TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN
NOMOR 98/ Pid.B/2013/PN.LMG TENTANG TINDAK PIDANA
PENGEROYOKAN
SKRIPSI
Oleh
Muhamad Dhaly
NIM. C33213069
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syari’ah Dan Hukum
Jurusan Hukum Publik Islam Prodi Hukum Pidana Islam
Surabaya
ABSTRAK
Skripsi ini adalah penilitian studi kasus dengan judul “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan Nomor 98/ Pid.B/ 2013/PN.LMG Tentang Tindak Pidana Pengeroyokan” yang bertujuan untuk menjawab dua pertanyaan, yaitu bagaimana pertimbangan hakim pada putusan Pengadilan Negeri LamonganNomor 98/ Pid.B/ 2013/PN.LMG tentang Tindak Pidana Pengeroyokan dan bagaimana tinjaun hukum pidana Islam terhadap pertimbangan hakim dalam putusan Pengadilan Negeri Lamongan Nomor 98/ Pid.B/ 2013/PN.LMG tentang Tindak Pidana Pengeroyokan.
Data ini dengan mempelajari dokumen, berkas-berkas perkara dan bahan pustaka, yang selanjutnya diolah melalui beberapa tahap yaitu Editing, Organizing, Analizing dan diskriptif analisis serta pola piker deduktif dan menggunakan metode kualitatif.
Proses penelitian menemukan bahwa Hakim menjatuhkan hukuman telah mempertimbangkan pidana kepada terdakwa sudah sesuai dengan kadar kesalahan dan berpatokan pada penjatuhan hukuman dengan menerapkan unsur edukatif atau pendidikan, yang tertuang dalam amar putusan perkara Nomor 98/ Pid.B/ 2013/PN.LMG tentang Tindak Pidana Pengeroyokan dengan menjatuhkan pidana penjara masing-masing selama 3 Bulan. Hal ini dalam pandangan hukum pidana Islam termasuk Jinayah dengan hukuman qis}s}a>s}}} dan Ta’zir. Penerapan hukuman qishas dan ta’zir pada tindak pidana pengeroyokan pada putusan Pengadilan Negeri Lamongan dirasa sesuai jika diterapkan dalam konteks pidana Islam, karena qis}s}a>s dan ta’zir merupakan hukuman yang dijatuhkan serta besar kecilnya ditentukan oleh Hakim. Penelitian skripsi ini memiliki 2 kesimpulan, yaitu: yang pertama, pertimbangan hakim dalam memutus perkara tentang pengeroyokan menggunakan dasar hukum yaitu pasal 170 ayat 1 dengan menjatuhkan pidana masing tiga bulan ketiga terdakwa yang dihukum masing-masing tiga bulan, oleh Pengadilan Negeri Lamongan ada perbedaan secara prinsipil dengan hukum Pidana Islam. Kedua, menurut hukum Pidana Islam tentang Apabila korban atau keluarga korban (ahli waris) memaafkan maka terdakwa Majid harus membayar diyat (ganti rugi), dalam hal ini berlaku hukumah, yaitu ganti rugi yang besarnya diserahkan kepada keputusan hakim. Sedangkan terdakwa Budi Saputra dan terdakwa Indra Jaya tetap dikenakan ta’zir.
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
MOTTO ... iv
PERSEMBAHAN ... v
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TRANSLITERASI ... xii
BAB I PENDAHULUAN ... ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan batasan Masalah ... 10
C. Rumusan Masalah ... 11
D. Kajian Pustaka ... 11
E. Tujuan Penelitian ... 13
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 13
G. Definisi Operasional ... 14
H. Metode Penelitian ... 15
I. Sistematika Pembahasan ... 18
BAB II TINDAK PIDANA PENGEROYOKAN DALAM HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA... 20
A. Pengertian Tindak Pidana Penganiayaan ... 20
B. Tindak Pidana Penganiayaan Dalam Hukum Pidana Indonesia 37 C. Eksiminasi ... 46 BAB III PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN PENGADILAN NEGERI LAMONGAN NOMOR 98/PID.B/2013 TENTANG PENGEROYOKAN ... 52
B . Pengadilan Negeri Lamongan Dasar Hukum Hakim Terhadap
Tindak Pidana Pengeroyokan ... 54
C . Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Lamongan terhadap Tindak Pidana Pengeroyokan ... 58
D . Amar Putusan Pengadilan Negeri Lamongan terhadap Tindak Pidana Pengeroyokan ... 58
BAB IV ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN PENGADILAN NEGERI LAMONGAN NOMOR 98/PID.B/ 2013 TENTANG PENGEROYOKAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM... 60
A. Analisis dari Segi Kategori Tindak Pidana Penganiayaan .... 60
B. Analisis Dari Segi Hukum yang Dijatuhkan Menurut Hukum Pidana Islam ... 62
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 68
B. Saran ... 69
DAFTAR PUSTAKA ... 71
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia itu hakekatnya adalah makhluk sosial, mempunyai keinginan
untuk hidup bermasyarakat dengan manusia-manusia lain. Artinya setiap
manusia mempunyai keinginan untuk berkumpul dan mengadakan hubungan satu
sama lain sesamanya. Kumpulan atau persatuan manusia-manusia yang saling
mengadakan hubungan satu sama lain itu dinamakan “masyarakat”. Jadi
masyarakat terbentuk apabila ada dua orang atau lebih hidup bersama, sehingga
dalam pergaulan hidup mereka timbul berbagai hubungan atau pertalian yang
mengakibatkan mereka saling kenal-mengenal dan pengaruh-mempengaruhi.
Bagaimanapun sederhananya dan bagaimanapun modernnya masyarakat manusia,
norma tetap sebagai suatu yang mutlak harus ada pada masyarakat. Norma
hukum maupun norma-norma lainnya dalam masyarakat justru dimaksudkan
untuk menjaga keseimbangan, keserasian dan keselarasan hubungan-hubungan
manusia dalam masyarakat. Tanpa norma hubungan-hubungan yang terjadi
dalam masyarakat akan kacau dan masyarakat menjadi hancur. Oleh karena itu
dalam setiap masyarakat selalu ada hukum (ubi societas ibi ius). Bagaimana
corak dan warna norma hukum yang dikehendaki untuk mengatur seluk-beluk
kehidupan masyarakat, masyarakat yang bersangkutanlah yang menentukan
2
itu sendiri dan oleh sebab itu turut serta sendiri dalam berlakunya tata hukum itu,
artinya tunduk sendiri kepada tata hukum itu, disebut “masyarakat hukum”.1
Hukum adalah suatu sistem aturan atau adat, yang secara resmi dianggap
mengikat dan dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah atau otoritas melalui
lembaga atau institusi hukum. Salahsatu fungsinya yaitu sebagai institusi sosial
dimana hukum menjadi suatu kebutuhan bagi masyarakat agar tercipta keadilan
dan ketentraman. Sehingga masyarakat dapat hidup dengan damai tanpa ada
konflik.2 Hukum pada pokoknya adalah produk pengambilan keputusan yang ditetapkan oleh fungsi-fungsi kekuasaan negara yang mengikat subjek hukum
dengan hak-hak dan kewajiban hukum berupa larangan, atau keharusan, ataupun
kebolehan. Hukum negara adalah hukum yang ditetapkan dengan keputusan
kekuasaan negara sebagai hasil tindakan pengaturan, penetapan, dan pengadilan.3 Salah satunya adalah hukum pidana. Hukum pidana itu terdiri dari norma-norma
yang berisi keharusan dan larangan yang (oleh pembentuk undang-undang) telah
dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman.4 Hukum pidana tidak hanya berkaitan dengan penentuan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan sanksi
pidana sera kapan orang yang melakukan perbuatan pidana itu dijatuhi pidana,
tetapi juga proses peradialn yang harus dijalankan oelh orang tersebut. Dalam
artian hukum pidana mengandung 2 hal yaitu hukum pidana formal dan materiil.
Hukum pidana formal diatur dalam KUHAP sedangkan hukum pidana materiil
1
Titik Triwulan Tutik, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2006), 47.
2
Sri Warjiyati, Ilmu Hukum, (Sidoarjo: Cahaya Intan, 2014), 32.
3
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-undang, (Jakarta : Rajawali Pers, 2011), 7.
4
3
diatur dalam KUHP.5 Perbuatan – perbuatan pidana ini menurut ujud atau sifatnya adalah bertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki oleh
hukum, mereka adalah perbuatan yang melanggar hukum. Tegasnya : mereka
merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan
terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang baik dan adil. Karenanya
perbuatan itu dilarang keras atau pantang dilakukan.6 Contoh perbuatan-perbuatan yang mengganggu ketertiban dan keamanan masyarakat adalah tindak
pidana penganiayaan.
Penganiayaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diatur dalam
pasal 351-355 Kuhp yang dibagi menjadi 5 jenis penganiayaan yaitu :7
1. Penganiayaan ringan yang diatur dalam pasal 352 KUHP.
2. Penganiayaan biasa yang diatur dalam pasal 351 KUHP.
3. Penganiayaan biasa yang direncanakan diatur dalam pasal 353 KUHP.
4. Penganiayaan berat yang diatur dalam pasal 354 KUHP.
5. Penganiayaan berat yang direncanakan diatur dalam pasal 355 KUHP.
Seperti kasus yang terjadi di Alun-Alun Lamongan. Kasus penganiayaan
yang dilakukan oleh 3 terdakwa bersaudara dengan cara bersama-sama.
Terdakwah tersebut bernama I. Muhammad Abdul Majid Bin H. Anwar, II. M.
Budi Saputra alias Makadi Bin H. Anwar, III. Indra Jaya Bin H. Anwar pada hari
Rabu tanggal 19 Desember 2012 sekira jam 20.00 WIB atau setidak-tidaknya
pada suatu waktu dalam bulan Desember tahun 2013 bertempat di Lapangan
5
Mahrus Ali, Dasar-dasar hukum pidana, (Jakata : Sinar grafika, 2012), 2.
6
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2002), 2.
4
basket alun-alun Lamongan atau setidak-tidaknya pada suatu tempat yang masih
termasuk dalam daerah Hukum Pengadilan Negeri Lamongan dimuka umum
secara bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang yaitu saksi Riki Amin
Hidayat Bin suparlan.
Akibat dari perbuatan terdakwa tersebut saksi Riki Amin Hidayat
mengalami luka memar pada pipi kanan atas dan bengkak pada kelopak mata
kanan. Dalam kasus ini Jaksa Penuntut Umum mendakwa terdakwa dengan pasal
170 ayat 1 KUHP tentang kekerasan terhadap orang atau barang di muka umum
dengan cara bersama-sama dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun enam
bulan, dalam kasus ini putusan hakim menghukum terdakwa dengan pidana
penjara masing-masing tiga bulan.8
Pada dasarnya pengertian dari istilah jina>yah mengacu pada hasil
perbuatan seseorang pengertian tersebut hanya terbatas pada perbuatan yang
dilarang, di kalangan Fuqaha, jina>yah berarti perbuatan-perbuatan yang terlarang
menurut syara’. Meskipun demikian pada umumnya, fuqaha’ menggunakan
istilah tersebut hanya untuk perbuatan-perbuatan yang mengancam keselamatan
jiwa. Selain itu terdapat fuqaha yang membatasi istilah jina>yah kepada
perbuatan-perbuatan yang diancam dengan h}udud dan qis}as}, tidak termasuk
perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman ta’zir. Istilah lain yang
sepadan dengan istilah jina>yah adalah jari>mah yaitu larangan-larangan syara’
yang diancam Allah dengan hukuman h}ad dan ta’zi>r.9 Sedangkan tujuan hukum
8
Putusan Nomor : 98/ Pid.B/2013/PN.LMG
9
5
Islam (syara’) dapat terbagi manjadi tiga tingkatan. Pertama, tingkatan
al-d}aru>riyah yaitu tingkatan esensi dalam kehidupan manusia, baik kehidupan
diniyah maupun dunia. Yang dipandang esensi dalam al-d}aru>riyah adalah :
Memelihara akal, jiwa, akal fikiran, keturunan, kehormatan dan harta. Kedua
tingkatan Al-h}a>jjiyah yaitu segala yang dibutuhkan manusia untuk
menghilangkan kesulitan dan menolak masyaqot. Ketiga tingkatan
Al-Tah}siniyah yaitu segala yang berhubungan dengan kewibawaan dan keutamaan
akhlaq sekedar untuk memenuhi keindahan tradisi, baik dalam ibadah,
muamalah, kebiasaan maupun uqu>bat.10
Ditinjau dari unsur-unsur jari>mah atau tindak pidana, objek utama kajian
fiqih jina>yah dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu : al-rukn al-syar’i atau
unsur formil, al-rukn al-madi atau unsur materiil, al-rukn al-adabi atau unsur
moril. Sedangkan bentuk jarimah dibagi menjadi tiga macam yaitu: jari>mah
h}udud, jari>mah qis}a>s}/diyat, dan jari>mah ta’zi>r.11 Qis}a>s} adalah hukuman timbal
balik bagi tindak pidana jiwa dan selain jiwa. Penganiayaan dalam hukum pidana
Islam di hukumi dengan hukuman qis}a>s} sebagai hukuman pokok dan diyat atau
ta’zi>r sebgai hukuman pengganti.
10
Muchlis Usman, Filsafat Hukum Islam, (Malang : LBB Yan’s Press, 1994), 50-53.
6
Qis}a>s} dalam penganiayaan secara eksplisit dijelaskan dalam surat
Al-Maidah :
ُْلاِب َنُذُْلاَو ِفْثَْلاِب َفْثَْلاَو َِْْعْلاِب ََْْعْلاَو ِسْفّ نلاِب َسْفّ نلا ّنَأ اَهيِف ْمِهْيَلَع اَنْ بَتَكَو
ّنّسلاَو ِنُذ
ّنّسلاِب
ٌصاَصِق َحوُرُْْاَو
ۚ
ُهَل ٌةَراّفَك َوُهَ ف ِهِب َقّدَصَت ْنَمَف
ۚ
َلوُأَف ُهّللا َلَزْ ثَأ اَِِ ْمُكََْ ََْ ْنَمَو
ُمُ َكِئ
َنوُمِلاّظلا
“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwasannya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga oleh telinga, gigi dengan gigi, dan laku-luka (pun) ada qishashnya”12
Dalam kajian ushul fiqh, ayat ini termasuk salah satu syariat umat
sebelum Islam yang diperselisihkan ulama. Antara lain pendapat para ulama :13 1. Menurut jumhur ulama, Hanafiyah, malikiyah, sebagian Syafi’iah, dan sebuah
riwayat ahmad, dimana pendapat ini dinilai sebagai yang paling tepat,
ayat-ayat tentang qis}as} terhadap anggota badan tetap berlaku bagi umat Islam.
2. Menurut As’ariyah, Mu’tazilah dan sebagian pengikut Syafi’iah, yang juga
didukung oleh Al-zuhaili, Al-ghazali, Al-amidi, Al-razi dan Ibnu Hazm.
Berpendapat bahwa syari’at ini tidak berlaku bagi umat Islam.
3. Menurut Ibnu Al-Qusyairi dan Ibnu Burhan, terhadap ayat samacam ini lebih
baik bersikap diam sampai terdapat dalil shahih yang menegaskan.
Dari pendapat diatas menurut jumhur ulama lah yang paling kuat dengan
dasar dari Al Qur’an surat Al-syura ayat 13 :
12
QS. Al-Maidah: 45 13
7
ىّصَو اَم ِنيّدلا َنِم ْمُكَل َعَرَش
ىَسوُمَو َميِاَرْ بِإ ِهِب اَنْ يّصَو اَمَو َكْيَلِإ اَنْ يَحْوَأ يِذّلاَو اًحوُث ِهِب
ىَسيِعَو
ۚ
ِهيِف اوُقّرَفَ تَ ت َاَو َنيّدلا اوُميِقَأ ْنَأ
ۚ
ِهْيَلِإ ْمُوُعْدَت اَم َِْكِرْشُمْلا ىَلَع َرُ بَك
ۚ
ُءاَشَي ْنَم ِهْيَلِإ َِِتََْ ُهّللا
ُبيِنُي ْنَم ِهْيَلِإ يِدْهَ يَو
“Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kamiwasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu, tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya”14
Tindak pidana atas selain jiwa dibagi menjadi tiga bagian : Tindak pidana
atas selain jiwa dengan sengaja, Tindak pidana atas selain jiwa yang menyerupai
sengaja, dan Tindak pidana atas selain jiwa karena kesalahan. Perbedaan yang
paling mencolok dalam tindak pidana atas selain jiwa dengan sengaja,
menyerupai sengaja, dan kesalahan adalah dalam bentuk hukuman pokok. Dalam
tindak pidana atas selain jiwa dengan sengaja sepanjang kondisi memungkinkan
hukuman pokoknya adalah qis}a>s}. Sedangkan untuk menyerupai sengaja dan
kekeliruan, hukuman pokoknya adalah diyat atau irsh. Namun diyat dan irsh juga
diberlakukan untuk tindak pidana sengaja sebagai pengganti qis}a>s}.15
Jenis-jenis jari>mah penganiayaan yaitu : Pertama penganiayaan yang
berupa memotong atau merusak anggota tubuh korban seperti memotong tangan,
kaki, jari atau yang lainnya. Yang biasa disebut at}ra>f. Kedua menghilangkan
fungsi anggota tubuh walaupun fisiknya masih utuh. Ketiga penganiayaan fisik
bagian kepala dan wajah Shajja>j). Keempat penganiayan dibagian tubuh
14
8
Jarh}) terdiri dari dua macam yaitu Al-Ja>’ifah dan Ghairu Al-Ja>’ifah. Kelima
penganiayaan yang tidak termasuk kedalam empat kategori diatas.16
Adapun qis}a>s} atas organ tubuh, jika setiap organ tubuh di potong, maka
didalamnya terdapat qis}a>s}. Tangan dengan tangan, kaki dengan kaki dan
seterusnya. Jika qis}a>s} diampuni maka hukumannya adalah diyat, maka diyat
untuk kedua tangan adalah diyat penuh, sedangkan diyat untuk 1 tangan adalah
separoh diyat, besarnya diyat untuk setiap jari adalah sepersepuluh diyat yaitu 10
unta, besarnya diyat kedua mata ialah diyat penuh, Imam Malik mewajibkan
diyat penuh untuk pada mata yang buta sebelah.17
Diyat adalah uang yang wajib dibayarkan oleh orang yang melakukan
pencideraan terhadap jiwa dan anggota tubuh. Diyat ada dua macam : kategori
berat dan kategori ringan. Diyat berat adalah 100 ekor unta dari 30 unta Hiqqah,
30 unta Jadza’zah dan 40 unta khalifah (unta hamil). Diyat ringan adalah total
100 unta dari 20 untuk Hiqqah, 20 Jadza’ah, 20 unta bintu labun, 20 unta ibnu
labun, dan 20 unta bintu makhad. Untuk pembayaran diyat untuk yang
mencederai anggota badan : setiap tangan dan kaki seharga 50 ekor unta. Hidung
setiap lubang seharga sepertiga diyat pembunuhan. Dua telinga setiap telinga
seharga 50 ekor unta baik mendengar atau tidak. Setiap mata 50 ekor unta.
Setiap pelupuk mata seharga 25 ekor unta. Lidah bagi yang bisa bicara meski
cadel dan gagap yaitu 100 unta.18
16
Ibid., 10.
17
Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Shulthaniyyah, ter. Fadli bahri, (Jakarta: PT. Darul Falah, 2007), Hal. 386.
18
9
Dalam kasus putusan Nomor : 98/ Pid.B/2013/PN.LMG terdakwa
didakwa oleh penuntut umum dengan pasal 170 ayat (1) KUHP dengan ancaman
penjara maksimal lima tahun enam bulan. Melihat dari dakwaan penutut umum
tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa adalah kekerasan yang
mengakibatkan luka.
Dalam hukum pidana ada beberapa teori pemidanaan yang biasa
digunakan, pertama, teori Absholut yaitu teori yang bertujuan untuk memuaskan
pihak yang dendam baik masyarakat sendiri maupun pihak yang dirugikan atau
menjadi korban. Pendekatan teori absholut meletakkan gagasannya tentang hak
untuk menjatuhkan pidana yang keras, dengan alasan karena seseorang
bertanggung jawab atas perbuatannya. Singkatnya teori ini menjelaskan ketika
seseorang bersalah maka harus di hukum. Kedua, teori relatif, yaitu teori ini
secara prinsip mengajarkan bahwa penjatuhan pidana dan pelaksanaannya
setidaknya harus berorientasi pada upaya pencagahan dari kemungkinan
seseorang mengulangi lagi tindakannya. Ketiga, teori gabungan. Yaitu
penggabungan kedua teori diatas.19 Apakah putusan tersebut sudah sesuai dengan teori pemidanaan diatas.
Jika di lihat dari hukum pidana Islam maka kasus putusan Nomor : 98/
Pid.B/2013/PN ini masuk dalam tindak pidana atas selain jiwa dengan hukuman
qisa>s sebagai hukuman pokok jika kemungkinan bisa dilaksanakan dan diyat atau
ta’zi>r jika korban memaafkan terdakwa.
10
Berdasarkan penjelesan diatas penulis tertarik menganalisis sanksi
terhadap pelaku penganiayaan berat yang mengakibatkan luka dan meresahkan
masyarakat dalam putusan diatas. Sedangkan dalam hukum pidana Islam hukuma
bagi pelaku penganiayaan dengan segaja adalah qis}a>s} jika memungkinkan untuk
dilakukan dan diyat atau ta’zi>r sebagai hukuman penggantunya. Berdasarkan hal
tersebut yang melatarbelakangi penulis untuk mengangakat topik pembahasan
penulisan skripsi dengan judul TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM
TERHADAP PUTUSAN NOMOR 98/ Pid.B/2013/PN.LMG TENTANG
TINDAK PIDANA PENGEROYOKAN.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah diatas, dapat
diidentifikasikan beberapa masalah yang timbul sebagai berikut :
1. Penganiayaan dalam hukum pidana dan hukum pidana Islam
2. Deskripsi tindak pidana penganiayaan dengan cara bersama-sama yang
dilakukan di muka umum yang mengakibatkan korban luka-luka dan
meresahkan masyarakat
3. Tindak pidana penganiyaan terhadap orang di muka umum yaitu dalam pasal
170 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam putusan Pengadilan
Negeri Lamongan Nomor : 98/ Pid.B/2013/PN.LMG tentang tindak pidana
pengeroyokan.
4. Analisis putusan Pengadilan Negeri Lamongan Nomor : 98/
11
5. Tinjauan hukum pidana islam terhadap tindak pidana Pengeroyokan dalam
putusan Pengadilan Negeri Lamongan Nomor : 98/ Pid.B/2013/PN.LMG.
C. Batasan Masalah
Dari identifikasi masalah diatas, maka penulis memberikan batasan
maslah sebagai berikut :
1. Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Lamongan dalam putusan Nomor
98/ Pid.B/2013/PN.LMG di Pengadilan Negeri Lamongan. Tentang Tindak
Pidana Pengeroyokan.
2. Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Pertimbangan Hakim Pengadilan
Negeri Lamongan dalam putusan Nomor 98/ Pid.B/2013/PN.LMG
D. Rumusan Masalah
Dari batasan masalah diatas, Adapun rumusan masalah yang akan diteliti
oleh penulis adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pertimbangan Hakim dalam putusan Nomor
98/Pid.B/2013/PN.LMG ?
2. Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap pertimbangan hakim
(putusan Nomor 98/ Pid.B/2013/PN.LMG)
E. Kajian pustaka
Kajian Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau
12
sehingga terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan
pengulangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang telah ada.20
Berikut penulis akan menguraikan beberapa skripsi yang membahas
tentang tindak pidana penganiayaan.
Dalam skripsi yang ditulis oleh Muhammad Yusuf prodi Hukum Pidana
Islam (Jinayah) yang berjudul “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Tindak
Pidana Penganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Studi Putusan Pengadilan
Negeri Bangkalan Nomor 236/Pid.B/2014/Pn.Bkl)”. Dalam penelitian ini penulis
menitikberakan pembahasan tentang tindak pidana penganiayaan yang
mengakibatkan kematian dalam hal ini efek dari penganiayaan tersebut adalah
korban meninggal dunia, dalam hukum pidana Islam kasus ini masuk dalam
pembubuhan semi sengaja.
Selanjutnya skripsi yang ditulis oleh M. Imam susanto yang berjudul
“Tinjauan Fiqih Jinayah Terhadap Penganiayaan Yang Berakibat Luka Berat Dan
Sanksi Hukumnya”. Dalam penelitian ini penulis menitikberatkan kepada
hukuman atau sanksi pidana bagi pelaku penganiayaan dilihat dari Pasal 354 ayat
(1) KUHP dan Hukum pidana Islam.
Skripsi diatas memiliki kesamaan dengan penelitian penulis yaitu
sama-sama membahas tentang penganiayaan. Sedangkan perbedaan dari kedua
penilitian diatas yang pertama tentang akibat dari penganiayaan tersebut jika
penelitian oleh Muhammad Yusuf penganiayaan yang mengakibatkan kematian
20
13
sedangkan penelitian ini tetang penganiayaan yang mengkaibatkan cacat seumur
hidup. Kedua yaitu dari segi bahasan yang akan di bahas, jika skripsi dari M.
Imam susanto membahas hukuman oleh KUHP dan hukum pidana islam dan
yang menjadi fokus adalah pasal 354 ayat (1). Sedangkan penelitian yang ditulis
oleh penulis yaitu penelitian tentang putusan Pengadilan Negeri Lamongan
Nomor : 98/ Pid.B/2013/PN.LMG tentang pengeroyokan. jadi dalam skripsi ini
lebih spesifik langsung ke contoh kasus dilihat dari Hukum Hukum pidana Islam.
F. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusah masalah diatas, maka penelitian dalam penulisan
skripsi ini sebagai berikut :
1. Untuk Mengetahui pertimbangan hakim dalam putusan pengadilan Negeri
Lamongan Nomor 98/ Pid.B/2013/PN.LMG tentang tindak pidana
pengeroyokan
2. Untuk mengetahui tinjauan hukum pidana Islam terhadap pertimbangan
hakim (putusan Nomor 98/ Pid.B/2013/PN.LMG)
G. Kegunaan Hasil Penelitian
Kegunaan hasil penelitian ini di harapkan dapat bermanfaat dalam hal :
1. Aspek keilmuan (teoretis)
Diharakan bisa sebagai sumbangan pemikiran dan khasanah ilmu baru
bagi mahasiswa fakultas Hukum dan Syariah khususnya di UIN sunan
14
2. Aspek Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan
penelitian yang akan datang serta sangat berharap dapat dijadikan
landasan atau acuan bagi penagak hukum untuk membuat putusan
atau penerapan sanksi bagi pelaku penganiayaan di muka umum/
pengeroyokan.
H.Definisi Operasional
Untuk mempermudah memahami judul skripsi yang akan penulis bahas,
maka dirasa perlu untuk menjelaskan secara operasional sebagai berikut :
1. Hukum pidana Islam adalah ilmu tentang hukum Syara’ yang berkaitan
dengan masalah perbuatan yang dilarang (Jari>mah) dan hukumannya
(Uqu>bah), yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Dalam hal ini subyek
penelitian yang digunakan pada skripsi ini adalah Hukum Pidana Islam
jinayah di landasan teori/ Bab II
2. Putusan Hakim Nomor 98/Pid.B/2013/PN.LMG tentang tindak pidana
pengeroyokan oleh Muhammad Abdul Majid, M. Budi Saputra, dan Indra
Jaya terhadap Riki Amin Hidayat adalah suatu pernyataan oleh hakim
sebagai pejabat negara yang diberi wewenang. Untuk itu, diucapkan di
persidangan dan bertujuan untuk mengahiri atau menyelesaikan perkara atau
15
I. Metode penelitian
Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data
dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Penelitian ini sendiri berarti sarana yang
dipergunakan oleh manusia untuk memperkuat, membina, serta mengembangkan
ilmu pengetahuan.
1. Jenis Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang diangkat, maka jenis penelitian ini
dikategorikan sebagai penelitian kepustakaan (Library Research). Penelitian
kepustakaan adalah salah satu bentuk metodologi penelitian yang
menekankan pada pustaka sebagai suatu objek studi11. Pustaka hakekatnya
merupakan hasil oleh budi karya manusia dalam bentuk karya tertulis
2. Sumber Data
a. Sumber Primer
Sumber primer adalah sumber data yang langsung memberikan
data kepada pengumpul data, serta yang akan ditulis pada bab III yaitu
salinan putusan Pengadilan Negeri Lamongan Nomor 98/Pid.B/2013.
b. Sumber Sekunder
Adapun bahan sekunder adalah bahan yang diambil dari
buku-buku literatur yang berhubungan dengan tema judul yang diangkat
penulis, serta situs internet, surat kabar, jurnal, makalah, ensiklopedi dan
lain-lain yang berhubungan dengan masalah yang dikaji. Sumber data
16
1) Titik Triwulan Tutik, (Pengantar Ilmu Hukum), (Jakarta : Prestasi
Pustakaraya, 2006)
2) Sri Warjiyati, (Ilmu Hukum), (Sidoarjo : Cahaya Bulan, 2014)
3) Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya menanggulangi kejahatan dalam Islam),
(Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2000)
4) Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-undang, (Jakarta : Rajawali Pers,
2011)
5) Lamintang, Dasar-dasar Hukum pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2014)
6) Mahrus Ali, Dasar-dasar hukum pidana, (Jakata : Sinar grafika, 2012)
7) Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta : PT. Rineka Cipta,
2002)
8) Kitab Undang-Undang Hukum pidana
9) Muchlis Usman, Filsafat Hukum Islam, (Malang : LBB Yan’s Press,
1994)
10)Nurul Irfan, Musyarofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta : Amzah, 2013)
11)Ahmad Wardi Muslich, Hukum pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika,
2005)
12)Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Shulthaniyyah, ter. Fadli bahri,
(Jakarta: PT. Darul Falah, 2007)
13)Faisal Amin dkk, Menyingkap sejuta permasalahan Fath Al-Qarib,
(Kediri : Lirboyo Pers, 2015).
3. Teknik Pengumpulan Data
17
a. Internet, yaitu teknik mencari data dengan cara membaca dan
menelaah data dalam hal ini Direktori putusan Pengadilan Negeri
Lamongan Nomor: 98/Pid.B/2013.PN.LMG
b. Pustaka, yaitu teknik menggali data dengan cara menelaah
buku-buku dan literatur-literatur. Teknik ini digunakan untuk
memperoleh data teori tentang penganiayaan.
4. Teknik Pengolahan Data
Setelah semua data yang terkait dengan permasalahan tersebut
kemudian akan diolah dengan beberapa teknik sebagai berikut:
a. Editing, yaitu pemeriksaan kembali data-data yang berkaitan
dengan tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan cacat
seumur hidup yang diperoleh dari berbagai buku dan
dokumen-dokumen mengenai topik penelitian terutama kejelasan makna, dan
keselarasan antara data satu dengan yang lainnya.
b. Organizing, yaitu menyusun dan mensistematikan data yang
berkaitan dengan Pasal 170 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
pidana dan fikih jinayah yang diperoleh dalam kerangka uraian yang
telah direncanakan.
c. Analizing, yaitu melakukan analisis terhadap data yaitu mengenai
tinjauan terrhadap putusan Pengadilan Negeri Lamongan Nomor :
98/ Pid.B/2013/PN.LMG dengan menggunakan teori, dalil hingga
diperoleh kesimpulan akhir sebagai jawaban dari permasalahan yang
18
5. Teknik Analisis Data
Teknik analisis penelitian ini menggunakan teknik deskriptif
analisis dengan pola pikir deduktif.
a. Deskriptif analisis, yaitu dengan cara memaparkan dan
menjelaskan data apa adanya data tentang pengeroyokan
direktori Pengadilan Negeri Lamongan Nomor:
98/Pid.B/2013/PN.LMG kemudian dianalisa dengan
menggunakan teori hukum pidana islam tentang penganiayaan.
b. Deduktif, yaitu pola pikir yang berangkat dari variabel yang
bersifat umum dalam hal ini teori jinayah penganiayaan,
kemudian diaplikasikan pada variabel yang bersifat khusus
dalam hal ini ini dasar putusan hakim dalam kasus
pengeroyokan.
J. Sistematika Pembahasan
Agar memudahkan dalam pembahasan dan mudah dipahami, maka
pembahasannya dibentuk dalam bab-bab yang masing-masing mengandung sub
bab. penulis membuat sistematika pembahasan sebagai berikut :
Bab I, pada bab ini menguraikan alasan dan ketertarikan penulis dalam
meneliti masalah ini, gambaran secara keseluruhan skripsi, seperti yang terdapat
di dalam latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan
masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi
19
Bab II, berisi tentang landasan teori tentang penganiayaan dalam ruang
lingkup hukum pidana islam (jinayah).
Bab III, bab ini membahas tentang putusan hakim terhadap pelaku tindak
pidana penganiayaan direktori putusan Pengadilan Negeri Nomor
98/Pid.B/2013/PN.LMG isi putusan, dasar, pertimbangan, putusan dan implikasi.
Bab IV, bab ini membahas tentang analisis terhadap pertimbangan dan
dasar Hakim pada putusan Pengadilan Negeri Lamongan Nomor
98/Pid.B/2013/PN.LMG tentang Pengeroyokan dan analisis hukum pidana Islam
terhadap penganiayaan yang dilakukan bersama-sama dalam putusan Pengadilan
Negeri Lamongan Nomor 98/Pid.B/2013/PN.LMG.
Bab V, bab ini merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran dari
BAB II
TINDAK PIDANA PENGEROYOKAN DALAM HUKUM PIDANA
ISLAM DAN HUKUM PIDANA
A. Penganiayaan dalam Hukum Pidana Islam
1. Pengertian Tindak Pidana Penganiayaan
Penganiayaan dalam hukum pidana Islam disebut dengan istilah tindak
pidana atas selain jiwa atau jinayat selain pembunuhan. Yang artinya setiap
tindakan haram yang dilakukan terhadap anggota tubuh, baik dengan cara
memotong, melukai maupun menghilangkan fungsinya.1 Yang dimaksud dengan tindak pidana atas selain jiwa atau penganiayaan, seperti dikemukakan oleh
Abdul Qadir Awdah adalah setiap perbuatan mnyakiti orang lain yang mengenai
badannya, tetapi tidak sampai menimbulkan kematian atau menghilangkan
nyawa. Pengertian ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh wahbah
Zuhaili, bahwa tindak pidana atas selain jiwa adalah setiap tindakan melawan
hukum atas badan manusia, baik berupa pemotongan anggota badan, pelukaan,
maupun pemukulan, sedangkan jiwa atau nyawa dan hidupnya masih tetap tidak
terganggu.2
1
Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqh Sunnah, terjemah: Abu Ihsan (Jakarta:Pustaka at-Tazkia, 2006), 319.
2
21
2. Pembagian Tindak Pidana Penganiayaan
Tindak pidana penganiayaan dibagi menjadi dua, yaitu berdasarkan
niatnya dan berdasarkan objeknya.
a. Ditinjau dari segi niatnya
Ditinjau dari segi niatnya, tindak pidana penganiayaan dibagi menjadi
dua, yaitu:3
1) Sengaja
Dalam arti yang umum, sengaja terjadi apabila pelaku berniat
melakukan perbuatan yang dilarang.4 Abdul Qadir Audah memberikan definisi:5
ِناَوْدُعْلا ِدْصَقِب َلْعِفْلا ِِاَْْا ِهْيِف َدّمَعَ ت اَم َوُ ُدْمَعْلاَف
“Perbuatan sengaja adalah setiap perbuatan di mana pelaku sengaja melakukan perbuatan dengan maksud melawan hukum”.
2) Tidak Sengaja
Pengertian tindak pidana dengan tidak sengaja atau karena
kesalahan, adalah:6
ِناَوْدُعْلاِدْصَق َنْوُد َلْعِفْلا ِِاَْْا ِهْيِف َدّمَعَ ت اَمَوُُأَطَْْاَو
3 Ibid.
4 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), ,
77.
22
“Perbuatan karena kesalahan adalah suatu perbuatan di mana pelaku sengaja melakukan suatu perbuatan, tetap tidak ada maksud hukum”.
b. Ditinjau dari segi objeknya
Tindak pidana penganiayaan bisa berupa pemotongan dan
pemisahan, melukai yang mengakibatkan tubuh robek, atau
menghilangkan fungsi tanpa merobek dan memisahkan. Berikut
macam-macam tindak pidana penganiayaan.7
1) Jinayat dengan memotong dan memisahkan anggota badan
Adapun yang dimaksud dengan jenis yang pertama adalah
tindakan terhadap perusakan anggota badan dan anggota lain yang
disetarakan dengan anggota badan, baik berupa pelukaan atau
pemotongan. Dalam kelompok ini yaitu termasuk, tangan, kaki, jari,
kuku, hidung, zakar, biji pelir, telinga, bibir, pencongkelan mata,
merontokan gigi, bibir kemaluan wanita, dan lidah.
2) Menghilangkan manfaat anggota badan sedangkan jenisnya masih
tetap utuh
Maksud dari jenis yang kedua ini adalah tindakan yang
merusak manfaat dari anggota badan, sedangkan jenis anggota
badanya masih utuh. Dengan demikian, apabila anggota hilang atau
rusak, sehingga manfaatnya juga ikut hilang maka itu termasuk
kelompok pertama diatas.yang termasuk dalam kelompok ini adalah
7
23
hilangnya pendengaran, penglihatan, penciuman, perasa lidah,
kemampuan berbicara, bersetubuh dan lain-lain.8 3) Al-Shaja>j
Al-Shaja>j adalah pelukaan khusus pada bagia muka dan
kepala. Sedangkan pelukaan atas badan selain muka dan kepala
termasuk kelompok keempat yang akan dibahas berikutnya. Imam
Abu Hanifah berpendapat bahwa shaja>j adalah pelukaan pada bagian
wajah dan kepala, tetapi khusus dibagian tulang saja, seperti dahi.
Sedangkan pipi yang banyak dagingnya tidak termasuk shaja>j, tetapi
ulama lain berpendapat bahwa shaja>j adalah pelukaan peda bagian
muka dan kepala secara mutlak.9
Adapun organ-organ tubuh yang temasuk kelompok anggota
badan, meskipun pada bagian muka, seperti mata, telingga dan
lain-lain tidak termasuk shaja>j.10 Menurut Imam Abu Hanifah, shaja>j itu
ada 11 (sebelas) macam:11
a) Kha>ris}ah, yaitu pelukaan pada bagian permukaan kulit kepala
yang tidak sampai mengeluarkan darah.
b) Da>mi’ah, yaitu pelukaan yang berakibat keluar darah, tetapi
hanya menetes seperti dalam tetesan air mata.
8
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam…, 181.
9
Ibid., 182.
10
Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqh Sunnah..,. 324.
24
c) Da>miyah, yaitu pelukaan yang berakibat darah mengucur keluar
cukup deras.
d) Ba>d}i’ah, yaitu pelukaan yang sampai membuat dagingnya
terlihat, atau luka yang mengiris bagian yang terletak sesudah
lapisan kulit.
e) Mutala>h}imah, yaitu pelukaan yang berakibat terpotongnya
daging bagian kepala lebih banyak dan lebih parah dibanding
kasus badi’ah.
f) Samh}a>q, pelukaan yang berakibat terpotongnya daging hingga
tampak lapisan antara kulit dan tulang kepala.
g) Muwad}d}ih}ah, yaitu pelukaan yang lebih parah daripada samhaq.
Tulang korban mengalami keretakan kecil.
h) Ha>shimah, yaitu pelukaan yang berakibat remuknya tulang
korban.
i) Munqilah, yaitu pelukaan yang mengakibatkan tulang korban
menjadi remuk dan bergeser dari tempat semula.
j) ‘Ammah, yaitu pelukaan yang mengakibatkan tulang menjadi
remuk dan bergeser, sekaligus tampak lapisan tipis antara tulang
tengkorak dan otak.
k) Da>mighah, yaitu luka yang merobek tempurung otak dan
25
Istilah-istilah yang telah disebutkan di atas hampir disepakati
oleh seluruh mazhab fiqih, walaupun ada sedikit perbedaan mengenai
urutannya. Jadi, perbedaannya hanya terletak pada penentuan makna
secara bahasa. Menurut Abdurrahman Al Jaziri, sebenarnya Shaja>j
yang disepakai fuqaha adalah sepuluh macam, yaitu tanpa
memasukkan jenis yang yaitu da>mighah. Hal ini karena da>mighah itu
pelukaan yang merobek selaput otak, karenanya otak tersebut akan
berhamburan, dan kemungkinan mengakibatkan kematian. Itulah
sebab da>mighah tidak dimasukkan kedalam kelompok al-Shaja>j.12
4) Al-Jira>h}
Al-jira>h} adalah pelukaan pada anggota badan selain wajah,
kepala dan at}raf. Anggota badan yang termasuk dalam golongan jirah
ini meliputi leher, dada, perut, sampai batas pinggul. Al jirah ada dua,
yaitu :13
a. Jaifah, yaitu pelukaan yang sampai menembus dalam dari perut
dan dada.
b. Ghayr jaifah, yaitu pelukaan yang tidak sampai bagian dalam dari
dada dan perut, tetapi hanya bagian luarnya saja.
12
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam. 183.
26
3. Tindak Pidana Langsung dan Tidak Langsung
Suatu kejahatan kadang-kadang dilakukan oleh satu orang dan ada
kalanya dilakukan oleh beberapa orang. Oleh karena itu, bahasan terpenting
tentang perbuatan jina>yah yang dilakukan oleh beberapa orang diantaranya turut
berbuat jina>yah langsung dan tidak langsung. Hubungan antara berbuat jina>yah
langsung dan berbuat jina>yah tidak langsung, turut berbuat jina>yah tidak
langsung dengan cara tidak melakukan sesuatu, dan tanggung jawab pidana
terhadap kemungkinan terjadinya kejahatan diluar kesepakatan semula.
Para fuqaha’ hanya membicarakan hukum “turut berbuat langsung”
(isytirak mubasyir), sedang hukum “turut berbuat tidak langsung” (isytirak
ghoiru mubasyir) boleh dikata tidak disinggung-singgung. Boleh jadi hal ini
disebabkan karena menurut syari’at Islam, hukuman yang telah ditentukan hanya
dijatuhkan atas orang yang turut berbuat dengan langsung, bukan atas orang
yang turut berbuat tidak langsung.
Akan tetapi fuqaha>’ mengecualikan pidana pembunuhan dan
penganiayaan serta ketentuan aturan umum tersebut yakni untuk kedua macam
pidana ini, baik perbuatan langsung ataupun tidak langsung dijatuhi hukuman.
Alasannya ialah karena kedua pidana tersebut bisa dikerjakan dengan langsung
dan tidak langsung, sesuai dengan siat-sifat pidana tersebut. Kalau berpegangan
keseluruhnya dengan aturan tersebut maka akibatnya banyak perbuatan tidak
27
melaksanakan pidana tersebut. Jadi, berdasarkan aturan tersebut perbuatan
pidana tidak langsung (meminjam tangan atau orang yang menghasud) apabila
turut melakukan pidana yang diancam hukuman tertentu, maka tidak dikenakan
hukuman itusendiri, sebab hukuman tersebut hanya diancamkan pada pembuat
pidana langsung. Dengan perkataan lain perbuatan pidana tidak langsung
termasuk jina>yah ta’zi>r. baik perbuatan yang dikerjakan itu termasuk Jina>yah
h}udu>d atau qis}}a>s} atau diyat.
Dari sini kita dapat memahami mengapa para fuqaha>’ tidak
membicarakan secara khusus terhadap soal turut berbuat tidak langsung, sebab
perbuatan tersebut jina>yah h}udu>d dan qis}a>s}, yaitu jina>yah yang mendapat
perhatian ulama dari mereka.
Meskipun demikian perbuatan tersebut disinggung-singung juga oleh
mereka ketika membicarakan jina>yah pembunuhan dan penganiayaan.
a) Turut Berbuat Langsung
Pada dasarnya turut berbuat langsung baru terdapat apabila
orang-orang yang berbuat jina>yah dengan nyata lebih dari seorang-orang atau yang biasa
disebut dikalangan sarjana-sarjana hukum positif dengan nama “terbilangnya
pembuat asli” (mede daders)14
Turut berbuat langsung dapat terjadi, manakala seorang melakukan
suatu perbuatan yang dipandang sebagai permulaan jina>yah yang sudah
28
cukup disifati dengan maksiat, yang dimaksudkan untuk melaksanakan
jina>yah itu. Dengan istilah sekarang ialah apabila ia telah melakukan
percobaan, baik jina>yah yang diperbuatnya itu selesai atau tidaknya sesuatu
Jina>yah tidak mempengaruhi kedudukannya sebagai orang yang turut berbuat
langsung. Pengaruhnya hanya terbatas pada besarnya hukuman, yaitu apabila
jina>yah yang diperbuatnya itu selesai, sedang jina>yah itu berupa jina>yah h}ad,
maka yang berbuat dijatuhi hukuman h}ad, dan kalau tidak selesai maka
hanya dijatuhi hukuman ta’zi>r.
Akan tetapi para fuqaha>’ menyamakan hukuman beberapa bentuk
turut berbuat tidak langsung dengan turut berbuat langsung, meskipun pada
bentuk pertama pertama tersebut tidak langsung. Berdasarkan kedua contoh
tersdebut pelaku tindak pidana dijatuhi hukuman sebagai orang yang turut
berbuat langsung.
Orang yang berbuat Jina>yah sendirian atau bersama-sama orang lain.
Jika masing-masing dari tiga orang mengarahkan tembakan pada korban dan
mati Karen tembakan itu maka ketiga orang tersebut dianggap melakukan
pembunuhan. Demikian pula apabila mereka bersama-sama mengambil
barang orang lain, masing-masing dianggap pencuri. Dalam hal ini, fuqaha>’
mengadakan pemisahan apakah kerja sama dalam mewujudkan Jina>yah
29
sebelumnya. Hal pertama disebut “tawa>fuq” dan hal kedua disebut
“tama>lu”’.15
Pada “tawa>fuq” niat peserta dalam berbuat Jina>yah, tanpa ada
kesepakatan sebelumnya melainkan masing-masing perserta berbuat karena
dorongan pribadi dan pikirannya yang timbul seketika itu, seperti yang sering
terjadi pada kerusuhan-kerusuhan dalam demonstrasi atau perkelahian secara
pengeroyokan.
Pada “tama>lu”’ para peserta telah bersepakat untuk berbuat jina>yah
dan menginginkan bersama terwujudkan hasil jina>yah itu, serta saling
membantu dalam melaksanakannya. Apabila ada dua orang sepakat untuk
membunuh orang ketiga, kemudian kedua-duanya pergi, lantas yang satu
mengikat korban dan yang lain memukul kepalanya sehingga mati, maka
kedua-duanya bertanggung jawab atas kematiannya tersebut.
Menurut kebanyakan fuqaha’ ada perbedaan pertanggung jawaban
antara “tawa>fuq” dengan “tama>lu”’. Pada “tawa>fuq” masing-masing peserta
hanya bertanggung jawab atas akibat perbuatannya saja, dan tidak
bertanggung jawab atas perbuatan yang lain. Akan tetapi pada “tama>lu”’,
para peserta harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara
keseluruhan. Jika korban mati, maka masing-masing peserta dianggap
sebagai pembunuh.
30
Menurut syariat Islam dalam persoalan turut berbuat langsung sama
dengan Jina>yah percobaan yakni menghukum berdasarkan niatan pelaku.
b) Turut Berbuat Tidak Langsung
Yang dianggap turut berbuat tidak langsung adalah setiap orang yang
mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan sesuatu
perbuatan yang dapat dihukum, atau menyuruh orang lain ataumemberikan
bantuan dalam perbuatan tersebut yang disertai kesengajaan dalam
kesepakatan dan menyuruh serta memberi bantuan.16
Dari keterangan tersebut kita mengetahui unsur-unsur turut berbuat
tidak langsung, yaitu:17
1) Perbuatan yang dapat dihukum
Yang dimaksud dengan perbuatan yang dapat dihukum adalah
perbuatan yang dikerjakan secara tidak langsung dan memberi bagian dalam
pelaksanaannya, tidak diperlukan harus selesai dan juga tidak diperlukan
bahwa pelaku harus dihukum pula. Jadi pada jina>yah percobaan kawan
berbuat tidak langsung dapat pula dihukum.
a) Niatan dari orang yang turut berbuat, agar niat perbuatan yang
dimaksudkan dapat terjadi.
Yang dimaksud dengan kesepakatan atau hasutan dan bantuan
disebutkan oleh kawan berbuat tidak langsung untuk terjadinya sesuatu
16
Ibid., 144
17
31
bidang tertentu. Kalau tidak ada pidana tertentu yang dimaksudkan,
maka ia dianggap turut berbuat pada setiap jina>yah yang terjadi, apabila
dimungkinkan oleh niatnya. Kalau pidana yang terjadi bukan yang
dimaksudkannya maka tidak ada turut berbuat, meskipun karena
kesepakatan dan bisa dijatuhi hukuman.
b) Cara mewujudkan perbuatan tersebut yaitu mengadakan
kesepakatan, menyuruh, dan membantu.
Kesepakatan bisa terjadi karena adanya saling memahami dan
karena kesamaan kehendak untuk melakukan pidana. Kalau tidak ada
kesepakatan sebelumnya, maka tidak ada turut berbuat. Untuk
terjadinya sesuatu jari>mah harus merupakan akibat kesepakatan. Jika
seseorang bersepakat dengan orang kedua untuk membunuh orang
ketiga, kemudian orang ketiga tersebut telah mengetahui apa yang akan
diperbuat terhadap dirinya dan oleh Karena itu ia pergi ke tempat orang
kedua tersebut. Dan ia (orang ketiga) itu hendak membunuhnya terlebih
dahulu, akan tetapi orang kedua itu dapat membunuh orang ketiga
terlebih dahulu karena untuk membela diri, maka kematian orang ketiga
tersebut tidak dianggap sebagai akibat kesepakatan, melainkan karena
akibat pembelaan diri dari orang kedua.
c) Pertalian Antara Turut Berbuat Jina>yah Langsung dan Berbuat
32
Para Ulama’ sepakat bahwa pelaku langsung itu harus dikenai
hukuman meskipun ia melaksanakan perbuatan itu bersama orang lain,
hanya saja hukuman yang dikenakan kepada setiap pelaku itu sangat
tergantung pada sifat perbuatannya, sifat pelakunya dan niat si pelaku.18 Bentuk lain dari turut berbuat Jina>yah langsung adalah menghasut
orang lain untuk berbuat kejahatan sehubungan dengan ini ada tiga
syarat bagi terjadinya turut berbuat Jina>yah, yaitu:19
1) Adanya perbuatan yang diancam dengan hukuman (Jina>yah)
2) Adanya cara yang menuju kepada perbuatan tadi, seperti adanya
kesepakatan untuk berbuat suatu Jina>yah, atau membantu melakukan
suatu kejahatan.
3) Adanya tujuan dari setiap pelaku demi terjadinya suatu perbuatan
yang diancam hukuman.
d) Tanggung jawab pidana terhadap kemungkinan terjadinya kejahatan
diluar kesepakatan yang semula
Menurut Imam Hanafi, Imam Syafi’I, dan Imam Hambali si
penyuruh terhadap tindak pidana itu bertanggung jawab terhadap
terjadinya jina>yah tersebut. Ini berbeda dengan Imam Maliki, menurut
Imam Maliki si Penyuruh bertanggung jawab atas jina>yah kesalahan. Dia
beralasan karena perintahnya itu memungkinkan terjadinya jina>yah.
18
A. Djazuli, Fiqh Jinayah(Upaya menanggulangi Kejahatan Dalam Islam), 18.
19
33
4. Hukuman Tindak Pidana Penganiayaan
1. Sanksi tindak pidana penganiayaan yang dilakukan secara benserikat
Penganiayaan yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap satu
orang maka mereka semuanya terkena hukumam qis}a>s} baik jumlah mereka
banyak ataupun sedikit, meskipun di antara mereka tidak melakukan
penganiayaan secara langsung.20
Mereka wajib membayar satu divat (ganti rugi), kendati jumlah
mereka banyak. Keluarga korban berhak memaafkan salah seorang dari para
penganiaya dan men-qis}a>s} sisanya Jika keluarga korban memaafkan semua
penganiaya, mereka harus membayar satu diyat (ganti rugi) tanpa
menghitung jumlah mereka.
Rasulullah Saw bersabda:21
ملسو هيلع ها ىلص ِِّّنلا ّنَأ هنع ها ىضر ِّدَج ْنَع ِهيِبَأ ْنَع ٍمْزَح ِنْب ٍدّمَُُ ِنْبٍرْكَب َِِأ ْنَع
َ ق ُهّثِإَف ٍةَنّ يَ ب ْنَع ًاْتَ ق اًنِمْؤُم َطَبَتْعِا ْنَم ّنَأ ِهْيِفَو َثْيدَْْا َرَكَذَف ِنَمَيْلا ِلَْأ ََِأ َبَتَك
ْنَأ ّاِإ ٌدَو
ُأ اَذِإ ِفْثَلْا َِِو ِلِبِلَا ْنِم ًةَئاِم َةَيّدلا ِسْفّ نلا ِِ ّنِإَو ِلْوُ تْقَمْلا ُءاَيِلْوَأ ىَضْرَ ي
ُةَيّدلا ُهُعْدَج َبِعو
ْلّصلا َِِو ُةَيّدلا َِْْ تَضْيَ بلا َِِو ُةَيّدلا رْكّذلا َِِو ُةَيّدلا َِْْ تَفّسلا َِِو ُةَيّدلا ِناَسّلا َِِو
َِِو ُةَيّدلا ِب
ْوُمْأَمْلا َِِو ِةَيّدلا ُفْصِث ِةَدِحاَوْلا ِلْجّرلا َِِو ُةَيّدلا َِْْ نْ يَعلا
ِةَيّدلا ُثُلُ ث ِةَفِئاَْْا َِِو ِةَيّدلا ُثُلُ ث ِتَم
ِبِإا َنِم ٌرْشَع ِلْجّرلاَو ِدَيْلا ِعِباَصَأ ْنِم ٍعَبْصِإ ّلُك َِِْو ِلِبِلا َنِم َةَرْشَع َسََْ ِةَلّقَ نُمْلا َِِو
َِِو ِل
20
Ibid., 139.
34
ِلا َنِم ٌسََْ ِةَحِضوُما َِِو ِلِبِلا َنِم ٌسََْ ّنّسلا
ِبَ ّذلا ِلَْأ ىَلَعَو ِةَأْرَماِب ُلَتْقُ ي َلُجّرلا ّنِإَو ِلِب
دواد وبأ هجرخأُ ٍراَنْ يِد ُفْلَأ
“Dari Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazam dari ayahnya dari kakeknya ra. Bahwa Nabi Saw mengirim surat kepada penduduk Yaman, kemudian menyebutkan hadis yang isinya ialah barangsiapa membunuh seorang mukmin secara tidak benar, maka hukumannya adalah qis}as} kecuali apabila ahli waris yang terbunuh merelakannya. Sesungguhnya dalam pembunuhan terdapat diat seratus ekor unta, dalam memotong hidung terdapat diyat, dalam llisan terdapat diyat, dalam dua bibir terdapat diyat, dalam zakar terdapat diyat, dalam kedua biji pelir terdapat diyat, dalam tulang belakang terdapat diyat, dalam kedua mata terdapat diyat, dalam satu kaki setengah diyat, dalam melukai otak sepertiga diyat, dalam luka tusuk sepertiga diyat, dalam luka menggeser tulang terdapat lima belas ekor, dalam setiap jari tangan dan kaki sepuluh unta, dalam satu gigi lima unta, dan dalam luka yang menampakkan tulang lima ekor unta. Sesungguhnya seorang laki-laki dibunuh dengan sebab membunuh seorang perempuan, dan atas pemilik emas seribu dinar. (HR. Abu Dawud)
Bagi sekelompok orang yang melakukan penganiayaan terhadap
seseorang dengan memakai senjata alat yang umumnya dan secara tabiatnya
dapat digunakan untuk membunuh seperti besi, pedang tombak, dll hingga
seseorang tersebut meninggal maka semua orang yang memukul dihukum
sebagai penganiaya dan setiap mereka dihukum qis}a>s}.
a. Sanksi tindak pidana bagi pelaku utama
Bagi pelaku utama dalam penganiayaan sekelompok orang
berserikat menurut empat madzhab di ancam dengan hukuman qis}a>s}.22
Akan tetapi mereka berbeda pendapat jika anggota kelompok tersebut
membantu, memegang, memerintah dan dipaksa untuk menganiaya.
22
35
Pelaku utama dapat diartikan, manakala seorang melakukan
sesuatu perbuatan yang dipandang sebagai permulaan pelaksanaan
jina>yah yang sudah cukup disifati sebagai ma’siat, yang dimaksud untuk
melaksanakan jina>yah itu Dengan istilah sekarang ialah apabila ia telah
melakukan percobaan, baik jina>yah yang diperbuatnya itu sesuai atau
tidak, karena selesai atau tidaknya sesuatu jina>yah tidak mempengaruhi
kedudukannya sebagai orang yang turut berbuat langsung. Pengaruhnya
hanya terbatas pada besarnya hukuman, yaitu apabila jina>yah yang
diperbuatnya itu selesai, sedang jina>yah itu berubah jina>yah h}ad, maka
pembuat dijatuhi hukuman h}ad, dan kalau tidak selesai maka hanya
dijatuhi hukuman ta'zi>r.23
b. Sanksi tindak pidana bagi selain pelaku utama
Yang dimaksud dengan tindak pidana selain pelaku utama adalah
setiap orang yang mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk
melakukan sesuatu perbuatan yang dapat dihukum, atau menyuruh orang
lain memberikan bantuan dalam pertuatan tersebut dengan disertai
kesengajaan dalam kesepakatan dan menyuruh serta memberi bantuan24 Untuk tindak pidana bagi selain pelaku dibagi empat macam yaitu:25
23
Ahmad Hasan, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, 139.
24
Ibid., 144.
36
1) Membantu Penganiayaan
Orang yang memberi bantuan kepada orang lain dalam
memperbuat tindak pidanana kejahatan dianggap sebagai kawan berbuat
tidak langsung, meskipun tidak ada kesepakatan untuk itu sebelumnya.26 Dalam hal penganiayaan lmam Syafi’i dan Imam lmam yang lain
orang yang membantu dianggap penganiaya hal ini terjadi karena
tamallu’ (ada kesepakatan untuk menganiaya Meskipun perbuatan
pembantu bukan menganiaya, namun perbuatannnya bersama dengan
anggota kelompok lainnya-menyebabkan luka pada korban dan
luka-luka tersebut akibat dari perbuatan kelompok. Namun As-Syafi’i
berpendapat bahwa yang dikenai qis}a>s} hanyalah orang yang menganiaya
langsung.27
2) Memegang orang yang akan dianiaya
Dan bagi yang memegang orang yang akan dianiaya, dan ia
memegang bukan untuk menganiaya tidak dapat di qis}a>s} Menurut Imam
Syafii orang tersebut di ancam dengan hukuman ta'zi>r.
3) Memerintah diperintah menganiaya
Sementara dalam kasus memerintah orang lain untuk membunuh
para ulama berbeda pendapat Menurut Imam Malik, lmam Ahmad dan
Syafii, hukuman qis}a>s} dikenakan kepada orang yang memerintah, karena
26
Ahmad Hasan, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, 147.
27
37
yang diperintah itu hanya sebagai alat yang digerakkan oleh orang yang
memerintahkannya dan untuk yang diperintah diancam dengan hukuman
ta'zi>r. Tetapi jika yang disuruh orang dewasa, berakal sehat, dan yang
menyuruh tidak memiliki kekuasaan atas yang disuruh, maka yang
diqisos adalah pelaku yang langsung sedang yang menyuruh di kenakan
ta'zi>r.
4) Dipaksa untuk menganiaya
Sedangkan kasus pemaksaan untuk penganiayaan Madzhab Syafi'i
maupun Madzhab Malik, Ahmad berpendapat bahwa baik orang yang
memasa maupun yang dipaksa di ancam hukuman qis}a>s}}. Hal didasaran
karena orang yang memaksa itu penyebab luka-luka. Sedangkan orang
yang dipaksa melakukan penganiayaan demi menyelamatkan diri sendiri.
Dalam hal perbuatan sebab dan langsung itu seimbang.
B.Tindak Pidana Penganiayaan Dalam Hukum Pidana Indonesia
1. Kemampuan bertanggungjawab dalam tindak pidana penganiayaan
Kemampuan bertanggungjawab ini tercantum dalam Kitab Udang-
undang Hukum Pidana pasal 44. yaitu:
"Apabila yang melakan perbuatan pidana itu tidak dapat mempertanggungjawabkan disebutkan karena pertumbuhan yang cacad atau adanya gangguan karena penyakit dari pada jiwanya maka orang itu tidak dipidana"28
38
Sedangkan orang yang mampu bertanggung jawab itu harus
memenuhi tiga syarat:29
a. Dapat menginsyafi makna yang senjatanya dari pada perbuatanya
b. Dapat menginsyafi bahwa perbatannya itu tidak dapat dipandang patut
dalam pergaulan maayarakat.
c. Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan
perbuatan.
Mampu bertanggung jawab disini berarti mampu untuk menginsyafi
sifat melawan hukumnya perbuatan dan sesuai dengan keinsyafan itu
mampu untuk menentukan kehendaknya.
Untuk menentukan adanya kemampuan bertanggung jawab ini ada
dua faktor yaitu:30 a. Faktor akal
Yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang
diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan.
b. Faktor kehendak
Yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan
atas mana drperboleblan dan mana yang tidak.
29
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawab Pidana, 85.
30
39
2. Kesengajaan dan kealpaan dalam tindak pidana penganiayaan
Baik kesengajaan dan kealpaan ini kedua-duanya merupakan bentuk
kesalahan. Tidak ada salah satu diantara keduanya ini berarti tidak ada
kesalahan. Tanpa adanya kesalahan, maka tindak dipidana.31
Untuk membuktikan tentang kesengajaan kita dapat menempuh dua
Jalan:32
a. Membuktikan adanya hubungan kausal dalam bathin terdakwa antara
motif dan tujuannya atau,
b. Membuktikan adanya penginsyafan atau pengertian terhadap apa yang
dilakukannya beserta akibat-akibat dan keadaan-keadaan yang
menyertainya.
Sedang mengenai kealpaan tidak ada keterangan yang jelas dalam
HUHP. Hal ini diserahkan pada praktek pengadilan.
3. Perbuatan yang dapat dihukum dalam tindak pidana penganiayaan
Perbuatan yang dapat dihukum dapat disebut dengan beberapa istilah
lain, yaitu:33 a. Tindak Pidana
b. Peristiwa Pidana
c. Delict
31
Ibid., 86.
32
Ibid., 86.
40
“Delict” ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia,
yang bertentangan dengan Undang-Undang atau peraturan hukum lainnya,
yang dilakukan dengan sengaja oleh orang yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Menurut definisi tersebut ada beberapa analisis yang perlu
diperhatikan yaitu :34 a. Perbuatan manusia
b. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan didalam ketentuan
hukum.
c. Harus terbukti adanya “dosa” (salah) pada orang yang berbuat, yaitu
orang yang dapat dipertanggungjawabkan
d. Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum.
e. Terhadap perbuatan itu harus bersedia ancaman hukumannya di dalam
undang-undang.
Dalam tindak pidana pengeroyokan terdapat beberapa unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk bisa dikatakan melakukan kejahatan yaitu tercantum dalam pada Pasal 170 ayat (2) KUHP sebagai berikut :35
1) Unsur barang siapa;
2) Unsur dengan terang-terangan dan tenaga bersama;
3) Unsur menggunakan kekerasan terhadap orang atau perusakan terhadapbarang;
4) Unsur yang mengakibatkan luka-luka atau penghancuran barang.
34
Ibid., 87.
41
4. Hal-hal yang meringankan atau membebaskan hukuman
Didalam hukum pidana kita mengenal perbuatan-perbuatan yang
merupakan kejahatan yang tidak dapat dihukum.36
Tentang tidak dapat dihukumnya ini disebabkan karena beberapa hal:
a. Karena sebab yang ada pada diri sendiri, karena sebab yang ada pada diri
orang itu sendiri tercantum dalam pasal 44 ayat (1) KUHP:
“barang siapa mengerjakan suatu perbuatan, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal, tidak boleh dihukum”37
b. Karena sebab dari luar keadaan si pembuat.
Yang termasuk ini adalah:38 1) Dalam keadaan berat lawan
2) Dalam keadaan darurat
3) Karena membela diri
4) Karena melaksanakan peraturan undang undang
5) Karena melaksanakan perintah yang diberikan kepada pegawai negeri
dengan sah.
5. Turut Serta Melakukan Tindak Pidana
Adapun ketentuan mengenai tindak pidana kekerasan massa yang
dalam KUHP tercantum dalam bab V Buku Kesatu yaitu tentang penyertaan
36
Samidjo, Pengantar Hukum Indonesia, 154. 37
Moeljatno, KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), 21-22.
42
dalam melakukan perbuatan pidana terdiri atas 3 pasal, yaitu pasal 55, 56,
dan 57.
Aturan tersebut berlaku umum, artinya melihat pada akibat dari
perbuatan tindak pidana. Kalau kekerasan massa mengakibatkan mati maka
mengenai aturan masing-masing orang yang turut serta melakukan tindak
pidana tersebut mengacu pada pasal diatas. Begitu juga umpamanya tindak
pidana kekerasan massa yang mengakibatkan luka-luka (penganiayaan) maka
untuk aturan masing-masing yang terlibat dalam penganiayaan tersebut juga
mengacu pada pasal diatas (pasal tentang penyertaan).
Pengertian “turut serta” (turut campur, ikut serta, bersama-sama)
melakukan peristiwa pidana dapat dilakukan oleh beberapa orang bersama.
Turut campur dari beberapa orang didalam peristiwa pidana dapat merupakan
kerja-sama, yang masing-masing dapat berbeda sifat dan bentuknya.39
Tentang istilah “turut serta” ini adalah buah pikiran Von Feurbach,
sarjana hukum bangsa Jerman, yang membagi dua jenis peserta, yaitu:
a. Mereka yang langsung berusaha terjadinya delik
b. Mereka yang hanya membantu usaha yang dilakukan oleh mereka (1)
(jadi pada B) adalah mereka yang tidak langsung berusaha40
Pembagian dalam dua golongan inilah yang juga diterima dalam KUH
Pidana, yaitu dalam:41
39
Samidjo, Pengantar Hukum Indonesia…, 162.
40
43
a. Pasal 55, bahwa yang dianggap sebagai pelaku itu ialah:42 1) Orang yang melakukan
Orang ini ialah seorang yang sendirian telah berbuat meujudkan
segala anasir delik.
2) Orang yang menyuruh melakukan
Di sini sedikitnya ada dua orang yang menyuruh dan yang
disuruh.
3) Orang yang turut melakukan
“Turut melakukan” dalam arti kata “bersama-sama melakukan”.
Sedikitnya harus ada dua orang yang melakukan dan orang yang turut
melakukan peristiwa pidana itu.
4) Orang yang membujuk melakukan
Orang yang dengan pemberian, salah memakai kekuasaan,
memakai kekrasan dan sebagainya dengan sengaja membujuk
melakukan suatu tindak pidana.
b. Pasal 56, KUHP, disebut mereka yang “membantu” yang melakukan
delik.
1) Ayat (1). Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan.
41
Ibid., 163.
44
Bunyi ayat tersebut bermakna bahwa segala bantuan pada
waktu/saat dilakukan kejahatan, jadi merupakan suatu campur tangan
yang dilakukan waktu/saat yang berbarengan.
2) Ayat (2) Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Sedang untuk ayat dua bermakna, barangsiapa dengan sengaja
member kesempatan, daya upaya atau keterangan untuk melakukan
kejahatan itu. Disini bantuan dilakukan sebelum kejahatan dilakukan.
c. Adapun untuk pasal 57 memuat keterangan/ rincian tentang “membantu’
melakukan delik. Dengan bunyi sebagai berikut:43
1) Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan,
dikurangi sepertiga.
2) Jika kejahatan diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup,
dijatuhkan penjara paling lama lima belas tahun.
3) Pidana tambahan bagi pembantuan adalah sama dengan kejahatannya
sendiri.
4) Dalam menentuka pidana bagi pembantu, yang diperhitungkan hanya
perbuatan yang sengaja dipermudah diperlancar olehnya, beserta
akibat-akibatnya.44
43
Samidjo, Pengantar Hukum Indonesia, 163.
44
45
6. Sanksi Tindak Pidana Penganiayaan Dalam KUHP
a. Saksi Penganiayaan
Dalam Undang-Undang tidak memberikan perumusan apa yang
dinamakan “penganiayaan” adalah:45
1) Sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan).
2) Menyebabkan rasa sakit.
3) Menyebabkan luka.
Menurut Undang-Undang, penganiayaan itu dibedakan atas lima
macam, yaitu46:
1) Penganiayaan biasa (Pasal 351 KUHP)
Diancam pidana penjara dua tahun delapan bulan atau denda
paling banyak tiga ratus rupiah. jika perbuatan luka-luka berat
dikenakan penjara paling lama lima tahun. Sedang perbuatan
mengakibatkan mati dikenakan penjara paling lama tujuh tahun.47 2) Penganiayaan ringan (pasal 352 KUHP)
Penganiayaan ringan ini diancam pidana penjara paling lama
tiga bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah dan pidana
45
Ibid., 144.
46
Ibid., 144.
46
dapat ditambah sepertiga bagi orang yan