• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Gagal Ginjal Kronis Di Instalasi Rawat Inap Rsup Dr.Soeradji Tirtonegoro Klaten Periode 2014.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENDAHULUAN Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Gagal Ginjal Kronis Di Instalasi Rawat Inap Rsup Dr.Soeradji Tirtonegoro Klaten Periode 2014."

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan yang ditandai dengan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal contohnya proteinuria disebut dengan gagal ginjal kronis. Apabila tidak ada tanda kelainan patologis penegakan diagnosis didasarkan pada laju filtrasi glomerulus <60mL/menit/1,73m² selama >3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal (Chonchol, 2009).

Menurut KeMenKes (2013), berdasarkan data dari diagnosis dokter, prevalensi penyakit gagal ginjal kronis meningkat seiring dengan bertambahnya umur, meningkat tajam pada kelompok umur 35-44 tahun (0,3%), diikuti umur 45-54 tahun (0,4%), dan umur 55-74 tahun (0,5%), tertinggi pada kelompok umur ≥75 tahun (0,6%). Prevalensi pada laki-laki (0,3%) lebih tinggi dari perempuan (0,2%), prevalensi lebih tinggi pada masyarakat perdesaan (0,3%), tidak bersekolah (0,4%), dan pekerjaan wiraswasta, petani/nelayan/buruh (0,3%).

Antibiotik merupakan obat yang digunakan dalam menyembuhkan berbagai macam penyakit infeksi. Penggunaan antibiotik khususnya pada gagal ginjal kronis perlu diperhatikan karena dapat menyebabkan nefrotoksisitas pada ginjal (Kenward & Tan, 2003). Pada penderita gagal ginjal fungsi ginjal sudah tidak sebaik saat ginjal dalam kondisi normal. Pada kondisi gagal ginjal kronis ginjal menjadi lebih sensitif terhadap penggunaan obat-obatan (Kenward & Tan, 2003).

Penggunaan antibiotik harus dipertimbangkan karena beberapa antibiotik bersifat toksik terhadap ginjal (Chasani, 2008). Obat sebagian besar diekskresikan oleh ginjal, pada pasien gagal ginjal kronis pemilihan jenis obat dan dosis (besaran frekuensi dan durasi) harus lebih dipertimbangkan. Beberapa antibiotik terutama golongan aminoglikosida bersifat nefrotoksik, antibiotik aminoglikosida ini juga merupakan salah satu golongan obat yang menyebabkan drug induce renal failure (Antibiotic Expert Group, 2014). Penggunaan antibiotik khususnya

(2)

golongan aminoglikosida pada pasien yang fungsi ginjalnya berkurang signifikan penggunaannya harus dipertimbangkan dengan baik. Evaluasi penggunaan antibiotik pada pasien gagal ginjal pernah dilakukan pada RSUD Dr. Moewardi pada tahun 2007. Antibiotik yang tidak disesuaikan dosisnya dengan pasien gagal ginjal sebesar 16,1%, antibiotik yang dikontraindikasikan pada penderita gagal ginjal sebesar 1,8%, tepat indikasi tidak tepat obat 10,9%, tepat indikasi tepat obat 81,8%. Berdasarkan hasil terapi pemberian antibiotik didapatkan 45,5% outcome/hasil terapinya baik (Yulianti, et al., 2007). Penelitian dilakukan di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten, hal ini dikarenakan cukup tingginya angka penderita gagal ginjal kronis di RSUP Dr. Soeradji Klaten tahun 2014 yaitu sebanyak 524 kasus. Kasus gagal ginjal kronis juga menempati urutan ke-14 dari 20 besar kasus penyakit yang terjadi di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten tahun 2014. Dengan latar belakang tersebut maka evaluasi penggunaan antibiotik yang rasional pada penderita gagal ginjal kronis perlu dilakukan.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana kerasionalan penggunaan antibiotik pada pasien gagal ginjal kronis di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kerasionalan penggunaan antibiotika di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro pada kasus gagal ginjal kronis tahun 2014. Evaluasi meliputi tepat indikasi, tepat obat, tepat pasien, dan tepat dosis.

D. Tinjauan Pustaka

1. Ginjal

a. Definisi

(3)

daripada perempuan. Pada umumnya ukuran ginjal orang dewasa normal berkisar 11,5 cm (panjang) x 6 cm (lebar) x 3,5 cm (tebal) dan memiliki berat rata-rata 120-170 gram, atau kurang lebih 0,4% dari berat badan (Purnomo, 2011).

b. Fungsi Ginjal

Menurut Price & Wilson, (2005), ginjal mempunyai dua fungsi utama yaitu fungsi ekskresi dan fungsi nonekskresi. Fungsi ekskresi ginjal antara lain: 1) Mempertahankan osmolitas plasma.

2) Mempertahankan extracellular fluid (ECF) dan tekanan darah dengan mengubah-ubah ekskresi Na+.

3) Mempertahankan konsentrasi plasma masing-masing elektrolit individu dalam rentang normal.

4) Mempertahankan pH plasma sekitar 7,4 dengan mengeluarkan kelebihan H+ dan membentuk kembali HCO3-.

5) Mengekskresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein (terutama urea, asam urat, dan kreatinin).

6) Bekerja sebagai jalur ekskretori untuk sebagian besar obat.

Sedangkan untuk fungsi utama ginjal yang lain adalah fungsi non ekskresi. Diantaranya adalah:

1) Mensintesis dan mengaktifkan hormon:

a) Renin: penting dalam pengaturan tekanan darah.

b) Eritropoetin: merangsang produksi sel darah merah oleh sumsum tulang belakang.

c) 1,25-dihidroksivitamin D3: hidroksilasi akhir vitamin D3 menjadi bentuk

yang paling aktif.

d) Prostaglandin: sebagian besar adalah vasodilatator, bekerja secara lokal, dan melindungi dari kerusakan iskemik ginjal.

(4)

Fungsi ginjal lain yang tidak kalah pentingnya adalah berfungsi untuk menyaring sisa hasil metabolisme dan toksin dari darah. Kegiatan metabolik pada ginjal menduduki tempat kedua setelah hati (Purnomo, 2011).

c. Pengukuran Fungsi Ginjal

Karena fungsi ginjal yang begitu penting maka ada beberapa penilaian terhadap fungsi ginjal. Uji fungsi ginjal ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya gangguan pada fungsi ginjal. Menurut Kenward & Tan, (2003), ada beberapa metode yang digunakan untuk memperkirakan kondisi fungsi ginjal, antara lain:

1) Serum kreatinin

Serum kreatinin merupakan produk sampingan dari metabolisme otot rangka normal. Kreatinin terutama diekskresi oleh filtrasi glomeruler. Bila massa otot tetap dan terdapat perubahan pada nilai klirensnya melalui filtrasi maka dapat dijadikan indikator dari fungsi ginjal. Nilai serum kreatinin normal berbeda menurut jenis kelamin, usia, dan ukuran. Kadar serum kreatinin hanya berguna bila diukur pada keadaan tunak (perlu sekitar 7 hari).

2) Klirens kreatinin

Dalam keadaan normal, kreatinin tidak disekresi atau direabsorsi oleh tubulus ginjal dalam jumlah yang besar. Ekskresi utama ditentukan oleh filtrasi glomerular, jadi laju filtrasi glumerular ditentukan melalui penentuan laju klirens kreatinin endogen.

Secara umum ada 2 cara pengukuran uji klirens kreatinin, yang pertama adalah pengumpulan urin 24 jam dengan cara pengambilan plasma urin diantara jangka waktu 24 jam tersebut dan dihitung dengan rumus:

Klkr = mL/menit

Keterangan:

U = Kadar urin (mikromol/liter)

V = Laju alir urin (mL/menit)

S = Kadar kreatinin serum (mikromol/liter)

(5)

kedua menggunakan rumus Cockroft and Gault yaitu metode dengan mengukur kadar kreatinin serum dan mencatat faktor yang mempengaruhi massa otot penderita (usia, jenis kelamin, dan berat badan). Laju filtrasi glumerular dari kadar serum kreatinin diasumsikan bahwa fungsi ginjal bersifat stabil dan pengukuran serum menghasilkan nilai yang konstan. Berdasarkan Aronoff & Brier, (2009), dihitung dengan rumus:

Pada pria,

Klkr =

Pada wanita,

Klkr =

x 0,85

Keterangan:

Kreatinin serum (mg/dL)

BB = Berat badan (kg)

3) Urea

Urea disintesa dalam hati sebagai produk sampingan metabolisme makanan dan protein endogen. Merupakan rute sekresi utama nitrogen dalam eliminasinya dalam urin. Urea disaring oleh glumerolus dan sebagian direabsorbsi oleh tubulus.

(6)

d. Klasifikasi dan Gejala Klinis Gangguan Ginjal 1) Gagal Ginjal Akut

Gagal ginjal akut merupakan gagalnya fungsi ginjal yang berlangsung dalam waktu yang relatif singkat (beberapa hari atau beberapa minggu) disebabkan oleh “sampah” pembakaran seperti urea, asam urat, dan kreatinin yang menumpuk dalam darah (Price & Wilson, 2003). Laju filtrasi glomerulus (LGF) secara tiba-tiba menurun sampai dibawah 15 mL/menit. Sering kali bersifat reversibel, tetapi secara umum mortalitasnya tinggi (Kenward & Tan, 2003).

Pada pasien gagal ginjal akut penyebabnya dapat dibagi menjadi pre-renal, renal, dan post-renal. Gambaran klinisnya dapat meliputi perubahan volume urine (oliguri, polyuria), kelainan neurologis (lemah, letih, gangguan mental), gangguan pada kulit (gatal-gatal, pigmentasi, pallor), tanda pada kardiopulmoner (sesak, pericarditis), dan gejala pada saluran cerna (mual, nafsu makan turun, muntah) (Kenward & Tan, 2003).

2) Gagal Ginjal Kronis

Gagal ginjal kronik merupakan penurunan faal ginjal yang terjadi berangsur dan umumnya tidak dapat pulih (irreversible) (Price & Wilson, 2003). Kerusakan atau penurunan faal ginjal tersebut bersifat permanen dan progresif biasanya terjadi selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun dan akan menyebabkan uremia sesudah penurunan laju filtrasi glomerular hingga sekitar 10-15% dari nilai normal (Hartono, 2013).

Tanda dan gejala gagal ginjal kronis meliputi nokturia, edema, anemia (iron-resistant, normochromic, normocytic), gangguan elektrolit, hipertensi, penyakit tulang (renal osteodystrophy), perubahan neurologis (gangguan mental), gangguan fungsi otot (kram otot, kaki pegal), dan uremia (Kenward & Tan, 2003). 2. Volume Distribusi

(7)

atau pembuangan otot akan menurunkan volume distribusi nyata obat yang larut air sehingga, dosis lazim dapat menyebabkan kadar obat dalam plasma terlalu tinggi dan hal ini dapat menyebabkan ketoksikan (Kenward & Tan, 2003).

Efek volume distribusi dan klirens dapat berubah besarannya secara independen dengan tidak adanya keterkaitan satu dengan lainnya, tapi pada kegagalan ginjal terdapat pengaruh terhadap konsentrasi aminoglikoida dalam plasma. Klirens ginjal aminoglikosida akan menurun pada pasien gagal ginjal dan Vd akan meningkat karena akumulasi cairan pada gagal ginjal oligurik (Parfati, et al., 2003).

Beberapa kondisi dapat meningkatkan atau menurunkan Vd. Volume distribrusi akan meningkat pada pasien yang mengalami akumulasi cairan dalam tubuh seperti pada gagal ginjal dan proses inflamasi. Perubahan Vd akan langsung berpengaruh pada konsentrasi obat dalam plasma. Bila Vd menurun sebesar 50% maka konsentrasi obat dalam plasma akan meningkat dua kalinya, sehingga dosis harus dikurangi setengahnya (Parfati, et al., 2003).

3. Antibiotik

a. Definisi

Antibiotik merupakan zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba yang dapat membasmi mikroba lain yang merugikan. Saat ini antibiotik banyak dibuat secara semisintetik atau sintetik penuh. Antibiotik harus mampu membunuh mikroba yang menyebabkan infeksi pada manusia, tetapi harus memenuhi syarat dengan tidak bersifat toksik pada hospes (bersifat selektif) (Setiabudy, 2007).

b. Aktifitas dan Spektrum

(8)

positif atau gram negatif), sedangkan antibiotik spektrum luas adalah antibiotik yang aktif terhadap dua macam bakteri secara keseluruhan (baik gram positif mau pun gram negatif) (Setiabudy, 2007).

c. Mekanisme Kerja

Menurut Setiabudy (2007), berdasarkan mekanisme kerjanya antimikroba dibagi menjadi lima kelompok, yaitu:

1) Menghambat metabolisme sel mikroba. 2) Menghambat sintesis dinding sel mikroba.

3) Mengganggu permeabilitas membran sel mikroba. 4) Menghambat sintesis protein sel mikroba.

5) Menghambat sintesis atau merusak asam nukleat sel mikroba d. Ekskresi

Ekskresi obat aktif mau pun metabolitnya pada penderita gagal ginjal akan berkurang, sehingga kadar dalam darahnya meningkat dan menimbulkan respon yang berlebihan atau terjadi efek toksik (Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, 2008). Dengan demikian pemberian antibiotik pada pasien gagal ginjal tanpa adanya penyesuaian dosis akan meningkatkan insiden dan intensitas nefrotoksik dan ototoksiknya (Antibiotic Expert Group, 2014).

Ada beberapa pendekatan untuk penyesuaian dosis dalam kaitannya dengan fungsi ginjal. Hal ini dilakukan melalui penetapan kadar kreatinin. Pada tabel 1 dicantumkan harga klirens kreatinin pada kegagalan ginjal oleh Arora, (2015).

Tabel 1. Klirens Kreatinin Pada Gagal Ginjal Kronis

Fungsi Ginjal Klirens kreatinin

(mL/menit/1,73m2)

Normal

(9)

e. Jenis Antibiotik yang Bersifat Nefrotoksik

Menurut Chasani, (2008), beberapa golongan antibiotik memiliki resiko yang besar dalam menyebabkan nefrotoksik pada penderita gagal ginjal. Golongan antibiotik tersebut antara lain:

1) Golongan Aminoglikosida

Penggunaan antibiotika golongan ini sangat luas pada infeksi terutama infeksi oleh bakteri gram negatif. Kegagalan fungsi ginjal terjadi ketika kadar kreatinin plasma ≥45µmol/L. Mekanisme golongan ini dapat menyebabkan nefrotoksik karena aminoglikosida berikatan dengan lisosom membentuk myeloid body dan fosfolipidosis. Kemudian membran lisosom pecah dan melepaskan asam hidrolase dan mengakibatkan kematian sel.

2) Golongan Sulfonamid

Hampir semua obat golongan sulfonamid diekskresikan melalui ginjal sehingga meningkatkan resiko nefrotoksik.

3) Amphotericin B (Am-B)

Penggunaan obat ini sebenarnya sangat efektif sebagai obat anti jamur, tetapi telah dilaporkan banyak kasus tentang efek nefrotoksiknya. Am-B mudah bercampur dengan membran sel epithel dan meningkatkan permeabilitas karena bersifat hidrofilik. Dapat menyebabkan penurunan laju filtrasi glumerular dan berakibat terjadinya oliguria karena sel endotel rusak mengakibatkan vasokontriksi arteriole afferen dan efferen glomerulus.

4) Rifampisin

Obat ini digunakan sebagai obat anti tuberkulosis dan merupakan obat TBC yang memiliki efek nefrotoksik lebih tinggi dibanding anti TBC lain. Obat ini memiliki efek samping nefrotoksik karena obat menyebabkan anemia hemolitik.

5) Acylovir

(10)

6) Golongan Penisillin, Sefalosporin, dan Betalaktam Lainnya

Reaksi nefrotoksik biasanya tidak terjadi tetapi pada obat-obat yang bereaksi pada reaksi imun maka obat dapat menyebabkan nefrotoksik untuk obat golongan ini. Kejadian nefrotoksik juga dipengaruhi karena dosis yang relatif tinggi dalam jangka waktu yang panjang.

7) Vancomisin

Antibiotik ini dihasilkan oleh streptomises orientalis yang tidak dapat diserap oleh saluran cerna. Mekanisme nefrotoksiknya dapat terjadi di dua tempat yaitu pada glomerulus dan pada tubulus ginjal. Pada glomerulus terjadi dilatasi Bowman’s space dan hipertrofi glomerulus, sedangkan pada tubulus terjadi dilatasi tubulus renalis, nekrosis atau degenerasi epitel tubulus dan adanya silinder hialin dalam tubulus.

f. Penyesuaian Dosis pada Pasien Gagal Ginjal

Menurut Parfati, et al., (2003), perubahan aliran darah ke ginjal mengakibatkan perubahan klirens. Saat Vd, dosis, dan interval dosis tetap tetapi klirens menjadi besar, maka konsentrasi obat menjadi lebih kecil sehingga harus ditingkatkan dosisnya atau interval waktu diperkecil. Sebaliknya bila klirens kecil, konsentrasi obat dalam plasma lebih besar sehingga dosis obat diperkecil dan interval waktu diperpanjang. Hal ini dapat dilakukan sesuai dengan persamaan di bawah ini:

Do (GL) =

x

Cl(GL)

atau apabila dosis tetap, interval waktu berubah t (GL) =

x

t(N)

Keterangan :

Do (N) = Dosis pada ginjal normal

Do (GL) = Dosis pada gagal ginjal

Cl (N) = Klirens pada ginjal normal

(11)

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor : 2406/MENKES/PER/XII/2011, penyesuaian dosis dinilai dari kadar klirens kreatininnya. Ketika kadar klirens kreatinin 40-60mL/menit dosis pemeliharaan diturunkan sampai dengan 50%. Bila klirens kreatinin 10-40mL/menit selain turun 50% perlu juga memperpanjang jarak pemberian dua kali lipat.

g. Kerasionalan Penggunaan Antibiotik

Menurut PerMenKes (2011), penggunaan antibiotik yang rasional dapat dilihat dari beberapa parameter antara lain:

1) Tepat Indikasi

Setiap obat memiliki terapi yang spesifik. Antibiotik, misalnya diindikasikan untuk infeksi bakteri. Dengan demikian, pemberian obat ini hanya dianjurkan untuk pasien yang memberi gejala adanya infeksi bakteri. Bila ada indikasi infeksi tapi tidak diobati maka bisa jadi pasien yang terkena infeksi tersebut tidak sembu infeksinya, tapi bila tidak ada indikasi infeksi diberi antibiotik maka dapat terjadi resistensi.

2) Tepat Pasien

Respon individu terhadap efek obat sangat beragam. Hal ini lebih jelas terlihat pada beberapa jenis obat seperti teofilin dan aminoglikosida. Pada penderita dengan kelainan ginjal, pemberian aminoglikosida sebaiknya dihindarkan, karena resiko terjadinya nefrotoksisitas pada kelompok ini meningkat secara bermakna. Bila penggunaannya tidak tepat pasien maka dapat mengakibatkan kondisi pasien menjadi lebih buruk.

3) Tepat Obat

(12)

4) Tepat Dosis

Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek terapi obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang dengan rentang terapi yang sempit, akan sangat beresiko timbulnya efek samping. Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya kadar terapi yang diharapkan.

E. Landasan Teori

Pada penelitian Astuti, pada Januari-September tahun 2011 di RS Kasih Ibu Surakarta, hasil penelitian menunjukkan 102 pasien mengalami gangguan gagal ginjal kronis, terdapat 62,75% (64 pasien) yang diresepkan antibiotik tepat indikasi dan 37,25% (38 pasien) yang diresepkan antibiotik tidak tepat indikasi. Pada penggunaan antibiotik dengan tepat indikasi sebanyak 54 pasien (84,38%) memperoleh obat yang tepat dan 10 pasien (15,62%) memperoleh obat yang tidak tepat, 50 pasien (78,12%) menerima dosis yang tepat sedangkan 14 pasien (21,88%) yang diresepkan antibiotik dosisnya tidak tepat. Pada pasien yang mendapatkan dosis antibiotik yang tidak tepat terdapat 9 pasien dengan dosis lebih dan 5 pasien dengan dosis kurang dan belum dilakukan penyesuaian dosis (Astuti, 2011).

(13)

Gambar

Tabel 1. Klirens Kreatinin Pada Gagal Ginjal Kronis

Referensi

Dokumen terkait

sehetp pllak IH\rlrs d aJam ィ セャ@ perlwdlm QOJII keil.c:tyaanlntclr:khltal &lt;fau SOGI

memiliki pengaruh yang lebih baik terhadap kemampuan groundstroke forehand tenis lapangan pada mahasiswa putra penkepor angkatan 2013 JPOK FKIP UNS tahun 2015...

Pasar Sunggingan Baru pada dasarnya cukup merasa senang, sebab pada saat tekanan ekonomi nasional dan internasional yang belum membaik, tetapi pemerintah Kabupaten

POTENSIAL KATEGORI KETIDAKTEPATAN PEMILIHAN OBAT PADA PASIEN HIPERTENSI DENGAN DIABETES MELLITUS DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT.. UMUM DAERAH R.A KARTINI JEPARA

(6) Untuk mengetahui manakah yang memberikan prestasi belajar matematika lebih baik antara gaya belajar tipe visual, auditorial, dengan kinestetik, pada kelas yang

Empat puluh ekor 40 tikus ( Rattus norvegicus ) bunting dibagi menjadi 4 kelompok perlakuan yaitu K (tidak diberi phytoestrogen, sebagai kontrol), SF-AW (diberi susu

Secara teoritis hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran yang jelas tentang hubungan kemampuan siswa dalam membuat model matematika dan komputasinya terhadap

(Motivasi Karier, Motivasi Mencari Ilmu, Motivasi Ekonomi, dan Motivasi Mengikuti Ujian Sertifikat Akuntan Publik (USAP)) Terhadap Minat Mahasiswa Akuntansi Untuk