• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL UNTUK MENINGKATKAN KEMANDIRIAN BELAJAR MAHASISWA: Studi Kasus Pengembangan Model di Prodi Pendidikan Matematika Pontianak.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL UNTUK MENINGKATKAN KEMANDIRIAN BELAJAR MAHASISWA: Studi Kasus Pengembangan Model di Prodi Pendidikan Matematika Pontianak."

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

i

PENGHARGAAN DAN UCAPAN TERIMA KASIH ………. vi

DAFTAR ISI ... ix

BAB II KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA DALAM PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BIDANG MATEMATIKA A. Kemandirian Belajar ... 21

B. Hakikat Pendidikan Nilai dalam Pendidikan Umum ... 30

C. Pentingnya Kemandirian Belajar dalam Kajian Nilai ... 33

D. Pendekatan Pendidikan Nilai ... 35

E. Nilai dan Klasifikasinya ... 38

F. Teori Konstruktivisme dalam Pembelajaran ……… 41

G. Pandangan Islam tentang Cooperative Learning ... 48

H. Kedudukan Kemandirian dalam Pendidikan Umum ... 50

(2)

ii

J. Pembelajaran Kontekstual ... 63

K. Peningkatan Kemandirian Belajar Mahasiswa dalam Pembelajaran Kontekstual berorientasi Pendidikan Nilai 75

L. Penerapan Pembelajaran Kontekstual yang Menyertakan Nilai Instrumental untuk Meningkatkan SRL dalam Pembelajaran Geometri ... 84

M. Teori-Teori yang Mendukung ... 90

N. Penelitian Dahulu yang Relevan ... 91

O. Paradigma Penelitian ... 93

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode dan Pendekatan Penelitian... ….. 97

B. Lokasi dan Subjek ... 104

C. Tahap-Tahap Penelitian dan Alat Pengumpul Data …….. 105

D. Pengembangan Instrumen ……… 110

E. Definisi Operasional ... 111

F. Desain Penelitian ………. 112

G. Data dan Sumber Data ………. 111

H. Strategi Pengumpulan dan Analisis Data ……….. 118

TAT IV PELAKSANAAN PENELITIAN, TEMUAN, INTERPRETASI DAN PEMTAHASAN HASIL PENELITIAN A. Hasil Studi Pendahuluan ……… 122

B. Rancangan Model Pembelajaran untuk Meningkatkan Kemandirian Belajar Mahasiswa dalam Pembelajaran Geometri ... 137

C. Pelaksanaan dan Hasil Pengembangan Model Awal pada Uji Coba Terbatas ... 143

D. Persiapan Pelaksanaan dan Hasil Uji Coba Luas ... 187

(3)

iii

F. Analisis Kemandirian Belajar Mahasiswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 217 G. Pembahasan ... 223 H. Temuan Penelitian ... 227

TAT V PENUTUP

(4)

iv

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran 1: Kisi-Kisi Angket Kemandirian Belajar Mahasiswa ………. 240 Lampiran 2: Skala Kemandirian Belajar Mahasiswa ……….. 244 Lampiran 3: Pemberian Skor Setiap Skala Kemandirian Belajar ……….. 247 Lampiran 4: RPP – Kejadian bidang , Garis dan Titik ……….. 250

Lampiran 5: LKM – Kedudukan Antara Bidang, Garis dan Titik ……… 259 Lampiran 6: LKM- Bola dan Garis ……… 272 Lampiran 7: Perangkat RPP- Kejadian Bola dan Garis ... 262 Lampiran 8: Angket Respon Mahasiswa Terhadap Pembelajaran

Kontekstual dalam Matakuliah Geometri II ………. 275

Lampian 9: Observasi Keterlaksanaan Pembelajaran Kontekstual

Berorientasi Kemandirian ………. 278 Lampiran 10: Uji Validitas Skala Kemandirian Belajar ………. 281

(5)

v

DAFTAR TATEL Tabel

2.1. Nilai Instrumen dan Nilai Terminal ... 40

3.1. Tahap Penelitian, Pengumpulan Data dan Instrumen ... 106

3.2. Hubungan Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian 110 4.1. Profil Mahasiswa Berdasarkan Asal Daerah Lulusan SMA ... 131

4.2. Profil Mahasiswa Berdasarkan Jenis Kelamin ... 132

4.3. Observasi Keterlaksanaan Pembelajaran Kontekstual Berorientasi Kemandirian (Uji Coba Terbatas) ... 157

4.4. Matriks Deskripsi Pelaksanaan Uji Coba Terbatas ... 185

4.5. Observasi Keterlaksanaan Pembelajaran Kontekstual ... 203

4.6. Deskripsi Pelaksanaan uji Coba Luas ... 208

4.7. Hasil Pos Tes ... 215

4.8. Normalitas Data Pos-Tes Kelas Eksperimen dan Kontrol ... 215

(6)

vi

DAFTAR TAGAN Bagan

2.1. Prinsip Pembelajaran Kontekstual, Nilai-Nilai Instrumental

Dan Kemandirian ... 76

2.2. Implementasi Pembelajaran Kontekstual disertai Nilai Instrumental Untuk Meningkatkan Kemandirian Belajar ... 90

2.3. Model Awal (Pra Model) ... 96

4.1. Paradigma Penelitian ... 142

(7)

vii

DAFTAR GAMTAR Gambar

4.1. Relating (Pengaitan antara materi dan kehidupan sehari-hari) ... 148

4.2. Model Tabung dan Kerucut ... 149

4.3. Masing-Masing Mahasiswa Memikirkan Penyelesaian ... 151

4.4. Diskusi Pemecahan Masalah Disesuaikan Pengalaman ... 152

4.5. Diskusi dalam Kelompok Memecahkan Soal di LKM ... 154

4.6. Mahasiswa Mendiskusikan Soal Non Rutin ... 155

4.7. Pengajar Mengaitkan Materi Lama dengan Baru ... 161

4.8. Data Tahap Pendahuluan pada Uji Coba Awal ... 162

4.9. Presentasi Kelompok ... 163

4.10. Data Hasil Observasi Tahap Inti pada Uji Coba Awal ... 165

4.11 Pelaksanaan Tes ... 166

(8)
(9)

1 BAB I PENDAHULUAN

Paradigma baru pendidikan yang mengusung Kurikulum Berbasis Kompetensi berupaya melakukan perubahan sistem pembelajaran konvensional menuju pembelajaran kontekstual. Pembelajaran kontekstual sebagai sebuah inovasi pendidikan dalam realita di lapangan masih menghadapi berbagai kendala dan resistensi.

Secara sadar atau tidak, bila pembelajaran kontekstual diterapkan secara tepat, maka nilai-nilai instrumental seperti: berwawasan luas, tanggung jawab, berkemampuan, mandiri, penolong, bersemangat dan sopan juga ikut dikembangkan. Melalui pengkondisian dalam pembelajaran kontekstual, nilai-nilai instrumental dimaksud akan dikemas dalam perkuliahan bidang matematika dengan harapan kemandirian belajar peserta didik terjadi peningkatan. Untuk menggali informasi lebih lanjut, peneliti berupaya mengungkap model pembe-lajaran kontekstual dalam kajian nilai-nilai instrumental guna meningkatkan kemandirian belajar mahasiswa prodi pendidikan matematika.

Sebagai langkah awal penelitian, pada bagian pendahuluan akan diuraikan: latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode dan lokasi penelitian.

A. Latar Belakang

(10)

pelajaran agar mereka dapat mengatur dirinya sendiri dalam belajar, bertanggung jawab atas apa-apa yang telah mereka kerjakan, dan diberikan dorongan untuk mencapai tujuan dalam hidupnya. Hargis (2006) melaporkan bahwa: “students show high self-regulated learning when learning sciences through internet and

achieve score’s improvement after the learning.” Dalam kajian tersebut diungkapkan bahwa mahasiswa menunjukkan kemandirian yang tinggi ketika belajar sains melalui internet, dan memperoleh peningkatan skor sains yang cenderung tinggi setelah pembelajaran.

Sehubungan dengan kemandirian, Ali, M. dan Asrori, M. (2009: 718) memprediksikan bahwa: “situasi kehidupan yang tidak mengarah pada kemandirian dapat menyebabkan manusia menjadi serba bingung atau larut ke dalam situasi baru tanpa dapat menyeleksi lagi jika tidak memiliki ketahanan hidup yang memadai.” Hal ini disebabkan nilai-nilai baru yang belum banyak dipahami. Salah satu nilai yang dimaksud adalah nilai kemandirian. Bila nilai kemandirian dikaitkan dengan pembelajaran dari aspek persiapan, proses dan evaluasi, ternyata ketiga aspek tersebut belum begitu memberikan hasil yang optimal, terutama dari aspek evaluasi. Namun, apabila kemandirian peserta didik dikembangkan dan dikemas secara optimal akan memberikan suatu yang berbeda. Menurut Ali, M. dan Asrori,. M. (2009:107) tentang kemandirian peserta didik diungkapkan sebagai berikut.

(11)

Pembelajaran diperguruan tinggi sebagian besar menuntut kemandirian pada peserta didik. Karena itu, jika kondisi ini tak dimiliki dapat berakibat buruk bagi peserta didik itu sendiri, yakni memiliki tingkat penyesuaian yang rendah. Belum lagi ketahanan belajar yang kurang kondusif, yakni peserta didik tidak memiliki kemampuan belajar dalam waktu yang relatif lebih lama. Dari aspek sistem evaluasi yang berbentuk pilihan ganda, memberikan dampak yang cukup memprihatinkan pada sebagian besar peserta didik. Hal ini juga berlaku dalam pembelajaran matematika. Namun demikian, masih ada sebagian peserta didik yang masih menggambarkan nilai-nilai kemandirian dalam pembelajaran matematika. Karena, peran matematika yang cukup besar dalam kehidupan manusia, maka selayaknya jika kemandirian dalam pembelajaran matematika lebih dioptimalkan.

Alasan lain perlunya pengembangan kemandirian bagi pengajar maupun peserta didik, utamanya dalam pembelajaran matematika. Menurut Sumarmo (2004:5), pembelajaran matematika diarahkan mengembangkan:

(1) kemampuan berfikir matematis yang meliputi: pemahaman, peme-cahan masalah, penalaran, komunikasi, dan koneksi matematis; (2) kemampuan berfikir kritis, serta sikap yang terbuka dan obyektif, serta (3) disposisi matematis atau kebiasaan, dan sikap belajar berkualitas yang tinggi.

Peran matematika dalam kehidupan sehari-hari memang cukup besar. Karena itu, pada setiap jenjang pendidikan matematika diajarkan. Sumarmo (2000) menyatakan bahwa pembelajaran matematika di semua jenjang pendidikan meliputi: (1) belajar memahami (learning to know), (2) belajar melaksanakan

(12)

dalam kebersamaan yang damai dan harmonis (learning to live together in peace and harmony).

Di antara empat komponen tersebut belajar menjadi diri sendiri sebagian besar belum dimiliki peserta didik. Beberapa hal penyebabnya seperti sistem evaluasi nasional yang memberi peluang untuk ”menebak jawaban” dan cara pembelajaran cenderung tidak mengkaji kemampuan secara induvidual dan tidak mengarah pada kemandirian.

Pada komponen yang terakhir yakni learning to be, peserta didik menghargai atau mempunyai apresiasi terhadap nilai-nilai dan keindahan akan produk dan proses matematika, yang ditunjukkan dengan sikap senang, bekerja keras, ulet, sabar, disiplin, jujur, serta mempunyai motif berprestasi yang tinggi, dan rasa percaya diri. Sedangkan proses learning to live together in peace and harmony, peserta didik bersosialisasi dan berkomunikasi dalam matematika. Berkomunikasi dalam matematika dalam arti kata peserta didik adu argumentasi dalam wilayah konsep matematika, mampu menerima pendapat yang berbeda, belajar mengemukan pendapat orang lain dan atau bersedia sharing idea dengan orang lain dalam kegiatan matematika.

(13)

masalah yang dihadapi peserta didik dalam matematika atau dalam kehidupan sehari-hari. Kemampuan komunikasi matematis diperlukan untuk menginformasikan serta memaknai hasil pemecahan masalah.

Sumarmo (2004) menyatakan bahwa “individu yang belajar matematika dituntut memiliki disposisi matematis yang tinggi, selanjutnya akan menghasilkan kemampuan berpikir matematis yang diharapkan.” Tuntutan kemandirian belajar tersebut akan semakin kuat dengan pemanfaatan teknologi informasi dalam pembelajaran matematika, yaitu pembelajaran melalui internet atau electronic learning (e-learning).

Upaya siswa belum menampakkan hasil yang optimal. Mengingat kemam-puan literasi dan penalaran masih tergolong lemah. Beberapa kajian dari studi internasional, mengungkapkan tentang kesiapan siswa dalam proses pembelajaran. Ada tiga studi internasional yang menguji kompetensi global terkait kesiapan siswa, yaitu PIRL (Progress in International Reading Literacy Studi), TIMSS

(Trends in International Mathematics and Scince Study) dan PISA (Programme for International Student Assesment). Dalam PIRL tahun 2006 dilaporkan bahwa “siswa Indonesia hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan karena mereka mengalami kesulitan dalam menjawab soal-soal bacaan yang memerlukan pemahaman dan penalaran” (Hayat. B dan Yusuf. S, 2010:8).

(14)

terhadap Self-Regulated Learning (SRL) dan hubungan serta pengaruhnya terhadap prestasi mahasiswa.

Banyak peneliti melakukan studi terhadap Self-Regulated Learning (SRL) dan hubungan serta pengaruhnya terhadap prestasi siswa. Camahalan & Marsya (2006), meneliti prestasi siswa pada pelajaran matematika sehubungan dengan kebiasaan belajar mereka yang kurang baik melalui program Self-Regulated Learning Program (SRLP) di Asia Tenggara, yang bertujuan untuk membantu siswa meningkatkan prestasi mereka dalam pelajaran matematika. Riset ini difokuskan pada prestasi siswa dalam pelajaran matematika, regulasi diri siswa dalam mempelajari matematika, dan membandingkan prestasi mereka sebelum dan setelah dilakukan intervensi melalui Mathematics Self-Regulated Learning Program (MSRLP).

Konsep SRLP dalam proyek riset ini adalah program pelatihan yang terdiri dari empat komponen utama, yang pertama mengacu pada pengetahuan dan keyakinan siswa pada materi pelajaran matematika, meliputi tujuan belajar/ learning goals, memanage usaha/effort management, self-efficacy, diharapkan dapat diorientasikan pada gagasan untuk pengarahan diri/self-direction, self-responsibility, dan regulasi diri/self-regulation dalam belajar.

(15)

(cognitive dan metacognitive) dari proses belajar. Schunk & Zimmerman (1998) mengidentifikasikan 14 strategi SRLS (Self-regulated Learning Strategies), yakni:

self-evaluation, organizing and transforming, Goal-setting and planning, Seeking

information, Keeping records and monitoring, Environmental structuring,

Self-consequences, Rehearsingand memorizing, Seeking social assistance, Reviewing

records. Hasil dari penelitian ini antara lain terdapat perbedaan pengaruh antara yang mengunakan SRLS dengan yang tidak terhadap prestasi siswa pada mata pelajaran matematika, juga antara yang yunior (kelas 4) dengan senior (kelas 6).

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kemandirian guru maupun siswa masih dipertanyakan, sementara sudah begitu banyak guru yang memperoleh sertifikat “profesional”. Sedangkan kemandirian siswa dalam pembelajaran matematika, semakin mengkhawatirkan dan juga banyak diper-tanyakan. Hal ini ditunjukkan oleh hasil penelitian Rustam, dkk (2001:43), yang mencermati tentang kepercayaan diri siswa dalam menyelesaikan tugas-tugas matematika. Dalam penelitian tersebut, dilaporkan bahwa kemandirian belajar siswa dalam pembelajaran matematika pada setiap jenjang, yakni mulai dari tingkat sekolah dasar, sekolah menengah pertama, serta sekolah menengah atas. Disimpulkan bahwa kemandirian belajar siswa dalam pembelajaran matematika memiliki kecenderungan semakin tinggi jenjang sekolah kemandirian belajar siswa semakin rendah.

(16)

ketuntasan belajar matematika. Faktor pengajar, dalam proses pembelajaran matematika sentuhan yang memberi “kesejukan” di dalam kelas kurang menjadi perhatian guru. Faktor bentuk evaluasi, evaluasi yang dilakukan umumnya berbentuk pilihan ganda. Hal ini memberikan kesempatan dan peluang untuk siswa menjawab secara tebakan, dan sukar mengukur kompetensi siswa yang sesungguhnya.

Hasil wawancara dengan guru matematika dan siswa (perwakilan) pada tiga sekolah menengah pertama di Kota Pontianak yang terkait dengan kemandirian dapat diuraikan sebagai berikut. Kemandirian dalam belajar agaknya belum dimiliki oleh banyak pelajar. Sebagian besar siswa bersifat serba pasif. Dalam hal membaca buku-buku pelajaran matematika, siswa masih memiliki ketergantungan pada perintah guru. Kalau tidak disuruh atau diperintahkan oleh guru maka buku-buku tersebut akan tetap tidak tersentuh dan selalu utuh karena tidak dibaca. Kondisi ini menggambarkan sentuhan terhadap kemandirian belajar siswa lemah, untuk itu perlu upaya mengoptimalkan kemandirian belajar siswa. Hargis (tahun 2007). melaporkan bahwa:

siswa yang memiliki kemandirian yang tinggi: (1) cenderung belajar lebih baik dalam pengawasannya sendiri dari pada dalam pengawasan program, (2) mampu memantau, mengevaluasi, dan mengatur belajarnya secara efektif, (3) menghemat waktu dalam menyelesaikan tugasnya, dan (4) mengatur belajar dan waktu secara efisien.

(17)

semeter I dan III melaporkan “sekitar 49,81% dan 45,17% mahasiwa semester I dengan skor kesiapan belajar mandirinya rendah dan sedang. Juga dilaporkan, 41,77% dan 45,82% mahasiswa semester III dengan skor kesiapan belajar mandirinya rendah dan sedang.”

Kecenderungan lebih baik dalam pengawasannya sendiri dari pada dalam pengawasan program. Artinya, peserta didik tersebut mampu mengubah suatu aturan dalam sebuah program menjadi suatu kebutuhan baginya, sehingga aturan-aturan yang dibuat dalam program tersebut yang memang harus dipatuhi, maka bagi peserta didik tersebut sudah dijadikan suatu kebutuhan. Mampu memantau, mengevaluasi, dan mengatur belajarnya secara efektif. Artinya, peserta didik yang memiliki kemandirian belajar tinggi, terkait dengan pengawasan, evaluasi dan pola belajar sudah mampu dikondisikan dengan baik. Kondisi belajar yang dimaksud hanya waktu pada saat akan evaluasi sudah mulai ditinggalkan. Menghemat waktu dalam menyelesaikan tugas. Artinya, peserta didik yang memiliki kemandirian belajar baik, terkait dengan tugas tidak menyepelekan, tidak membiarkan, dan berupaya mengerjakan tugas secara optimal namun tidak terlena dalam penyelesaiannya. Mengatur belajar dan waktu secara efisien. Artinya penggunaan waktu belajar secara konsisten dan kontinu. Waktu belajar yang digunakan tidak model “sistem kebut semalam”.

(18)

kemandirian siswa menjadi lebih rendah. Menurut Arends (1997), “it is strange that we expect students to learn yet seldom teach then about learning, we expect

students to solve problems yet seldom teach then about problem solving,” yang berarti dalam mengajar, guru selalu menuntut siswa untuk belajar dan jarang memberikan pelajaran tentang bagaimana siswa untuk belajar, guru juga menuntut siswa untuk menyelesaikan masalah, tapi jarang mengajarkan bagaimana siswa seharusnya menyelesaikan masalah. Ini berarti, jika siswa diajarkan bagaimana cara menyelesaikan masalah, secara tidak langsung siswa dibekali dengan kemandirian belajar.

Terkait dengan umpan balik, sebagian guru matematika mengakui tidak melakukan dengan sepenuhnya hal tersebut. Sebagian tugas-tugas murid tidak diperiksa. Sementara persiapan mengajar dilakukan sebagai rutinitas. Tidak hanya siswa, guru-guru juga menunjukkan adanya gejala ketidakmandirian dalam belajar. Mereka baru melakukan tugas dengan baik kalau masih dikontrol oleh pengajar. Kondisi ini merupakan ciri-ciri dari ketidakmandirian dalam belajar meski secara biologis mereka sudah dewasa. Bila dicermati kemandirian siswa dalam belajar sebagian dibentuk atau dikondisikan sekolah. Namun demikian faktor lingkungan rumah, juga berperan untuk membentuk kemandirian siswa. Kerapkali siswa yang telah belajar di tingkat Sekolah Menengah Atas dalam mengambil azas manfaat masih bersikap belum dewasa. Cara belajar yang belum menunjukkan kemandirian dari kebanyakan para pelajar akan berlanjut terus.

(19)

mahasiswa masih lemah dalam kemandirian dan dalam mengkomunikasikan konsep matematika tersebut. Hasil temuan di lapangan (catatan lapangan September sampai dengan Desember 2009) menunjukkan bahwa dalam matakuliah Geometri I hampir 65% mahasiswa kurang aktif dalam proses perkuliahan selama satu semester. Beberapa temuan lapangan tersebut diantaranya, yaitu: (1) kurang memanfaatkan kesempatan bertanya, (2) kurang merespon kegiatan perkuliahan, (3) komunikasi terjadi dalam perkuliahan hanya untuk mahasiswa tertentu saja, dan (4) kurang terjadi komunikasi antar mahasiswa.

Ada beberapa faktor/alasan sehingga mahasiswa kurang aktif dalam perkuliahan, di antaranya dari faktor: (1) materi, (2) pengajar, (3) proses perkuliahan, dan (4) faktor nilai kebermaknaan. Dari faktor materi, sebagian besar mahasiwa sulit memahami materi Geometri I, karena konsep-konsep geometri satu yang mereka pahami sebelumnya (yakni pada saat SLTA) tidak secara komprehensip dan sebagian terjadi miskonsepsi. Dari faktor pengajar, penampilan dan cara dosen mengajar ternyata cukup mempengaruhi sikap peserta didik terhadap perkuliahan geometri satu, hal ini ditemukan pada saat penggantian pengajar. Pengajar yang kreatif dan ”menyenangkan” lebih banyak membuat peserta didik betah di dalam kelas.

(20)

secara langsung maupun tak langsung. Bila dikaitkan dengan nilai kebermaknaan dalam pembelajaran matematika, yang dirasakan peserta didik adalah nilai kebermaknaan secara tak langsung. Namun, nilai kebermaknaan ini tak berfungsi apa-apa jika tidak pengajar yang mengupayakan untuk mengkoneksikannya dalam suatu pembelajaran matematika atau yang lainnya.

Bila peserta didik memiliki kemandirian dalam pembelajaran matematika dengan cukup memadai, maka secara tak langsung mampu mengatasi permasalahan matematika. Akhirnya diharapkan beberapa hal yang menjadi kelemahan tersebut bisa teratasi. Hampir sebagian besar peserta didik, yang terkait dengan motivasi cukup mengkhawatirkan. Kenyataan yang ditemukan di lapangan, motivasi terhadap beberapa pelajaran lemah, termasuk dalam pembelajaran matematika. Motivasi sebagian besar peserta didik lemah, salah satu indikasinya yaitu peserta didik ”malas dalam bertanya”. Mungkin ada sebagian peserta didik dengan gamblangnya dapat mengajukan pertanyaan atau meminta bantuan pengajar. Peserta didik yang demikian mempunyai keterampilan komunikasi yang baik. Mereka tidak pemalu, berani bertanya, dan terbuka dalam mengemukakan pendapat. Terhadap peserta didik yang seperti ini tidaklah terlalu menyulitkan pengajar untuk mengetahui apabila mereka memerlukan bantuan.

(21)

konteks belajar, gejala negatif yang tampak adalah kurang mandiri dalam belajar yang berakibat pada gangguan mental setelah memasuki perguruan tinggi.” Senada dengan hal tersebut, Reid. J.W (1993) mengungkapkan bahwa:

self-regulated learning of students can be achieved by collaborative learning, by improving self awareness and confidence. Regarding teachers’ independence, it is suggested to be a facilitator who is responsible for assigning tasks and managing classes in order to stimulate students’ learning.

Terkait dengan pengajar, dalam kemandiriannya disarankan sebagai fasilitator yang bertanggung jawab untuk memberikan tugas dan mengelola kelas untuk merangsang peserta didik belajar. Agaknya sampai saat sekarang, masih banyak kritik tentang proses belajar mengajar di sekolah atau perkuliahan yang lebih cenderung bersifat 'instruction' atau mengajar daripada bersifat 'education' atau mendidik. Penyebabnya adalah bisa jadi karena guru atau dosen hanya menguasai ilmu sebatas bidang studi semata dan tidak pula begitu mendalam. Untuk masa-masa sekarang agaknya kemandirian dalam belajar perlu untuk ditingkatkan. Menurut Trianto (2009:6), dalam hal ini, “siswa tidak diajarkan strategi belajar yang dapat memahami bagaimana belajar, berpikir, dan memotivasi diri sendiri; pada hal aspek-aspek tersebut merupakan kunci keberhasilan dalam suatu pembelajaran.” Terkait dengan memotivasi diri sendiri merupakan suatu bentuk awal menuju kemandirian.

(22)

dan materi pengetahuan baru.” Struktur kognitif merupakan segala pengetahuan yang dimiliki peserta didik sebagai hasil dari kegiatan belajar yang lalu. Dalam belajar bermakna pengetahuan baru harus mempunyai hubungan atau dihubungkan dengan struktur kognitifnya. Hubungan tersebut terjadi karena adanya kesamaan isi dan secara beraturan. Kedua sifat hubungan tersebut menunjukkan adanya kebermaknaan logis materi yang akan dipelajari. Jadi kebenaran logis ini merupakan sifat dari materi yang akan dipelajari, tetapi tidak berarti menjamin itu bermakna bagi peserta didik.

Ada unsur lain yang memungkinkan pembelajaran yang dilakukan pengajar dapat bermakna, yakni bagaimana cara guru mengajar atau merepresentasikan dengan efektif dari materi pengajaran tersebut. Upaya merepresentasikan merupakan salah satu bentuk komunikasi pengajar pada peserta didik. Menurut Huinker & Laughlin (1996) gunakan untuk memahami konsep tentang representasi.

Firstly, within the domain of mathematics, representation can be considered as an internal abstraction of mathematical ideas or cognitive eschemata that are developed by the learner through experience... Secondy, representasi can be explicated as mental reproduction of a former mental state ... Thirdly it re refers to

(23)

dianggap efektif, karena pembelajaran ini memandang bahwa proses belajar benar-benar berlangsung hanya jika siswa dapat menemukan hubungan yang bermakna antara pemikiran yang abstrak dengan penerapan yang praktis dalam konteks yang nyata. Mathews & Cleary (1993:2) mengungkapkan bahwa “in such learning experience, fact, concept, principle and procedure as materials of

learning can be internalized through the process of invention, enrichment,

connection and integration.” Secara garis besar pemerolehan fakta, konsep, prinsip dan prosedur sebagai materi pelajaran diinternalisasikan melalui proses penemuan, keterkaitan dan keterpaduan.

Dalam penerapan pembelajaran kontekstual, materi pelajaran (content)

yangdipaparkan memperhatikan intelektual dimiliki peserta didik dengan kondisi dan situasi yang cocok dengan psikologi kognitif peserta didik. Lebih jauh Blanchard, A. (2001:2) mengungkapkan bahwa

contextual teaching constitutes the coordination between the content of learning and the intellectual’s ability possessed by the students in a certain condition and proper situation and the cognitive of the students and the interest of students’ environment.

Selanjutnya, Johnson (2002:25) menegaskan bahwa: “confirms that contextual teaching and Learning (CTL) helps students to see the meaning of

academic materials in students daily life context, covering the students contexts

(24)

Beberapa hasil penelitian yang terkait dengan pemanfaatan pengalaman peserta didik dalam pembelajaran di kelas ternyata memberikan hasil yang signifikan terhadap tujuan pembelajaran. Gardner (1983:177) mengungkapkan:

Many research states that the use of environment’s issues or contexts as a media of learning in the schools is considered effective, and the fact shows that the achievement of the students is goof if they are situated in informal learning and they experience self learning’s context.”

Jadi pembelajaran secara kontekstual hanya terjadi jika pebelajar memperoleh pengetahuan itu bermula dari referensinya sendiri (pengetahuan yang sudah ada dalam pikirannya, pengalamannya dan kemampuan merespon terhadap lingkungan sekitar). Hull’s & Sounders (1996: 15-17) menjelaskan bahwa “explain that contextual learning is designed so that students are able to apply their knowledge in the real world.” Dapat dikatakan bahwa dalam pembelajaran kontekstual dikondisikan agar pembelajaran yang dipahami peserta didik menjadi bermakna dan dapat dikaitkan dengan dunia nyata. Pembelajaran seperti itu sangat efektif karena menghasilkan pengetahuan yang bermakna pada diri anak. Pembelajaran kontekstualpun meningkatkan keterlibatan peserta didik dalam pelajaran, meningkatkan aplikasi dan menggunakan pengetahuan, meningkatkan motivasi untuk belajar, meningkatkan kemampuan memecahkan masalah, mengintegrasikan pengetahuan, dan berpikir secara kritis.

(25)

akan memiliki rasa percaya diri yang lebih baik pula. Memperhatikan eratnya keterkaitan kepecayaan diri, motivasi belajar dan pembelajaran bermakna terhadap kemandirian belajar, peneliti tertarik untuk mengkaji lebih jauh tentang kemandirian belajar peserta didik dalam setting pembelajaran kontekstual pada pembelajaran matematika. Bahkan, membentuk pola pengembangan kemandirian belajar peserta didik dalam pembelajaran matematika yang cocok untuk ditawarkan dan diaplikasikan pada perkuliahan yang menjadi tempat penelitian.

B. Masalah dan Rumusan Masalah

Yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana bentuk pengembangan model pembelajaran kontekstual yang dapat meningkatkan kemandirian belajar mahasiswa prodi pendidikan matematika FKIP Untan Pontianak?

Rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi pembelajaran yang terkait kemandirian belajar mahasiswa di program studi pendidikan matematika FKIP Untan Pontianak? 2. Bagaimana rancangan model pembelajaran yang ditawarkan untuk meningkatkan kemandirian belajar mahasiswa prodi pendidikan matematika FKIP Untan?

3. Bagaimana proses aplikasi model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemandirian belajar mahasiswa prodi pendidikan matematika FKIP Untan? 4. Bagaimana efektifitas penerapan model hipotetik dalam pembelajaran

(26)

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui informasi tentang kondisi pembelajaran yang terkait kemandirian belajar mahasiswa di program studi pendidikan matematika FKIP Untan Pontianak.

2. Memperoleh informasi tentang rancangan model pembelajaran yang ditawarkan untuk meningkatkan kemandirian belajar mahasiswa prodi pendidikan matematika FKIP Untan.

3. Memperoleh informasi tentang proses aplikasi model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemandirian belajar mahasiswa prodi pendidikan matematika FKIP Untan.

4. Memperoleh informasi tentang tingkat efektifitas penerapan model hipotetik dalam pembelajaran geometri guna meningkatkan kemandirian belajar mahasiswa prodi pendidikan matematika FKIP Untan.

D. Asumsi

Dalam penelitian ini disumsikan sebagai berikut.

1. Angket yang dijawab mahasiswa diisi sesuai dengan petunjuk pengisian, dan dilakukan dengan penuh kesadaran tanpa ada tekanan dari pihak manapun. 2. Seluruh data yang diperlukan adalah data asli (tidak mendapat pengurangan

atau tambahan) dari pihak instansi.

E. Metode Penelitian

(27)

dengan realitas yang beragam dan saling berinteraksi. Di samping itu juga dinilai lebih sensitif terhadap segala aspek dan perubahan yang saling mempengaruhi yang bakal dihadapi peneliti. Ini berarti, realitas sesungguhnya merupakan suatu konstruksi sosial ketika individu atau kelompok menemukan atau memproses sejumlah makna dalam satu kesatuan yang spesifik, dari beberapa peristiwa, orang, proses atau tujuan. Lebih lanjut Alwasilah, A.C. (2008:103) mengatakan bahwa:

pertimbangan menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu: (1) tidak sekedar menyangkut pengetahuan yang dapat dibahasakan (propositional

knowledge), melainkan juga menyangkut pengetahuan yang tidak

dibahasakan (tacit knowledgw); (2) membahas perilaku yang sangat kompleks; (3) adanya interaksi diantara realitas; dan (4) berkarakter deskriptif, serta menjauhi generalisasi.

(28)

F. Lokasi Penelitian

(29)

97 BAB III

PROSEDUR PENELITIAN

Metode penelitian dan pengembangan adalah metode penelitian yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu, dan menguji keefektifan produk tersebut. Dalam penelitian ini yang dikembangkan yakni model pembelajaran kontekstual dalam kajian nilai-nilai instrumental, untuk meningkatkan kemandirian belajar peserta didik.

Selanjutnya terkait dengan prosedur penelitian diuraikan sebagai berikut: metode dan pendekatan penelitian, tahap-tahap penelitian, lokasi dan subjek penelitian, definisi operasional, instrument penelitian, pengembangan instrument, pengumpulan dan analisis data.

A. Metode dan Pendekatan Penelitian 1. Metode Penelitian

(30)

Untuk dapat mengkaji berbagai variabel pokok yang telah ditetapkan, penelitian ini akan menggunakan metode penelitian dan pengembangan atau “research and development”. Menurut Borg and Gall (1989: 784) ada sepuluh langkah dalam penelitian dan pengembangan, yaitu:

a. Research and Information Collecting

b. Planning

c. Develop preliminary form product

d. Preliminary field testing

e. Main product revision

f. Main field testing

g. Operational Product Revision

h. Operational field testing

i. Final revisi product

j. Dessemination and implemetation

Uraian secara rinci dari masing-masing langkah dalam penelitian dan pengembangan terbagi dalam tiga tahapan, yaitu tahap pendahuluan, tahap pengembangan model, dan tahap pengujian model. Secara rinci diuraikan sebagai berikut.

Tahap pendahuluan. Penelitian dan pengumpulan informasi, yang dilakukan melalui kegiatan analisis kebutuhan, studi kepustakaan dan penelitian dalam skala kecil. Selanjutnya perencanaan, dilakukan dengan melakukan identifikasi kemampuan-kemampuan yang diperlukan dalam pelaksanaan penelitian, membuat rumusan tujuan yang akan dicapai, membuat desain atau langkah-langkah penelitian serta merencanakan kemungkinan pengujian dalam lingkungan terbatas.

(31)

menyiapkan bahan ajar proses pembelajaran dan instrumen evaluasi. Ujicoba terbatas, dilakukan dengan mengujicobakan produk awal yang telah dikembangkan. Pada saat uji coba terbatas dilakukan observasi, wawancara, penyebaran angket, dan diskusi dengan tujuan untuk mendapatkan evaluasi kualitatif produk awal yang dikembangkan. Revisi produk, yakni dilakukan revisi terhadap produk awal yang telah dikembangkan berdasarkan temuan-temuan dan masukan saat uji coba terbatas/uji coba lapangan awal. Selanjutnya uji lapangan utama, yakni uji lapangan utama yang lebih luas terhadap produk awal yang telah direvisi. Pada tahap ini dilakukan analisa kuantitatif terhadap data yang diperoleh baik sebelum maupun setelah model dilakukan. Selain itu juga dilakukan pengumpulan data kualitatif tentang proses ketika model dilaksanakan. Langkah berikutnya, revisi produk, yakni tahap penyempurnaan produk utama berdasarkan temuan-temuan pada uji lapangan utama untuk mendapatkan produk operasional/model hipotetik.

(32)

profesional atau dipubkika-sikan pada jurnal, bekerja sama dengan penerbit, serta memonitor distribusi untuk mengendalikan kualitas.

(33)

KERANGKA PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

(34)

2. Pendekatan Model Penelitian

Penelitian ini didesain dengan pendekatan penelitian pengembangan (Research and development), menurut Borg & Gall (1979:624), yang dimaksud dengan model penelitian dan pengembangan ialah: ”a process used develop and validate educational products”. Produk pendidikan tidak hanya objek-objek material, seperti buku teks, film untuk pengajaran, dan sebagainya; tetapi juga termasuk bangunan, prosedur dan proses, seperti metode mengajar, atau pengorganisasian pengajaran.

Penelitian ini lebih dititikberatkan pada upaya untuk mengkaji suatu proses dan fenomena secara menyeluruh dan saling terkait. Karena itu, pendekatan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. McMillan dan Schumacher (2001:398) mengungkapkan bahwa “qualitative research is based on the assumption that reality is something that is double in its character, each other interacts and inside, there is a social

experiences’ exchanges that can be interpreted by each individual.”

Berdasarkan pembahasan tersebut, penelitian kualitatif meyakini bahwa realitas sesunguhnya merupakan sebuah konstruksi sosial setiap individu. “Pendekatan kualitatif lebih melihat sesuatu sebagaimana adanya dalam suatu kesatuan yang saling terkait yang lebih menekankan pada proses daripada dampak atau hasil” (Moleong, 1996:45).

(35)

tersebut sangat penting karena dengan uraian yang rinci, spesifik, dan jelas maka obyektivitas penelitian akan semakin dapat diwujudkan. Penekanan lebih pada pendekatan kualitatif memepertimbangkan beberapa alasan berikut.

Pertama, masalah yang peneliti kaji menyangkut hal-hal yang sedang berlangsung di kelas perkuliahan, dengan harapan data dapat dikumpulkan sebanyak mungkin, dengan tetap memperhatikan kualitas data.

Kedua, sebagaimana dikemukakan oleh Lincoln dan Guba (1985: 37) bahwa:

(1) the reality is double in its character, is constructed and holistic; (2) between the person who know and to be known, it is interactive and inseparable; (3) it is only time and context that are possible to get connected with work’s hypothesis; (4) all entity existed is in simultaneous condition so that it is almost impossible to differentiate between cause and result; and (5) the researchers is basically not free from value.

Ketiga, gejala-gejala yang diperoleh dari lapangan lebih banyak menyangkut perbuatan dan kata-kata dari responden yang sedapat mungkin tidak diperngaruhi dari luar, sehingga bersifat alami, dan apa adanya. Keempat, “pendekatan kualitatif lebih bersifat natural, induktif dan menemukan makna dari suatu fenomena” (Moleong, 1996:4-8).

(36)

Di samping itu juga menggunakan pendekatan kuantitatif. Dalam pendekatan kuantitatif dikembangkan untuk mengetahui perubahan peningkatan karakteristik kemandirian belajar akibat penerapan model pembelajaran kontekstual dalam kajian nilai-nilai instrumental pada matakuliah geometri. Perubahan peningkatan ataupun penurunan aspek-aspek karakteristik kemandirian belajar dapat diketahui setelah diperoleh data dari lembar pengamatan dan kuesioner tentang kemandirian belajar dalam pembelajaran geometri.

Kombinasi antara pendekatan kualitatif dan kuantitatif diharapkan akan menghasilkan kesimpulan akhir penelitian ini sebagai hasil analisis dari kedua pendekatan tersebut dalam bentuk paparan yang saling melengkapi agar dapat mewujudkan objektivitas dan validitas penelitian secara optimal.

B. Lokasi dan Subjek Penelitian

Penelitian dan pengembangan ini dilakukan di FKIP Untan Pontianak dengan subjek penelitian adalah mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika jurusan P.MIPA tahun ajaran 2010/2011. Dengan pertimbangan, (1) mahasiswa baru (semester 2) yang tergolong masa peralihan dari siswa sekolah menengah ke perguruan tinggi, (2) calon pendidik yang diharapkan memiliki bekal kemandirian yang cukup, dan (3) sudah terjalin komunikasi selama geometri I sehingga tidak mengalami hambatan dalam penyesuaian secara berarti.

(37)

mahasiswa yang mengambil matakuliah Geometri II. Dipilihnya matakuliah Geometri II, karena sebagian konsep matakuliah Geometri II berbekal dari Geometri I semester satu sehingga memungkinkan mahasiswa dapat berkomunikasi dan berdiskusi dengan lancar. Bila jalinan komunikasi sudah dijalin pada semester sebelumnya, maka diharapkan nilai-nilai instrumental dapat muncul secara wajar.

Uji coba terbatas dilakukan pada kelas regular A, sedangkan uji coba luas dilakukan pada kelas regular B dan kelas FMIPA. Untuk uji validasi model, kelompok eksperimen adalah reguler A, dan kelompok kontrol reguler B. Penentuan kelas uji coba terbatas, uji coba luas, serta validasi model dilakukan secara purposive. Kelas regular A dijadikan sebagai tempat uji terbatas dengan pertimbangan telah terjalin komunikasi relatif lebih lama dibandingkan kelas reguler B. Sedangkan kelas reguler B dan kelas FMIPA juga sudah dijadikan tempat uji coba luas, untuk validasi model digunakan kelas regular A.

C. Tahap-Tahap Penelitian dan Alat Pengumpul Data

Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap. Tahap pertama merupakan studi pendahuluan, tahap ke dua merupakan tahap pengembangan model yang terdiri atas pengembangan gambar draf awal model, uji coba terbatas, dan uji coba luas, dan tahap ketiga merupakan pengujian atau validasi model.

(38)

Tabel 3.1

Tahap Penelitian, Pengumpulan Data dan Instrumen

Tahap Teknik Pengumpulan

(39)

wawancara pada mahasiswa diambil 2 mahasiswa kelompok atas, 2 mahasiswa kelompok tengah dan 2 mahasiswa kelompok bawah. Hasil wawancara terhadap dosen dan mahasiswa dijadikan sebagai salah satu rujukan untuk membuat lembar kerja mahasiswa dan satuan acara perkuliahan. Studi lapangan dilakukan pada ke dua kelas di prodi pendidikan matematika yang mengambil matakuliah Geometri II. Survey ini dilakukan untuk mengetahui kondisi pembelajaran dalam matakuliah Geometri II. Adapun studi kepustakaan dilakukan dengan tujuan untuk mengumpulkan berbagai teori dan konsep tentang pembelajaran kontekstual dalam matakuliah Geometri II, serta berbagai penelitian yang terkait dengan pembelajaran Geometri II dan pembelajaran kontekstual.

(40)

perilaku mahasiswa yang terkait nilai-nilai instrumental mahasiswa. Angket diberikan untuk mengetahui respon mahasiswa terhadap pelaksanaan atau penerapan model, sedangkan wawancara digunakan untuk mengetahui apa saja hambatan-hambatan yang dialami selama penerapan model. Tes diberikan untuk mengetahui seberapa efektifkah hasil penerapan desain model terhadap pencapaian tujuan penelitian.

Pengembangan model dilakukan dengan kegiatan penyusunan draf awal model pembelajaran, uji coba terbatas, dan uji coba lebih luas. Dari uji coba terbatas dan uji coba lebih luas diharapkan akan diperoleh desain hipotetik yang akan divalidasi. Penyusunan draf awal merupakan langkah untuk menyusun draf yang berisi tentang rencana pembelajaran dan langkah-langkah pembelajaran untuk meningkatkan kemandirian belajar mahasiswa. Draf ini memuat rumusan topik/materi, metode, pendekatan, media, tujuan pembelajaran, serta evaluasi; yang juga membuat target untuk pencapaian nilai-nilai dalam kemandirian belajar mahasiswa.

(41)

yang akan mencatat seluruh proses pelaksanaan uji coba dan akhirnya bersama-sama dengan pengajar dan peneliti merumuskan model hipotetik yang diujikan.

Uji validasi dilaksanakan pada mahasiswa reguler A sebagai kelas eksperimen dan reguler B sebagai kelas kontrol. Selain melalui angket, observasi, dan dokumentasi, dilakukan juga tes tertulis untuk melihat dampak penerapan model terhadap peningkatan kompetensi mahasiswa melalui perbandingan hasil pengukuran sebelum dam sesudah penerapan model oleh kelompok eksperimen dan kontrol.

(42)

Tabel 3.2

Hubungan Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian

Tahap

Desain model Validasi ahli RPP, bahan ajar, LKM Uji coba terbatas Observasi, Kemandirian mahasiswa Angket Lembar angket Pengujian

(43)

Beberapa instrumen yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: pada saat studi pendahuluan digunakan angket, pedoman wawancara dan pedoman observasi; pada saat pengembangan model dalam uji coba terbatas akan digunakan lembar observasi dan pedoman wawancara; sedangkan uji coba lebih luas digunakan lembar observasi, tes, angket, dan daftar cek. Pada saat pengujian model digunakan instrumen tes, angket, dan daftar cek.

E. Definisi Operasional

Untuk menyamakan persepsi terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, perlu diungkapkan definisi operasional terkait beberapa istilah yang digunakan sebagai berikut.

1. Kemandirian adalah kemampuan untuk menguasai, mengatur, atau mengelola diri sendiri.

2. Kemandirian belajar merupakan suatu proses perancangan dan pemantauan diri yang seksama terhadap proses kognitif, afektif dan ketrampilan sosial dalam menyelesaikan tugas akademik.

3. Karakteristik kemandirian belajar matematika, yaitu a) inisiatif belajar, b) mendiagnosa kebutuhan belajar, c) menetapkan tujuan belajar, d) memonitor, mengatur, dan mengontrol belajar, e) memandang kesulitan sebagai tantangan, f) memanfaatkan dan mencari sumber yang relevan, g) memilih dan menerapkan strategi belajar yang tepat, dan h) konsep diri. 4. Nilai merupakan suatu rujukan atau keyakinan yang dapat dijadikan panduan

(44)

5. Nilai instrumental atau nilai perantara lebih sering muncul dalam perilaku secara eksternal, pada lapisan luar sistem perilaku dan nilai. Diantara nilai instrumen yang akan dikembangkan agar terjadi peningkatan dalam kemandirian belajar, yaitu: a) berkemampuan, b) berwawasan luas, c) pengawasan diri, d) mandiri, e) tangggung jawab, f) penolong, serta g) logis dan cerdas.

6. Karakteristik pembelajaran kontekstual sebagai berikut: a)

problem-based (berbasis masalah), b) using multiple contexts (penggunaan

berbagai konteks), c) drawing upon student diversity (penggambaran keanekaragaman siswa), d) supporting self-regulated learning (pendukung pembelajaran pengaturan diri), e) using interdepndent learning groups

(penggunaan kelompok belajar yang saling ketergantungan), dan f)

employing authentic assesment (memanfaatkan penilaian asli).

F. Desain Penelitian

(45)

Penelitian yang terarah sebagai upaya untuk mengetahui proses sekaligus dampak pengembangan model ini menjadi alasan mendasar digunakannya kombinasi antara pendekatan kualitatif dan kuantitatif secara terpadu. Sesuai dengan tujuan tersebut, penelitian ini menggunakan disain Research and Development (R&D) dari Gall, Gall & Borg, 2003. Siklus penelitian dan pengembangan menurut Borg (1981: 222) adalah

suatu penelitian yang dilakukan melalui beberapa langkah secara berurutan, mulai dari mengumpulkan hasil-hasil penelitian dan informasi, merencanakan bentuk penelitian yang akan dikembangkan, mengembangkan prototype awal, mengadakan uji coba terbatas, merevisi model, melakukan uji coba lapangan, melakukan revisi produk, melakukan uji coba lapangan secara operasional, melakukan revisi akhir terhadap model, hingga melakukan uji efektivitas.

Disain penelitian yang dikembangkan lebih mengacu pada siklus disain Research and Development melalui beberapa penyesuaian karena mempertimbangkan beberapa faktor yang berkaitan dengan jadwal akademik pada lembaga yang diteliti, dan waktu belajar mengajar..

Prosedur pengembangan model penelitian yang digunakan dalam penelitian ini meliputi langkah-langkah: (1) studi pendahuluan, (2) perumusan model konseptual (RPP), (3) validasi model konseptual, (4) refleksi dan revisi model konseptual, (5) uji coba terbatas, (6) revisi model, (7) uji coba luas, (8) analisis dan pembahasan, (9) kesimpulan dan rekomendasi. Langkah-langkah tersebut dituangkan dalam bentuk gambar berikut.

1. Validasi Model Konseptual

(46)

lebih efektif dari yang lama atau tidak” (Sugiyono, 2007:414). Validasi dilaksanakan untuk meningkatkan kayakinan terhadap ketepatan model konseptual yang telah dirumuskan. Prosedur validasi model konseptual ini dilakukan melalui konsultasi dan diskusi intensif terhadap para ahli, dalam hal ini para dosen pembimbing (promoter, ko-promotor, dan pembimbing anggota) dan beberapa praktisi pendidikan tinggi. Selain dilakukan dengan pihak-pihak tersebut, validasi model konseptual juga dilakukan melalui tukar pikiran (dialog) dengan sejumlah teman sejawat yang telah memiliki pengalaman dalam mengembangkan model penelitian sejenis. Hasil konsultasi dan diskusi pemantapan model ini dapat menjadi dasar pertimbangan bagi peneliti dalam melakukan evaluasi dan refleksi pada tahap berikutnya.

2. Refleksi dan Revisi Model Konseptual

(47)

Selain beberapa aspek pokok tersebut, terdapat perubahan teknis yang menyangkut penuturan bahasa tulis dan sejumlah perbaikan teknis lainnya. Seluruh saran, pemikiran positif, dan bahan refleksi dan evaluasi dalam tahap ini menghasilkan model konseptual dalam kerangka penelitian ini. Pada tahap berikutnya, model konseptual ini akan diuji cobakan dengan mengikuti langkah-langkah yang telah ditentukan dalam kerangka penelitian.

3. Uji Coba Terbatas

Uji coba terbatas dilakukan untuk melihat kelayakan suatu model agar dapat dikembangkan dalam ruang lingkup yang lebih luas, termasuk mencermati kemungkinan timbulnya kendala dalam pengembangan yang lebih luas.

4. Revisi Model

Revisi model dilakukan berdasarkan catatan atau kesimpulan yang diperoleh melalui proses uji coba terbatas telah dilakukan. Tujuan revisi model ini hanya untuk menyempurnakan model uji coba sebelum uji coba dilakukan secara luas.

5. Analisis dan Evaluasi

(48)

pengumpulan data melalui pendekatan kuantitatif dianalisis dengan menggunakan analisis statistik sederhana.

Hasil analisis kualitatif dan kuantitatif ini akan menjadi perpaduan yang saling melengkapi untuk merumuskan kesimpulan akhir daris eluruh rangkaian penelitian ini. Kesimpulan yang berhasil dirumuskan merupakan dasar untuk mengevaluasi pengembangan model ini sekaligus menjadi saran dan rekomendasi dalam pengembangan tahap akhir pengembangan model ini. Kemampuan memaparkan hasil-hasil temuan penanaman nilai secara jelas dan spesifik merupakan salah satu indikator yang menggambarkan secara kualitatif bahwa model yang dikembangkan ini mampu meningkatkan kemandirian belajar mahasiswa.

(49)

G. Data dan Sumber Data

Pendekatan utama dalam penelitian ini memakai pendekatan kualitatif maka secara umum, data dalam penelitian ini adalah seluruh fenomena atau peristiwa yang berkaitan atau menyertai penerapan atau pengembangan model investigasi kelompok dalam proses pembelajaran. Tahap awal penelitian berupa persiapan pengembangan model dan tahap akhir penelitian berupa pengevaluasian, baik melalui pemaparan hasil temuan maupun angket yang diberikan kepada mahasiswa. Selain itu, data dalam penelitian ini juga didapatkan dari perilaku subjek yang berperan sebagai substansi dalam penelitian ini, termasuk perilaku pengajar dan peristiwa yang terjadi selama proses belajar mengajar berlangsung.

(50)

H. Strategi Pengumpulan dan Analisis Data 1. Teknik Pengumpulan Data

The stages of collecting and analyzing the data in the tradition of qualitative research, as a main approach in this research, constitute interactive

process and happen at the same time of cycle” (Creswell, 1994: 155; McMillan and Schumacher 2001:405). Lebih lanjut dikemukakan bahwa proses ini merupakan strategi, yang teknik pelaksanaan bersifat fleksibel dan bergantung pada jenis strategi utama yang digunakan. Dalam keadaan ini, peneliti dapat mengumpulkan data dengan lebih leluasa tanpa mengabaikan prosedur-prosedur mendasar dalam penelitian kualitatif.

(51)

Berdasarkan pendekatan yang digunakan dan jenis data yang ingin diperoleh, maka penelitian ini menggunakan analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis data dalam pendekatan kualitatif diartikan sebagai proses mencari dan mengatur transkip wawancara, cartatan lapangan, dan bahan-bahan lain secara sistematik untuk menambah pemahaman dan melaporkan pada pihak lain tentang data yang telah ditemukan. Karena penelitian ini berbentuk studi kasus, maka sesuai arahan yang dikemukakan oleh McMillan dan Schumacher (2001:318) bahwa “data analysis is focused on certain phenomena chosen by researcher to be understood in depth without paying attention to number of places or participants for the study including a detail study on certain settings.”

Mengacu pada beberapa pendapat yang telah dikemukakan bahwa pada penelitian kualitatif, pengumpulan dan penganalisissan data merupakan satu kesatuan kegiatan yang saling berinteraksi maka langkah-langkah penelitian ini, mulai dari penentuan subyek, perekaman data, penganalisisan dan penyajian data, dan penginterpretasian tentatif selama proses pengumpulan data ditempatkan sebagai satu kesatuan yang saling terkait.

3. Keabsahan data

“There are four criteria of data to be considered as acceptable in

qualitative research. This includes a) high credibility of the data, b) diversion, c)

(52)

trianggulasi, pengecekan sejawat, kecukupan referensi, kajian kasus negative, dan pengecekan anggota. Masalah dan tujuan penelitian harus memiliki derajat kepercayaan terhadap data. Lima teknik untuk memperoleh derajat kepercayaan terhadap data yaitu perpanjanan keikutsertaan, ketekunan pengamatan, trianggulasi, pengecakan sejawat, dan kecukupan analisis kasus negative jika keadaan di lapangan memang mengharuskannya.

(53)

231 BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Pada bagian ini yang diungkapkan terkait dengan simpulan hasil penelitian pengembangan model yang meliputi: kondisi pembelajaran geometri II saat ini terkait dengan kemandirian belajar mahasiswa.

A. Kesimpulan

Kondisi awal mahasiswa prodi pendidikan matematika FKIP Untan terkait kemandirian bahwa dalam pelaksanaan pembelajaran geometri belum fokus pada nila-nilai instrumental. Di samping itu, dalam pelaksanaan pembelajaran materi disajikan dalam bentuk simbol dan verbal. Strategi pembelajaran didominasi oleh pengajar serta kurang melibatkan peserta didik. Umpan balik dan respon peserta didik kurang efektif.

(54)

Berdasarkan pada produk akhir tersebut, penelitian dan pengembangan ini juga telah menghasilkan beberapa temuan empirik, yaitu:

1. Kondisi awal pembelajaran geometri pada mahasiswa prodi pendidikan matematika FKIP Untan tergolong rendah dalam kajian kemandirian. Temuan di lapangan menunjukkan bahwa ada empat karakteristik kemandirian yang menunjukkan kelemahan, yakni (a) inisiatif belajar, (b) menganggap kesulitan sebagai tantangan, (c) menerapkan strategi belajar yang tepat, dan (d) konsep diri.

2. Rancangan model awal yang ditawarkan yakni beberapa karakteristik kemandirian belajar mahasiswa dikemas dalam pembelajaran kontekstual dengan prinsip REACT yang memuat nilai-nilai instrumental. Sedangkan nilai-nilai instrumental yang termuat dalam instrumen pembelajaran, pada model awal dianggap penyerta.

3. Proses aplikasi model pembelajaran yang ditawarkan secara bertahap terjadi perubahan berdasarkan evaluasi dan refleksi. Perubahan yang dimaksud terjadi pada intervensi dan habituasi. Pada model akhir, intervensi yang dilakukan yakni nilai-nilai instrumen dikemas dalam pelaksanaan pembelajaran kontekstual-REACT dan instrumen penelitian (silabus, RPP, lembar observasi dan angket). Sedangkan empat karakteristik kemandirian belajar mahasiswa menjadi fokus dalam penelitian.

(55)

empat karakteristik yakni: (a) inisiatif belajar, (b) menganggap kesulitan sebagai tantangan, (c) menerapkan strategi belajar yang tepat, dan (d) konsep diri.

B. Rekomendasi

1. Kondisi pembelajaran mahasiswa di dalam kelas, salah satunya dipengaruhi oleh karakter atau gaya pengajar. Untuk itu perlu ada evaluasi diri dan tindakannya agar temuan konsep diri tidak hanya bagi peserta didik tapi juga bagi pengajar.

2. Dalam merancang model awal, juga perlu diperhatikan kondisi dan iklim kampus, Ini diperlukan terkait dengan kemampuan dalam aplikasinya, maupun keberlangsungan model yang ditawarkan.

3. Mengaplikasi model agar sesuai antara rancangan dan pelaksanaan, perlu kematangan dalam rencana, pelaksanaan, evaluasi dan refleksi. Untuk itu, perlu pengamat atau kolega yang memiliki kekonsenan pada permasalahan yang sama, sehingga dapat diperoleh masukan dan perbaikan yang lebih kompleks tahap demi tahap.

(56)

234

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, S. (1999). Prinsip-Prinsip dan Vektor-Vektor Percepatan Proses Internasisasi Nilai Kewirausahaan. Disertasi. Bandung: PPs IKIP Bandung.

Alberty, HB., dan Alberty. E.J. (1965). Recognonizing the High School Curriculum. New York: The MacMillan Company.

Ali, M. & Asrori, M. (2009). Psikologi Remaja- Perkembangan Peserta Didik.

Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Allport, G.W. (1963). Pattern and Growthnin Personality. New York: Holt, Rinehart and Winston.

Arends, R. (1997). Classroom Instrucsional Management. New York: The McGraw-Hill Company.

Arifin, I. (2000). Profesionalisme Guru: Analisis Wacana Reformasi Pendidikan dalam Era Globalisasi. Simposium Nasional Pendidikan di Universitas Muhammadiyah Malang, 25-26 Juli 2001.

ATEEC Fellows. (2000). Teaching for Contextual Teaching and Learning.

(Online). Tersedia: http://www.ateec.org/curric/ctlinfo.cfm-24k (30 Maret 2006)

Ausebel, et. al. (1978). Educational Psychology, A Cognitive View (2nd ed). New York: Werbel & Peck.

Blanchard, A. (2001). Contextual Teaching and Learning. (Online). Tersedia: http://www.horizoshelpr.org/contextual/ contextual.htm-8k (17 Maret 2003)

Borg, W.R. & Gall, M.D (1989). Educational Research. New York: Longman. Borg, W.R., et.al (2003). Educational Research: An Introduction (7th ed.), New

York: Longman.

Burn, R.B. (1993). Konsep Diri, Teori, Pengukuran, Perkembangan, dan Perilaku. Surya Setyanegara (Ed.). Jakarta: Arca.

Corno, L & Randi, J. (1999). Self-Regulated Learning. http//www.personal.

psu .edu/users/h/x/hxk223/self.htm.

Creswell, J.W. (2005). Eductional Research: Planning Conducting, and Evaluating Quantitative and Qualitative Research. New Jersey: Pearson Education Inc.

(57)

Darmadi. H. (2006). Dasar Konsep Pendidikan Moral: Landasan Konsep Dasar dan Implementasi. Bandung: Alfabeta.

Ditjen Dikdasmen Depdiknas RI. (2003). Pendekatan Kontekstual / Contextual Teaching and Learning (CTL). Jakarta: Ditjen Dikdasmen Depdiknas.

Djahiri, A.K. (1985). Strategi Pengajaran Afektif Nilai Moral dan Pendidikan Nilai Moral. Bandung: Laboratorium Pengajaran PMP-KN IKIP Bandung.

Djahiri, A.K. (1995/1996). Dasar-Dasar Umum Metodelogi dan Pengajaran Nilai-Moral PVCT. Bandung: Lab Pengajaran PMP IKIP Bandung. Driyakara. (1980). Kumpulan Karangan Tentang Kebudayaan . Yogyakarta:

Yayasan Kansius.

Erman Suherman, dkk. (2001). Common Text Book: Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer-Untuk mahasiswa, Guru dan Calon Guru Bidang Studi Matematika. Bandung: JICA-UPI.

Fraenkel, J.R. (1977). How To Teach About Values: An Analitical Approach.

Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Gardner, H. (1993). Multiple Intelligences: The Theory in Practice. New York: Basic Brooks.

Ghufron, N. & Rini R.S (2010). Teori-Teori Psikologi. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media

Ginting, A. (2008). Esensi Praktis Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Humaniora.

Glasersfled, E. (1989). Cognition, Construction of Knowledge, and Teaching.

Washington D.C: National Science Foundation.

Hamalik, O. (2009). Pendekatan Baru Strategi Belajar Mengajar Berdasarkan CBSA: Menuju Profesionalitas Guru & Tenaga Pendidik. Bandung: Sinar Agung Algesindo.

Hargis, J. (http:/www.jhargis.co/). The Self-Regulated Learner Advantage: Learning Science on the Internet

Hayat, B & Yusuf, S. (2010). Benchmark International: Mutu Pendidikan.

Jakarta: PT. Bumi Aksara.

(58)

Herucahyono, C. (1988). Pendidikan Moral dalam Pendekatan. Jakarta: P2LPTK.

Huinker, D. & Laughlin, C. (1996). Talk You Way into Wrtiting. In P.C Elliot and M.J Kenney (Eds) 1996. Yearbook. Communication in Mathematics, K-12 and Beyond. USA: NCTM.

Hull’s D. & Souders, Jr.,J.C. (1996). “The Coming Chalangge: Are Community Colleges Ready for the New Wave of Contextual Learners?.

Community College Journal. 67, (2), 15-17.

Hurlock, E.B. (1979). Personality Devolopment. New York: McGraw-Hill Inc. Johnson, E.B. (2002). Contextual Teaching and Learning: What It Is and Why it

Is Here to Stay. California USA: Corwin Press. Inc.

Kemdiknas. (11 Mei 2010). Poin-poin Sambutan dan Pengarahan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pada Puncak Peringatan Hardiknas di Istana Negara. Jakarta.

Kerlin, B.A. (1992). Cognitive Engagemant Style: Self-Regulated Learning.

ERIC Digest No. 93, 1989-00-00.

Knain, E. & Turmo, A. (2000). Self-Regulatade Learning as a Cross-Curricular Competence (PISA). [Online]. Tersedia: www.pisa.no/ nordisk-pisa2000/kap.8pdf. [10 Agustus 2006]

Komalasari. K (2010). Pembelajaran Kontekstual-Konsep dan Aplikasi.

Bandung: PT. Refika Aditama.

Lincoln & Guba. (1985). Naturalistic Inqiry. Baverly Hills: Sage Publication. Mansoer, H. (1983). Fungsionalisasi Matakuliah Dasar Umum (MKDU)

dalam Kurikulum Perguruan Tinggi Indonesia. Makalah. Conceptual Intruduction. Fifth edition. New York: Addision Willey Longman, Inc.

Moleong, LJ. (1996). Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

(59)

Mulyana. R. (2004). Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: CV. Alfabeta.

Nata, A. (2009). Perspekstif Islam tentang Strategi Pembelajaran. Jakarta: Prenada Media Group.

NCTM (1989). Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. Reston. VA: NCTM.

Nur, M. .(2000). Pengajaran Berpusat kepada Siswa dan Pendekatan Konstruktivis dalam Pengajaran. Surabaya: PPs Universitas Negeri Surabaya.

OECD. (2003). The PISA 2003 Assessment Framework: Mathematics, Reading, Science and Problem Solving Knowledge and Skill. Paris: OECD.

Suparno, Paul. (1997). Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan.

Yogyakarta: Kanisius.

Phenix, P.H. (1964). Realms of Meaning. New York: Mc Grow-Hill Book Company.

Pintrich, P.R. (1999). The Role of Motivation in Promotiong and Sustraining

Self-regulated Learning. [Online]. Tersedia:

www.ece.unce.edu/succeed/journals/PDF-files/ijer-12.pdf [10 Agustus 2006]

Pribadi, S (1981). In Search of A Formulation of The General Aim of Education. Volume III. Bandung: LPPD IKIP Bandung.

Ratnaningsih, N. (2007). Pengaruh pembelajaran Konstekstual terhadap Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematik serta Kemandirian Belajar Siswa Sekolah Menengah Atas.(Disertasi). Bandung: UPI.

Reid, J.M (1993). Teaching ESL Writing, New Jersey: Prentice Hall Regents Rokeach, M. (1973). The Nature of Human Values. New York: The Free Press. Rustam, dkk. (2001). Menelusuri Penguasaan Konsep Matematika Siswa di

Kota Pontianak. Pontianak: FKIP Untan

Sanusi. A. (1998). Pendidikan Alternatif. PPS IKIP Bandung: PT Grafindo Media Pratama.

Satmoko. R.S. (1999). Landasan Kependidikan (Pengantar ke Arah Ilmu Pendidikan Pancasila). Semarang: IKIP Semarang Press.

(60)

Sauri. S. (2008). Pembelajaran Bahasa Arab Berbasis Nilai. Bandung: CV Yasindo Multi Aspek.

Schunk, D.H & Zimmerman , B.J.,(1998). Self-Regulated Learning: From Teaching to Self-Reflective Practice. New York: Guilford Press. Soewandi. (1993). Penyebab Gangguan Jiwa Mahasiswa. Yoggyakarta:Reke

Press

Sounders (1999). Contextually Based Learning: Fad or Proven Practice. (Online) Tersedia: http://www.uga.edu/fb070999.htm (16 Juni 2003). Steinberg, L. (1995). Adolescene. Sanfransisco: McGraw-Hill Inc.

Sugiyono. (2007). Memahami Penelitian Kualitatif: Dilengkapi Contoh Proposal dan Laporan Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Sukmadinata, NS. (2006). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Sumaatmadja. N. (2002). Pendidikan Pemanusian Manusia Manusiawi.

Bandung: Alfabetha.

Sumarmo, U. (2000). Pengembangan Model Pembelajaran Matematika Untuk Meningkatkan Kemampuan Intelektual Tingkat Tinggi: Peserta didik Sekolah Dasar. Laporan Penelitian FPMIPA UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.

Sumarmo, U. (2004). Kemandirian Belajar: Apa, Mengapa dan Bagaimana Dikembangkan pada Peserta Didik. Makalah pada Seminar Tingkat Nasional. FMIPA UNY Yogyakarta Tanggal 8 Juli 2004.

Sunaryo.K (1989). Strategi Belajar-Mengajar Ilmu Pengetahuan Sosial.

Malang: IKIP Malang.

Sutikno, S. (2007). Menggagas Pembelajaran Efektif dan Bermakna. Nusa Tenggara Barat: NTP Press.

Tilmann, K.J. & Weiss, M. (2000). Self-Regulatade Learning as a Cross-Curricular Competence (PISA). [Online]. Tersedia: www.pisa.no/ pdf/turmo-ioste2004.pdf. [10 Agustus 2006]

Titus, H. et al (1979). Living Issues in Philosophy. New York: D. Van Nostrand Company.

Trianto. (2009). Mendesaian Model Pembelajaran Inovatif Progresif (Konsep Landasan, dan Implikasinya dalam KTSP. Jakarta: Kencana

(61)

Undang-Undang No. 20 Tahun 2003. Sistem Pendidikan Nasional. Bandung: Citra.

Widjaya. H. (1986). Hubungan antara Asuhan Anak dan Ketergantungan- Kemandirian. (Disertasi). Bandung: Universitas Padjadjaran.

Woolfolk, A.E. (1995). Educational Psychology. Needham Heighrs: Allyn & Bacon.

Wongsri, N. et.al., (2002). The Validation of Maeasure of Self-Efficacy, Motivation and Self-Regulated Learning among Thai tertiary Students. Paper presented at the Annual Conference of the

Australian Association for Research in Education, Brisbane, Desember 2002.

Gambar

Tabel 2.1. Nilai Instrumen dan Nilai Terminal
Gambar  4.1. Relating (Pengaitan antara materi dan kehidupan sehari-hari) ...
Tabel  3.1 Tahap Penelitian, Pengumpulan Data dan Instrumen
Tabel  3.2 Hubungan Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Penyebab Kutil Kelamin Di Anus ~ Penyakit kondiloma atau sering disebut dengan kutil kelamin merupakan penyakiut menlar sexual yang tidak hanya bisa tumbuh di

Sahabat MQ/ Agenda pemberantasan korupsi sedang berada di ujung tanduk// Setidaknya/ hal itu dapat ditelisik dari berbagai kejadian/yang diindikasikan akan menghabat

Pengaruh Ekstrak Rimpang Temu Giring (Curcuma heyneana Valeton & zijp.) Terhadap Aktivitas Fagositosis pada mencit Jantan.. Medan: Fakultas Farmasi Universitas

Sehubungan dengan hasil evaluasi penawaran saudara, perihal pemasukan Kualifikasi Pengawasan Pembangunan Kantor Kesbang Linmas & Pol PP Kecamatan Nunukan, dimana

dengan indikator level number 66 yang digunakan untuk pendefinisikan suatu lokasi memori berdasarkan nama data atau struktur yang mendahuluinya, hanya dapat dilakukan dalam satu

Determining description process of score in Muhammadiyah Elementary School of Gunungpring still manually using Microsoft Excel and preparing reports with

Jumpa pers di kantor ICW.. Analisis

pembiayaan relatif kecil sehingga tidak terlalu berpengaruh pada peningkatan aset perbankan syariah.Hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis dan temuan Adi