Dukungan WG- Tenure untuk DKN dalam Fasilitasi Penyelesaian
Konflik Pengelolaan Hutan di Indonesia
Emila Widawati
Menyongsong diimplementasikannya REDD secara penuh , semestinya masalah land tenure men‐ jadi salah satu prioritas untuk dibenahi. Kejelasan dan keamanan land tenure bagi semua pihak sampai saat ini belum terealisasikan dengan baik. Tumpang tindih lahan dan kepentingan menjadikan akar terjadi ‐nya konflik sosial yang nampaknya masih mewarnai pengelolaan hutan di )ndonesia. Terjadinya konflik tentunya menggangu praktek pengelolaan hutan yang akan memperkecil peluang terwujudnya pengelolaan hutan lestari. Di lain sisi keberadaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan tidak terelakkan, baik masyarakat adat, masyarakat lokal, dan banyak di‐ jumpai pula masyarakat pendatang.
Dengan fokus kegiatan yang selama ini digeluti WG‐ Tenure antara lain melakukan study, share learning disamping fokus lainnya, WG‐Tenure berharap bisa berperan mendukung DKN dalam hal ini desk resolusi konflik untuk penyelesaian konflik‐konflik yang sedang difasilitasi yaitu dengan melakukan land tenure assessment. Kegiatan ini didukung pen‐ danaanya oleh )CCO InterChurch Organization for Development .
Land Tenure assessment dilakukan dengan menggunakan metode RATA Rapid Land Tenure Assessment , sebuah metode yang dikembangkan oleh )CRAF dan para mitranya dengan tujuan untuk mem‐ perkuat basic klaim dari masing‐masing pihak yang sedang berkonflik. Sementara itu bentuk‐bentuk dan kronologis konflik yang terjadi didokumentasikan dalam database konflik yang berbasis window yang dikembangkan oleh Perkumpulan (uMa dengan label (uma‐win. Sementara itu gaya para pihak dalam menghadapi sengketa akan dianalisis dengan meng‐ gunakan perangkat AGATA Analisis Gaya Pihak Bersengketa yang dikembangkan oleh Samdhana )nstitute. (asil dari kegiatan ini diharapkan dapat
memberikan gambaran yang lebih lengkap sehingga dapat mendukung DKN dalam menfasilitasi penyele‐ saian konflik tersebut.
Land Tenure assessment dilakukan pada kasus Agroforestry Kemenyan dan sengketa lahan pertanian masyarakat di lokasi (T) PT. Toba Pulp Lestari PT. TPL , Sumatera Utara. Assessment dilakukan antara lain untuk a )dentifikasi penguasaan lahan/land tenure tata kuasa , yaitu gambaran atas penguasaan tanah baik oleh masyara‐ kat, pemerintah, pemerintah daerah, maupun pihak‐ pihak lainnya dalam suatu wilayah; b )dentifikasi alokasi lahan tata kelola , analisa ini untuk mema‐ hami alokasi menurut tataruang wilayah dan juga menurut masyarakat setempat akan alokasi atau ren‐ cana pengelolaan wilayah tersebut; c )dentifikasi ijin‐ ijin tata ijin , yaitu ijin yang dikeluarkan di wilayah tersebut, baik oleh pemerintah pusat, daerah dan bahkan oleh masyarakat setempat.
Pertemuan Anggota WGTenure Working Group on Forest Land Tenure terbentuk pada pelaksanaan Workshop Masalah Penguasaan Lahan di Kawasan (utan tanggal ‐ November , hampir menginjak berusia tahun. Untuk lebih menguatkan kelembagaan dan mempertajam peran‐peran WG‐Tenure sesuai dengan visi dan misinya WG‐Tenure akan mengadakan Pertemuan Anggota yang rencananya akan diselenggarakan pada
BULAN SEPTEMBER 2011. Saat tulisan ini
KAJIAN DAN OPINI
Posisi Masyarakat terhadap REDD:
“Perundingan
REDD
Harus
Perkuat
Kemampuan
Adaptasi
dan
Mitigasi
Masyarakat”
Oleh: Asep Yunan Firdaus
Masyarakat khususnya yang hidup di dalam dan seki‐ tar hutan seharusnya menjadi aktor kunci dalam upaya memitigasi dan mengadapatasi dampak‐dampak perubahan iklim. Namun demikian, faktanya pelibatan masyarakat dalam pembentukan kebijakan Pemerintah yang merespon perubahan iklim masih minim.
Keresahan atas situasi tersebut direspon oleh Kamar Masyarakat Dewan Kehutanan Nasional DKN dengan mengkonsolidasikan perwakilan‐perwakilan masyara‐ kat dari berbagai wilayah di )ndonesia dalam rang‐ kaian workshop di daerah dan berpuncak di Jakarta pada ‐ Desember untuk merumuskan posisi bersama masyarakat terhadap isu Perubahan )klim khususnya skema REDD. Kamar Masyarakat DKN menyatakan bahwa kertas posisi ini disusun guna merespon berbagai perdebatan politik dan produksi kebijakan yang merespon isu perubahan iklim yang dinilai berpotensi merugikan dan mempersulit kehidupan masyarakat.
Dalam putaran workshop yang diorganisir oleh Kamar Masyarakat DKN di Ngata Toro, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah ‐ September , Putussibau, Kapuas (ulu, Kalimantan Barat ‐ September , Waingapu, Sumba ‐ Oktober , Muluy, Paser, Kalimantan Timur November menemukan fakta bahwa perubahan iklim sudah mengakibatkan penurunan hasil panen hampir %. Di beberapa komunitas di Kabupaten Kapuas (ulu, hasil panen dalam sepuluh tahun terakhir berkurang drastis dari gantang berkurang hanya menjadi – gantang . Di Sumba, Nusa Tenggara Timur hasil panen jagung mengalami penurunan akibat pola hujan tidak jelas. (ingga November , hasil padi ladang orang
Muluy di Kabupaten Paser Kalimantan Timur makin menurun dibanding tahun‐tahun sebelumnya. Dari sembilan belas kelompok kelompok terdiri dari gabungan kepala keluarga dari satu keluarga inti. Total KK‐nya KK yang buka ladang, hanya ada kelompok yang memperoleh hasil kg, itupun dengan jumlah benih lebih dari sekaleng. Pada , mereka hanya mengeluarkan benih kaleng. Dua kelompok, sama sekali tidak mendapat hasil. Ada kelompok hanya memperoleh hasil kurang dari kaleng. (asil itu tidak akan mampu mencukupi kebutuhan hidup sehari‐hari dimana pemanenan hanya dilakukan sekali dalam setahun.
Kamar Masyarakat DKN juga merujuk kepada berbagai laporan internasional yang menunjukkan betapa rentannya masyarakat terhadap dampak‐dampak perubahan iklim. Laporan Pembangunan Manusia
/ Badan Pembangunan PBB UNDP ,
menegaskan, kaum buruh tani, masyarakat adat sekitar hutan, dan penduduk di pesisir pantai adalah golongan yang paling rentan atas dampak perubahan iklim. Temuan dan analisis serupa juga muncul dalam
laporan UNFCCC mengenai Dampak,
Kerentanan dan Adaptasi di Negara‐negara Berkembang. Seorang pakar perubahan iklim, Maarten K. van Aalst dari Lembaga Palang Merah Belanda untuk Perubahan )klim dan Kesiapsiagaan Bencana memprediksi skenario‐skenario buruk penurunan hasil pangan yang sangat signifikan akibat perubahan iklim. Sebuah laporan yang lain mengenai Asesmen Dampak dan Adaptasi terhadap Perubahan )klim , mencatat penurunan produksi hingga % gagal panen di beberapa komunitas di Filipina.
_____________________________________ gantang = kaleng susu = , kg
Semua fakta di atas menggambarkan komunitas‐ komunitas yang hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan. Mereka merupakan bagian dari puluhan juta masyarakat yang telah hidup secara turun temurun di dalam dan sekitar kawasan hutan. Sebagian besar di antara mereka telah membuktikan dirinya mampu menjaga hutan secara lestari. Bahkan, komunitas sungai utik di Kapuas (ulu mendapat sertifikat pengelolaan hutan lestari dari Menteri Kehutanan. Namun, fakta‐fakta menunjukan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, hutan‐hutan tersebut semakin rentan karena perubahan iklim.
Di sisi lain, pemerintah mendorong kebijakan dan proyek REDD menjadi euforia nasional dan menjadi salah satu agenda pokok pemerintah saat ini. Namun kebijakan ini sama sekali tidak memiliki hubungan dengan upaya masyarakat untuk bertahan dan mampu beradaptasi termasuk mengelola hutannya sendiri secara lestari. Kebijakan‐kebijakan ini lebih mengutamakan promosi peningkatan stok karbon yang akan masuk skema pasar pasca .
Meskipun skema REDD belum begitu jelas, namun berbagai kebijakan instan Kementerian Kehutanan dalam merespon REDD menunjukan bahwa hak atas karbon hutan akan mengacu pada hak negara atas kawasan hutan. (ak masyarakat atas hutan belum diakui. Di sisi lain, secara saintifik, REDD merupakan skema yang menjaga hutan sedemikian rupa untuk menghindari kebocoran karbon. Artinya, di lokasi proyek REDD, banyak pembatasan akses ke dalam kawasan hutan akan diberlakukan.
Saat ini, sebagian pilot proyek REDD beroperasi di kabupaten atau provinsi tempat hidup komunitas‐ komunitas yang disebut di atas. Bagaimana mungkin komunitas di sekitar dan dalam kawasan hutan yang sudah rentan karena perubahan iklim justru harus dibatasi demi kepentingan stok karbon yang akan dijual ke negara‐negara utara.
Pertanyaannya, REDD untuk siapa? Untuk masyarakat atau para pemburu sertifikat karbon dari perusahaan‐
perusahaan eksploitatif yang telah menghancurkan sumber daya alam?
Dalam pernyataannya, Kamar Masyarakat DKN secara tegas memosisikan dirinya mengkritik pendekatan pemerintah dalam merespon isi Perubahan )klim dan meminta kepada pemerintah untuk lebih menjamin dan melindungi hak‐hak masyarakat baik atas kepemilikan/akses terhadap hutan maupun dalam proses pembentukan kebijakan.
Untuk meluruskan kembali pendekatan Pemerintah dalam merespon isu perubahan iklim, Kamar Masyarakat DKN mendesakkan beberapa usulan antara lain Pemerintah harus mengamandemen seluruh kebijakan perubahan iklim yang mengancam eksistensi masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam dan sekitar kawasan hutan; Pemerintah harus memberikan perlindungan terhadap inisiatif‐inisiatif adaptasi dan mitigasi yang dilakukan oleh masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam dan sekitar kawasan hutan, termasuk juga memberikan dukungan yang memadai yang meliputi bantuan teknis dan
pendampingan‐pendampingan yang reguler;
Mendesak semua pihak yang terlibat dalam proses
pembuatan kebijakan dan proyek‐proyek
penanggulangan perubahan iklim, terutama REDD untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak‐ hak dan kebebasan dasar masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan, termasuk mengadopsi prinsip dan norma hak asasi manusia nasional dalam kebijakan‐kebijakan baru di bidang penanggulangan perubahan iklim; Sesegera mungkin meratifikasi Konvensi )LO No. . ***
(sumber: Sendirian Menghadapi Iklim yang Berubah, kertas posisi Masyarakat DKN terhadap kebijakan Miti
KAJIAN DAN OPINI
Moratorium Oslo
adalah istilah populer untuk menyebut Letter of Intent Lo) Kerjasama Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi & Degradasi (utan REDD antara pemerintah )ndonesia dan Norwegia yang ditandatangani di Oslo pada Mei . )mplementasi Lo) ini dibagi dalam tiga tahap yakni persiapan, transformasi dan kontribusi. Saat ini Moratorium Oslo telah memasuki babak baru yakni fase transformasi, mulai Januari sampai dengan Desember .
Miskonsepsi Moratorium Oslo
Dalam Lo) istilah moratorium merujuk pada kegiatan penundaan izin konversi hutan alam dan lahan gambut dalam jangka waktu dua tahun. Batasan hutan alam sendiri menimbulkan ambiguitas karena hutan alam adalah istilah teknis terkait asal usul pembentukan hutan yang definisinya tidak diatur dalam peraturan perundang‐undangan. Jika memperhatikan Lo) butir V)).c.ii, dimana aktivitas pembangunan ekonomi diarahkan di areal hutan yang telah terdegradasi maka dapat ditafsirkan bahwa hutan alam yang dimaksud dalam Lo) tersebut adalah hutan primer (primary forest).
Masalahnya, moratorium yang diarahkan pada hutan primer dalam rangka mereduksi emisi karbon sebenarnya secara konseptual tidak tepat. Mengapa? Karbondioksida diserap oleh tumbuhan dalam proses fotosintesis. Proses fotosintesis ini lebih efektif dilakukan oleh pohon‐pohon muda yang masih ber‐ tumbuh. Sementara, hutan primer yang tidak pernah ditebang umumnya banyak ditumbuhi pohon‐pohon tua dan mengarah pada ekosistem klimaks yang jumlah penyerapan dan pengeluaran karbonnya relatif seimbang (net balance).
Dengan demikian jelas bahwa dalam hal penyerapan karbon, hutan primer sebenarnya bukan “carbon
sinker” yang baik. Namun, bukan berarti hutan primer boleh dikonversi seenaknya karena terlepas dari keterbatasannya menyerap karbon, hutan primer diyakini memiliki manfaat ekologi yang sangat besar, baik yang terkait dengan fungsi tata air, keaneka‐ ragaman hayati, penyedia hasil hutan non‐kayu, keindahan alam maupun fungsi lingkungan lainnya.
Demikian pula dengan moratorium konversi lahan gambut. Diakui bahwa lahan gambut merupakan penyimpan karbon yang sangat efektif. Namun, ma‐ salah kerusakan dan perusakan lahan gambut tentu tidak bisa diselesaikan hanya dengan memberlakukan moratorium konversi. Manajemen pengelolaan gambut yang lestari tidak cukup hanya memperhati‐ kan aspek teknis tetapi juga memerlukan lingkungan sosial dan ekonomi yang kondusif.
Oleh karena itu, Lo) tidak dapat mengatur moratorium konversi lahan gambut secara parsial karena masalah pengelolaan lahan gambut tidak dapat dipisahkan dari ketentuan‐ketentuan yang telah ada, misalnya Undang Undang Kehutanan Nomor Tahun , Undang Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan (idup Nomor Tahun , dan Keputusan Presiden Nomor Tahun . Dalam peraturan tersebut di‐ antaranya telah diatur tentang masalah penetapan dan pengelolaan hutan lindung dan kawasan lindung, ter‐ masuk lahan gambut. Dengan demikian, dalam ke‐ rangka peraturan perundang‐undangan moratorium hutan alam dan lahan gambut harus dikonstruksikan sebagai bagian dari pengelolaan hutan lindung di dalam kawasan hutan dan/atau kawasan lindung di luar kawasan hutan .
Moratorium konversi tidak dapat hanya bersandar pada ketentuan Lo), tetapi harus memiliki payung hukum yang kuat dan tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Perlu digarisbawahi bahwa kebijakan moratorium yang tidak terarah
BABAK BARU MORATORIUM OSLO
Oleh: Dodik Ridho Nurrochmat*
justru akan membahayakan lingkungan karena akan memicu kelangkaan pasokan kayu yang bermuara pada maraknya pasar kayu gelap dan illegal logging.
Dekonstruksi Etika Perdagangan Karbon
Pola pikir yang mereduksi fungsi lingkungan hutan sekedar sebagai penyerap karbon tidak hanya me‐ lenceng secara ilmiah,
tetapi juga sangat berba‐ haya bagi lingkungan itu sendiri. Skema pengu‐ rangan emisi dari de‐ forestasi dan degradasi hutan REDD yang pada mulanya diharapkan berpijak pada upaya per‐ baikan lingkungan, ter‐ nyata dalam perkem‐ bangannya lebih sarat muatan politik.
Negara‐negara industri menyodorkan skema ban‐ tuan dana kepada negara‐
negara berkembang untuk menurunkan emisi dengan mengerem laju deforestasi. Tentu saja tidak ada skema pen‐ danaan yang gratis, skema tersebut dapat di ‐klaim negara‐negara pemberi dana sebagai capaian yang meri‐ ngankan kewajibannya menurunkan emisi kar‐ bon dari industri mereka. Skema semacam ini dike‐ nal sebagai “carbon offset”.
Alur pikir skema ini mirip jual beli surat penebus dosa . Artinya, walaupun mereka berbuat banyak dosa menggelontorkan emisi tidak masalah, asalkan mereka beramal kepada si‐miskin mengurangi emisi di negara berkembang pemilik hutan .
Di sisi lain, sangat penting untuk diperhatikan bahwa harga karbon tidak boleh hanya diperbandingkan dengan variabel harga semata‐mata dari komoditas kayu, hasil pertanian atau hasil perkebunan. Konse‐ kuensi logis dari moratorium konversi adalah pengu‐ rangan penebangan kayu dan/atau pembatasan pem‐ bangunan pertanian termasuk perkebunan. Diban‐ dingkan dengan sek‐ tor perekonomian yang lain, keterkaitan ke de‐ pan (forward linkage) sektor pertanian, perkebunan dan kehu‐ tanan adalah yang tertinggi.
Demikian pula efek pengganda (multiplier effect) baik output mul tiplier, income multi plier, dan employment multiplier dari ketiga sektor tersebut juga sangat besar. Artinya, jika tidak dilakukan secara cermat dan ter‐ ukur, skema perda‐ gangan karbon dapat mematikan tidak hanya sektor hulu tetapi juga akan memberikan efek domino yang memukul keberlangsungan hidup sektor hilir, mencipta‐ kan lebih banyak pe‐ ngangguran, dan me‐ merosotkan kese‐ jahteraan masyarakat.
KAJIAN DAN OPINI
juangkan untuk didekonstruksi menjadi lebih adildan bermartabat.
Beberapa Catatan untuk Fase Transformasi LoI
Memasuki babak baru Lo) ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan. Pertama, perlu adanya kejelasan lokasi dan luas areal moratorium. Total dana milyar USD yang dijanjikan, sesungguhnya nilainya sangat kecil jika konsekuensinya mencakup keseluruhan juta hektar hutan )ndonesia. Peme‐ rintah )ndonesia sendiri terlihat gagap dalam menin‐ daklanjuti kesepakatan ini.
Dalam Lo) disebutkan bahwa seluruh perangkat organisasi dan payung hukum bagi pelaksanaan kesepakatan ini sudah harus tuntas akhir tahun . Faktanya, tarik menarik kepentingan sangat kuat sehingga sampai dengan bulan ketiga tahun payung hukum yang ditunggu tak kunjung keluar. Pemerintah terjerat keraguan dan kegamangan untuk melangkah.
Demikian pula dengan penetapan lokasi pilot REDD. Walaupun dalam kerangka pelaksanaan Lo) pemerin‐ tah telah menetapkan provinsi Kalimantan Tengah sebagai lokasi pilot REDD, namun sederet potensi hambatan telah menunggu. Barangkali secara fisik provinsi Kalimantan Tengah memang sangat sesuai sebagai lokasi pilot REDD karena di wilayah tersebut terdapat hutan alam dan lahan gambut yang cukup luas.
Namun, dari sisi efektifitas pemilihan provinsi Kalimantan Tengah yang sarat dengan konflik tenurial patut dipertanyakan. Di provinsi ini, tercatat lebih dari tiga juta hektar kawasan hutan tumpang tindih peng‐ gunaannya dengan sektor lain, baik perkebunan, per‐ tanian, pemukiman, bahkan desa dan kota. Padahal, moratorium konversi hutan hanya akan efektif di‐ terapkan jika telah ada tata ruang yang definitif dengan tingkat konflik minimal.
Dari aspek hukum, implementasi Lo) juga memuncul‐ kan beragam interpretasi yang memicu ketidak‐ pastian. Moratorium yang sebenarnya hanya dituju‐ kan bagi izin‐izin baru, ternyata diusulkan oleh semen‐ tara kalangan untuk juga mengevaluasi seluruh ijin
termasuk yang sudah berjalan. Tentu saja hal se‐ macam ini akan menimbulkan masalah ketidak‐ pastian hukum dan mengganggu iklim berusaha.
Selain itu, diperlukan pula kejelasan batasan hutan alam dan lahan gambut yang dimoratorium. Selain berpotensi mendongkrak pasar kayu gelap, moratorium tanpa batasan wilayah yang jelas juga akan bermuara pada situasi open access kawasan hutan. Pada situasi demikian, hutan cenderung men‐ jadi barang publik yang bebas dijarah dan dirambah siapa saja, sehingga dapat dipastikan eskalasi ke‐ rusakan hutan akan terjadi jauh lebih cepat dan semakin luas dari sebelumnya. Thesa Garret (ardin “the tragedy of the commons” yang meramalkan kehan‐ curan sumberdaya alam sebagai barang publik yang open akses akan menemukan pembenaran empiris di negeri ini.
Akhirnya, harus dapat dipastikan bahwa dana yang dijanjikan terealisasi sesuai dengan skema. (al ini sangat penting diangkat karena pencairan dana hanya dapat dilakukan atas persetujuan parlemen Norwegia dan pengelolaannya hanya dapat dilakukan oleh lembaga keuangan internasional, sehingga perlu ada kejelasan bagaimana mekanisme distribusi dan peng‐ gunaannya agar dana tersebut dapat bermanfaat untuk menyejahterakan masyarakat, terutama masyarakat sekitar hutan.
Pemerintah )ndonesia tidak boleh terjebak pada urusan moratorium saja, tetapi secara paralel harus dapat memanfaatkan momentum fase transformasi Lo) ini untuk mengalokasikan areal terdegradasi bagi kepentingan pembangunan, membenahi peraturan dan penegakan hukum kehutanan, serta mempercepat penyelesaian rencana tata ruang wilayah. (al ter‐ penting yang perlu digarisbawahi adalah Lo) harus ditempatkan sebagai bagian dari strategi pemban‐ gunan nasional berkelanjutan dan bukan sebaliknya.***
Apa kata mereka tentang
“Persepsi Masyarakat Sipil Merespon dan Memaknai
REDD”
Tahun disepakati sebagai tahun tinggal landas bagi pelaksanaan penuh full implementation dari REDD. Pembicaraan
perubahan iklim dan REDD di forum global UNFCCC masih terus berlanjut, sementara focus dan energi seluruh pihak saat ini tercurah pada upaya persiapan pelaksanaannya. Di lain pihak masyarakat khususnya yang tinggal di dalam dan sekitar hutan yang akan menerima dampak ataupun terlibat dalam implementasi REDD saat ini tetap dalam kehidupan mereka yang nam‐ paknya masih menemui kendala dan masalah dalam kaitannya dengan praktik pengelolaan hutan itu sendiri.
Sejauh mana masyarakat sipil memahami REDD dan bagaimana merespon serta memaknainya? Kami memberikan ruang kepada masyarakat sipil khususnya untuk memberikan opininya tentang Bagaimana Masyarakat Merespon dan Memaknai REDD. Opini ini merupakan pendapat yang dikemukakan secara independen, dan bersifat individu.
Simak opini mereka!!
Jago Bukit BPSE Yasanto Merauke, Papua
Di Papua pada umumnya, khususnya Papua Selatan, masyarakat sipil apakah itu masyarakat adat atau masyarakat
umum atau pekerja‐pekerja sipil tidak banyak tahu ten‐ tang REDD. Mereka jarang sekali mendengar REDD, mereka juga tidak tahu apa itu hubungan antara masyarakat adat, perubahan iklim dan skema REDD. Di level pemerintahan juga terjadi hal yang sama, sebagian besar dari mereka tidak tahu apa itu REDD ? Skema REDD hanya diresponi oleh segelintir aktifis lingkungan saja, namun aktifis LSM juga memiliki keterbatasan dalam memasyarakatkan skema REDD kepada masyara‐ kat umum. Masyarakat adat Papua sebagai pemilik hak ulayat atas tanah dan hutan belum tahu tentang skema REDD. Jika skema REDD benar diimplementasikan se‐ cara konsisten dan bertanggung jawab ditambah lagi pemahaman masyarakat adat tentang skema REDD cu‐ kup memadai, maka diyakini bahwa masyarakat adat akan memilih skema Redd ketimbang menyerahkan tanah dan hutan kepada investor. Tantangan bagi kita pemerhati skema REDD.
Proyek Mifee Merauke yang akan membuka jutaan hektar hutan di kabupaten Merauke sama sekali tidak memperhitungkan dampak‐dampak pembukaan lahan
secara besar‐besaran terhadap kerusakan lingkungan dan perubahan iklim. Ketika kami dari LSM menyampai‐ kan masukan‐masukan tentang kerusakan lingkungan dan perubahan iklim pada moment pertemuan tentang Mifee, pihak Pemka Merauke sama sekali tidak menggu‐ brisnya dan mereka lebih mengutamakan perolehan PAD Merauke dan kepentingan lainnya. Kelihatannya satu dua LSM saja di Merauke yang berkoar‐koar ten‐ tang dampak pembukaan hutan terhadap perubahan iklim dan skema REDD. Stakeholder yang lain tam‐ paknya masa bodoh dengan perubahan iklim.
KAJIAN DAN OPINI
Dr. Ir. Tjipta Purwita, MBA Plantation Director of PT MHP
REDD merupakan isu terbaru dalam mitigasi perubahan iklim yang akan diterapkan secara penuh pada tahun . )ni berarti merupakan peluang sekaligus tantangan bagi kita, untuk mampu memanfaatkannya. (utan )ndonesia adalah penghasil “greenproducts” yang sangat besar. Karena itu
pengurangan emisi dengan mencegah terjadinya deforestasi dan degradasi hutan, serta upaya lain dalam penerapan pengelolaan hutan lestari, menjadi keharusan untuk diimplementasikan. Bila hal ini dapat dilakukan secara sinergis, maka sudah selayaknya kita mendapatkan insentif yang cukup memadai untuk terus melanjutkan pengelolaan hutan secara lestari serta mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat secara luas.
Bagaimana peranan masyarakat yang hidup di pinggir‐ pinggir hutan? Jawabannya, mereka adalah stakeholders
terdekat yang harus dilibatkan sejak dini dalam proses implementasi skema REDD. Mereka berperan sebagai penjaga hutan dari kemungkinan terjadinya kerusakan
deforestasi dan degradasi hutan . Karena itu mereka berhak mendapatkan informasi yang transparan mengenai regulasi, kelembagaan, serta mekanisme implementasi REDD yang terang, agar keterlibatannya betul‐betul didasari oleh kesadaran yang tinggi untuk mengelola hutan secara lestari dan berkelanjutan. Mereka berhak mendapatkan porsi kompensasi yang layak agar mereka memiliki capital yang mencukupi untuk hidup secara lebih
sejahtera dan terbebas dari persoalan kemiskinan.
Masyarakat sipil (civilsociety), perlu mengawal agar
proses implementasi REDD dapat berlangsung dalam tatakelola (governance) yang benar. Masyarakat tempatan
(indegenuouspeople) sebagai komponen masyarakat sipil
yang terlemah , sekali lagi harus diprakondisikan untuk siap melaksanakan implementasi REDD melalui pengelolaan hutan yang bersifat kolaboratif dan multipihak. Bahkan kini masyarakat lokal bersama dunia usaha kehutanan lain perlu membulatkan tekad untuk membangun kerjasama kemitraan yang mutualistis dalam wadah (utan Rakyat (R , (utan Plasma, maupun (utan Tanaman Rakyat (TR pada lahan yang terdegradasi, kurang produktif, serta memiliki legalitas tenurial yang pasti. *
Narasumber : ROSA GAZPER koordinator VOWE* Pewawancara : Andi Saragih Mnukwar Papua
Menurut anda, apakah REDD itu telah terkomunikasi kan dengan baik di tingkat masyarakat di Papua Barat?. Fakta yang harus diakui saat ini adalah, hampir
sebagian besar masyarakat tidak pernah mendengar apa yang disebut dengan REDD, saya pikir orang‐orang berpen‐ didikan yang tinggal di kotapun pasti masih banyak yang belum pernah mendengarnya. Saya beruntung karena mendapatkan informasi ini dari kawan‐kawan di LSM yang setahun lalu seringkali membicarakan masalah ini.
Apakah REDD ini bisa menjadi sebuah peluang yang bisa bermanfaat bagi masyarakat kita kedepan?. Seba‐
gai masyarakat, yang pertama dan terpenting bagi kami adalah dampak apa yang kami dapat dari keadaan ini. REDD adalah sebuah hal yang masih awam bagi masyara‐ kat di papua. Dari langkah awal saat ini di lakukan oleh pemerintah daerah saja sudah ada masalah, sebagai con‐ toh seperti yang saya sebutkan diatas, bahwa masyarakat belum pernah mendengar atau sengaja di beritahukan ten‐ tang program ini, justru kami mendapatkannya dari teman ‐teman di luar pemerintah, artinya apa?! Dari masalah sosialisasipun pemerintah tidak mampu menjalankannya, apalagi dalam tahap pelaksanaannya nanti? Pasti kami le‐ bih tidak tahu lagi.
Menurut anda, bagaimana sebaiknya langkah yang perlu dilakukan? Menurut
saya, jika keadaannya demikian lebih baik kita tidak usah menerima program ini, karena saya kawatir kita tidak akan mendapatkan manfaat‐
nya nanti. Untuk kepentingan mengurangi kecepatan pe‐ rubahan iklim saya pikir kita perkuat dan pertegas saja kearifan lokal yang memang sudah ada selama ini di masing‐masing masyarakat, karena dalam sejarahnyapun aturan ini sudah dipahami dan dijalankan oleh masyarakat, tanpa ada maksud untuk kepentingan sendiri. Kita dipapua memiliki banyak kearifan lokal yang bisa dikembangkan untuk pelestarian lingkungan. Tidak harus menggunakan konsep REDD. Namun jika aturan mainnya jelas, dalam arti masyarakat dapat memperoleh manfaatnya baik secara langsung maupun tidak maka REDD adalah sebuah konsep yang saya pikir memiliki fungsi ganda, yakni fungsi eko‐ nomi kalau kompensasi itu diperoleh masyarakat pemilik hak ulayat dan fungsi lingkungan.
*VOYE adalah sebuah kelompok yang baru lahir tahun 2010, kehadiran pemudapemudi yang bersemangat ini, tidak ter
Ormelling memberi catatan sejarah bahwa pada pertengahan abad tahun M Gubernur (india Belanda yang berkedudukan di Batavia memerintahkan penduduk Pulau Timor menanam tanaman jagung Zea mays sebagai tanaman budidaya sebagai cara untuk
mengatasi masalah kegagalan panen dan kelaparan yang kerap melanda daerah ini. Masyarakat menerimanya dan sejak saat itu tanaman jagung berkembang menjadi tanaman pokok bagi penduduk di Timor dan bahkan lalu menyebar ke berbagai pulau lain di NTT. Pada awal abad , Pemerintah kolonial Belanda mengintrodusir ternak sapi Bali Bos Javanicus syn. Bos sundaicus sebagai cara
untuk meningkatkan pendapatan rakyat di Timor. Masyarakat juga menerimanya dan bahkan menjadi salah satu komoditas pertanian andalan dari Timor, bahkan Nusa Tenggara Timur. Jadi, menurut sejarahnya, kedua komoditas pokok di NTT tersebut adalah hasil introduksi dari luar sistem kemasyarakatan di Timor dan atau Nusa Tenggara Timur. Perlu pula dicatat bahwa sama sekali tidak ada catatan bahwa upaya introdusir tersebut didahului dengan adanya proses sosialisasi yang makan waktu lama. Mengapa masyarakat dapat menerima jenis‐jenis introdusiran tersebut dan lalu mengusahakannya? Selain karena kemungkinana ada sifat memaksa dari pemerintah kolonial alasan lain yang dapat diduga adalah bahwa karena dua komoditas tersebut memang menjawab kebutuhan masyarakat. Masyarakat mengalami kelaparan dan berpendapatan sangat rendah lalu ada solusi yang terang benderang. Maka jadilah apa yang dimaui.
)su tentang pemanasan global telah cukup lama digaungkan di Nusa Tenggara Timur tetapi bahkan sampai dengan tahun , yaitu ketika Forum DAS NTT melakukan sosialisasi tentang REDD, masih cukup banyak masyarakat yang memahami bahwa efek rumah kaca disebabkan oleh banyaknya rumah yang menggunakan bahan banguna yang terbuat dari kaca. Alih‐alih, banyak pula stakeholder dari kalangan yang memiliki tingkat pendidikan yang jauh lebih baik dari masayarakat desa memahami bahwa REDD sesuatu yang bertalian dengan warna merah. Jika memahami REDD saja masih merupakan suatu kesulitan besar maka mudah diduga apa yang terjadi ketika kepada berbagai stekholder yang ada di NTT disodori konsep adaptasi dan mitigasi yang terkait perubaan iklim global. Tidak semua stakeholder memberi respons seperti yang dikemukakan tadi. Beberapa di antara mereka memiliki paham tentang REDD akan tetapi mereka dibingungankan dengan persamaan dan perbedaan di antara beberapa varian terminologi REDD, REDD‐) dan REDD+. Akan tetapi dengan beberapa penjelasan tentang hal‐hal yang
membingungkan tersebut maka timbul beberapa pertanyaan baru, antara lain, kapan REDD mulai bisa dilakukan karena menanam bukan hal asing bagi masyarakat, siapa yang akan mengelola REDD, apa hak dan kewajiban masyarakat sebagai pelaku REDD dan segudang pertanyaan lainnya yang terkait dengan cara bagaimana REDD akan diimplementasikan. Pada pokok pertanyaan ikutan ini maka beberapa kegamangan mulai terjadi dan lalu respons terhadap REDD umumnya bernada skeptik. Bagaimana memahami dua kontras situasi yang diungkapkan di atas. Di masa lalu, introduksi jagung dan sapi diberi respons sangat positif oleh masyarakat di NTT tanpa perlu waktu yang lama. Pertama adalah adanya kebutuhan yang mendasar. Lalu kebutuhan tersebut direspsons secara tepat dan efektif oleh penguasa, siapapun mereka, ketika itu. Poerwanto menyatakan bahwa perubahan sosial selalu berasal dari arah. Masyarakat akan berubah ketika mereka sadar akan keperluan untuk berubah imanen dan atau masyarakat akan berubah jika pihak luar mampu meyakinkan bahwa mereka perlu berubah dan lalu menjamin cara melakukan perubahan dimaksud kontak . )tulah yang terjadi dalam sejarah keberhasilan introduksi jagung dan sapi ke Timor, NTT. Bagaimana dengan introduksi gagasan tentang REDD sekarang ini. Di masa milenum baru. Bahwa ancaman pemanasan global adalah suatu perkara yang perlu diresponi secara postif tak perlu lagi diragukan. Masyarakat memahami itu dan bahkan beberapa filosofi yang terkandung dalam gagasan REDD inheren dalam budaya tradisi mereka. Akan tetapi ketika terhadap beberapa pertanyaan tentang apa, siapa, kapan, dan bagaimana gagasan tersebut akan diimplementasikan belum memiliki jawaban yang jelas maka tak pelak lagi idea bahwa tahun adalah tahun tinggal landas bagi pelaksanaan penuh
full implementation dari REDD sungguh suatu utopia.
Masalahnya ada di mana? Menurut hemat penulis, akar masalahnya ada pada tata kelola pemerintahan yang baik
good governance yang belum berjalan efektif dan efisien.
Selalu ada tiga pihak, yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat tetapi adalah pemerintah yang diberi mandat untuk memerintah. Lalu, bagaimana perintahmu wahai pemerintah? *
Perspektif Masyarakat Sipil Merespon dan Memaknai REDD
(Catatan Dari Nusa Tenggara Timur)
EVENT
)ndonesia dalam hal ini Kementerian Kehutanan menjadi tuan rumah dalam Konferensi )nternasional sebagai tindak lanjut dari konferensi sebelumnya yang diadakan di Acre, Brasil pada Bulan Juli dan di Yaoundè Kamerun pada Bulan Mei 9. Kementerian Kehutanan bersama )TTO dan RR) mengusung tema The International Conference
on Forest Land Tenure, Governance and Enterprise: Ex
periences and Opportunities for Asia in a Changing Con
text”. Konferensi diadakan di Villa Santosa (otel & Resort, Senggigi Lombok pada tanggal ‐ Juli . Konferensi ini didukung dan bekerjasama dengan sejumlah elemen masyarakat sipil, dan WG‐Tenure menjadi bagian dari kepanitiaan tersebut.
Konferensi dibuka oleh Wakil Presiden Republik )ndonesia, Prof. Boediono dan dihadiri oleh sekitar peserta yang berasal dari berbagai penjuru dunia. Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan UKP merupakan salah satu pembicara kunci pada acara ini. Ketua UKP , Dr. Kuntoro Mangkusubroto mempresen‐ tasikan film pendek dan keynote speech dengan judul
Importance of Land and Forest Tenure Reforms in Implementing a Climate Change Sensitive Development
Agenda Pentingnya Reformasi Penguasaan (utan Dan
Lahan Dalam Mengimplementasikan Agenda Pemban‐ gunan Yang Peka Terhadap Perubahan )klim yang dise‐ but sebagai buah pemikiran bersama dengan beberapa pihak. Keynote speech yang disampaikan oleh UKP sangat menarik dan merupakan arahan baru penyelesain konflik tanah dikawasan hutan yang diharapkan bisa men‐ jadi tonggak sejarah bagi terbangunnya safeguard bagi hak hak masyarakat yang ada di dalam dan sekitar kawasan hutan selama ini.
Dr. Kuntoro Mangkusubroto menyampaikan sebagai unit kerja Presiden dituntut untuk dapat memandang berbagai isu melalui perspektif lintas sektor, melampaui dinding‐ dinding birokrasi baik secara literal dan harfiah, untuk me‐ mastikan bahwa berbagai kegiatan berjalan di lapangan. Juga untuk memastikan bahwa pemerintah mengerjakan layanan publik sesuai dengan komitmen Presiden.
Konferensi Internasional
“
Forest Tenure, Governance, and Enterprise
”
Disampaikan oleh UKP bahwa salah satu komitmen Presiden adalah menurunkan emisi sebesar % apabila tidak ada campur tangan internasional dan sebesar % apabila ada dukungan dari komunitas internasional pada tahun . Sekarang lebih dari % emisi di )ndonesia berasal dari penggunaan lahan dan sector kehutanan, di‐ mana diprediksi akan terus terus bertambah sampai dengan tahun mendatang. Untuk itu maka penge‐ lolaan sumberdaya alam dan penggunaan lahan me‐ mainkan peran yang sangat vital untuk mewujudkan komitmen Presiden tersebut.
Selaras dengan komitmen ini, )ndonesia juga menetapkan target lainnya yaitu % pertumbuhan ekonomi. Untuk mencapainya Pemerintah )ndonesia sudah melansir mas ter plan ekonomi untuk menciptakan enam koridor ekonomi. Untuk mewujudkan keseimbangan antara komit‐ men penurunan emisi dan pencapaian target pertumbuhan ekonomi tersebut Pemerintah bertekad untuk mewujud‐ kan pembangunan ekonomi berkelanjutan dengan penge‐ lolaan sumberdaya alam sebagai asset bangsa.
Pada tahun sektor Kehutanan berkontribusi pada GDP sebesar . %. Meskipun bukan sebagai penyumbang devisa yang besar, tetapi berjuta masyarakat bergantung hidupnya pada hutan dan hasil hutan, termasuk di dalam‐ nya masyarakat adat dengan adat istiadatnya. )su land ten‐ ure merupakan keniscayaan dalam pengelolaan sumber‐ daya alam secara nasional sebagai respon dari tantangan perubahan iklim dan manfaat
bagi masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan. Per‐ baikan tata kelola kehutanan dan land tenure sejalan dengan usaha pemerintah dalam upaya mengurangi kemiskinan, di mana terdapat sedikitnya juta orang yang menggantung‐ kan hidup dari hutan berada di bawah garis kemiskinan. Pengelolaan sumberdaya alam yang lestari tidak bisa diwujud‐ kan jika tidak bicara secara tepat masalah land tenure yang sangat kompleks. Bagaimana akses dijamin dalam hal hak menggunakan, mengontrol, serta hak mengalihkan tanah; seperti dijelaskan sebagai kesatuan kewajiban dan ken‐ dala‐kendala. Ditegaskan bahwa
pengaturan land tenure yang tepat adalah syarat utama dalam mewujudkan pembangunan dan kehidupan berke‐ lanjutan.
EVENT
Selain itu disampaikan bahwa Presiden Yudhoyono baru‐ baru ini telah menerbitkan instruksi moratorium yaitu untuk menunda penerbitan izin baru di hutan dan lahan gambut selama dua tahun. Seperti yang dimandatkan oleh )nstruksi Presiden ini, berbagai tindakan harus diambil dalam kerangka penyempurnaan tata kelola hutan dan lahan gambut. Dua tindakan harus segera dilakukan, yaitu adalah menciptakan One Map Peta Tunggal . Peta ini akan menjadi satu‐satunya peta yang digunakan oleh selu‐ ruh kementerian dan lembaga pemerintah sebagai dasar pengambilan keputusan. Peta yang terintegrasi ini harus memiliki definisi yang kokoh dan menerapkan metode serta teknik terkini untuk mengidentifikasi posisi dan ukuran hutan, dari ujung ke ujung, di seluruh wilayah )ndonesia. Para pemangku kepentingan, termasuk masyarakat adat, akan didorong untuk memberikan masukan melalui suatu proses yang transparan dan partisi‐ patif. (arus mempercepat proses pengukuhan Kawasan (utan, termasuk melalui pemetaan partisipatif berbasis masyarakat. Sebagian besar Kawasan (utan masih dalam fase penunjukan, dan hanya , juta hektar atau % telah dikukuhkan sampai sekarang. Pengukuhan Kawasan (utan akan mengidentifikasi hak‐hak privat yang ada sehingga hal itu harus dilakukan secara bersamaan dengan pendaftaran tanah adat. Penggunaan wilayah hutan hanya bisa dilakukan setelah pengukuhan untuk menjamin bahwa hak‐hak adat telah diakui.
Satu hal lagi yang disinggung UKP adalah komitmen )ndo‐ nesia terhadap reformasi hutan dan penguasaan lahan dalam jangka panjang. TAP MPR No. 9/ mengenai Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam – yang merupakan hukum tertinggi – telah memandatkan peninjauan dan revisi pada semua peraturan sumber daya alam dan keagrarian untuk sinkronisasi multi‐sektor. )ni bisa mencakup Undang‐Undang Kehutanan 999 dan per‐ aturan operasional Undang‐Undang Pokok Agraria 9 . Melalui TAP MPR ini juga diinstruksikan pelaksanaan land
reform dengan pertimbangan pada resolusi konflik dan
mengatasi ketidaksetaraan lahan untuk masyarakat kecil yang tidak memiliki lahan; untuk mengembangkan inven‐ tarisasi dan pendaftaran penguasaan lahan secara kompre‐ hensif dan sistematis; untuk mengatasi dan mengantisipasi konflik‐konflik penguasaan lahan dan manajemen sumber daya alam; dan seluruhnya harus diimplementasikan ber‐ dasarkan prinsip mengakui, menghormati dan melindungi hak adat.
Pameran
Dalam forum ini juga diselenggarakan exhibition/pameran yang diikuti oleh berbagai lembaga dan instansi dengan menampilkan publikasi‐publikasi serta kegiatan‐kegiatan terutama yang berhubungan dengan isu land tenure dalam pengelolaan hutan di )ndonesia. WG‐Tenure bekerjasama dengan (uMA, Lifemosaic, )CRAF, dan Epistema mengikuti pameran ini dengan mengangkat topic Making Forest Tenure Reform Works for People”. Publikasi berupa buku, leaflet, poster, serta pemutaran be‐ berapa film coba ditampilkan dalam pameran ini. Dengan me‐ ngadakan pameran ini diharap‐ kan dapat memperkuat pema‐ haman para pihak terhadap isu land tenure dalam pengelolaan hutan di )ndonesia juga kaitannya dengan REDD. ***
POTENSI KARBON SEBAGAI ALAT NEGOSIASI MEMPEROLEH HAK AKSES
Membangun Model REDD berbasis masyarakat, Di Taman Hutan Raya Wan Abdul
Rachman Provinsi Lampung, Wilayah Kelola Kelompok SHK Lestari 20 10 – 20 11
Oleh: Kurniadi
Di Provinsi Lampung, Kawasan Taman (utan Raya Tahura Wan Abdul Rachman seluas . , (a adalah salah satu kawasan vital sebagai penyangga kehidupan ekonomi, sosial, dan ekologis, khususnya Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Bentang kawasan ini dikelilingi oleh sebanyak desa sehingga kinerja pengelolaan ekosistem di dalam kawasan turut dipengaruhi oleh aktifitas penduduk desa‐desa tersebut atau sekitar . KK berketergantungan dengan kawasan hutan tersebut. Pada saat ini kondisi pengelolaan sumberdaya alam Tahura Wan Abdul Rachman syarat dengan berbagai persoalan yang terutama konflik tenurial sengketa kepemilikan lahan, pengelolaan dan sengketa tapal batas , degradasi dan deforestasi. (asil taksiran tutupan lahan peta quickbird Dinas Kehutanan Provinsi
Lampung ‐ )CRAF, hingga tahun sebesar ± % kawasan Tahura ini mengalami deforestasi menjadi lahan pertanian dan perkebunan rakyat.
Salah satu kelompok masyarakat yang memiliki konflik tenurial di kawasan Tahura Wan Abdul Rachman yakni kelompok Sistem (utan Kerakyatan S(K Lestari. Kelompok ini mengklaim diri mengelola wilayah seluas
, ha dengan jumlah anggota sebanyak kk. Kelompok S(K Lestari berusaha memperjuangkan prinsip‐ prinsip kelestarian alam dan keadilan bagi masyarakat sekitar untuk mendapatkan manfaat secara langsung, dengan sistem kebun campuran atau agroforest. Tata guna lahan yang dibangun S(K Lestari di wilayah kelolanya menyebutkan bahwa hutan alam seluas ± (a sebagai habitat hidup flora dan satwa liar yang mesti dijaga. Saat ini, kebun campuran yang dikelola masyarakat sebagian telah mampu menjadi koridor penghubung bagi satwa liar dari satu habitat ke habitat yang lain.
Program Membangun Model Pelaksanaan REDD Berbasis Masyarakat di Wilayah Kelola Kawasan Tahura Wan Abdul Rachman dilakukan kelompok S(K Lestari ditujukan untuk
meyakinkan pemerintah setempat soal kemampuan masyarakat mengelola kawasan konservasi, juga dalam upaya memperoleh pengakuan bahwa kegiatan yang dilakukan kelompok merupakan contoh praktik bagaimana REDD dilakukan oleh masyarakat dan terkait dengan isu‐
isu yang
b e r k a i t a n dengan hak kepemilikan k a r b o n b e r b a s i s masyarakat. K e g i a t a n
pengembangan model yang dilaksanakan oleh S(K Lestari mendapat bantuan dana hibah NORAD.
Bagaimanakah anggota SHK Lestari dapat memperoleh
pemahaman yang memadai terkait dengan skema
REDD?
Pe rtama, pemahaman anggota kelompok S(K Lestari
tentang cadangan karbon dan perannya dalam mengurangi gas rumah kaca serta merta mengikuti dibenaknya begitu mengikuti dengan tekun aktifitas riset tentang carbon stock. Kegiatan riset partisipatoris tentang cadangan
karbon di wilayah kelola S(K Lestari melibatkan anggotanya dalam jumlah besar dari perwakilan subkelompok untuk penentuan sampel dan mengambil data dari plot penelitian yang telah ditentukan dibantu oleh pakar dari Forest Watch )ndonesia FW) Bogor untuk penghitungan cadangan karbon.
“Saya baru tahu walaupun bentuknya pohon kecil ternyata punya peran dalam menyimpan cadangan karbon” demikian penuturan Sdr. Pardi dari
subkelompok Talang Pelita.
konservasi melalui pengelolaan hutan lestari untuk meningkatkan cadangan karbon.
Pengalaman riset ini menambah perbendaharaan riset baru dengan pengetahuan dan metodologi baru dimana sebelumnya kelompok S(K Lestari telah pula mengenal dan melakukan riset tentang keanekaragaman hayati seperti: melakukan inventarisasi tumbuhan liar, pengamatan satwa liar jenis mamalia, reptil dan burung. Pengetahuan dan pengalaman baru ini kemudian disebarluaskan kepada anggota S(K Lestari lainnya lewat diskusi komunitas setiap bulannya dan disiarkan melalui radio komunitas Gema Lestari , FM.
Ke dua, kegiatan pemetaan partisipatif untuk mendapatkan
luas wilayah atau hamparan yang dikelola oleh kelompok S(K lestari. Kegiatan ini melibatkan anggota kelompok sebagai team pemetaan didukung oleh mitra kerja dari Perkumpulan KAWAN TAN) dan satu orang tenaga ahli pemetaan digital. (asil pemetaan diperoleh data terbaru soal luasan wilayah kelola S(K Lestari yakni seluas , (a, dengan tataguna lahan sekitar , (a untuk konservasi areal perlindungan , berupa kebun agroforest seluas , (a, berupa sungai‐sungai, jalan setapak dan bekas pemukiman yang belum ditanami seluas (a. Data lama menyebutkan bahwa luasan wilayah kelola S(K Lestari hanya sekitar , (a pemetaan partisipatif tahun karena adanya penambahan anggota subkelompok yaitu Way Tabu dan Penibungan. Kegiatan pemetaan kedua kali ini tetap memberikan manfaat yang berharga bagi penguasaan bentang alam dan potensi wilayah kelola kelompok terutama bagi pemuda atau anggota yang baru terlibat sebagai team kerja komunitas.
Ke tiga, Kegitan riset/ kajian nilai tambah ekologi, ekonomi dan komunitas sosial di wilayah kelola S(K Lestari yang juga melibatkan sekitar orang team kajian komunitas dan orang
team riset dari
Perkumpulan KAWAN TAN) sebagai fasilitator dan penulis. Pada kajian ini, team riset
komunitas banyak
m e n d a p a t k a n pengetahuan seputar manfaat ekonomi yang selama ini diperoleh
dari mengelola kawasan Tahura Wan Abdul Rachman, memahami mata rantai perdagangan beserta nilai lebih yang masih dinikmati oleh pihak pedagang diluar anggota kelompok S(K Lestari, dan memahami peluang income lain seperti: penangkaran satwa liar, penanaman empon‐ emponan atau tanaman herbal di bawah tegakan tanaman kopi, kakao atau melinjo untuk mengurangi pengunaan herbisida pada saat penyiangan rumput/ alang‐alang dan lain‐lain.
Berdasarkan hasil kajian diperoleh data bahwa jika hanya mengandalkan produksi kebun campuran agroforest
maka tingkat kesejahteraan petani di kelompok S(K Lestari sebanyak , % tergolong berpenghasilan rendah atau miskin, , % tergolong berpenghasilan cukup/ hidup sederhana dan sisanya , % berpenghasilan lebih atau mampu. Untuk menutupi kekurangan bagi penghidupan di kawasan hutan, mereka setidaknya memiliki macam model penghasilan ekonomi dari mulai upahan tenaga kasar, guru, tukang kayu, warung, ojeg motor dan lain‐lain. Sementara itu, tanaman kopi dan kakao masih memonopoli sumber penghasilan keluarga di kelompok S(K Lestari > juta/tahun , sementara dibawah jauh baru menyusul produk melinjo, durian, cengkeh dan jahe < juta/tahun .
Dari data terlihat bahwa anggota kelompok belum mampu menemukan komposisi tanaman bernilai ekonomi tinggi yang tepat di kebun campuran menuju masa depan agroforest tua, sebagaimana keberhasilan masyarakat adat pesisir Krui dengan repong damarnya. Pilihannya adalah terus menerus melakukan peremajaan tanaman kopi, kakao dan melinjo dan melakukan penjarangan kanopi atau batang tanaman pelindung tajuk tinggi . )ni juga diperkuat dengan data mengenai persepsi anggota kelompok S(K Lestari terhadap kondisi kebun campuran tahun mendatang yakni , % masih menginginkan tetap kebun campuran muda. Sedangkan yang optimis bahwa masa depan kebun berasal dari repong atau kebun tua dengan penghasilan utama dari tajuk tinggi buah‐ buahan dan getah sebanyak , %. Sisanya, ragu‐ragu dan tidak tahu terhadap masa depan kebun campuran yakni masing‐masing sebesar , % saja.
Alasan utama keengganan petani untuk menyiapkan lahannya menuju agroforest tua repong karena belum ada kejelasan legal status tentang hak kelola masyarakat di kawasan Tahura Wan Abdul Rachman. Kepastian tenurial ini juga selaras dengan strategi komunitas lokal S(K Lestari untuk mendapatkan kemungkinan mendapatkan imbal jasa lingkungan atau model skema REDD yang sedang dipersiapkan oleh pemerintah )ndonesia.
Bagaimanakah meyakinkan pemerintah setempat bahwa pengelolaan hamparan tersebut sesuai dengan substansi Skema REDD yang merupakan bagian dari agenda adaptasi dan mitigasi pengurangan dampak
perubahan iklim ?
Upaya menyebarluaskan wacara skema REDD Reduction of Emission from Deforestation and Degradation sebagai in‐
strumen insentif bagi pengurangan dampak perubahan iklim kepada stakeholder pemerhati kehutanan dan pe‐ merintah Provinsi Lampung dilakukan dengan cara diskusi, seminar dan workshop. Pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan REDD yang dikolaborasikan dengan manfaat‐manfaat tambahan seperti konservasi keanekaragaman hayati, pengelolaan hutan secara lestari dan peningkatan stok karbon melalui aforestasi REDD+ , menawarkan pendanaan potensial yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk konservasi hutan dan keanekaragaman hayati terkait.
Dalam kegiatan Publikasi (asil Kajian Ekologi, Ekonomi dan Komunitas serta Cadangan Karbon di Tahura Wan Abdul Rachman wilayah kelola S(K Lestari Juni , yang dihadiri UPTD Tahura dan stakeholder kehutanan didiskusikan tentang masa depan sumber pembiayaan petani, selain hasil agroforest tua berupa buah‐buahan dan getah, yakni jasa lingkungan, perlindungan Daerah Aliran Sungai, berjalannya mekanisme penyerapan karbon
carbon sequestration untuk mitigasi dampak perubahan
iklim, terjaminnya carbon stock, fungsi rekreasi alam dan
keanekaragaman hayati dari hutan. Skema jasa lingkungan, CDM atau REDD hanya akan menguntungkan komunitas di dalam dan sekitar kawasan hutan jika persoalan tenure diintegrasikan dalam proposal dan ditindaklanjuti dalam bentuk pengukuhan kawasan milik masyarakat. Terkait hal tersebut, pihak Dinas Kehutanan Provinsi Lampung merespon pendataan penggarap di kawasan Tahura dalam rangka mempersiapkan kemungkinan perubahan kebijakan dalam pengelolaan kawasan konservasi.
Kegiatan reli‐reli diskusi dengan pengambil kebijakan dan stakeholder terkait Tahura Wan Abdul Rachman dilakukan berkaitan erat dengan upaya mengaktifkan kembali advokasi kolaborasi managemen/ pengelolaan kawasan Tahura Wan Abdul Rachman dengan pelibatan kelompok masyarakat penggarap dan pemerhati masalah lingkungan dan hutan di Lampung. Advokasi ini sudah berjalan dari tahun dan mengalami stagnan hingga tahun karena asumsi menunggu kebijakan peraturan pemerintah tentang (km di kawasan konservasi, mandat dari PP No. tahun tentang Tata (utan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan (utan, serta Pemanfaatan (utan. Padahal hingga saat ini tahun peraturan pemerintah yang
dimaksud belum juga dikeluarkan oleh pemerintah. Dari beberapa pertemuan stakeholder yang bergiat dan pemerhati di Tahura Wan Abdul Rachman, diperoleh ga‐ gasan untuk mendorong pembuatan raperda Kolaborasi Pengelolaan Tahura Wan Abdul Rachman sebagai solusi kebijakan bagi pemerintah Provinsi Lampung sebelum PP dimaksud dikeluarkan resmi oleh pemerintah pusat. Naskah akademik dan rancangan perda dipersiapkan oleh tim yang berjumlah orang terdiri dari unsur ornop, or‐ ganisasi rakyat kelompok tani , Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, dan akademisi Universitas Lampung. Raperda yang diusung menjadi perda inisiatif DPRD Lampung untuk memudahkan dalam pembahasan dan meringankan biaya pembuatan raperda tersebut, dan telah masuk dalam pro‐ gram legislasi daerah prolegda Provinsi Lampung tahun
.
Langkahlangkah apa saja yang dilakukan oleh SHK Lestari untuk meyakinkan pemerintah setempat bahwa kelompok dan kegiatannya merupakan contoh praktik bagaimana REDD dilakukan oleh masyarakat ?
PROSES PEMBELAJARAN
Agenda kedua yang dilakukan S(K Lestari yaitu penana‐ man tajuk tinggi yang massif di wilayah kelola S(K Lestari. Program kerja S(K Lestari yang satu ini sempat melambat laju penanamannya, tidak massif gerakannya dan kurang perhatian menanam tajuk tinggi yang bernilai ekonomi karena kekurangan biaya untuk mengolah lahan, membeli bibit dan merawat menanam. Oleh karena itu, pengurus S(K Lestari berinisiatif menggunakan momentum pelak‐ sanaan proyek Rehabilitasi Lahan (utan R(L milik pro‐ gram Dinas Kehutanan Provinsi Lampung untuk memper‐ cepat laju penanaman tajuk tinggi di wilayah kelola S(K Lestari. (al ini juga merupakan bentuk kompromi dan akomodatif di lapangan dengan otorita setempat yakni UPTD Tahura Wan Abdul Rachman meskipun ada sikap pro dan kontra dari anggota terhadap kebijakan pengurus S(K Lestari. )ni dapat dimaklumi karena sejak awal berdiri kelompok S(K Lestari dibangun dengan prinsip kemandi‐ rian dan kerap kritis terhadap program Dinas Kehutanan. Kedekatan hubungan dengan Dinas Kehutanan Provinsi Lampung terjalin juga karena menyadari rekam jejak kepala dinas yang baru yakni )r. Warsito seorang tokoh re‐ formis kehutanan sewaktu di kabupaten Lampung Barat. Pada bulan September , Kelompok S(K Lestari mengelar acara Talkshow Radio Komunitas Gema Lestari membincang Peran Kelompok SHK Lestari Dalam Upaya Mengurangi Laju Degradasi Dan Deforestasi Taman Hutan Raya Wan Abdurrachman yang dikemas dalam bentuk sare‐
sehan mengajak )r. Warsito Kadishut Provinsi Lampung sebagai narasumber, bersama Samdhana Fellow Bp. Gamal Pasya dan Agus Guntoro dari S(K Lestari. Dalam berbagai kesempatan diskusi, Kadishut memberikan tantangan un‐ tuk menjadikan Tahura Wan Abdul Rachman sebagai model percontohan untuk dasar argumentasi penyusunan pera‐ turan pemerintah akses di kawasan konservasi, sebagai‐ mana Lampung Barat menjadi pembelajaran penerapan (km di )ndonesia.
Agenda lain terkait dengan kesiapan skema REDD yang dikerjakan kelompok S(K Lestari adalah merealiasasi per‐ baikan bangunan sekretariat menjadi bangunan kantor S(K Lestari dan bangunan sekolah komunitas. Dalam pe‐ rencanaan, tahun ajaran / akan dimulai dengan
kursus kewirausahaan bagi remaja putus sekolah dan ta‐ hun ajaran / akan resmi menjadi sekolah keju‐ ruan tingkat SLTA. Tujuan pendirian sekolah alternatif ini adalah untuk memberikan pembekalan pengetahuan dan keterampilan pemuda dari keluarga S(K Lestari agar di kemudian hari berkurang tekanan terhadap akses peng‐ gunaan lahan di kawasan Tahura Wan Abdul Rachman. Para siswa kursus dan sekolah kejuruan yang dibayangkan akan mendapatkan kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler khusus seputar pengetahuan dan keterampilan melakukan kajian sosial dan ekonomi, inventarisasi tumbuhan liar, pengamatan satwa liar, mengelola radio komunitas dan lain‐lain sebagaimana layaknya kaderisasi yang dilakukan di kelompok S(K Lestari selama ini. Dengan begitu, pengurus S(K Lestari tidak perlu mengalami kendala regenerasi penggiat dan kepemimpinan di kelompok.
Rekomendasi
Untuk memberikan gambaran kemajuan cadangan karbon yang dihasilkan di wilayah kelola kelompok S(K Lestari, perlu dilakukan kembali pengambilan data berdasarkan plot penelitian karbon permanen. Tidak ada salahnya untuk meniru kebiasaan baik lembaga riset mapan yang mempertahankan plot penelitian di kawasan hutan untuk diupdate secara berkala data cadangan karbon dan biomassanya atau tutupan lahan hutannya. Peningkatan grafik cadangan karbon di wilayah kelola dapat dijadikan argumentasi tutupan hutan semakin baik dan berguna bagi pengurangan dampak perubahan iklim.
Demikian pula dengan sampel kajian sosial dan ekonomi, menarik jika dilakukan survey lagi pada orang yang sama dan secara berkala untuk dilihat kemajuan dan pembela‐ jarannya. Kajian ini berguna sekali untuk memotret ke‐ siapan masyarakat terhadap skema REDD atau imbal jasa lingkungan lainnya.
Selain percepatan tutupan lahan hutan yang mengalami deforestasi akibat pembukaan lahan untuk perkebunan rakyat dan pertanian, hal yang juga perlu diperhatikan adalah pemulihan jalur satwa liar dengan membangun koridor antara habitat yang satu dengan yang lainnya. Na‐ mun, hal itu membutuhkan kerjasama yang apik
REDD Reducing Emission from Deforestation and Degra
dation adalah topik pembicaraan terhangat dalam be‐
berapa tahun terakhir ini khususnya setelah COP di
Bali tahun yang lalu. Tidak terkecuali di )ndonesia
fokus dan energi banyak tersalurkan terkait konteks REDD. Dalam strategic approach yang disusun
pemerintah, tahun 9 sampai dengan tahun
adalah readiness phase, dimana Pemerintah menyusun
strategi yang dimaksudkan untuk memberikan guidance tentang intervensi kebijakan yang diperlukan dalam upaya menangani penyebab mendasar deforestasi dan degradasi hutan, serta infrastruktur yang perlu disiapkan dalam implementasi REDD/REDD plus. Strategi readiness ini mencakup baik aspek metodologi maupun aspek kebijakan, serta kegiatan pendukung yaitu peningkatan kapasitas dan komunikasi para pihak.
WG‐Tenure menempatkan isu atau topik REDD dalam kaitannya dengan kepastian land tenure, khususnya masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Seperti diketahui bersama bahwa kepastian land tenure dalam pengelolaan hutan di )ndonesia masih menjadi masalah, sementara tampaknya hal tersebut menjadi prasyarat dalam implementasi REDD. Bagaimana dengan masyara‐ kat yang nantinya akan terlibat dalam skema REDD, benefit apa saja yang akan diperoleh, atau bahkan dimungkinkan akan terkena dampak dirugikan sebagai konsekuensi implementasi skema REDD?
Mitra Samdhana )nstitute di lima regio telah melaku‐ kan berbagai kegiatan dalam rangka melihat kesiapan dan kewaspadaan masyarakat dalam merespon skema REDD. Berbagai temuan dan pembelajaran lapangan dirasakan penting untuk dirajut di tingkat nasional agar dapat memberikan kontribusi terhadap upaya penyu‐ sunan kerangka kebijakan dan pelaksanaan yang sung‐ guh‐sungguh memberikan manfaat bagi masyarakat dan keberlanjutan fungsi‐fungsi hutan dari skema REDD dan mitigasi perubahan iklim nasional. Seminar Nasional ini diadakan untuk merajut benang‐benang pembelajaran di tingkat lapangan dan menggali rekomendasi.
Seminar yang didukung pendanaannya oleh Samdhana
)nstitute ini diselenggarakan pada Agustus
bertempat di Grand Jaya Raya (otel, Jl. Raya Puncak KM , Cipayung Bogor. Seminar dibuka dengan sambutan pengarahan dari Dirjen BPK yang dalam diwakili oleh Direktur Bina Rencana Pemanfaatan (utan Produksi BRP(P Dr. )man Santoso, MSc. yang juga menjabat se‐ bagai Koordinator Pengurus WG‐Tenure. Saat ini Dr. )man Santoso, MSc. Menjabat sebagai Dirjen BUK.
Dalam sambutannya Dirjen BPK menyampaikan komit‐ men politik Presiden R) untuk menurunkan emisi %
bahkan sampai % dengan bantuan pihak lain harus