Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata
Satu (S1) Psikologi (S.Psi)
Risna Amalia
B07213031
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
xi INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan post traumatic growth menuju perubahan yang positif pada wanita pasca perceraian. Selanjutnya, faktor-faktor yang mempengaruhi post traumatic growth menuju perubahan hidup yang positif pada individu setelah perceraian. Partisipan pada penelitian ini terdapat 3 subjek yakni dengan karakteristik jenis kelamin perempuan, telah bercerai, usia dewasa awal (20-30 tahun) dan telah mengalami post traumatic growth. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif yang berlandaskan fenomenologi. Hasil penelitian menunjukkan terdapat beberapa hal yang menunjang gambaran post traumatic growth dan faktor-faktor yang mempengaruhi post traumatic growth yang meliputi pengolahan emosi yang baik serta menumbuhkan motivasi dalam diri akan kemungkinan-kemungkinan baru. Kemudian terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi aspek post traumatic growth pada wanita yang bercerai. Faktor eksternal adalah dorongan dan motivasi kedua orang tua serta dukungan dari teman-teman terdekat sehingga memicu penguatan faktor internal yang meliputi, faktor peningkatan spiritualitas, kekuatan dalam diri dan relasi sosial semakin baik.
xii ABSTRAK
This study is to describe post traumatic growth toward positive change in women who are divorced. Furthermore, the factors that influence post traumatic growth lead to a positive life change in the women who are divorced. Participants in this study there are 3 subjects with female sex characteristics, have divorced, early adulthood (20-30 years) and have experienced post traumatic growth. The method used in this study is qualitative research method based on phenomenology. The result of the study indicate that there are several things that support to descripe post traumatic growth and the factors that influence post traumatic growth which includes positive emotional processing as well as motivation in the self of new possibilities. Then there are two main factors that affect the post traumatic growth aspect in women who are divorced. The external factors is the encouragement and motivation of both parents and support from friends closest to trigger the strengthening of internal factors that include, factors of increasing spirituality, inner strength and social relations the better.
vii DAFTAR ISI
Halaman Sampul
Halaman Judul ... i
Halaman Pengesahan ... ii
Pernyataan ... iii
Kata Pengantar ... iv
Daftar Isi ... vii
Daftar Tabel ... ix
Daftar Lampiran ... x
Intisari ... xi
Abstrak ... xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Fokus Penelitian ... 11
C. Tujuan Penelitian ... 11
D. Manfaat Penelitian ... 12
E. Keaslian Penelitian ... 13
BAB II KAJIAN PUSTAKA A.Post Traumatic Growth ... 18
1. Pengertian Post Traumatic Growth ... 18
2. Faktor-faktor Post Traumatic Growth ... 23
3. Aspek Post Traumatic Growth ... 25
4. Proses terjadinya Post Traumatic Growth ... 27
B. Tugas Perkembangan Fase Dewasa Perceraian ... 31
1. Pengertian Masa Dewasa ... 31
2. Ciri-ciri Manusia Masa Dewasa ... 34
C.Perceraian ... 40
1. Pengertian Perceraian ... 40
2. Faktor-faktor Penyebab Perceraian ... 42
3. Akibat-akibat Perceraian ... 45
4. Penyesuaian Diri Pasca Perceraian ... 46
D.Post Traumatic Growth pada Wanita yang Bercerai ... 49
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 53
B. Lokasi Penelitian ... 54
C. Sumber Data ... 54
E. Prosedur Analisis dan Interpretasi Data ... 59
F. Keabsahan Data ... 60
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Subjek ... 63
B. Hasil Penelitian ... 74
1. Deskripsi Hasil Temuan ... 74
2. Analisis Temuan Penelitian ... 108
C. Pembahasan ... 115
BAB IV PENUTUP A. Simpulan ... 126
B. Saran ... 127
Daftar Pustaka ... 130
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di dalam perkembangan hidup manusia selalu dimulai dari berbagai
tahapan, yang dimulai dari masa kanak-kanak, remaja dan dewasa. Dalam setiap
tahapan perkembangan terdapat tugas-tugas yang khas yang harus diselesaikan
oleh individu untuk kemudian dilanjutkan ke tahapan berikutnya. Salah satu
tahapan dimana individu memulai suatu babak baru dalam kehidupan adalah
tahapan dewasa muda. Pada saat seseorang telah berhasil melalui masa remaja
dan harus menyiapkan diri untuk menghadapi tantangan kehidupan dewasa.
Dalam kehidupan dewasa selalu dihadapkan pada suatu proses hidup dimana
manusia dewasa harus melalui suatu pernikahan (dalam Hotmauli, 2008).
Pernikahan merupakan perpaduan insingtif manusiawi antara laki-laki dan
perempuan dimana bukan sekedar memenuhi kebutuhan jasmani (menghalalkan
hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan) tetapi dalam rangka
mewujudkan kebahagiaan berkeluarga yang diliputi dengan rasa ketentraman
serta kasih sayang dengan cara yang diridhoi oleh Allah SWT. Kehidupan
berkeluarga tidak selalu harmonis seperti yang diangankan, karena memelihara
kelestarian dan keseimbangan hidup bersama suami istri bukanlah perkara yang
mudah dilaksanakan. Perlu disadari bahwa banyak pernikahan yang tidak
membuahkan tetapi tidak diakhiri dengan perceraian karena perkawinan tersebut
Tetapi banyak juga perkawinan yang diakhiri dengan cara perpisahan dan
pembatalan, baik secara hukum maupun diam-diam (suami/istri) meninggalkan
(dalam Hotmauli, 2008).
Menurut Hurlock (1980) selama tahun pertama dan kedua perkawinan
suami istri biasanya harus melakukan penyesuaian utama satu sama lain, terhadap
anggota keluarga masing-masing dan teman-temannya. Sementara mereka sedang
melakukan penyesuaian, sering timbul ketegangan emosional dan ini dipandang
sebagai periode balai keluarga muda. Setelah mereka saling menyesuaikan satu
sama lain, dengan anggota keluarga dan dengan kawan-kawan, mereka perlu
menyesuaikan dengan kedudukan mereka sebagai orang tua. Hal ini bisa
menambah problem penyesuaian terhadap penyesuaian yang sedang dilakukan.
Orang yang menikah selama usia tiga puluhan atau pada usia dewasa
madya seringkali masih membutuhkan banyak waktu untuk penyesuaian dan
hasilnya tidak sama puasnya seperti yang dilakukan pasangan yang menikah pada
usia dewasa awal. Akan tetapi juga mereka yang menikah pada usia dua puluhan
atau dewasa awal cenderung untuk lebih buruk dalam menyesuaikan diri,
sebagaimana nampak dalam tingginya tingkat perceraian diantara orang yang
menikah pada usia tersebut. Periode usia menikah 1-5 tahun adalah periode
dimana fondasi pernikahan sesungguhnya belum cukup kuat. Suami istri
dituntut sanggup menyesuaikan diri dengan pasangannya, mertua, saudara ipar,
kerabat, dan pekerjaan atau karier. Bila mereka sukses dalam saling menyesuaikan
untuk menyesuaikan diri hal itu akan menyebabkan problema semakin meruncing
dan tidak terselesaikan atau terjadi perceraian (Hurlock, 1980).
Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat perceraian yang
cukup tinggi. Hal ini terbukti dengan data-data yang tercatat di Pengadilan
Agama dan Pengadilan Negeri. Hal ini juga dapat dibuktikan bila mengunjungi
Pengadilan Agama selalu ramai dengan orang-orang yang menunggu sidang
cerai. Data-data perceraian berikut dihimpun dari beberapa media secara historis,
angka perceraian di Indonesia bersifat fluktuatif. Hal itu dapat ditilik dari hasil
penelitian Mark Cammack, guru besar dari Southwestern School of Law-Los
Angeles, USA. Berdasarkan temuan Mark Cammack, pada tahun 1950-an angka
perceraian di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, tergolong yang paling tinggi di
dunia. Pada dekade itu, dari 100 perkawinan, 50 di antaranya berakhir dengan
perceraian.
Perceraian menjadi permasalahan yang setiap tahunnya memperlihatkan
peningkatan yang signifikan. Angka gugat cerai di Indonesia terus meningkat
sepanjang tahun. Kondisi ini merata hampir di semua daerah di Indonesia. Angka
perceraian yang terjadi di Indonesia. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik,
pada kasus perceraian tahun 2012 yakni, cerai dan talak sebanyak 346.480 kasus.
Di tahun 2013, cerai dan talak sebanyak 324.247 kasus. Di tahun 2014, cerai dan
talak sebanyak 344.237 kasus. Di tahun 2015, cerai dan talak sebanyak 347.256
Jawa Timur merupakan provinsi kedua dengan angka perceraian paling
tinggi di Indonesia setelah Jawa Barat. Dalam kurun waktu tahun 2012 sampai
2015, di Jawa Timur terdapat 353.488 kasus perceraian. Berdasarkan data dari
Badan Pusat Statistik, pada kasus perceraian di Jawa Timur tahun 2012 yakni,
cerai dan talak sebanyak 91.449 kasus. Di tahun 2013, cerai dan talak sebanyak
85.484 kasus. Di tahun 2014, cerai dan talak sebanyak 89.406 kasus. Di tahun
2015, cerai dan talak sebanyak 87.149 kasus (Badan Pusat Statistik, 2017).
Di Gresik angka perceraian selalu meningkat dalam kurun waktu tahun
2012 sampai 2015, di Gresik terdapat 7.869 kasus perceraian. Berdasarkan data
dari Pengadilan Agama Gresik, terdapat 1.885 kasus perceraian di Gresik pada
tahun 2012 yakni, cerai talak sebanyak 622 kasus dan cerai gugat sebanyak 1.263
kasus. Di tahun 2013 terdapat 1.918 kasus perceraian, dengan rincian cerai talak
sebanyak 645 kasus dan cerai gugat sebanyak 1.273 kasus. Di tahun 2014 terdapat
2.002 kasus perceraian, dengan rincian cerai talak sebanyak 639 kasus dan cerai
gugat sebanyak 1.363 kasus. Di tahun 2015 terdapat 2.064 kasus perceraian,
dengan rincian cerai talak sebanyak 655 kasus dan cerai gugat sebanyak 1.409
kasus (Pengadilan Agama Gresik, 2017).
Tidak semua ahli berpendapat bahwa perceraian dapat menjadi jalan
keluar yang baik, hal ini dikemukakan oleh Strong & Deavault (dalam Retnowati,
2010) yang mengatakan perceraian bukanlah penyelesaian yang baik dalam
menghadapi konflik sebuah rumah tangga. Karena itu, walaupun perceraian
membuat mereka yang melakukannya merasa bebas, tapi sebenarnya mereka
kesepian, menjadi pengkonsumsi alcohol dan mariyuana. Pendapat serupa juga
dikemukakan oleh Hetrerington et al (dalam Hurlock, 1980) yaitu walaupun
mereka yang bercerai dapat membangun kehidupan yang lebih baik, namun
kenyataannya mereka mengalami masalah yang jauh lebih berat dibanding
keuntungan yang diperoleh dari perceraian.
Faktor utama terjadinya perceraian dalam kehidupan perkawinan yang
telah terbangun yaitu ketidakmampuan suami dan istri mengatasi permasalahan
dalam perkawinan tersebut. Hurlock (1980) menjelaskan ketidakmampuan
seseorang yang telah dewasa (suami dan istri) dalam mengatasi permasalahan
perkawinan menjadikan mereka cenderung cemas, kecewa dan tidak bahagia,
namun bagi mereka yang mampu mengatasinya menjadi pribadi yang teguh,
mantap dan tenteram.
Perceraian bukanlah hal yang mudah untuk dilalui bagi individu yang
mengalaminya. Hurlock (1980), mengemukakan bahwa efek traumatik yang
ditimbulkan akibat perceraian biasanya lebih besar dari pada efek kematian,
karena sebelum dan sesudah perceraian sudah timbul rasa sakit dan tekanan
emosional, serta mengakibatkan celah sosial. Oleh karena itu dukungan sosial dari
keluarga, kerabat dan teman sangat dibutuhkan dan kehadiran dukungan sosial itu
akan sangat membantu individu yang bercerai dan mengurangi dampak negatif
perceraian terhadap dampak kesejahteraan psikologis. Kemampuan seseorang
menghadapi situasi pasca perceraian akan berbeda pada setiap individu. Beberapa
wanita yang sedang dalam masa transisi khususnya pada dewasa awal yang
ketakutan yang luar biasa dalam menghadapi kehidupan sosialnya. Namun
beberapa wanita pada usia dewasa awal juga mengalami hasil positif setelah
mengalami perceraian yang mana hal ini disebut post traumatic growth.
Pertumbuhan pasca trauma memang tidak mudah, kadang-kadang individu
merasa sakit ketika akan bangkit. Perjalanan dimulai dengan kehancuran dan
defisit melalui perjalanan yang panjang untuk penyembuhan. Dalam prosesnya,
asumsi hancur harus dipulihkan, kepercayaan diri untuk tumbuh kembali, fisik,
emosi dan spiritual harus dipupuk. Pertumbuhan ini bukan hanya pengalaman
intelektual dan itulah yang akan menjadi kuat sebagai agen perubahan (CA Care
dalam Rahma & Widuri, 2011).
Kejadian stessfull atau juga dapat diartikan sebagai kejadian traumatik
dapat menyebabkan tekanan psikologis dan biasanya juga akan memunculkan
respon negatif pada seseorang. Kesedihan, rasa bersalah, kemarahan dan rasa
sensitif juga merupakan respon lain yang biasanya terjadi pada orang yang
mengalami masalah dalam kehidupannya sebagaimana yang telah dijelaskan oleh
Tedeschi & Calhoun (dalam Shafira, 2011).
Namun keadaan stessfull tidak selalu memberikan efek negatif pada
seseorang. Saat ini, fokus utama penelitian mulai bergeser dari melihat aspek
negatif pada sebuah kejadian traumatik menjadi lebih melihat pada aspek positif
dari kejadian traumatik tersebut. Menurut Kaplan dan Frankl (dalam Istiqomah,
2015), perubahan psikologis yang positif dapat terjadi dalam keadaan yang
Seseorang yang melakukan perjuangan dalam menghadapi kejadian traumatik
yang dengan jelas memberikan efek negatif pada kondisi psikologisnya ternyata
juga dapat memberikan kebermaknaan pada dirinya. Dan menyebutkan bahwa
orang yang mengalami kejadian traumatik melaporkan setidaknya ada beberapa
perubahan positif setelah mereka menghadapi kejadian traumatik tersebut
meskipun mengalami penderitaan yang berat (Tedeschi & Calhoun, 2006).
Post traumatic growth terjadi pada orang-orang yang mengalami kejadian
traumatik, misalnya pada orang yang mengalami kebakaran dan kehilangan
tempat tinggal, perceraian, keterbatasan fisik, kekerasan seksual, bencana alam,
perang, kehilangan orang yang dicintai, atau didiagnosis penyakit kronis
(Tedeschi & Calhoun, 1998).
Post traumatic growth menurut Tedeschi dan Calhoun (2006) adalah suatu
perubahan positif seseorang menuju level yang lebih tinggi setelah mengalami
peristiwa traumatis. Post traumatic growth bukan hanya kembali ke sediakala,
tapi juga mengalami peningkatan psikologis yang bagi sebagian orang adalah
sangat mendalam. Peningkatan tersebut terlihat dari tiga dimensi yang
berkembang, yaitu perubahan persepsi diri, hubungan dengan orang lain dan
perubahan falsafah hidup. Post traumatic growth ini merupakan hasil dari
perjuangan hidup yang menantang.
Post traumatic growth telah dimasukkan sebagai konstruksi di cabang
psikologi positif (Buxton, 2011). Psikologi positif memandang manusia memiliki
digambarkan sebagai perjuangan dengan realitas baru pasca trauma (Tedeschi &
Colhoun, 2006).
Dalam penelitian Mahleda & Hartini (2012), post traumatic growth
terjadi pada pasien kanker payudara pasca mastektomi usia dewasa madya. Hasil
dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada awalnya pasien mengalami
emosi negatif setelah menjalani mastektomi. Setelah melakukan perenungan dan
pengungkapan diri, mereka merubah pandangan hidupnya. Subjek bisa
mengembangkan diri menuju pertumbuhan psikologis, yaitu menjadi lebih baik
dari sebelumnya. Proses ini dipengaruhi juga oleh adanya dukungan sosial dan
keyakinan terhadap Tuhan.
Dalam penelitian Rahmah & Widuri (2011), post traumatic growth juga
terjadi pada pasien kanker payudara pasca mastektomi usia dewasa madya. Hasil
dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat 4 aspek post traumatic
growth yang signifikan timbul dari perjuangan penderita kanker dalam
menghadapi penyakit kanker payudara ini, antara lain: peningkatan spiritualitas,
positive improvement in life, prososial semakin tinggi dan relasi sosial semakin
baik.
Dalam penelitian Hotmauli (2008). Kecemasan pasca bercerai pada wanita
dewasa awal. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa wanita yang telah
bercerai dalam menjalankan kehidupan sehari-hari merasa cemas dan takut tidak
cemas tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup anaknya dan mengakibatkan emosi
yang meningkat.
Sebuah fenomena yang terjadi di masyarakat, tidak banyak wanita yang
telah bercerai mempunyai kekuatan untuk menghadapi kehidupan setelah masa
perceraian termasuk dalam menjalani kehidupan sosialnya. Namun tidak sedikit
pula wanita yang berhasil bangkit dari pengalaman masa krisisnya dan menjadi
pelajaran yang berharga untuk kehidupan seelanjutnya. Secara umum dan logika
kaum pria lebih banyak menderita kecemasan dan rasa takut menghadapi masa
depan setelah perceraian, mengingat fungsinya sebagai penanggung jawab atas
diri dan keluarganya, serta sebagai pilar utama untuk membahagiakan rumah
tangga. Akan tetapi pada kenyataannya setelah melalui penelitian dan studi
ilmiah, terbukti bahwa wanitalah yang lebih sering merasakan kecemasan dan
ketakutan dalam menghadapi kehidupan pasca bercerai. Melihat hal ini peneliti
tertarik untuk memilih wanita khususnya pada usia dewasa awal sebagai subjek
penelitian karena berdasarkan penelitian dan study yang pernah dilakukan
menunjukkan bahwa wanita lebih perasa dan pada tingkat tertentu, mereka lebih
sering terpengaruh dengan kesulitan dalam menghadapi kehidupan sosialnya
karena pada umumnya masyarakat masih berpandangan negatif terhadap
perceraian, sehingga hal ini dapat menimbulkan rasa malu dan keputus asaan pada
wanita.
Berdasarkan fenomena yang diuraikan di atas, peneliti merasa tertarik
untuk meneliti masalah mengenai post traumatic growth pada wanita yang
Padahal di Indonesia, angka perceraian ini selalu meningkat seiring berjalannya
waktu. Jawa Timur termasuk provinsi kedua yang angka perceraiannya tinggi
setelah Jawa Barat. Peneliti ingin mengetahui perubahan positif yang dialami pada
wanita pasca perceraian, karena kebanyakan peneliti sebelumnya lebih melihat
efek negatif dari sebuah kejadian traumatik. Padahal kejadian traumatik tidak
selalu memberikan efek negatif pada orang yang mengalaminya.
Berdasarkan studi pendahuluan peneliti bahwasanya telah melakukan
wawancara dan observasi kepada subjek NK, adapun hasil yang didapat dari
wawancara tersebut menunjukkan bahwa subjek NK tidak pernah menyangka
bahwa dirinya akan bercerai dengan suaminya. Setelah melalui proses yang
panjang, subjek NK resmi bercerai dan berstatus janda yang pada pernikahannya
belum dikaruniai seorang anak. Subjek NK merasa begitu sedih, malu, dan
tertekan dengan keadaan yang dialaminya. Akan tetapi berkat dukungan keluarga
dan teman terdekatnya, subjek NK bisa bangkit dari keterpurukannya. Setelah
berhasil bangkit dari permasalahan dan dapat menerima keadaan, banyak sekali
perubahan positif yang timbul dalam diri subjek NK. Subjek NK menuturkan
perubahan positif yang terjadi pada dirinya setelah krisis yang dihadapinya
tersebut diantaranya subjek NK menjadi lebih taat beribadah, jika subjek NK
awalnya tidak pernah sholat tahajud, sekarang subjek NK hampir setiap malam
melaksanakan sholat tahajud (wawancara tanggal 3 Mei 2017).
Selanjutnya, adapun hasil yang didapat dari observasi tersebut
menunjukkan bahwa merendahkan nada suara, menyunggingkan bibir, tenang da
pernikahan. Subjek NK meninggikan nada suara, berbicara sambil menundukkan
kepala, meneteskan air mata, tenang da nada kontak mata ketika diwawancarai
seputar latar belakang perceraian (observasi tanggal 3 Mei 2017).
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang dialami wanita yang
bercerai, peneliti membuat rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimana post
traumatic growth menuju perubahan hidup yang positif pada wanita pasca
perceraian? Selanjutnya, faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi terbentuknya
post traumatic growth menuju perubahan hidup yang positif pada individu setelah
perceraian?
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang dialami oleh wanita yang
bercerai, peneliti ingin menjawab pertanyaan:
1. Bagaimana post traumatic growth menuju perubahan hidup yang
positif pada wanita pasca perceraian?
2. Selanjutnya, faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi terbentuknya
post traumatic growth menuju perubahan hidup yang positif pada
individu setelah perceraian?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk menjawab bagaimana post traumatic growth menuju
2. Selanjutnya, penelitian ini juga ingin mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi terbentuknya post traumatic growth menuju
perubahan hidup yang positif pada individu setelah perceraian.
D. Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini, diharapkan dapat memberi manfaat, baik secara teoritis
maupun praktis.
a. Manfaat Teoritis
1. Menambah dan memperluas wawasan dalam keilmuan psikologi
klinis khususnya dalam aspek pasca traumatik.
2. Memberi pengetahuan lebih dalam mengenai post traumatic growth
khususnya pada wanita dewasa awal yang bercerai.
b. Manfaat Praktis
1. Bagi subjek, diharapkan dapat memberikan insight bagi para
wanita khususnya pada wanita usia dewasa awal yang menghadapi
situasi pasca perceraian untuk dapat mengatasi rasa kehilangan
akan pasangan hidupnya, mampu membuka pikiran yang lebih
positif untuk melanjutkan kehidupan selanjutnya dan tidak
mengalami stress yang berkelanjutan.
2. Bagi wanita yang telah bercerai, memberi pengetahuan tentang
pengalaman post traumatic growth seseorang pasca bercerai
sehingga dapat memahami bagaimana caranya untuk bangkit dari
3. Bagi masyarakat, diharapkan penelitian ini dapat memberikan
pengetahuan kepada keluarga yang salah satu anggotanya pernah
mengalami perceraian agar masyarakat secara umum dapat
menangani masalah tersebut, memahami posisi mereka dan
memberikan bantuan berupa dukungan sosial.
4. Sebagai masukan bagi peneliti berikutnya dalam mengembangkan
penelitian tentang pengetahuan mengenai post traumatic growth.
E. Keaslian Penelitian
Terdapat penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini untuk
dikaji, diantaranya adalah:
Dalam penelitian Mahleda & Hartini (2012), Post Traumatic Growth
terjadi pada Pasien Kanker Payudara Pasca Mastektomi Usia Dewasa Madya.
Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada awalnya pasien
mengalami emosi negatif setelah menjalani mastektomi. Setelah melakukan
perenungan dan pengungkapan diri, mereka merubah pandangan hidupnya.
Subjek bisa mengembangkan diri menuju pertumbuhan psikologis, yaitu menjadi
lebih baik dari sebelumnya. Proses ini dipengaruhi juga oleh adanya dukungan
sosial dan keyakinan terhadap Tuhan.
Dalam penelitian Rahmah & Widuri (2011), Post Traumatic Growth pada
Penderita Kanker Payudara. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa
terdapat 4 aspek post traumatic growth yang signifikan timbul dari perjuangan
peningkatan spiritualitas, positive improvement in life, prososial semakin tinggi
dan relasi sosial semakin baik.
Dalam penelitian Rachmawati dan Halimah (2015). Studi Deskriptif
mengenai Gambaran Post Traumatic Growth (PTG) pada Wanita Penderita
Kanker Payudara Pasca Mastektomi di Bandung Cancer Society (BCS). Hasil dari
penelitian tersebut menunjukkan bahwa secara umum penderita kanker payudara
merasakan adanya post traumatic growth dalam tingkat yang tinggi. Para
penderita merasakan perubahan diantaranya penghargaan terhadap kehidupan,
hubungan yang lebih berkualitas dengan orang lain, meningkatnya kekuatan
dalam diri, menemukan adanya kemungkinan-kemungkinan yang baru, serta
perkembangan dalam aspek spiritual. Setelah menghadapi kejadian yang
membuatnya trauma, penderita mampu menjadi pribadi yang lebih baik daripada
sebelumnya.
Dalam penelitian Anantasari (2011). Peran Dukungan Sosial terhadap
Pertumbuhan Pasca Trauma: Studi Meta-Analisis. Hasil dari penelitian tersebut
menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara dukungan sosial dengan
pertumbuhan pasca trauma. Dukungan sosial berperan penting terhadap
pertumbuhan pasca trauma pada orang-orang yang mengalami peristiwa traumatic
atau krisis kehidupan.
Dalam penelitian Kartika (2014). Resiliensi pada Single Mother Pasca
Perceraian. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa resiliensi
bertahan dalam menghadapi cobaan yang dialaminya. Dengan kemampuan
resiliensi para single mother juga dapat mengatasi masalah-masalah baik yang
ditimbulkan karena pasca perceraiannya maupun masalah-masalah yang dihadapi
sehari-hari. Selain itu para single mother juga dapat menjadi ibu dan individu
yang berguna baik untuk dirinya maupun orang lain.
Dalam penelitian Hotmauli (2008). Kecemasan Pasca Bercerai pada
Wanita Dewasa Awal. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa wanita
yang telah bercerai dalam menjalankan kehidupan sehari-hari merasa cemas dan
takut tidak dapat memenuhi kehidupan sehari-hari bersama anak-anaknya. Rasa
takut dan cemas tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup anaknya dan
mengakibatkan emosi yang meningkat.
Dalam penelitian Jhoseph (2009). Growth Following Adversity: Positive
Psychological Perspectives on Post Traumatic Stress. Hasil dari penelitian
tersebut menunjukkan bahwa gagasan pertumbuhan pribadi setelah trauma harus
dilihat dari dalam dirinya sendiri melalui proses perjuangan mereka dengan cara
dan akibatnya.
Dalam penelitian Hagenaars & Minnen (2010). Post Traumatic Growth in
Exposure Therapy for PTSD. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa
ketidakmampuan untuk merasakan emosi berhubungan dengan ketidakmampuan
untuk mengalami pertumbuhan. Hubungan antara pertumbuhan dan stress
Dalam penelitian Triplett, Tedeschi, Cann, Calhoun & Reeve (2011). Post
Traumatic Growth, Meaning in Life, and Life Satisfaction in Response to Trauma.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa dua jenis pemikiran berulang,
disengaja dan mengganggu pada gejala pasca trauma, pertumbuhan pasca trauma
dan makna dalam kehidupan, dianggap sebagai predictor kepuasan hidup.
Dalam penelitian Dekel, Solomon & Ein-Dor (2011). Post Traumatic
Growth and Post Traumatic Distress: A Longitudinal Study. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa individu dengan PTSD tingkat pertumbuhan pasca
traumanya lebih tinggi daripada individu yang tanpa PTSD. Pertumbuhan
difasilitasi dan dikelola oleh pengesahan daripada tidak adanya PTSD. Temuan ini
dibahas dalam konteks konsep ilusi dan adaptif tentang PTG.
Dalam penelitian Kunst, Winkel & Bogaerts (2010). Post Traumatic
Growth Moderates the Association between Violent Revictimization and
Persisting PTSD Symptoms in Victims of Interpersonal Violence: A Six Month
Follow-Up Study. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ada potensi
adaptif dalam pertumbuhan pasca trauma di antara korban kekerasan.
Penelitian di atas dapat menjadi rujukan atau tambahan refrensi bagi
peneliti dalam melengkapi data-data yang peneliti perlukan. Persamaan yang
dimiliki penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah mengungkap post
traumatic growth. Adapun perbedaan penelitian post traumatic growth pada
penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yakni terletak pada tempat atau lokasi
subjek penderita kanker payudara dan wanita dewasa awal pasca perceraian tetapi
pada penelitian ini peneliti memilih subjek penelitian wanita dewasa awal yang
18 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Post Traumatic Growth
1. Pengertian Post Traumatic Growth
Post Traumatic Growth is the experience of positive change that
occurs as a result of the struggle with highly challenging life crisis
(Tedeschi & Calhoun, 2006).
Post Traumatic Growth adalah pengalaman berupa perubahan
positif yang terjadi sebagai hasil dari perjuangan seseorang dalam
menghadapi tantangan krisis kehidupan yang tinggi. Setelah beberapa
decade orang-orang melihat reaksi negative yang dihasilkan dari
sebuah kejadian traumatik. Tedeschi & Calhoun (dalam Schmidt,
2008) membuka sebuah area penelitian baru yang melihat reaksi positif
yang dihasilkan dari suatu kejadian traumatik yang kemudian dikenal
dengan istilah Post Traumatic Growth. Konstruk ini menuju pada
perubahan besar yang terjadi pada persepsi seseorang tentang
kehidupannya setelah orang tersebut berjuang menghadapi krisis yang
terjadi. Individu ini tidak hanya sekedar kembali pada keadaan
sebelumnya, tetapi menggunakan trauma sebagai sebuah kesempatan
untuk perkembangan selanjutnya (Zoellner & Maercker, dalam
Schmidt, 2008).
Post Traumatic Growth menurut Tedeschi & Calhoun (2006)
tinggi setelah mengalami peristiwa traumatis. Post traumatic growth
bukan hanya kembali ke sediakala, tetapi juga mengalami peningkatan
psikologis yang bagi sebagian orang adalah sangat mendalam.
Peningkatan tersebut terlihat dari tiga dimensi yang berkembang, yaitu
persepsi diri, hubungan dengan orang lain dan falsafah hidup.
Menurut Tedeschi & Calhoun (2006) pertumbuhan pasca trauma
adalah pengalaman perubahan positif yang terjadi sebagai akibat dari
perjuangan yang sangat menantang situasi kehidupan. Konsep
pertumbuhan pasca trauma atau yang biasa disingkat PTG, sebagai
pengalaman perubahan positif yang signifikan timbul dari perjuangan
krisis kehidupan yang besar antara lain: apresiasi peningkatan hidup,
pengaturan hidup dengan prioritas baru, rasa kekuatan pribadi
meningkat dan spiritual berubah secara positif.
Tedeschi & Calhoun (2006) menyebutkan bahwa post traumatic
growth memiliki dua pengertian penting. Pertama, post traumatic
growth dapat terjadi saat seseorang mengalami kejadian yang sangat
tidak diinginkan atau tidak menyenangkan. Tingkat stress yang rendah
dan proses perkembangan yang normal tidak berhubungan dengan
timbulnya post traumatic growth. Kedua, perubahan positif hanya akan
terjadi setelah seseorang melakukan perjuangan. Perjuangan ini
merujuk pada penerimaan masa lalu dan masa depannya dalam
Post traumatic growth merupakan pengalaman berupa perubahan
positif yang terjadi sebagai hasil dari perjuangan seseorang dalam
menghadapi tantangan krisis kehidupan yang tinggi, menurut Tedeschi
& Calhoun (2006).
Definisi lain tentang post traumatic growth disampaikan oleh
Patton, Violanti dan Smith (2010), mereka mengatakan bahwa post
traumatic growth adalah perubahan yang menguntungkan secara
signifikan dalam hal kognitif dan emosional yang melampaui tingkat
adaptasi sebelumnya, peningkatan fungsi psikologis atau kesadaran
akan hidup yang terjadi sebagai akibat dari trauma psikologis yang
menantang asumsi sebelumnya ada tentang diri sendiri, orang lain dan
masa depan.
Pengertian lainnya mengenai post traumatic growth juga
disampaikan oleh Tedeschi & Calhoun (2006) adalah suatu konstruksi
perubahan psikologis yang positif yang terjadi sebagai hasil dari
perjuangan seseorang dengan cara yang sangat menantang, stress dan
trauma.
Post traumatic growth digambarkan sebagai pengalaman individu
yang berkembang setelah mengalami kejadian traumatik, setidaknya
pada beberapa area. Individu tersebut tidak hanya survive tetapi juga
memiliki perubahan dari keadaan sebelumnya yang menurutnya post
juga merupakan sebuah perbaikan kehidupan yang pada beberapa
orang terjadi dengan sangat luar biasa (Tedeschi & Calhoun, 2016).
Post traumatic growth bukan merupakan hasil langsung yang
terjadi setelah pengalaman traumatik. Post traumatic growth
merupakan perjuangan individu dalam menghadapi realita baru setelah
mengalami kejadian traumatik. Tedeschi & Calhoun (1998 dalam
Shafira, 2011) menggunakan istilah gempa bumi (earthquake) untuk
menjelaskan post traumatic growth. Kejadian psikologis yang
“mengguncang” dapat menyiksa atau mengurangi pemahaman
seseorang dalam memahami sesuatu, mengambil keputusan dan
perasaan berarti. Kejadian yang “mengguncang” dapat membuat
seseorang menganggap bahwa kejadian tersebut merupakan suatu
tantangan yang berat, melakukan penyangkalan atau mungkin
kehilangan kemampuan untuk memahami apa yang terjadi, penyebab
dan alasan kejadian tersebut terjadi dan dugaan abstrak seperti apa
tujuan dari kehidupan manusia.
Menurut Tedeschi & Calhoun (2004 dalam Shafira, 2011) setelah
mengalami kejadian yang “mengguncang” seseorang akan membangun
kembali proses kognitifnya. Hal ini dapat diibaratkan dengan
membangun kembali bangunan fisik yang telah hancur setelah terjadi
guncangan. Struktur fisik dirancang agar seseorang dapat lebih
bertahan atau melawan kejadian traumatik di masa depan, yang
yang dapat bertahan dari guncangan dan apa yang tidak. Ini merupakan
hasil dari sebuah kejadian yang dapat menimbulkan post traumatic
growth.
Post traumatic growth dapat membuat seseorang lebih merasa
memiliki kehidupan yang berarti. Namun post traumatic growth tidak
sama dengan sekedar merasa bebas, bahagia atau memiliki perasaan
yang baik. Post traumatic growth juga membuat seseorang merasakan
kehidupan dengan level kedekatan secara personal, interpersonal dan
spiritual yang lebih dalam (Werdel & Wicks, 2012).
Perubahan positif yang terjadi sebagai hasil dari menghadapi
trauma yang mengancam kehidupan disajikan dalam berbagai cara,
seperti: penerimaan meningkatkan kerentanan seseorang,
meningkatkan apresiasi terhadap eksistensi sendiri dan penghargaan
yang lebih besar terhadap kehidupan, meningkatkan persepsi
kompetensi dan kemandirian memberikan control dan keamanan yang
lebih besar, peningkatan kasih sayang dan empati terhadap orang lain,
hubungan lebih dekat dengan orang lain, keyakinan agama atau
spiritual kuat yang berarti lebih besar tentang kehidupan dan
penderitaan, kematangan psikologis dan emosional yang lebih besar
dan perolehan nilai baru dan prioritas hidup.
Post traumatic growth juga memiliki dampak yang lebih besar
pada kehidupan masyarakat, dan melibatkan perubahan mendasar atau
lain. Oleh karena itu, post traumatic growth sebagai perubahan positif
yang signifikan dalam kehidupan, yang mempengaruhi kognitif dan
emosional pada individu. Signifikansi perubahan ini bisa begitu besar,
bahwa pertumbuhan ini dapat benar-benar transformative menurut
Tedeschi & Calhoun (dalam Rahma & Widuri, 2011). Selain itu, post
traumatic growth juga merupakan kebalikan dari gangguan stress
pasca trauma.
Berdasarkan beberapa uraian tentang pengertian di atas dapat
disimpulkan bahwa post traumatic growth (pertumbuhan pasca
trauma) adalah pengalaman perubahan yang positif setelah masa krisis
atau kejadian yang tidak diinginkan dan tidak menyenangkan dalam
kehidupan seseorang, yang menghasilkan beberapa peningkatan yaitu
persepsi diri, hubungan dengan orang lain dan falsafah hidup.
2. Faktor-faktor Post Traumatic Growth
Menurut Tedeschi & Calhoun (2006), terdapat beberapa faktor dari
post traumatic growth, yaitu:
a. Penghargaan terhadap hidup (appreciation of life)
Merupakan perubahan mengenai hal apa yang penting dalam hidup
seseorang. Pengalaman traumatik menyebabkan munculnya filosofi
baru yang mengubah asumsi dasar seseorang tentang kehidupan
dan arti dari kehidupan. Perubahan yang paling mendasar adalah
meningkatkan penghargaan kepada hal-hal yang dimilikinya,
misalnya menghargai kehidupannya.
b. Hubungan dengan orang lain (relating to others)
Mereka yang mengalami pengalaman traumatik memiliki
kedalaman hubungan dengan orang lain karena menyadari akan
pentingnya hubungan tersebut dan menyadari bahwa hubungan
tersebut dapat berakhir dengan cepat sehingga membuat mereka
lebih dekat dan memberikan kasih sayang. Hal ini dapat berupa
saling berbagi dan berkasih sayang.
c. Kekuatan dalam diri (personal strength)
Merupakan perubahan yang dapat berupa peningkatan kekuatan
personal atau mengenal kekuatan dalam diri yang dimilikinya.
Mereka yang mengalami pengalaman traumatik menunjukkan
adanya kemampuan untuk lebih kuat dan mandiri dalam menjalani
hidup, sehingga tampak bahwa hidup melalui trauma menyediakan
banyak informasi dalam kompetensi mengevaluasi diri dalam
kesulitan dengan cara yang tegas (optimis) dan menghadapinya
(coping).
d. Kemungkinan baru (new possibilities)
Merupakan identifikasi individu mengenai kemungkinan baru
dalam kehidupan atau kemungkinan untuk mengambil pola
kehidupan yang baru dan berbeda. Mereka yang mengalami
menjalankan hidup lebih semangat dengan menemukan adanya
peran baru dan orang-orang baru.
e. Perkembangan spiritual (spiritual development)
Merupakan perubahan berupa perkembangan pada aspek spiritual
dan hal-hal yang bersifat eksistensial. Peningkatan kepercayaan
terhadap agama dapat muncul ketika mereka mencoba memahami
peristiwa traumatik. Hal ini juga menunjukkan adanya penguatan
keyakinan dalam agama yang dapat meningkatkan rasa kontrol diri,
kedekatan terhadap agama dan menemukan makna hidup sesuai
dengan agama yang diyakininya.
3. Aspek-aspek Post Traumatic Growth
Selain itu Tedeschi dan Calhoun (1996 dalam Shafira, 2011) juga
membagi post traumatic growth dalam tiga aspek, antara lain:
a. Perubahan dalam persepsi diri (Perceived change in self) antara
lain meliputi memiliki kekuatan dalam diri yang lebih besar,
resiliensi atau kepercayaan terhadap diri sendiri, terbuka dan
mengembangkan hal baru.
b. Perubahan dalam hubungan interpersonal (Change in interpersonal
relationship) antara lain meliputi peningkatan rasa altruis atau
memiliki rasa kedekatan yang lebih besar dalam suatu hubungan
dengan orang lain.
c. Perubahan dalam filosofi hidup (Change in philosophy of life)
perubahan dalam hal spiritualitas atau religiusitas (kepercayaan
beragama).
Falsafah hidup dalam agama Islam menurut Prof. Dr. Hamka
(2017) yakni memulangan kekuasaan kepada Allah, yang Esa di
dalam kekuasaan-Nya. Itulah Tauhid, yang mengakui Tuhan hanya
satu. Setelah itu memandang manusia sama derajatnya. Tidak ada
kelebihan si anu dan si fulan, semuanya sama di sisi Tuhan;
kelebihan seorang diri yang lain hanyalah takwanya, budinya dan
kecerdasan akalnya. Bukan karena pangkat atau harta kekayaan.
Tangan si lemah dibimbing sehingga beroleh kekuatan. Diambil
hak dari tangan yang kuat dan kuasa dan dipindahkan kepada yang
lemah, sehingga tegaklah perimbangan. Demikianlah kita
menempuh hidup; lahir, berjuang dan akhirnya mati. Sebab itu,
hendaklah kita percaya penuh dengan iman dan baik sangka kepada
Tuhan. Itulah falsafah hidup.
Dalam kajian post traumatic growth, individu mampu untuk
mengembangkan aktivitas atau kemampuan baru setelah
menghadapi peristiwa traumatik. Seperti yang dijelaskan dalam QS
Al-Baqarah ayat 155-157 bahwa Allah SWT menguji keimanan
Artinya:
Dan sungguh Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit
ketakutan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan
berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar (155).
Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka
mengucapkan: “Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun” (156).
Mereka itulah yang mendapatkan keberkahan yang sempurna dan
rahmat dari Rabbnya dan mereka itulah orang-orang yang
mendapat petunjuk (157).
4. Proses terjadinya Post Traumatic Growth
Telah dijelaskan oleh Tedeschi & Calhoun (2006) beberapa
karakteristik individu dan gaya seseorang dalam mengatur emosinya
dapat meningkatkan kemungkinan seseorang untuk mengalami
pengalaman post traumatic growth. Selanjutnya tingkat self-disclosure
seseorang tentang keterbukaannya akan emosi dan perspektif mereka
akan krisis yang dihadapi, mungkin juga memegang peranan dalam
terjadinya post traumatic growth pada seseorang. Kemudian dapat
traumatik, seperti proses pemikiran berulang atau perenungan
(ruminative thougth) juga berhubungan munculnya post traumatic
growth. Sehingga dapat diasumsikan bahwa proses kognitif seseorang
dalam keadaan krisis memainkan peranan yang penting dalam proses
post traumatic growth.
a. Karakteristik personal atau individu
Tingkatan trauma yang dialami oleh individu tentunya akan
mempengaruhi perkembangan post traumatic growth. Namun,
karakteristik personal seseorang dalam menghadapi trauma tersebut
juga dapat mempengaruhi proses post traumatic growth.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Costa & Mc Care
(dalam Shafira, 2011) keterbukaan seseorang terhadap pengalaman
dan kepribadian ekstrovert berhubungan dengan perkembangan post
traumatic growth. Individu dengan karakteristik ini mungkin lebih
memperhatikan emosi positif pada dirinya meskipun dalam keadaan
yang sulit, yang kemudian dapat membantunya untuk memahami
informasi mengenai pengalaman yang dialaminya dengan lebih
efektif dan menciptakan perubahan positif dalam dirinya (post
traumatic growth). Selain itu karakteristik lain seperti optimisme
juga dapat mempengaruhi pertumbuhan post traumatic growth.
Individu yang optimis dapat lebih mudah memperhatikan hal mana
yang penting baginya dan terlepas dari keadaan yang tidak
hal yang penting bagi proses kognitif yang terjadi setelah seseorang
mengalami kejadian traumatik.
b. Mengelola emosi berbahaya atau negatif (Managing distressing
emotion)
Saat seseorang mengalami masa krisis dalam hidupnya, seseorang
harus mampu mengelola emosinya yang berbahaya yang mungkin
dapat melemahkan dirinya. Karena dengan mengelola emosi yang
berbahaya, seseorang dapat menciptakan skema perubahan dalam
dirinya dan membantu proses kognitif yang kemudian dapat
membentuk post traumatic growth. Pada tahapan awal trauma,
proses kognitif atau berpikir seseorang biasanya bersifat otomatis
dan banyak terdapat pikiran serta gambaran yang merusak. Selain
itu juga timbul perenungan (rumination) yang negatif atau merusak.
Namun pada akhirnya apabila proses ini efektif, maka seseorang
akan terlepas dari tujuan dan asumsi sebelumnya yang kemudian
membawanya untuk berpikir bahwa cara lama yang dijalani dalam
hidupnya tidak lagi tepat untuk mengubah suatu keadaan.
Namun proses ini terjadi berbeda-beda pada seseorang, karena msih
ditemukan ketidakpercayaan terhadap pengalaman yang dialami
pada beberapa orang yang bertahan hidup dari kejadian traumatik.
Stress yang dialami menjaga proses kognitif untuk tetap aktif.
Apabila seseorang mendapatkan pemecahan masalah dengan segera
menerima keadaan saat ini dan dapat membantunya dalam kejadian
traumatik.
c. Dukungan dan keterbukaan (Support and disclosure)
Dukungan dari orang lain dapat membantu pertumbuhan post
traumatic growth, yaitu dengan memberikan kesempatan kepada
orang yang mengalami trauma, untuk menceritakan perubahan yang
terjadi dalam hidupnya dan juga dengan memberikan perspektif
yang dapat membantunya untuk perubahan yang positif. Bercerita
tentang trauma dan usaha untuk bertahan hidup juga dapat
membantu seseorang untuk mengeluarkan sisi emosionalnya
mengenai kejadian yang dialami. Selain itu melalui cerita, seseorang
dapat menciptakan keintiman dan merasa lebih diterima oleh orang
lain.
d. Proses kognitif dan perkembangan (Cognitive processing and
growth)
Kepercayaan diri dalam menggunakan sebuah coping dan
menentukan apakah seseorang akan terus berjuang atau menyerah
juga membantu perkembangan post traumatic growth. Seseorang
dengan kepercayaan diri tinggi dapat mengurangi ketidaksesuaian
suatu keadaan dan memberikan fungsi yang optimal dari coping
yang digunakan, sedangkan seseorang dengan kepercayaan diri
rendah akan menyerah. Apabila seseorang mengalami perubahan,
kemudian pada keadaan yang sama mencoba membentuk skema,
tujuan dan makna baru dalam kehidupannya.
e. Perenungan atau proses kognitif (Rumination or cognitive
processing)
Asumsi seseorang mengenai dunia atau skema yang telah hancur
harus direkontruksi ulang agar berguna bagi tingkah laku dan
pilihan yang akan diambil. Pembangunan kembali skema tersebut
untuk lebih bertahan dapat menuntun orang yang mengalami
pengalaman traumatik untuk berpikir ulang mengenai keadaan yang
dialaminya.
f. Kebijaksanaan dan cerita kehidupan (Wisdom and life narrative)
Pengalaman post traumatic growth seseorang merupakan sebuah
proses perubahan yang di dalamnya terdapat pengaruh
kebijaksanaan seseorang dalam memandang kehidupan. Keteguhan
seseorang dalam menghadapi kejadian traumatik dapat membentuk
post traumatic growth dan bersifat memperbaiki cerita
kehidupannya.
B. Tugas Perkembangan Fase Dewasa 1. Pengertian Masa Dewasa
Istilah dewasa menggambarkan segala organisme yang telah
matang, tetapi lazimnya merujuk pada manusia. Dewasa adalah orang
yang bukan lagi anak-anak dan telah menjadi pria atau wanita
karakteristik perilaku dewasa, tetapi tetap diperlakukan sebagai anak
kecil jika berada di bawah umur dewasa secara hukum. Sebaliknya,
seseorang dapat secara legal dianggap dewasa, tetapi tidak memiliki
kematangan dan tanggung jawab yang mencerminkan karakter dewasa.
Setelah mengalami masa kanak-kanak dan remaja yang panjang,
seorang individu akan mengalami masa dimana ia telah menyelesaikan
pertumbuhannya dan mengharuskan dirinya untuk berkecimpung
dengan masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya.
Dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, masa dewasa adalah
waktu yang paling lama dalam rentang kehidupan (Jahja, 2011).
Masa dewasa biasanya dimulai sejak usia 18 tahun hingga kira-kira
usia 40 tahun dan biasanya ditandai dengan selesainya pertumbuhan
pubertas dan organ kelamin anak telah berkembang dan mampu
bereproduksi. Pada masa ini, individu akan mengalami perubahan fisik
dan psikologis tertentu bersamaan dengan masalah-masalah
penyesuaian diri dan harapan terhadap perubahan tersebut (Jahja,
2011).
Elizabeth B. Hurlock (1980) membagi masa dewasa menjadi tiga
bagian meliputi:
a. Masa Dewasa Awal (Masa Dewasa Dini/Young Adult)
Masa dewasa awal adalah masa pencarian kemantapan dan masa
reproduktif yaitu suatu masa yang penuh dengan masalah dan
dan masa ketergantungan, perubahan nilai-nilai, kreativitas dan
penyesuaian diri pada hidup yang baru. Kisaran umur antara 21-40
tahun.
b. Masa Dewasa Madya (Middle Adulthood)
Masa dewasa madya ini berlangsung dari umur 40 tahun sampai 60
tahun. Ciri-ciri yang merupakan pribadi dan sosial antara lain;
masa dewasa madya merupakan masa transisi, dimana pria dan
wanita meninggalkan ciri-ciri jasmani dan perilaku masa
dewasanya dan memasuki suatu periode dalam kehidupan dengan
ciri-ciri jasmani dan perilaku yang baru. Perhatian terhadap agama
lebih besar dibandingkan dengan masa sebelumnya dan
kadang-kadang minat dan perhatian terhadap agama ini dilandasi
kebutuhan pribadi dan sosial.
c. Masa Dewasa Lanjut (Masa Tua/Older Adult)
Usia lanjut adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang.
Masa ini dimulai umur 60 tahun sampai akhir hayat, yang ditandai
dengan adanya perubahan yang bersifat fisik dan psikologis yang
semakin menurun. Adapun ciri-ciri yang berkaitan dengan
penyesuaian pribadi dan sosialnya sebagai berikut; perubahan yang
menyangkut kemampuan motoric, kekuatan fisik, perubahan dalam
2. Ciri-ciri Manusia Masa Dewasa
Masa dewasa adalah masa awal seseorang dalam menyesuaikan
diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial
baru. Pada masa ini, seseorang dituntut untuk memulai kehidupannya
memerankan peran ganda seperti peran sebagai suami/istri dan peran
dalam dunia kerja. Masa dewasa dikatakan sebagai masa sulit bagi
individu karena pada masa ini seseorang dituntut untuk melepaskan
ketergantungannya terhadap orang tua dan berusaha untuk dapat
mandiri. Ciri-ciri masa dewasa dini (Jahja, 2011) yaitu:
a. Masa Pengaturan (Settle Down)
Pada masa ini, seseorang akan mencoba-coba sebelum individu
menentukan mana yang sesuai, cocok dan memberi kepuasan
permanen. Ketika ia telah menemukan pola hidup yang diyakini
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, individu akan
mengembangkan pola-pola perilaku, sikap dan nilai-nilai yang
cenderung akan menjadi keikhlasan selama sisa hidupnya.
b. Masa Usia Produktif
Dinamakan sebagai masa produktif karena pada rentang usia ini
merupakan masa-masa yang cocok untuk menentukan pasangan
hidup, menikah dan bereproduksi/menghasilkan anak. Pada masa
ini, organ reproduksi sangat produktif dalam menghasilkan
keturunan (anak).
Masa dewasa dikatakan sebagai masa yang sulit dan bermasalah.
Hal ini dikarenakan seseorang harus mengadakan penyesuaian
dengan peran barunya (perkawinan vs pekerjaan). Jika individu
tidak dapat mengatasinya, maka akan menimbulkan masalah. Ada
tiga faktor yang membuat masa ini begitu rumit yaitu: pertama,
individu ini kurang siap dalam menanggapi babak baru bagi dirinya
dan tidak dapat menyesuaikan dengan babak/peran baru ini. Kedua,
karena kurang persiapan, maka ia kaget dengan dua peran/lebih
yang harus diembannya secara serempak. Ketiga, individu tidak
memperoleh bantuan dari orang tua atau siapa pun dalam
menyelesaikan masalah.
d. Masa Ketegangan Emosional
Ketika seseorang berumur 20-an (sebelum 30-an), kondisi
emosionalnya tidak terkendali. Individu cenderung labil, resah dan
mudah memberontak. Pada masa ini juga emosi seseorang sangat
bergelora dan mudah tegang. Individu juga khawatir dengan status
dalam pekerjaan yang belum tinggi dan posisinya yang baru
sebagai orang tua. Namun ketika telah berumur 30-an, seseorang
akan cenderung stabil dan tenang dalam emosi.
e. Masa Keterasingan Sosial
Masa dewasa dini adalah masa dimana seseorang mengalami
“krisis isolasi”, individu terisolasi atau terasingkan dari kelompok
dan keluarga. Hubungan dengan teman-teman sebaya juga menjadi
renggang. Keterasingan diidentifikasikan dengan adanya semangat
bersaing hasrat untuk maju dalam berkarir.
f. Masa Komitmen
Pada masa ini juga individu mulai sadar akan pentingnya sebuah
komitmen. Individu mulai membentuk pola hidup, tanggung jawab
dan komitmen baru.
g. Masa Ketergantungan
Pada awal masa dewasa dini sampai akhir usia 20-an, seseorang
masih punya ketergantungan pada orang tua atau organisasi atau
instansi yang mengikatnya.
h. Masa Perubahan Nilai
Nilai yang dimiliki seseorang ketika individu berada pada masa
dewasa dini berubah karena pengalaman dan hubungan sosialnya
semakin meluas. Nilai sudah mulai dipandang dengan kacamata
orang dewasa. Nilai-nilai yang berubah ini dapat meningkatkan
kesadaran positif. Alasan kenapa seseorang berubah nilai-nilainya
dalam kehidupan karena agar dapat diterima oleh kelompoknya
yaitu dengan cara mengikuti aturan-aturan yang telah disepakati.
Pada masa ini seseorang akan lebih menerima/berpedoman pada
nilai konvensional dalam hal keyakinan. Egosentrisme akan
berubah menjadi sosial ketika individu telah menikah.
Ketika seseorang telah mencapai masa dewasa berarti individu
harus lebih bertanggung jawab karena pada masa ini individu
sudah mempunyai peran ganda (peran sebagai orang tua dan
pekerja).
j. Masa Kreatif
Dinamakan sebagai masa kreatif karena pada masa ini seseorang
bebas untuk berbuat apa yang diinginkan. Namun kreativitas
tergantung pada minat, potensi dan kesempatan. Menurut Dr.
Harold Shryrock (dalam Jahja, 2011) dari Amerika Serikat, ada
lima faktor yang dapat menunjukkan kedewasaan yaitu: ciri fisik,
kemampuan mental, pertumbuhan sosial, emosi dan pertumbuhan
spiritual dan moral.
1) Fisik
Secara fisik, rangka tubuh, tinggi dan lebarnya tubuh seseorang
dapat menunjukkan sifat kedewasaan pada diri seseorang.
Faktor-faktor ini memang biasa digunakan sebagai ukuran
kedewasaan, akan tetapi, segi fisik saja belum dapat menjamin
ketepatan bagi seseorang untuk dapat dikatakan dewasa. Sebab
banyak orang yang telah cukup usia dan kelihatan dewasa akan
tetapi ternyata masih sering memperlihatkan sifat
kekanak-kanakannya. Oleh sebab itu, dalam menentukan tingkat
kedewasaan seseorang dari segi fisiknya harus pula dengan
setiap persoalan yang dihadapi dan ruginya sebuah
permasalahan hidup. Selain itu, juga adanya kepercayaan pada
diri sendiri dan tidak bergantung pada orang lain, tidak cepat
naik pitam dan marah, serta tidak menggerutu di saat menderita
dan menerima cobaan dari Tuhan, sehingga nantinya individu
dapat dilihat bagaimana tingkat kedewasaan seseorang tersebut
dalam mengatasi semua persoalan hidup yang dialami.
2) Kemampuan Mental
Dari segi mental atau rohani, kedewasaan seseorang dapat
dilihat. Orang yang telah dewasa dalam cara berpikir dan
tindakannya berbeda dengan orang yang masih
kekanak-kanakan sifatnya. Dapat berpikir secara logis, pandai
mempertimbangkan segala sesuatu dengan adil, terbuka dan
dapat menilai semua pengalaman hidup merupakan salah satu
ciri-ciri kedewasaan pada diri seseorang. Sikap kedewasaan
yang sempurna itu jika ada keserasian antara perkembangan
fisik dan mentalnya.
3) Pertumbuhan Sosial
Sifat kedewasaan seseorang dapat dilihat dari pertumbuhan
sosialnya. Pertumbuhan sosial adalah suatu pemahaman tentang
bagaimana individu manyayangi pergaulan, bagaimana dapat
memahami tentang watak dan kepribadian orang lain dan
oleh orang lain dalam pergaulannya. Perasaan simpatik kepada
orang lain dan bahkan merupakan ciri kedewasaan secara
sosial.
4) Emosi
Emosi sangat erat hubungannya dengan segala aspek kehidupan
manusia, termasuk kehidupan yang menyangkut sendi-sendi
dalam kehidupan berumah tangga. Emosi adalah keadaan batin
manusia yang berhungan erat dengan rasa sayang, sedih,
gembira, kasih sayang dan benci. Kedewasaan seseorang dapat
dilihat dari cara seseorang dalam mengendalikan emosi. Jika
orang pandai mengendalikan emosinya, maka berarti semua
tindakan yang dilakukannya bukan hanya mengandalkan
dorongan nafsu, melainkan telah menggunakan akalnya juga.
Menyalurkan emosi dengan dikendalikan oleh akal dan
pertimbangan sehat akan dapat melahirkan sebuah tindakan
yang telah dewasa dan yang tetap akan berada dalam peraturan
dan norma-norma yang berlaku dalam agama. Orang telah
menguasai dan mengendalikan emosinya dengan disertai oleh
kemampuan mental yang cukup dewasa, pasti dapat
mengendalikan dirinya menuju kehidupan yang bahagia
dikarenakan selalu bersifat terbuka dalam menghadapi berbagai
kesulitan dan persoalan hidup serta dapat merasa puas dan
sanggup menerima segala sesuatunya dengan lapang dada.
5) Pertumbuhan Spiritual dan Moral
Kematangan spiritual dan moral bagi seseorang yang
mendorong untuk mengasihi dan melayani orang lain dengan
baik. Oleh sebab itu, pertumbuhan ini harus dimulai sejak awal
dan dikembangkan untuk dapat menghayati rahmat Allah SWT.
Sehingga dengan demikian orang tersebut dapat dikatakan
sebagai orang yang pandai mensyukuri nikmat-Nya. Seseorang
yang telah berkembang pertumbuhan spiritual dan moralnya
akan lebih pandai dan lebih tenang dalam menghadapi berbagai
kesulitan dan persoalan hidup yang menimpa dirinya, sebab
dengan demikian segalanya akan dipasrahkan kepada Allah
SWT dengan disertai ikhtiar menurut kemampuan sendiri.
C. Perceraian
1. Pengertian Perceraian
Perceraian bukanlah peristiwa tunggal. Perceraian adalah sebuah
proses rangkaian pengalaman berpotensi menekan yang dimulai
sebelum perpisahan fisik dan terus berlangsung setelah terjadinya
perpisahan tersebut. Bahkan mengakhiri perkawinan yang tidak
bahagia bisa jadi menyakitkan, terutama pada anak dalam perkawinan
tersebut. Walaupun sebagian orang tampaknya menyesuaikan diri lebih
jangka panjang, terutama bagi pihak yang tidak memulai perceraian
atau tidak menikah kembali. Alasannya antara lain gangguan hubungan
orang tua-anak, perselisihan dengan mantan pasangan, kesulitan
ekonomi, kehilangan dukungan emosional dan harus keluar dari
rumah. Perceraian dapat membawa perasaan gagal, bersalah,
permusuhan dan mencaci diri sendiri, ditambah lagi tingkat depresi,
sakit dan kematian yang tinggi. Di sisi lain, ketika pernikahan sudah
penuh konflik, maka pengakhirannya justru dapat meningkatkan
kebahagiaan (Hurlock, 1980).
Perceraian menurut Murdock (dalam Houtmauli, 2008) seharusnya
dilihat sebagai sebuah proses seperti halnya perkawinan. Aktivitas itu
terjadi karena sejumlah aspek yang menyertainya seperti emosi,
ekonomi, sosial dan pengakuan secara resmi oleh masyarakat melalui
hokum yang berlaku. Namun dalam hal perceraian, Goode
berpandangan sedikit berbeda, Goode berpendapat bahwa pandangan
yang menganggap perceraian merupakan suatu “kegagalan” adalah
bias, karena semata-mata mendasarkan perkawinan pada cinta dan
romantik. Padahal semua sistem perkawinan paling sedikit terdiri dari
dua orang yang hidup dan tinggal bersama dimana masing-masing
memiliki keinginan, kebutuhan, nafsu serta latar belakang dan nilai
sosial yang bisa berbeda satu sama lain. Perbedaan-perbedaan itu dapat
memunculkan ketegangan-ketegangan dan ketidakbahagiaan yang
Perceraian diikuti oleh periode penyesuaian diri yang menyakitkan.
Penyesuaian tersebut tergantung kepada cara perceraian tersebut
ditangani, perasaan seseorang akan diri mereka sendiri dan mantan
pasangan mereka, keputusan emosional dari mantan pasangan,
dukungan sosial dan sumber dana personal. Penyesuaian diri terhadap
perceraian merupakan proses jangka panjang yang cenderung
menurunkan kebahagiaan (Papalia dkk, 2008).
2. Faktor-faktor Penyebab Perceraian
Menurut Dariyo (2003), pasangan suami-istri yang melakukan
perceraian tentu didasari sebab-sebab yang tidak dapat diselesaikan
bersama. Mungkin mereka berusahaa menyelesaikan masalah tersebut,
namun akhirnya tidak kunjung selesai sehingga harus ditempuh dengan
jalan terbaik bagi mereka, yaitu perceraian. Beberapa faktor yang
menyebabkan terjadinya perceraian suami-istri di antaranya sebagai
berikut:
a. Masalah Keperawanan (Virginity)
Istri yang dinikahi seorang suami ternyata sebelumnya sudah tidak
perawan lagi. Hal ini berlaku untuk suatu daerah atau wilayah yang
menjunjung tinggi nilai sosial-budaya bahwa keperawanan
merupakan faktor penting dalam pernikahan. Bagi seorang individu
(laki-laki) yang menganggap keperawanan sebagai sesuatu yang
penting, kemungkinan masalah keperawanan akan menggaggu
tidak mempersalahkan tentang keperawanan, kehidupan
pernikahan akan dapat dipertahankan dengan baik.
b. Ketidaksetiaan Salah Satu Pasangan Hidup
Salah satu pasangan (suami atau istri) ternyata menyeleweng atau
selingkuh dengan pasangan lain. Keberadaan orang ketiga (wanita
lain atau pria lain) memang akan mengganggu kehidupan
pernikahan. Bila di antara keduanya tidak ditemukan kata sepakat
untuk menyelesaikan dan saling memaafkan, akhirnya
perceraianlah jalan terbaik untuk mengakhiri hubungan pernikahan
itu.
c. Tekanan Kebutuhan Ekonomi Keluarga
Sudah sewajarnya, seorang suami bertanggung jawab memenuhi
kebutuhan ekonomi keluarga. Itulah sebabnya, seorang istri berhak
menuntut supaya suami dapat memenuhi kebutuhan ekonomi
keluarga. Sementara itu, diketahui bahwa harga barang-jasa
kebutuhan hidup semakin melonjak tinggi karena faktor krisis
ekonomi Negara yang belum berakhir. Sementara itu, suami tetap
memiliki gaji/penghasilan pas-pasan sehingga hasilnya tidak cukup
untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Apalagi mereka yang
terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), hal itu dirasakan amat
berat. Untuk menyelesaikan masalah itu, kemungkinan seorang
istri menuntut cerai dari suaminya.
Kemungkinan karena tidak mempunyai keturunan walaupun
menjalin hubungan pernikahan bertahun-tahun dan berupaya
kemana-mana untuk mengusahakannya, namun tetap saja gagal.
Guna menyelesaaikan masalah keturunan ini, mereka sepakat
mengakhiri pernikahan dengan bercerai dan masing-masing
menentukan nasib sendiri. Tidak adanya keturunan itu mungkin
disebabkan kemandulan yang dialami salah satu atau keduanya.
e. Salah Satu dari Pasangan Hidup Meninggal Dunia
Setelah meninggal dunia dari salah satu pasangan hidup, secara
otomatis keduanya bercerai. Apakah kematian tersebut disebabkan
faktor sengaja (bunuh diri) ataupun tidak sengaja (mati dalam
kecelakaan, mati karena sakit, mati karena bencana alam) tetap
mempengaruhi terjadinya perpisahan (perceraian) suami-istri.
f. Perbedaan Prinsip, Ideologi atau Agama
Semula ketika pasangan antara laki-laki dan wanita maasih dalam
masa pacaran, yaitu sebelum membangun kehidupan rumah tangga,
mereka tidak memikirkan secara mendalam tentang perbedaan
prinsip, agama atau keyakinan. Mereka merasa yakin bahwa yang
terpenting saling mencintai antara satu dan yang lain akan dapat
mengatasi masalah dalam pernikahan sehingga perbedaan itu
diabaikan begitu saja. Namun, setelah memasuki jenjang
pernikahan dan kemudian memiliki keturunan, akhirnya mereka
mengenai penentuan anak harus mengikuti aliran agama dari pihak
siapa, apakah ikut ayah atau ibunya. Rupanya, hal itu tidak dapat
diselesaikan dengan baik sehingga perceraianlah jalan terakhir bagi
mereka.
3. Akibat-akibat Perceraian
Menurut Dariyo (2003), individu yang telah melakukan perceraian,
baik disadari maupun tidak disadari akan membawa dampak negative.
Hal-hal yang dirasakan akibat perceraian tersebut, di antaranya sebagai
berikut:
a. Pengalaman traumatis pada salah satu pasangan hidup (laki-laki
atau wanita)
Individu yang telah berupaya sungguh-sungguh dalam
menjalankan kehidupan pernikahan ternyata harus berakhir dengan
perceraian, akan dirasakan kesedihan, kekecewaan, frustasi, tidak
nyaman, tidak tenteram, tidak bahagia, stress, depresi, takut dan
khawatir dalam diri individu. Akibatnya, individu akan memiliki
sikap b