Sri Winarni, 2012
DAFTAR ISI
ABSTRAK... i
KATA PENGANTAR... iii
UCAPAN TERIMAKASIH ... v
DAFTAR ISI... vii
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Rumusan Masalah... 19
C. Pertanyaan Penelitian ... 26
D. Tujuan Penelitian... 27
E. Manfaat Penelitian ... 28
BAB II TINJAUAN TEORI A. Karakter dan NilaiMoral... 31
B. Karakter dan Kebudayaan ... 37
C. Empati dan Toleransi...…………... 42
. 1. Pembentukan Nilai Moral Empati dan Toleransi ... 85
2. Konsep Pendidikan Karakter... 91
3. Pendidikan Karakter Dalam Budaya Jawa... 100
4. Hakekat Pendidikan Jasmani ... 106
5. Teori Perkembangan Moral Kolhberg ... 114
6. Tinjauan Teori Belajar Dalam Perilaku... 121
7. Teori Spiral Dinamik... 126
8. Pembelajaran dan Model Pembelajaran... 131
9. Cooperative Learning... 137
10. Individual Learning... 154
11. Model Dalam Pembelajaran Nilai-Nilai... 160
12.Pendidikan Jasmani dan Olaharaga Sebagai Pembentuk Karakter... 168
13.ModelSocial LearnigDalam Pengembangan Karakter dan Nilai-Nilai Olahraga... 171
14.Strategi Untuk Meningkatkan Pemngembangan Karakter Dalam Olahraga dan Pendidikan Jasmani ... 176
Sri Winarni, 2012
Experential Learning-Empati-Toleransi ... 192
BAB III PROSEDUR PENELITIAN A. Lokasi dan Subyek ... 202
B. Paradigma Penelitian ... 207
C. Desain Penelitian ... 211
D. Metode Penelitian ... 213
E. Definisi Operasional dan Variabel ... 214
F. Pengendalian Variabel ... 216
G. Instrumen Penelitian ... 218
H. Uji Coba Instrumen Penelitian ... 220
I. Teknik Analisis Data ... 225
J. Prosedur Penelitian... 231
K. Program Perlakuan... 233
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian... 246
1. Deskripsi Data Empati... 246
2. Deskripsi Data Toleransi ... 249
3. Pengujian Persyaratan Uji Hipotesis... 251
4. Uji Hipotesis ... 254
B. Diskusi Hasil Penelitian... 263
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan ... 289
B. Rekomendasi ... 293
DAFTAR PUSTAKA ... 296
LAMPIRAN-LAMPIRAN Lamp.1. SURAT KEPUTUSAN PEMBIMBING DISERTASI ... 303
Lamp.2. SURAT PENGANTAR PENELITIAN... 305
Lamp.3. SURAT BUKTI PENELITIAN... 306
Lamp.4. HASIL PENGOLAHAN DATA ... 307
Sri Winarni, 2012
DAFTAR TABEL
Tabel Hal
2.1. Tingkat dan Tahap Keputusan Moral... 123
2.2. Education And Memes ... 119
2.3. Beberapa Indikator Nilai dalam Praktek Olahraga dan Kehidupan ... 130
2.4. Program Ciri Ciri Olahragawan Sejati Olahraga Usia Dini ... ... 169
3.5. Sebaran Siswa Kelas VIII SMP N 5 Yogyakarta... 177
3.6. Sebaran Sampel Penelitian... 203
3.7. Kisi-kisi skala empati dan toleransi ... 205
3.8. TeknikPemberianSkorbutirsoal... 219
3.9. Rentang Skor Empati ... ... 220
3.10. Hasil Penghitungan Uji Validitas SkalaPsikologiEmpati&Toleransi... 222
3.11. Hasil Reliabilitas Item Empati dan Toleransi ... 225
3.12. Rangkaian Analisis Kovarian ... 227
3.13. Rangkaian Analisis Regresi... 230
3.14. Materi Program Eksperimen Cooperative Learning dalam Penjas... 232 3.15. Tahapan dan Kegiatan Pembelajaran Pengalaman Kooperatif dalam Penjas ... 236 4.16. Nilai Rata-rata Skor Empati Kelas SBI... 247
4.17. Nilai Rata-rata Skor Empati Kelas Reguler ... 248
4.18. Nilai Rata-rata Skor Toleransi Kelas SBI... 250
4.19. Nilai Rata-rata Skor Toleransi Kelas Reguler ... 250
4.20. Uji Normalitas Skor Pretes & Postes Empati Kelas Internasional... 252
4.21. Uji Normalitas Skor Pretes & Postes Empati Kelas Reguler... 253
4.22. Hasil Uji Homogenitas Empati... 254
4.23. Tabel Hasil Uji Multivariat ... 255
Sri Winarni, 2012
DAFTAR GAMBAR
Gambar Hal
1.1. Skema konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan
sosial-kultural ... 10
2.2. Konfigurasi Karakter... 35
2.3. Proses Empati 49 2.4. Kondisi Emosional, Emosi, dan Perasaan... 67
2.5. Resume Teori Emosi 71 2.6. Keterkaitan antara Komponen Moral Dalam Pembentukan Karakeryang Baik... 99
2.7. Quick Summary of Value System Codes ... 127
2.8. Komponen dan Dimensi Model Pembelajaran Untuk Pendidikan Jasmani. 136 2.9. Siklus Pembelajaran Melalui Pengalaman ... 162
2.10. Siklus Experential Learning ... 172
2.11. Model konseptual hubungan olahraga-nilai-karakter... 199
3.12. Paradigma Penelitian... 208
3.13. Desain Penelitian... 212
3.14. Rancangan Eksperimen Faktorial 2 x 2... 213
3.15. Tahapan Penelitian Eksperimen Pembelajaran Kooperatif Individual dalam Pendidikan Jasmani... 245
4.16. Grafik garis rerata empati berdasarkan jenis kelas ... 249
4.17. Grafik garis rerata toleransi berdasarkan jenis kelas ... 251
4.18. Skema Alur Pembentukan Empati dan Toleransi Melalui Nilai-nilai Aktivitas Jasmani dalam Tinjauan Pendekatan Teoritis... 264
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latarbelakang Masalah
Terdapat kesenjangan yang luar biasa besar antara cita-cita ideal Bangsa
dengan kondisi real bangsa Indonesia. Cita-cita ideal tersebut ditegaskan dalam
pembukaan UUD 1945, yang kemudian dijabarkan dalam Rencana Pembangunan
Jangka Panjang (RPJP) dan dipertajam dalam UU Sisdiknas.Pendidikan Nasional
seperti yang tercantum dalam UU no. 20 Tahun 2003 berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.Dengan demikian
dapat dijelaskan bahwa praktek pendidikan di Indonesia diarahkan tidak hanya
pada upaya mencerdaskan secara intelektual, melainkan juga kepribadian dan
keterampilannya sehingga menjadi manusia yang utuh. Meminjam istilah Sofyan
Sauri (2009:3) manusia yang utuh yaitu manusia yang cerdas otaknya, lembut
hatinya dan terampil tangannya.Namun pada kenyataannya tujuan yang begitu
ideal sulit ditemui atau diwujudkan.
Tawuran antar pelajar sudah menjadi sisi lain kehidupan persekolahan yang
memiriskan, sebuah pertandingan olahraga saja bisa menjadi pemicu terjadinya
kota pelajar, penyerangan sekelompok pelajar dari berbagai sekolah SMAN dan
swasta juga MAN, SMK di Yogyakarta, terhadap satu sekolah swasta karena
terdapat oknum pelajar tersebut membakar tulisan “Allah” setelah sebelumnya
berlangsung pertandingan futsal dua sekolah di bawah yayasan yang berbeda, satu
yayasan Kristen dan satu lagi yayasan Islam. Julukan Yogyakarta sebagai kota
pelajar yang identik dengan pola perilaku intelektual akademis (unggah-ungguh,
tata krama, tentrem, sederhana, tepo sliro) menjadi patut dipertanyakan. Sering
terjadinya tawuran dan konflik antar anak sekolah merupakan disharmoni sosial
yang berpangkal pada ketidakmampuan memaknai perbedaan terutama pada
aspek budaya, bahasa, gender, etnis, dan agama. Pada level siswa disharmoni
dipicu oleh perbedaan gagasan, cara berpikir, prestasi, minat, dan bakat.
Akibatnya muncul sikap subjektif, tidak menghargai, meremehkan, memaksakan
kehendak, merasa paling benar, suka menyalahkan, egois, kecewa, dan marah
apabila pendapatnya tidak diterima.
Oknum polisi yang melakukan tabrak lari pada 2007 hingga sekarang tidak
tersentuh hukum bahkan melenggang ke jabatan yang lebih tinggi tanpa
menunjukkan rasa empati dan tanggung jawab atas semua yang diakibatkan
perilakunya, berbagai tindakan korupsi oleh pejabat tinggi yang jumlahnya
milyaran rupiah hingga pegawai rendahan yang hanya korupsi waktu kerja, atau
pimpinan-pimpinan yang melalaikan kemaslahatan rakyatnya, semua itu berakar
dari kurangnya rasa empati. Betapa sulitnya sekarang menemukan anak-anak,
remaja yang welas asih, mau memahami kesulitan dan kerepotan orang lain.
kata „maaf‟ ketika dipikirnya mungkin apa yang akan dilakukan mengganggu
orang lain, sudah jarang kita dengar. Padahal, membangun negara yang kuat
membutuhkan manusia yang cerdas, berbudi, dan terampil.
Negara Republik Indonesia sebagai negara kesatuan dengan banyak
kepulauan, yang terdiri dari berbagai macam suku, ras, agama, dan kepercayaan
berlandaskan pada Bhineka Tunggal Ika. Berdasarkan kajian sejarah, menurut
Muhammad Yamin (Ali Ma‟ruf, http://masalimaruf.blogspot.com) bahwa bangsa
Indonesia dalam merintis terbentuknya suatu bangsa dalam panggung politik
Internasional melalui suatu proses sejarahnya sendiri yang tidak sama dengan
bangsa lain. Dalam proses terbentuknya persatuan tersebut bangsa Indonesia
menginginkan suatu bangsa yang benar-benar merdeka, mandiri bebas
menentukan nasibnya sendiri tidak tergantung pada bangsa lain. Menurutnya
terwujudnya Persatuan Kebangsaan Indonesia itu berlangsung melalui tiga fase.
Pertama Zaman Kebangsaan Sriwijaya, kedua Zaman Kebangsaan Majapahit, dan
ketiga Zaman Kebangsaan Indonesia Merdeka (yang diproklamirkan pada tanggal
17 Agustus 1945). Kebangsaan Indonesia pertama dan kedua itu disebutnya
sebagai nasionalisme lama, sedangkan fase ketiga disebutnya sebagai
nasionalisme Indonesia Modern, yaitu suatu Nationale Staat atau Etat Nationale
yaitu suatu negara Kebangsaan Indonesia Modern menurut susunan kekeluargaan
yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa serta kemanusiaan.
Pernyataan di atas mencerminkan betapadiperlukannya karakter bangsa di
tengah keberagaman dalam berbagai segi kehidupan, sehingga toleransi menjadi
tetapi menjadi semangat persatuan, yang pada masa perjuangan diwujudkan
dengan adanya “sumpah pemuda”. Jika diperhatikan, Sumpah Pemuda yang
mengatakan Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa Indonesia maka ada tiga
aspek Persatuan Indonesia yaitu : (1) Aspek Satu Nusa : yaitu aspek wilayah, nusa
berarti pulau, jadi wilayah yang dilambangkan untuk disatukan adalah wilayah
pulau-pulau yang tadinya bernama Hindia Belanda yang saat itu dijajah oleh
Belanda. Ini untuk pertama kali secara tegas para pejuang kemerdekaan
meng-klaim wilayah yang akan dijadikan wilayah Indonesia merdeka, (2) Aspek Satu
Bangsa : yaitu nama baru dari suku-suku bangsa yang berada di wilayah yang
tadinya bernama Hindia Belanda yang tadinya dijajah oleh Belanda
memproklamirkan satu nama baru sebagai Bangsa Indonesia. Ini adalah awal
mula dari rasa nasionalisme sebagai kesatuan bangsa yang berada di wilayah
Sabang sampai Merauke, (3) Aspek Satu Bahasa : yaitu agar wilayah dan bangsa
baru yang terdiri dari berbagai suku dan bahasa bisa berkomunikasi dengan baik
maka dipakailah sarana bahasa Indonesia yang ditarik dari bahasa Melayu dengan
pembaharuan yang bernuansakan pergerakan kearah Indonesia yang Merdeka.
Untuk pertama kali para pejuang kemerdekaan memplokamirkan bahasa yang
akan dipakai negara Indonesia merdeka yaitu bahasa Indonesia.Persatuan
Indonesia digalang bukan tanpa ujian, seringkali terjadi konflik akan tetapi
toleransi yang tinggi dari masyarakat Indonesia yang telah merasa menjadi satu
kesatuan membuat bangsa Indonesia tetap bersatu. Namun beberapa tahun
terakhir konflik antar agama, antar suku, dan antar ras mulai sering terjadi. Hal
keberagaman. Hasil survey Lembaga Survey Indonesia terhadap toleransi sosial
masyarakat Indonesia tahun 2006 menyimpulkan:
Meski secara umum masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang cukuptoleran, namun temuan dari hasil survei ini menunjukkan bahwa hal tersebut
tak sepenuhnya benar. Kepercayaan dan toleransi antar anak bangsa yangberbeda dan tak jarang saling bersilang kepentingan masih menjadi problemfundamental. Proses sosio historis bangsa Indonesia untuk mengatasi perbedaan tersebut masih harus terus ditingkatkan, terlebih disaat negara sedang lemah dan pemimpin formal maupun informal tak lagi berwibawa.Sentimen etnis dan primordial yang cenderung negatif masih hidup dibenakmasyarakat. Dengan perbedaan dan luka akibat koflik yang pernah terjadi,masyarakat ibarat rumput kering yang mudah dibakar. Konflik Ambon, Poso adalah sebagain contohnya. Selama kebencian terus ditebar, prasangka sosial yang berbasis agama, etnis dan sosial ekonomi terus dibesar-besarkan, maka Indonesia masih jauh dari Damai.
Azra (2007:20) menjelaskan bahwa keragaman, atau kebhinekaan atau
multikulturalisme merupakan salah satu realitas utama yang dialami masyarakat
dan kebudayaan Indonesia di masa silam, lebih-lebih lagi pada masa kini dan di
waktu-waktu mendatang. Keberagaman itu hendaklah tidak diinterpretasikan
secara tunggal. Mengakui keberagaman sebagai salah satu ciri dan karakter utama
masyarakat dan negara, seperti Indonesia, tidaklah berarti ketercabutan,
relativisme kultural, disrupsi sosial atau konflik berkepanjangan pada setiap
komunitas, masyarakat/kelompok etnis dan rasial. Sebab pada saat yang sama
sesungguhnya juga terdapat simbol-simbol, nilai-nilai, struktur-struktur dan
lembaga-lembaga dalam kehidupan bersama yang mengikat berbagai
keberagaman tadi, yang disebut sebagai supra cultural.
Semua yang mengikat keragaman memiliki fokus terhadap kolaborasi,
berfungsi dalam menyelesaikan konflik yang potensial muncul dan berkembang
sewaktu-waktu. Ikatan keragaman tersebut mengarahkan pada kehidupan
bersama, saling mendukung dan menghormati satu sama lain dalam berbagai hal
menyangkut hak dan kewajiban personal maupun komunal, dan lebih jauh lagi
masyarakat nasional.
Komitmen terhadap nilai-nilai tidak dapat dipandang berkaitan hanya
dengan eksklusivisme personal dan sosial, atau dengan superioritas kultural, tetapi
lebih jauh lagi dengan kemanusiaan (humannees), komitmen dan kohesi
kemanusiaan termasuk didalamnya melalui toleransi, saling menghormati hak-hak
personal dan komunal. Azra (2007:21) juga menjelaskan multikulturalisme
demokratis dapat dipahami sebagai “kepercayaan” kepada normalitas dan
penerimaan keragaman. Maka jelaslah bahwa bagi bangsa Indonesia yang sangat
beragam, baik agama, ras, suku, bahasa, maupun etnis, sangatlah memerlukan
pemahaman empati dan toleransi yang sesungguhnya. Nilai empati dan toleransi
menjadi sebuah keniscayaan dalam kultur multi-etnis dan penuh keberagaman
bahasa ini.
Berdasarkan sejarahnya Pancasila yang selama ini menjadi pegangan
ideologi hidup bernegara dibangun atas dasar adanya keragaman masyarakat
Indonesia. Dari segi suku, agama dan kepercayaan, kelas sosial dan masih banyak
lagi. Hal ini menunjukkan pluralitas dari masyarakat kita. Begitu besar nilai yang
terkandung di dalamnya, makna mendalam Bhineka Tunggal Ika; dalam
keragaman masyarakat Indonesia, tetapi harus tetap menjadi satu integrasi yang
sekarang Pancasila masih berlaku, tetapi kenyataanya adalah tepo seliro yang
semestinya harus berkembang dengan baik ternyata mengalami deimplementasi
dan kerusakan yang sangat parah, sepertipembakaran tempat ibadah di sejumlah
tempat, perkelahian antar pelajar, antar kampung, antar suku, antar penggembira
dalam berbagai pertandingan olahraga. Peristiwa-peristiwa tersebut menunjukkan
rasa empati dan toleransi masyarakat Indonesia benar-benar telah luntur, semangat
Pancasila sudah sirna, bahkan mungkin ajaran Pancasila sudah tidak memayungi
lagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Fenomena tersebut menunjukkan bagaimana negara dan bangsa Indonesia
tengah berada pada krisis moral yang cukup memprihatinkan. Menurut Thomas
Lickona (1991) ada sepuluh tanda dari perilaku manusia yang menuju ke arah
kehancuran suatu bangsa, yaitu: meningkatnya kekerasan dikalangan remaja,
ketidakjujuran yang membudaya, semakin tingginya rasa tidak hormat kepada
orangtua, guru dan figur pemimpin, pengaruh peer group terhadap tindakan
kekerasan, meningkatnya kecurigaan dan kebencian, penggunaan bahasa yang
memburuk, penurunan etos kerja, menurunnya rasa tanggung jawab individu dan
warga negara, meningginya perilaku merusak diri, dan semakin kaburnya
pedoman moral. Krisis moral identik dengan lunturnya karakter bangsa, bangsa
Indonesia terkenal dengan keramahan, gotongroyong, tepo sliro (toleransi),
welasasih, namun kini sepertinya sudah memudar dalam berbagai dimensi
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dari persepektif pranata sosial, institusi keluarga sebenarnya memiliki peran
Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak. Pendidikan
karakter yang berintikan pada pengetahuan, sikap, keyakinan, dan perilaku yang
baik diajarkan orangtua melalui kebiasaan, teguran, nasihat, perintah, atau
larangan. Sayangnya, peran tersebut belum dapat diimplementasikan secara
optimal, baik karena rendahnya pengetahuan dan pemahaman orangtua maupun
karena alasan ekonomi sehingga seorang ibu harus bekerja di luar rumah. Artinya,
pendidikan karakter tidak bisa semata-mata hanya diserahkan kepada insitusi
keluarga. Perlu ada institusi lain, seperti sekolah, yang ikut mengambil peran
mulia tersebut. Sebagaimana penjelasan Gubernur DIY, Dr. Sri Sultan
Hamengkubuwono X bahwa bukan hal baru untuk menyatakan karakter bangsa
Indonesia, ekstrimnya sedang berada pada titik nadir. Beliau sangat meyakini
bahwa perbaikan karakter bangsa, merupakan kunci terpenting agar bangsa yang
besar jumlah penduduknya ini bisa keluar dari krisis dan menyongsong nasibnya
yang baru. Oleh karena itu penting untuk mereaktifasi karakter luhur bangsa,
menginisiasi kembali karakter bangsa yang mampu memicu dan memobilisasi
potensi domestik,dimana internalisasi karakter itu membutuhkan inovasi dan
sikap kompetitif hingga langkah-langkah tersebut harus dimulai saat ini dan
diawali oleh setiap warga bangsa sejak dini. Pembangunan karakter itu sangat
baik dilakukan di taman kanak-kanak, sekolah-sekolah dasar serta sekolah
menengah pertama dimana karakter harus menjadi pondasi bagi kecerdasan dan
pengetahuan.
Dewasa ini, banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas
didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang seperti meningkatnya
kenakalan remaja dalam masyarakat seperti perkelahian massal dan berbagai
kasus dekadensi moral lainnya. Berdasarkan grand design yang dikembangkan
Kemendiknas (2010) secara psikologisdan sosial kultural, pembentukan karakter
dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia
(kognitif, afektif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial sepanjang
hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan
sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam olah hati (spiritual and emotional
development), olah pikir (intellectual development), olah raga dan kinestetik
(physical and kinestetic development), dan olah rasa dan karsa (affective and
creativity development) yang secara diagramatik dapat digambarkan seperti
Gambar 1.1.
Salah satu bentuk pendidikan karakter di sekolah adalah melalui pengajaran
pendidikan jasmani dan olahraga (Penjasorkes). Aktivitas jasmani dan olahraga
yang berbasis nilai, yang terbungkus dalam kegiatan olahraga permainan
misalnya, jika direncanakan dan diorganisasikan dengan cermat dapat diarahkan
OLAH PIKIR
cerdas, kritis, kreatif, inovatif, ingin tahu, berpikir terbuka, produktif, berorientasi Ipteks, dan reflektif
OLAH HATI
beriman dan bertakwa, jujur, amanah, adil, bertanggung jawab, berempati, berani mengambil resiko, pantang menyerah, rela berkorban, dan berjiwa patriotik
OLAH RAGA (KINESTETIK) bersihdan sehat, disiplin, sportif, tangguh, andal, berdaya tahan, bersahabat, kooperatif,
determinatif, kompetitif, ceria, dan gigih
OLAH RASA/KARSA
ramah, saling menghargai, toleran, peduli, suka menolong, gotong royong,
nasionalis, kosmopolit , mengutamakan kepentingan umum, bangga
menggunakan bahasa dan produk Indonesia, dinamis, kerja keras, dan beretos kerja
Gambar 1.1. Skema konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural. (Sumber Grand Desain Pendidikan Karakter 2010)
Tugas gerak dalam bentuk olahraga permainan membentuk para pemain
untuk tunduk dan patuh pada peraturan permainan yang berlaku dan jujur pada
proses dan hasil yang dicapai dalam melaksanakan permainan itu. Melalui
pembelajaran pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan (Penjasorkes)berbasis
nilai memang tidak serta merta sejumlah persoalan di atas akan terselesaikan.
Penjasorkes juga sebagai obat penawar (panasea), akan tetapi melalui
matapelajaran Penjasorkes yang mengutamakan pada transfer nilai banyak hal
yang bisa ditanamkan pada siswa. Misalnya terkait dengan nilai persamaan dan
kebersamaan, fair play, kompetisi, toleransi yang kesemuanya merupakan prasarat
dasar yang terbentuk dalam kegiatan aktivitas jasmani dan olahraga sekolah.
(1980); Annarino, Cowell, Hazelton (1980 terbagi dalam pengembangan empat
domain: domain psikomotor, domain kognitif, domain afektif, dan domain sosial,
semua mengisyaratkan bahwa pendidikan jasmani bertujuan pula membentuk
nilai-nilai perilaku positif dan nilai-nilai sosial.
United Nations (2003), melalui Inter-Agency Task Force on Sport
Development and Peace menyatakan:
Sport provides a forum to learnskills such as discipline, confidence and leadership and it teaches core principles such as tolerance, cooperation and respect. Sport teaches the value of effort and how to manage victory, as well as defeat. When these positive aspects of sport are emphasized, sport becomes a powerful vehicle through which the United Nations can work towards achieving its goals (p. v).
Pernyataan ini menekankan bahwa olahraga dapat dijadikan forum
pembelajaran keterampilan disiplin, kepercayaan diri, kepemimpinan, dan dapat
mengajarkan inti prinsip-prinsip seperti toleransi, kerjasama, dan sikap saling
menghargai. Olahraga mengajarkan nilai-nilai dari sebuah upaya dan bagaimana
mengelola kemenangan, dan juga kekalahan. Manakala aspek-aspek positif
olahraga ini diprioritaskan, olahraga dapat menjadi kendaraan yang sangat kuat
melalui kerjasama dengan organisasi PBB untuk mendapatkan tujuan-tujuan yang
diinginkan ini.
Meskipun demikian, harus juga diakui bahwa apa yang dikemukakan di atas
belum sesuai dengan yang diharapkan. Tampaknya ada kesenjangan yang cukup
terbuka antara tataran teoretik dan empirik. Sebagai contoh, Kleiber dan Robert
(1981) melakukan studi tentang pengaruh olahraga, khususnya olahraga
anak-anak yang berpartisipasi dalam kegiatan olahraga kompetitif menunjukkan
penurunan dalam perilaku prososialnya. Bredemeier & Shields (1985)
menyatakan bahwa kedewasaan penalaran moral atlet lebih rendah dibanding
dengan kedewasaan penalaran moral bukan atlet pada tingkatan usia yang sama.
Sementara itu penelitian lain membuktikan hal yang berbeda, seperti yang telah
dilakukan oleh Orlick (1981). Ia menyatakan bahwa kegiatan olahraga
memberikan dampak positip terhadap perilaku kerjasama dari individu yang
berpartisipasi di dalamnya.Pertanyaannya, apakah melalui pembelajaran
penjasorkes memungkinkan nilai-nilai karakter seperti empati, disiplin, dan
toleransi terkonstruksi dalam diri siswa?
Sekolah sebagai jalur pendidikan formal bertanggung jawab membangun
karakter bangsa, yaitu melalui pembelajaran yang dikemas dengan pendekatan
yang tepat diharapkan tujuan pendidikan nasional tercapai. Berbagai nilai-nilai
positif yang terkandung dalam olahraga dan permainan tidak serta merta tertanam
dalam diri siswa, akan tetapi perlu upaya secara sadar melalui pendekatan
pembelajaran agar nilai moral seperti empati dan toleransi dapat bermakna bagi
siswa.
Kecenderungan perubahan lain yang menarik adalah bombastisnya
keinginan tiap sekolah menjadi Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) atau
sebelumnya telah diciptakan kelas akselerasi yang menjadikan siswa-siswa yang
masuk kelas tersebut merasa dirinya paling atau lebih hebat dari siswa-siswa dari
kelas reguler.Semua itu dikarenakan pihak sekolah yang memberi perlakuan
mereka dilatih terus menerus sehingga menjadi sangat kompetitif untuk mencapai
prestasi. Menjadi kelas yang superior dengan fasilitas yang lebih baik dari kelas
reguler: Air Conditioning (AC), LCD/infokus, kursi baru. Akibatnya seiring
berjalannya waktu, siswa kelas bertaraf internasional dan akselerasi kehilangan
nilai-nilai moral yang penting seperti empati dan toleransi. Para siswa tidak
peduli melihat teman satu bangkunya tidak bisa mengerjakan tugas karena sakit,
atau belum paham. Para siswa tidak ingin berbagidengan teman yang lain.
Kecenderungan untuk menjadi yang paling cerdas dikelas telah mengalahkan
sikap welas asih dan teposliro (hasil pengamatan terhadap siswa dan beberapa
orang tua siswa di sekolah yang ada kelas Internasional, Yogyakarta Juli 2009).
Sikap seperti ini merendahkan pentingnya pendidikan nilai, terutama penanaman
karakter di sekolah.
Pendidikan karakter atau pendidikan nilai menjadi keharusan bagi sekolah
untuk mulai diterapkan. Pendidikan nilai, seperti: kejujuran, displin, saling
menghargai, cinta lingkungan, daya juang, bersyukur, empati, toleransi dan
lain-lain. Pelaksanaannya bukan merupakan tanggung jawab guru agama dan
pendidikan kewarganegaraan saja tapi tanggung jawab semua guru. Guru
mencantumkan nilai-nilai apa saja yang akan ditekankan dalam setiap materi
pengajaran. Bahkan secara implisit, kurikulum telah mencantumkan pendidikan
nilai,meskipun tanpa dicantumkan dalam kurikulum, atau sering disebut hidden
curriculum (kurikulum tersembunyi), mengisyaratkan bahwa setiap guru mestinya
mengajarkan nilai-nilai atau norma-norma yang dianggap baik dalam setiap
samping guru menekan dampak instruksional. Sebagai contoh, bagaimana guru
menekankan nilai kejujuran pada siswa, yaitu dengan cara menyebutkan secara
jujur berapa kali siswa melakukan gerakan sit up. Kejujuran dapat pula diajarkan
melalui keseharian guru harus menunjukan sikap jujur, ini penting karena guru
adalah model pembelajaran. Dalam diskusi juga ditekankan bagaimana siswa
menghargai pendapat orang lain dengan tidak terlalu awal melakukan penilaian
pada pendapat orang lain, dan yang penting lagi guru melakukan pembelajaran
reflektif, melihat kembali apa saja yang sudah dilakukan oleh siswa dan guru
bukan hanya aspek kognitif saja tetapi juga aspek afeksinya.
Pada dasarnya pendidikan nilai itu hanya dapat diwujudkan atau dijabarkan
dalam suatu kebersamaan. Oleh karena itu, untuk melakukannya hampir tidak
mungkin tanpa rasa empati dan penghargaan kepada orang lain, kepada segala
sesuatu di lingkungan alam dam lingkungan sosial, yang mengerucut pada
penghargaan kepada kehidupan. Sementara empati tak mungkin muncul tanpa
kepekaan terhadap berbagai persoalan tanpa sekat-sekat ras, etnis, agama,
golongan dan lainya.Nilai-nilai merupakan integrasi hidup seseorang yang akan
tercermin dalam pilihannya: cara berpakaian, teman-teman yang dipilih sebagai
pasangan hidup, interaksi sosial, dan bagaimana hubungan keluarga dengan
membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik, mana yang perlu dan
mana yang tidak perlu.
Mengajarkan nilai-nilai, termasuk nilai-nilai yang mendasari pembelajaran
wajib dilakukan di sekolah. Sekolah memberikan para pengajar peluang untuk
keprihatinan sosial. Nilai-nilai diajarkan secara jelas di kelas dan juga melalui
kegiatan dan hubungan antara sekolah dan masyarakat. Disekolah, nilai-nilai inti
mempengaruhi cara orang berkomunikasi, bekerja sama dan membuat keputusan.
Hal ini dicerminkan dalam kebijakan dan prosedur sekolah-sekolah.
Pendidikan Jasmani sebagai bagian-integral dari pendidikan keseluruhan
tentu memiliki tanggung jawab untuk mendorong tercapainya tujuan pendidikan
nasional. Keyakinan tersebut didukung oleh muatan tujuan pendidikan jasmani
seperti yang dinyatakan Wuest dan Bucher (1995:6) bahwaphysical education is
an education process atau pendidikan jasmani disebut sebagai bagian tak
terpisahkan dari pendidikan menyeluruh, hal itu karena pendidikan jasmani
berpengaruh terhadap perkembangan individu unik menuju pengembangan
potensi, sekaligus pembentukan manusia seutuhnya. Selanjutnya American
Association of Health Physical Education and Recreation (AAHPER) (1970;
dalam Harisson and Blackmore, 1989:25), juga menyatakan bahwa pendidikan
jasmani itu adalah integral part of total education.
Konsep pendidikan yang bersifat menyeluruh tersebut terungkap pula dalam
rumusan tujuan pendidikan jasmani yang bersifat multi-dimensi seperti digagas
oleh Hetherington (1910), perintis pendidikan jasmani di Amerika Serikat, yang
juga diakui sebagai bapak pendidikan jasmani di Amerika Serikat. Menjelang
akhir abad ke-20, dalam publikasi yang lebih mutakhir misalnya Siedentop
(1994:42) mengklasifikasi tujuan sekaligus sebagai proses pendidikan, meliputi
organic education, psychomotor education, character education, and intellectual
DEPDIKNAS (2006), konsep pendidikan yang menyeluruh pada dasarnya tidak
berubah. Pusat Kurikulum Dinas Pendidikan Nasional (2006:6) mempertegas
posisi pendidikan jasmani dalam sistem pendidikan nasional sebagai “proses
pendidikan yang memanfaatkan aktivitas jasmani yang direncanakan secara
sistematik bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan individu secara
organic, neuromuscular, perceptual, dan emotional dalam kerangka sistem
pendidikan nasional”.
Sayangnya, kondisi optimal tersebut belum terjadi dalam pembelajaran
Penjasorkes, setidaknya di Indonesia. Kuat dugaan hal ini karena faktor kualitas
guru dan model pembelajaran yang tidak memungkinkan nilai-nilai tersebut
terkonstruksi dalam kognitif siswa (Hardman, 2003b; Clifford & Feezell, 1997).
Guru yang berkualitas adalah guru yang mampu membelajarkan peserta didik
secara optimal melalui cara-cara yang kreatif dan inovatif. Kenyataannya, gaya
mengajar guru cenderung monoton, bersifat drilling, lebih menekankan pada
penguasaan keterampilan cabang olahraga (sport based), dan evaluasi belum
dilakukan secara komprehensif (Maksum, 2005). Dengan kondisi yang demikian
tentu bisa dipahami bagaimana kualitas pembelajaran yang dihasilkan.
Berdasarkan penelusuran terhadap sejumlah literatur terkait dengan
pembentukan nilai nampak bahwa belum ada kesepakatan bagaimana nilai-nilai
bisa terbentuk melalui aktivitas Olahraga. Kelompok teori internalisasi
menganggap bahwa nilai akan terbentuk dengan sendirinya seiring dengan
keterlibatan individu tersebut dalam aktivitas (lingkungan) yang sarat dengan
diinternalisasikan oleh individu ke dalam dirinya (Maksum, 2007; Shields, &
Bredemeier, 2006: Weinberg & Gould, 2003). Sementara kelompok teori
konstruktivist memiliki pandangan yang berbeda. Nilai-nilai terbentuk melalui
proses interaksi antara kecenderungan diri individu mengorganisasikan
pengalamannya ke dalam pola interpretasi yang bermakna dan pengalaman
lingkungan dalam memberikan informasi mengenai realitas sosial. Pembentukan
karakter dilihat sebagai sebuah proses reorganisasi dan transformasi struktur dasar
penalaran individu (Maksum, 2007; Shields, & Bredemeier, 2006).
Ketatalaksanaan pendidikan jasmani di sekolah seringkali bernuansakan
pada proses sosialisasi belajar teknik kecabangan olahraga, para siswa diarahkan
untuk mampu dan trampil dalam menampilkan teknik-teknik dasar kecabangan
olahraga. Kecenderungan ini menyebabkan kurang terjadinya proses pembelajaran
yang menyebabkan siswa kurang mengetahui berbagai ragam aktivitas jasmani,
mengenali manfaat beraktivitas jasmani, dan penguasaan kompetensi untuk
menampilan berbagai ragam aktivitas jasmani dalam kehidupan siswa masa kini
maupun masa depan. Sikap empati dan toleransi yang sesungguhnya sangat terkait
dengan kegiatan bergerak menjadi kurang tertanam pada diri siswa. Berbagai tema
aktivitas jasmani tidak menumbuhkan kesadaran terhadap sikap dan perilaku
empati dan toleransi.
Pendidikan jasmani dimanfaatkan sebagai bentuk sosialisasi olahraga
kepada para siswa. Pendidikan jasmani adalah pembelajaran olahraga prestasi.
Penekanan pada olahraga prestasi ini menekan kualitas pendidikan melalui
tertanam secara sengaja pada diri siswa. Pembelajaran terjadi pada upaya upaya
partisipasi dan penguasaan kemampuan berolahraga.
Berolahraga tidak menjadi media untuk saling menghormati, menghargai,
dan mengenali hak-hak setiap siswa dalam berbagai dimensi gerak. Pada diri
siswa kurang tertanam dan dibiasakan untuk toleran terhadap siswa lain. Secara
metodologis pun tidak secara sengaja menanamkan sikap empati dan toleransi
pada diri siswa. Namun demikian, melalui metodologi yang tepat, bergerak dapat
dimanfaatkan sebagai bentuk reflikasi pembelajaran empati dan toleransi.
Rusli Lutan (1997:5) berpendapat andaikan keyakinan akan tujuan
pendidikan benar-benar terwujud tentu dunia ini dipenuhi dengan manusia yang
cerdas, sehat, dan berbudi pekerti luhur, akan tetapi perlu diwaspadai bahwa
sangat banyak “sisi gelap” atau akses negatif dari kegiatan berolahraga, dan
bahkan terbuka kesempatan luas bagi guru pendidikan jasmani atau pelatih untuk
menimbulkan kerusakan secara sistematis dan bersifat kumulatif pada peserta
didik sebagai akibat semua tindakan dan perlakuannya tidak memiliki landasan
ilmiah. Hal ini mengisyaratkan betapa guru pendidikan jasmani harus secara
profesional menyelenggarakan praktek pengajaran, mulai dari perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi.
Studi tentang karakter dalam hal ini empati dan toleransi menjadi penting
untuk dilakukan mengingat tujuan pendidikan jasmani di sekolah bukanlah
semata-mata pada masalah fisik, tetapi juga pada bagaimana nilai-nilai olahraga
terkonstruksi pada individu yang berpartisipasi di dalamnya (Wright & Burton,
keterkaitan dengan tingkahlaku yang ditampilkannya (Bocarro, et al., 2008; Jones,
2005; Bredemeier, et al., 1987). Penelitian ini semakin relevan untuk dilakukan
sehubungan dengan kondisi anak dan remaja kita, yang cenderung menampilkan
perilaku menyimpang sebagaimana dikemukakan di atas. Oleh karena itu, jika
pertanyaan dalam penelitian ini dapat terjawab, maka akan sangat bermanfaat bagi
pendidikan di Indonesia terutama dalam membentuk tingkahlaku peserta didik
yang konstruktif dalam hal ini empati dan toleransi. Kepentingan ini semakin
relevan manakala akhir-akhir ini sering dinyatakan bahwa moto pendidikan di
Indonesia di tahun 2011 ini adalah pendidikan berkarakter.
B. Rumusan Masalah
Proses belajar mengajar tugas gerak dalam pendidikan jasmani merupakan
bentuk interaksi antara guru dengan siswa atau antara siswa dengan siswa.
Interaksi dalam bentuk belajar mengajar ini dapat dimanfaatkan untuk
menumbuhkan nilai-nilai moral, seperti toleransi dan empati. Nilai-nilai toleransi
dan empati ini mempengaruhi karakter kepribadian siswa, bahkan pada bentuk
tertentu dapat disebut sebagai bentuk pendidikan karakter dalam pendidikan
jasmani. Sebagai contoh, ketika siswa belajar permainan olahraga bola basket,
siswa perlu memiliki sikap toleran dan jujur ketika bermain, menghargai dan
menghormati lawan bermain bukan hanya semata lawan yang harus dikalahkan,
tetapi siswa juga menghargai lawan sebagai kawan bermain. Ketika bermain pun,
menunjukkan kemahiran keterampilan gerak sehingga akan memicu karakter
pribadi yang unggul.
Guru pendidikan jasmani dapat menanamkan nilai-nilai moralempati dan
toleransi manakala proses belajar mengajar tugas gerak dirancang untuk
menanamkan nilai-nilai moral itu, didiskusikan, dan diciptakan situasi belajar
siswa yang memicu siswa untuk membuat keputusan moral yang bermakna.Guru
dapat menciptakan situasi pembelajaran yang mengundang dan mengembangkan
perilaku-perilaku moral empati dan toleransi manakala para siswa diarahkan untuk
memperlihatkan nilai moral tersebut dalam setiap tugas belajar gerak yang
tercipta. Hal ini menandakan pendidikan jasmani sangat kental dengan muatan
pendidikan karakter pada diri siswa.
Pendidikan jasmani terkait dengan sikap dan perilaku membentuk model
mental dan dipengaruhi oleh kebudayaan dan nilai budaya sebagai penentu bagi
pencapaian prestasi dan kemakmuran. Pendidikan sebagai wujud kebudayaan
membentuk pola pikir individu tentang resiko, ganjaran dan kesempatan, yang
menurut Peter Senge (Rusli Lutan, 2001) lebih cocok disebut sebagai model
mental. Model mental yang dimaksud adalah arah orientasi seseorang dalam
menanggapi makna-makna relasi diri dengan orang lain, alam, dan kehidupan
sekitarnya. Suatu gambaran atau citra yang mempengaruhi bagaimana individu
memahami kehidupan dan bagaimana individu bertindak. Secara spesifik model
mental yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah sikap empati dan toleransi
Empati, yang dimaksud dalam penelitian ini, adalah kemampuan membagi
perasaan dan memahami emosi dan perasaan orang lain. Empati sering di
golongkan sebagai kemampuan untuk “menempatkan diri sendiri kedalam bagian
diri orang lain,” empati tidak harus menunjukan perasaan iba, simpati, atau tegas
karena kemampuan ini dapat ditunjukkan dalam satu konteks iba/terharu atau
perilaku kejam. Empati memiliki hubungan dekat dengan kemampuan untuk
membaca emosi orang lain, empati ditimbulkan dari emosi dalam suatu
pengamatan sehingga menimbulkan respon seolah mengalami sendiri situasi
orang lain. Empati tergantung tidak hanya pada satu kemampuan untuk
mengidentifikasikan emosi orang lain tetapi juga pada kemampuan untuk
meletakkan dirinya di tempat orang lain dan untuk mengalami satu respon
emosional yang dialaminya. Kemampuan kognitif dan kemampuan perceptual
diperlukan untuk berkembangnya empati sehingga seorang menjadi dewasa.
Di dalam pelatihan empati, setiap anggota dari pasangan diajar untuk
berbagi perasaan dan untuk mendengarkan serta memahami perasaan mitra
sebelum mereka sampai menjawab. Teknik empati memfokuskan perhatian
pasangan terhadap perasaan dan memerlukan atau menghabiskan lebih banyak
waktu untuk mendengarkan serta lebih sedikit waktu untuk membantah.
Model mental kedua yang dilibatkan dalam penelitian iniadalah toleransi,
yaitu sikap dan perilaku yang tidak mementingkan diri sendiri, menunjukkan
kepedulian kepada orang lain, mampu saling memahami, saling menghargai dan
menghormati hak-hak orang. Sikap toleran juga diperlihatkan oleh seorang
Pandangan terhadap lawan yang bukan hanya lawan yang harus ditindak secara
kasar atau dipercundangi dengan sikap tidak jujur adalah juga bentuk sikap
toleransi yang dapat dibentuk melalui kegiatan olahraga pertandingan. Berbagai
bentuk aktivitas permainan dan atau olahraga juga membina sikap toleransi. Sikap
ini akan tumbuh ketika individu berperilaku jujur pada orang lain tetapi juga jujur
pada suara hati yang tidak pamrih. Kemurnian hati atau ketulusan hati dalam
bentuk sepi ing pamrih adalah kemampuan membebaskan diri dari penguasaan
segala macam emosi dan dorongan irrasional yang terus menerus merongrong
kesatuan tekad. Nafsu-nafsu condong untuk menguasai dan melakukan hal-hal
yang kemudian disadari merendahkan dan atau direndahkan.
Empati dan toleransi adalah juga nilai budaya yang perlu terus
dikembangkan sebagai nilai moral yang akan membentuk keberhasilan suatu
bangsa. Betapa tidak, banyak peristiwa kekerasan, kejahatan, korupsi, dan
tindakan kriminal lainnya diawali dari sikap perilaku yang tidak empati dan tidak
toleran terhadap hak-hak orang lain. Bersikap memahami perasaan orang lain
dapat mendorong terwujudnya sikap toleransi. Empati dan toleransi adalah nilai
budaya yang teramat penting dalam upaya menghindari segala bentuk kejahatan
dan perilaku negatif lainnya. Kedua model mental akan dikemas melalui
pembelajaran kooperatif dan belajar mengalami (experiential learning)
Melalui pembelajaran kooperatif dalam pendidikan jasmani dan olahraga
berbasis nilai tersedia pengalaman untuk mengembangkan nilai moral empati dan
toleransi yang dapat dicapai melalui ketergantungan positif dan interaksi dengan
orang lain, diharapkan dapat diraih nilai-nilai inti untuk mewujudkan perdamaian,
menghormati orang lain, toleransi, kerjasama, tanggung jawab,
solidaritas,disiplin, kejujuran merupakan bagian dari pembinaan watak nation and
character building. Perwujudan nilai inti dari pendidikan jasmani tersebut, tidak
akan terlepas dari peran guru dalam mengelola pembelajaran, yaitu pembelajaran
yang lebih dipusatkan pada siswa yang lebih aktif belajar dengan situasi
kebersamaan cooperative learning dan perbanyak pengalaman akan nilai empati
dan toleransi, dari pada sebaliknya berpusat pada materi dan guru lebih aktif
dengan belajar secara individual (pembelajaran individual).
Muatan kompetisi dalam kegiatan olahraga menjadi suatu situasi yang
kurang disukai anak-anak karena mereka cukup heterogen dalam kemampuan,
minat, pengalaman, dan kematangan. Dalam perkataan lain, perbedaan idividual
anak-anak tidak selaras dengan sifat untuk kompetisi. Sebagai hasilnya, kompetisi
mungkin menjadi satu pengalaman yang menghalangi belajar untuk banyak
anak-anak. Lebih dari itu, oleh karena kemenangan berhubungan dengan kompetisi,
hanya mereka yang mempunyai keuntungan atau kelebihan yang akan sukses dan
termotivasi (Brown dan Grineski,1992 dalam Grineski, 1996:9). Sejalan dengan
itu, keikutsertaan dalam suatu aktivitas kompetisi olahraga tidak menyediakan
semua peluang bagi anak-anak untuk mempraktekan, keterampilan yang penting
bagi diperolehnya pengalaman sukses. Menggunakan aktivitas-aktivitas
pendidikan jasmani kompetitif mungkin menjadi merugikan bagi siswa ketika
tujuannya adalah prestasi hasil belajar (Brown dan Grineski, 1992, Grineski,
Selama belajar tersusun dengan penuh persaingan, siswa akan saling
ketergantungan negatif satu sama lain (Deutsch, 1949; Grineski, 1996:10). Saling
ketergantungan negatif terjadi ketika satu siswa atau kelompok siswa mencapai
sasaran dihubungkan dengan siswa lain atau kelompok siswa yang tidak mencapai
tujuan mereka. Beberapa studi mendukung pembelajaran kooperatif lebih mampu
menguatkan perilaku positif dan interaksi hubungan antar orang baik yang normal
maupun yang berkebutuhan (Johnson and Johnson, 1984; Grineski, 1989). Dan
antar orang yang berbeda ras dan status sosial ekonomi (Alport, 1954; Sherif and
Sherif, 1956; Slavin, 1990; dalam Grineski, 1996:13). Dengan demikian dapat
disimpulkan pentingnya menyediakan lingkunganyang kondusif dengan
menerapkan cooperative learning dalam pembelajaran pendidikan jasmani untuk
bisa membentuk perilaku moral sosial empati dan toleransi. Pendidikan jasmani
dan olahraga merupakan media penting dalam memberikan kontribusi kepada
pengembangan karakter setiap warga negara. Pendidikan jasmani bukan hanya
dapat berkontribusi kepada pendidikan tetapi juga memberikan manfaat pada
pembentukan kepribadian siswa yang memiliki perilaku empati dan toleransi.
Melalui penelitian ini diharapkan dapat ditunjukkan proses ajar gerak yang
terbungkus dalam setiap adegan pembelajaran yang dilakukan guru pendidikan
jasmani di sekolah. Pendidikan jasmani yang dikemas menggunakan
modelcooperativediharapkan mampu memupuk perilaku empati dan toleransi
siswa. Pendidikan karakter melalui pendidikan jasmani dan olahraga ini akan
Cooperative learning dan diyakini dapat menumbuhkan kemampuan
kerjasama diantara siswa, seringnya siswa mengalami bekerjasama dengan
beberapa siswa lain akan membiasakan mereka memahami dan menghargai orang
lain sehingga empati dan toleransi dapat terbentuk. Sementara individual
learningmengembangkan sisi individu siswa, keberhasilan siswa dalam belajar
tidak tergantung pada siswa lain, dan competitive learning akan menimbulkan
suasana belajar yang penuh dengan persaingan, siswa akan saling ketergantungan
negatif satu sama lain (Deutsch, 1949; Grineski, 1996). Saling ketergantungan
negatif terjadi ketika satu siswa atau kelompok siswa mencapai sasaran
dihubungkan dengan siswa lain atau kelompok siswa yang tidak mencapai tujuan
mereka. Disinyalir selama ini pembelajaran di Indonesia juga lebih mengarah
pada pembelajaran individual dan kompetisi. Bahkan hasil penelitian survey dari
500 guru pendidikan jasmani, melaporkan bahwa lebih dari 90% dari pengalaman
pendidikan jasmani mereka adalah kompetitif. Dalam satu review dari 288 buku
teks pendidikan jasmani pada kurun waktu lima tahun, ditemukan bahwa lebih
dari 90% pengarang menuliskan materi game sebagai permainan kompetitif
(Grineski,1996:8). Nilai moral empati dan toleransi akan tumbuh dalam susasana
belajar yang menonjolkan ketergantungan positif, hal yang sama juga terjadi di
Indonesia.
Telama (Auweele, 1999:340) menyatakan meskipun belum banyak hasil
penelitian yang menunjukkan pengaruh pendidikan jasmani terhadap
perkembangan moral siswa, tetapi dapat dinyatakan dari sejumlah studi bahwa
perkembangan moral ini sangat bergantung pada gaya dan metode guru
pendidikan jasmani mengajar para siswanya. Pada bagian lain juga dinyatakan
bahwa moralitas seseorang memiliki tiga komponen, yaitu: komponen afektif,
komponen kognitif, dan komponen behavioral. Orientasi perkembangan moral
siswa dicapai melalui hubungan interaksi antara siswa dengan siswa lainnya. Inti
prosesnya adalah guru pendidikan jasmani merancang dan mengorganisir proses
ajar sehingga menumbuhkan interaksi sosial dan menambahkan keterlibatan
diskusi, negoisasi, dan pencarian konsensus. Pengetahuan tentang moral diperoleh
melalui interaksi baik secara afektif maupun kognitif.
Lebih lanjut alasan dan perilaku moral bergantung pada tingkat
perkembangan kognitif individu itu (Gould, 2003:530). Kelas internasional terdiri
dari siswa-siswa yang memiliki perkembangan kognitif di atas rata-rata, tetapi
C. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas dapat dirumuskan
pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Adakah perbedaan pengaruh modelcooperative learningdengan individual
learningdalam mengembangkan nilai moral empati pada siswa?
2. Adakah perbedaan pengaruh jenis kelas dalam mengembangkan nilai
moral empati pada siswa?
3. Adakah interaksi antara model pembelajaran dan jenis kelas dalam
mengembangkan nilai moral empati siswa?
4. Adakah perbedaan pengaruh modelcooperative learningdengan individual
learningdalam mengembangkan nilai moral toleransi pada siswa?
5. Adakah perbedaan pengaruh jenis kelas dalam mengembangkan nilai
moral toleransi pada siswa?
6. Adakah interaksi antara model pembelajaran dan jenis kelas dalam
mengembangkan nilai moral toleransi siswa?
D. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengungkapkan perbedaan pengaruh cooperative learning dengan individual
2. Mengungkapkan perbedaan pengaruh jenis kelasdalam mengembangkan nilai
moral empati pada siswa.
3. Mengungkapkan ada tidaknya interaksi antara modelcooperative
learningdanindividual learningdengan jenis kelas dalam mengembangkan nilai
moral empati pada siswa.
4. Mengungkapkan perbedaan pengaruh cooperative learning dengan individual
learning dalam mengembangkan nilai moral toleransi pada siswa.
5. Mengungkapkan perbedaan pengaruh jenis kelas dalam mengembangkan nilai
moral toleransi diantara siswa.
6. Mengungkapkan ada tidaknya interaksi antara model cooperative learning dan
individual learning dengan jenis kelas dalam mengembangkan nilai moral
toleransi.
E. Manfaat Penelitian
Secara teori penelitian ini memberikan wawasan baru dalam
pengembangan model pembelajaran pendidikan jasmani yang bertujuan
mengembangkan keterampilan motorik, sosial, koginif dan emosional.
Sedangkan secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
1. Para penyusun kurikulum. Dengan ditemukannya ketatalaksanaan
pendidikan karakter melalui jalur matapelajaran pendidikan jasmani,
memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembang kurikulum
pendidikan jasmani. Selain sebagai salah satu bukti bahwa pendidikan
jasmani dapat berfungsi sebagai pendidikan karakter. Makna lebih lanjut
adalah bahwa pendidikan jasmani dapat dimanfaatkan untuk
pengembangan tingkat pengetahuan dan perilaku moral-sosial siswa.
2. Para guru pendidikan jasmani di jenjang pendidikan sekolah menengah
pada khususnya, dan guru pendidikan jasmani pada jenjang pendidikan
sebelum dan selanjutnya, untuk lebih memperhatikan keseluruhan aspek
pendidikan jasmani yang tidak hanya keterampilan fisik, tetapi juga aspek
karakter moral sosial secara utuh.
3. Penajaman kontribusi pendidikan jasmani bagi dunia pendidikan, yang
bukan hanya semata kontribusi pada perkembangan dan pertumbuhan
fisikal siswa, tetapi juga berkontribusi pada perkembangan karakter moral
Sri Winarni, 2012
BAB III
PROSEDUR PENELITIAN
Proses munculnya model pembelajaran kooperatif (cooperative learning)
dan model pembelajaran individual (individual learning) dalam pendidikan
jasmani kaitannya dengan kemampuan berempati dan toleransi telah melalui
prosedur pengembangan sebelumnya, untuk selanjutnya membutuhkan suatu
prosedur penelitian eksperimen yang langkah-langkahnya akan diuraikan sebagai
berikut:
A.Lokasi dan Subjek Penelitian
1.1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 5
Yogyakarta (SMP N 5), hal ini didasarkan pada data sekolah yang memenuhi
syarat Sekolah Berstandar Internasional (SBI) yang berada di wilayah kota
Yogyakarta (SMP N 1, SMP N 5, SMP N 6, SMP N 8). Berdasarkan observasi
pendahuluan di sekolah yang memiliki kelas internasional memiliki
kecenderungan iklim kompetitif baik dalam proses pembelajaran, lingkungan
sekolah, maupun faktor orang tua (lingkungan keluarga). Hal ini menjadi masalah
tersendiri dalam hal empati dan toleransi siswa. SMP N 5 adalah sekolah
terfavorit di kota Yogyakarta, terletak di Jln. Wardani 1 Yogyakarta. Letaknya
cukup strategis di tengah kota Yogyakarta, berbatasan dengan wilayah kabupaten
Sri Winarni, 2012
banyak siswa baik dari Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) maupun dari luar
provinsi DIY.
1.2.Populasi dan Sampel Penelitian
Data penelitian berupa skor empati dan toleransi di lapangan, diperoleh dari
siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMP N) di Yogyakarta yang memiliki
kelas internasional. Diperoleh SMP N 1, SMP N 5, SMP N 6, SMP N 8. Dasar
pertimbangan penentuan penentuan lokasi, populasi dan sampel tersebut adalah
bahwa sekolah tersebut: (1) memiliki karakteristik siswa yang heterogen dilihat
dari latarbelakang etnis, budaya, agama, dan strata sosial lainnya, (2) kelas 8
diasumsikan telah mengenal teman-temannya dengan baik, sudah berinteraksi
dengan lingkungannya relatif lama, (3) terdapat kelas BI (berstandar
internasional), serta kelas reguler. Kemudian secara acak diambil satu sekolah,
terpilih SMP Negeri 5 Yogyakarta. Sebaran siswa kelas VIII di SMP Negeri 5
[image:36.595.109.512.210.695.2]Yogyakarta sebagai berikut:
Tabel 3.5.
Sebaran Siswa Kelas VIII SMP N 5 Yogyakarta
Kelas VIII Laki-laki Perempuan Jumlah
Akselerasi 13 15 28
Inter 1 11 15 26
Inter 2 11 15 26
A 14 24 38
B 16 22 38
C 14 24 38
D 14 24 38
Sri Winarni, 2012
Secara purposif, sampel kelas ditentukan berdasarkan kemajemukannya
pada tingkat kecepatan belajar, dalam penelitian ini di SMP Negeri 5 Yogyakarta
memiliki dua kelas BI (Berstandar Internasional) dan satu kelas Akselerasi. Kelas
tersebut memiliki karakter belajar yang hampir sama, juga berdasarkan hasil
observasi awal kelas BI dan kelas akselerasi dianggap sebagai kelas ekslusif,
mereka sudah dibedakan dengan siswa kelas reguler. Ruang kelas yang ber AC,
jam belajar yang lebih banyak, tugas belajar yang lebih banyak, latar belakang
ekonomi orang tua termasuk mampu mereka disekolah memiliki komunitas
tersendiri (arisan) dan cenderung menganggap anaknya lebih superior dibanding
siswa kelas reguler.
Sampel ditentukan secara purposif yaitu penentuan sampel bersyarat, dalam
penelitian ini syarat yang menjadi karakteristik sampel adalah kelas heterogen
(diperoleh 7 kelas reguler) kemudian dirandom untuk menentukan kelas yang
akan dijadikan sampel penelitian, diperoleh hasil kelas VIII B dan VIII D.
Kemudian syarat berikutnya kelas homogen (terdapat tiga kelas), akan tetapi kelas
akselerasi memiliki karakteristik agak berbeda yaitu dalam kecepatan belajar
(mereka lebih cepat dan menyelesaikan SMP dengan waktu dua tahun) sehingga
ditentukan kelas BI 1 dan Kelas BI 2 sebagai sampel penelitian. Berikut ini
Sri Winarni, 2012
Tabel 3.6. Sebaran Sampel Penelitian
Kelas Jumlah Siswa Perlakuan
Putra Putri
VIII Inter 1 11 15 Cooperative Learning
VIII Inter 2 11 15 Individual learning
VIII D 14 24 Cooperative Learning
VIII B 16 22 Individual learning
Jumlah 62 76 138
1.3.Survey Pendahuluan
Survey pendahuluan dalam penelitian ini dilakukan di SMP Negeri 5
Yogyakarta, untuk melihat proses pembelajaran di sekolah tersebut. Terutama
proses pembelajaran pendidikan jasmani, karakteristik siswa, fasilitas dan alat
yang dimiliki. Fokus survey pendahuluan adalah pada pendekatan pembelajaran
yang dilakukan guru dalam mengajar. Perilaku siswa dalam belajar dan di luar
kelas, perilaku guru dan karyawan dalam hal empati dan toleransi. Bahkan sikap
orangtua siswa yang dapat dijumpai di sekolah. Pada akhirnya diputuskan
sekolah ini digunakan sebagai tempat penelitian.
Penelitian tentang empati sudah dilakukan peneliti pada sampel mahasiswa
semester tiga program studi PJKR dalam matakuliah aktivitas ritmik. Data
diperoleh dengan menggunakan skala psikologi pengukuran empati dari
Baron-Cohen. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 14 mahasiswa memiliki skor
empati di bawah rata-rata, 59 orang mahasiswa memiliki skor empati rata-rata, 11
orang mahasiswa memiliki skor empati diatas rata-rata, dan 6 orang mahasiswa
Sri Winarni, 2012
Berdasarkan hasil survey pendahuluan diperoleh informasi berkaitan dengan
pembelajaran pendidikan jasmani diajar oleh tiga orang guru yang masing-masing
memiliki tugas di kelas VII, VIII, dan IX. Pendekatan yang digunakan dalam
pembelajaran lebih kental dengan pembelajaran individual, akan tetapi guru yang
berlatar belakang pendidikan S2 sudah melakukan pembelajaran dengan beragam
metode termasuk ada metode inklusi dan kerja kelompok. Namun secara struktur
pembelajaran rancangan belum cukup untuk dapat mengembangkan
pengalaman-pengalaman yang menggugah empati dan toleransi.
Karakteristik siswa memiliki keberagaman dalam agama, asal daerah,
etnis(rata-rata Jawa), tetapi ditinjau dari kemampuan kognitif adalah termasuk
pada anak yang pandai karena SMP Negeri 5 Yogyakarta adalah SMP terbaik
menduduki ranking satu di Yogyakarta. Siswa-siswa cukup kritis dalam mengikuti
pembelajaran. Ketersediaan alat dan fasilitas penjasnya cukup lengkap. Memiliki
kegiatan ekstrakurikuler cukup beragam termasuk berbagai cabang olahraga. Jika
diperhatikan dengan pengamatan yang jeli, terdapat kecenderungan perilaku tidak
peduli, khususnya pada siswa-siswa kelas internasional. Mereka cenderung malas
bergerak dan banyak duduk untuk belajar serta membaca, suasana kompetitif
dalam kelas tersebut sangat terlihat. Mereka sangat takut jika tidak mampu
mengimbangi kecepatan belajar teman-temannya. Sehingga seringkali dijumpai
siswa yang ijin tidak mengikuti pelajaran penjas dengan berbagai alasan. Rasa
‘aku’ mereka sangat tinggi, aku harus menjadi yang paling. Untuk kelas reguler
Sri Winarni, 2012
Fasilitas bagi kelas internasional jelas berbeda dengan kelas reguler, mereka
mendapatkan pelayanan yang lebih dari yang lain. Sekolah hanya ingin mereka
benar-benar menjadi kelas dari anak-anak pandai. Bahkan dari pembicaraan
orangtua siswa, peneliti mendapat informasi bahwa mereka juga punya keakuan
yang tinggi dan masing-masing ingin menceritakan bahwa anaknyalah yang
terpandai. Orangtua siswa kelas internasional juga memiliki kelompok arisan.
Dari sisi fasilitas pendidikan jasmani cukup lengkap dan dengan jumlah yang
cukup memadai untuk pembelajaran yang optimal.
B. Paradigma Penelitian
Pelaksanaan pendidikan jasmani dan olahraga di sekolah selalu
mengutamakan pada ketercapaian pengembangan psikomotor berupa peningkatan
keterampilan atau teknik kecabangan olahraga, yang diharapkan akan berdampak
pada peningkatan kesehatan, kebugaran, kekuatan, kelentukan, dan bahkan
dayatahan fisikal siswa hingga pretasi siswa dalam berbagai cabang olahraga.
Meskipun pendapat di atas selalu tepat, tetapi pendidikan jasmani perlu dikaitkan
pada pengembangan selain psikomotorik, yaitu pada pengembangan domain
kognitif, afektif, dan bahkan sosial siswa. Salah satu konteks yang perlu
diorientasikan adalah konteks aktivitas jasmani terhadap pendidikan moral atau
budi pekerti, seperti nilai moral empati dan toleransi,yang diduga terkait erat
dengan kesemua domain pengembangan siswa.
Semestinya pelaksanaan pembelajaran pendidikan jasmani tidak selalu
Sri Winarni, 2012
intelektual, afektif dan sosial siswa. Aktivitas jasmani yang dipelajari siswa
memiliki nilai selain manfaat fisikal, tetapi juga makna-nilai yang terkandung dari
bentuk aktivitas jasmani yang dilakukan itu. Sebagai contoh, aktivitas permainan
sepakbola memiliki nilai kerjasama.
Mempertajam manfaat selain nilai fisikal, maka melalui penelitian ini akan
dibuktikan keuntungan nilai rancangan aktivitas jasmani yang secara
bersama-sama memberikan sumbangsih penting pada pengembangan intelektual, afektif,
dan sosial dari dua model pembelajaran yaitu: model pembelajaran kooperatif dan
model pembelajaran individual pada dua jenis kelas pendidikan jasmani, yaitu
kelas internasional dan kelas reguler dalam hal variabel empati dan toleransi siswa
melalui bantuan kajian pendidikan nilai (Gambar 3.12.).
[image:41.595.114.514.233.715.2].
Gambar 3.12.
Paradigma penelitian Pembelajaran
Kooperatif
Pendidikan
Kognitif
Kelas Internasional
Kelas Reguler Pendidikan Jasmani
Aktivitas Jasmani Berbasis Nilai
Afektif
Sosial
Pembelajaran Individual
Empati Toleransi
Thinking Feeling Behaving
Sri Winarni, 2012
Toleransi sebagai wujud dari sikap respek, penerimaan, apresiasi dan
respon terhadap begitu banyaknya perbedaan dalam hal budaya, bentuk ekspresi
seseorang, kemampuan intelektual dan merupakan jalan atau cara menjadi
manusia. Hal itu meliputi pengetahuan, keterbukaan, komunikasi, dan kebebasan
berpikir, suara hati/hati nurani dan kepercayaan bisa dipengruhi ketika siswa
sedang belajar tugas gerak dalam pendidikan jasmani.
Perilaku toleransi memerlukan kemampuan seseorang dalam membangun
hubungan komunikasi yang konstruktif dan tugas belajar gerak dalam pendidikan
jasmani menyediakan wahana interaksi baik antara siswa dengan siswa atau siswa
dengan guru dalam hubungan bangunan interaksi komunikatif. Menurut Carl
Rogers diperlukan tiga kualitas utama, yaitu keikhlasan, cinta tanpa ingin
memiliki, dan empati. Empati dapat dimaknai menyelami perasaan orang lain,
akan tetapi masih tetap menjaga beberapa keterpisahan. Empati terdiri atas
perpaduan tiga komponen. Pertama ialah pemahaman terhadap orang lain dengan
sensitif dan tepat, namun tetap menjaga keterpisahan dari orang lain tersebut.
Kedua ialah pemahaman keadaan yang membantu atau mencetuskan perasaan
tersebut. Ketiga cara berkomunikasi dengan orang lain yang membuat orang lain
merasa diterima atau dipahami.
Empati dapat pula dihadirkan dan dipengaruhi ketika siswa sedang belajar
tugas gerak. Manakala siswa menjalin interaksi sosial karena perlunya kerjasama
Sri Winarni, 2012
keterampilannya saja yang diutamakan, tetapi juga nilai dibalik permainan
sepakbola yang diwujudkan siswa.
Memperhatikan bagaimana empati dan toleransi dapat ditingkatkan melalui
rancangan tugas belajar gerak, perlu ada pemilihan model pembelajaran yang
sistematis dan dirancang dengan tepat sesuai dengan sasaran pengembangan
kompetensi baik aspek kognitif, psikomotor, maupun afektif (nilai, moral, atau
sikap) secara bersama-sama. Hal ini perlu dilakukan oleh guru pendidikan jasmani
agar pendidikan jasmani sungguh-sungguh nyata memberikan kontribusi penting
bagi pendidikan.
Pendidikan jasmani diyakini dapat meningkatkan karakter positif dengan
mengajarkan aktivitas jasmani seperti permainan dan game, akan tetapi hasil
pengamatan sementara juga menyebutkan begitu banyak guru pendidikan jasmani
yang mengutamakan aktivitas jasmani yang kompetitif. Struktur pembelajaran
aktivitas jasmani ada tiga bentuk: secara individual, kompetitif, dan kelompok.
Dugaan sementara menunjukkan pembelajaran pendidikan jasmani yang dikemas
secara kooperatif memiliki dampak lebih baik dalam meningkatkan semua aspek
kompetensi baik kognitif, psikomotor maupun afektif. Cooperative learning yang
mensyaratkan ketergantungan positif, interaksi tatap muka, tanggung jawab
individu dan kelompok, keterampilan hubungan antar pribadi dan kelompok,
pemrosesan kelompok, diduga sangat memungkinkan berkembangnya nilai moral
Sri Winarni, 2012
langsung untuk menemukan dan mengimplementasikan konsep pengetahuan
maupun perilaku empati dan toleransi (experiential).
Empati dan toleransi akan tumbuh dengan subur dalam lingkungan yang
heterogen, maka tren kelas bertaraf internasional yang masih bernuansa kelas
internasional menjadi kekhawatiran tersendiri bagi sejumlah pengamat
pendidikan. Sifat kompetitif yang didengungkan di kelas bertaraf internasional
sangat rentan pada tindakan tidak empati dan intoleransi sebagai akibat kuatnya
keinginan menjadi yang terpandai di kelas. Sebagai pembandingnya, maka kelas
reguler dengan keberagaman kemampuan akademik menjadi pilihan yang tepat
dalam mengembangkan empati dan toleransi.
Interaksi antara model pembelajaran baik cooperative learning maupun
individual learning dalam pendidikan jasmani dengan kemampuan berempati dan
toleransi, memerlukan pengalaman langsung (experiential learning). Penelitian
eksperimen ini mengacu pada kerangka berpikir bahwa pembelajaran pendidikan
jasmani menyediakan pengalaman langsung tentang nilai-nilai positif, yang
hanya akan terserap secara bermakna jika pembelajaran tersebut dikemas secara
tepat sesuai dengan nilai-nilai mana yang akan ditanamkan. Cooperative
learningmengemas pendidikan jasmani menjadi proses yang kental dengan
kerjasama dalam kelompok-kelompok kecil, interaksi individu/siswa selalu terjadi
dalam setiap adegan pembelajaran, mulai dari persiapan hingga penilaian.
Interaksi antar siswa memungkinkan tumbuh suburnya nilai moral empati dan
Sri Winarni, 2012
C.Desain Penelitian
Penelitian ini dirancang untuk mengembangkan nilai moral empati dan
toleransi pada dua kelas yang berbeda yaitu kelas berstandar Internasional dan
kelas reguler, dengan dua model yang berbeda yaitu model cooperative learning
dan model individual learning. Sampel dalam penelitian ini baik untuk kelompok
eksperimen maupun kelompok kontrol tidak dipilih secara random, sehingga
desain penelitian seperti ini disebut non-equivalent comparative pretest
posttestcontrol group design (Sugiyono, 2011: 79), dapat digambarkan sebagai
berikut:
O1 X1a O1’
O2 X1b O2’
O3 X2a O3’
[image:45.595.113.514.240.635.2]O4 X2b O4’
Gambar 3.13. Desain Penelitian
Keterangan: