• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL COOPERATIVE LEARNING DAN INDIVIDUAL LEARNING DALAM PENDIDIKAN JASMANI UNTUK MENGEMBANGKAN EMPATI DAN TOLERANSI : Studi Eksperimen pada Siswa SMP Bertaraf Internasional.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MODEL COOPERATIVE LEARNING DAN INDIVIDUAL LEARNING DALAM PENDIDIKAN JASMANI UNTUK MENGEMBANGKAN EMPATI DAN TOLERANSI : Studi Eksperimen pada Siswa SMP Bertaraf Internasional."

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

Sri Winarni, 2012

DAFTAR ISI

ABSTRAK... i

KATA PENGANTAR... iii

UCAPAN TERIMAKASIH ... v

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah... 19

C. Pertanyaan Penelitian ... 26

D. Tujuan Penelitian... 27

E. Manfaat Penelitian ... 28

BAB II TINJAUAN TEORI A. Karakter dan NilaiMoral... 31

B. Karakter dan Kebudayaan ... 37

C. Empati dan Toleransi...…………... 42

. 1. Pembentukan Nilai Moral Empati dan Toleransi ... 85

2. Konsep Pendidikan Karakter... 91

3. Pendidikan Karakter Dalam Budaya Jawa... 100

4. Hakekat Pendidikan Jasmani ... 106

5. Teori Perkembangan Moral Kolhberg ... 114

6. Tinjauan Teori Belajar Dalam Perilaku... 121

7. Teori Spiral Dinamik... 126

8. Pembelajaran dan Model Pembelajaran... 131

9. Cooperative Learning... 137

10. Individual Learning... 154

11. Model Dalam Pembelajaran Nilai-Nilai... 160

12.Pendidikan Jasmani dan Olaharaga Sebagai Pembentuk Karakter... 168

13.ModelSocial LearnigDalam Pengembangan Karakter dan Nilai-Nilai Olahraga... 171

14.Strategi Untuk Meningkatkan Pemngembangan Karakter Dalam Olahraga dan Pendidikan Jasmani ... 176

(2)

Sri Winarni, 2012

Experential Learning-Empati-Toleransi ... 192

BAB III PROSEDUR PENELITIAN A. Lokasi dan Subyek ... 202

B. Paradigma Penelitian ... 207

C. Desain Penelitian ... 211

D. Metode Penelitian ... 213

E. Definisi Operasional dan Variabel ... 214

F. Pengendalian Variabel ... 216

G. Instrumen Penelitian ... 218

H. Uji Coba Instrumen Penelitian ... 220

I. Teknik Analisis Data ... 225

J. Prosedur Penelitian... 231

K. Program Perlakuan... 233

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian... 246

1. Deskripsi Data Empati... 246

2. Deskripsi Data Toleransi ... 249

3. Pengujian Persyaratan Uji Hipotesis... 251

4. Uji Hipotesis ... 254

B. Diskusi Hasil Penelitian... 263

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan ... 289

B. Rekomendasi ... 293

DAFTAR PUSTAKA ... 296

LAMPIRAN-LAMPIRAN Lamp.1. SURAT KEPUTUSAN PEMBIMBING DISERTASI ... 303

Lamp.2. SURAT PENGANTAR PENELITIAN... 305

Lamp.3. SURAT BUKTI PENELITIAN... 306

Lamp.4. HASIL PENGOLAHAN DATA ... 307

(3)

Sri Winarni, 2012

DAFTAR TABEL

Tabel Hal

2.1. Tingkat dan Tahap Keputusan Moral... 123

2.2. Education And Memes ... 119

2.3. Beberapa Indikator Nilai dalam Praktek Olahraga dan Kehidupan ... 130

2.4. Program Ciri Ciri Olahragawan Sejati Olahraga Usia Dini ... ... 169

3.5. Sebaran Siswa Kelas VIII SMP N 5 Yogyakarta... 177

3.6. Sebaran Sampel Penelitian... 203

3.7. Kisi-kisi skala empati dan toleransi ... 205

3.8. TeknikPemberianSkorbutirsoal... 219

3.9. Rentang Skor Empati ... ... 220

3.10. Hasil Penghitungan Uji Validitas SkalaPsikologiEmpati&Toleransi... 222

3.11. Hasil Reliabilitas Item Empati dan Toleransi ... 225

3.12. Rangkaian Analisis Kovarian ... 227

3.13. Rangkaian Analisis Regresi... 230

3.14. Materi Program Eksperimen Cooperative Learning dalam Penjas... 232 3.15. Tahapan dan Kegiatan Pembelajaran Pengalaman Kooperatif dalam Penjas ... 236 4.16. Nilai Rata-rata Skor Empati Kelas SBI... 247

4.17. Nilai Rata-rata Skor Empati Kelas Reguler ... 248

4.18. Nilai Rata-rata Skor Toleransi Kelas SBI... 250

4.19. Nilai Rata-rata Skor Toleransi Kelas Reguler ... 250

4.20. Uji Normalitas Skor Pretes & Postes Empati Kelas Internasional... 252

4.21. Uji Normalitas Skor Pretes & Postes Empati Kelas Reguler... 253

4.22. Hasil Uji Homogenitas Empati... 254

4.23. Tabel Hasil Uji Multivariat ... 255

(4)

Sri Winarni, 2012

DAFTAR GAMBAR

Gambar Hal

1.1. Skema konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan

sosial-kultural ... 10

2.2. Konfigurasi Karakter... 35

2.3. Proses Empati 49 2.4. Kondisi Emosional, Emosi, dan Perasaan... 67

2.5. Resume Teori Emosi 71 2.6. Keterkaitan antara Komponen Moral Dalam Pembentukan Karakeryang Baik... 99

2.7. Quick Summary of Value System Codes ... 127

2.8. Komponen dan Dimensi Model Pembelajaran Untuk Pendidikan Jasmani. 136 2.9. Siklus Pembelajaran Melalui Pengalaman ... 162

2.10. Siklus Experential Learning ... 172

2.11. Model konseptual hubungan olahraga-nilai-karakter... 199

3.12. Paradigma Penelitian... 208

3.13. Desain Penelitian... 212

3.14. Rancangan Eksperimen Faktorial 2 x 2... 213

3.15. Tahapan Penelitian Eksperimen Pembelajaran Kooperatif Individual dalam Pendidikan Jasmani... 245

4.16. Grafik garis rerata empati berdasarkan jenis kelas ... 249

4.17. Grafik garis rerata toleransi berdasarkan jenis kelas ... 251

4.18. Skema Alur Pembentukan Empati dan Toleransi Melalui Nilai-nilai Aktivitas Jasmani dalam Tinjauan Pendekatan Teoritis... 264

(5)
(6)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latarbelakang Masalah

Terdapat kesenjangan yang luar biasa besar antara cita-cita ideal Bangsa

dengan kondisi real bangsa Indonesia. Cita-cita ideal tersebut ditegaskan dalam

pembukaan UUD 1945, yang kemudian dijabarkan dalam Rencana Pembangunan

Jangka Panjang (RPJP) dan dipertajam dalam UU Sisdiknas.Pendidikan Nasional

seperti yang tercantum dalam UU no. 20 Tahun 2003 berfungsi mengembangkan

kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat

dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya

peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan

Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan

menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.Dengan demikian

dapat dijelaskan bahwa praktek pendidikan di Indonesia diarahkan tidak hanya

pada upaya mencerdaskan secara intelektual, melainkan juga kepribadian dan

keterampilannya sehingga menjadi manusia yang utuh. Meminjam istilah Sofyan

Sauri (2009:3) manusia yang utuh yaitu manusia yang cerdas otaknya, lembut

hatinya dan terampil tangannya.Namun pada kenyataannya tujuan yang begitu

ideal sulit ditemui atau diwujudkan.

Tawuran antar pelajar sudah menjadi sisi lain kehidupan persekolahan yang

memiriskan, sebuah pertandingan olahraga saja bisa menjadi pemicu terjadinya

(7)

kota pelajar, penyerangan sekelompok pelajar dari berbagai sekolah SMAN dan

swasta juga MAN, SMK di Yogyakarta, terhadap satu sekolah swasta karena

terdapat oknum pelajar tersebut membakar tulisan “Allah” setelah sebelumnya

berlangsung pertandingan futsal dua sekolah di bawah yayasan yang berbeda, satu

yayasan Kristen dan satu lagi yayasan Islam. Julukan Yogyakarta sebagai kota

pelajar yang identik dengan pola perilaku intelektual akademis (unggah-ungguh,

tata krama, tentrem, sederhana, tepo sliro) menjadi patut dipertanyakan. Sering

terjadinya tawuran dan konflik antar anak sekolah merupakan disharmoni sosial

yang berpangkal pada ketidakmampuan memaknai perbedaan terutama pada

aspek budaya, bahasa, gender, etnis, dan agama. Pada level siswa disharmoni

dipicu oleh perbedaan gagasan, cara berpikir, prestasi, minat, dan bakat.

Akibatnya muncul sikap subjektif, tidak menghargai, meremehkan, memaksakan

kehendak, merasa paling benar, suka menyalahkan, egois, kecewa, dan marah

apabila pendapatnya tidak diterima.

Oknum polisi yang melakukan tabrak lari pada 2007 hingga sekarang tidak

tersentuh hukum bahkan melenggang ke jabatan yang lebih tinggi tanpa

menunjukkan rasa empati dan tanggung jawab atas semua yang diakibatkan

perilakunya, berbagai tindakan korupsi oleh pejabat tinggi yang jumlahnya

milyaran rupiah hingga pegawai rendahan yang hanya korupsi waktu kerja, atau

pimpinan-pimpinan yang melalaikan kemaslahatan rakyatnya, semua itu berakar

dari kurangnya rasa empati. Betapa sulitnya sekarang menemukan anak-anak,

remaja yang welas asih, mau memahami kesulitan dan kerepotan orang lain.

(8)

kata „maaf‟ ketika dipikirnya mungkin apa yang akan dilakukan mengganggu

orang lain, sudah jarang kita dengar. Padahal, membangun negara yang kuat

membutuhkan manusia yang cerdas, berbudi, dan terampil.

Negara Republik Indonesia sebagai negara kesatuan dengan banyak

kepulauan, yang terdiri dari berbagai macam suku, ras, agama, dan kepercayaan

berlandaskan pada Bhineka Tunggal Ika. Berdasarkan kajian sejarah, menurut

Muhammad Yamin (Ali Ma‟ruf, http://masalimaruf.blogspot.com) bahwa bangsa

Indonesia dalam merintis terbentuknya suatu bangsa dalam panggung politik

Internasional melalui suatu proses sejarahnya sendiri yang tidak sama dengan

bangsa lain. Dalam proses terbentuknya persatuan tersebut bangsa Indonesia

menginginkan suatu bangsa yang benar-benar merdeka, mandiri bebas

menentukan nasibnya sendiri tidak tergantung pada bangsa lain. Menurutnya

terwujudnya Persatuan Kebangsaan Indonesia itu berlangsung melalui tiga fase.

Pertama Zaman Kebangsaan Sriwijaya, kedua Zaman Kebangsaan Majapahit, dan

ketiga Zaman Kebangsaan Indonesia Merdeka (yang diproklamirkan pada tanggal

17 Agustus 1945). Kebangsaan Indonesia pertama dan kedua itu disebutnya

sebagai nasionalisme lama, sedangkan fase ketiga disebutnya sebagai

nasionalisme Indonesia Modern, yaitu suatu Nationale Staat atau Etat Nationale

yaitu suatu negara Kebangsaan Indonesia Modern menurut susunan kekeluargaan

yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa serta kemanusiaan.

Pernyataan di atas mencerminkan betapadiperlukannya karakter bangsa di

tengah keberagaman dalam berbagai segi kehidupan, sehingga toleransi menjadi

(9)

tetapi menjadi semangat persatuan, yang pada masa perjuangan diwujudkan

dengan adanya “sumpah pemuda”. Jika diperhatikan, Sumpah Pemuda yang

mengatakan Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa Indonesia maka ada tiga

aspek Persatuan Indonesia yaitu : (1) Aspek Satu Nusa : yaitu aspek wilayah, nusa

berarti pulau, jadi wilayah yang dilambangkan untuk disatukan adalah wilayah

pulau-pulau yang tadinya bernama Hindia Belanda yang saat itu dijajah oleh

Belanda. Ini untuk pertama kali secara tegas para pejuang kemerdekaan

meng-klaim wilayah yang akan dijadikan wilayah Indonesia merdeka, (2) Aspek Satu

Bangsa : yaitu nama baru dari suku-suku bangsa yang berada di wilayah yang

tadinya bernama Hindia Belanda yang tadinya dijajah oleh Belanda

memproklamirkan satu nama baru sebagai Bangsa Indonesia. Ini adalah awal

mula dari rasa nasionalisme sebagai kesatuan bangsa yang berada di wilayah

Sabang sampai Merauke, (3) Aspek Satu Bahasa : yaitu agar wilayah dan bangsa

baru yang terdiri dari berbagai suku dan bahasa bisa berkomunikasi dengan baik

maka dipakailah sarana bahasa Indonesia yang ditarik dari bahasa Melayu dengan

pembaharuan yang bernuansakan pergerakan kearah Indonesia yang Merdeka.

Untuk pertama kali para pejuang kemerdekaan memplokamirkan bahasa yang

akan dipakai negara Indonesia merdeka yaitu bahasa Indonesia.Persatuan

Indonesia digalang bukan tanpa ujian, seringkali terjadi konflik akan tetapi

toleransi yang tinggi dari masyarakat Indonesia yang telah merasa menjadi satu

kesatuan membuat bangsa Indonesia tetap bersatu. Namun beberapa tahun

terakhir konflik antar agama, antar suku, dan antar ras mulai sering terjadi. Hal

(10)

keberagaman. Hasil survey Lembaga Survey Indonesia terhadap toleransi sosial

masyarakat Indonesia tahun 2006 menyimpulkan:

Meski secara umum masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang cukuptoleran, namun temuan dari hasil survei ini menunjukkan bahwa hal tersebut

tak sepenuhnya benar. Kepercayaan dan toleransi antar anak bangsa yangberbeda dan tak jarang saling bersilang kepentingan masih menjadi problemfundamental. Proses sosio historis bangsa Indonesia untuk mengatasi perbedaan tersebut masih harus terus ditingkatkan, terlebih disaat negara sedang lemah dan pemimpin formal maupun informal tak lagi berwibawa.Sentimen etnis dan primordial yang cenderung negatif masih hidup dibenakmasyarakat. Dengan perbedaan dan luka akibat koflik yang pernah terjadi,masyarakat ibarat rumput kering yang mudah dibakar. Konflik Ambon, Poso adalah sebagain contohnya. Selama kebencian terus ditebar, prasangka sosial yang berbasis agama, etnis dan sosial ekonomi terus dibesar-besarkan, maka Indonesia masih jauh dari Damai.

Azra (2007:20) menjelaskan bahwa keragaman, atau kebhinekaan atau

multikulturalisme merupakan salah satu realitas utama yang dialami masyarakat

dan kebudayaan Indonesia di masa silam, lebih-lebih lagi pada masa kini dan di

waktu-waktu mendatang. Keberagaman itu hendaklah tidak diinterpretasikan

secara tunggal. Mengakui keberagaman sebagai salah satu ciri dan karakter utama

masyarakat dan negara, seperti Indonesia, tidaklah berarti ketercabutan,

relativisme kultural, disrupsi sosial atau konflik berkepanjangan pada setiap

komunitas, masyarakat/kelompok etnis dan rasial. Sebab pada saat yang sama

sesungguhnya juga terdapat simbol-simbol, nilai-nilai, struktur-struktur dan

lembaga-lembaga dalam kehidupan bersama yang mengikat berbagai

keberagaman tadi, yang disebut sebagai supra cultural.

Semua yang mengikat keragaman memiliki fokus terhadap kolaborasi,

(11)

berfungsi dalam menyelesaikan konflik yang potensial muncul dan berkembang

sewaktu-waktu. Ikatan keragaman tersebut mengarahkan pada kehidupan

bersama, saling mendukung dan menghormati satu sama lain dalam berbagai hal

menyangkut hak dan kewajiban personal maupun komunal, dan lebih jauh lagi

masyarakat nasional.

Komitmen terhadap nilai-nilai tidak dapat dipandang berkaitan hanya

dengan eksklusivisme personal dan sosial, atau dengan superioritas kultural, tetapi

lebih jauh lagi dengan kemanusiaan (humannees), komitmen dan kohesi

kemanusiaan termasuk didalamnya melalui toleransi, saling menghormati hak-hak

personal dan komunal. Azra (2007:21) juga menjelaskan multikulturalisme

demokratis dapat dipahami sebagai “kepercayaan” kepada normalitas dan

penerimaan keragaman. Maka jelaslah bahwa bagi bangsa Indonesia yang sangat

beragam, baik agama, ras, suku, bahasa, maupun etnis, sangatlah memerlukan

pemahaman empati dan toleransi yang sesungguhnya. Nilai empati dan toleransi

menjadi sebuah keniscayaan dalam kultur multi-etnis dan penuh keberagaman

bahasa ini.

Berdasarkan sejarahnya Pancasila yang selama ini menjadi pegangan

ideologi hidup bernegara dibangun atas dasar adanya keragaman masyarakat

Indonesia. Dari segi suku, agama dan kepercayaan, kelas sosial dan masih banyak

lagi. Hal ini menunjukkan pluralitas dari masyarakat kita. Begitu besar nilai yang

terkandung di dalamnya, makna mendalam Bhineka Tunggal Ika; dalam

keragaman masyarakat Indonesia, tetapi harus tetap menjadi satu integrasi yang

(12)

sekarang Pancasila masih berlaku, tetapi kenyataanya adalah tepo seliro yang

semestinya harus berkembang dengan baik ternyata mengalami deimplementasi

dan kerusakan yang sangat parah, sepertipembakaran tempat ibadah di sejumlah

tempat, perkelahian antar pelajar, antar kampung, antar suku, antar penggembira

dalam berbagai pertandingan olahraga. Peristiwa-peristiwa tersebut menunjukkan

rasa empati dan toleransi masyarakat Indonesia benar-benar telah luntur, semangat

Pancasila sudah sirna, bahkan mungkin ajaran Pancasila sudah tidak memayungi

lagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Fenomena tersebut menunjukkan bagaimana negara dan bangsa Indonesia

tengah berada pada krisis moral yang cukup memprihatinkan. Menurut Thomas

Lickona (1991) ada sepuluh tanda dari perilaku manusia yang menuju ke arah

kehancuran suatu bangsa, yaitu: meningkatnya kekerasan dikalangan remaja,

ketidakjujuran yang membudaya, semakin tingginya rasa tidak hormat kepada

orangtua, guru dan figur pemimpin, pengaruh peer group terhadap tindakan

kekerasan, meningkatnya kecurigaan dan kebencian, penggunaan bahasa yang

memburuk, penurunan etos kerja, menurunnya rasa tanggung jawab individu dan

warga negara, meningginya perilaku merusak diri, dan semakin kaburnya

pedoman moral. Krisis moral identik dengan lunturnya karakter bangsa, bangsa

Indonesia terkenal dengan keramahan, gotongroyong, tepo sliro (toleransi),

welasasih, namun kini sepertinya sudah memudar dalam berbagai dimensi

kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dari persepektif pranata sosial, institusi keluarga sebenarnya memiliki peran

(13)

Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak. Pendidikan

karakter yang berintikan pada pengetahuan, sikap, keyakinan, dan perilaku yang

baik diajarkan orangtua melalui kebiasaan, teguran, nasihat, perintah, atau

larangan. Sayangnya, peran tersebut belum dapat diimplementasikan secara

optimal, baik karena rendahnya pengetahuan dan pemahaman orangtua maupun

karena alasan ekonomi sehingga seorang ibu harus bekerja di luar rumah. Artinya,

pendidikan karakter tidak bisa semata-mata hanya diserahkan kepada insitusi

keluarga. Perlu ada institusi lain, seperti sekolah, yang ikut mengambil peran

mulia tersebut. Sebagaimana penjelasan Gubernur DIY, Dr. Sri Sultan

Hamengkubuwono X bahwa bukan hal baru untuk menyatakan karakter bangsa

Indonesia, ekstrimnya sedang berada pada titik nadir. Beliau sangat meyakini

bahwa perbaikan karakter bangsa, merupakan kunci terpenting agar bangsa yang

besar jumlah penduduknya ini bisa keluar dari krisis dan menyongsong nasibnya

yang baru. Oleh karena itu penting untuk mereaktifasi karakter luhur bangsa,

menginisiasi kembali karakter bangsa yang mampu memicu dan memobilisasi

potensi domestik,dimana internalisasi karakter itu membutuhkan inovasi dan

sikap kompetitif hingga langkah-langkah tersebut harus dimulai saat ini dan

diawali oleh setiap warga bangsa sejak dini. Pembangunan karakter itu sangat

baik dilakukan di taman kanak-kanak, sekolah-sekolah dasar serta sekolah

menengah pertama dimana karakter harus menjadi pondasi bagi kecerdasan dan

pengetahuan.

Dewasa ini, banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas

(14)

didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang seperti meningkatnya

kenakalan remaja dalam masyarakat seperti perkelahian massal dan berbagai

kasus dekadensi moral lainnya. Berdasarkan grand design yang dikembangkan

Kemendiknas (2010) secara psikologisdan sosial kultural, pembentukan karakter

dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia

(kognitif, afektif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial sepanjang

hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan

sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam olah hati (spiritual and emotional

development), olah pikir (intellectual development), olah raga dan kinestetik

(physical and kinestetic development), dan olah rasa dan karsa (affective and

creativity development) yang secara diagramatik dapat digambarkan seperti

Gambar 1.1.

Salah satu bentuk pendidikan karakter di sekolah adalah melalui pengajaran

pendidikan jasmani dan olahraga (Penjasorkes). Aktivitas jasmani dan olahraga

yang berbasis nilai, yang terbungkus dalam kegiatan olahraga permainan

misalnya, jika direncanakan dan diorganisasikan dengan cermat dapat diarahkan

(15)

OLAH PIKIR

cerdas, kritis, kreatif, inovatif, ingin tahu, berpikir terbuka, produktif, berorientasi Ipteks, dan reflektif

OLAH HATI

beriman dan bertakwa, jujur, amanah, adil, bertanggung jawab, berempati, berani mengambil resiko, pantang menyerah, rela berkorban, dan berjiwa patriotik

OLAH RAGA (KINESTETIK) bersihdan sehat, disiplin, sportif, tangguh, andal, berdaya tahan, bersahabat, kooperatif,

determinatif, kompetitif, ceria, dan gigih

OLAH RASA/KARSA

ramah, saling menghargai, toleran, peduli, suka menolong, gotong royong,

nasionalis, kosmopolit , mengutamakan kepentingan umum, bangga

menggunakan bahasa dan produk Indonesia, dinamis, kerja keras, dan beretos kerja

Gambar 1.1. Skema konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural. (Sumber Grand Desain Pendidikan Karakter 2010)

Tugas gerak dalam bentuk olahraga permainan membentuk para pemain

untuk tunduk dan patuh pada peraturan permainan yang berlaku dan jujur pada

proses dan hasil yang dicapai dalam melaksanakan permainan itu. Melalui

pembelajaran pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan (Penjasorkes)berbasis

nilai memang tidak serta merta sejumlah persoalan di atas akan terselesaikan.

Penjasorkes juga sebagai obat penawar (panasea), akan tetapi melalui

matapelajaran Penjasorkes yang mengutamakan pada transfer nilai banyak hal

yang bisa ditanamkan pada siswa. Misalnya terkait dengan nilai persamaan dan

kebersamaan, fair play, kompetisi, toleransi yang kesemuanya merupakan prasarat

dasar yang terbentuk dalam kegiatan aktivitas jasmani dan olahraga sekolah.

(16)

(1980); Annarino, Cowell, Hazelton (1980 terbagi dalam pengembangan empat

domain: domain psikomotor, domain kognitif, domain afektif, dan domain sosial,

semua mengisyaratkan bahwa pendidikan jasmani bertujuan pula membentuk

nilai-nilai perilaku positif dan nilai-nilai sosial.

United Nations (2003), melalui Inter-Agency Task Force on Sport

Development and Peace menyatakan:

Sport provides a forum to learnskills such as discipline, confidence and leadership and it teaches core principles such as tolerance, cooperation and respect. Sport teaches the value of effort and how to manage victory, as well as defeat. When these positive aspects of sport are emphasized, sport becomes a powerful vehicle through which the United Nations can work towards achieving its goals (p. v).

Pernyataan ini menekankan bahwa olahraga dapat dijadikan forum

pembelajaran keterampilan disiplin, kepercayaan diri, kepemimpinan, dan dapat

mengajarkan inti prinsip-prinsip seperti toleransi, kerjasama, dan sikap saling

menghargai. Olahraga mengajarkan nilai-nilai dari sebuah upaya dan bagaimana

mengelola kemenangan, dan juga kekalahan. Manakala aspek-aspek positif

olahraga ini diprioritaskan, olahraga dapat menjadi kendaraan yang sangat kuat

melalui kerjasama dengan organisasi PBB untuk mendapatkan tujuan-tujuan yang

diinginkan ini.

Meskipun demikian, harus juga diakui bahwa apa yang dikemukakan di atas

belum sesuai dengan yang diharapkan. Tampaknya ada kesenjangan yang cukup

terbuka antara tataran teoretik dan empirik. Sebagai contoh, Kleiber dan Robert

(1981) melakukan studi tentang pengaruh olahraga, khususnya olahraga

(17)

anak-anak yang berpartisipasi dalam kegiatan olahraga kompetitif menunjukkan

penurunan dalam perilaku prososialnya. Bredemeier & Shields (1985)

menyatakan bahwa kedewasaan penalaran moral atlet lebih rendah dibanding

dengan kedewasaan penalaran moral bukan atlet pada tingkatan usia yang sama.

Sementara itu penelitian lain membuktikan hal yang berbeda, seperti yang telah

dilakukan oleh Orlick (1981). Ia menyatakan bahwa kegiatan olahraga

memberikan dampak positip terhadap perilaku kerjasama dari individu yang

berpartisipasi di dalamnya.Pertanyaannya, apakah melalui pembelajaran

penjasorkes memungkinkan nilai-nilai karakter seperti empati, disiplin, dan

toleransi terkonstruksi dalam diri siswa?

Sekolah sebagai jalur pendidikan formal bertanggung jawab membangun

karakter bangsa, yaitu melalui pembelajaran yang dikemas dengan pendekatan

yang tepat diharapkan tujuan pendidikan nasional tercapai. Berbagai nilai-nilai

positif yang terkandung dalam olahraga dan permainan tidak serta merta tertanam

dalam diri siswa, akan tetapi perlu upaya secara sadar melalui pendekatan

pembelajaran agar nilai moral seperti empati dan toleransi dapat bermakna bagi

siswa.

Kecenderungan perubahan lain yang menarik adalah bombastisnya

keinginan tiap sekolah menjadi Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) atau

sebelumnya telah diciptakan kelas akselerasi yang menjadikan siswa-siswa yang

masuk kelas tersebut merasa dirinya paling atau lebih hebat dari siswa-siswa dari

kelas reguler.Semua itu dikarenakan pihak sekolah yang memberi perlakuan

(18)

mereka dilatih terus menerus sehingga menjadi sangat kompetitif untuk mencapai

prestasi. Menjadi kelas yang superior dengan fasilitas yang lebih baik dari kelas

reguler: Air Conditioning (AC), LCD/infokus, kursi baru. Akibatnya seiring

berjalannya waktu, siswa kelas bertaraf internasional dan akselerasi kehilangan

nilai-nilai moral yang penting seperti empati dan toleransi. Para siswa tidak

peduli melihat teman satu bangkunya tidak bisa mengerjakan tugas karena sakit,

atau belum paham. Para siswa tidak ingin berbagidengan teman yang lain.

Kecenderungan untuk menjadi yang paling cerdas dikelas telah mengalahkan

sikap welas asih dan teposliro (hasil pengamatan terhadap siswa dan beberapa

orang tua siswa di sekolah yang ada kelas Internasional, Yogyakarta Juli 2009).

Sikap seperti ini merendahkan pentingnya pendidikan nilai, terutama penanaman

karakter di sekolah.

Pendidikan karakter atau pendidikan nilai menjadi keharusan bagi sekolah

untuk mulai diterapkan. Pendidikan nilai, seperti: kejujuran, displin, saling

menghargai, cinta lingkungan, daya juang, bersyukur, empati, toleransi dan

lain-lain. Pelaksanaannya bukan merupakan tanggung jawab guru agama dan

pendidikan kewarganegaraan saja tapi tanggung jawab semua guru. Guru

mencantumkan nilai-nilai apa saja yang akan ditekankan dalam setiap materi

pengajaran. Bahkan secara implisit, kurikulum telah mencantumkan pendidikan

nilai,meskipun tanpa dicantumkan dalam kurikulum, atau sering disebut hidden

curriculum (kurikulum tersembunyi), mengisyaratkan bahwa setiap guru mestinya

mengajarkan nilai-nilai atau norma-norma yang dianggap baik dalam setiap

(19)

samping guru menekan dampak instruksional. Sebagai contoh, bagaimana guru

menekankan nilai kejujuran pada siswa, yaitu dengan cara menyebutkan secara

jujur berapa kali siswa melakukan gerakan sit up. Kejujuran dapat pula diajarkan

melalui keseharian guru harus menunjukan sikap jujur, ini penting karena guru

adalah model pembelajaran. Dalam diskusi juga ditekankan bagaimana siswa

menghargai pendapat orang lain dengan tidak terlalu awal melakukan penilaian

pada pendapat orang lain, dan yang penting lagi guru melakukan pembelajaran

reflektif, melihat kembali apa saja yang sudah dilakukan oleh siswa dan guru

bukan hanya aspek kognitif saja tetapi juga aspek afeksinya.

Pada dasarnya pendidikan nilai itu hanya dapat diwujudkan atau dijabarkan

dalam suatu kebersamaan. Oleh karena itu, untuk melakukannya hampir tidak

mungkin tanpa rasa empati dan penghargaan kepada orang lain, kepada segala

sesuatu di lingkungan alam dam lingkungan sosial, yang mengerucut pada

penghargaan kepada kehidupan. Sementara empati tak mungkin muncul tanpa

kepekaan terhadap berbagai persoalan tanpa sekat-sekat ras, etnis, agama,

golongan dan lainya.Nilai-nilai merupakan integrasi hidup seseorang yang akan

tercermin dalam pilihannya: cara berpakaian, teman-teman yang dipilih sebagai

pasangan hidup, interaksi sosial, dan bagaimana hubungan keluarga dengan

membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik, mana yang perlu dan

mana yang tidak perlu.

Mengajarkan nilai-nilai, termasuk nilai-nilai yang mendasari pembelajaran

wajib dilakukan di sekolah. Sekolah memberikan para pengajar peluang untuk

(20)

keprihatinan sosial. Nilai-nilai diajarkan secara jelas di kelas dan juga melalui

kegiatan dan hubungan antara sekolah dan masyarakat. Disekolah, nilai-nilai inti

mempengaruhi cara orang berkomunikasi, bekerja sama dan membuat keputusan.

Hal ini dicerminkan dalam kebijakan dan prosedur sekolah-sekolah.

Pendidikan Jasmani sebagai bagian-integral dari pendidikan keseluruhan

tentu memiliki tanggung jawab untuk mendorong tercapainya tujuan pendidikan

nasional. Keyakinan tersebut didukung oleh muatan tujuan pendidikan jasmani

seperti yang dinyatakan Wuest dan Bucher (1995:6) bahwaphysical education is

an education process atau pendidikan jasmani disebut sebagai bagian tak

terpisahkan dari pendidikan menyeluruh, hal itu karena pendidikan jasmani

berpengaruh terhadap perkembangan individu unik menuju pengembangan

potensi, sekaligus pembentukan manusia seutuhnya. Selanjutnya American

Association of Health Physical Education and Recreation (AAHPER) (1970;

dalam Harisson and Blackmore, 1989:25), juga menyatakan bahwa pendidikan

jasmani itu adalah integral part of total education.

Konsep pendidikan yang bersifat menyeluruh tersebut terungkap pula dalam

rumusan tujuan pendidikan jasmani yang bersifat multi-dimensi seperti digagas

oleh Hetherington (1910), perintis pendidikan jasmani di Amerika Serikat, yang

juga diakui sebagai bapak pendidikan jasmani di Amerika Serikat. Menjelang

akhir abad ke-20, dalam publikasi yang lebih mutakhir misalnya Siedentop

(1994:42) mengklasifikasi tujuan sekaligus sebagai proses pendidikan, meliputi

organic education, psychomotor education, character education, and intellectual

(21)

DEPDIKNAS (2006), konsep pendidikan yang menyeluruh pada dasarnya tidak

berubah. Pusat Kurikulum Dinas Pendidikan Nasional (2006:6) mempertegas

posisi pendidikan jasmani dalam sistem pendidikan nasional sebagai “proses

pendidikan yang memanfaatkan aktivitas jasmani yang direncanakan secara

sistematik bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan individu secara

organic, neuromuscular, perceptual, dan emotional dalam kerangka sistem

pendidikan nasional”.

Sayangnya, kondisi optimal tersebut belum terjadi dalam pembelajaran

Penjasorkes, setidaknya di Indonesia. Kuat dugaan hal ini karena faktor kualitas

guru dan model pembelajaran yang tidak memungkinkan nilai-nilai tersebut

terkonstruksi dalam kognitif siswa (Hardman, 2003b; Clifford & Feezell, 1997).

Guru yang berkualitas adalah guru yang mampu membelajarkan peserta didik

secara optimal melalui cara-cara yang kreatif dan inovatif. Kenyataannya, gaya

mengajar guru cenderung monoton, bersifat drilling, lebih menekankan pada

penguasaan keterampilan cabang olahraga (sport based), dan evaluasi belum

dilakukan secara komprehensif (Maksum, 2005). Dengan kondisi yang demikian

tentu bisa dipahami bagaimana kualitas pembelajaran yang dihasilkan.

Berdasarkan penelusuran terhadap sejumlah literatur terkait dengan

pembentukan nilai nampak bahwa belum ada kesepakatan bagaimana nilai-nilai

bisa terbentuk melalui aktivitas Olahraga. Kelompok teori internalisasi

menganggap bahwa nilai akan terbentuk dengan sendirinya seiring dengan

keterlibatan individu tersebut dalam aktivitas (lingkungan) yang sarat dengan

(22)

diinternalisasikan oleh individu ke dalam dirinya (Maksum, 2007; Shields, &

Bredemeier, 2006: Weinberg & Gould, 2003). Sementara kelompok teori

konstruktivist memiliki pandangan yang berbeda. Nilai-nilai terbentuk melalui

proses interaksi antara kecenderungan diri individu mengorganisasikan

pengalamannya ke dalam pola interpretasi yang bermakna dan pengalaman

lingkungan dalam memberikan informasi mengenai realitas sosial. Pembentukan

karakter dilihat sebagai sebuah proses reorganisasi dan transformasi struktur dasar

penalaran individu (Maksum, 2007; Shields, & Bredemeier, 2006).

Ketatalaksanaan pendidikan jasmani di sekolah seringkali bernuansakan

pada proses sosialisasi belajar teknik kecabangan olahraga, para siswa diarahkan

untuk mampu dan trampil dalam menampilkan teknik-teknik dasar kecabangan

olahraga. Kecenderungan ini menyebabkan kurang terjadinya proses pembelajaran

yang menyebabkan siswa kurang mengetahui berbagai ragam aktivitas jasmani,

mengenali manfaat beraktivitas jasmani, dan penguasaan kompetensi untuk

menampilan berbagai ragam aktivitas jasmani dalam kehidupan siswa masa kini

maupun masa depan. Sikap empati dan toleransi yang sesungguhnya sangat terkait

dengan kegiatan bergerak menjadi kurang tertanam pada diri siswa. Berbagai tema

aktivitas jasmani tidak menumbuhkan kesadaran terhadap sikap dan perilaku

empati dan toleransi.

Pendidikan jasmani dimanfaatkan sebagai bentuk sosialisasi olahraga

kepada para siswa. Pendidikan jasmani adalah pembelajaran olahraga prestasi.

Penekanan pada olahraga prestasi ini menekan kualitas pendidikan melalui

(23)

tertanam secara sengaja pada diri siswa. Pembelajaran terjadi pada upaya upaya

partisipasi dan penguasaan kemampuan berolahraga.

Berolahraga tidak menjadi media untuk saling menghormati, menghargai,

dan mengenali hak-hak setiap siswa dalam berbagai dimensi gerak. Pada diri

siswa kurang tertanam dan dibiasakan untuk toleran terhadap siswa lain. Secara

metodologis pun tidak secara sengaja menanamkan sikap empati dan toleransi

pada diri siswa. Namun demikian, melalui metodologi yang tepat, bergerak dapat

dimanfaatkan sebagai bentuk reflikasi pembelajaran empati dan toleransi.

Rusli Lutan (1997:5) berpendapat andaikan keyakinan akan tujuan

pendidikan benar-benar terwujud tentu dunia ini dipenuhi dengan manusia yang

cerdas, sehat, dan berbudi pekerti luhur, akan tetapi perlu diwaspadai bahwa

sangat banyak “sisi gelap” atau akses negatif dari kegiatan berolahraga, dan

bahkan terbuka kesempatan luas bagi guru pendidikan jasmani atau pelatih untuk

menimbulkan kerusakan secara sistematis dan bersifat kumulatif pada peserta

didik sebagai akibat semua tindakan dan perlakuannya tidak memiliki landasan

ilmiah. Hal ini mengisyaratkan betapa guru pendidikan jasmani harus secara

profesional menyelenggarakan praktek pengajaran, mulai dari perencanaan,

pelaksanaan, dan evaluasi.

Studi tentang karakter dalam hal ini empati dan toleransi menjadi penting

untuk dilakukan mengingat tujuan pendidikan jasmani di sekolah bukanlah

semata-mata pada masalah fisik, tetapi juga pada bagaimana nilai-nilai olahraga

terkonstruksi pada individu yang berpartisipasi di dalamnya (Wright & Burton,

(24)

keterkaitan dengan tingkahlaku yang ditampilkannya (Bocarro, et al., 2008; Jones,

2005; Bredemeier, et al., 1987). Penelitian ini semakin relevan untuk dilakukan

sehubungan dengan kondisi anak dan remaja kita, yang cenderung menampilkan

perilaku menyimpang sebagaimana dikemukakan di atas. Oleh karena itu, jika

pertanyaan dalam penelitian ini dapat terjawab, maka akan sangat bermanfaat bagi

pendidikan di Indonesia terutama dalam membentuk tingkahlaku peserta didik

yang konstruktif dalam hal ini empati dan toleransi. Kepentingan ini semakin

relevan manakala akhir-akhir ini sering dinyatakan bahwa moto pendidikan di

Indonesia di tahun 2011 ini adalah pendidikan berkarakter.

B. Rumusan Masalah

Proses belajar mengajar tugas gerak dalam pendidikan jasmani merupakan

bentuk interaksi antara guru dengan siswa atau antara siswa dengan siswa.

Interaksi dalam bentuk belajar mengajar ini dapat dimanfaatkan untuk

menumbuhkan nilai-nilai moral, seperti toleransi dan empati. Nilai-nilai toleransi

dan empati ini mempengaruhi karakter kepribadian siswa, bahkan pada bentuk

tertentu dapat disebut sebagai bentuk pendidikan karakter dalam pendidikan

jasmani. Sebagai contoh, ketika siswa belajar permainan olahraga bola basket,

siswa perlu memiliki sikap toleran dan jujur ketika bermain, menghargai dan

menghormati lawan bermain bukan hanya semata lawan yang harus dikalahkan,

tetapi siswa juga menghargai lawan sebagai kawan bermain. Ketika bermain pun,

(25)

menunjukkan kemahiran keterampilan gerak sehingga akan memicu karakter

pribadi yang unggul.

Guru pendidikan jasmani dapat menanamkan nilai-nilai moralempati dan

toleransi manakala proses belajar mengajar tugas gerak dirancang untuk

menanamkan nilai-nilai moral itu, didiskusikan, dan diciptakan situasi belajar

siswa yang memicu siswa untuk membuat keputusan moral yang bermakna.Guru

dapat menciptakan situasi pembelajaran yang mengundang dan mengembangkan

perilaku-perilaku moral empati dan toleransi manakala para siswa diarahkan untuk

memperlihatkan nilai moral tersebut dalam setiap tugas belajar gerak yang

tercipta. Hal ini menandakan pendidikan jasmani sangat kental dengan muatan

pendidikan karakter pada diri siswa.

Pendidikan jasmani terkait dengan sikap dan perilaku membentuk model

mental dan dipengaruhi oleh kebudayaan dan nilai budaya sebagai penentu bagi

pencapaian prestasi dan kemakmuran. Pendidikan sebagai wujud kebudayaan

membentuk pola pikir individu tentang resiko, ganjaran dan kesempatan, yang

menurut Peter Senge (Rusli Lutan, 2001) lebih cocok disebut sebagai model

mental. Model mental yang dimaksud adalah arah orientasi seseorang dalam

menanggapi makna-makna relasi diri dengan orang lain, alam, dan kehidupan

sekitarnya. Suatu gambaran atau citra yang mempengaruhi bagaimana individu

memahami kehidupan dan bagaimana individu bertindak. Secara spesifik model

mental yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah sikap empati dan toleransi

(26)

Empati, yang dimaksud dalam penelitian ini, adalah kemampuan membagi

perasaan dan memahami emosi dan perasaan orang lain. Empati sering di

golongkan sebagai kemampuan untuk “menempatkan diri sendiri kedalam bagian

diri orang lain,” empati tidak harus menunjukan perasaan iba, simpati, atau tegas

karena kemampuan ini dapat ditunjukkan dalam satu konteks iba/terharu atau

perilaku kejam. Empati memiliki hubungan dekat dengan kemampuan untuk

membaca emosi orang lain, empati ditimbulkan dari emosi dalam suatu

pengamatan sehingga menimbulkan respon seolah mengalami sendiri situasi

orang lain. Empati tergantung tidak hanya pada satu kemampuan untuk

mengidentifikasikan emosi orang lain tetapi juga pada kemampuan untuk

meletakkan dirinya di tempat orang lain dan untuk mengalami satu respon

emosional yang dialaminya. Kemampuan kognitif dan kemampuan perceptual

diperlukan untuk berkembangnya empati sehingga seorang menjadi dewasa.

Di dalam pelatihan empati, setiap anggota dari pasangan diajar untuk

berbagi perasaan dan untuk mendengarkan serta memahami perasaan mitra

sebelum mereka sampai menjawab. Teknik empati memfokuskan perhatian

pasangan terhadap perasaan dan memerlukan atau menghabiskan lebih banyak

waktu untuk mendengarkan serta lebih sedikit waktu untuk membantah.

Model mental kedua yang dilibatkan dalam penelitian iniadalah toleransi,

yaitu sikap dan perilaku yang tidak mementingkan diri sendiri, menunjukkan

kepedulian kepada orang lain, mampu saling memahami, saling menghargai dan

menghormati hak-hak orang. Sikap toleran juga diperlihatkan oleh seorang

(27)

Pandangan terhadap lawan yang bukan hanya lawan yang harus ditindak secara

kasar atau dipercundangi dengan sikap tidak jujur adalah juga bentuk sikap

toleransi yang dapat dibentuk melalui kegiatan olahraga pertandingan. Berbagai

bentuk aktivitas permainan dan atau olahraga juga membina sikap toleransi. Sikap

ini akan tumbuh ketika individu berperilaku jujur pada orang lain tetapi juga jujur

pada suara hati yang tidak pamrih. Kemurnian hati atau ketulusan hati dalam

bentuk sepi ing pamrih adalah kemampuan membebaskan diri dari penguasaan

segala macam emosi dan dorongan irrasional yang terus menerus merongrong

kesatuan tekad. Nafsu-nafsu condong untuk menguasai dan melakukan hal-hal

yang kemudian disadari merendahkan dan atau direndahkan.

Empati dan toleransi adalah juga nilai budaya yang perlu terus

dikembangkan sebagai nilai moral yang akan membentuk keberhasilan suatu

bangsa. Betapa tidak, banyak peristiwa kekerasan, kejahatan, korupsi, dan

tindakan kriminal lainnya diawali dari sikap perilaku yang tidak empati dan tidak

toleran terhadap hak-hak orang lain. Bersikap memahami perasaan orang lain

dapat mendorong terwujudnya sikap toleransi. Empati dan toleransi adalah nilai

budaya yang teramat penting dalam upaya menghindari segala bentuk kejahatan

dan perilaku negatif lainnya. Kedua model mental akan dikemas melalui

pembelajaran kooperatif dan belajar mengalami (experiential learning)

Melalui pembelajaran kooperatif dalam pendidikan jasmani dan olahraga

berbasis nilai tersedia pengalaman untuk mengembangkan nilai moral empati dan

toleransi yang dapat dicapai melalui ketergantungan positif dan interaksi dengan

(28)

orang lain, diharapkan dapat diraih nilai-nilai inti untuk mewujudkan perdamaian,

menghormati orang lain, toleransi, kerjasama, tanggung jawab,

solidaritas,disiplin, kejujuran merupakan bagian dari pembinaan watak nation and

character building. Perwujudan nilai inti dari pendidikan jasmani tersebut, tidak

akan terlepas dari peran guru dalam mengelola pembelajaran, yaitu pembelajaran

yang lebih dipusatkan pada siswa yang lebih aktif belajar dengan situasi

kebersamaan cooperative learning dan perbanyak pengalaman akan nilai empati

dan toleransi, dari pada sebaliknya berpusat pada materi dan guru lebih aktif

dengan belajar secara individual (pembelajaran individual).

Muatan kompetisi dalam kegiatan olahraga menjadi suatu situasi yang

kurang disukai anak-anak karena mereka cukup heterogen dalam kemampuan,

minat, pengalaman, dan kematangan. Dalam perkataan lain, perbedaan idividual

anak-anak tidak selaras dengan sifat untuk kompetisi. Sebagai hasilnya, kompetisi

mungkin menjadi satu pengalaman yang menghalangi belajar untuk banyak

anak-anak. Lebih dari itu, oleh karena kemenangan berhubungan dengan kompetisi,

hanya mereka yang mempunyai keuntungan atau kelebihan yang akan sukses dan

termotivasi (Brown dan Grineski,1992 dalam Grineski, 1996:9). Sejalan dengan

itu, keikutsertaan dalam suatu aktivitas kompetisi olahraga tidak menyediakan

semua peluang bagi anak-anak untuk mempraktekan, keterampilan yang penting

bagi diperolehnya pengalaman sukses. Menggunakan aktivitas-aktivitas

pendidikan jasmani kompetitif mungkin menjadi merugikan bagi siswa ketika

tujuannya adalah prestasi hasil belajar (Brown dan Grineski, 1992, Grineski,

(29)

Selama belajar tersusun dengan penuh persaingan, siswa akan saling

ketergantungan negatif satu sama lain (Deutsch, 1949; Grineski, 1996:10). Saling

ketergantungan negatif terjadi ketika satu siswa atau kelompok siswa mencapai

sasaran dihubungkan dengan siswa lain atau kelompok siswa yang tidak mencapai

tujuan mereka. Beberapa studi mendukung pembelajaran kooperatif lebih mampu

menguatkan perilaku positif dan interaksi hubungan antar orang baik yang normal

maupun yang berkebutuhan (Johnson and Johnson, 1984; Grineski, 1989). Dan

antar orang yang berbeda ras dan status sosial ekonomi (Alport, 1954; Sherif and

Sherif, 1956; Slavin, 1990; dalam Grineski, 1996:13). Dengan demikian dapat

disimpulkan pentingnya menyediakan lingkunganyang kondusif dengan

menerapkan cooperative learning dalam pembelajaran pendidikan jasmani untuk

bisa membentuk perilaku moral sosial empati dan toleransi. Pendidikan jasmani

dan olahraga merupakan media penting dalam memberikan kontribusi kepada

pengembangan karakter setiap warga negara. Pendidikan jasmani bukan hanya

dapat berkontribusi kepada pendidikan tetapi juga memberikan manfaat pada

pembentukan kepribadian siswa yang memiliki perilaku empati dan toleransi.

Melalui penelitian ini diharapkan dapat ditunjukkan proses ajar gerak yang

terbungkus dalam setiap adegan pembelajaran yang dilakukan guru pendidikan

jasmani di sekolah. Pendidikan jasmani yang dikemas menggunakan

modelcooperativediharapkan mampu memupuk perilaku empati dan toleransi

siswa. Pendidikan karakter melalui pendidikan jasmani dan olahraga ini akan

(30)

Cooperative learning dan diyakini dapat menumbuhkan kemampuan

kerjasama diantara siswa, seringnya siswa mengalami bekerjasama dengan

beberapa siswa lain akan membiasakan mereka memahami dan menghargai orang

lain sehingga empati dan toleransi dapat terbentuk. Sementara individual

learningmengembangkan sisi individu siswa, keberhasilan siswa dalam belajar

tidak tergantung pada siswa lain, dan competitive learning akan menimbulkan

suasana belajar yang penuh dengan persaingan, siswa akan saling ketergantungan

negatif satu sama lain (Deutsch, 1949; Grineski, 1996). Saling ketergantungan

negatif terjadi ketika satu siswa atau kelompok siswa mencapai sasaran

dihubungkan dengan siswa lain atau kelompok siswa yang tidak mencapai tujuan

mereka. Disinyalir selama ini pembelajaran di Indonesia juga lebih mengarah

pada pembelajaran individual dan kompetisi. Bahkan hasil penelitian survey dari

500 guru pendidikan jasmani, melaporkan bahwa lebih dari 90% dari pengalaman

pendidikan jasmani mereka adalah kompetitif. Dalam satu review dari 288 buku

teks pendidikan jasmani pada kurun waktu lima tahun, ditemukan bahwa lebih

dari 90% pengarang menuliskan materi game sebagai permainan kompetitif

(Grineski,1996:8). Nilai moral empati dan toleransi akan tumbuh dalam susasana

belajar yang menonjolkan ketergantungan positif, hal yang sama juga terjadi di

Indonesia.

Telama (Auweele, 1999:340) menyatakan meskipun belum banyak hasil

penelitian yang menunjukkan pengaruh pendidikan jasmani terhadap

perkembangan moral siswa, tetapi dapat dinyatakan dari sejumlah studi bahwa

(31)

perkembangan moral ini sangat bergantung pada gaya dan metode guru

pendidikan jasmani mengajar para siswanya. Pada bagian lain juga dinyatakan

bahwa moralitas seseorang memiliki tiga komponen, yaitu: komponen afektif,

komponen kognitif, dan komponen behavioral. Orientasi perkembangan moral

siswa dicapai melalui hubungan interaksi antara siswa dengan siswa lainnya. Inti

prosesnya adalah guru pendidikan jasmani merancang dan mengorganisir proses

ajar sehingga menumbuhkan interaksi sosial dan menambahkan keterlibatan

diskusi, negoisasi, dan pencarian konsensus. Pengetahuan tentang moral diperoleh

melalui interaksi baik secara afektif maupun kognitif.

Lebih lanjut alasan dan perilaku moral bergantung pada tingkat

perkembangan kognitif individu itu (Gould, 2003:530). Kelas internasional terdiri

dari siswa-siswa yang memiliki perkembangan kognitif di atas rata-rata, tetapi

(32)

C. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas dapat dirumuskan

pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Adakah perbedaan pengaruh modelcooperative learningdengan individual

learningdalam mengembangkan nilai moral empati pada siswa?

2. Adakah perbedaan pengaruh jenis kelas dalam mengembangkan nilai

moral empati pada siswa?

3. Adakah interaksi antara model pembelajaran dan jenis kelas dalam

mengembangkan nilai moral empati siswa?

4. Adakah perbedaan pengaruh modelcooperative learningdengan individual

learningdalam mengembangkan nilai moral toleransi pada siswa?

5. Adakah perbedaan pengaruh jenis kelas dalam mengembangkan nilai

moral toleransi pada siswa?

6. Adakah interaksi antara model pembelajaran dan jenis kelas dalam

mengembangkan nilai moral toleransi siswa?

D. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengungkapkan perbedaan pengaruh cooperative learning dengan individual

(33)

2. Mengungkapkan perbedaan pengaruh jenis kelasdalam mengembangkan nilai

moral empati pada siswa.

3. Mengungkapkan ada tidaknya interaksi antara modelcooperative

learningdanindividual learningdengan jenis kelas dalam mengembangkan nilai

moral empati pada siswa.

4. Mengungkapkan perbedaan pengaruh cooperative learning dengan individual

learning dalam mengembangkan nilai moral toleransi pada siswa.

5. Mengungkapkan perbedaan pengaruh jenis kelas dalam mengembangkan nilai

moral toleransi diantara siswa.

6. Mengungkapkan ada tidaknya interaksi antara model cooperative learning dan

individual learning dengan jenis kelas dalam mengembangkan nilai moral

toleransi.

E. Manfaat Penelitian

Secara teori penelitian ini memberikan wawasan baru dalam

pengembangan model pembelajaran pendidikan jasmani yang bertujuan

mengembangkan keterampilan motorik, sosial, koginif dan emosional.

Sedangkan secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:

1. Para penyusun kurikulum. Dengan ditemukannya ketatalaksanaan

pendidikan karakter melalui jalur matapelajaran pendidikan jasmani,

(34)

memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembang kurikulum

pendidikan jasmani. Selain sebagai salah satu bukti bahwa pendidikan

jasmani dapat berfungsi sebagai pendidikan karakter. Makna lebih lanjut

adalah bahwa pendidikan jasmani dapat dimanfaatkan untuk

pengembangan tingkat pengetahuan dan perilaku moral-sosial siswa.

2. Para guru pendidikan jasmani di jenjang pendidikan sekolah menengah

pada khususnya, dan guru pendidikan jasmani pada jenjang pendidikan

sebelum dan selanjutnya, untuk lebih memperhatikan keseluruhan aspek

pendidikan jasmani yang tidak hanya keterampilan fisik, tetapi juga aspek

karakter moral sosial secara utuh.

3. Penajaman kontribusi pendidikan jasmani bagi dunia pendidikan, yang

bukan hanya semata kontribusi pada perkembangan dan pertumbuhan

fisikal siswa, tetapi juga berkontribusi pada perkembangan karakter moral

(35)

Sri Winarni, 2012

BAB III

PROSEDUR PENELITIAN

Proses munculnya model pembelajaran kooperatif (cooperative learning)

dan model pembelajaran individual (individual learning) dalam pendidikan

jasmani kaitannya dengan kemampuan berempati dan toleransi telah melalui

prosedur pengembangan sebelumnya, untuk selanjutnya membutuhkan suatu

prosedur penelitian eksperimen yang langkah-langkahnya akan diuraikan sebagai

berikut:

A.Lokasi dan Subjek Penelitian

1.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 5

Yogyakarta (SMP N 5), hal ini didasarkan pada data sekolah yang memenuhi

syarat Sekolah Berstandar Internasional (SBI) yang berada di wilayah kota

Yogyakarta (SMP N 1, SMP N 5, SMP N 6, SMP N 8). Berdasarkan observasi

pendahuluan di sekolah yang memiliki kelas internasional memiliki

kecenderungan iklim kompetitif baik dalam proses pembelajaran, lingkungan

sekolah, maupun faktor orang tua (lingkungan keluarga). Hal ini menjadi masalah

tersendiri dalam hal empati dan toleransi siswa. SMP N 5 adalah sekolah

terfavorit di kota Yogyakarta, terletak di Jln. Wardani 1 Yogyakarta. Letaknya

cukup strategis di tengah kota Yogyakarta, berbatasan dengan wilayah kabupaten

(36)

Sri Winarni, 2012

banyak siswa baik dari Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) maupun dari luar

provinsi DIY.

1.2.Populasi dan Sampel Penelitian

Data penelitian berupa skor empati dan toleransi di lapangan, diperoleh dari

siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMP N) di Yogyakarta yang memiliki

kelas internasional. Diperoleh SMP N 1, SMP N 5, SMP N 6, SMP N 8. Dasar

pertimbangan penentuan penentuan lokasi, populasi dan sampel tersebut adalah

bahwa sekolah tersebut: (1) memiliki karakteristik siswa yang heterogen dilihat

dari latarbelakang etnis, budaya, agama, dan strata sosial lainnya, (2) kelas 8

diasumsikan telah mengenal teman-temannya dengan baik, sudah berinteraksi

dengan lingkungannya relatif lama, (3) terdapat kelas BI (berstandar

internasional), serta kelas reguler. Kemudian secara acak diambil satu sekolah,

terpilih SMP Negeri 5 Yogyakarta. Sebaran siswa kelas VIII di SMP Negeri 5

[image:36.595.109.512.210.695.2]

Yogyakarta sebagai berikut:

Tabel 3.5.

Sebaran Siswa Kelas VIII SMP N 5 Yogyakarta

Kelas VIII Laki-laki Perempuan Jumlah

Akselerasi 13 15 28

Inter 1 11 15 26

Inter 2 11 15 26

A 14 24 38

B 16 22 38

C 14 24 38

D 14 24 38

(37)

Sri Winarni, 2012

Secara purposif, sampel kelas ditentukan berdasarkan kemajemukannya

pada tingkat kecepatan belajar, dalam penelitian ini di SMP Negeri 5 Yogyakarta

memiliki dua kelas BI (Berstandar Internasional) dan satu kelas Akselerasi. Kelas

tersebut memiliki karakter belajar yang hampir sama, juga berdasarkan hasil

observasi awal kelas BI dan kelas akselerasi dianggap sebagai kelas ekslusif,

mereka sudah dibedakan dengan siswa kelas reguler. Ruang kelas yang ber AC,

jam belajar yang lebih banyak, tugas belajar yang lebih banyak, latar belakang

ekonomi orang tua termasuk mampu mereka disekolah memiliki komunitas

tersendiri (arisan) dan cenderung menganggap anaknya lebih superior dibanding

siswa kelas reguler.

Sampel ditentukan secara purposif yaitu penentuan sampel bersyarat, dalam

penelitian ini syarat yang menjadi karakteristik sampel adalah kelas heterogen

(diperoleh 7 kelas reguler) kemudian dirandom untuk menentukan kelas yang

akan dijadikan sampel penelitian, diperoleh hasil kelas VIII B dan VIII D.

Kemudian syarat berikutnya kelas homogen (terdapat tiga kelas), akan tetapi kelas

akselerasi memiliki karakteristik agak berbeda yaitu dalam kecepatan belajar

(mereka lebih cepat dan menyelesaikan SMP dengan waktu dua tahun) sehingga

ditentukan kelas BI 1 dan Kelas BI 2 sebagai sampel penelitian. Berikut ini

(38)
[image:38.595.114.517.149.615.2]

Sri Winarni, 2012

Tabel 3.6. Sebaran Sampel Penelitian

Kelas Jumlah Siswa Perlakuan

Putra Putri

VIII Inter 1 11 15 Cooperative Learning

VIII Inter 2 11 15 Individual learning

VIII D 14 24 Cooperative Learning

VIII B 16 22 Individual learning

Jumlah 62 76 138

1.3.Survey Pendahuluan

Survey pendahuluan dalam penelitian ini dilakukan di SMP Negeri 5

Yogyakarta, untuk melihat proses pembelajaran di sekolah tersebut. Terutama

proses pembelajaran pendidikan jasmani, karakteristik siswa, fasilitas dan alat

yang dimiliki. Fokus survey pendahuluan adalah pada pendekatan pembelajaran

yang dilakukan guru dalam mengajar. Perilaku siswa dalam belajar dan di luar

kelas, perilaku guru dan karyawan dalam hal empati dan toleransi. Bahkan sikap

orangtua siswa yang dapat dijumpai di sekolah. Pada akhirnya diputuskan

sekolah ini digunakan sebagai tempat penelitian.

Penelitian tentang empati sudah dilakukan peneliti pada sampel mahasiswa

semester tiga program studi PJKR dalam matakuliah aktivitas ritmik. Data

diperoleh dengan menggunakan skala psikologi pengukuran empati dari

Baron-Cohen. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 14 mahasiswa memiliki skor

empati di bawah rata-rata, 59 orang mahasiswa memiliki skor empati rata-rata, 11

orang mahasiswa memiliki skor empati diatas rata-rata, dan 6 orang mahasiswa

(39)

Sri Winarni, 2012

Berdasarkan hasil survey pendahuluan diperoleh informasi berkaitan dengan

pembelajaran pendidikan jasmani diajar oleh tiga orang guru yang masing-masing

memiliki tugas di kelas VII, VIII, dan IX. Pendekatan yang digunakan dalam

pembelajaran lebih kental dengan pembelajaran individual, akan tetapi guru yang

berlatar belakang pendidikan S2 sudah melakukan pembelajaran dengan beragam

metode termasuk ada metode inklusi dan kerja kelompok. Namun secara struktur

pembelajaran rancangan belum cukup untuk dapat mengembangkan

pengalaman-pengalaman yang menggugah empati dan toleransi.

Karakteristik siswa memiliki keberagaman dalam agama, asal daerah,

etnis(rata-rata Jawa), tetapi ditinjau dari kemampuan kognitif adalah termasuk

pada anak yang pandai karena SMP Negeri 5 Yogyakarta adalah SMP terbaik

menduduki ranking satu di Yogyakarta. Siswa-siswa cukup kritis dalam mengikuti

pembelajaran. Ketersediaan alat dan fasilitas penjasnya cukup lengkap. Memiliki

kegiatan ekstrakurikuler cukup beragam termasuk berbagai cabang olahraga. Jika

diperhatikan dengan pengamatan yang jeli, terdapat kecenderungan perilaku tidak

peduli, khususnya pada siswa-siswa kelas internasional. Mereka cenderung malas

bergerak dan banyak duduk untuk belajar serta membaca, suasana kompetitif

dalam kelas tersebut sangat terlihat. Mereka sangat takut jika tidak mampu

mengimbangi kecepatan belajar teman-temannya. Sehingga seringkali dijumpai

siswa yang ijin tidak mengikuti pelajaran penjas dengan berbagai alasan. Rasa

‘aku’ mereka sangat tinggi, aku harus menjadi yang paling. Untuk kelas reguler

(40)

Sri Winarni, 2012

Fasilitas bagi kelas internasional jelas berbeda dengan kelas reguler, mereka

mendapatkan pelayanan yang lebih dari yang lain. Sekolah hanya ingin mereka

benar-benar menjadi kelas dari anak-anak pandai. Bahkan dari pembicaraan

orangtua siswa, peneliti mendapat informasi bahwa mereka juga punya keakuan

yang tinggi dan masing-masing ingin menceritakan bahwa anaknyalah yang

terpandai. Orangtua siswa kelas internasional juga memiliki kelompok arisan.

Dari sisi fasilitas pendidikan jasmani cukup lengkap dan dengan jumlah yang

cukup memadai untuk pembelajaran yang optimal.

B. Paradigma Penelitian

Pelaksanaan pendidikan jasmani dan olahraga di sekolah selalu

mengutamakan pada ketercapaian pengembangan psikomotor berupa peningkatan

keterampilan atau teknik kecabangan olahraga, yang diharapkan akan berdampak

pada peningkatan kesehatan, kebugaran, kekuatan, kelentukan, dan bahkan

dayatahan fisikal siswa hingga pretasi siswa dalam berbagai cabang olahraga.

Meskipun pendapat di atas selalu tepat, tetapi pendidikan jasmani perlu dikaitkan

pada pengembangan selain psikomotorik, yaitu pada pengembangan domain

kognitif, afektif, dan bahkan sosial siswa. Salah satu konteks yang perlu

diorientasikan adalah konteks aktivitas jasmani terhadap pendidikan moral atau

budi pekerti, seperti nilai moral empati dan toleransi,yang diduga terkait erat

dengan kesemua domain pengembangan siswa.

Semestinya pelaksanaan pembelajaran pendidikan jasmani tidak selalu

(41)

Sri Winarni, 2012

intelektual, afektif dan sosial siswa. Aktivitas jasmani yang dipelajari siswa

memiliki nilai selain manfaat fisikal, tetapi juga makna-nilai yang terkandung dari

bentuk aktivitas jasmani yang dilakukan itu. Sebagai contoh, aktivitas permainan

sepakbola memiliki nilai kerjasama.

Mempertajam manfaat selain nilai fisikal, maka melalui penelitian ini akan

dibuktikan keuntungan nilai rancangan aktivitas jasmani yang secara

bersama-sama memberikan sumbangsih penting pada pengembangan intelektual, afektif,

dan sosial dari dua model pembelajaran yaitu: model pembelajaran kooperatif dan

model pembelajaran individual pada dua jenis kelas pendidikan jasmani, yaitu

kelas internasional dan kelas reguler dalam hal variabel empati dan toleransi siswa

melalui bantuan kajian pendidikan nilai (Gambar 3.12.).

[image:41.595.114.514.233.715.2]

.

Gambar 3.12.

Paradigma penelitian Pembelajaran

Kooperatif

Pendidikan

Kognitif

Kelas Internasional

Kelas Reguler Pendidikan Jasmani

Aktivitas Jasmani Berbasis Nilai

Afektif

Sosial

Pembelajaran Individual

Empati Toleransi

Thinking Feeling Behaving

(42)

Sri Winarni, 2012

Toleransi sebagai wujud dari sikap respek, penerimaan, apresiasi dan

respon terhadap begitu banyaknya perbedaan dalam hal budaya, bentuk ekspresi

seseorang, kemampuan intelektual dan merupakan jalan atau cara menjadi

manusia. Hal itu meliputi pengetahuan, keterbukaan, komunikasi, dan kebebasan

berpikir, suara hati/hati nurani dan kepercayaan bisa dipengruhi ketika siswa

sedang belajar tugas gerak dalam pendidikan jasmani.

Perilaku toleransi memerlukan kemampuan seseorang dalam membangun

hubungan komunikasi yang konstruktif dan tugas belajar gerak dalam pendidikan

jasmani menyediakan wahana interaksi baik antara siswa dengan siswa atau siswa

dengan guru dalam hubungan bangunan interaksi komunikatif. Menurut Carl

Rogers diperlukan tiga kualitas utama, yaitu keikhlasan, cinta tanpa ingin

memiliki, dan empati. Empati dapat dimaknai menyelami perasaan orang lain,

akan tetapi masih tetap menjaga beberapa keterpisahan. Empati terdiri atas

perpaduan tiga komponen. Pertama ialah pemahaman terhadap orang lain dengan

sensitif dan tepat, namun tetap menjaga keterpisahan dari orang lain tersebut.

Kedua ialah pemahaman keadaan yang membantu atau mencetuskan perasaan

tersebut. Ketiga cara berkomunikasi dengan orang lain yang membuat orang lain

merasa diterima atau dipahami.

Empati dapat pula dihadirkan dan dipengaruhi ketika siswa sedang belajar

tugas gerak. Manakala siswa menjalin interaksi sosial karena perlunya kerjasama

(43)

Sri Winarni, 2012

keterampilannya saja yang diutamakan, tetapi juga nilai dibalik permainan

sepakbola yang diwujudkan siswa.

Memperhatikan bagaimana empati dan toleransi dapat ditingkatkan melalui

rancangan tugas belajar gerak, perlu ada pemilihan model pembelajaran yang

sistematis dan dirancang dengan tepat sesuai dengan sasaran pengembangan

kompetensi baik aspek kognitif, psikomotor, maupun afektif (nilai, moral, atau

sikap) secara bersama-sama. Hal ini perlu dilakukan oleh guru pendidikan jasmani

agar pendidikan jasmani sungguh-sungguh nyata memberikan kontribusi penting

bagi pendidikan.

Pendidikan jasmani diyakini dapat meningkatkan karakter positif dengan

mengajarkan aktivitas jasmani seperti permainan dan game, akan tetapi hasil

pengamatan sementara juga menyebutkan begitu banyak guru pendidikan jasmani

yang mengutamakan aktivitas jasmani yang kompetitif. Struktur pembelajaran

aktivitas jasmani ada tiga bentuk: secara individual, kompetitif, dan kelompok.

Dugaan sementara menunjukkan pembelajaran pendidikan jasmani yang dikemas

secara kooperatif memiliki dampak lebih baik dalam meningkatkan semua aspek

kompetensi baik kognitif, psikomotor maupun afektif. Cooperative learning yang

mensyaratkan ketergantungan positif, interaksi tatap muka, tanggung jawab

individu dan kelompok, keterampilan hubungan antar pribadi dan kelompok,

pemrosesan kelompok, diduga sangat memungkinkan berkembangnya nilai moral

(44)

Sri Winarni, 2012

langsung untuk menemukan dan mengimplementasikan konsep pengetahuan

maupun perilaku empati dan toleransi (experiential).

Empati dan toleransi akan tumbuh dengan subur dalam lingkungan yang

heterogen, maka tren kelas bertaraf internasional yang masih bernuansa kelas

internasional menjadi kekhawatiran tersendiri bagi sejumlah pengamat

pendidikan. Sifat kompetitif yang didengungkan di kelas bertaraf internasional

sangat rentan pada tindakan tidak empati dan intoleransi sebagai akibat kuatnya

keinginan menjadi yang terpandai di kelas. Sebagai pembandingnya, maka kelas

reguler dengan keberagaman kemampuan akademik menjadi pilihan yang tepat

dalam mengembangkan empati dan toleransi.

Interaksi antara model pembelajaran baik cooperative learning maupun

individual learning dalam pendidikan jasmani dengan kemampuan berempati dan

toleransi, memerlukan pengalaman langsung (experiential learning). Penelitian

eksperimen ini mengacu pada kerangka berpikir bahwa pembelajaran pendidikan

jasmani menyediakan pengalaman langsung tentang nilai-nilai positif, yang

hanya akan terserap secara bermakna jika pembelajaran tersebut dikemas secara

tepat sesuai dengan nilai-nilai mana yang akan ditanamkan. Cooperative

learningmengemas pendidikan jasmani menjadi proses yang kental dengan

kerjasama dalam kelompok-kelompok kecil, interaksi individu/siswa selalu terjadi

dalam setiap adegan pembelajaran, mulai dari persiapan hingga penilaian.

Interaksi antar siswa memungkinkan tumbuh suburnya nilai moral empati dan

(45)

Sri Winarni, 2012

C.Desain Penelitian

Penelitian ini dirancang untuk mengembangkan nilai moral empati dan

toleransi pada dua kelas yang berbeda yaitu kelas berstandar Internasional dan

kelas reguler, dengan dua model yang berbeda yaitu model cooperative learning

dan model individual learning. Sampel dalam penelitian ini baik untuk kelompok

eksperimen maupun kelompok kontrol tidak dipilih secara random, sehingga

desain penelitian seperti ini disebut non-equivalent comparative pretest

posttestcontrol group design (Sugiyono, 2011: 79), dapat digambarkan sebagai

berikut:

O1 X1a O1’

O2 X1b O2’

O3 X2a O3’

[image:45.595.113.514.240.635.2]

O4 X2b O4’

Gambar 3.13. Desain Penelitian

Keterangan:

Gambar

Tabel
Gambar Hal
Gambar 1.1.
Gambar 1.1. Skema konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses
+7

Referensi

Dokumen terkait

Between the internal auditors and the audit committee must be established appropriate communication processes are well stated by Cohen, et.al (2007) the process

Deskripsi data untuk mengetahui nilai kuantitatif intensitas supervisi akademik kepala sekolah dilakukan dengan cara menggunakan total jawaban angket sebanyak 22

Agar pembahasan dalam penulisan skripsi ini tidak menyimpang dari permasalahan pokok yang akan dibahas, maka penulis membatasi pembahasan skripsi ini yaitu

Untuk mempersiapkan perang besar melawan Belanda, Sultan Hasanuddin harus menundukkan kerajaan yang sudah berhasil dibujuk oleh Belanda.. Buton harus ditaklukkan lebih

Target luaran pengabdian adalah meningkatnya jumlah petani di desa Nanggeleng yang menerapkan metode pertanian organik dan terbentuk jaringan antar kelompok petani

Perlu penelitian lebih lanjut dengan menggunakan berbagai dosis kotoran sapi dengan taraf pupuk nitrogen yang paling efektif yaitu 200 kg N/ha, sehingga dapat

Struktur asal unsur kejadian Manusia Struktur asal unsur kejadian Manusia Organisme Fisik/Biologis Jiwa/Psyche Akalbudi Roh Adam Bani Adam Fenomenon (Bisa diketahui)

Karena selama ini dapat kita lihat, bahwa di pulau jawa sendiri, bahan bakar batu bara yang digunakan untuk membangkitkan energi listrik masih tergantung pada daerah lain yang