• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika Post Traumatic Growth Pada Wanita Pasca Bercerai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Dinamika Post Traumatic Growth Pada Wanita Pasca Bercerai"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Psikologi Talenta Mahasiswa Volume 1, No 2, Oktober 2021

e-ISSN 2807-789X

Dinamika Post Traumatic Growth Pada Wanita Pasca Bercerai

Nurul Istiqamah1*, Eva Meizara Puspita Dewi2, Muh. Nurhidayat Nurdin3

1,2,3Fakultas Psikologi, Universitas Negeri Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia

* E-mail:ichanurulistiqamah@yahoo.com

Abstract

New divorce women experience deep sadness, social pressure and even social gaps, so women after divorce need more positive change in life in order to be able to rise against adversity after divorce to continue life to. The purpose of this study is to determine the causes of divorce and post traumatic growth in post divorced women. This research is descriptive qualitative research using phenomenological methods. Respondents in this study are 3 people who meet the age criteria of 35-45 years. Data is obtained by conducting conducting direct interviews. The results of this study indicate that the causes of divorce are several factors, namely the husband does not provide for his wife and children, domestic violence and infidelity. The description of post traumatic growth experience by women after a divorce in form of positive changes, namely, more independent and strong life, more meaningful life, change in priorities, respect for forms of social relations and spiritual improvement. Thus, the concept of post traumatic growth based on research results can be a reference for post divorced women in order to be able to rise against adversity.

Keyword: Post Traumatic Growth, Divorce, Post Divorced Women.

Abstrak

Wanita yang baru bercerai mengalami kesedihan yang mendalam, tekanan sosial bahkan cela sosial, sehingga wanita pasca bercerai membutuhkan perubahan hidup yang lebih positif agar mampu bangkit melawan keterpurukan pasca bercerai demi melanjutkan kehidupan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor penyebab perceraian dan gambaran post traumatic growth pada wanita pasca bercerai. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif dengan menggunakan metode fenomenologi. Responden dalam penelitian ini sebanyak 3 orang yang memenuhi kriteria usia yaitu 35-45 tahun. Data diperoleh dengan melakukan wawancara secara langsung. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyebab perceraian ada beberapa faktor yaitu suami tidak menafkahi keluarga, KDRT dan perselingkuhan. Gambaran post traumatic growth yang dialami wanita pasca bercerai berupa perubahan positif yaitu, lebih mandiri dan kuat menjalani hidup, lebih memaknai hidup, perubahan prioritas, menghargai bentuk hubungan sosial dan peningkatan spiritual. Dengan demikian, konsep post traumatic growth berdasarkan hasil penelitian dapat menjadi acuan untuk wanita pasca bercerai agar mampu bangkit melawan keterpurukan.

Kata kunci: Post Traumatic Growth, Bercerai, Wanita Pasca Bercerai.

(2)

118 PENDAHULUAN

Setiap pasangan yang telah menikah menginginkan bahwa pernikahannya dapat berlangsung dalam jangka waktu yang lama, bahkan hingga kematian memisahkan. Cita-cita tersebut terpatri dalam dada masing-masing pasangan, hingga segala daya dan upaya dilakukan untuk dapat mewujudkan harapan tersebut. Setiap pernikahan tidak akan selalu merasakan kebahagiaan terkadang di dalam pernikahan tersebut ada konflik dengan pasangan, bahkan pertengkaran seringkali menjadi warna dalam sebuah perjalanan rumah tangga, tidak berarti serta merta menyurutkan niat pasangan suami istri untuk tetap berpegang pada komitmen yang telah dibangun sejak awal pernikahan. Amato (2014) mengemukakan bahwa perceraian merupakan suatu pilihan untuk membubarkan perkawinan yang sudah tidak merasakan kebahagiaan, meskipun perceraian dapat menimbulkan efek cemooh dan diberikan stigma negatif dari lingkungan sosial.

Fisher dan Low (2009) mengemukakan bahwa pasca bercerai pria dan wanita memiliki pengalaman yang berbeda. Wanita memiliki masalah emosional yang lebih tinggi dibandingkan pria. Kondisi wanita pasca bercerai relatif lebih buruk karena keberadaan wanita yang sangat bergantung kepada suami. Selain itu, Hurlock (1980) mengemukakan bahwa pasca bercerai wanita mengalami perubahan status menjadi janda, dan kondisi tersebut seringkali menimbulkan ketidaknyamanan pada wanita dalam lingkungannya.

Shaphiro dan Keyes (2008) mengemukakan bahwa peristiwa perceraian dapat membuat individu mengalami penurunan kesejahteraan secara psikologis. Keadaan ini pada gilirannya membuat wanita pasca bercerai mengalami kondisi yang buruk, seperti tidak bersikap positif terhadap diri sendiri maupun orang lain, tidak mampu mengatur hidupnya pasca bercerai, merasa tidak memiliki tujuan hidup.

Amalia (2017) mengemukakan bahwa setiap individu memiliki kemampuan secara berbeda- beda dalam menghadapi situasi setelah perceraian. Tidak sedikit wanita yang mengalami perceraian merasa rendah diri, terpuruk dan memiliki ketakutan yang cukup besar dalam menghadapi situasi lingkungan sosialnya tetapi beberapa wanita pasca bercerai merasakan perubahan positif dalam hidupnya dan perubahan ini disebut sebagai post traumatic growth.

Tedeschi dan Calhoun (2004) mengemukakan bahwa post traumatic growth merupakan perkembangan positif yang terjadi dalam hidup individu setelah mengalami pengalaman buruk.

Individu yang menjalani proses post traumatic growth tidak hanya bertahan atau melalui kehidupannya. Tetapi, individu tersebut mampu menjadikan pengalaman buruknya di masa lalu

(3)

119 sebagai pembelajaran dan pengalaman yang sangat mendalam untuk menjalani sisa hidupnya jauh lebih baik.

Individu yang mengalami post traumatic growth akan menjalin hubungan yang lebih kuat baik itu dengan keluarga maupun orang sekitar karena individu menyadari bahwa hubungan tersebut sewaktu-waktu dapat berakhir, sehingga individu memberikan kasih sayang dan saling berbagi. Faktor lain dari post traumatic growth adalah kekuatan dalam diri, yakni bahwa individu yang mengalami pengalaman traumatik akan merasakan kemampuan untuk lebih kuat serta kemandirian dalam menjalani hidup. Terjadi perubahan prioritas dalam hidup individu. Di samping itu, pengalaman traumatik yang terjadi pada individu seperti perceraian mampu membuat individu memiliki kemungkinan baru untuk menjalani hidup yang lebih semangat dan lebih menikmati hidup serta perubahan perkembangan spiritual yang lebih baik (Tedeschi dan Calhoun, 2004).

Aspek yang sangat memengaruhi wanita pasca bercerai yaitu aspek spiritual. Wanita yang mengalami pengalaman traumatik berupa perceraian efeknya sangat besar dibanding kematian sehingga sangat diperlukan kekuatan dalam diri berupa pendekatan secara eksistensial kepada Tuhan untuk mencurahkan segala isi hati, berdoa dan meminta solusi untuk menghadapi masa sulitnya. Wanita yang meyakini adanya Tuhan atau beriman akan semakin mampu untuk bertahan hidup menghadapi dan mengatasi segala permasalahannya pasca bercerai serta mampu bangkit dari keterpurukannya.

Peneliti mendapatkan data awal dari informan berinisial IW pada hari Minggu, 22 April 2018 pukul 15.07 WITA yang mengalami post traumatic growth pasca bercerai di kota Makassar.

Awal pasca bercerai informan merasa terpuruk dan sangat sedih. Seminggu pasca bercerai informan tidak nafsu makan dan sebulan tidak pernah keluar rumah. Pada saat itu informan tidak mampu menerima kenyataan bahwa statusnya telah berubah dari istri menjadi seorang janda. Tetapi setelah itu, informan berpikir untuk bangkit melawan keterpurukannya pasca bercerai.

Pasca bercerai informan merasakan hidupnya jauh lebih bermakna akibat dari pengalaman buruk yang informan alami. Informan mengalami banyak perubahan-perubahan positif dalam hidupnya pasca bercerai diantaranya; informan menjadi pribadi yang jauh lebih mandiri, sabar, kuat dan dewasa untuk menjalani kehidupannya tanpa suami. Informan menganggap keputusannya untuk bercerai merupakan keputusan yang terbaik dalam hidupnya karena dengan bercerai menjadikan informan lebih peduli dan menghargai setiap bentuk hubungan komunikasi antara keluarga dan sahabatnya. Selain itu, informan juga mengalami perubahan prioritas dari yang mengutamakan suami dan sekarang lebih mengutamakan anak dan keluarga.

(4)

120 Serta perkembangan spiritual informan lebih meningkat pasca bercerai karena informan selalu mendekatkan diri kepada Tuhan untuk mencurahkan segala kesedihan yang dialaminya.

Tedeschi dan Calhoun (2004) mengemukakan bahwa post traumatic growth merupakan perkembangan positif yang terjadi dalam hidup individu setelah mengalami pengalaman buruk.

Individu yang menjalani proses post traumatic growth tidak hanya bertahan atau melalui kehidupannya. Tetapi, individu tersebut mampu menjadikan pengalaman buruknya di masa lalu sebagai pembelajaran dan pengalaman yang sangat mendalam untuk menjalani sisa hidupnya jauh lebih baik. Tedeschi dan Calhoun (Rahmah & Widuri, 2012) mengemukakan bahwa post traumatic growth adalah pencapaian level tertinggi dalam hidup individu yang positif setelah

mengalami peristiwa traumatis. Post traumatic growth membuat individu mengalami peningkatan psikologis, pencapaian tahap ini tercipta dengan adanya pemikiran baru yang muncul berdasarkan kejadian traumatik sebagai hasil proses perenungan dan pengungkapan diri.

Calhoun dan Tedeschi (2006) mengemukakan bahwa aspek-aspek post traumatic growth yaitu: (1) Perubahan dalam persepsi diri (changes in the perception of self) meliputi kekuatan dalam diri individu yang menjadi pribadi lebih kuat dan mandiri menghadapi kehidupan serta kemungkinan baru dalam hidup individu yang lebih positif dan menjalani kehidupan dengan semangat baru dengan peran yang baru pula. (2) Perubahan dalam pengalaman hubungan dengan orang lain (changes in the experience of relationship with others) meliputi kedekatan yang lebih akrab terhadap hubungan keluarga maupun kerabat. (3) Perubahan dalam filsafat umum seseorang tentang kehidupan (changes in one’s general philosophy of life) meliputi perubahan prioritas, lebih menghargai kehidupan dan peningkatan spiritual.

Hurlock (1980) mengemukakan bahwa perceraian merupakan puncak tertinggi dari perkawinan yang buruk, dan terjadi bila antara suami dan istri sudah tidak mampu lagi mencari cara penyelesaian masalah yang dapat memuaskan kedua belah pihak. Perlu disadari bahwa banyak perkawinan yang tidak membuahkan kebahagian tetapi tidak diakhiri dengan perceraian karena perkawinan tersebut didasari oleh pertimbangan agama, moral, kondisi ekonomi dan alasan lainnya. Tetapi banyak juga perkawinan yang diakhiri dengan perpisahan dan pembatalan baik secara hukum maupun dengan diam-diam dan ada juga yang salah satu (istri/suami) meninggalkan keluarga.

Layly (2015) mengemukakan bahwa Individu yang mengalami perceraian memerlukan adanya perubahan atau pertumbuhan kognitif yang positif untuk bisa bertahan dan keluar dari situasi tidak menguntungkan dan akan menimbulkan dampak negatif dalam kehidupannya yang disebut dengan post traumatic growth.

(5)

121 Hurlock (1980) mengemukakan bahwa efek traumatik dari perceraian biasanya lebih besar daripada efek kematian, karena sebelum dan sesudah perceraian sudah timbul rasa sakit dan tekanan emosional, serta mengakibatkan cela sosial. Maka dari itu, wanita pasca bercerai perlu untuk merubah kondisinya dengan lebih positif dan memaknai kehidupan, sehingga memunculkan kemungkinan baru dalam hidup agar wanita pasca bercerai mampu bangkit dan semangat dalam menjalani kehidupannya.

Tedeschi dan Calhoun (2004) mengemukakan bahwa post traumatic growth merupakan perkembangan positif yang terjadi dalam hidup individu setelah mengalami pengalaman buruk.

Individu yang menjalani proses post traumatic growth tidak hanya bertahan atau melalui kehidupannya. Tetapi, individu tersebut mampu menjadikan pengalaman buruknya di masa lalu sebagai pembelajaran dan pengalaman yang sangat mendalam untuk menjalani sisa hidupnya jauh lebih baik.

Layly (2015) mengemukakan bahwa dengan pertumbuhan pasca trauma (post traumatic growth), wanita pasca bercerai akan mampu menghadapi kejadian traumatik yang dialaminya

dan membangun kembali kehidupannya menjadi lebih baik dan terarah sehingga dapat merefleksikan kehidupan barunya sebagai wanita tanpa pasangan atau single parent.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa wanita yang mengalami pengalaman traumatik yaitu perceraian untuk mencapai terbentuknya post traumatic growth dalam dirinya harus mampu mengubah kembali pola pikirnya yang positif dan bersifat memperbaiki.

Fokus pertanyaan pada penelitian ini ada 2, yaitu:

1.Bagaimana latar belakang perceraian pada wanita?

2.Bagaimana post traumatic growth pada wanita pasca bercerai?

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan metode fenomenologi. Creswell (2016) mengemukakan bahwa penelitian kualitatif merupakan penelitian yang memiliki rancangan pengumpulan data, analisis data, dan laporan penelitian secara spesifik.

Subjek dalam penelitian ini adalah wanita yang mengalami post traumatic growth pasca bercerai. Adapun kriteria subjek dalam penelitian ini adalah wanita bercerai berusia 35 - 45 tahun, bekerja setelah bercerai, belum menikah lagi, mantan suami masih hidup, dan usia pernikahan 4 tahun ke atas.

Penelitian ini dilakukan di Kota Makassar karena letak geografis memudahkan peneliti untuk melakukan penelitian mengenai post traumatic growth pada wanita pasca bercerai. Selain itu,

(6)

122 peneliti tertarik untuk meneliti wanita yang bercerai dikarenakan wanita lebih memiliki tingkat emosional tinggi dibandingkan pria, sehingga peneliti memilih untuk meneliti wanita yang bercerai untuk melihat proses terbentuknya post traumatic growth. Berdasarkan metode penelitian yang telah peneliti tentukan, maka teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan, yaitu observasi, kuesioner, wawancara, dan dokumentasi.

Creswell (2016) mengemukakan bahwa teknik analisis data yang digunakan dalam kualitatif ada beberapa tahap, yaitu mengolah dan mempersiapkan data untuk dianalisis, membaca keseluruhan data, memulai coding semua data, tunjukkan bagaimana deskripsi dan tema-tema ini akan disajikan kembali dalam narasi/laporan kualitatif, dan pembuatan interpretasi/memaknai data. Teknik verifikasi data yang digunakan peneliti yaitu teknik triangulasi terkait pengumpulan data, analisis data, dan member checking.

HASIL

Terdapat 3 responden yang memenuhi syarat dan bersedia diwawancarai sampai akhir penelitian ini. Datanya sebagai berikut:

1. Subjek V dengan usia pernikahan 12 tahun dan jumlah anak sebanyak 1orang. Penyebab perceraian adalah mantan suami responden tidak menafkahi dan selingkuh.

2. Subjek SM dengan usia pernikahan 5 tahun dan jumlah anak sebanyak 1orang. Penyebab perceraian adalah mantan suami responden melakukan KDRT dan tidak menafkahi.

3. Subjek SM dengan usia pernikahan 18 tahun dan jumlah anak sebanyak 2 orang. Penyebab perceraian adalah mantan suami responden selingkuh dan tidak menafkahi

Data yang didapatkan oleh peneliti berdasarkan hasil wawancara yang mendalam terhadap ketiga responden merupakan data yang sangat penting, karena data berupa hasil wawancara tersebut memudahkan peneliti untuk mengkaji tema yang diteliti oleh peneliti yaitu pasca perceraian pada wanita. Fenomena perceraian yang didapatkan oleh peneliti berupa konflik penyebab perceraian terhadap ketiga responden, akan menjadi dasar untuk membentuk post traumatic growth pada ketiga responden yang telah terpilih.

DISKUSI

1.1. Latar Belakang Perceraian

Latar belakang perceraian yaitu mantan suami responden tidak menafkahi dan jarang pulang ke rumah semenjak anak responden lahir, mantan suami responden selingkuh dengan 4 wanita lain dan menikah siri sebanyak 3 kali, tidak menafkahi istri dan anak, perselingkuhan dan menikah siri, mantan suami responden tidak menafkahi responden semenjak menikah, dan

(7)

123 mantan suami responden melakukan kekerasan dalam rumah tangga baik secara fisik maupun verbal.

Responden V pasca bercerai mengalami perubahan kognitif berupa ketenangan seperti tidak ada beban, responden lebih mandiri dan kuat dalam mengurus anak, responden lebih memaknai kehidupan dan semakin mendekatkan diri kepada Allah. Selain itu, responden juga mengalami perubahan peran yang dulunya hanya menjadi ibu rumah tangga, pasca bercerai responden bekerja demi menafkahi anak dan responden juga menghargai bentuk hubungan dengan orang lain yang membutuhkan.

Responden SM pasca bercerai mengalami perubahan kepribadian yang lebih dewasa dalam hal berpikir dan lebih kuat menjalani hidup. Selain itu, responden juga lebih bijak dalam memaknai kehidupan dan responden mengalami peningkatan spiritual dengan hijrah menutup aurat dan memperdalam ilmu agama. Responden juga mengalami perubahan prioritas dengan peran yang baru sehingga responden menjadi pribadi yang lebih mandiri dengan bekerja untuk menafkahi anak.

Responden R mengalami perubahan dalam bentuk kognitif yaitu responden mengalami perubahan pola pikir yang lebih baik, responden semakin kuat dalam menjalani kehidupan, lebih mandiri, lebih memaknai kehidupan, semakin bijak dan dewasa dalam menyikapi setiap hal serta peningkatan spirtual. Selain itu, responden juga mengalami perubahan prioritas dan peran baru menjadi ayah dan ibu untuk anak dan harus bekerja demi mencari nafkah untuk kebutuhan keluarga.

1.2. Kehidupan Pasca Bercerai

Responden V awal pasca bercerai merasakan kesulitan bersama anaknya dan sangat menderita menjalani kehidupan. Hurlock (1980) mengemukakan bahwa efek perceraian khususnya sangat berpengaruh pada anak-anak dari keluarga. Responden terkadang tidak makan karena tidak memiliki uang untuk membeli makanan karena pada saat bercerai responden dan anaknya sudah tidak dinafkahi lagi oleh mantan suaminya.

Responden SM awal pasca bercerai mengalami kelegahan dalam hati karena beban responden telah hilang. Responden pada saat itu merasakan jauh lebih enjoy menjalani kehidupan karena pada saat sebelum bercerai responden selalu disiksa lahir dan batin oleh mantan suami bahkan tidak menafkahi anak.

Responden R awal bercerai mengalami kesedihan yang mendalam. Hurlock (1980) mengemukakan bahwa efek traumatik dari perceraian biasanya lebih besar dari pada efek kematian, karena sebelum dan sesudah perceraian sudah timbul rasa sakit dan tekanan

(8)

124 emosional. Saat menikah responden hanya menjadi ibu rumah tangga sehingga pada saat awal bercerai responden harus memenuhi kebutuhan anak-anaknya dengan bekerja karena mantan suami responden tidak menafkahi anak.

1.3. Post Traumatic Growth

Pasca bercerai responden V merasakan perubahan dalam bentuk kognitif maupun perilaku yang positif. Tedeschi dan Calhoun (2004) mengemukakan bahwa post traumatic growth merupakan perkembangan positif yang terjadi dalam hidup individu setelah mengalami pengalaman buruk. Responden merasakan ketenangan pasca bercerai seperti tidak ada beban.

Responden juga mengalami perubahan peran dan pola pikir dalam mengatasi anak.

Pasca bercerai responden mengalami perubahan prioritas dari yang dulu mengutamakan suami dan sekarang mengutamakan diri sendiri dan anak. Dalam penyesuaian terhadap lingkungan sekitar pasca bercerai, responden tidak memperdulikan segala fitnah yang diajukan kepadanya. Responden merasakan perubahan dalam persepsi diri yaitu kekuatan dan kemandirian pasca bercerai karena responden memiliki anak. Menurut Calhoun dan Tedeschi (2004) faktor yang mempengaruhi post traumatic growth adalah kekuatan dalam diri, dimana Individu menyadari bahwa telah terjadi perubahan dalam dirinya berupa kekuatan dirinya yang lebih meningkat dari sebelumnya. Pengalaman traumatik yang dialami individu di masa lalu membuat individu memiliki kemampuan untuk lebih kuat dan mandiri menjalani hidup.

Responden juga lebih menghargai kehidupan pasca bercerai dan peningkatan spiritual dalam menjalani keseharian karena responden beranggapan bahwa manusia bisa meninggalkan tetapi Allah tidak akan pernah meninggalkanya.

Pasca bercerai responden SM mengalami perubahan dalam bentuk perilaku yaitu, responden harus bekerja demi pemenuhan kebutuhan anak karena mantan suami responden tidak menafkahi anak, sehingga responden harus bertanggung jawab memenuhi setiap kebutuhan anak dan lebih kuat dan mandiri mengurus anak seorang diri tanpa suami. Pasca bercerai responden mengalami perubahan pola pikir, responden menjadi pribadi yang lebih dewasa dalam menyikapi setiap hal. Selain itu, responden mengalami perubahan prioritas pasca bercerai yang dulunya memprioritaskan suami, sekarang responden memprioritaskan pekerjaan dan anak. Responden pasca bercerai lebih memaknai hubungan antara mantan suami dan tidak merasakan kebencian terhadap mantan suaminya. Pasca bercerai responden merasakan hal positif dan merasakan ketenangan yang dulunya selalu disiksa dan menderita.

Pasca bercerai kehidupan spiritual responden semakin mendekatkan diri kepada Allah dan berhijrah dengan menutup aurat. Pasca bercerai responden R menjadi sosok wanita yang lebih

(9)

125 kuat dari sebelumnya karena responden harus menjadi contoh yang baik untuk anak-anak responden, walaupun responden merasakan sakit yang begitu dalam pasca bercerai. Responden merasakan ketenangan dalam menjalani sisa hidupnya pasca bercerai dengan mantan suaminya dan merasakan tidak ada beban batin lagi yang harus ditanggung oleh responden selama menjalin pernikahan.

Pasca bercerai responden mengasah kemampuan dalam hal keterampilan kursus menjahit, semata-mata untuk memikirkan masa depan responden bersama anak-anaknya. Kehidupan spiritual responden semakin kuat pasca bercerai, lebih mendekatkan diri kepada Allah agar responden mampu mendidik anak-anaknya seorang diri dengan menyeimbangkan antara urusan di dunia dan di akhirat walaupun tanpa peran seorang suami. Menurut Calhoun dan Tedeschi (2006) aspek post traumatic growth adalah peningkatan spiritual, dimana peningkatan keyakinan pada individu semakin meningkat berdasarkan pengalaman buruk dimasa lalu yang menimpanya. Keyakinan pada individu mengalami perubahan positif yang bersifat eksistensial untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan individu terhadap agama yang dianut. Responden lebih memaknai kehidupan pasca bercerai dan menjadi sosok seorang ibu tunggal yang lebih bijak dari sebelumnya.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan di atas, maka diperoleh bahwa dinamika post traumatic growth pada wanita pasca bercerai, yaitu:

1. Latar belakang Penyebab Perceraian

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penyebab terjadinya perceraian, yaitu: (a) Faktor ekonomi dalam rumah tangga responden yang tidak seimbang dengan kebutuhan sehari-hari. Suami responden membatasi pengeluaran kebutuhan anak dan responden secara tidak wajar bahkan sampai tidak menafkahi keluarga. (b) KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) yang dilakukan mantan suami responden kepada responden baik berupa fisik maupun verbal. (c) Perselingkuhan yang dilakukan oleh suami responden hingga menikah siri.

2. Gambaran Post Traumatic Growth pada wanita pasca bercerai

Berdasarkan pembahasan diatas, post traumatic growth pada wanita pasca bercerai, yaitu:

(a) Kekuatan dalam diri. Wanita pasca bercerai mengalami perubahan kepribadian yaitu lebih kuat dalam menjalani kehidupan bersama anak. (b) Mandiri. Wanita pasca bercerai mengalami perubahan lebih mandiri dalam menjalani kehidupan sebab wanita harus bekerja demi memenuhi kebutuhan sehari-hari bersama anak. (c) Perubahan prioritas. Perubahan perilaku

(10)

126 wanita pasca bercerai berupa perubahan prioritas yaitu lebih mengutamakan anak. (d) Memaknai hidup. Wanita pasca bercerai mengalami perubahan positif yaitu dengan lebih memaknai hidup dan lebih bijak dalam memandang setiap masalah dalam hidupnya. (e) Peningkatan spiritual. Wanita pasca bercerai mengalami peningkatan spiritual yaitu lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT dan menambah ilmu pengetahuan mengenai agama agar selalu menjadi pribadi yang taat dan lebih sabar, ikhlas serta tawakal menerima kondisi saat ini dan untuk bekal menuju kehidupan di akhirat.

Dari hasil penelitian dengan sumbangan kemanfaatan ilmu psikologi bagi kepentingan masyarakat luas, maka terdapat beberapa saran yang dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Saran bagi wanita bercerai, yaitu bercerai merupakan hal yang tidak mudah dijalani seorang wanita. Status wanita yang berubah dari seorang istri menjadi seorang janda akan menjadi beban yang sangat berat untuk seorang wanita. Tetapi, perlu dipahami bahwa hidup akan terus berlanjut dan wanita yang bercerai harus mampu untuk bangkit dari keterpurukan untuk menjalani kehidupan dengan status yang baru, karena setiap cobaan yang diberikan oleh Allah SWT pada hambanya, semuanya memiliki hikmah dibalik cobaan tersebut tergantung wanita yang bisa untuk bangkit dan memaknai dari perceraian tersebut. Maka dari itu, disarankan untuk wanita yang bercerai agar bangkit melawan keterpurukan dan introspeksi diri agar terjadi perubahan kepribadian yang lebih positif pasca bercerai.

2. Saran bagi peneliti selanjutnya yang mengangkat tema sama yaitu post traumatic growth diharapkan meneliti dengan lebih dalam berupa studi kasus, agar melihat dengan detail perubahan-perubahan yang terjadi pada responden secara akurat.

3. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi referensi untuk peneliti selanjutnya. Peneliti menyadari banyak kekurangan dalam menyelesaikan penelitian ini, sehingga peneliti berharap agar peneliti selanjutnya mampu lebih baik dalam mengumpulkan data.

REFERENSI

Amalia, R. (2017). Post Traumatic Growth pada Wanita yang Bercerai. (Skripsi). Surabaya:

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Amato, P. R. (2014). The Consequences of Divorce for Adults and Children: An update. Društvena Istraživanja: Casopis za Opća Društvena Pitanja, 23(1), 5-24.

Calhoun, L. G., & Tedeschi, R. G. (2006). The foundations of posttraumatic growth: An expanded framework. In Calhoun, L. G., & Tedeschi, R.G, Handbook of Posttraumatic Growth, (pp.1-22). Lawremce Erlbaum Associates: Mahwah New Jersey London.

Creswell, J. W. (2016). Research Design: Pendekatan Metode Kualitatif, Kuantitatif, dan Campuran. Terjemahan oleh Achmad Fawaid & Rianayati Kusmini Pancasari. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

(11)

127 Fisher, H., & Low, H. (2009). Who Wins, Who Loses and Who Recovers from Divorce?.Artikel

Online. Diakses dari

https://www.researchgate.net/publication/267833710_Who_wins_who_lose_and_who_rec overs_from_divorce.

Hurlock, E. B. (1980). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan (Ed. 5). Terjemahan oleh: Istiwidayanti & Soedjarwo. Jakarta: Erlangga.

Layly, D. L. N. (2015). Post Traumatic Growth pada Wanita Dewasa Awal Pasca Perceraian.

(Skripsi). Surabaya: Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Rahmah, A. F., & Widuri, E. L. (2012). Post Traumatic Growth pada Penderita Kanker Payudara. Humanitas: Indonesian Psychological Journal, 8(2), 115-128.

Shapiro, A., & Keyes, C. L. M. (2008). Marital Status and Social Well-being: Are the Married Always better off?. Social Indicators Research, 88(2), 329-346.

Tedeschi, R. G., & Calhoun, L. G. (2004). Post Traumatic Growth: Conceptual Foundations and Empirical Evidence. Psychological Inquiry, 15(1), 1-18.

Referensi

Dokumen terkait

2.1.3.3 Faktor yang Mempengaruhi Post-Traumatic Growth.... Kerangka

• Formula 5: kondisi periodik muncul pada program rekursif yang membagi input menjadi dua bagian, kemudian mengerjakan input lain dengan kapasitas konstan. Sedgewick, R.,

• Proses Listing Material adalah proses membuat daftar bahan material yang akan dibeli, pada proses Daftar Potong sudah didapat panjang total dari besi yang akan dipakai, tetapi

Hal ini menandakan Miranda memiliki banyak materi yang tidak dimiliki orang lainnya mengingat ia adalah seorang editor tertinggi dalam majalah Runway, yang tentu

Lebih jauh lagi, biasanya kita tertarik dengan worst case, atau kasus terburuk; yaitu jumlah operasi terbanyak yang mungkin dilakukan sebuah algoritma untuk ukuran masalah yang

Setiap barang yang akan dikirim harus memiliki tujuan, berdasarkan pendapat Bram Verweij (1996, pp6-7) untuk mengatasi permasalahan tersebut dengan cara mengelompokkan tujuan

Sarafino (1998) membagi dukungan sosial dalam 5 jenis, namun peneliti hanya menggunakan 4 jenis dengan tidak menggunakan jenis jaringan, hal ini menyeusiakan dengan

pengembangan Borg and Gall. 3) Pengujian efektifitas dengan melihat rata-rata hasil nilai yang diperoleh siswa yaitu kelas kontrol 0,151 dan kelas eksperimen 0,001. Hal ini berarti