• Tidak ada hasil yang ditemukan

POST TRAUMATIC GROWTH PADA WANITA DEWASA AWAL PASCA PERCERAIAN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "POST TRAUMATIC GROWTH PADA WANITA DEWASA AWAL PASCA PERCERAIAN."

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

POST TRAUMATIC GROWTH PADA WANITA DEWASA AWAL PASCA PERCERAIAN

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata Satu (S1) Psikologi (S.Psi)

Dian Luluk Nur Layly B07211037

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)
(3)
(4)

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan faktor-faktor apa yang mempegaruhi pertumbuhan post traumatic growth yaitu pengalaman perubahan positif yang timbul dari krisis kehidupan pada wanita dewasa awal pasca mengalami perceraian. Partisipan pada penelitian ini terdapat 3 subyek yakni dengan karakteristik jenis kelamin perempuan, telah bercerai, usia dewasa awal (20-25 tahun). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif yang berlandaskan fenomenologi. Hasil penelitian menunjukkan terdapat beberapa hal yang menunjang terbentuknya petumbuhan PTG yang meliputi pengolahan emosi yang baik serta menumbuhkan motivasi dalam diri akan kemungkinan-kemungkinan baru. Kemudian terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi aspek post traumatic growth pada wanita dewasa awal pasca perceraian. Faktor eksternal adalah dorongan dan motivasi kedua orang tua serta dukungan dari teman-teman terdekat sehingga memicu penguatan faktor internal yang meliputi, faktor peningkatan spiritualitas, kekuatan dalam diri dan relasi sosial semakin baik.

(5)

ABSTRACT

This study is to know in depth the factors that influence the growth of post traumatic growth, which experience positive changes arising from the crisis in the lives of adult women experiencing early post divorce. Participants in this study contained three subjects namely the female sex characteristics , divorced , early adulthood ( 20-25 years ) . The method used in this study is a qualitative research method based on phenomenology . to research results , there are two main factors that affect aspects of post traumatic growth at the beginning of adult women after divorce The external factor is the encouragement and motivation of parents and the support of my closest friends , triggering strengthening internal factors which include , factors increase spirituality , inner strength and better social relations .

(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

INTISARI ... viii

ABSTRACT ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah ... 1

B. Fokus Penelitian ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Keaslian Penelitian ... 8

BAB II KAJIAN TEORITIK A. Post Traumatic Growth ... 13

1. Pengertian Post Traumatic Growth ... 13

2. Faktor-faktor Post Traumatic Growth ... 15

3. Proses terjadinya Post Traumatic Growth ... 17

B. Masa Dewasa ... 21

1. Pengertian Masa Dewasa ... 21

2. Ciri-ciri Manusia Dewasa... 23

C. Perceraian ... 30

D. Post Traumatic Growth pada Wanita Dewasa Awal ... 31

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 34

B. Lokasi Penelitian ... 35

C. Sumber Data ... 35

D. Cara Pengumpulan Data ... 36

E. Prosedur Analisis dan Interpretasi ... 37

(7)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Deskripsi Subjek ... 41

A. Identitas Subjek 1 ... 41

B. Identitas Subjek 2 ... 45

C. Identitas Subjek 3 ... 52

2. Hasil Penelitian ... 56

A. Deskripsi Hasil Temuan ... 56

1) Subyek 1 ... 56

2) Subyek 2 ... 64

3) Subyek 3 ... 69

B. Analisis Temuan Penelitian... 73

1) Subyek 1 ... 73

2) Subyek 2 ... 76

3) Subyek 3 ... 78

3. Pembahasan ... 80

A. Proses Post Traumatic Growth ... 80

B. Faktor-faktor yang memepngaruhi Post Traumatic Growth ... 82

BAB V PENUTUP 1. Kesimpulan ... 87

2. Saran ... 87

DAFTAR PUSTAKA ... 90

(8)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di dalam perkembangan hidup manusia selalu di mulai dari berbagai

tahapan, yang di mulai dari masa kanak-kanak, remaja dan dewasa. Dalam

setiap tahapan perkembangan terdapat tugas-tugas yang khas yang harus di

selesaikan oleh individu untuk kemudian di lanjutkan ketahapan berikutnya.

Salah satu tahapan dimana individu memulai suatu babak baru dalam

kehidupan adalah tahapan dewasa muda. Pada saat seseorang telah berhasil

melalui masa remaja dan harus menyiapkan diri untuk menghadapi tantangan

kehidupan dewasa. Dalam kehidupan dewasa selalu dihadapkan pada suatu

proses hidup dimana manusia dewasa harus melalui suatu pernikahan.

Pernikahan merupakan perpaduan insingtif manusiawi antara laki-laki dan

perempuan di mana bukan sekedar memenuhi kebutuhan jasmani

(menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan) tetapi

dalam rangka mewujudkan kebahagiaan berkeluarga yang diliputi dengan

rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhoi oleh Alloh

SWT. Kehidupan berkeluarga tidak selalu harmonis seperti yang diangankan,

karena memelihara kelestarian dan keseimbangan hidup bersama suami istri

bukanlah perkara yang mudah dilaksanakan. Perlu disadari bahwa banyak

pernikahan yang tidak membuahkan tetapi tidak diakhiri dengan perceraian

karena perkawinan tersebut didasari oleh pertimbangan agama, moral, kondisi

(9)

2

dengan cara perpisahan dan pembatalan, baik secara hukum maupun

diam-diam (suami/istri) meninggalkan (dalam Hotmauli, 2008).

Perceraian menjadi permasalahan yang setiap tahunnya memperlihatkan

peningkatan yang signifikan. Angka gugat cerai di Indonesia terus meningkat

sepanjang tahun. Kondisi ini merata hampir di semua daerah di Indonesia.

Angka perceraian yang terjadi di Indonesia, 59 persen di antaranya adalah

gugat cerai. Berdasarkan data dari Mahkamah Agung Republik Indonesia

Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, pada kasus perceraian tahun

2010 yakni, cerai talak 81,535 (27.58%), cerai gugat 169,673 (57.40%),

perkara lain 44.381 (15%). Jadi keseluruhan kasus perceraian pada tahun

2010 yakni sebanyak 295.589. Di tahun 2011 kasus perceraian meningkat

menjadi 363.470 dari cerai talak 99.599 (27,40%), cerai gugat 215.365

(59,25%), perkara lain 48.503 (13,34%).

Humas Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Jawa Timur mengatakan bahwa

kasus perceraian di Jawa Timur juga telah mencapai 81.672 kasus. Lebih dari

70% kasus cerai gugat tersebut diajukan oleh pihak wanita. Tingginya kasus

perceraian tersebut disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya adalah

meningkatnya kesadaran hukum masyarakat, khususnya dalam hal

pernikahan. Oleh karena itu, hampir setiap hari pihaknya selalu menerima

laporan kasus perceraian. Berdasarkan data laporan perkara yang diterima

oleh PTA, sebanyak 59.585 pasangan menikah di Jawa Timur mengalami

cerai gugat. Sedangkan, sebanyak 31.864 pasangan menikah di Jawa Timur

(10)

3

Perceraian bukanlah hal yang mudah untuk dilalui bagi individu yang

mengalaminya. Hurlock (1989), mengemukakan bahwa efek traumatik yang

ditimbulkan akibat perceraian biasanya lebih besar dari pada efek kematian,

karena sebelum dan sesudah perceraian sudah timbul rasa sakit dan tekanan

emosional, serta mengakibatkan celah sosial. Oleh karena itu dukungan sosial

dari keluarga, kerabat, dan teman sangat dibutuhkan dan kehadiran dukungan

sosial itu akan sangat membantu individu yang bercerai dan mengurangi

dampak negatif perceraian terhadap dampak kesejahteraan psikologis.

Kemampuan seseorang menghadapi situasi pasca perceraian akan berbeda

pada setiap individu. Beberapa wanita yang sedang dalam masa transisi

khususnya pada dewasa awal yang mengalami perceraian akan merasa

terpuruk, rendah diri, dan mengalami ketakutan yang luar biasa dalam

menghadapi kehidupan sosialnya. Namun beberapa wanita pada usia dewasa

awal juga mengalami hasil positif setelah mengalami perceraian yang mana

hal ini disebut post-traumatic growth.

Menurut Tedeschi dan Calhoun (2006), pertumbuhan pasca trauma adalah

pengalaman perubahan positif yang terjadi sebagai akibat dari perjuangan

yang sangat menantang situasi kehidupan. Konsep post traumatic growth atau

pertumbuhan pasca trauma (PTG) sebagai pengalaman perubahan positif

yang signifikan timbul dari perjuangan dari krisis kehidupan yang besar

antara lain: apresiasi peningkatan hidup, pengaturan hidup dengan prioritas

baru, rasa kekuatan pribadi meningkat dan spiritual berubah secara positif

(11)

4

Perubahan positif yang terjadi sebagai hasil dari menghadapi trauma yang

mengancam kehidupan disajikan dalam berbagai cara, seperti: penerimaan

meningkatkan kerentanan seseorang, meningkatkan apresiasi terhadap

eksistensi sendiri dan penghargaan yang lebih besar terhadap kehidupan,

meningkatkan persepsi kompetensi dan kemandirian memberikan kontrol dan

keamanan yang lebih besar, peningkatan kasih sayang dan empati terhadap

orang lain, hubungan lebih dekat dengan orang lain, keyakinan agama atau

spiritual kuat yang berarti lebih besar tentang kehidupan dan penderitaan,

kematangan psikologis dan emosional yang lebih besar dan perolehan nilai

baru dan prioritas hidup. Para penulis berusaha untuk mengeksplorasi

pengalaman orang-orang yang tidak hanya bangkit kembali dari trauma,

tetapi menggunakannya sebagai batu loncatan untuk perkembangan individu

lebih lanjut atau pertumbuhan, dan perkembangan perilaku sosial yang lebih

manusiawi dan organisasi sosial.

Pertumbuhan pasca trauma juga memiliki dampak yang lebih besar pada

kehidupan masyarakat, dan melibatkan perubahan mendasar atau wawasan

tentang kehidupan yang tidak hanya mekanisme koping yang lain. Oleh

karena itu, pertumbuhan pasca trauma sebagai perubahan positif yang

signifikan dalam kehidupan, yang mempengaruhi kognitif dan emosional

pada individu. Signifikansi perubahan ini bisa begitu besar, bahwa

pertumbuhan ini dapat benar-benar transformatif menurut Tedeschi dan

Calhoun (1995 dalam Rahma dan Widuri, 2011). Selain itu, pertumbuhan

(12)

5

Tadeschi dan Calhoun (1996 dalam Rahma dan Widuri, 2011)

menyatakan sebuah isu yang belum terselesaikan untuk studi kepribadian dan

pertumbuhan pasca trauma adalah sejauh mana pertumbuhan tersebut

merupakan hasil dari proses, strategis yang terbukti efektif atau hasil dari

perubahan spontan yang muncul dalam persepsi diri. Perbedaan ini penting

karena karakteristik kepribadian yang memfasilitasi secara efektif,

pertumbuhan pribadi berorientasi mungkin berbeda dari yang memfasilitasi

perubahan otomatis atau tidak disengaja. Isu lain yang belum terselesaikan,

sama pentingnya tetapi dikaburkan dalam teori saat ini dan penelitian, adalah

apakah pertumbuhan pasca trauma secara tiba-tiba atau bertahap. Perubahan

bertahap juga mungkin memerlukan karakteristik kepribadian dan proses

yang berbeda dari perubahan secara mendadak. Untuk benar-benar

memahami bagaimana kepribadian terlibat dalam pertumbuhan pasca trauma,

kita perlu lebih sepenuhnya mengembangkan proses yang menentukan

pertumbuhan sebagai hasil yang sesuai.

Sebuah fenomena yang terjadi di masyarakat, tidak banyak wanita yang

telah bercerai mempunyai kekuatan untuk menghadapi kehidupan setelah

masa perceraian termasuk dalam menjalani kehidupan sosialnya. Namun

tidak sedikit pula wanita yang berhasil bangkit dari pengalaman masa

krisisnya dan menjadikan pelajaran yang berharga untuk kehidupan

selanjutnya. Secara umum dan logika kaum pria lebih banyak menderita

kecemasan dan rasa takut menghadapi masa depan setelah perceraian,

(13)

6

serta sebagai pilar utama untuk membahagiakan rumah tangga. Akan tetapi

pada kenyatannnya setelah melalui penelitian dan studi ilmiah, terbukti

bahwa wanitalah yang lebih sering merasakan kecemasan dan ketakutan

dalam menghadapi kehidupan pasca bercerai. Melihat hal ini peneliti tertarik

untuk memilih wanita khususnya pada usia dewasa awal sebagai subyek

penelitian karena berdasarkan penelitian dan study yang perna dilakukan

menunjukkan bahwa wanita lebih perasa dan pada tingkat tertentu, mereka

lebih sering terpengaruh dengan kesulitan dalam menghadapi kehidupan

sosialnya karena pada umumnya masyarakat masih berpandangan negatif

terhadap perceraian, sehingga hal ini dapat menimbulkan rasa malu dan

keputus asaan pada wanita tersebut.

B. Fokus Penelitian

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang sering terjadi di

masyarakat, penulis ingin menjawab pertanyaan : bagaimana proses

terbentuknya post traumatic growth pada wanita dewasa awal pasca

perceraian, serta faktor-faktor apa yang mempengaruhi terbentuknya post

traumatic growth pada wanita dewasa awal pasca perceraian?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab bagaimana proses

terbentuknya post traumatic growth pada wanita dewasa awal pasca

perceraian, serta faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya post

(14)

7

D. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini di harapkan memberi manfaat :

1. Menambah dan memperluas khazanah dalam keilmuan psikologi

klinis khususnya dalam aspek pasca-traumatik.

2. Memberi pengetahuan lebih dalam mengenai post traumatic growth

khususnya pada wanita dewasa awal pasca perceraian.

b. Manfaat Praktis

Penelitian ini di harapkan dapat memberi beberapa manfaat sebagai

berikut:

1. Bagi subyek, diharapkan dapat memberikan insigth bagi para wanita

khususnya pada wanita usia dewasa awal yang menghadapi situasi

pasca perceraian untuk dapat mengatasi rasa kehilangan akan

pasangan hidupnya, mampu membuka pikiran yang lebih positif untuk

melanjutkan kehidupan selanjutnya dan tidak mengalami stress yang

berkelanjutan.

2. Bagi wanita yang telah bercerai (Janda) yakni memberi pengetahuan

tentang pengalaman Post Traumatic Growth seseorang pasca bercerai

sehingga dapat memahami bagaimana caranya untuk bangkit dari

masa krisis yang terjadi dalam kehidupannya.

3. Bagi masyarakat, diharapkan penelitian ini dapat memberikan

pengetahuan kepada keluarga yang salah satu anggotanya perna

(15)

8

menangani masalah tersebut, memahami posisi mereka dan

memberikan bantuan berupa dukungan sosial.

C. Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai Post Traumatic Growth telah banyak diteliti oleh

beberapa peneliti sebelumnya, diantaranya :

Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Rahmah (2011). Post Traumatic

Growth pada Penderita Kangker Payudara. Berdasarkan analisis data

penelitian didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa terdapat dua faktor

yang mempengaruhi aspek post traumatic growth pada penderita kangker

payudara. Faktor eksternal adalah anak cucu sebagai life expectation serta

dorongan atau motivasi dari kedua orang tua secara terus menerus untuk

melakukan pengobatan sehingga akhirnya memicu penguatan faktor internal.

Faktor internal yang meliputi faktor keimanan (spiritualitas), faktor keinginan

kuat untuk sembuh (optimisme), faktor resiliensi, dan faktor reframing.

Terdapat 4 (empat) post traumatic growth yang timbul dari perjuangan

penderita kangker payudara dalam menghadapi penyakitnya; peningkatan

spiritualitas, positive improvement in life, prososial semakin tinggi, dan relasi

sosial semakin baik.

Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Mahleda (2012) . Post Traumatic

Growth pada Pasien Kangker Payudara Pasca Mastektomi Usia Dewasa

Madya. Yang hasil penelitiannya menunjukkan bahwa awalnya pasien

mengalami emosi negatif setelah menjalani mastektomi. Setelah melakukan

(16)

9

Subyek bisa mengembangkan diri menuju pertumbuhan psikologis, yaitu

menjadi lebih baik dari sebelumnya. Proses ini di pengaruhi pula oleh adanya

dukungan sosial dan keyakinan terhadap Tuhan.

Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Karina (2014). Resiliensi Remaja

yang Memiliki Orang Tua Bercerai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

secara umum kemampuan resiliensi pada remaja yang memiliki orang tua

bercerai adalah rata-rata bawah (30,56%)

Ke empat, penelitian yang dilakukan oleh Hotmauli (2008). Kecemasan

Pasca Bercerai pada Wanita Dewasa Awal. Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa subyek mengalami kecemasan seperti sedih karena keluarganya tidak

ada yang membantu, kecewa atas pernikahan dan kehidupan yang di

alaminya, cemas dalam memikirkan kebutuhan hidup sehari-hari dengan tiga

orang anak, wanita dewasa awal juga harus bisa mengatur ekonomi keluarga

secara mandiri dan panik memikirkan masa depan anak-anaknya.

Ke lima, penelitian yang dilakukan oleh Ningrum (2013). Perceraian

Orang Tua dan Penyesuaian Diri Remaja. Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa penelitian ini memperlihatkan bahwa subjek mampu menyesuaikan

diri dengan lingkungan karena subjek mampu menerima kenyataan dan

mampu menyelesaikan setiap permasalahan yang dihadapi dengan control

emosi yang baik, percaya diri, terbuka, memiliki tujuan, dan bertanggung

jawab juga dapat menjalin hubungan dengan cara yang berkualitas.

Ke enam, penelitian yang dilakukan oleh Dewiyanti (2014). Resiliensi

(17)

10

ini menunjukkan bahwa partisipan dapat resilien walaupun setelah perceraian

partisipan masih menghadapi masalah-masalah baru. Partisipan dapat resilien

dengan memiliki gambaran kemampuan resiliensi yang berbeda-beda.

Berdasarkan hasil penelitian, ketiga partisipan samasama memunculkan

kemampuan pada impulse control, optimism, empathy dan self efficacy meski

ketiga partisipan mempunyai kemampuan yang tidak sama persis.

Kemampuan resiliensi yang dimiliki membuat ketiga partisipan berhasil

dalam mengartikan sebuah peristiwa sulit.

Ke tujuh, penelitian yang dilakukan oleh Hagenaars (2010). Posttraumatic

Growth in Exprosure Therapy for PTSD. Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa pertumbuhan pasca trauma mungkin konsep baru yang berharga dalam

terapi trauma.

Ke delapan, penelitian yang dilakukan oleh Levine (2008). Strengths of

Character and Posttraumatic Growth. Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa pertumbuhan pasca trauma pada masa remaja ditandai oleh dua

komponen yang kuat, dan terbesar pada tingkat stres pasca trauma moderat.

Ke sembilan, penelitian yang dilakukan oleh Peterson (2008). Strengths of

Character and Posttraumatic Growth. Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa pertumbuhan trauma berikut mungkin memerlukan satu penguatan

karakter.

Ke sepuluh, penelitian yang dilakukan oleh Stephen Jhoseph (2009).

(18)

11

gagasan pertumbuhan kesulitan mengikuti menjanjikan pandangan alternatif

tentang bagaimana untuk berpikir tentang trauma.

Ke sebelas, penelitian yang dilakukan oleh Christian (2013). Religius

Coping, Posttraumatic Stress, Psychological Distress, and Posttraumatic

Growth Among Female survivors Four Years After Hurricane Katrina. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa hasil dari pemodelan regresi struktural

menunjukkan bahwa koping agama negatif di kaitkan dengan tekanan

psikologis, tetapi tidak PTS. Koping religius positif di kaitkan dengan PTG.

Analisis lebih lanjut menunjukkan efek tidak langsung signifikan sebelum

dan pasca bencana keagamaan di PTG pasca bencana melalui positif koping

agama. Temuan menggaris bawahi dampak positif dan negatif dari variabel

agama dalam konteks bencana alam.

Perbedaan penelitian Post Traumatic Growth pada penelitian ini dengan

penelitian sebelumnya yakni terletak pada tempat atau lokasi penelitian serta

subyek penelitiannya, yang pada penelitian sebelumnya menggunakan subyek

pasien yang mengalami penyakit kangker tetapi pada penelitian ini peneliti

memilih subyek penelitian wanita dewasa awal pasca bercerai yang dianggap

menarik untuk diteliti. Peneliti ingin menggali lebih dalam bagaimana

perkembangan dan dampak psikologis yang terjadi pada wanita dewasa awal

yang mana seorang wanita sering dianggap lemah. Peneliti ingin menggali

bagaimana dinamika pertumbuhan psikologis yang terjadi pada wanita

dewasa awal pasca bercerai serta bagaimana caranya ia menghadapi

(19)

12

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Post Traumatic Growth

1. Pengertian Post Traumatic Growth

Post-traumtic Growth menurut Tedeschi dan Calhon (2006) adalah

suatu perubahan positif seorang menuju level yang lebih tinggi setelah

menglami peristiwa traumatis. Post –traumatic Growth bukan hanya

kembali ke sediakala, tetapi juga mengalami peningkatan psikologis yang

bagi sebagian orang adalah sangat mendalam. Peningkatan tersebut

terlihat dari tiga dimensi yang berkembang, yaitu persepsi diri, hubungan

dengan orang lain dan falsafah hidup.

Menurut Tedeschi dan Callhoun (2006) pertumbuhan pasca trauma

adalah pengalaman perubahan positif yang terjadi sebagai akibat dari

perjuangan yang sangat menantang situasi kehidupan. Konsep

pertumbuhan pasca trauma atau yang biasa disingkat PTG, sebagai

pengalaman perubahan positif yang signifikan timbul dari perjuangan

krisis kehidupan yang besar antara lain: apresiasi peningkatan hidup,

pengaturan hidup dengan prioritas baru, rasa kekuatan pribadi meningkat

dan spiritual berubah secara positif.

Post-traumatic Growth merupakan pengalaman berupa perubahan

positif yang terjadi sebagai hasil dari perjuangan seseorang dalam

(20)

13

Post-traumatic Growth (PTG) memiliki dua pengertian penting.

Pertama, Tedeschi dan Callon menyatakan bahwa PTG dapat terjadi saat

seseorang mengalami kejadian yang sangat tidak diinginkan atau tidak

menyenangkan. Tingkat stress yang rendah dan proses perkembangan

yang normal tidak berhubungan dengan timbulnya PTG. Kedua,

perubahan positif hanya akan terjadi setelah seseorang melakukan

perjuangan. Perjuangan ini merujuk pada penerimaan masa lalu dan masa

depannya dalam kehidupan yang terjadi segera setelah mengalami trauma

yang berat, menurut Bellizi & Blank dan Tedeschi & Callon (2008 dalam

Shafira, 2011).

Definisi lain tentang posttraumatic growth disampaikan oleh

Patton, Voilanti, dan Smith (2010), mereka mengatakan bahwa

posttraumatic growth adalah perubahan yang menguntungkan secara

signifikan dalam hal kognitif dan emosional yang melampaui tingkat

adaptasi sebelumnya, peningkatan fungsi psikologis atau kesadaran akan

hidup yang terjadi sebagai akibat dari psikologis trauma yang menantang

asumsi sebelumnya ada tentang diri sendiri, orang lain, dan masa depan.

Pengertian lainnya mengenai posttraumatic growth juga

disampaikan oleh Calhoun and Tedeschi (2006) adalah suatu konstruksi

perubahan psikologis yang positif yang terjadi sebagai hasil dari

perjuangan seseorang dengan acara yang sangat menantang, stress, dan

trauma. Selain itu, Janoff- Bulman juga menyatakan bahwa "ini adalah

(21)

14

pengalaman traumatik oleh unsur-unsur positif dalam mengamati korban

tersebut”.

PTG bukan merupakan hasil langsung yang terjadi setelah

pengalaman traumatik. PTG merupakan perjuangan individu dalam

menghadapi realita baru setelah mengalami kejadian traumatik. Tedeschi

& Callon (1998 dalam Shafira, 2011)menggunakan istilah gempa bumi

(earthquake) untuk menjelaskan PTG. Kejadian psikologis yang

“mengguncang” dapat menyiksa atau mengurangi pemahaman seseorang

dalam memahami sesuatu, mengambil keputusan dan perasaan berarti.

Kejadian yang “mengguncang” dapat membuat seseorang menganggap

bahwa kejadian tersebut merupakan suatu tantangan yang berat,

melakukan penyangkalan, atau mungkin kehilangan kemampuan unutk

memahami apa yang terjadi, penyebab dan alasan kejadian tersebut terjadi

dan dugaan abstrak seperti apa tujuan dari kehidupan manusia.

Menurut Tedeschi & Callon (2004 dalam Shafira, 2011) setelah

mengalami kejadian yang “mengguncang” seseorang akan membangun

kembali proses kognitifnya. Hal ini dapat diibaratkan dengan membangun

kembali bangunan fisik yang telah hancur setelah gempa bumi. Struktur

fisik dirancang agar seseorang dapat lebih bertahan atau melawan

kejadian traumatik dimasa depan yang merupakan hasil pelajaran dari

gempa bumi sebelumnya mengenai apa yang dapat bertahan dari dan apa

yang tidak. Ini merupakan hasil dari sebuah kejadian yang dapat

(22)

15

Berdasarkan beberapa uraian tentang pengertian di atas dapat

disimpulkan bahwa posttraumatic growth (pertumbuhan pasca trauma)

adalah pengalaman perubahan yang positif setelah masa krisis atau

kejadian yang tidak diinginkan dan tidak menyenangkan dalam kehidupan

seseorang, yang menghasilkan beberapa peningkatan yaitu persepsi diri,

hubungan dengan orang lain dan falsafah hidup.

2. Faktor-faktor Post Traumatic Growth

Calhon dan Tedeschi (2006) menyebutkan perubahan dalam diri

seseorang pasca kejadian traumatic yang juga merupakan elemen PTG,

antara lain :

a. Appreciacion for life (Penghargaan Hidup)

Merupakan perubahan mengenai hal apa yang penting dalam

kehidupan seseorang. Perubahan yang mendasar adalah perubahan

mengenai prioritas hidup seseorang yang juga dapat meningkatkan

penghargaan kepada hal-hal yang dimilikinya misalnya menghargai

kehidupannya. Perubahan prioritas tersebut menjadikan suatu hal yang

kecil menjadi penting dan berharga misalnya pada wanita pasca

bercerai ia akan lebih menghargai dan memikirkan kehidupan

selanjutnya yaitu masa depan.

b. Relating to Others (Hubungan dengan orang lain)

Merupakan perubahan seperti hubungan yang lebih dekat dengan

orang lain, lebih intim dan lebih berarti. Seseorang mungkin akan

(23)

16

pada wanita pasca bercerai menyatakan bahwa ia lebih empati

terhadap siapapun yang sedang sakit dan siapapun yang mengalami

kesedihan.

c. Personal Strength (Kekuatan Pribadi)

Merupakan perubahan yang berupa peningkatan kekuatan personal

atau mengenal kekuatan dalam diri yang dimilikinya. Misalnya pada

wanita pasca bercerai menyatakan “Saya dapat mngatur semuanya

dengan lebih baik, hal-hal yang menjadi suatu masalah besar sekarang

tidak menjadi masalah yang tidak begitu besar bagi saya”.

d. New Possibilities (Kemungkinan Baru)

Merupakan identifikasi baru individu mengenai kemungkinan baru

dalam kehidupan atau kemungkinan untuk mengambil pola yang baru

dan berbeda. Sebagai contoh wanita dewasa pasca bercerai melihat

individu lain yang juga mengalami perceraian mempengaruhi dirinya

untuk berjuang menghadapi kesedihan dan menjadikan dirinya

sebagai teman curhat. Dengan menjadi teman curhat ia dapat mencoba

memberikan kepedulian dan rasa nyaman bagi orang lain yang

mengalami penderitaan dan kehilangan. Beberapa orang

memperlihatkan yang baru, aktivitas baru dan mungkin memulai pola

kehidupan baru yang signifikan.

e. Spiritual Development (Perkembangan Spiritual)

Merupakan perubahan berupa perkembangan pada aspek spiritualitas

(24)

17

atau tidak memiliki agama juga dapat mengalami PTG. Mereka dapat

mengalami pertempuran yang hebat dengan pertanyaan-pertanyaan

eksistensial yang mendasar atau pertempuran tersebut mungkin

dijadikan sebagai pengalaman PTG.

Selain itu Calhon dan Tedeschi (1996 dalam Shafira, 2011) juga

membagi PTG dalam tiga aspek, antara lain :

a. Perubahan dalam persepsi diri (Perceived Change in Self) antara lain

meliputi memiliki kekuatan dalam diri yang lebih besar, resiliensi

atau kepercayaan terhadap diri sendiri, terbuka dan mengembangkan

hal baru.

b. Perubahan dalam hubungan interpersonal (Change in interpersonal

relatitationship) antara lain meliputi peningkatan rasa altruis atau

memiliki rasa kedekatan yang lebih besar dalam suatu hubungan

dengan orang lain.

c. Perubahan dalam filosofi hidup (Change in philosophy of life) antara

lain memiliki apresiasi yang lebih besar setiap harinya dan

perubahan dalam hal spiritualitas atau religiusitas (kepercayaan

keagamaan).

3. Proses terjadinya Post Traumatic Growth

Telah dijelaskan oleh Tedeshci dan Calhoun (2006) beberapa

karakteristik individu dan gaya seseorang dalam mengatur emosinya

dapat meningkatkan kemungkinan seseorang untuk mengalami

(25)

18

keterbukaannya akan emosi dan perspektif mereka akan krisis yang

dihadapi, mungkin juga memegang peranan dalam terjadinya PTG pada

seseorang. Kemudian dapat digambarkan bagaimana cognitive process

dalam menghadapi kejadian traumatik, seperti proses pemikiran berulang

atau perenungan (ruminative thougth) juga berhubungan munculnya PTG.

Sehingga dapat diasumsikan bahwa proses kognitif seseorang dalam

keadaan krisis memainkan peranan yang penting dalam proses PTG.

a. Karakteristik personal atau individu

Tingkatan trauma ynag dialami oleh individu tentunya akan

mempengaruhi perkembangan PTG. Namun, karaktersitik personal

seseorang dalam menghadapi trauma tersebut juga dapat

mempengaruhi proses PTG. Berdasarkan penelitian yang dilakukan

oleh Costa dan Mc Care (dalam Shafira, 2011) keterbukaan seseorang

terhadap pengalaman dan kepribadian ektrovert berhubungan dengan

perkembangan PTG. Individu dengan karakteristik ini mungkin lebih

memperhatikan emosi positif pada dirinya meskipun dalam keadaan

yang sulit, yang kemudian dapat membantunya untuk memahami

informasi mengenai pengalaman yang dialaminya dengan lebih efektif

dan menciptakan perubahan positif dalam dirinya (PTG). Selain itu

karakteristik lain seperti optimisme juga dapat mempengaruhi

pertumbuhan PTG. Individu yang optimis dapat lebih mudah

memperhatikan hal mana yang penting baginya dan terlepas dari

(26)

19

Hal ini merupakan hal yang penting bagi proses kognitif yang terjadi

setelah seseorang mengalami kejadian traumatik.

b. Mengelola emosi berbahaya atau negatif (Managing distressing

Emotion)

Saat seseorang mengalami masa krisis dalam hidupnya, seseorang

harus mampu mengelola emosinya yang berbahaya yang mungkin

dapat melemahkan dirinya. Karena dengan mengelola emosi yang

berbahaya seseorang dapat menciptakan skema perubahan dalam

dirinya dan membantu proses kognitif yang kemudian dapat

membentuk PTG. Pada tahapan awal trauma, proses kognitif atau

berpikir seseorang biasanya bersifat otomatis dan banyak terdapat

pikiran serta gambaran yang merusak. Selain itu juga timbul

perenungan (rumination) yang negatif atau merusak. Namun pada

akhirnya apabila proses ini efektif, maka seseorang akan terlepas dari

tujuan dan asumsi sebelumnya yang kemudian membawanya untuk

berfikir bahwa cara lama yang dijalani dalam hidupnya tidak lagi tepat

untuk mengubah suatu keadaan.

Namun proses ini terjadi berbeda-beda pada seseorang, karena

masih ditemukan ketidakpercayaan terhadap pengalaman yang

dialami pada beberapa orang yang bertahan hidup dari kejadian

traumatik. Sterss yang dialami menjaga proses kognitif untuk tetap

aktif. Apabila seseorang mendapatkan pemecahan masalah dengan

(27)

20

mampu menerima keadaan saat ini dan dapat membantunya dalam

kejadian traumatik.

c. Dukungan dan keterbukaan (Supprort and disclosure)

Dukungan dari orang lain dapat membantu pertumbuhan PTG,

yaitu dengan memberikan kesempatan kepada orang yang mengalami

trauma, untuk menceritakan perubahan yang terjadi dalam hidupnya

dan juga dengan memberikan perspektif yang dapat membantunya

untuk perubahan yang positif. Bercerita tentang trauma dan usaha

untuk bertahan hidup juga dapat membantu seseorang untuk

mengeluarkan sisi emosionalnya mengenai kejadian yang di alami.

Selain itu melalui cerita, seseorang dapat menciptakan keintiman dan

merasa lebih diterima oleh orang lain.

d. Proses kognitif dan perkembangan (Cognitive processing and growth)

Kepercayaan diri dalam menggunakan sebuah coping dan

menentukan apakah seseorang akan terus berjuang atau menyerah

juga membantu perkembangan PTG. Seesorang dengan kepercayaan

diri tinggi dapat mengurangi ketidaksesuaian suatu keadaan dan

memberikan fungsi yang optimal dari coping yang digunakan,

sedangkan seseorang dengan kepercayaan diri rendah akan menyerah.

Apabila seseorang mengalami perubahan, seseorang akan melepaskan

tujuan atau asumsi awalnya yang kemudian pada keadaan yang sama

mencoba membentuk skema, tujuan dan makna baru dalam

(28)

21

e. Perenungan atau proses kognitif (Rumination or cognitive processing)

Asumsi seseorang mengenai dunia atau skema yang telah hancur

harus direkontruksi ulang agar berguna bagi tingkah laku dan pilihan

yang akan di ambil. Pembangunan kembali skema tersebutuntuk lebih

bertahan dapat menuntun orang yang mengalami pengalaman

traumatik untuk berpikir ulang mengenai keadaan yang di alaminya.

f. Kebijaksanaan dan cerita kehidupan (Wisdom and life narrative)

Pengalaman PTG seseorang merupakan sebuah proses perubahan

yang di dalamnya terdapat pengeruh kebijaksanaan seseorang dalam

memandang kehidupan. Keteguhan seseorang dalam mengahdapi

kejadian traumatic dapat membentuk PTG dan bersifat “memperbaiki”

cerita kehidupannya.

B. Masa Dewasa

1. Pengertian Masa Dewasa

Istilah dewasa menggambarkan segala organisme yang telah

matang, tetapi lazimnya merujuk pada manusia. Dewasa adalah orang

yang bukan lagi anak-anak dan telah menjadi pria atau wanita seutuhnya.

Seseorang dapat saja dewasa secara biologis dan memiliki karakteristik

perilaku dewasa, tetapi tetap diperlakukan sebagai anak kecil jika berada

di bawah umur dewasa secara hukum. Sebaliknya, seseorang dapat secara

legal di anggap dewasa, tetapi tidak memiliki kematangan dan tanggung

jawab yang mencerminkan karakter dewasa. Setelah mengalami masa

(29)

22

masa di mana is telah menyelesaikan pertumbuhannya dan mengharuskan

dirinya untuk berkecimpung dengan masyarakat bersama dengan orang

dewasa lainnya. Dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, masa

dewasa adalah waktu yang paling lama dalam rentang kehidupan (Jahja,

2011).

Masa dewasa biasanya di mulai sejak usia 18 tahun hingga

kira-kira usia 40 tahun dan biasanya ditandai dengan selesainya pertumbuhan

pubertas dan organ kelamin anak telah berkembang dan mampu

berproduksi. Pada masa ini, individu akan mengalami perubahan fisik dan

psikologis tertentu bersamaan dengan masalah-masalah penyesuaian diri

dan harapan terhadap perubahan tersebut (Jahja, 2011).

Elizabeth B. Hurlock (1998 dalam Jahja, 2011) membagi masa

dewasa menjadi tida bagian meliputi :

a. Masa Dewasa Awal (Masa Dewasa Dini/Young Adult)

Masa dewasa awal adalah masa pencarian kemantapan dan masa

reproduktif yaitu suatu masa yang penuh dengan masalah dan

ketegangan emosional, periode isolasi sosial, periode komitmen dan

masa ketergantungan, perubahan nilai-nilai, kreativitas dan

penyesuaian diri pada hidup yang baru. Kisaran umur antara 21-40

tahun.

b. Masa Dewasa Madya (Middle Adulthood)

Masa dewasa madya ini berlangsung dari umur 40 tahun sampai 60

(30)

23

dewasa madya merupakan masa transisi, di mana pria dan wanita

meninggalkan ciri-ciri jasmani dan perilaku masa dewasanya dan

memasuki suatu periode dalam kehidupan dengan ciri-ciri jasmani

dan perilaku yang baru. Perhatian terhadap agama lebih bsar

dibandingkan dengan masa sebelumnya dan kadang-kadang minat

dan perhatian terhadap agama ini dilandasi kebutuhan pribadi dan

sosial.

c. Masa Dewasa Lanjut (Masa Tua/Older Adult)

Usia lanjut adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang.

Masa ini dimulai umur 60 tahun sampai akhir hayat, yang ditandai

dengan adanya perubahan yang bersifat fisik dan psikologis yang

semakin menurun. Adapun ciri-ciri yang berkaitan dengan

penyesuaian pribadi dan sosialnya sebagai berikut; perubahan yang

meyangkut kemampuan motorik, kekuatan fisik, perubahan dalam

fungsi psikologis, perubahan dalam sisten saraf dan penampilan.

2. Ciri-ciri Manusia Dewasa

Masa dewasa adalah masa awal seseorang dalam menyesuaikan diri

terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Pada

masa ini, seseorang dituntut untuk memulai kehidupannya memerankan

peran ganda seperti peran sebagai suami/istri dan peran dalam dunia kerja

(berkarir). Masa dewasa dikatakan sebagai masa sulit bagi individu

(31)

24

ketergantungannya terhadap orang tua dan berusaha untuk dapat mandiri.

Ciri-ciri masa dewasa dini (Jahja, 2011) yaitu :

a. Masa Pengaturan (Settle Down)

Pada masa ini, seseorang akan “mencoba-coba” sebelum individu

menentukan mana yang sesuai, cocok dan memberi kepuasan

permanen. Ketika ia telah menemukan pola hidup yang diyakini dapat

memenuhi kebutuhan hidupnya, individu akan mengembangkan

pola-pola perilaku, sikap dan nilai-nilai yang cenderung akan menjadi

keikhlasan selama sisa hidupnya.

b. Masa Usia Produktif

Dinamakan sebagai masa produktif karena pada rentang usia ini

merupakan masa-masa yang cocok untuk menentukan pasangan

hidup, menikah, dan bereproduksi/menghasilkan anak. Pada masa ini,

organ reproduksi sangan produktif dalam menghasilkan keturunan

(Anak).

c. Masa Bermasalah

Masa dewasa dikatakan sebagai masa yang sulit dan bermasalah.

Hal ini dikarenakan seseorang harus mengadakan penyesuaian dengan

peran barunya (Perkawinan Vs. Pekerjaan). Jika individu tidak dapat

mengatasinya, maka akan menimbulkan masalah. Ada tiga faktor

yang membuat masa ini begitu rumit yaitu; pertama, individu ini

kurang siap dalam menanggapi babak baru bagi dirinya dan tidak

(32)

25

kurang persiapan, maka ia kaget dengan dua peran/lebih yang harus

diembannya secara serempak. Ketiga, individu tidak memperoleh

bantuan dari orang tua atau siapa pun dalam menyelesaikan masalah.

d. Masa Ketegangan Emosional

Ketika seseorang berumur 20-an (sebelum 30-an), kondisi

emosionalnya tidak terkendali. Individu cenderung labil, resah, dan

mudah memberontak. Pada masa ini juga emosi seseorang sangat

bergelora dan mudah tegang. Individu juga khawatir dengan status

dalam pekerjaan yang belum tinggi dan posisinya yang beru sebagai

orang tua. Namun ketika telah berumur 30-an, seseorang akan

cenderung stabil dan tenang dalam emosi.

e. Masa Keterasingan Sosial

Masa dewasa dini adalah masa di mana seseorang mengalami

“krisis isolasi”, individu terisolasi atau terasingkan dari kelompok

sosial. Kegiatan sosial dibatasi karena berbagai tekanan pekerjaan dan

keluarga. Hubungan dengan teman-teman sebaya juga menjadi

renggang. Keterasingan diidentifikasikan dengan adanya semangat

bersaing hasrat untuk maju dalam berkarir.

f. Masa Komitmen

Pada masa ini juga setiap individu mulai sadar akan pentingnya

sebuah komitmen. Individu mulai membentuk pola hidup, tanggung

(33)

26

g. Masa Ketergantungan

Pada awal masa dewasa dini sampai akhir usia 20-an, seseorang

masih punya ketergantungan pada orang tua atau organisasi/instansi

yang mengikatnya.

h. Masa Perubahan Nilai

Nilai yang dimiliki seseorang ketika individu berada pada masa

dewasa dini berubah kerena pengalaman dan hubungan sosialnya

semakin meluas. Nilai sudah mulai dipandang dengan kacamata orang

dewasa. Nilai-nilai yang berubah ini dapat meningkatkan kesadaran

positif. Alasan kenapa seseorang berubah nilai-nilainya dalam

kehidupan karena agar dapat diterima oleh kelompoknya yaitu dengan

cara mengikuti aturan-aturan yang telah disepakati. Pada masa ini

seseorang akan lebih menerima/berpedoman pada nilai konvensional

dalam hal keyakinan. Egosentrisme akan berubah menjadi sosial

ketika individu telah menikah.

i. Masa Penyesuaian Diri dengan Hidup Baru

Ketika seseorang telah mencapai masa dewasa berarti individu

harus lebih bertanggung jawab karena pada masa ini individu sudah

mempunyai peran ganda (peran sebagai orang tua dan pekerja).

j. Masa Kreatif

Dinamakan sebagai masa kreatif karena pada ini seseorang bebas

untuk berbuat apa yang diinginkan. Namun krteativitas tergantung

(34)

27

(dalam Jahja, 2011) dari Amerika Serikat, ada lima faktor yang dapat

menunujukkan kedewasaan yaitu; ciri fisik, kemampuan mental,

pertumbuhan sosial, emosi, dan pertumbuhan spiritual dan moral.

1) Fisik

Secara fisik, rangka tubuh, tinggi dan lebarnya tubuh seseorang

dapat menunjukkan sifat kedewasaan pada diri seseorang.

Faktor-faktor ini memang biasa digunakan sebagai ukuran kedewasaan,

akan tetapi, segi fisik saja belum dapat menjamin ketepatan bagi

seseorang untuk dapat dikatakan dewasa. Sebab banyak orang

yang telah cukup usia dan kelihatan dewasa akan tetapi ternyata

masih sering memperlihatkan sifat kekanak-kanakannya. Oleh

sebab itu, dalam menentukan tingkat kedewasaan seseorang dari

segi fisiknya harus pula dengan mengetahui; Apakah individu

tersebut dapat menentukan sendiri setiap persoalan yang dihadapi

dan ruginya sebuah permasalah hidup. Selain itu, juga adanya

kepercayaan pada diri sendiri dan tidak bergantung pada orang

lain, tidak cepat naik pitam dan marah, serta tidak menggerutu di

saat menderita dan menerima cobaan dari Tuhan, sehingga

nantinya individu dapat dilihat bagaimana tingkat kedewasaan

seseorang tersebut dalam mengatasi semua persoalan hidup yang

(35)

28

2) Kemampuan Mental

Dari segi mental atau rohani, kedewasaan seseorang dapat dilihat.

Orang yang telah dewasa dalam cara berpikir dan tindakannya

berbeda dengan orang yang masih kenak-kanakan sifatnya. Dapat

berpikir secara logis, pandai mempertimbangkan segala sesuatu

dengan adil, terbuka dan dapat menilai semua pengalaman hidup

merupakan salah satu ciri-ciri kedewasaan pada diri seseorang.

Sikap kedewasaan yang sempurna itu jika ada keserasian antara

perkembangan fisik dan mentalnya.

3) Pertumbuhan Sosial

Sifat kedewasaan seseorang dapat dilihat dari pertumbuhan

sosialnya. Pertumbuhan sosisal adalah suatu pemahaman tentang

bagaimana individu menyayangi pergaulan, bagaimana dapat

memahami tentang watak dan kepribadian orang lain dan

bagaimana cara individu mampu membuat dirinya agar disukai

oleh orang lain dalam pergaulannya. Perasaan simpatik kepada

orang lain dan bahkan merupakan ciri kedewasaan secara sosial.

4) Emosi

Emosi sangat erat hubungannya dengan segala aspek kehidupan

manusia, termasuk kehidupan yang menyangkut sendi-sendi

dalam kehidupan berumah tangga. Emosi adalah keadaan batin

manusia yang berhubungan erat dengan rasa sayang, sedih,

(36)

29

dapat dilihat dari cara seseorang dalam mengendalikan emosi. Jika

orang pandai mengendalikan emosinya, maka berarti semua

tindakan yang dilakukannya bukan hanya mengandalkan dorongan

nafsu, melainkan telah menggunakan akalnya juga. Menyalurkan

emosi dengan dikendalikan oleh akal dan pertimbangan sehat akan

dapat melahirkan sebuah tindakan yang telah dewasa dan yang

tetap akan berada dalam peraturan dan norma-norma yang berlaku

dalam agama. Orang telah menguasai dan mengendalikan

emosinya denngan disertai oleh kemampuan mental yang cukup

dewasa, pasti dapat mengendalikan dirinya menuju kehidupan

yang bahagia dikarenaakan selalu bersifat terbuka dalam

menghadapi berbagai kenyataan-kenyataan hidup, tabah dalam

meghadapi setiap kesulitan dan persoalan hidup serta dapat merasa

puas dan sanggup menerima segala sesuatunya dengan lapang

dada.

5) Pertumbuhan Spiritual dan Moral

Kematangan spiritual dan moral bagi seseorang yang mendorong

untuk mengasihi dan melayani orang lain dengan baik. Oleh sebab

itu, pertumbuhan ini harus dimulai sejak awal dan dikembangkan

untuk dapat menghayati rahmat Allah SWT. Sehinggga dengan

demikian orang tersebut dapat dikatakan sebagai orang yang

pansai mensyukuri nikmat-Nya. Seseorang yang telah berkembang

(37)

30

tenang dalam menghadapi berbagai kesulitan dan persoalan hidup

yang menimpa dirinya, sebab dengan demikian segalanya akan

dipasrahkan kepada Allah SWT dengan disertai ikhtiar menurut

kemampuan sendiri.

C. Perceraian

Perceraian bukanlah peristiwa tunggal. Perceraian adalah sebuah

proses-rangkaian pengalaman berpotensi menekan yang dimulai sebelum perpisahan

fisik dan terus berlangsung setelah terjadinya perpisahan tersebut. Bahkan

mengahiri perkawinan yang tidak bahagia bisa jadi menyakitkan, terutama

pada anak dalam perkawinan tersebut. Walaupun sebagian orang tampaknya

menyesuaikan diri lebih cepat dari orang lain, perceraian cenderung

mengurangi kebahagiaan jangka panjang, terutama bagi pihak yang tidak

memulai perceraian atau tidak menikah kembali. Alasannya antara lain

gangguan hubungan orang tua-anak, perselisihan dengan mantan pasangan,

kesulitan ekonomi, kehilangan dukungan emosional dan harus keluar dari

rumah. Perceraian dapat membawa perasaan gagal, bersalah, permusuhan dan

mencaci diri sendiri, ditambah lagi tingkat depresi, sakit dan kematian ynag

tinggi. Di sisi lain, ketika pernikahan sudah penuh konflik, maka

pengahirannya justru dapat meningkatkan kebahagiaan (Papalia dkk, 2008).

Perceraian menurut Murdock (dalam Houtmauli, 2008) seharusnya dilihat

sebagai sebuah proses seperti halnya perkawinan. Aktivitas itu terjadi karena

sejumlah aspek yang menyertainya seperti emosi, ekonomi, sosial dan

(38)

31

Namun dalam hal perceraian, Goode berpandangan sedikit berbeda, Goode

berpendapat bahwa pandangan yang menganggap perceraian merupakan

suatu “kegagalan” adalah bias, karena semata-mata mendasarkan perkawinan

pada cinta yang romantis. Padahal semua sistem perkawinan paling sedikit

terdiri dari dua orang yang hidup dan tinggal bersama di mana

masing-masing memiliki keinginan, kebutuhan, nafsu serta latar belakang dan nilai

sosial yang bisa berbeda satu sama lain. Perbedaan-perbedaan itu dapat

memunculkan ketegangan-ketegangan dan ketidakbahagiaan yang akhirnya

bermuara pada perceraian.

Perceraian diikuti oleh periode penyesuaian diri yang menyakitkan.

Penyesuaian tersebut tergantung kepada cara perceraian tersebut ditangani,

perasaan seseorang akan diri mereka sendiri dan mantan psangan mereka,

keputusan emosional dari mantan pasangan, dukungan sosial dan sumber

dana personal. Penyesuaian diri terhadap perceraian merupakan proses jangka

panjang yang cenderung menurunkan kebahagiaan (Papalia dkk, 2008).

D. Post Traumatic Growth pada Wanita Dewasa Awal

Papalia (2001 dalam Sasongko dan Febriana, 2011) mengatakan bahwa

perceraian itu ibarat menjalani sebuah operasi, menyakitkan dan

menimbulkan trauma, akan tetapi harus dijalami untuk mendapatkan

kehidupan yang lebih baik. Individu yang mengalami perceraian memerlukan

adanya perubahan atau pertumbuhan kognitif yang positif untuk bisa bertahan

dan keluar dari situasi tidak menguntungkan dan akan menimbulkan dampak

(39)

32

Menurut Tedeschi dan Calhoun (1998 dalam Ade Fitri Rahma & Erlina

Listiyanti Widuri, 2011) pertumbuhan pasca trauma adalah pengalaman

perubahan positif yang terjadi sebagai akibat dari perjuangan yang sangat

menantang situasi kehidupan.

Perceraian merupakan salah satu kejadian yang dapat mengakibatkan

wanita mengalami kesepian, penurunan kesehatan, keterpurukan, keputus

asaan, kesulitan ekonomi bahkan depresi. Dengan pertumbuhan pasca trauma

(PTG) wanita yang mengalami perceraian dapat mengolah atau mengatur

emosi dan kognitifnya untuk bangkit dari pengalaman traumatiknya serta

menyadarkan individu mengenai kemungkinan baru dalam kehidupan atau

kemungkinan untuk mengambil pola yang baru dan berbeda, yakni

membangun masa depan yang lebih baik.

Berdasarkan beberapa pengertian post traumatic growth yang telah di

sebutkan sebelumnya, penulis menyimpulkan bahwa post-traumatic growth

merupakan pengalaman perubahan yang positif setelah masa krisis atau

kejadian yang tidak diinginkan dan tidak menyenangkan dalam kehidupan

seseorang, yang menghasilkan beberapa peningkatan yaitu persepsi diri,

hubungan dengan orang lain dan falsafah hidup. Sesuai dengan teori

post-traumatic growth menurut Tedeschi dan Callhoun (1998 dalam Rahmah dan

Widuri, 2011) pertumbuhan pasca trauma adalah pengalaman perubahan

positif yang terjadi sebagai akibat dari perjuangan yang sangat menantang

situasi kehidupan. Konsep pertumbuhan pasca trauma (PTG) sebagai

(40)

33

kehidupan yang besar antara lain: apresiasi peningkatan hidup, pengaturan

hidup dengan prioritas baru, rasa kekuatan pribadi meningkat dan spiritual

berubah secara positif.

Dengan pertumbuhan pasca trauma (PTG), wanita pasca bercerai akan

mampu mengahdapi kejadian traumatik yang dialaminya dan membangun

kembali kehidupannya menjadi lebih baik dan terarah sehingga dapat

merefleksikan kehidupan barunya sebagai wanita tanpa pasangan atau single

parent. Dengan melakukan perenungan dan atau proses kognitif serta

penanaman sikap optimis, wanita pasca cerai mampu membangun kembali

kahidupan selanjutnya dengan lebih baik, misalnya mulai memikirkan

kehidupan masa depannya dan mulai menerima kenyataan setelah kejadian

traumatik yang dialaminya. Dengan dukungan sosial dari berbagai pihak

seperti keluarga, orang tua atau teman-temannya, akan sangat membantu

(41)

34

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kelitatif

dengan menggunakan paradigma fenomenologi. Menurut Moelong (2005),

metode penelitian kualitatif dalam paradigma fenomenologi berusaha

memahami arti (mencari makna) dari peristiwa dan kaitan-kaitannya dengan

orang-orang biasa dalam situasi tertentu. Strategi penyelidikan

phenomenology, adalah penelitian untuk menggambarkan, menyelidiki,

menemukan serta memahami struktur esensi fenomena (gejala) berdasarkan

pengalaman yang dialami oleh individu.

Alasan penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena penelitian ini

bertujuan untuk mengungkap gejala secara holistic kontekstual melalui

pengumpulan data latar alami dengan memanfaatkan diri peneliti sebagai

kunci instrumen kunci. Penelitian kualitatif bersifat deskriptif dan cenderung

menggunakan analisis dengan induktif. Proses dan makna (perspektif

infoman) lebih ditonjolkan dalam penelitian ini. penelitian kualitatif adalah

metode penelitian yang bermaksud untuk memahami tenomena tentang apa

yang dialami oleh infoman penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi,

tindakan dan lain-lain, secara holistic dan dengan cara deskripsi dalam bentuk

kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiyah dan dengan

(42)

35

Penggunaan pendekatan kualitatif menurut peneliti dapat menggali

penjelasan mengenai faktor-faktor yang menyebabkan post traumatis growth

atau perubahan hidup yang positif pada wanita dewasa awal pasca cerai

secara mendalam. Kebebasan penelitian kualitatif juga dapat mendorong

peneliti menemukan fakta baru yang belum perna terungkap dalam penelitian

sebelumnyas. Analisis isi (content analysis) merupakan metode analisis yang

digunakan dalam penelitian ini mendeskripsikan post traumatic growth atau

perubahan hidup yang positif yang dialami oleh wanita dewasa awal pasca

perceraian.

B. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan dikediaman Infoman, infoman pertama dan

kedua bertempat di kota Gresik dan Infoman ketiga bertempat di kota

Surabaya, oleh karena pendekatan yang digunakan peneliti adalan pendekatan

kualitatif maka penelitian tidak selalu dilakukan dikediaman infoman

melainkan dapat dilakukan di mana saja yang infoman inginkan.

C. Sumber Data

Pertimbangan dalam pemilihan informan ini adalah seseorang yang pernah

mengalami perceraian, usia dewasa awal (20-25 tahun) dan ada rasa trauma

akan perceraian sehingga mengancam kehidupannya. Informan penelitian ini

adalah tiga orang wanita dewasa awal yang sama-sama berstatus janda dan

berusia > 25 tahun. Informan pertama berusia 23 tahun yang berstatus janda

namun belum mempunyai seorang anak, sedangkan informan kedua berusia

(43)

36

informan ketiga berusia 24 tahun berstatus janda kembang belum

berhubungan badan dengan suaminya. Pemilihan ketiga informan tersebut

untuk mengungkap lebih dalam proses terbentuknya post traumatic growth

atau pertumbuhan hidup yang positif pada ketiga informan. Sehingga dapat

menemukan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi terbentuknya

pertumbuhan pasca trauma pada diri ketiga informan.

Untuk mendapatkan sumber data yang valid dan akurat maka diperlukan

informasi penunjang lain selain informan, yakni dengan penggalian data

menggunakan teknik triangulasi. Triangulasi dalam pengujian kredibilitas ini

diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai

cara, dan berbagai waktu (Poerwandari,2005).

Di antara yang menjadi triangulasi data pada penelitian ini adalah pada

Infoman 1 meliputi: orang tua Infoman, tetangga terdekat Infoman dan

sahabat terdekat Infoman, kemudian pada Infoman 2 meliputi: orang tua

Infoman, tetangga terdekat Infoman dan sahabat terdekat Infoman, sedangkan

pada Infoman 3 meliputi: tetangga dan sahabat terdekat Infoman saja. Patton

(1998 dalam Poerwandari, 2005) mengingatkan bahwa triangulasi merupakan

suatu konsep yang ideal yang kadangkala atau bahkan sering tidak dapat

sepenuhnya dicapai karena berbagai hambatan.

D. Cara Pengumpulan Data

Dalam proses pengambilan data, peneliti harus memperhatikan beberapa

hal yang menjadi etika dalam penelitian kualitatif. Pertama, harus ada

(44)

37

bagian dari penelitian. Kedua, prinsip kerahasiaan, yaitu peneliti akan

menjamin kerahasiaan indentitas informan, kecuali informan tidak menuntut

kerahasiaan identitas darinya. Ketiga, harus ada perinsip no harm, yaitu

prinsip bahwa penelitian yang dilakukan tidak membahayakan atau

memungkinkan terjadinya bahaya terhadap informan.

Metode pengambilan data yang dilakukan adalah dengan menggunakan

metode wawancara dan observasi. Metode wawancara yang akan digunakan

adalah wawancara semi terstruktur, yaitu jenis wawancara yang dalam

pelaksanaannya ada guide, ada pedoman tetapi pertanyaannya ditanyakan

secara semu, disesuaikan dengan kondisi (Moleong, 2005). Tujuan dari

wawancara jenis ini adalah untuk menemukan permasalahan secara terbuka,

pihak yang diajak wawancara diminta pendapat, dan ide-idenya. Dalam

melakukan wawancara, peneliti perlu mendengarkan secara teliti dan

mencatat apa yang di kemukakan oleh informan. Hal ini dilakukan agar sifat

pertanyaan tidak kaku atau ketat, serta memungkinkan penggalian materi

yang relevan. Kemudian untuk mempermudah jalannya penelitian, peneliti

menggunakan beberapa media ketika melakukan wawancara dan observasi

diantaranya; rechordin (rekaman), kertas dan alat tulis.

E. Prosedur Analisis Data dan Interpretasi

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode observasi yang

dilakukan bersamaan dengan wawancara mengingat kedua metode ini saling

mendukung dalam mendapatkan data yang diinginkan. Teknik pengamatan

(45)

38

dan kejadian sebagaimana yang terjadi pada keadaan yang sebenarnya.

Observasi yang dilakukan oleh peneliti adalah non partisipan, peneliti hanya

sebagai pengamat tanpa terlibat dalam kehidupan maupun kegiatan informan.

Observasi dilakukan di luar proses wawancara dan juga selama wawancara

berlangsung yang memungkinkan peneliti memperoleh data yang sifatnya

non verbal, antara lain: gerakan tubuh, mimik muka atau ekspresi wajah dan

intonasi suara informan saat wawancara serta juga tentang bagaimana kondisi

informan penelitian yang dalam hal ini adalah wanita dewasa awal yang telah

bercerai. Sebelum proses wawancara dan observasi peneliti melakukan

persiapan terlebih dahulu, antara lain untuk wawancara peneliti akan

membuat guide (petunjuk) pertanyaan semi terstruktur berdasarkan pada teori

mengenai post traumatic growth.

Jenis guide ini dipilih untuk menghindarkan agar pada saat proses

wawancara tidak melenceng terlalu jauh dari fokus penelitian. Ekspresi non

verbal informan serta perasaan-perasaan informan yang muncul selama

proses wawancara dicatat. Hal ini dilakukan untuk keperluan pengecekan data

atau klarifikasi terhadap pernyataan-pernyataan yang terungkap selama proses

wawancara berlangsung, data yang diperoleh dalam observasi ini akan

digunakan sebagai data penunjang kemudian hasil wawancara akan ditulis

dalam bentuk verbatim. Kemudian dilakukan reduksi data, reduksi data

dilakukan dengan cara koding dan kategori, setelah itu dilakukan analisis,

analisis yang dilakukan dengan menggunakan analisis isi agar diperoleh data

(46)

39

Menurut Poerwandari (2005) yang dengan analisis isi adalah analisis yang

mengacu pada kata-kata, arti atau makna, gambar, simbol, ide-ide, atau

tema-tema yang di komunikasikan oleh teks. Setelah semua data baik observasi

maupun wawancara telah di analisis, peneliti melakukan triangulasi data.

Data yang ditemukan dibandingkan sehingga ditemukan kategori-kategori

yang mewakili temuan dari metode tersebut. Langkah akhir yang dilakukan

peneliti adalah melakukan verifikasi dan penarikan kesimpulan.

F. Keabsahan Data

Dalam penelitian ini, guna mendapatkan suatu bentuk kredibilitas

penelitian, peneliti akan menggunakan metode triangulasi. Triangulasi dalam

pengujian kredibilitas ini diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai

sumber dengan berbagai cara, dan berbagai waktu (Poerwandari,2005).

Dalam penelitian kualitatif, data akan lebih diyakini kebenarannya jika dua

sumber atau lebih menyatakan hal yang sama. Patton (1998 dalam

Poerwandari, 2005) melihat konsep triangulasi diatas dalam kerangka yang

lebih luas, yakni mengatakan bahwa triangulasi dapta dibedakan dalam

triangulasi data, triangulasi peneliti, triangulasi teori dan triangulasi metode.

Sedangkan dalam penelitian ini menggunakan triangulasi data dan triangulasi

metode.

Triangulasi data yaitu digunakannya variasi sumber-sumber data yang

berbeda. Data dari berbagai sumber berbeda dapat digunakan untuk

mengelaborasi dan memperkaya penelitian. Dalam penelitian ini

(47)

40

pandangan atau pendapat orang lain atau orang-orang terdekat informan

disebut sebagai significant person untuk mengecek kembali apa yang

dikatakan oleh informan penelitian, atau melakukan pengecekan dan

pengecekan kembali (checking and rechecking) data, dengan usaha menguji

kemungkinan dugaan-dugaan yang berbeda. Sedangkan triangulasi metode

yaitu di pakainya beberapa metode yang berbeda untuk meneliti suatu hal

yang sama. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi dan

(48)

BAB IV

HASIL PENILITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Subyek

1. Identitas Subyek 1

Nama : INW

Tempat/tanggal lahir : Gresik, 27 Januari 1992

Alamat : Desa X

Anak ke- : ke-2 dari 2 bersaudara

Status : Janda

Pendidikan : S1

Pekerjaan : Pengajar

Agama : Islam

Usia : 23 tahun

INW adalah seorang wanita dewasa awal yang berusia 23 tahun,

yang merupakan anak ke dua dari dua bersaudara. INW mempunyai

ciri-ciri fisik berperwakan kurus, sedikit agak pendek, berkulit kuning,

berambut agak bergelombang namun dalam kegiatan kesehariannya INW

memakai jilbab dan sehat secara fisik. INW memiliki gaya berbicara

yang sangat lembut dan santai saat diajak bicara menjadikan kesan yang

feminim dan sangat ramah. Hal ini juga dibuktikan selama wawancara

berjalan, INW terlihat sangat lembut dan ramah sekali dalam menjwab

setiap pertanyaan.

INW terlahir dari keluarga sederhana, baik dan cukup harmonis,

INW tinggal dan hidup bahagia bersama ke dua orang tuanya dan kakak

tunggal laki-lakinya. Tetapi sejak kakaknya menikah dan tinggal bersama

istrinya saat INW duduk di bangku kelas 5 SD, INW hanya tinggal

(49)

42

terbilang cukup tinggi, karena pendidikan terahir yang ditempuhnya

adalah sampai pada bangku perkuliahan. Dalam kesehariannya, INW

merupakan sosok yang dikenal sangat baik oleh teman, lingkungan serta

keluarga tentunya. INW merupakan seorang yang bekerja sebagai

pengajar di salah satu lembaga pendidikan taman kanak-kanak. Menjadi

seorang guru adalah cita-citanya dan kegiatannya dalam sehari-hari.

Setelah INW beranjak dewasa, INW menikah dengan lelaki yang

dikenalnya melalui tetangganya. Laki-laki itu bernama SA, SA adalah

rekan kerja tetangngga dari INW. Alasan SA minta dikenalkan dengan

INW karena memang sudah lama tau INW dan penasaran pada INW.

Dari perkenalan yang terjadi di rumah INW itulah pendekatan oleh SA

dimulai. Setelah SA mengenal INW ternyata SA semakin penasaran dan

crasa cinta itu semakin bertambah, pada saat itulah SA menuturkan

perasaannya langsung kepada Ibu INW. Tak perlu menunggu waktu lama

setelah lamaran SA secara pribadi kepada ibu INW, ibu INW langsung

membicarakan hal itu dengan keluarga, dan setelah semua setuju,

akhirnya terjadilah lamaran secara resmi. Pertemuan dua keluarga

tersebut menghasilkan keputusan bahwa setuju untuk berbesanan, dan

pada akhirnya terjadilah pernikahan INW dengan SA. Pada saat INW

meikah dengan SA, INW masih duduk dibangku kuliah semester 6, lebih

tepatnya pada saat liburan semester INW menikah dengan SA dan

mengawali kehidupan berumah tangga. Namun itu tak jadi penghalang

(50)

43

Sebelum menikah, INW dan SA sepakat bahwa setelah menikah

mereka akan tinggal di rumah INW. Dengan alasan karena INW adalah

anak terahir dan berkewajiban mengurus ke dua orang tuanya setelah

kakaknya menikah. Di bulan pertama, segalanya masih terasa manis dan

kebahagian masih sangat kental dirasakan oleh pasangan tersebut. Karena

keduanya masih dalam tahap saling mengenal dan memahami satu sama

lain. Pada bulan kedua pun juga masih seperti itu, malah rasa cinta antara

keduanya semakin terlihat, menurut penuturan INW, SA seringkali

menggodanya dan seringkali membuat INW cemburu. Hampir dua bulan

menikah, tidak perna ada masalah bahkan pertengkaran sekecil apapun,

semua berjalan dengan sangat baik. Namun tidak lagi ketika perselisihan

itu muncul, di akhir bulan ke dua SA sempat mengajak INW untuk hidup

mandiri yakni dengan kos. Ajakan SA untuk kos ditanggapi dengan

sangat santai oleh INW, INW menegaskan bahwa INW hanya ingin

tinggal di rumahnya saat ini bersama kedua orang tuanya.

Awalnya tanggapan atau jawaban INW tersebut bisa diterima o

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) pada remaja Teluk Dalam pasca 8 tahun bencana gempa bumi di Pulau Nias. Untuk

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara dukungan sosial keluarga dengan post- traumatic growth pada ODHA di Kota

Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan linear antara variabel dukungan sosial keluarga terhadap post-traumatic growth pada ODHA karena nilai

Tujuan yang ingin dicapai peneliti dalam penelitian fenomenologis ini adalah untuk mendeskripsikan dan memahami proses resiliensi yang dilakukan oleh wanita usia dewasa awal

Emosi positif akan Individu yang telah memiliki emosi membuat individu memiliki pandangan yang positif akan bisa melakukan pengungkapan diri positif tentang

Gambaran posttraumatic growth pada wanita penderita kanker payudara pasca mastektomi usia dewasa awal ditunjukkan dengan perubahan positif menuju level yang

PENGARUH DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA DAN KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP POST TRAUMATIC GROWTH BAGI PENYINTAS BULLYING DI LINGKUNGAN RW 03 PISANGAN

Pada tingkat self-disclosure mengenai pengungkapan diri atau keterbukaam diri akan emosi yang muncul saat terjadi pristiwa traumatic dan perspektif mereka yang berubah, dari emosi