika semata. Sehingga nilai etika dalam dimensi sosial terlihat sebagai basa-basi. Silaturrahim yang di dalam hadits termasuk tanda orang beriman, realitanya hanya bisa dilakukan beberapa kali dalam setahun, saling sapa cukup dilakukan lewat media sosial sampai jarang melakukan tatap muka. Maka, dalam zaman globalisasi istilah mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat sangat terasa. Entah tua, muda, pria, wanita, kecil, dewasa, semuanya adalah korban dari globalisasi yang mengikis aqidah dan akhlak secara tidak langsung dan tanpa tersadar.

1 Miftahul Luthfi Muhammad, Filsafat manusia (upaya memanusiakan manusia), (Surabaya: Duta

(12)

3

Kemudian, bagaimana peran pendidikan islam sekarang?. Pendidikan islam selain menekankan pada aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan, juga harus fokus pada aspek spiritual. Sebab, yang membedakan pendidikan islam dengan yang lain adalah penghayatan kepada sumber islam yang dua yakni; al-Quran dan Hadits. Arti pendidikan islam itu sendiri menurut konsepsi hasil konferensi dunia pertama di Makkah tahun 1977 yaitu “usaha yang lebih khusus ditekankan untuk mengembangkan fitrah keberagamaan

(religiousitas) subyek didik agar lebih mampu memahami, menghayati dan

mengamalkan ajaran-ajaran islam”.2

Dari definisi diatas, kata keberagamaan sendiri berbeda dengan keagamaan, keagamaan bersifat doktriner atas ajaran agama, dan ini sangat diperlukan karena memang harus terjadi dalam agama, namun keberagamaan lebih merupakan aspek pengamalan orang yang beragama

karena buah dari keimanan dan keyakinan.3 Aqidah yang berupa keimanan

dan keyakinan adalah hal yang tidak tampak karena hanya bisa dirasakan oleh masing-masing individu, tetapi bias dari aqidah tersebut dapat diamati dengan aktualisasi akhlak dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana Rasulullah bersabda :

Sesungguhnya malu adalah cabang daripada iman”.4

2 Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam (Paradigma Humanisme Teosentris), (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2005), 29.

3 Miftahul Luthfi Muhammad, ar-Risalatul Luthfiah, (Surabaya: Duta Ikhwaana salama, 2010), 19. 4 Abdurrahman Ibn Syihabuddin al-Hanbali, Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam fi Syarh Khomsina haditsan

(13)

4

Dalam riwayat lain Rasulullah juga menegaskan dalam haditsnya

Sesungguhnya diantara apa yang didapatkan manusia dari ajaran

nabi-nabi yang terdahulu; jika anda tidak merasa malu, maka berbuatlah

sesukamu”.5

Dua hadits diatas membuktikan hubungan antara aqidah dan akhlak. Malu yang merupakan etika adalah sebagian daripada iman. Dan iman adalah termasuk ruang lingkup aqidah. Keduanya bersinergi dalam makna dan implementasi. Begitu juga malu adalah ajaran para nabi-nabi terdahulu. Termasuk mengimani nabi-nabi Allah adalah juga menteladani beberapa ajaran mereka dan yang masih relevan diamalkan oleh Rasulullah SAW.

Namun, fakta pendidikan islam sekarang jauh dari mengutamakan pendidikan aqidah dan akhlak islam. Hedonisme dan perilaku konsumtif sangat mempengaruhi pemikiran anak zaman sekarang. Terbukti dengan kasus dan peristiwa yang belakangan terjadi marak dikabarkan di media massa. Eksploitasi seksualitas anak dibawah umur dan pelecehan terhadap guru menjadi top news yang dikupas di televisi sehari-hari. Belum lagi perilaku amoral dari pemimpin bangsa yang notabene beragama islam dan berpendidikan tinggi. Jikalau kita hubungkan dengan kedua hadits diatas, apakah bangsa ini masih mempunyai rasa malu?. Lantas bagaimana kepribadian manusia di bumi pertiwi ini?. Tentu ini menjadi pekerjaan

5 Imam Nawawi Yahya bin Syaraf, Syarah Hadits Arbain an-Nawawiyah, diterj oleh Abdullah

(14)

5

rumah bagi yang berkecimpung dalam pendidikan utamanya dalam pendidikan islam.

Berangkat dari fenomena tersebut diatas, Miftahul Luthfi Muhammad selain berdakwah diatas podium juga menuangkan pemikirannya melalui tulisan nya dalam buku-buku karangannya. Sebagai seorang pengasuh

ma’had, murobbi, pemerhati, sekaligus motivator yang istiqomah

mengembangkan pendidikan islam yang masih tetap dalam koridor dinul islam. Upayanya dalam membumikan dinul islam, konsep pribadi muslim, memanusiakan manusia, meng-alamkan alam, dan etika guru dan murid, direspon masyarakat luas dengan positif. Karena dalam pemikiran Miftahul Luthfi Muhammad dapat mewarnai serta memberikan corak paradigma yang konservatif maupun yang moderat terlebih pada pendidikan aqidah dan akhlak.

Pandangan Imam al-Ghazali tentang pendidikan aqidah yang berkata :

seyogyanya aqidah itu disampaikan kepada anak pada awal

pertumbuhannya untuk dihafalnya dengan baik. Kemudian akan terbukalah

pengertiannya sedikit demi sedikit sewaktu dia telah besar. Jadi pada

mulanya diawali dengan menghafal, lalu memahami, kemudian mengimani,

meyakini dan membenarkannya. Begitulah cara untuk mensukseskan

pendidikan anak tanpa menggunakan dalil pembuktian”6, sejalan dan cocok

dengan pemikiran pendidikan aqidah menurut konsep Miftahul Luthfi

6 Fathiyah Hasan Sulaiman, al-Madzahabut tarbawi indal Ghazaly, diterj oleh Fathur Rahman dan

(15)

6

Muhammad. Ini terbukti pada salah satu karyanya yang mengupas pendidikan aqidah wajib ditanamkan sejak dini pada anak. Belum lagi konsep memanusiakan manusia dan etika menuntut ilmu atau etika antara guru dan murid.

Pemikiran dan pandangan Miftahul Luthfi Muhammad yang seperti itulah yang dirasa oleh penulis patut untuk diajukan sebagai penelitian karena dapat memberikan inspirasi dan membangun kerangka pendidikan islam terlebih pada pendidikan aqidah dan akhlak secara kreatif, inovatif dan transformatif. Oleh karena nya penulis mengangkat permasalahan

tersebut dan dituangkan dalam skripsi yang berjudul “Analisis Nilai-Nilai

Pendidikan Aqidah dan Akhlak Menurut Miftahul Luthfi Muhammad dalam buku Filsafat Manusia”

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep nilai pendidikan aqidah menurut Miftahul Luthfi Muhammad dalam buku filsafat manusia?

2. Bagaimana pola pendidikan akhlak menurut Miftahul Luthfi

Muhammad?

3. Bagaimana konsep memanusiakan manusia menurut Miftahul Luthfi

Muhammad dalam buku filsafat manusia?

C. Tujuan Penelitian

(16)

7

2. Untuk mengetahui pola pendidikan akhlak menurut Miftahul Luthfi Muhammad.

3. Untuk mengetahui konsep memanusiakan manusia menurut Miftahul

Luthfi Muhammad dalam buku filsafat manusia.

D. Manfaat Penelitian

Suatu penelitian dikatakan berhasil dan berkualitas apabila dapat bermanfaat terutama untuk dirinya sendiri dan kemudian masyarakat luas pada umumnya. Manfaat yang ingin diberikan dalam penelitian ini adalah :

1. Sebagai bahan untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan

mengenai biografi dan pemikiran Miftahul Luthfi Muhammad dalam pendidikan islam

2. Sebagai bahan referensi dan perbandingan untuk para akademisi, guru

dan asatidz khususnya PAI dalam pendidikan islam terutamanya pada pendidikan aqidah dan akhlak.

3. Sebagai saran masukan dalam rangka membangun paradigma secara

konseptual dan praktikal untuk umat muslim khususnya dan masyarakat majmuk pada umumnya pada pendidikan aqidah dan akhlak.

E. Metode Penelitian

Miftahul Luthfi Muhammad adalah seorang Da’I sekaligus tokoh

(17)

8

penelitian. Metode disini diartikan sebagai suatu cara atau teknis yang dilakukan dalam proses penelitian, sedangkan penelitian itu sendiri diartikan sebagai upaya dalam bidang ilmu pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip dengan sabar, hati-hati, dan sistematis demi mewujudkan kebenaran. Oleh karena itu dalam skripsi

ini pembahasannya menggunakan metode7 meliputi :

1. Jenis Penelitian

Dalam skripsi ini penulis menggunakan jenis penelitian pustaka

(library research)8. Karena penelitian ini mengkaji sumber data dari

materi atau literatur yang relevan dengan judul penelitian yang terdapat dalam sumber-sumber pustaka. Maka, penelitian ini secara khusus bertujuan mengumpulkan data atau informasi dengan bantuan bermacam-macam material yang terdapat di ruang perpustakaan, buku, majalah, serta kisah, data internet ataupun surat kabar yang ada

kaitannya dengan tokoh yang diketengahkan dengan cara menela’ah dan

menganalisa sumber-sumber itu hasilnya dicatat dan dikualifikasikan

menurut kerangka yang sudah ditentukan.9

2. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini, pendekatan yang dipakai adalah pendekatan Konten-analisis, komparatif dan kritis, terhadap data yang bersifat kualitatif, artinya prosedur pemecahan masalah dengan menggunakan

7 Mardalis, Metode Penelitian: Suatu Pendekatan Proposal, (Jakarta: Bumi Aksara, 1998), 24. 8 Nasution, Metode Research, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 145.

(18)

9

data yang dinyatakan verbal dan klasifikasinya bersifat teoritis, tidak diolah melalui perhitungan matematik dengan berbagai rumus statik. Namun pengolahan datanya disajikan secara rasional dengan menggunakan pola pikir menurut hukum logika. Pendidikan ini melihat keseluruhan latar belakang subyek penelitian secara holistik atau menyeluruh, melalui pendekatan ini diharapkan diperoleh data-data deskriptif yaitu data-data mengenai nilai-nilai pendidikan aqidah dan akhlak menurut Miftahul Luthfi Muhammad dalam buku Filsafat Manusia.

3. Sumber Data

Penulisan ini menggunakan jenis dan data deskriptif yakni berupa pemikiran atau konsep yang berhubungan dengan judul penelitian yang diambil dari literatur yang ada, ada dua bentuk sumber data yang dipakai yaitu:

a. Data primer

Data primer adalah data utama dari berbagai referensi atau sumber- sumber yang memberikan data langsung dari tangan pertama. Adapun yang menjadi data primer dalam penulisan skripsi ini adalah:

1) Miftahul Luthfi Muhammad, Filsafat Manusia (upaya

memanusiakan manusia), (Surabaya: Duta ikhwana Salama

(DIS), 2004 Ma’had Tee Bee.

(19)

10

Duta Ikhwana Salama (DIS), 2010 Ma’had Tee Bee.

3) Miftahul Luthfi Muhammad, Dakwah Kita: Sejuk dihati

Merubah Pribadi Menjadi Berarti (Surabaya: Duta Ikhwana

Salama DIS) 2008 Ma’had Tee Bee.

4) Miftahul Luthfi Muhammad, Indahnya Perbedaan: (Surabaya:

Duta Ikhwana Salama DIS) 2010, Ma’had Tee Bee.

5) Miftahul Luthfi Muhammad, Pesona Ibadurrahman Surabaya:

Duta Ikhwana salamah (DIS), 2003 Ma’had TEE Bee.

b. Data sekunder

Adapun yang menjadi data sekundernya adalah:

1) Syahminan Zaini, Mengenal Manusia Lewat Al-Quran,

Surabaya: Bina Ilmu, 1995.

2) Taufik Yusuf Al-Wa’iey, Kekuatan Sang Murabbi, Jakarta:

I’tishom Cahaya Umat, 2003.

3) Hasan al-Banna, Konsep Pembaruan Masyarakat Islam Jakarta:

Media Da’wah, 1987.

4) Omar Muhammad Al-Toumy, Falsafah Pendidikan Islam,

Jakarta: Bulan Bintang, 1983.

4. Teknik Analisa data

Data-data yang terkumpul tersebut kemudian dianalisis menurut tahapan-tahapan sebagai berikut:

(20)

11

b. Pengorganisasian data, yaitu menyusun dan mensistematiskan

data-data yang diperoleh kedalam kerangka yang telah direncanakan. c. Penemuan hasil yaitu dengan melakukan analisa secara kualitatif

terhadap hasil pengorganisasian data dengan cara menggunakan kaidah-kaidah, teori-teori untuk memperoleh kesimpulan, atau dengan menggunakan istilah lain merupakan cara berpikir deduktif. Sedangkan metode pembaharuannya menggunakan metode sebagai berikut:

Adapun untuk keperluan analisis data digunakan berbagai metode analisa data sebagai berikut:

a. Metode Deduksi, yaitu proses berpikir yang bergerak dari

pernyataan-pernyataan yang umum ke pernyataan yang khusus

dengan penerapan kaidah-kaidah logika10. Dalam kaitannya dengan

pembahasan ini metode deduksi digunakan untuk memperoleh gambaran detailnya pemikiran Miftahul Luthfi Muhammad tentang pendidikan Aqidah dan akhlak.

b. Metode Induksi, yaitu proses berpikir yang berangkat dari yang khusus, peristiwa yang kongkrit, kemudian dari data-data itu ditarik

generalisasi yang mempunyai sifat umum11. Dalam kaitannya

dengan penelitian ini, metode ini digunakan untuk memperoleh gambaran yang utuh terhadap pemikiran Miftahul Luthfi Muhammad.

(21)

12

c. Metode komparasi, yaitu metode dengan cara menggunakan logika

perbandingan teori dengan teori untuk mendapatkan keragaman teori yang masing-masing mempunyai relevansi. Dalam penelitian ini, metode komparasi ini digunakan untuk membandingkan konsep pemikiran Miftahul Luthfi Muhammad tentang pendidikan aqidah dan akhlak dengan pemikiran-pemikiran yang di ungkapkan oleh tokoh-tokoh lain.

d. Metode deskriptif, yaitu bertujuan menggunakan fakta secara

sistematis, faktual dan cermat, dengan kata lain bertujuan menguraikan secara teratur seluruh konsepsi tokoh12, serta digunakan untuk megkaji atau mendeskripsikan persoalan dengan nalar kritis.13

5. Tahap-tahap penelitian

Menentukan permasalahan (latar belakang): analisis ini dimulai dengan menentukan permasalahan yang akan di teliti. Disamping itu penulis mengungkapkan dulu konteks yang melatar belakangi permasalahan yang muncul dan kemudian di identifikasi dan dirumuskan sebagaimana terjabar dalam poin dibawah ini:

a. Menyusun kerangka pemikiran (Theoritical Framework) sebelum

mengumpulkan data, maka konsep dari permasalahan yang akan diteliti haruslah jelas.

b. Mengumpulkan objek data dengan alasan-alasan tertentu

(22)

13

sebagaimana disebutkan.

c. Analisis data, yakni bermula dari teks-teks sebagai data kemudian dianalisis secara holistic (holistycal analysis).

d. Setelah dianalisis, kemudian mencoba menemukan spirit

pembebasan dari konsepsi teologis dalam ruang pendidikan.

F. Penelitian Terdahulu

Kajian ini dimasukkan untuk melengkapi dan menyempurnakan khazanah pengetahuan menyangkut pemikiran Miftahul Luthfi Muhammad yang telah dilakukan oleh peneliti dan pengkaji terdahulu, yakni sebagai berikut:

Muliatul Maghfiroh (D01205149), dalam skripsinya yang berjudul

“Telaah konsep pendidikan akhlak prespektif Miftahul Luthfi Muhammad”

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui konsep pendidikan akhlak prespektif Miftahul Luthfi Muhammad, (2) mengetahui implementasi konsep pendidikan akhlak prespektif Miftahul Luthfi Muhammad, (3) untuk mengetahui faktor pendukung dan faktor penghambat implementasi konsep pendidikan akhlak prespektif Miftahul Luthfi Muhammad. Dan simpulan yang diambil berdasarkan penelitian adalah (1) konsep pendidikan akhlak rabbani yang diterapkan oleh Miftahul Luthfi Muhammad dibagi berdasarkan wahyu, keimanan, dan adab islam (2) seputar kegiatan dakwah

(23)

14

pendidikan akhlak prespektifnya, (3) faktor pendukung dan penghambat dari usaha implementasi beliau selama berdakwah. 14

Dalam kajian penelitian terdahulu yang telah peneliti paparkan, dapat diketahui bahwa terdapat persamaan dan perbedaan penelitian antara judul peneliti dengan penelitian sebelumnya, yakni:

No Nama

Peneliti dan Tahun

Instansi Judul Penelitian Persamaan Perbedaan

1 Ahmad

Rahmatullah 2016 UIN Sunan Ampel Surabaya Analisis Nilai-Nilai Pendidikan Aqidah dan Akhlak menurut Miftahul Luthfi Muhammad dalam buku Filsafat Manusia Mendeskripsik

an pemikiran

tentang pendidikan islam menurut Miftahul Luthfi Muhammad

1. Menganalisis

nilai-nilai pendidikan aqidah menurut Miftahul Luthfi Muhammad

2. Menganalisis

konsepsi memanusiakan manusia menurut Miftahul Luthfi Muhammad.

3. Menganalisis

pola pendidikan akhlak menurut Miftahul Luthfi Muhammad

14 Muliatul Maghfiroh, “Telaah Konsep Pendidikan Akhlak Perspektif Miftahul Luthfi Muhammad,

(24)

15

2 Muliatul

Maghfiroh 2009 UIN Sunan Ampel Surabaya

Telaah Konsep

Pendidikan

Akhlak Perspektif

Miftahul Luthfi

Muhammad

Mendeskripsik

an pemikiran

tentang pendidikan islam perspektif Miftahul Luthfi Muhammad 1. Mendeskripsikan

pada konsep

pendidikan akhlak perspektif

Miftahul Lutfi

Muhammad

2. Mendeskripsikan

implementasi pendidikan

akhlak dalam

pemberdayaan masyarakat

3. Mendeskripsikan

faktor pendukung dan penghambat ada dan tidak

adanya dengan

pendidikan akhlak perspektif Miftahul Luthfi Muhammad

G. Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah analisis dalam penelitian ini sistematika pembahasannya adalah sebagai berikut:

(25)

16

Pada Bab II yakni landasan teori yang memuat tentang hakekat nilai, dan pendidikan aqidah dan akhlak dalam bingkai teori dan penelitian yang relevan.

Pada Bab III tentang paparan data penelitian terdapat Biografi Miftahul Luthfi Muhammad, Karya dan Kegiatan Dakwah Miftahul Luthfi Muhammad, dan Nilai-Nilai pendidikan aqidah dan akhlak dalam buku Filsafat Manusia karya Miftahul Luthfi Muhammad.

Pada Bab IV yaitu analisis data penelitian yang menyajikan kajian analisis hasil penelitian dengan mendeskripsikan hasil penelitian kemudian dianalisis untuk dijadikan sebagai formulasi konsep pendidikan islam inovatif dan relevansinya antara konsep pendidikan aqidah dan akhlak menurut Miftahul Luthfi Muhammad dengan Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti.

(26)

17

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Nilai

1. Pengertian Nilai

Segala sesuatu berupa hal-hal yang ada di dunia ini tidaklah lepas dari sebuah nilai yang terkandung di dalamnya. Nilai merupakan suatu kenyataan yang tersembunyi dibalik sebuah kenyataan yang lain. Kemudian para ahli telah mendefinisikan pengertian nilai dengan berbagai definisi.

Menurut Webster “A value, says is a participle, standard quality

regarde as worth or desirable”,yang mana nilai adalah prinsip, standar, atau kualitas yang dipandang bermanfaat atau sangat diperlukan. Nilai adalah suatu keyakinan atau kepercayaan yang menjadi dasar bagi seseorang atau sekelompok orang untuk memilih tindakannya, atau menilai sesuatu yang bermakna atau tidak bermakna bagi kehidupannya.1

Tertulis dalam buku “Pendidikan Profetik” Khoiron Rosyadi

menjelaskan bahwa nilai merupakan realitas abstrak. Nilai kita rasakan dalam diri kita masing-masing sebagai daya pendorong atau prinsip yang menjadi penting dalam sebuah kehidupan, sampai pada suatu

1

(27)

18

tingkat dimana sementara orang lebih siap untuk mengorbankan hidup mereka dari pada mengorbankan nilai.2

Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan serta dipahami bahwa perilaku dan tindakan seseorang itu dapat ditentukan oleh nilai-nilai yang tertanam dalam diri masing-masing seseorang tersebut. Nilai-nilai itulah yang mendorong dirinya untuk melakukan suatu tindakan.

Banyak cabang dari berbagai ilmu pengetahuan yang telah mempersoalkan khusus terhadap nilai ini, misalnya logika, etika dan estetika. Logika mempersoalkan tentang nilai kebenaran, sehingga dari padanya dapat diperoleh aturan berfikir yang benar dan sistematis. Etika mempersoalkan tentang nilai kebaikan, yakni kebaikan tentang tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan sesamanya. Estetika mempersoalkan tentang nilai keindahan, baik

keindahan tentang alam maupun keindahan yang dibuat oleh manusia.3

Pada hal ini, peneliti mengacu pada pengertian nilai dari sudut logika dan etika, yakni membahas tentang nilai berfikir yang rasional secara agama dan nilai baik buruknya suatu tindakan yang telah dilakukan oleh manusia. Bagaimana manusia bertauhid dan berinteraksi dengan sang pencipta, bergaul dengan sesama manusia, masyarakat dan alam sekitarnya. Maka Bukan nilai keindahan yang dicari oleh penulis, sebab pada dua nilai diatas terdapat pengejewantahan dari pendidikan

(28)

19

islam dalam buku filsafat manusia yang karena peneliti disini fokus terkait dengan pendidikan didalamnya tersebut.

2. Macam- macam Nilai

Berbicara tentang nilai-nilai, agar sebuah pengertian nilai bertambah jelas, maka penulis disini akan memaparkan tentang macam-macam nilai karena dalam implementasi pendidikan aqidah dan akhlak sangatlah diperlukan adanya etika profetik, yakni etika yang dapat mengembangkan atas nilai-nilai ilahiyah.

Dalam hal berikut terdapat beberapa butir nilai, hasil dedukasi dari Al-Qur’an yang dapat dikembangkan untuk sebuah etika profetik pengembangan dan penerapan ilmu pendidikan islam, antara lain4:

a. Nilai ibadah, yakni bagi pemangku ilmu pendidikan Islam,

pengembangan serta penerapannya merupakan ibadah.

b. Nilai ihsan, yakni ilmu pendidikan islam hendaknya dikembangkan

untuk berbuat baik kepada semua pihak pada setiap generasi, disebabkan karena Allah telah berbuat baik kepada manusia dengan aneka nikmat-Nya, dan dilarang berbuat kerusakan dalam bentuk apapun.

c. Nilai masa depan, yakni ilmu pendidikan islam hendaknya ditujukan

untuk mengantisipasi masa depan yang lebih baik, karena mendidik berarti menyiapkan generasi yang akan hidup dan menghadapi

(29)

20

tantangan masa depan yang jauh lebih berbeda dengan masa sebelumnya.

d. Nilai kerahmatan, yakni ilmu pendidikan islam hendaknya ditujukan

bagi kepentingan dan kemaslahatan seluruh umat islam.

e. Nilai amanah, yakni pendidikan islam adalah amanah Allah bagi pemangkunya, sehingga pengembangan dan penerapannya dilakukan dengan niat, cara, serta tujuannya sebagaimana yang dikehendaki-Nya.

f. Nilai dakwah, adalah pengembangan dan penerapan ilmu

pendidikan islam merupakan wujud dakwah dalam menyampaikan ajaran-ajaran islam.

g. Nilai tabsyir, yakni pemangku ilmu pendidikan islam senantiasa memberikan harapan baik kepada umat islam tentang masa depan mereka, termasuk menjaga keseimbangan atau kelestarian alam.

Khoiron Rosyadi dalam bukunya menambahkan macam-macam nilai yang dikandung dalam agama diantaranya5:

a. Nilai sosial yakni interaksi antar pribadi dan manusia berkisar sekitar nilai baik dan buruk, pantas dan tidak pantas. Nilai-nilai baik dalam masyarakat yang dituntut pada setiap anggotanya untuk mewujudkannya disebut susila atau moral.

b. Nilai ekonomi yakni hubungan manusia dengan benda. Nilai

ekonomi menyangkut nilai guna.

5

(30)

21

c. Nilai politik yakni pembentukan dan penggunaan penguasaan.

Secara hierarkis nilai dapat dikelompokkan ke dalam dua macam, yakni (1) nilai-nilai ilahiyyah, yang terdiri dari ubudiyah dan nilai muamalah. (2) nilai etika insan, yang terdiri dari nilai rasional, nilai sosial, nilai individual, nilai ekonomik, nilai politik dan nilai estetik.6

Dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat beberapa macam-macam nilai beserta pengertiannya hasil dedukasi dari Al-Qur’an, baik dalam segi agama, sebuah etika profetik pengembangan dan penerapan ilmu pendidikan islam. Dalam hal ini peneliti membahas nilai-nilai pendidikan menurut Miftahul Luthfi Muhammad yang terdapat dalam buku filsafat manusia, yakni yang sesuai dengan nilai-nilai ilahiyah.

A. Pendidikan Aqidah dan Akhlak

1. Pengertian Pendidikan Aqidah dan Akhlak

Pendidikan menjadi hal terpenting dalam kehidupan manusia yang tak bisa ditinggalkan. Serta menjadi tolak ukur bagaimana arah kehidupan manusia tersebut berlangsung. Hal ini disebabkan pendidikan sangat mempengaruhi dan mewarnai pedoman, tujuan, serta cara berfikir manusia tersebut. Oleh karenanya, pendidikan tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia mulai dari kelahiran hingga menuju kematian.

(31)

22

Menurut Noeng Muhadjirin, dalam buku dimensi-dimensi

pendidikan. Kata “pendidikan’’ dalam bahasa Yunani dikenal dengan

nama paedagogos yang berarti penuntun anak. Dalam bahasa Romawi,

dikenal dengan educare, artinya membawa keluar (sesuatu yang ada di

dalam). Dalam bahasa inggris disebutkan dengan istilah

educate/educationyang berarti “to give moral and intellectual training

artinya menanamkan moral serta melatih intelektual.

Kata pendidikan menurut kamus bahasa arab berarti tarbiyah dari

asal kata rabba-yarubbu yang dimaknai memperbaiki, menguasai

urusan, menuntun, menjaga dan memelihara. Imam al-Baidlawi didalam tafsirnya, Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil mengatakan:

“Makna asal ar-Rabb adalah at-Tarbiyah yaitu menyampaikan

sesuatu sedikit demi sedikit hingga sempurna. Kemudian kata itu

dijadikan sifat Allah swt sebagai mubalaghah (penekanan).7

Pendidikan dalam arti yang luas adalah usaha untuk mengubah dan memindahkan nilai kebudayaan kepada setiap individu dalam suatu masyarakat.8

Dari beberapa pengertian diatas diperkuat dengan pandangan Abdurrahman al-Bani yang menyimpulkan bahwa pendidikan (tarbiyah) terdiri dari empat unsur yaitu; pertama, menjaga dan memelihara fitrah anak menjelang baligh. Kedua, mengembangkan seluruh potensi dan kesiapan yang bermacam-macam. Ketiga, mengarahkan seluruh fitrah

7 Abdurrahman an-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, (Bandung: Diponegoro,

1996), 31.

(32)

23

dan potensi ini menuju kepada kebaikan dan kesempurnaan yang layak

baginya. Keempat, proses ini dilaksanakan secara bertahap,

sebagaimana yang diisyaratkan oleh al-Baidlawi dengan “sedikit demi

sedikit”.

Dalam hal ini pendidikan bukanlah proses yang diorganisasikan secara teratur, terencana dengan menggunakan metode-metode yang dipelajari serta berdasarkan aturan-aturan yang telah disepakati oleh komunitas Negara. Pengertian ini merujuk pada fatwa bahwa manusia merupakan makhluk yang belajar dari peristiwa alam dan fenomena kehidupan yang ada untuk mengembangkan kehidupan.

Kemudian pendidikan merupakan proses yang terjadi secara sengaja, direncanakan, didesain dan diorganisasikan berdasarkan aturan yang berlaku terutama perundang-undangan yang dibuat atas dasar kesepakatan masyarakat.9 Dari sini dapat diambil kesimpulan untuk

memahami makna pendidikan10:

a. Pertama: pendidikan adalah proses yang mempunyai tujuan,

sasaran, dan obyek.

b. Kedua, secara mutlak pendidik sebenarnya adalah Allah, pencipta fithrah dan pemberi berbagai potensi. Dia-lah yang memberlakukan hukum dan tahapan perkembangan serta interaksinya. Dan

9 Fatchul Muin, Pendidikan Karakter Kontruksi Teoritik & Praktik. (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,

2011), 288.

(33)

24

hukum untuk mewujudkan kesempurnaan, kebaikan, serta kebahagiaan.

c. Ketiga, pendidikan menuntut adanya langkah-langkah yang secara

bertahap harus dilalui oleh berbagai kegiatan pendidikan dan pengajaran. Sesuai dengan urutan yang telah disusun secara sistematis.

d. Keempat, kerja pendidik harus mengikuti aturan penciptaan dan pengadaan yang dilakukan Allah. Sebagaimana harus mengikuti

syara’ dan Din Allah.

Selanjutnya aqidah secara etimologis berarti simpulan, ikatan, sangkutan. Secara teknis diartikan juga dengan iman, kepercayaan dan keyakinan. Hasbi ash-Shidqi dalam bukunya sejarah dan pengantar ilmu tauhid mengatakan:

Aqidah menurut ketentuan bahasa arab ialah sesuatu yang

dipegang teguh dan terhunjam kuat didalam lubuk jiwa dan tak

dapat beralih dari padanya”.11

Menurut Hasan al-Banna,

Aqidah adalah sesuatu yang harus diyakini oleh hati dan

dipercayai oleh jiwa, sehingga menjadi suatu keyakinan yang tidak

ada keraguan dan kebimbangan”.12

Bila seseorang meyakini suatu kebenaran, dia harus menolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu. Artinya seseorang tidak akan bisa meyakini sekaligus dua hal yang bertentangan.

11 Syahminan Zaini, Kuliah Aqidah Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983), 51.

(34)

25

Muhammad al-Ghazali seorang ulama besar dari mesir mengatakan bahwa:

“Apabila aqidah telah tumbuh pada diri seseorang, maka

tertanamlah dalam jiwanya keyakinan bahwa Allah swt sajalah yang paling berkuasa. Segala wujud yang ada ini hanya makhluk belaka. Ia akan senantiasa berkomunikasi dengan penuh rasa tanggung jawab dan

waspada dalam segala urusan”.13

Ada beberapa istilah yang semakna atau hampir sama artinya dengan istilah aqidah antara lain:

a. Iman: secara bahasa diartikan tasdiq atau membenarkan dan secara istilah sesuatu yang diyakini di dalam hati diucapkan dengan lisan dan mengamalkan dengan perbuatan.

b. Tauhid: artinya mengesakan atau hanya mengakui satu tuhan.

Ajaran tauhid adalah tema sentral aqidah dan iman. Oleh sebab itu pembahasan ilmu tauhid identik dengan aqidah dan iman bahkan

menjadi pokok dalam mengawali keyakinan.14

c. Ushuluddin: terdiri dari dua kata “ushul” yang berarti pokok dan

ad-din” yang berarti agama, jadi ilmu yang membahas tentang

pokok-pokok kepercayaan di dalam agama. Dan aqidah merupakan pokok pokok ajaran agama islam.

d. Ilmu Kalam: yang berarti perkataan atau pembicaraan. Dinamai ilmu kalam karena luasnya pembicaraan dan diskusi yang terkait

(35)

26

dengan masalah-masalah aqidah dalam beberapa hal. Semisal, tentang taqdir, dan status al-Quran.

Dari beberapa pengertian diatas bahwa aqidah adalah ikatan atau hal yang mengikat. Maka apabila seseorang berkutat pada kristologi maka aqidah yang dipakai tentu aqidah nasrani, jika seorang kafir maka aqidah yang dipakai adalah aqidah kafir, dan jika seorang muslim maka pasti yang diyakini adalah aqidah Islamiyah. Oleh karena itu aqidah adalah mengikat bagi para penganut tertentu. Pembahasan aqidah islam mencakup seputar hal yang sangat dasar dalam keimanan, ketuhanan, dan seputar aspek spiritualitas manusia.

Aqidah dan keimanan yang dimiliki seseorang tidak selalu sama dengan orang lain. Ia memiliki tingkatan-tingkatan tertentu, tergantung pada upaya orang itu. Iman yang tidak terpelihara niscaya akan berkurang, mengecil, atau hilang sama sekali. Untuk itu terdapat beberapa tingkatan-tingkatan aqidah yaitu15:

a. Taklid, yaitu tingkat keyakinan yang didasarkan atas pendapat orang yang diikutinya tanpa dipikirkan.

b. Yakin, yaitu tingkat keyakinan yang didasarkan atas bukti dan dalil yang jelas, tetapi belum menemukan hubungan yang kuat antara obyek keyakinan dengan dalil yang diperolehnya. Semisal, seseorang yang meyakini segala sesuatu berdasarkan ilmu, bahwa di Mekkah itu ada Ka’bah. Kita percaya, karena menurut teorinya

15

(36)

27

begitu, ilmunya begitu. Apapun yang terjadi pada ka’bah kita

percaya, karena belum tahu yang sebenarnya bagaimana.

c. Ainul Yakin, yaitu tingkat keyakinan yang didasarkan atas dalil rasional, ilmiah dan mendalam, sehingga mampu membuktikan hubungan antara obyek keyakinan dengan dalil-dalil serta mampu memberikan argumentasi yang rasional terhadap sanggahan dan bantahan yang datang. Perbedaannya dengan yakin, seseorang yang hanya mengetahui ilmu dan teorinya saja namun bagi orang yang

ainul yakin melihat dan mengetahui secara detail tentang Ka’bah

yang ada di dalam Makkah tersebut sehingga dia berkata sesuai dengan apa yang dia lihat.

d. Haqqul Yakin, yaitu tingkat keyakinan yang disamping didasarkan

atas dalil-dalil rasional, ilmiah, mendalam, juga mampu membuktikan hubungan antara obyek keyakinan dengan dalil-dalil serta mampu menemukan dan merasakan keyakinan tersebut melalui pengalaman agamanya. Orang yang telah merasakan lezatnya tawaf, berdoa di Multazam, merasakan diijabahnya doa,

akan mengatakan bahwa Ka’bah itu luar biasa sekali, berbeda

keyakinannya dengan orang yang berdasarkan ilmu tanpa membuktikannya.

Selanjutnya, akhlak menurut bahasa adalah bentuk jamak dari

(37)

28

Akhlak juga disamakan dengan kesusilaan dan sopan santun.16

Sedangkan pengertian akhlak menurut istilah ialah suatu kehendak jiwa manusia yang menimbulkan perbuatan dengan mudah karena sebuah kebiasaan tanpa memerlukan pertimbangan pikiran terlebih dahulu.

Tiga pakar di bidang akhlak yaitu Ibnu Maskawaih, al-Ghazali, dan Ahmad Amin menyatakan bahwa akhlak adalah perangai yang melekat pada diri seseorang yang dapat memunculkan perbuatan baik tanpa

mempertimbangkan pikiran terlebih dahulu.17

Abuddin Nata dalam bukunya pendidikan dalam perspektif hadist menjelaskan bahwa ada lima ciri-ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, pertama perbuatan akhlak tersebut sudah menjadi suatu kepribadian yang tertanam kuat dalam jiwa seseorang. Kedua, perbuatan akhlak merupakan yang dilakukan dengan acceptable dan tanpa

pemikiran. Ketiga, perbuatan akhlak merupakan perbuatan tanpa

paksaan. Keempat, perbuatan dilakukan untuk menegakkan kalimat Allah.18

Berikut pemaparan beberapa istilah terkait dengan kata akhlak, diantaranya yaitu:

a. Akhlak: budi pekerti atau kelakuan, dalam bahasa arab disebut tabiat, perangai, kebiasaan.

16 A. Mustafa, Akhlaq Tasawuf, (Jakarta: Pustaka Setia, 1999), 58.

17 Ismail Nawawi Uha, Pendidikan Agama Islam Isu-Isu Pengembangan Kepribadian dan

Pembentukan Karakter Muslim Kaffah, (Jakarta: DwiPutra Pustaka Jaya, 2013), 278.

18 Abudin nata dan Fauzan, Pendidikan Dalam Perspektif Hadist, (Jakarta: UIN Jakarta Press. 2005),

(38)

29

b. Karakter: watak atau sifat, fitrah yang ada pada diri manusia yang terikat dengan hukum dan ketentuan tuhan. Bersemayam dalam diri seseorang sejak kelahirannya. Tidak bisa berubah, meski apapun yang terjadi. Bisa tertutupi dengan berbagai kondisi.19

c. Tabiat: sifat, kelakuan, perangai, kejiwaan seseorang yang bisa berubah ubah karena interaksi sosial dan sangat dipengaruhi oleh kondisi kejiwaan. Sifat dalam diri yang terbentuk oleh manusia tanpa dikehendaki dan tanpa diupayakan.20

d. Adat: sifat ajaran dalam diri yang diupayakan manusia melalui latihan, yakni berdasarkan keinginan.

e. Moral: ajaran tentang budi pekerti, mulia, ajaran kesusilaan. Moralitas adat istiadat, sopan santun dan perilaku. 21

f. Etika: ilmu tentang akhlak dan tata kesopanan; peradaban atau kesusilaan. Menurut Ngainun Naim dan Achmad yaitu, pertama: nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya,

merupakan “sistem nilai” yang bisa berfungsi dalam kehidupan

seseorang atau kelompok sosial. Kedua: ilmu tentang baik dan buruk. 22

19 Hamka Abdul Aziz, Pendidikan Karakter berpusat Pada hati, (Jakarta: Al-Mawardi, 2011), 48. 20 M. Furqon Hidayatullah, Pendidikan karakter membangun peradaban bangsa. (Surakarta: Yuma

Pustaka, 2010), 11.

21 Bambang Mahirjanto, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Populer, (Surabaya: Bintang Timur,

1995), 414.

22 Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, pendidikan multikultural: konsep dan aplikasi (Yogyakarta:

(39)

30

g. Budi pekerti: perilaku, sikap yang dicerminkan oleh perilaku. 23 Dapat disimpulkan dari beberapa pengertian pendidikan, aqidah, dan akhlak di atas adalah pendidikan aqidah dan akhlak merupakan usaha sadar dan tidak sadar yang dilakukan oleh seseorang pendidik

untuk membuat pondasi keimanan yang kuat serta

mengimplementasikannya berupa akhlak dan tabiat yang baik pada peserta didik, sehingga terbentuk manusia yang taat kepada Allah Swt dan rasul-Nya. Pembentukan pondasi keimanan dan akhlak ini dilakukan secara kontinyu dengan tidak ada paksaan dari pihak manapun oleh pendidik.

Pendidikan aqidah dan akhlak diartikan sebagai latihan mental dan fisik yang menghasilkan manusia berbudaya tinggi untuk melaksanakan tugas, kewajiban dan tanggung jawab baik secara vertikal kepada sang khaliq maupun horizontal antara sesama makhluk. Oleh karena itu kita sebagai umat islam untuk menjadi penganut agama yang baik maka harus mampu memahami, serta menghayati dan tak lupa juga mengamalkan ajaran-ajaran agama Allah sesuai aqidah dan syariat islam. Untuk tujuan itulah manusia sebaiknya dididik melalui proses pendidikan aqidah dan akhlak.

Kesimpulan, bahwasanya pendidikan merupakan suatu proses mendidik, memelihara, membentuk serta memberikan latihan mengenai aqidah dan akhlak dalam kecerdasan berfikir dan bertindak baik yang

(40)

31

bersifat formal ataupun non formal berdasarkan landasan agama islam. Pada sistem pendidikan islam ini khususnya memberikan pendidikan tentang aqidah salimah dan akhlaq al-karimah agar dapat menjadikan manusia yang nantinya memiliki keimanan yang kokoh sekaligus kepribadian yang sholeh atau sholihah.

2. Tujuan Pendidikan Aqidah dan Akhlak

Tujuan dari pendidikan islam adalah membentuk manusia yang beriman, bertaqwa, berakhlaq mulia, maju dan mandiri sehingga memiliki ketahanan rohaniah yang tinggi serta mampu beradaptasi dengan dinamika perkembangan masyarakat.

Prinsip dasar pendidikan dalam ajaran islam, adalah mendidik dan mengajar kepada peserta didik dengan memberikan keteladanan dan arahan, supaya mereka kaum terdidik nantinya setelah menjadi manusia dewasa; tetap terikat dengan ikatan yang menyeluruh dan langgeng antara diri mereka sebagai makhluk dengan Allah Ta’ala sebagai al -Khaliq Jalla Jalaluh, yang didasarkan atas kesadaran, kepahaman, dan keilmuan mereka di dalam mengimani totalitas keberadaan wahyu dan nash.24

Asas pendidikan islam juga tidak lain adalah masuknya iman di dalam hati manusia. Hanya dengan iman seseorang derajatnya menjadi berbeda dengan yang lain. Antara orang satu dengan yang lain, hanya

(41)

32

dibedakan keimanannya kepada Allah Swt. Oleh karena itu, didalam konsep pendidikan islam dikatakan pendidikan itu berhasil atau sukses manakala manusia yang terdidik itu telah memiliki pemahaman dan sikap keimanan, yang terjewantahkan ke dalam perilaku takwallah.25

Menuntun dan mengemban dasar ketuhanan yang dimiliki manusia sejak lahir. Manusia sejak lahir telah memiliki potensi keberagamaan (fitrah), sehingga sepanjang hidupnya membutuhkan agama dalam rangka mencari keyakinan terjadap tuhan. Aqidah islam berperan memenuhi kebutuhan manusia tersebut, menuntun, dan mengarahkan manusia pada keyakinan yang benar tentang tuhan, tidak menduga-duga atau mengira-ngira, melainkan menunjukkan tuhan yang sebenarnya.

Aqidah harus mendatangkan ketentraman jiwa. Artinya lahir nya seseorang bisa saja berpura-pura meyakini sesuatu, akan tetapi hal itu tidak akan mendatangkan ketenangan jiwa, karena dia harus melaksanakan sesuatu yang berlawanan dengan keyakinannya. Bagi seorang muslim, aqidah adalah segala-galanya. Tatkala umat islam mengabaikan aqidah mereka yang benar yang harus mereka pelajari melalui ilmu tauhid yang didasari oleh bukti-bukti dan dalil yang kuat mulailah kelemahan masuk kedalam keyakinan sebagian besar kaum muslimin. Kelemahan aqidah akan berakibat pada amal dan produktivitas mereka.

(42)

33

Maka aqidah yang benar merupakan pondasinya bangunan agama serta merupakan syarat sahnya amal sebagaimana firman Allah Swt:

ۡ لُق

ۡ

َۡ

ق

لقإۡٓ قَ ُيۡ ُكُ ثقكمۡٞ قَقبۡ۠اقنقأۡٓاق َنقإ

ۡ

ۡق قفۡۖٞ قحٰ قوۡٞ ٰقلقإۡ ُكُ ٰ

قلقإۡٓاق َنقأ

ۡقن قَۡ

ۡققكبقرۡقء

ٓاق قلْۡا ُج قي

ۦۡ

ا محق ٰ قصۡ

ٗق قعۡ لق عقي قف

م

ۡ

ۡققكبقرۡقةقلاق قعقبۡ كق َُيۡ

َقو

ق

ۡٓۦۡ

ۡقح

ق

أ

ۡاۢق

١١وۡ

Artinya: Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".26(QS. al-Kahfi: 110)

Adapun tujuan akhlak menurut Barmawie Umary yaitu supaya dapat terbiasa atau melakukan yang baik, indah, mulia, terpuji, serta menghindari yang buruk, jelek, hina, tercela. Dan supaya hubungan kita dengan Allah SWT dan dengan sesama makhluk selalu terpelihara dengan baik dan harmonis.27

Dalam hal ini, telah dikemukakan oleh Muhammad Athiya

al-Abrasi, beliau mengatakan bahwa “tujuan daripada pendidikan akhlak

adalah untuk membentuk orang-orang yang bermoral baik, berkemauan keras, sopan dalam berbicara dan perbuatan, mulia dalam tingkah laku serta beradab”.28

26Al-Quran dan Terjemahnya, (Madinah: Mujamma’ al-Malik Fahd Lithiba’at al-Mushaf, 1998). 27 Barmawie Umary, Materi Akhlak (Solo: CV. Ramadhani, 1991), 2.

28 Muhammad Athiya al-Abrasi, Dasar-dasar pendidikan islam, terj Bustami Abdul Ghani, (Jakarta:

(43)

34

Pendidikan akhlak dalam islam diarahkan pada tujuan yang tinggi, yaitu melalui penerapan akhlak yang mulia dalam kehidupan sehari-hari, diantaranya adalah29:

a. Meraih keridhaan Allah Swt. dan berpegang teguh kepada segala perintah-Nya.

b. Menghormati manusia karena harkat dan kepribadiannya.

c. Membina potensi dan mengembangkan berbagai sifat yang baik dan

mulia.

d. Mewujudkan keinginan yang baik dan kuat.

e. Memelihara kebiasaan yang baik dan bermanfaat.

f. Mengikis perilaku yang tidak baik pada manusia dan menggantinya

dengan semangat kebaikan dan keutamaan.

Dengan ini maka dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pada

pendidikan aqidah dan akhlak adalah: Pertama, supaya manusia dapat

memahami dan mengembangkan keimanan kepada Allah Swt sekaligus mengerti eksistensi dirinya sebagai manifestasi tuhan, khalifah fi ardh

dan hamba Allah. Kedua, agar interaksi antara manusia dengan sang pencipta, manusia dengan manusia yang lain, dan manusia dengan alam atau lingkungan senantiasa terjaga dengan harmonis, karena pendidikan aqidah dan akhlak sangat menunjang peningkatan keimanan dan ketaqwaan peserta didik kepada Allah Swt serta dapat memberikan

29Adnan Hasan Shalih Baharits, Tanggung jawab Ayah Terhadap Anak laki-laki, (Jakarta: Gema

(44)

35

pengetahuan sekitar pendidikan agama islam kearah yang lebih baik.

Ketiga, agar manusia terbiasa melakukan hal-hal baik, terpuji, mulia,

serta menghindari hal yang buruk, hina serta tercela.

Perilaku dan tindak tanduk seseorang adalah pancaran dari aqidah dan kepercayaan yang bersemayam didalam hati dan pikirannya. Jika aqidah seseorang baik dan mantap, akan baik pulalah dan mantap segala tingkah laku dan perbuatannya. Sebaliknya jika aqidahnya mengambang dan buruk akan menjadi buruk pulalah tingkah lakunya dan tidak menentu. Karenanya maka aqidah yang bersandarkan tauhid dan iman itu merupakan sesuatu kebutuhan rohaniah yang vital bagi tiap manusia untuk menyempurnakan kepribadiannya dan menegakkan sifat-sifat kemanusiannya yang sejati.30

Sejalan dengan pernyataan diatas dengan sabda Rasulullah Saw yang berbunyi:

ۡاق خۡ سحأۡانا يإۡن م لاۡل كأ

(

ي مر اۡهاور

)

Artinya: “orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang

terbaik akhlaknya”.31

Kemudian dengan adanya pendidikan aqidah dan akhlak adalah untuk mengembangkan nilai, sikap dan perilaku peserta didik yang memancarkan keimanan dan akhlak mulia atau berbudi luhur, lewat iman dan budi pekerti ini kepada peserta didik akan diterapkan nilai dan perilaku yang positif, sehingga tercapai kehidupan yang lebih baik dan

(45)

36

memperoleh kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Esensinya seseorang tersebut harus bisa mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk dan mampu membandingkan antara keduannya, kemudian melakukan hal yang terpuji dan menjauhi hal-hal tercela.

Dalam semua itu sudah termanifestasikan dalam diri Rasulullah Saw, sehingga pendidikan islam mempunyai acuan yang valid untuk membangun pendidikan aqidah dan akhlak. Hal ini diperkuat dengan tujuan yang sama oleh al-Quran yang berbunyi:

ۡ ق َل

ۡ

ۡقل ُسقرۡ قِۡ ُك

قلۡقنقَ

ٱ

ۡق َّ

ۡ

ۡق قسقحٌۡةق س

ُ

أ

ْۡا ُج قيۡقن قَۡ ق قك ۡٞ

ٱ

ۡق َّ

ۡۡقو

ٱۡق

ل

ۡقم ۡ

ٱ

ۡق قخٓ

ۡ

ۡق قكقمقو

ٱ

ۡق َّ

ۡ

ۡامرقثقك

٢١ۡ

Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.32 (QS. al-Ahzab: 21)

3. Metode Pendidikan Aqidah dan Akhlak

Metode berasal dari bahasa latin meta yang berarti melalui dan

hodos yang berarti jalan atau cara ke. Dalam bahasa arab metode disebut

Tariqah artinya jalan, cara, sistem atau ketertiban dalam mengerjakan

sesuatu. Sedangkan menurut istilah ialah suatu sistem atau cara yang mengatur suatu cita-cita33. Dalam hal ini metode yang dimaksud dalam metode pendidikan dan pengajaran.

(46)

37

Metode pengajaran menurut beberapa ahli seperti yang dikutip oleh

Omar Muhammad al-Toumy adalah sebagai berikut:34

a. Menurut Prof. Moh. Abd. Rahim Ghunaimah, metode mengajar

adalah cara-cara yang praktis yang menjalankan tujuan-tujuan dan maksud-maksud pengajaran.

b. Prof. Ali al-Jumbalathy dan Abu Fath at-Tawanisy mengartikan metode sebagai cara-cara yang diikuti oleh guru untuk menyampaikan pengetahuan ke dalam otak peserta didik

c. Edgar Bruce Wesley mendefinisikan metode pendidikan sebagai

rentetan kegiatan terarah bagi guru yang menyebabkan timbulnya proses belajar pada peserta didik, atau proses yang pelaksanaannya sempurna menghasilkan proses belajar, dan atau adalah jalan yang dengannya pengajaran itu menjadi terkesan.

Urgensi metode sangat diperlukan dalam mencapai tujuan dalam pendidikan, sehingga dapat tepat mengenai sasaran dan target. Keurgensian tersebut juga sudah ada sejak para nabi-nabi mengemban tugas dalam risalahnya. Hal ini seperti yang disabdakan oleh Rasulullah saw:

ىۡ

كنوۡ لزا مۡساناۡل نأۡناۡان أۡءايبنأاۡراعمۡ ح

ۡر قۡ

ل ع

Artinya: “Kami para nabi, diperintahkan untuk menempatkan seseorang pada posisinya, berbicara kepada mereka sesuai dengan kemampuan akalnya”.35

34 Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,

1983), 551-552.

(47)

38

Dari hadits diatas menjelaskan bahwa para nabi dan rasul dalam menjalankan misinya juga menyesuaikan materi dan kondisi kepada para umatnya, sehingga apa yang disampaikan dapat diterima dengan mudah dan memahamkan semua golongan. Ini berarti para nabi dan rasul dalam dakwahnya memakai metode dan strategi untuk keberhasilan misinya.

Adapun langkah-langkah yang perlu diambil dalam mengajar aqidah Islamiyah antara lain:36

a. Dengan pendekatan dogmatis yaitu pendekatan berdasarkan dogma

yang berarti sesuatu yang harus diterima dengan yakin sebagai suatu kebenaran.

b. Pendekatan normatif yaitu pendekatan berdasarkan norma yaitu ukuran atau ketentuan yang berlaku.

c. Pendekatan rasional yaitu pendekatan dengan akal pikir yang dapat

diterimanya.

d. Pendekatan praktis atau keteladanan yaitu pendekatan berdasarkan

kenyataan dalam praktik yang diteladani.

Teologi al-Ghazali dalam pola strukturnya terbagi atas tiga fase setiap fase memiliki objek, tujuan, metode, materi, literatur dan hasil. Fase tersebut antara lain37;

36 Chabib Toha dkk, Metodologi Pengajaran Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan FTK IAIN

Walisongo Semarang, 1999), 90.

37 Zurkani Jahja, Teologi al-Ghazali Pendekatan Metodologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),

(48)

39

a. Fase I: Penanaman.

Fase ini dinamakan demikian, karena al-Ghazali mentamsilkan pendidikan aqidah pada seseorang dengan penanaman sebatang

“pohon yang baik” (Syajarat Thayyibah), seperti tersebut dalam al-Quran surat Ibrahim ayat 24. Fase ini berlaku bagi semua orang tanpa terkecuali, karena tujuannya adalah agar setiap orang mengimani kebenaran materi aqidah yang benar (haq) tanpa ragu-ragu. Untuk pencapaian tujuan dalam fase ini al-Ghazali mengemukakan dua hal penting yaitu, materi aqidah islam yang dianggapnya benar dan metode menanamkan keyakinan terhadap kebenaran aqidah dalam diri seseorang.

Adapun metode yang dipergunakan adalah menekankan pada pengajaran yang diberikan sejak dini kepada anak-anak. Yaitu sejak dia sudah bisa mulai menghafal kalimat-kalimat pendek, kemudian diberikan proposisi-proposisi yang berkaitan tentang pokok-pokok aqidah sebagaimana tersebut dalam materi agar bisa dihafalnya secara bertahap. Menurut al-Ghazali, fase-fase yang dilalui menuju terwujudnya iman dalam diri seseorang ialah menghafal materi, memahaminya, menyimpulkan dalam hati, meyakininya dan membenarkan (tashdiq).

b. Fase II: Pemantapan.

(49)

40

tergoyahkan. Pentingnya fase ini dalam struktur teologi al-Ghazali karena terdapat dua fakta; pertama, adanya orang yang sementara merasa puas dengan menerima materi aqidah tanpa argumen, sehingga keyakinan terhadap kebenaran materi tersebut belum mantap atau masih ragu-ragu. Kedua, adanya gangguan dari ahli

bid’ah yang berusaha membelotkan orang dengan aqidah yang benar pada aqidah yang bathil dengan mengemukakan dalil dan argumen rasional.

Untuk menghadapi fakta yang pertama al-Ghazali menekankan penggunaan metode pengajaran dan pendidikan yang lebih intensif dan komprehensif. Diantaranya dianjurkan supaya: banyak diajarkan al-Quran dan tafsirnya, hadis dan pengertiannya, melaksanakan ibadah dengan intensif, banyak membaca al-Quran dan bergaul dengan orang orang saleh. Menurut al-Ghazali dengan memahami argumen- argumen materi aqidah yang berasal dari al-Quran dan Hadits, seseorang memperoleh efek psikologis dari ibadah yag dilaksanakan, dan dengan mengambil teladan dari sikap dan tingkah laku orang-orang saleh, maka keyakinan aqidah orang akan bertambah mantap.

(50)

41

mematahkan ataupun memperkuat argumentasi sendiri dalam mempertahankan aqidah yang dimiliki.

Sebagai hasil dari fase ini ialah orang bisa memperoleh peringkat iman al-mutakallimin karena daya menyerap argumen baik rasional maupun tekstual yang baik, dan setingkat lebih

menguasai daripada iman al-awwam dari fase yang pertama.

c. Fase III: Penghayatan.

Dinamai demikian karena tujuannya adalah agar orang mukmin menghayati hakekat kebenaran aqidah yang diyakininya. Untuk

mencapai tujuan dalam fase ini al-Ghazali menetapkan suluk

(mencapai jalan menuju tuhan) suatu sistem dalam praktik sufisme sebagai metodenya. Gambaran ringkas praktek suluk adalah melakukan amal secara intensif, mentakwakan pribadi, menahan diri dari memperturutkan hawa nafsu, dan mengintensifkan riyadhah dan mujahadah.

Aqidah dalam ajaran islam merupakan dasar bagi segala tindakan muslim agar tidak terjerumus kedalam perilaku-perilaku syirik. Syirik disebut kezaliman karena perbuatan itu menempatkan ibadah tidak pada tempatnya dan memberikan kepada yang tidak berhak menerimanya. Orang yang memiliki aqidah yang benar, ia akan mampu mengimplementasikan tauhid itu dalam bentuk akhlak yang mulia (al-akhlaq al-karimah).38

(51)

42

Perhatian islam dalam pembinaan akhlak selanjutnya dapat dianalisis pada muatan akhlak yang terdapat pada seluruh aspek ajaran islam. Ajaran islam tentang keimanan misalnya sangat berkaitan erat dengan serangkaian amal shalih dan perbuatan terpuji. Iman yang tidak disertai dengan amal shalih dinilai sebagai iman yang palsu, bahkan dianggap sebagai kemunafikan.

Adapun metode-metode pembinaan atau pengajaran akhlak menurut hamka39:

a. Metode Alami

Sebagai berkat anugerah Allah, manusia diciptakan telah dilengkapi dengan akal, syahwat dan nafsu marah. Semua anugerah tersebut berjalan sesuai dengan hajat manusia yang diperlukan adanya keseimbangan. Metode alamiah ini adalah suatu metode dimana akhlak yang baik diperoleh bukan melalui didikan, pengalaman ataupun latihan, tetapi diperoleh melalui naluri yang dimilikinya secara alami. Sebagaimana firman Allah:

ۡق َّاۡقةق ْطقفًۡا يق قحۡ ق يقكلق ۡ ق ق ْجقوْۡ قق

ق ق

ف

ا

ۡقتۡ

َۡاق ْيق قعۡ قساَناۡق قطقفۡ قِ

ق

َل

ۡ قليق ْ

ۡ َ قكقلقوُۡ قكيق

ْ

لاۡ ُ يقكلاۡ ق ق قمۡق َّاۡق

ْ ق قِ

ۡ

ق

أ

ۡقن ُ ق ْعقيۡ

َۡ قساَناۡق قَْك

ق

Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.40 (QS. Ar.Rum: 30)

39 Djasuri, Metode Pengajaran Agama, (Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang

dan Pustaka pelajar, 2004), 112-113.

(52)

43

Pada dasarnya manusia mempunyai kecenderungan untuk berbuat baik, seperti halnya berakhlak baik. Sebab bila berbuat jahat sebenarnya sangat bertentangan dan tidak dikehendaki oleh jiwa (hati) yang mengandung fitnah tadi. Meskipun demikian tadi tidak dapat diharapkan secara pasti tanpa adanya metode atau faktor lain yang mendukung seperti pendidikan, pengalaman, latihan dan lain sebagainya. Tetapi paling tidak metode alami ini jika dipelihara dan dipertahankan melakukan akhlak yang baik sesuai fitrah dan hati manusia. Metode ini cukup efektif untuk menanamkan kebaikan pada anak, karena pada dasarnya manusia mempunyai potensi untuk berbuat kebaikan tinggal bagaimana memelihara dan menjaganya.

b. Metode Mujahadah dan Riyadhah

Orang yang ingin dirinya menjadi penyantun, maka jalannya dengan membiasakan bersedekah, sehingga menjadi tabiat yang mudah mengerjakannya dan tidak merasa berat lagi.

(53)

44

bimbingan yang kontinyu kepada peserta didiknya, agar tujuan pengajaran akhlak ini dapat tercapai secara optimal dengan melaksanakan program-program yang telah ditetapkan.

c. Metode Teladan

Akhlak yang baik tidak hanya diperoleh melalui mujahadah, latihan atau riyadhoh dan diperoleh secara alami berdasarkan fitrah (alami), akan tetapi juga bisa diperoleh melalui teladan, yaitu mengambil contoh atau meniru orang yang dekat dengannya. Oleh karena itu dianjurkan untuk bergaul dengan orang-orang yang berbudi luhur.

Pergaulan sebagai salah satu bentuk komunikasi manusia dan sangat berpengaruh dalam memberikan pengalaman-pengalaman yang bermacam-macam. Metode teladan ini memberikan kesan atau pengaruh atas tingkah laku perbuatan manusia. Sebagaimana

dikatakan Hamka bahwa “Alat dakwah yang sangat utama adalah

akhlak” . Budi yang nyata dapat dilihat pada tingkah laku sehari-hari, maka meneladani Nabi Muhammad adalah cita-cita tertinggi dalam kehidupan muslim.

(54)

45

yang lurus. Pembiasaan terhadap perbuatan yang baik pada waktu kecil jauh lebih mudah dan bermanfaat bila dibandingkan dengan pembiasaan setelah dewasa. Hal itu karena pada masa kanak-kanak organ saraf masih halus dan masih mudah untuk menerima pembentukan.

Upaya seseorang agar memiliki akhlak yang baik, maka yang harus dilakukan oleh orang tersebut adalah dengan cara membiasakan berkelakuan baik disetiap harinya. Dengan upaya seperti inilah seseorang akan terlihat dalam perilaku sikap yang mulia dan timbul dari faktor kesadaran bukan karena adanya dorongan atau bahkan paksaan dari orang lain.

Namun, dalam tahap-tahap tertentu, pembinaan akhlak, khususnya akhlak lahiriah dapat pula dilakukan dengan cara paksaan yang lama kelamaan tidak lagi terasa dipaksa. Seseorang yang ingin menulis dan ingin mengatakan kata-kata yang bagus misalnya, pada mulanya ia harus memaksakan tangan dan mulutnya menuliskan atau mengatakan kata-kata dan huruf yang bagus. Apabila pembiasaan ini sudah berlangsung lama, maka paksaan tersebut sudah tidak terasa lagi sebagai paksaan.41

(55)

46

BAB III

PAPARAN DATA PENELITIAN

A. Biografi Miftahul Luthfi Muhammad.

1. Riwayat Kehidupan Miftahul Luthfi Muhammad

Nama lengkapnya adalah Miftahul Luthfi Muhammad, lahir di kota Jember, tepatnya 29 September 1969. Ayahnya bernama

Zainuddin Ali Basa, Ibunya bernama Muslicha Ya’kub, Beliau adalah

anak pertama dari tiga bersaudara. Kedua orang tuanya telah berhasil mendidik dan membimbing dengan sabar dan bijaksana. Sejak awal orang tuanya selalu menginginkan Luthfi menjadi anak yang saleh, yang berguna bagi keluarga, masyarakat, agama, nusa, dan bangsanya. Miftahul Luthfi Muhammad selalu berharap untuk mewujudkan keinginan orang tuanya sampai akhir hayatnya.

(56)

47

Ayah beliau merupakan cucu dari KH. Ali Basyah yang masih keturunan dari prajurit Pangeran Diponegoro Sentot Ali Basyah. Beliau hijrah dari Gunung Lawu ke Gunung Ali Desa Kedung jambe, Singgahan, Tuban dan bertapa di atas gunung tersebut setelah pangeran Diponegoro tertangkap oleh Belanda.

Jalur keilmuan dari kakek Gus Luthfi sempat terputus karena ayah beliau memilih menjadi insinyur dalam bidang bangunan. Namun

hubungan kepada para ulama’ beliau jaga dengan selalu mengajak anaknya sowan kepada mereka. Salah satu yang paling sering adalah mengajak sowan kepada KH. Maimun Zubair di Sarang, Rembang. Hal tersebut disebabkan karena Kyai Maimun selalu minta digambarkan ketika akan membangun pesantren yang akan dibangun.

Miftahul Luthfi Muhammad menikah dengan seorang wanita yang berbudi pekerti luhur dan cantik yang bernama Ummu Mahfiah,

biasanya di panggil Qirrah Dindi Ummu Mahfiah al-Hajjah. Lahir di

Kedung jambe, singgahan, Tuban, Jawa timur, 6 Nopember 1970.

Santri dan jamaah Ma’had Tee Bee biasanya memanggilnya “umik

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi ini ditulis oleh Yuli Istinganah dengan judul Pengaruh Kepribadian Guru Aqidah Akhlak terhadap Tingkah Laku Siswa MAN 2 Tulungagung, Jurusan Pendidikan Agama

Maksud dari hubungan antara pendidikan agama Islam dalam keluarga dengan prestasi belajar mata pelajaran Aqidah Akhlak siswa adalah hubungan antara pendidikan yang dilaksanakan

Pada tahun 2016 Wung Ha Zha, mengadakan penelitian tentang Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam Pendidikan Islam, dengan simpulan bahwa nilai pendidikan akhlak terhadap

BAB IV HASIL PENELITIAN Pada bagian ini, penulis mengemukakan hasil penelitian yang telah dilakukan berupa: meliputi paparan data, analisis nilai-nilai pendidikan akidah akhlak

Maka dari itu penting untuk memberikan nilai-nilai aqidah akhlak tersebut, dewasa ini dalam pendidikan terdapat banyak sekali kegiatan yang di dalamnya terdapat

Temuan penelitian ini, menunjukkan bahwa nilai-nilai pendidikan akhlak yang ada dalam kitab Risalatul Mu’awanah karya Al-Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad

Dengan demikian manusia dalam pndangan filsafat pendidikan Islam adalah sebagai makhluk alternatif (dapat memilih), tetapi kepadanya ditawarkan pilihan nilai yang

pendidikan akhlak yang terdiri dari akhlak kepada sang pencipta, akhlak pada pribadi, akhlak kepada orang tua, akhlak kepada masyarakat dan akhlak terhadap lingkungan sekitar dengan