1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Konsep awal mengenai pengukuran kecerdasan manusia sudah menjadi perhatian tersendiri bagi para peneliti, sebagaimana dikemukakan oleh Spearman (1927), bahwa kemampuan manusia dalam bidang matematika dan kebahasaan memegang peranan kunci dalam penentuan tingkat kecerdasan setiap individu. Teori ini berkembang di masyarakat dan dianggap sebagai cara terbaik untuk menilai kecerdasan manusia. Sampai pada tahun 1983 dimana seorang Profesor Pendidikan dari Universitas Harvard yang bernama Howard Gardnerd berpendapat bahwa setiap peserta didik adalah individu yang unik dan bervariasi. Oleh karena itu Gardner merumuskan suatu teori yang mendobrak definisi mengenai kecerdasan yang terbatas
pada kemampuan di bidang matematika dan
kebahasaan. Gardner merumuskan teori bahwa daripada membatasi kecerdasan peserta didik menjadi dua kategori saja, pengelompokan kecerdasan peserta didik menjadi tujuh kategori (linguistik, logika matematika-matematika, spasial, kinestetik, musikal, interpersonal, dan intrapersonal) akan memberikan penjelasan yang
lebih akurat mengenai berbagai cara peserta
mendapatkan dan menggunakan pengetahuan.
Gardner berasumsi bahwa setiap manusia
2
kecerdasan dapat berkembang secara optimal. Ketujuh kecerdasan ini biasanya saling bekerja sama dan jarang
sekali bekerja sendirian. Kecerdasan-kecerdasan
tersebut akan semakin berkembang bila digunakan secara bersama-sama dan akan saling melengkapi satu sama lain (Gardner & Hatch, 1989). Sebagai contoh, seorang penari akan mampu memperagakan tarian dengan luar biasa bila dia memiliki: kecerdasan musikal yang kuat untuk memahami ritme dan variasi dalam musik, kecerdasan interpersonal yang kuat untuk mengerti bagaimana cara dia menyentuh penonton secara emosional melalui gerakan tariannya, serta
kecerdasan kinestetik yang mumpuni untuk
mengkoordinir tubuhnya agar bisa melakukan gerakan tarian dengan sempurna.
Sama halnya dengan seorang penari yang membutuhkan kecerdasan musikal, interpersonal, dan kinestetik yang kuat untuk menarikan suatu tarian dengan bagus, di dalam dunia pendidikan pun peserta didik membutuhkan kecerdasan yang kuat untuk menjadikan peserta didik pribadi yang unggul. Peserta
didik mempunyai hak untuk mengembangkan
kecerdasan melalui pengembangan bakat dan minatnya sesuai dengan kecerdasan yang dia miliki dan sudah
3
dengan mengoptimalkan setiap kecerdasan yang dimiliki, peserta didik akan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk berkembang menjadi individu yang memiliki kemampuan yang mumpuni di dalam menghadapi dunia nyata.
Salah satu cara untuk mengembangkan
kemampuan peserta didik adalah melalui kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan ekstrakurikuler adalah tempat selain pendidikan dalam kelas yang dapat mengasah kemampuan peserta didik (Morrissey, 2005). Partisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler adalah cara yang produktif untuk mengisi waktu luang peserta didik dan
dapat memberikan kesempatan yang lebih luas bagi tumbuh kembang peserta didik (Eccles & Gootman, 2002; Larson, 2000). Kegiatan ekstrakurikuler adalah program yang dipilih peserta didik berdasarkan bakat,
minat, serta keunikannya meraih prestasi yang
bermakna bagi diri dan masa depannya. Peserta didik wajib terlibat dalam kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler seperti kegiatan musik, kesenian, drama, maupun olahraga, dimana peserta didik dapat memilih salah satu dari kegiatan ekstrakurikuler ini (Holloway, 2000).
Meskipun demikian, di dalam pelaksanaan
kegiatan ekstrakurikuler dewasa ini mengalami
4
(2009). Hal ini tentu berimbas pada penurunan
pencapaian peserta didik dalam kegiatan
ekstrakurikuler. Dimana tujuan dari kegiatan
ekstrakurikuler tersebut tidak hanya sebagai wadah penyaluran bakat dan minat peserta didik, tetapi juga sebagai tempat pematangan agar peserta didik bisa
berprestasi di luar kegiatan akademik melalui
pembimbingan di kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler tersebut. Penelitian Eccles (2003) juga mengindikasikan pentingnya peran tingkat partisipasi peserta didik dalam
kegiatan ekstrakurikuler terhadap perkembangan
mereka.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan tingkat keaktifan peserta didik dalam mengikuti kegiatan ekstrakurikuler pun beragam, seperti faktor kelelahan karena mengikuti kegiatan pembelajaran di sekolah yang terlampau padat, maupun tingginya biaya tambahan untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Lebih dalam lagi, Wilson (2009) mengungkapkan fakta bahwa faktor utama penyebab menurunnya antusiasme peserta didik dalam mengikuti kegiatan ekstrakurikuler adalah karena mereka merasa kegiatan ekstrakurikuler tersebut tidak dapat memenuhi ekspektasi peserta didik.
Ekspektasi peserta didik terhadap kegiatan
ekstrakurikuler yang tidak terpenuhi ini tak lepas dari sistem perencanaan kegiatan ekstrakurikuler. Seperti yang diungkapkan oleh Depdikbud (1998) bahwa peserta
didik diberikan kebebasan untuk memilih jenis
5
untuk memilih kegiatan ekstrakurikuler tersebut, sehingga dalam perjalanannya banyak dari mereka yang memutuskan untuk berhenti atau mengurangi keaktifan mereka dalam kegiatan ekstrakurikuler. Peserta didik biasanya belum mengetahui secara pasti mengenai kecerdasan apakah yang mereka miliki.
Perencanaan kegiatan ekstrakurikuler yang ada di sekolah belum mempunyai aturan yang baku. Semua peserta didik dengan bebas bisa memilih kegiatan ekstrakurikuler yang mereka inginkan. Hal ini berimbas pada minimnya antusiasme peserta didik dalam mengikuti kegiatan ekstrakurikuler dan juga prestasi
yang didapatkan peserta didik melalui kegiatan
ekstrakrikuler yang mereka pilih.
Kurang berjalannya kegiatan ekstrakurikuler
didasari terbatasnya jenis kegiatan ekstrakurikuler yang yang dapat dipilih oleh peserta didik dimana kegiatan
ekstrakurikuler yang ada tidak sesuai dengan
kecerdasan yang dimiliki peserta didik. Berangkat dari masalah tersebut, dibutuhkan suatu instrumen untuk mengetahui dimanakah kecerdasan peserta didik terletak untuk kemudian dikembangkan perencanaan kegiatan ekstrakurikuler berdasarkan hasil tes tersebut. McKenzie (1999) mengembangkan instrumen yang ditemukan oleh
Gardner menjadi tes kecerdasan majemuk. Tes
kecerdasan majemuk ini dapat memberikan interpretasi
yang lebih akurat dalam mendeskripsikan dan
6
tersebut dapat tersalurkan melalui berbagai macam kegiatan ekstrakurikuler yang ada di sekolah.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merasa tertarik untuk melihat apakah tes kecerdasan majemuk dapat memberikan dijadikan acuan untuk mengembangkan perencanaan kegiatan ekstrakurikuler yang dapat mengakomodir kecerdasan yang dimiliki oleh peserta didik. Oleh karena itu, penelitian yang akan
di lakukan berjudul: “Pengembangan Perencanaan
Kegiatan Ekstrakurikuler Berdasarkan Tes Kecerdasan
Majemuk”.
1.2
Rumusan Masalah
Peneliti merumuskan masalah tentang bagaimana perencanaan perencanaan kegiatan ekstrakurikuler berdasarkan tes kecerdasan majemuk? Selanjutnya dijabarkan menjadi:
1.Bagaimana menghasilkan sebuah draff perencanaan
kegiatan ekstrakurikuler berdasarkan tes kecerdasan majemuk?
1.3
Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Untuk menghasilkan sebuah draff perencanaan
kegiatan ekstrakurikuler berdasarkan tes
7
1.4
Manfaat Penelitian
Dengan tercapainya tujuan penelitian di atas, maka manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Memberikan pengetahuan dan wawasan
tentang perencanaan kegiatan ekstrakurikuler
berdasarkan Tes Kecerdasan Majemuk dan sebagai referensi bagi peneliti yang melakukan penelitian tentang hal sejenis.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Sekolah, hasil penelitian ini dapat
dijadikan sebagai referensi atau salah satu pedoman bagi sekolah dalam mempersiapkan kegiatan ekstrakurikuler.
b. Bagi guru, hasil penelitian ini dapat dijadikan
sebagai bahan referensi atau pedoman dalam
melaksanakan kegiatan ekstrakurikuler