• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENINGKATKAN KEMAMPUAN REPRESENTASI DAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA SMP MELALUI PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK : Studi Kuasi Eksperimen pada Siswa SMP di Kabupaten Cianjur.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MENINGKATKAN KEMAMPUAN REPRESENTASI DAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA SMP MELALUI PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK : Studi Kuasi Eksperimen pada Siswa SMP di Kabupaten Cianjur."

Copied!
135
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSEMBAHAN ……….. viii

DAFTAR ISI ... ix

(2)

C. Instrumen Penelitian... 45

C.1 Silabus, RPP, Bahan Ajar ... 45

C.2 Instrumen Tes Kemampuan Representasi dan Berpikir Kritis Matematis ... 45

C.2.1 Analisis Validitas Tes ... 48

C.2.2 Analisis Reliabilitas ... 50

C.2.3 Analisis Daya Pembeda ... 52

C.2.4 Analisis Tingkat Kesukaran ... 53

C.3 Angket Skala Sikap ... 56

C,4 Lembar Observasi ... 56

C.5 Daftar Pertanyaan Wawancara ... 57

D. Prosedur Penelitian ... 57

D.1 Tahap Persiapan ... 57

D.2 Tahap Pelaksanaan ... 58

D.3 Pengolahan Data ... 60

D.3.1 Analisis Data Kuantitatif ... 60

D.3.2 Analisis Data Kualitatif ... 64

E. Tahapan Penelitian ... 66

F. Jadwal Penelitian ... 67

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 68

A.1 Data Kuantitatif ... 69

A.2 Data Kualitatif ... 84

B. Pembahasan... 105

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 121

B. Saran ... 123

(3)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

3.1 Pedoman Penskoran Kemampuan Representasi Matematis ……….. 46

3.2 Pedoman Penskoran Kemampuan Berpikir Kritis Matematis …………... 47

3.3 Interpretasi Validitas Butir Soal ………... 49

3.4 Hasil Perhitungan Uji Validitas Tes Kemampuan Representasi Matematis……… 49

3.5 Hasil Perhitungan Uji Validitas Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis……… 49

3.6 Klasifikasi Reliabilitas ………... 51

3.7 Reliabilitas Tes Kemampuan Representasi dan Berpikir Kritis Matematis……… 51

3.8 Klasifikasi Daya Pembeda ………. 52

3.9 Daya Pembeda Tes Kemampuan Representasi Matematis ……… 53

3.10 Daya Pembeda Tes Kemampuan Berpikir kritis Matematis ……….. 53

3.11 Klasifikasi Indeks Kesukaran ……… 54

3.12 Tingkat Kesukaran Tes Kemampuan Representasi Matematis ………… 54

3.13 Tingkat Kesukaran Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis ……….. 54

3.14 Gambaran Umum Hasil Analisis Data Uji Coba Tes Kemampuan Representasi Matematis……….. 55

3.15 Gambaran Umum Hasil Analaisis Data Uji Coba Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis………... 55

3.16 3.17

Kategori Skor Gain Ternormalisasi……… Kriteria Persentase Angket ………...

(4)

3.18 Interpretasi Angket ……… 65

3.19 Klasifikasi Skor Aktivitas ……….. 65

3.20 Jadwal Pelaksanaan Penelitian ……….. 67

4.1 Rekapituliasi Hasil Skor Pretes, Postes, dan N-Gain Kemampuan Representasi dan Berpikir Kritis Matematis ………... 69

4.2 Hasil Uji Normalitas Skor Pretes, Postes, dan N-Gain Kemampuan Representasi Matematis ………. 72

4.3 Hasil Uji Normalitas Skor Pretes, Postes, dan N-Gain Kemampuan Berpikir Kritis Matematis ……….. 73

4.4 Hasil Uji Homogenitas Skor Postes Kemampuan Representasi Matematis……… 75

4.5 Hasil Uji Homogenitas Skor Postes dan N-Gain Kemampuan Berpikir Kritis Matematis ……… 76

4.6 Rekapitulasi Uji Statistik Skor Pretes………... 76

4.7 Rekapitulasi Uji Statistik Skor Postes………... 77

4.8 Rekapitulasi Uji Statistik Skor Gain Ternormalisasi ……..………... 78

4.9 Hasil Uji Kesamaan Rerata Skor Pretes Kemampuan Representasi Matematis…………... 79

4.10 Hasil Uji Kesamaan Rerata Skor Pretes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis……… 80

4.11 Hasil Uji Perbedaan Rerata Skor Gain Kemampuan Representasi Matematis……… 81

(5)

4.13 Hasil Uji Perbedaan Rerata Skor N-Gain Kemampuan Berpikir Kritis

Matematis……… 83

4.14 Hasil Uji Perbedaan Rerata Skor Postes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis………... 84

4.15 Rekapitulasi Hasil Pengamatan Aktivitas Siswa ………... 85

4.16 Rata-rata Skor Postes Kemampuan Representasi Matematis ……… 91

4.17 Rata-rata Skor Postes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis …………. 94

4.18 Analisis Data Angket Sikap Siswa terhadap Matematika ………. 97

(6)

DAFTAR GAMBAR

Gambar

3.1 Tahapan Penelitian……… 66

4.1 Rata-rata Skor Tes Kemampuan Representasi dan Berpikir Kritis Matematis ………. 71

4.2 Aktivitas Siswa Mengomunikasikan Gagasan ………. 86

4.3 Model for yang Dibuat Siswa dalam LAS……… 88

4.4 Aktivitas Presentasi Hasil Kerja Kelompok………. 89

4.5 Hasil Pengamatan Rata-rata Skor Aktivitas Siswa……….. 90

4.6 Contoh Jawaban Siswa Soal no. 2……… 92

4.7 Rata-rata Skor Postes Kemampuan Representasi Matematis……… 93

4.8 Contoh Jawaban Siswa Soal no. 5……… 95

(7)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

A. Instrumen Penelitian ……….. 129

B. Analisis Hasil Uji Coba………. 194

C. Analisis Data Hasil Penelitian……… 204

D. Data Skala Sikap Siswa ……… 219

(8)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No.22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk satuan Pendidikan Dasar dan Menengah memuat tentang tujuan setiap mata pelajaran. Mata pelajaran matematika bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:

1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.

2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.

3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.

4. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.

(9)

Proses pembelajaran matematika di kelas diharapkan dapat mencapai tujuan pembelajaran seperti yang tercantum dalam Standar Isi. Untuk mencapai kelima tujuan pembelajaran matematika tersebut bukan pekerjaan yang mudah. Dalam implementasinya guru harus memiliki kemampuan yang professional dan kreatif.

Tujuan pembelajaran matematika di Indonesia sudah memperhatikan pengembangan kemampuan berpikir matematis siswa. Karena matematika merupakan hal yang abstrak maka untuk dapat berpikir matematis dan mengkomunikasikan ide-ide matematis memerlukan representasi dalam berbagai cara. Hudiono (2005) menyatakan bahwa khususnya komunikasi dalam matematika sangat memerlukan representasi eksternal berupa: simbol tertulis, gambar (model) ataupun obyek fisik. Wahyudin (2008) juga mengemukakan bahwa representasi-representasi bisa membantu siswa untuk mengatur pemikiran.

(10)

melakukan perhitungan, seperti menjumlahkan, mengurangi, mengalikan atau membagi bilangan-bilangan yang tercantum tanpa memahami maknanya (Nurhayati, 2004). Hal ini mengindikasikan rendahnya kemampuan representasi matematis yang dimiliki siswa.

Rendahnya kemampuan representasi siswa juga dikemukakan oleh Kusmaydi (2010), masih banyak siswa SMP yang tidak mampu menyatakan benda nyata, gambar dan diagram ke dalam ide matematis, dan juga tidak mampu menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika. Amri (2009) mengemukakan bahwa siswa tidak pernah diberikan kesempatan untuk menghadirkan representasinya sendiri yang dapat meningkatkan perkembangan daya representasi siswa dalam pembelajaran matematika, siswa cenderung meniru prosedur guru. Partini (2009) juga mengemukakan bahwa rendahnya kemampuan representasi menyebabkan kemampuan penalaran matematis siswa SMA juga masih rendah. Kemampuan penalaran matematis membutuhkan suatu wahana komunikasi (baik verbal maupun tulisan), dinyatakan dalam suatu bentuk representasi atau representasi multipel.

(11)

Kemampuan-kemampuan berpikir siswa dalam pembelajaran harus difasilitasi agar siswa terbiasa menggunakan potensi berpikirnya, tidak hanya melakukan kegiatan matematika yang sederhana. Kegiatan matematika yang sederhana biasanya merupakan kegiatan menyelesaikan soal-soal yang rutin. Kegiatan ini dikategorikan sederhana karena tingkat berpikirnya kurang mendalam. Dalam matematika kegiatan berpikir seperti ini disebut low-order mathematical thinking, sedangkan kegiatan matematika yang lebih kompleks, misalnya berpikir kritis dan kreatif dalam memandang suatu persoalan, merupakan kegiatan berpikir yang melibatkan daya nalar yang tinggi. Kegiatan berpikir seperti ini disebut high-order mathematical thinking skill (Sumarmo, 2006).

Salah satu kemampuan berpikir yang dicantumkan dalam SKL SMP-MTs adalah kemampuan berpikir kritis. Kemampuan ini sangat diperlukan oleh setiap individu untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan kecermatan dalam membuat keputusan.

(12)

menyelesaikan soal yang menantang. Temuan ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Somakim (2010) bahwa kemampuan berpikir kritis siswa kurang terlatih, karena situasi seperti menguji, mempertanyakan, menghubungkan, mengevaluasi semua aspek yang ada dalam suatu situasi ataupun masalah belum muncul dalam pembelajaran konvensional.

Berdasarkan hasil wawancaranya dengan guru, Hasratuddin (2010) mengungkapkan bahwa guru-guru belum banyak tahu tentang model-model pembelajaran yang melibatkan aktivitas siswa sehingga mereka hanya menggunakan pembelajaran konvensional, lebih menekankan pada latihan mengerjakan soal-soal rutin atau drill dan kurang melibatkan aktivitas mental siswa. Kondisi ini menyebabkan hasil pendidikan hanya mampu menghasilkan insan-insan yang kurang memiliki kesadaran diri, kurang berpikir kritis, kurang kreatif, kurang mandiri, dan kurang mampu berkomunikasi secara luwes dengan lingkungan belajar atau kehidupan sosial masyarakat.

(13)

membutuhkan representasi matematis. Dengan demikian kemampuan berpikir kritis terkait erat dengan kemampuan representasi matematis.

Rendahnya kemampuan representasi matematis siswa serta tidak terfasilitasinya kemampuan berpikir kritis matematis disebabkan berbagai faktor, baik faktor internal dari siswa itu sendiri atau faktor eksternal. Guru sebagai pendidik memiliki peran penting dalam menciptakan kondisi pembelajaran yang memfasilitasi semua aktivitas dan kebutuhan siswa sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai seperti yang diharapkan oleh semua pihak. Hal ini sesuai dengan teori belajar yang dikemukakan oleh Vygotsky bahwa dalam mengkonstruk pengetahuannya, siswa membutuhkan suatu struktur, petunjuk, kepedulian dan bantuan orang-orang sekitarnya (Suparno, 1997).

Kurikulum yang disusun oleh pemerintah hanya memuat Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang harus dimiliki siswa. Mengenai tahapan, bahan dan cara mencapainya diserahkan sepenuhnya kepada guru. Guru dituntut untuk mampu mengembangkan proses pembelajaran yang inovatif, seperti yang dicantumkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan

Menengah, yaitu: “Proses pembelajaran pada setiap satuan pendidikan dasar dan

(14)

pembelajaran sebaiknya dilakukan melalui proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.

Berkaitan dengan proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi maka proses pembelajaran matematika hendaknya memberikan kesempatan secara luas kepada siswa untuk menggali atau menemukan kembali konsep-konsep matematika dengan belajar dan berpikir secara aktif atau terlibat di dalamnya. Guru hanya memberi motivasi dan berfungsi sebagai fasilitator, siswa mengkonstruksi sendiri konsep-konsep secara bertahap, kemudian memberi makna konsep tersebut melalui penerapannya dengan konsep lain, bidang studi lain, bahkan dalam kehidupan nyata yang dihadapinya.

Berbagai alternatif pendekatan, model pembelajaran serta metode dapat digunakan dalam pembelajaran matematika sesuai Standar Proses, sebagai upaya untuk mencapai kompetensi yang diharapkan. Khusus untuk pembelajaran matematika, dalam lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah tercantum: ”Dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem). Dengan mengajukan masalah kontekstual, peserta didik secara bertahap dibimbing untuk menguasai konsep matematika”.

(15)

belajar siswa aktif dan konstruktif, yang memungkinkan kemampuan matematis siswa dapat berkembang secara optimal. Menurut Freudenthal (Wijaya, 2012) matematika sebaiknya tidak diberikan kepada siswa sebagai suatu produk jadi yang siap pakai, melainkan sebagai suatu bentuk kegiatan dalam mengkonstruksi konsep matematika.

Pembelajaran matematika dengan menerapkan pendekatan PMR bertolak dari masalah-masalah kontekstual, siswa belajar mematematisasi masalah-masalah kontekstual, menurut Treffers (Fauzan, 2008) proses ini disebut horizontal matematisasi, setelah melalui simplifikasi dan formalisasi siswa akan menemukan suatu algoritma dan konsep matematika. Proses menemukan algoritma dan konsep matematika disebut vertikal matematisasi. Konteks yang digunakan diawal pembelajaran memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan eksplorasi, hasil eksplorasi selanjutnya dikembangkan menuju penemuan dan pengembangan konsep melalui proses elaborasi yaitu meliputi horizontal matematisasi dan vertikal matematisasi. Proses terakhir adalah konfirmasi yang ditujukan untuk membangun argumen menguatkan hasil proses eksplorasi dan elaborasi. Proses konfirmasi terjadi pada kegiatan komunikasi gagasan dalam kelompok dan tangggapan pada waktu presentasi kelompok. Dengan demikian pendekatan PMR sejalan dengan kurikulum karena karakteristik PMR sudah meliputi proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.

(16)

matematika kembali ke dunia nyata. Dengan kata lain, yang kita lakukan dalam pendidikan matematika adalah mengambil sesuatu dari dunia nyata,

“mematematisasinya”, kemudian membawanya kembali ke dunia nyata (Fauzan,

2008).

Pendekatan PMR dalam kaitannya dengan kemampuan berpikir kritis matematis dikemukakan oleh Somakim (2010) yakni aktivitas kemampuan berpikir kritis dapat dimunculkan dalam hal menghadapi tantangan, hal-hal yang baru, non rutin, misal masalah kontekstual matematika. Kondisi-kondisi ini dapat diperoleh melalui pendekatan PMR. Kaitan antara pendekatan PMR dengan kemampuan representasi matematis diungkapkan oleh Sulastri (2009) bahwa pendekatan PMR memberikan peluang untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi dengan matematis. Hal ini tercermin pada saat siswa mengomunikasikan ide-idenya dalam upaya menjawab masalah-masalah kontekstual yang diberikan guru. Siswa aktif berdiskusi, dan mempertanggungjawabkan perolehan jawaban mereka.

(17)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka secara umum permasalahan dalam penelitian ini adalah: Apakah pembelajaran dengan pendekatan PMR dapat meningkatkan kemampuan representasi matematis dan berpikir kritis matematis siswa SMP?

Secara lebih terperinci, permasalahan di atas dijabarkan sebagai berikut:

1. Bagaimana kualitas kemampuan representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan PMR dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional?

2. Bagaimana kualitas kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan PMR dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional?

3. Apakah peningkatan kemampuan representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan PMR lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional?

4. Apakah peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan PMR lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional?

5. Bagaimana aktivitas siswa dalam proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan PMR?

(18)

7. Bagaimana sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan PMR?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengkaji hasil penelitian secara komprehensif tentang kualitas kemampuan representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan PMR dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. 2. Mengkaji hasil penelitian secara komprehensif tentang kualitas kemampuan

berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan PMR dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. 3. Mengkaji hasil penelitian secara komprehensif tentang peningkatan

kemampuan representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan PMR dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.

4. Mengkaji hasil penelitian secara komprehensif tentang peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan PMR dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.

5. Memperoleh deskripsi hasil penelaahan secara komprehensif tentang aktivitas siswa dalam proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan PMR. 6. Mengkaji kesulitan siswa dalam menyelesaikan soal-soal tes kemampuan

(19)

7. Sebagai pelengkap, mengkaji tentang sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan PMR.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan menghasilkan temuan-temuan yang dapat memberikan kontribusi yang positif bagi kualitas pembelajaran matematika, dan memberikan manfaat bagi semua pihak yang terlibat di dalam dunia pendidikan, antara lain:

1. Bagi siswa, pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR diharapkan dapat melatih siswa untuk mengamati, menemukan suatu konsep dan merepresentasikannya, untuk digunakan dalam menyelesaikan permasalahan. Di samping itu juga melatih siswa menyelesaikan masalah sehari-hari dengan menggunakan proses berpikir kritis matematis.

2. Bagi guru, apabila pembelajaran dengan pendekatan PMR dapat meningkatkan kemampuan repesentasi dan kemampuan berpikir kritis matematis siswa, maka pendekatan PMR dapat dijadikan sebagai salah satu pilihan dalam pelaksanaan pembelajaran matematika yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kualitas pembelajaran, sehingga pembelajaran lebih bermakna bagi siswa.

(20)

E. Definisi Operasional

Variabel-variabel perlu diperjelas agar tidak menimbulkan perbedaan penafsiran rumusan masalah dalam penelitian ini, oleh karena itu variabel-variabel didefinisikan sebagai berikut:

1. Kemampuan Representasi Matematis

Kemampuan representasi matematis adalah kemampuan menyajikan ide-ide yang terkandung dalam suatu permasalahan matematika ke dalam bentuk lain, yaitu meliputi:

a. Visual: diagram, grafik, tabel, gambar b. Persamaan atau ekspresi matematik c. Kata-kata atau teks tertulis.

2. Kemampuan Berpikir Kritis Matematis

Kemampuan berpikir kritis matematis adalah kemampuan berpikir dimana siswa dihadapkan pada situasi yang tidak dikenal dan siswa menggunakan pengetahuan yang dimiliknya, penalaran matematika dan strategi kognitif untuk menghasilkan generalisasi, pembuktian atau evaluasi. Dan secara reflek mengkomunikasikan solusi dengan penuh pertimbangan, membuat makna tentang jawaban atau argumen yang masuk akal, menentukan alternatif untuk menjelaskan konsep atau memecahkan persoalan, dan pengembangan studi lebih lanjut.

3. Pendidikan Matematika Realistik

(21)
(22)

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Representasi Matematis

Tujuan pembelajaran matematika telah mengalami perubahan, tidak hanya menekankan pada peningkatan hasil belajar, tetapi juga diharapkan dapat meningkatkan berbagai kemampuan. Salah satu kemampuan matematika yang perlu dikuasai siswa adalah kemampuan representasi.

Kemampuan representasi dalam matematika sangat diperlukan karena representasi merupakan cara yang digunakan siswa untuk mengomunikasikan ide-ide, gagasan, atau jawaban dari suatu permasalahan. Terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli berkenaan tentang representasi, salah satunya Pape dan Tchoshanov (Luitel, 2001) mengemukakan bahwa terdapat empat gagasan yang digunakan dalam memahami konsep representasi, pertama representasi dapat dipandang sebagai abstraksi internal dari ide-ide matematis atau skemata kognitif yang dibangun oleh siswa melalui pengalaman. Kedua, sebagai reproduksi mental dari keadaan mental yang sebelumnya. Ketiga, sebagai sajian secara struktural melalui gambar, simbol ataupun lambang; dan yang terakhir, sebagai pengetahuan tentang sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain.

(23)

(1) matematika mempunyai peranan penting dalam mengkonseptualisasi dunia nyata; (2) matematika membuat homomorphis yang merupakan penurunan dari struktur hal-hal lain yang pokok.

Representasi dibagi menjadi beberapa jenis, Hiebert dan Carpenter (Hudojo, 2002) mengemukakan bahwa pada dasarnya representasi dapat dinyatakan sebagai internal dan eksternal. Berpikir tentang ide matematis yang kemudian dikomunikasikan memerlukan representasi eksternal yang wujudnya antara lain: verbal, gambar dan benda kongkret. Berpikir tentang ide matematis yang memungkinkan pikiran seseorang bekerja atas dasar ide tersebut merupakan representasi internal.

Bentuk-bentuk operasional yang menggambarkan representasi eksternal matematis dapat dirinci dalam tabel berikut (Amri, 2009):

No Representasi Bentuk-bentuk operasional

1. Visual, berupa: Diagram, grafik, tabel, atau gambar

1. Menyajikan kembali data atau informasi dari suatu representasi ke representasi diagram, grafik, atau tabel

2. Menggunakan representasi visual untuk menyelesaikan masalah

3. Membuat gambar pola-pola geometri untuk

memperjelas masalah dan memfasilitasi penyelesaian 2. Persamaan atau

ekspresi matematis

1. Membuat persamaan atau model matematik dari representasi lain yang diberikan

2. Membuat konjektur dari pola suatu bilangan

3. Penyelesaian masalah dengan melibatkan ekspresi matematik

3. Kata-kata atau teks tertulis

1.Membuat situasi masalah berdasarkan data atau representasi yang diberikan

2. Menulis interpretasi dari suatu representasi 3. Menulis langkah-langkah penyelesaian masalah

matematik dengan kata-kata

4. Menyusun cerita yang sesuai denga suatu representasi yang disajikan

(24)

Adapun indikator kemampuan representasi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menggunakan representasi visual berupa diagram, grafik, tabel dan gambar. 2. Membuat persamaan atau model matematika dari representasi lain yang

diberikan.

3. Menyusun cerita atau menulis interpretasi yang sesuai dengan suatu representasi yang disajikan.

B. Berpikir Kriris Matematis

Berpikir kritis adalah berpikir tingkat tinggi. Kemampuan berpikir kritis seharusnya dimiliki oleh setiap siswa untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi permasalahan kehidupan, karena berpikir kritis ini merupakan dasar seseorang untuk mengambil suatu keputusan.

(25)

Menurut Ennis (Hassoubah, 2004) berpikir kritis adalah berpikir rasional dan reflektif yang difokuskan pada pemutusan terhadap apa yang harus diyakini atau dilakukan. Jadi berpikir kritis ini sangat penting karena digunakan untuk mengambil keputusan dengan alasan-alasan yang tepat. Selain itu, Ennis juga mengungkapkan dua belas indikator berpikir kritis yang dikelompokkan dalam lima kelompok kemampuan berpikir kritis, yaitu:

1. Memberikan penjelasan sederhana (elementary clarification): a. Memfokuskan pada suatu pertanyaan.

b. Menganalisis argumen.

c. Bertanya dan menjawab pertanyaan yang mengklarifikasi dan menantang. 2. Membangun keterampilan dasar (basic support):

a. Mempertimbangkan kredibilitas sumber.

b. Mengobservasi dan mempertimbangkan hasil observasi. 3. Membuat inferensi (inferring):

a. Melakukan dan mempertimbangkan deduksi.

b. Mengobservasi dan mempertimbangkan hasil observasi. c. Membuat dan mempertimbangkan nilai keputusan. 4. Membuat penjelasan lebih lanjut (advanced clarification):

a. Mendefinisikan istilah dan mempertimbangkan definisi. b. Mengidentifikasi asumsi.

5. Mengatur strategi dan taktik (strategies and tactics): a. Memutuskan suatu tindakan.

(26)

Watson dan Glazer (Rohayati, 2005) mengungkapkan indikator untuk menilai kemampuan berpikir kritis, yaitu dengan melakukan pengukuran melalui tes yang mencakup lima buah indikator, yaitu mengenal asumsi, melakukan inferensi, deduksi, interpretasi, dan mengevaluasi argumen. Bloom mengaitkan berpikir kritis dengan taxonominya, menurut Bloom (Duron, et all., 2006) analisis didefinisikan sebagai berpikir kritis yang terfokus pada bagian-bagian dan fungsi-fungsinya terhadap keseluruhan, sintesis didefinisikan sebagai berpikir kritis yang terfokus pada bagian-bagian secara bersama membentuk sesuatu keseluruhan yang baru dan asli, evaluasi didefinisikan sebagai berpikir kritis untuk menilai dan mempertimbangkan berdasarkan informasi yang ada.

Berpikir kritis bervariasi dari bidang ke bidang, matematika memiliki karakteristik berbeda dengan disiplin ilmu lainnya. Glazer (Karim, 2010) mengemukakan definisi berpikir kritis dalam matematika yaitu kemampuan dan disposisi untuk menyertakan pengetahuan sebelumnya, penalaran matematika dan strategi kognitif untuk menggeneralisasi, membuktikan, atau mengevaluasi situasi-situasi matematika yang tidak familiar secara reflektif. Berdasarkan rumusan definisi tersebut Glazer menyebutkan syarat-syarat untuk berpikir kritis dalam matematika, yaitu:

1. Adanya situasi yang tidak dikenal atau akrab sehingga individu tidak dapat dengan cepat mengenali atau memahami konsep matematika atau mengetahui bagaimana menentukan solusi suatu masalah.

(27)

3. Menghasilkan generalisasi, pembuktian atau evaluasi.

4. Berpikir reflektif yang melibatkan pengkomunikasian solusi dengan penuh pertimbangan, membuat makna tentang jawaban atau argumen yang masuk akal, menentukan alternatif untuk menjelaskan konsep atau memecahkan persoalan, dan pengembangan studi lebih lanjut.

Adapun indikator kemampuan berpikir kritis matematis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Memberikan penjelasan sederhana dengan memberikan argumen sendiri. 2. Membuat kesimpulan.

3. Mengatur strategi dan taktik, yaitu mengidentifikasi masalah sehingga menemukan jawaban yang benar dan logis.

C. Pendidikan Matematika Realistik (PMR)

(28)

Menurut Wijaya (2012) penggunaan kata “realistik” sebenarnya berasal

dari bahasa Belanda “zich realiseren” yang berarti “untuk dibayangkan” atau “to

imagine”. Menurut Van den Heuvel-Panhuizen, penggunaan kata “realistic” tersebut tidak sekedar menunjukkan adanya suatu koneksi dengan dunia nyata (real-world) tetapi lebih mengacu pada fokus Pendidikan Matematika Realistik dalam menempatkan penekanan penggunaan suatu situasi yang bisa dibayangkan (imagineable) oleh siswa (Wijaya, 2012).

Konsep utama dari PMR adalah kebermaknaan konsep matematika. Menurut Freudenthal proses belajar siswa hanya akan terjadi jika pengetahuan (knowledge) yang dipelajari bermakna bagi siswa. Dan menurut CORD, suatu pengetahuan akan menjadi bermakna bagi siswa jika proses pembelajaran dilaksanakan dalam suatu konteks atau pembelajaran menggunakan permasalahan realistik (Wijaya, 2012).

(29)

Dalam belajar bermakna, materi yang akan dipelajari siswa harus bermakna, materi harus memiliki kebermaknaan logis dan gagasan-gagasan yang relevan harus terdapat dalam struktur kognitif siswa. Materi yang bermakna logis adalah materi yang mempunyai sifat keajekan dengan apa yang telah diketahui dan materi itu dapat dinyatakan dalam berbagai cara, tanpa mengubah arti. Materi yang disusun dari yang paling inklusif. Belajar bermakna lebih mudah berlangsung apabila materi-materi baru dikaitkan pada materi yang lebih inklusif. Dengan demikian materi-materi itu tersusun secara hierarkhis sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa.

Menurut Ausubel, seseorang belajar dengan mengasosiasikan fenomena baru kedalam skema yang telah dipunyai. Seseorang dapat mengembangkan skema yang ada atau dapat mengubahnya. Dalam proses belajar ini siswa mengkontruksi apa yang ia pelajari. Dalam teori belajar bermakna Ausubel ini menekankan pentingnya siswa mengaitkan informasi yang baru dipelajari dengan sistem pengertian yang telah dimiliki. Informasi baru itu diserap oleh siswa secara aktif ke dalam konsep atau pengertian yang sudah dimiliki siswa (Suparno, 1997).

Pendidikan Matematika Realistik memiliki karakteristik tertentu. Treffers merumuskan lima karakteristik (Wijaya, 2012), yaitu:

a) Penggunaan konteks

(30)

penggunaan konteks, siswa dilibatkan secara aktif untuk melakukan kegiatan eksplorasi permasalahan.

Penggunaan permasalahan realistik dalam PMR memiliki posisi yang berbeda dengan penggunaan permasalahan realistik dalam pendekatan mekanistik. Menurut Wijaya (2012) dalam PMR, permasalahan realistik digunakan sebagai pondasi dalam membangun konsep matematika atau disebut juga sebagai sumber untuk pembelajaran (a source for learning). Sedangkan dalam pendekatan mekanistik permasalahan realistik ditempatkan sebagai bentuk aplikasi suatu konsep matematika sehingga sering juga disebut sebagai kesimpulan atau penutup dari proses pembelajaran (the conclusion of learning).

Menurut Treffers dan Goffree (Wijaya, 2012), konteks memiliki beberapa fungsi dan peranan penting, yaitu:

1. Pembentukan konsep (concept forming)

Fungsi paling fundamental dari konteks dalam PMR adalah memberikan siswa suatu akses yang alami dan motivatif menuju konsep matematika. Konteks harus memuat konsep matematika tetapi dalam suatu kemasan yang bermakna bagi siswa sehingga konsep matematika tersebut dapat dibangun atau ditemukan kembali secara alami oleh siswa.

2. Pengembangan model (model forming)

(31)

sebagai alat untuk menerjemahkan konteks dan juga alat untuk mendukung proses berpikir.

3. Penerapan (applicability)

Peran konteks bukan lagi untuk mendukung penemuan dan pengembangan konsep matematika tapi untuk menunjukkan bagaimana suatu konsep matematika ada di realita dan digunakan dalam kehidupan nyata. Dunia nyata merupakan suatu sumber dan sekaligus tujuan penerapan sejumlah konsep matematika.

4. Melatih kemampuan khusus (specific abilities) dalam situasi terapan

Kemampuan melakukan identifikasi, generalisasi, dan pemodelan merupakan hal-hal yang berperan penting dalam menghadapi suatu siatuasi terapan.

b) Penggunaan model untuk matematisasi progresif

Dalam Pendidikan Matematika Realistik, model digunakan dalam melakukan matematisasi secara progresif. Penggunaan model berfungsi sebagai jembatan dari pengetahuan dan matematika tingkat kongkret menuju pengetahuan matematika tingkat formal. Ada dua macam model yaitu model of dan model for. Menurut Gravermeijer (Wijaya, 2012), ada empat level atau tingkatan dalam pengembangan model, yaitu:

1. Level situasional

(32)

2. Level referensional

Pada level ini, model dan strategi yang dikembangkan tidak berada dalam konteks situasi, melainkan sudah merujuk pada konteks. Siswa membuat model untuk menggambarkan situasi konteks sehingga hasil pemodelan pada level ini disebut sebagai model dari (model of) situasi.

3. Level general

Pada level general, model yang dikembangkan siswa sudah mengarah pada pencarian solusi secara matematis. Model pada level ini disebut model untuk (model for) penyelesaian masalah.

4. Level formal

Pada level formal, siswa sudah bekerja dengan menggunakan simbol dan representasi matematis. Tahap formal merupakan tahap perumusan dan penegasan konsep matematika yang dibangun oleh siswa.

c) Pemanfaatan hasil konstruksi siswa

Dalam Pendidikan Matematika Realistik siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Siswa memiliki kebebasan untuk mengembangkan strategi pemecahan masalah sehingga diharapkan akan diperoleh strategi yang bervariasi. Hasil kerja dan konstruksi siswa selanjutnya digunakan untuk landasan pengembangan konsep matematika.

d) Interaktivitas

(33)

kerja dan gagasan mereka. Pemanfaatan interaksi dalam pembelajaran matematika bermanfaat dalam mengembangkan kemampuan kognitif dan afektif siswa secara simultan.

Interaktivitas didasarkan pada teori belajar Vygotsky, penekanannya pada sosiokultural dalam pembelajaran. Siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya, lingkungan sosial merupakan faktor yang sangat penting, dan bergantung pada interaksi terhadap orang-orang disekitarnya. Pengetahuan, pemikiran, sikap dan tata nilai yang dimiliki siswa akan berkembang melalui proses interaksi. Proses interaksi dan negosiasi sangat menjembatani proses pengkonstruksian pengetahuan siswa.

Interaksi mempunyai peranan yang sangat penting dalam meningkatkan pengembangan konsep siswa sebagai proses internalisasi kegiatan belajar. Vygotsky mengemukakan bahwa peranan interaksi sosial dalam pembelajaran memberikan gambaran pengaruh fenomena sosial terhadap proses pembelajaran itu sendiri (Rahayu, 2006). Vygotsky juga menjelaskan bahwa dalam setiap perkembangannya siswa mengalami berbagai permasalahan yang beberapa diantaranya berada di luar jangkauan siswa walaupun sudah dijelaskan beberapa kali secara jelas. Dalam mengkonstruk pengetahuannya, siswa membutuhkan suatu struktur, petunjuk, kepedulian dan bantuan orang-orang sekitarnya (Suparno, 1997).

(34)

tanggapan pada saat presentasi kelompok. Interaktivitas ini bertujuan untuk menguatkan hasil penemuan konsep atau sebagai proses konfirmasi.

Menurut Vygotsky belajar merupakan suatu perkembangan pengertian, yang bersifat spontan dan ilmiah. Pengertian spontan adalah pengertian yang didapat dari pengalaman siswa sehari-hari. Pengertian spontan ini tidak dapat didefinisikan prosesnya dan terangkai secara sistematis logis. Pengertian ilmiah adalah pengertian formal yang didapat dari kelas, yang didefinisikan secara logis dalam sistem yang luas, dan menurut Fosnot dalam proses belajar terjadi perkembangan dari yang bersifat spontan menuju pengertian yang lebih ilmiah (Suparno, 1997)

(35)

Proses mengkonstruk dalam PMR dengan Scaffolding yang diberikan semuanya disajikan dalam bentuk LAS, untuk didiskusikan di dalam kelompok, dan setelah selesai diskusi kelompok dipresentasikan untuk proses penegasan atau penguatan konsep.

e) Keterkaitan

Konsep-konsep dalam matematika tidak bersifat parsial, namun banyak konsep matematika yang memiliki keterkaitan. Oleh karena itu, konsep-konsep matematika tidak dikenalkan kepada siswa secara terpisah atau terisolasi satu sama lain. Melalui keterkaitan ini, satu pembelajaran matematika diharapkan bisa mengenalkan dan membangun lebih dari satu konsep matematika secara bersamaan walau ada konsep yang dominan.

Selain memiliki karakteristik yang dirumuskan oleh Treffers, menurut Gravemeijer (Fauzan, 2008), PMR memiliki tiga prinsip kunci, yaitu:

1. Penemuan (kembali) secara terbimbing (Guided Reinvention)

Melalui topik-topik matematika yang disajikan, siswa harus diberi kesempatan untuk mengalami proses yang sama dengan proses yang dilalui oleh para pakar matematika ketika menemukan konsep-konsep matematika.

(36)

Asimilasi adalah penyerapan informasi baru kedalam pikiran, sedangkan akomodasi adalah penyusunan kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru sehingga informasi itu mempunyai tempat (Ruseffendi, 1991).

Pada dasarnya belajar adalah proses asimilasi dan akomodasi yang selalu dilakukan sampai terjadi keseimbangan antara keduanya. Terjadinya keseimbangan itu diberi istilah equilibration. Belajar tidak hanya menerima informasi dan pengalaman baru saja, tetapi juga terjadi penstrukturan kembali informasi dan pengalaman barunya.

Menurut Clara apabila pembelajaran berpijak pada teori Piaget, maka tujuan utama pendidikan adalah harus dipandang sebagi usaha untuk mengembangkan kemampuan intelektual dan menunjukkan kepada siswa cara efektif untuk mengembangkan seluruh kapasitas intelektualnya. Sehingga pembelajaran harus berpusat pada siswa dan penemuan sendiri, siswa harus dipandang sebagai subyek belajar, siswa harus diberi kesempatan untuk mendapatkan pegalaman belajar yang akan sangat berguna bagi perkembangan pengetahuannya. Peranan guru adalah sebagai fasilitator dan membimbing kegiatan belajar. Unsur proses belajar memegang peranan yang vital (Rahayu, 2006).

Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang mampu membuat

(37)

Berkaitan dengan PMR, proses konstruksi terjadi mulai dari awal pembelajaran dengan penggunaan konteks sampai siswa menemukan konsep matematika melalui pemodelan. Pembelajaran dirancang dengan menciptakan pembelajaran yang aktif dan konstruktif. Siswa diberi kesempatan untuk bereksperimen atau mencoba sendiri, sehingga peranan materi pelajaran akan lebih penting dibandingkan peranan guru. Siswa diberi kesempatan untuk melakukan proses penemuan secara terbimbing melalui Lembar Aktivitas Siswa (LAS) dalam PMR disebut Guided Reinvention. Peranan guru hanya membantu siswa untuk membimbing siswa supaya bisa mengkonstruksikan sendiri pemahamannya akan suatu objek atau membentuk skema-skema melalui proses equilibration. Siswa harus diajak untuk membandingkan yang diperolehnya dengan jawaban yang diperoleh siswa lain.

2. Fenomena didaktik (Didactical Phenomenology)

Topik-topik matematika yang disajikan harus dikaitkan dengan fenomena sehari-hari. Topik-topik ini dipilih dengan dua pertimbangan: (1) aplikasinya, (2) kontribusinya untuk perkembangan matematika lanjut.

3. Pemodelan (Emerging Models)

(38)

Pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR dapat dilakukan dengan memenuhi langkah-langkah yang dikemukakan Yuwono (2007). Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Memahami masalah kontekstual

Langkah ini merupakan kegiatan siswa dalam memahami masalah. Melalui penggunaan konteks, siswa dilibatkan secara aktif untuk melakukan kegiatan eksplorasi permasalahan (Wijaya, 2012).

2. Menyelesaikan masalah kontekstual

Langkah ini dilakukan siswa setelah siswa memahami masalah. Untuk menyelesaikan masalah kontekstual perlu digunakan model untuk menjembatani pengetahuan matematika tingkat kongkret menuju tingkat formal.

3. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban

Langkah ini merupakan proses interaksi dan komunikasi. Dalam proses ini antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru terjadi komunikasi untuk melakukan pertukaran ide atau gagasan.

4. Menyimpulkan

Langkah ini merupakan suatu kegiatan dimana siswa dan guru bersama-sama membuat kesepakatan untuk sampai pada konsep atau algoritma. Siswa diminta membuat kesimpulan secara mandiri tentang apa yang telah dikerjakan selama proses pembelajaran.

(39)

konteks pada awal pembelajaran memfasilitasi siswa untuk melakukan eksplorasi. Hasil kegiatan eksplorasi selanjutnya dikembangkan menuju penemuan konsep melalui proses elaborasi yang meliputi matematisasi horizontal dan vertikal. Dalam PMR juga terjadi interaktivitas dimana antar siswa terjadi komunikasi gagasan baik pada waktu kerja kelompok maupun tanggapan pada waktu presentasi, hal ini berguna untuk menguatkan hasil proses eksplorasi dan elaborasi, proses ini merupakan proses akhir dalam pembelajaran yaitu proses konfirmasi.

Dalam penelitian ini langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan PMR secara garis besar yang dilaksanakan di kelas adalah sebagai berikut:

a. Kegiatan Pendahuluan

1. Guru menyampaikan apersepsi dan motivasi. 2. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran.

3. Guru menjelaskan langkah-langkah pembelajaran dan hal-hal yang perlu dipersiapkan siswa.

4. Guru mengondisikan siswa untuk berkelompok. b. Kegiatan Inti

1. Siswa melakukan eksplorasi melalui konteks yang disajikan dalam LAS . 2. Siswa diminta untuk berdiskusi menyelesaikan masalah kontekstual dengan

menggunakan model, menuju penemuan konsep. 3. Guru membimbing siswa yang mendapat kesulitan.

(40)

5. Siswa bersama guru membahas hasil presentasi di depan kelas. c. Penutup

1. Siswa diminta membuat kesimpulan secara mandiri.

2. Guru membimbing siswa untuk menemukan konsep dan memberikan penguatan terhadap kesimpulan yang dibuat siswa.

3. Siswa dan guru bersama-sama melakukan refleksi.

D. Kaitan PMR dengan Kemampuan Representasi dan Berpikir Kritis

Matematis

Pembelajaran dengan pendekatan PMR merupakan pembelajaran yang berpusat pada siswa karena siswa diberi kesempatan untuk memecahkan masalah dari dunianya sendiri sesuai dengan potensi masing-masing, sedangkan guru hanya sebagai fasilitator. Pendekatan PMR mendorong siswa untuk aktif melakukan eksplorasi permasalahan. Siswa mengkonstruksi ilmu pengetahuannya melalui proses penemuan dari permasalahan kontekstual yang disajikan. Menurut Wijaya (2012) hasil eksplorasi siswa tidak hanya bertujuan untuk menemukan jawaban akhir dari permasalahan yang diberikan, tetapi juga diarahkan untuk mengembangkan berbagai strategi penyelesaian masalah yang bisa digunakan.

(41)

Berkaitan dengan penggunaan model pada PMR, Wijaya (2012) menjelaskan tentang kata matematisasi, yaitu suatu proses untuk memodelkan suatu fenomena secara matematis. Matematisasi menurut Freudenthal merupakan proses kunci dalam pendidikan matematika, berdasarkan tiga alasan. Pertama, matematisasi adalah kegiatan utama matematikawan. Kedua, matematisasi mengembangkan keteraplikasian dengan mengakrabkan siswa dengan pendekatan matematis pada setting kehidupan sehari-hari. Ketiga, matematisasi berhubungan secara langsung dengan penemuan kembali, suatu proses yang dialami siswa dalam memformalisasikan pemahaman informal dan intuisinya (Cobb, et all., 2008).

De Lange (Wijaya, 2012) membagi matematisasi menjadi dua yaitu matematisasi horizontal dan matematisasi vertikal. Proses matematisasi horizontal dapat dicapai melalui kegiatan-kegiatan berikut:

a. Identifikasi matematika dalam konteks umum b. Skematisasi

c. Formulasi dan visualisasi masalah dalam berbagai cara d. Pencarian keteraturan dan hubungan

e. Transfer masalah nyata ke dalam model matematika

Matematisasi vertikal merupakan bentuk proses formalisasi di mana model matematika yang diperoleh pada matematisasi horizontal menjadi landasan dalam pengembangan konsep matematika yang lebih formal. Proses matematisasi vertikal terjadi melalui serangkaian kegiatan sekaligus tahapan berikut:

(42)

b. Pembuktian keteraturan

c. Penyesuaian dan pengembangan model matematika d. Penggunaan model matematika yang bervariasi

e. Pengombinasian dan pengintegrasian model matematika f. Perumusan suatu konsep matematika baru

g. Generalisasi.

Terkait dengan proses matematisasi, Barnes (2004) menyatakan bahwa melalui pembelajaran dengan pendekatan PMR memunculkan konsep dan strategi alternatif siswa sehingga dapat membantu meningkatkan pemahaman konsep siswa. Melalui matematisasi horizontal siswa dapat mengidentifikasi atau menghilangkan kesalahan-kesalahan yang muncul terhadap konsep yang salah, sedangkan matematisasi vertikal berperan dalam membawakan konsep alternatif dan membantu siswa mengidentifikasi kesalahan dan mereka mampu membenarkannya.

Salah satu kemampuan berpikir kritis yang dikemukakan oleh Ennis (Hassoubah, 2004) adalah bertanya dan menjawab pertanyaan yang mengklarifikasi dan menantang. Melalui pendekatan PMR kemampuan ini akan muncul melalui pemberian konteks, siswa diarahkan melalui pertanyaan-pertanyaan yang menantang untuk menemukan konsep matematika.

(43)

saling bertukar pendapat, melakukan tanya jawab, memberikan komentar, atau kritik sehingga memungkinkan ditemukan jawaban-jawaban yang bervariasi. Berbeda halnya dengan pembelajaran yang dilaksanakan secara invidual, tidak terjadi interaksi antar siswa untuk mengkomunikasikan hasil kerja dan gagasan mereka.

Proses pembelajaran di kelas sebaiknya dipersiapkan secara komprehensif, sehingga berbagai kemampuan matematis terintegrasi dengan baik. Seperti halnya kemampuan representasi dan kemampuan berpikir kritis matematis pada prosesnya akan digunakan secara bersamaan. Berdasarkan karakteristik pendekatan PMR, siswa terdorong untuk melakukan representasi sendiri atas masalah kontekstual yang disajikan. Dan sebaliknya representasi akan digunakan kembali oleh siswa dalam mengatur strategi dan taktik untuk menyelesaikan masalah. Mengatur strategi dan taktik tersebut merupakan salah satu indikator berpikir kritis. Dengan demikian diduga PMR dapat meningkatkan kemampuan representasi dan berpikir kritis matematis siswa.

E. Penelitian yang Relevan

(44)

peningkatan kemampuan representasi kelas eksperimen lebih baik daripada kelas kontrol. Sejalan dengan Effendi, Aisyah (2012) juga meneliti tentang kemampuan representasi dan pemecahan masalah siswa kelas VIII SMP melalui mathematical modelling dalam pembelajaran problem-based learning.. Dari penelitian ini didapat hasil bahwa pembelajaran problem-based learning melalui mathematical modelling menunjukkan peran yang berarti dalam meningkatkan kemampuan representasi matematis, karena siswa belajar matematika melalui lembar aktivitas yang dirancang agar siswa melakukan konstruksi atas permasalahan yang diberikan.

Hidayat (2011) meneliti tentang kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis siswa melalui pembelajaran Kooperatif Think-Talk-Write (TTW). Sampel yang terlibat sebanyak 63 orang siswa kelas XI yang ada di satu SMA Negeri di Kota Cimahi. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pendekatan pembelajaran kooperatif TTW cukup berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa meskipun hasilnya belum optimal, karena berada pada kualifikasi sedang. Hal ini disebabkan pembelajaran TTW lebih memberikan akses kepada siswa untuk mengemukakan ide-ide, cara-cara, dan argumen-argumen yang berbeda. Pertanyaan-pertanyaan terbuka dan perintah-perintah lebih mengaktifkan siswa dalam belajar dan memberi kesempatan kepada siswa untuk belajar matematika secara bermakna.

(45)

dan berpikir kritis matematis siswa. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa SMP di Kecamatan Sungailiat, sedangkan sampelnya siswa kelas VIII SMP Negeri. Pendekatan proses berpikir reflektif berkaitan dengan pemikiran tingkat tinggi dan pemecahan masalah. Berdasarkan analisis data disimpulkan bahwa, baik peningkatannya maupun kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran menggunakan pendekatan proses berpikir reflektif lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional.

Penelitian-penelitian tentang kemampuan representasi dan kemampuan berpikir kritis melalui berbagai pendekatan yang berbeda telah diuraikan diatas, ada beberapa hasil penelitian yang sangat relevan yaitu penelitian tentang kemampuan berpikir kritis melalui pembelajaran dengan pendekatan PMR.

(46)

menggunakan model sebagai jembatan instrumen vertikal, adanya interaksi dan keterkaitan antar topik.

Berbeda dengan Nursyamsi, Hasratuddin (2010) melakukan penelitian dengan tujuan untuk mendeskripsikan perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis dan kecerdasan emosional siswa melalui pendekatan PMR berdasarkan peringkat sekolah dan gender. Sampel dalam penelitian ini siswa SMP kelas VIII di Kota Medan yang diambil secara acak dari sekolah peringkat tinggi, sedang dan rendah berdasarkan perolehan nilai Ujian Nasional Tahun 2008 yang dikeluarkan Diknas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekolah peringkat tinggi memiliki peningkatan kemampuan berpikir kritis yang lebih baik melalui pembelajaran PMR dibandingkan dengan sekolah peringkat sedang dan rendah. Dan kemampuan berpikir kritis siswa perempuan lebih baik peningkatannya dibanding siswa laki-laki.

(47)

dalam penemuan kembali konsep-konsep matematika dengan perantara masalah kontekstual.

Penelitian tentang kemampuan representasi matematis siswa yang dilakukan oleh Effendi (2012) melalui metode penemuan terbimbing dan Aisyah (2012) melalui pembelajaran problem-based learning berhasil meningkatkan kemampuan representasi matematis siswa SMP. Indikator kemampuan representasi yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah representasi simbolik, representasi grafis, dan representasi numerik.

Penelitian mengenai kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMA yang dilakukan oleh Hidayat (2011) melalui pembelajaran TTW, Lasmawati (2011) melalui proses berpikir reflektif berhasil meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa. Hasil penelitian yang dilakukan Nuryamsi (2010), Hasratuddin (2010), dan Somakim (2010), secara umum mengungkapkan bahwa peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMP yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan PMR lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. Indikator yang digunakan untuk dalam penelitian tersebut pada umumnya menggunakan indikator yang dikemukakan Ennis yaitu memberikan penjelasan sederhana, membangun keterampilan dasar, membuat inferensi, membuat penjelasan lebih lanjut, dan mengatur strategi dan taktik.

(48)

Aisyah (2012), yaitu ditambahkan indikator representasi kata-kata, artinya diteliti kemampuan siswa dalam menyusun cerita atau menulis interpretasi yang sesuai dengan representasi yang disajikan. Mengenai kemampuan berpikir kritis yang telah diteliti oleh Hidayat (2011), Lasmawati (2011), Nursyamsi (2010), Hasratuddin (2010), dan Somakim (2010) telah berhasil menunjukkan peningkatan kemampuan berpikir kritis. Pada penelitian ini disamping meneliti peningkatan kemampuan berpikir kritis, juga mengkaji kesulitan siswa dalam meyelesaikan soal-soal tes kemampuan berpikir kritis. Indikator yang digunakan dalam penelitian ini adalah yang dikemukakan Ennis dan difokuskan pada tiga indikator yaitu, memberikan penjelasan sederhana, membuat kesimpulan, mengatur strategi dan taktik.

F. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah dan hasil kajian teoritis, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah:

a. Kemampuan representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan PMR lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.

b. Kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan PMR lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.

(49)
(50)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan representasi dan berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.

Subjek dalam penelitian ini tidak dikelompokkan secara acak ke dalam kelompok-kelompok baru, karena pengelompokan baru tidak memungkinkan maka peneliti menerima keadaan subjek seadanya. Dengan demikian penelitian ini menggunakan kuasi eksperimen yang berbentuk desain kelompok kontrol tidak ekivalen (The Nonequivalent Control Group Design).

Adapun desain penelitian adalah sebagai berikut: Kelas eksperimen O X O

_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ , Ruseffendi (2005)

Kelas Kontrol O O Keterangan:

O : Tes awal dan tes akhir yaitu tes berupa kemampuan representasi dan berpikir kritis matematis

X : Pembelajaran menggunakan pendekatan Pendidikan Matematika Realistik (PMR).

(51)

terikat. Sesuai dengan desain penelitian maka dipilih dua kelas secara acak, satu kelas sebagai kelas eksperimen yaitu kelas yang mendapatkan perlakuan dengan pendekatan PMR dan satu kelas sebagai kelas kontrol yang mendapatkan pembelajaran konvensional.

B. Populasi dan Sampel

Populasi dari penelitian ini adalah siswa Sekolah Menengah Pertama. Siswa SMP berada pada tahap akhir operasi kongkret menuju tahap berpikir formal, sehingga pembelajaran sebaiknya dimulainya dengan hal-hal yang kongkret menuju yang abstrak. Populasi terjangkau dipilih SMP Negeri 2 Cianjur yang tergolong sekolah pada peringkat menengah. Alasan dipilihnya SMP Negeri 2 Cianjur karena kemampuan akademik siswanya heterogen, begitu pula kondisi sosial ekonominya, dengan demikian karakteristik siswa dianggap cukup mewakili karakteristik dari populasi.

Sampel dalam penelitian ini dipilih kelas VIII berdasarkan pertimbangan bahwa siswa kelas VIII berada pada tahap perkembangan pada masa preadolesen. Menurut Rousseau dalam tahap preadolesen, perkembangan fungsi penalaran intelektual pada anak sangat dominan. Dengan adanya pertumbuhan sistem syaraf serta fungsi pikirannya, anak mulai kritis dalam menanggapi sesuatu idea atau pengetahuan dari orang lain (Soemanto, 2006). Jadi siswa kelas VIII lebih memungkinkan siap berpikir kritis.

(52)

penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan tertentu. Subjek sampelnya adalah dua kelas, dipilih dari kelas VIII yang telah ada di SMP Negeri 2 Cianjur. Kelas VIII.8 sebagai kelas eksperimen, kelas yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan PMR. Kelas VIII.6 sebagai kelas kontrol, kelas yang memperoleh pembelajaran konvensional. Penentuan kelas eksperimen dan kelas kontrol berdasarkan pertimbangan wali kelas dan guru mata pelajaran matematika, dengan pertimbangan bahwa penyebaran siswa kedua kelas tersebut merata ditinjau dari segi kemampuan akademisnya.

C. Instrumen Penelitian

Untuk memperoleh data dan informasi mengenai hal hal yang akan dikaji dalam penelitian ini, maka dibuatlah seperangkat instrumen. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa:

C.1 Silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Bahan Ajar

Silabus dikembangkan berdasarkan Standar Isi dengan cara menganalisis Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar, RPP disusun berdasarkan Silabus dengan langkah-langkah pembelajaran menggunakan pendekatan PMR. Bahan ajar disusun dengan menggunakan pendekatan PMR. Materi yang dijadikan bahan pembelajaran adalah Relasi, Fungsi, dan Grafik Fungsi.

C.2mInstrumen Tes Kemampuan Representasi dan Berpikir Kritis

Matematis

(53)

bentuk uraian proses berpikir, ketelitian, sistematika penyusunan dapat dievaluasi. Terjadinya bias hasil evaluasi dapat dihindari karena tidak ada sistem tebakan atau untung-untungan. Hasil evaluasi lebih dapat mencerminkan kemampuan siswa sebenarnya. Hasil evaluasi disusun melalui beberapa tahap pengembangan dengan langkah langkah sebagai berikut:

a. Membuat kisi kisi soal berdasarkan indikator kemampuan representasi dan kemampuan berpikir kritis matematis.

b. Menyusun soal tes, yaitu tes kemampuan representasi terdiri dari 4 soal dan. tes kemampuan berpikir kritis terdiri dari 3 soal semua soal berbentuk uraian. c. Menilai kesesuaian antara materi, indikator, dan soal-soal tes. Kesesuaian

tersebut dilakukan melalui konsultasi dengan dosen pembimbing

d. Soal-soal tes kemudian diujicobakan di kelas IX.9 SMP Negeri 2 Cianjur pada tanggal 2 Oktober 2012

Setelah uji coba dilakukan kemudian dianalisis untuk melihat validitas butir soal, reliabilitas, daya beda dan tingkat kesukaran.

Rubrik penskoran untuk soal-soal kemampuan representasi dan kemampuan berpikir kritis matematis diadaptasi dari Cai, Lane, Jacabcsin, ( Ansari, 2003). Pedoman penskoran dirancang seperti pada Tabel 3.1 berikut.

Tabel 3.1

Pedoman Penskoran Kemampuan Representasi Matematis

Skor Visual Ekspresi Matematik Menulis

(54)

2 Tabel tepat tetapi grafik

Pedoman Penskoran Kemampuan Berpikir Kritis Matematis

Skor Memberikan

penjelasan sederhana

Membuat kesimpulan Mengatur strategi dan

taktik

(55)

C.2.1 Analisis Validitas Butir Soal

Suatu butir soal disebut valid bila butir soal tersebut mengukur apa yang semestinya harus diukur. Pengukuran validitas suatu butir soal diantaranya dapat menggunakan rumus korelasi produk momen dari Person (Arikunto, 2010) sebagai berikut:

= � −

� 2− 2} � 2− 2

keterangan:

r xy : Koefisien korelasi antara varibel X dan variabel Y, dua variabel yang dikorelasikan

N : Jumlah siswa X : Jumlah skor item Y : Jumlah skor total

XY: Jumlah perkalian skor item dengan skor total. X2 : Jumlah kuadrat skor item

Y2 : Jumlah kuadrat skor total

Dengan menetapkan taraf signifikan 5% dan N yang sesuai data. Apabila rxy > rtabel maka item tersebut valid.

(56)

Tabel 3.3 Interpretasi Validitas Butir Soal

Besarnya nilai r Interpretasi

0,800 < rxy≤ 1,000 Sangat Tinggi

0,600 < rxy≤ 0,800 Tinggi

0,400 < rxy≤ 0,600 Cukup

0,200 < rxy≤ 0,400 Rendah

0,000 ≤ rxy≤ 0,200 Sangat Rendah

Hasil perhitungan koefisien korelasi dan signifikansi serta validitas soal kemampuan representasi dan berpikir kritis matematis, secara lengkap dapat dilihat pada lampiran B. Rekapitulasinya disajikan pada Tabel 3.4 dan Tabel 3.5 berikut ini.

Tabel 3.4

Hasil Perhitungan Koefisien korelasi dan Signifikansi serta Validitas Soal Kemampuan Representasi Matematis

No

Soal

rxy rtabel Interpretasi

Koefisien Korelasi

Validitas Signifikansi

1 0,748 0,344 Tinggi Valid Sangat Signifikan

2 0,731 0,344 Tinggi Valid Sangat Signifikan

3 0,724 0,344 Tinggi Valid Sangat Signifikan

5a 0,770 0,344 Tinggi Valid Sangat Signifikan

Tabel 3.5

Hasil Perhitungan koefisien korelasi dan Signifikansi serta Validitas Soal Kemampuan Berpikir Kritis Matematis

No

Soal

rxy rtabel Interpretasi

Koefisien Korelasi

Validitas Signifikansi

4 0,730 0,344 Tinggi Valid Sangat Signifikan

5b 0,849 0,344 Sangat Tinggi Valid Sangat Signifikan

(57)

Berdasarkan Tabel 3.4 dan Tabel 3.5 nampak bahwa untuk setiap butir soal kemampuan representasi dan berpikir kritis matematis diperoleh koefisien validitas lebih dari 0,600 yang berarti soal-soal yang diujicobakan memiliki validitas tinggi dan sangat tinggi. Nilai rxy untuk setiap butir soal lebih dari nilai rtabel dengan dk = 34 dan taraf signifikansi 5%, yaitu sebesar 0,344. Artinya setiap

butir soal kemampuan representasi dan berpikir kritis matematis merupakan soal yang teruji kesahihannya (valid).

C.2.2 Analisis Reliabilitas

Reliabilitas instrumen adalah ketepatan (konsistensi) alat evaluasi dalam mengukur atau konsistensi siswa dalam menjawab alat evaluasi tersebut. Reliabilitas suatu tes dinyatakan dengan koefisien reliabilitas dan dalam penelitian ini perhitungannya menggunakan ketetapan intern, yaitu jawaban sebuah soal dikorelasikan dengan jawaban pada soal-soal sisanya.

Selanjutnya untuk mengetahui tingkat reliabilitas instrumen yang berbentuk uraian, dilakukan pengujian reliabilitas dengan menggunakan rumus Alpha (Suherman, 2003) sebagai berikut:

11 = −

1 1− �2 2

Keterangan :

11 = reliabilitas instrumen n = banyaknya butir soal (item)

(58)

Kemudian perhitungan reliabilitas diklasifikasikan menggunakan kriteria

yang dibuat Guilford (Ruseffendi, 2005) :

Tabel 3.6 Klasifikasi Reliabilitas

Besarnya r11 Tingkat Reliabilitas

0,00 – 0,19 Sangat rendah

0,20 – 0,39 Rendah

0,40 – 0,69 Sedang

0,70 – 0,89 Tinggi

0,90 – 1,00 Sangat tinggi

Hasil perhitungan reliabilitas tes untuk kemampuan representasi dan berpikir kritis matematis secara lengkap dapat dilihat pada lampiran B. Kesimpulan untuk reliabilitas disajikan pada Tabel 3.7 dibawah ini.

Tabel 3.7

Reliabilitas Tes Kemampuan Representasi dan Berpikir Kritis Matematis

No Kemampuan r11 Interpretasi

1 Representasi 0,62 Sedang

2 Berpikir Kritis 0,78 Tinggi

Dalam menentukan signifikansi koefisien reliabilitas, r11 dibandingkan

dengan rtabel. Jika r11 > rtabel maka data reliabel dan sebaliknya. Setelah dilakukan

(59)

C.2.3 Analisis Daya Pembeda

Daya pembeda soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan antara siswa berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah. Untuk soal uraian perhitungan indeks daya pembeda menggunakan rumus:

DP =

Adapun klasifikasi indeks daya pembeda suatu soal pada penelitian ini, diinterpretasikan dengan mengikuti pedoman yang dikemukakan oleh Suherman dan Sukjaya (1990) sebagai berikut:

(60)

Tabel 3.9

Daya Pembeda Tes Kemampuan Representasi Matematis

No Soal Daya Pembeda Interpretasi

1 0,2963 Cukup

2 0,4815 Baik

3 0,4167 Baik

5a 0,7407 Sangat Baik

Tabel 3.10

Daya Pembeda Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis

No Soal Daya Pembeda Interpretasi

4 0,7200 Sangat Baik

5b 0,9400 Sangat Baik

6 1,0000 Sangat Baik

Dari Tabel 3.9 dan Tabel 3.10 di atas, didapat daya pembeda untuk soal kemampuan representasi matematis dengan klasifikasi cukup 1 soal dan klasifikasi baik sebanyak 3 soal. Untuk soal kemampuan berpikir kritis matematis semua soal memiliki daya pembeda dengan klasifikasi sangat baik. Hal tersebut menunjukkan bahwa soal-soal tersebut sudah bisa membedakan antara siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah.

C.2.4 Analisis Tingkat Kesukaran

Tingkat kesukaran suatu butir soal ditentukan oleh perbandingan antara banyaknya siswa yang menjawab benar soal itu dengan banyaknya siswa yang menjawab butir soal itu. Perhitungan tingkat kesukaran menggunakan rumus:

(61)

AB = jumlah skor yang dicapai kelompok atas BB = jumlah skor yang dicapai kelompok bawah

n = jumlah seluruh siswa kelompok atas dan kelompok bawah Maks = skor maksimum soal

Ketentuan tingkat kesukaran pada penelitian ini berpedoman kepada yang dikemukakan Suherman dan Sukjaya (1990) sebagai berikut:

Tabel 3.11 Klasifikasi Indeks Kesukaran

Harga TK Klasifikasi

TK ≤ 0,00 Soal terlalu sukar

0,00 < TK ≤ 0,30 Soal sukar

0,30 < TK ≤ 0,70 Soal sedang

0,70 < TK < 1,00 Soal mudah TK = 1,00 Soal terlalu mudah

Dari hasil perhitungan, diperoleh tingkat kesukaran untuk setiap butir soal secara lengkap dapat dilihat pada lampiran B. Rangkumannya disajikan pada Tabel 3.12 dan Tabel 3.13 dibawah ini.

Tabel 3.12

Tingkat Kesukaran Tes Kemampuan Representasi Matematis

No Soal Tingkat Kesukaran Klasifikasi

1 0,5926 Sedang

2 0,7593 Mudah

3 0,4583 Sedang

5a 0,5926 Sedang

Tabel 3.13

Tingkat Kesukaran Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis

No Soal Tingkat Kesukaran Klasifikasi

4 0,4444 Sedang

5b 0,5139 Sedang

(62)

Dari hasil uji coba instrumen pada Tabel 3.12 dan Tabel 3.13 di atas, untuk soal kemampuan representasi diperoleh 1 soal dengan kriteria tingkat kesukaran mudah yaitu soal nomor 2. Ini berarti semua siswa kelompok atas maupun kelompok bawah menjawab kedua butir soal tersebut dengan benar. Kondisi ini terjadi karena soal tersebut terlalu mudah, sehingga semua siswa yang rendahpun bisa menjawabnya dengan benar. Untuk kriteria tingkat kesukaran sedang sebanyak 6 soal, yaitu soal kemampuan representasi matematis no 2, 3, dan 5a, soal kemampuan berpikir kritis matematis no 4, 5b, dan 6. Ini berarti sebagian siswa kelompok atas maupun bawah dapat menjawab benar butir-butir soal tersebut.

Secara lebih jelas gambaran keseluruhan hasil analisis data uji coba tes kemampuan representasi dan berpikir kritis matematis siswa, terlihat pada Tabel 3,14 dan Tabel 3.15 berikut.

Tabel 3.14

Gambaran Umum Hasil Analisis Data Uji Coba Tes Kemampuan Representasi Matematis

1 1 Cukup Sedang Valid Reliabel Terpakai

2 2 Baik Mudah Valid Terpakai

3 3 Baik Sedang Valid Terpakai

4 5a Sangat Baik Sedang Valid Terpakai

Tabel 3.15

Gambaran Umum Hasil Analisis Data Uji Coba Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis

1 3 Sangat Baik Sedang Valid Reliabel Terpakai

2 4 Sangat Baik Sedang Valid Terpakai

(63)

Berdasarkan Tabel 3.14 dan Tabel 3.15 diatas, untuk setiap butir soal kemampuan representasi dan berpikir kritis matematis sudah memenuhi persyaratan tes intrumen penelitian. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semua soal dapat dipergunakan sebagai alat ukur untuk mengukur kemampuan representasi dan berpikir ktitis matematis siswa kelas VIII SMP.

C.3 Angket Skala Sikap

Angket skala sikap adalah lembaran yang berisi pertanyaan-pertanyaan untuk mengungkapkan sikap siswa terhadap mata pelajaran matematika dan pendekatan PMR. Sikap siswa terhadap pelajaran matematika meliputi sikap percaya diri, ketekunan, perhatian khusus, dan mengapresiasi peran matematika. Sikap siswa terhadap pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan PMR diukur dengan indikator, kegiatan kerja kelompok, penggunaan masalah kontekstual, penggunaan LAS, dan proses penemuan konsep.

Menurut Ruseffendi angket skala sikap yang dipakai dalam penelitian adalah model skala Likert dengan modifikasi seperlunya (Effendi, 2012). Dalam penelitian ini setiap pernyataan dilengkapi empat pilihan jawaban yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (T S), dan sangat tidak setuju (STS). Pilihan netral (N) tidak digunakan karena diharapkan siswa menentukan sikapnya secara tegas atau pasti.

C.4mLembar Observasi

Gambar

Tabel 3.1 Pedoman Penskoran Kemampuan Representasi Matematis
Tabel tepat tetapi grafik masih ada kesalahan
Tabel 3.3 Interpretasi Validitas Butir Soal
Tabel 3.6 Klasifikasi Reliabilitas
+7

Referensi

Dokumen terkait

dan mempunyai varians yang homogen, maka pengujiannya dilakukan dengan menggunakan uji t’ namunapabilapratesdanpascatestidakmemiliki data yang normal makadigunakanuji

A National Survey of Nitrite/ Nitrate Concentration in Cured Meat Products and Non Meat Foods Avalable at Retail.. Research Report

c. Terjemahan itu Di antaranya ada yang mengubah pola aktif dalam BA menjadi pola pasif dalam BI. Dalam terjemahan al-Qurʼan ditemukan bahwa pola aktif BA berpadanan

Gambar 12. Diagram Layang-layang Dimensi Keberlanjutan Kota Baubau.. Berdasarkan hasil penelitian, maka beberapa hal yang perlu mendapat perhatian pemerintah guna

Model pembelajaran ini sendiri merupakan suatu bentuk dari rangkaian pendekatan, strategi, metode, teknik dan juga taktik Teknik Pembelajaran dapat diatikan sebagai

Untuk metode Indeks Sentralitas Marshall, pembentukan orde wilayah 28 administrasi kecamatan berdasarkan karakteristik kekotaan yang ditinjau dari 19 fasilitas

Nyawanya meninggalkan tubuhnya dengan sebuah senyum khas di wajahnya dan video kamera mengambil gambar wajahnya dari berbagai sudut, sebagai bukti akan dua hal: (i) bahwa ini

Hal ini dikarenakan ruang lingkup sosiologi mencakup semua interaksi sosial yang berlangsung antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, serta kelompok