PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMBERIKAN PUTUSAN TERHADAP TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BAYI OLEH IBU
KANDUNG DI PENGADILAN NEGERI KARANGANYAR
Penulisan Hukum
( Skirpsi )
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Oleh
Sry Handayani Nainggolan
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
commit to user
Berusahalah untuk tidak menjadi manusia yang berhasil tapi berusahalah menjadi manusia yang berguna.( Einstein )
Orang yang berhasil akan mengambil manfaat dari kesalahan-kesalahan yang ia
lakukan, dan akan mencoba kembali untuk melakukan dalam suatu cara yang berbeda. ( Dale Carnegie)
Bagian terbaik dari hidup seseorang adalah perbuatan-perbuatan baiknya dan
kasihnya yang tidak diketahui orang lain. ( William Wordsworth )
Tugas kita bukanlah untuk berhasil.
Tugas kita adalah untuk mencoba, karena didalam mencoba itulah kita menemukan dan belajar membangun kesempatan untuk berhasil.
(Mario Teguh)
commit to user Penulisan Hukum ini Penulis persembahkan untuk :
1. Tuhan Yang Maha Esa, atas segala anugerah yang diberikan-Nya kepada
penulis.
2. Papa dan mama tercinta sebagai rasa terima kasih penulis karena cinta dan kasih sayang serta dukungan yang telah di berikan.
3. kakak dan adik tercinta penulis atas perhatian dan dukungan. 4. Seseorang yang telah memberikan perhatiannya kepada penulis .
5. Seluruh keluarga besar Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
commit to user
SRY HANDAYANI NAINGGOLAN, E1107215. PERTIMBANGAN HAKIM
DALAM MEMBERIKAN PUTUSAN TERHADAP TINDAK PIDANA
PEMBUNUHAN BAYI OLEH IBU KANDUNG DI PENGADILAN
NEGERI KARANGANYAR. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
Penulisan Hukum (Skripsi) 2011.
Penelitian Hukum ini bertujuan untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam memberikan putusan terhadap tindak pidana pembunuhan bayi oleh ibu kandung dan hambatan-hambatan yang dihadapi hakim dalam kasus pembunuhan bayi oleh ibu kandung. Metode penelitian yang dipergunakan dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut : jenis penelitian hukum sosiologis atau empiris, sifat penelitian deskriptif, pendekatan penelitian menggunakan pendekatan sosiologis, jenis data adalah data primer dan data sekunder, sumber data adalah sumber data primer dan sumber data sekunder, sumber data primer yaitu data hasil penelitian atau riset dengan wawancara terhadap hakim Bunga Lilly S.H di lokasi penelitian di Pengadilan Negeri Karanganyar, sumber data sekunder yaitu putusan pengadilan, buku literatur, peraturan perundang-undangan, jurnal-jurnal hukum, dan laporan penelitian, teknik pengumpulan data melalui studi lapangan dan studi kepustakaan, teknik analisis data menggunakan teknik analisis data kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertimbangan hakim pada setiap kasus berbeda berdasarkan fakta di persidangan namun tetap pada aturan hukum yang berlaku. Dalam kasus pembunuhan bayi oleh ibu kandung dengan putusan No.75/Pid.B/2010/PN.Kray memakai Pasal 44 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Pertimbangan hakim selain mempertimbangkan faktor yuridis juga
mempertimbangkan faktor non yuridis dimana dalam kasus seperti akan terlihat lebih menonjol karena adanya hubungan istimewa antara korban dengan terdakwa.Hambatan yang di hadapi oleh majelis hakim akan sangat berbeda dalam setiap kasusnya namun tidak akan jauh berbeda antara satu dengan lainnya,dan dapat di selesaikan dengan adanya kerjasama masing-masing unsur dalam persidangan tersebut( Hakim, Jaksa, Pengacara, Terdakwa).
Impilikasi teoritis adalah dapat memberi gambaran tentang hal-hal yang menjadi pertimbangan hakim dalam memberikan putusannya terhadap terdakwa tindak pidana pembunuhan bayi oleh ibu kandungnya sehingga tercipta suatu keadilan sedangkan implikasi praktisnya adalah dapat dipakai sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi pihak-pihak atau instansi terkait dalam rangka menangani tindak pidana pembunuhan bayi oleh ibu kandungnya khususnya di Pengadilan Negeri Karanganyar.
commit to user
SRY HANDAYANI NAINGGOLAN, E1107215, CONSIDERATION
OF JUDGE GIVES VERDICT IN MURDER OF BABIES BY CRIME
biological mother IN KARANGANYAR JUSTICE COURT . Law Faculty of Sebelas Maret University. Thesis 2011.
Legal Research aims to find out the basic considerations in giving the verdict the judge to criminal infanticide by the mother and the obstacles faced by the judge in the case of infanticide by the mother. The research method used in the writing of this law are asfollows: type of sociological or empirical legal research, the nature of descriptive research, the research approach using asociological approach the type of data is primary data and secondary data, data source is a sourceof primary data and secondary data sources, sources primary data is data or research findings with interviews of judges Bunga Lilly SH at research sites in the District Court Karanganyar, secondary data sources are court decisions, books of literature, legislation, law journals, and research reports, data collection techniques through field studies and literature studies, data analysis techniques using qualitative data analysis techniques.
The results show that consideration of the judge in each case is different based on the facts at the trial but still the rule of law. cases infanticide by the mother with the decision No.75/Pid.B/2010/PN.Kray using Article 44 paragraph (3 ) Law Number 23 Year 2004 on Elimination of Domestic Violence. Judges consider factors other than juridical also consider non-juridical factors which in such cases would appear more prominent because of the special relationship between the victim with defendant. faced by the judges ach would be very different in his case but will not be much different between with others, and can be resolved with the cooperation of each element in the trial (judge , prosecutor, lawyer, defendant).
Implication theoretical description is able member of the matter to consideration the judge in giving its verdict against defendant's criminal infanticide by the mother so as to create a justice while the practical implication is that it can be used as an input and consideration for the parties or related institutions in order handle criminal infanticide by the mother, especially in the District Court Karanganyar.
Keywords: Murder, Considerations Justice, Infaticide
commit to user
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME yang telah melimpahkan
rahmat dan pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
hukum (Skripsi) yang berjudul “PERTIMBANGAN HAKIM DALAM
MEMBERIKAN PUTUSAN TERHADAP TINDAK PIDANA
PEMBUNUHAN BAYI OLEH IBU KANDUNG DI PENGADILAN
NEGERI KARANGANYAR”.
Penulisan hukum ini membahas mengenai pertimbangan hakim dalam
memutus pada kasus pembunuhan bayi oleh ibu kandung dan hambatan-hambatan
yang dihadapi oleh hakim dalam memberikan putusan dalam tindak pidana
pembunuhan bayi oleh ibu kandung di Pengadilan Negeri Karanganyar.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan hukum ini,
maka saran serta kritik dari semua pihak sangat penulis harapkan untuk
memperkaya karya tulis ini.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah memberikan bantuan, saran, dan dorongan bagi penulis
dalam menyelesaikan penulisan hukum ini. Ucapan terima kasih ini penulis
sampaikanterutama kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin dan
kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum ini.
2. Bapak R. Ginting S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I yang telah
meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan sehingga penulis
dapat menyelesaikan penulisan hukum ini.
4. Bapak Sabar Slamet, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II yang senantiasa
memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan
penulisan hukum ini.
5. Ibu Zeni Lutfiah, S.Ag., M.Ag., selaku Pembimbing Akademik yang senantiasa
commit to user
telah bersedia meluangkan waktu untuk wawancara, sehingga penulis dapat
memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam penulisan hukum ini.
7. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan ilmu
pengetahuannya kepada penulis sehingga dapat dijadikan bekal dalam
penulisan hukum ini.
8. Papa dan mama tercinta di rumah, yang telah membesarkan penulis, selalu
memberikan kasih sayang, dan semangat, serta mengajarkan banyak
kebaikan dan kesabaran kepada penulis.
9. Abang Harrys Andi Nainggolan dan adik Herixson Stephanus Nainggolan
tersayang yang selalu memberi masukan dan dukungan dalam segala hal.
10. Semua pihak yang membantu terselesaikannya penulisan hukum ini, yang
tidak dapat disebutkan satu persatu.
Semoga penulisan hukum ini dapat berguna bagi kita semua, terutama untuk
penulisan, kalangan akademisi, praktisi serta masyarakat umum.
Surakarta, Juli 2011
commit to user
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii
HALAMAN PERNYATAAN ... iv
HALAMAN MOTTO ... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... . viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xi
BAB I PENDAHULUAN ... . 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Manfaat Penelitian ... 7
E. Metode Penelitian ... 7
F. Sistematika Penulisan Hukum ... 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………. . 15
A. Kerangka Teori ... 15
1. Pengertian Hakim….. ... 15
2. Putusan Pengadilan ………... ... 21
3. Tindak Pidana………... 26
4. Tindak Pidana Pembunuhan Bayi ………... 29
B. Kerangka Pemikiran ... 34
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 37
A. Hasil Penelitian ... 37
1. Posisi Kasus……….. .. ... 37
commit to user
4. Analisis Kasus………. 61
B. Pembahasan ……… 63
1. Faktor Yuridis dan Faktor Non Yuridis ……… 65
2. Hambatan-Hambatan Yang Di Hadapi Hakim ………… 68
BAB IV PENUTUP ... 71
A. Simpulan ... 71
B. Saran ... 72
DAFTAR PUSTAKA
commit to user
commit to user Lampiran I. Putusan Nomor 75/Pid.B/2010/PN.Kray.
Lampiran II.Surat Ijin Penelitian dari Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini Indonesia memasuki suatu era baru dimana semua hal dapat
dilakukan dengan sangat mudah. Semua itu dilakukan karena adanya
perkembangan-perkembangan baru yang ada di dalam masyarakat dalam berbagai hal. Misalnya saja
di bidang teknologi informasi, banyaknya penemuan teknologi baru khususnya di
bidang telekomunikasi mempertinggi kemampuan seseorang dalam berkirim
informasi satu sama lain. Setiap negara di dunia berlomba-lomba dalam hal
pembangunan fisik dan seringkali pembangunan mental spiritual terlupakan, yang
sebenarnya sangat penting agar suatu negara tidak kehilangan identitasnya sebagai
suatu negara yang bermoral dan berbudaya.
Pembangunan nasional yang diselenggarakan oleh bangsa Indonesia
merupakan suatu proses yang memerlukan perencanaan dan terarah dalam setiap
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang bertujuan untuk membentuk
manusia Indonesia seutuhnya dan pemerataan hasil-hasil pembangunan. Suatu
pembangunan harus menciptakan keseimbangan kemajuan IPTEK (Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi) dan IMTAK (Iman dan Takwa ). Hal ini berati pembangunan tersebut
melingkupi pembangunan lahiriah dan pembangunan mental masyarakat sehingga
kedua hal tersebut dapat saling melengkapi satu sama lain dalam perjalanan
pembangunan nasional. Tujuan pembangunan nasional tersebut tentunya tidak dapat
terwujud dengan mulus melainkan harus berhadapan dengan hambatan-hambatan
yang akan dihadapi dalam pembangunan. Kerjasama dan dukungan dari berbagai
aktor pendukung pembangunan sangat diperlukan antara lain peran masyarakat.
Masalah sosial yang sering terjadi saat ini adalah mengenai pornografi dan
pornoaksi sehingga jika tidak diatasi maka akan merusak moral bangsa. Hal ini
media cetak maupun elektronik. Informasi-informasi dari internet yang tidak bisa di
kontrol oleh pihak yang berwajib bisa menjadi salah satu sumbernya. Dalam suatu
masyarakat yang tidak mengetahui dengan jelas batasan pornografi kebanyakan
wanitanya telah kehilangan perasaan malu. Pola hidup mewah kebanyakan dambaan
para wanita. Pornografi bermasalah karena pada dasarnya pornografi dan pornoaksi
adalah suatu bentuk kejahatan terhadap nilai-nilai sosial. Pornografi secara sengaja
merendahkan dan melecehkan kaum perempuan menjadi sekedar objek seks yang
tidak bermartabat dan pantas di ekspolitasi. Pornografi juga sangat mungkin
mendorong keinginan seks yang pada gilirannya menyebabkan setumpuk penyakit
seperti AIDS.
Tahun ini penderita HIV atau AIDS di Indonesia terus bertambah jumlahnya
mencapai 22.000 kasus positif. Di Sumatera terdapat 485 orang positif HIV atau
AIDS dengan jumlah kematian mencapai 93 orang meninggal dunia. Penderita
terbanyak berada di DKI Jakarta sebanyak 3.740 penderita dan 552 penderita telah
meninggal dunia. Dilanjutkan Jawa Barat dengan 3710 penderita dan 663 telah
meninggal, Jawa Timur dengan 3.540 penderita dan 732 meninggal, Papua dengan
2.585 penderita dan 373 meninggal. Di peringkat kelima ditempati Bali dengan 1.747
penderita dengan 311 telah meninggal. Selanjutnya Jawa Tengah dengan 819
penderita dan 265 meninggal. Diperingkat 7 ada Kalimantan Barat dengan 794
penderita dan 107 meninggal. Kedelapan ada Sulawesi Selatan dengan 591 menderita
dan 62 meninggal. Kesembilan ada Sumatera Utara dengan 485 penderita dan 93
meninggal disusul Riau dengan 477 penderita dan 132 meninggal. Yang
memperhatinkan dari jumlah itu lebih dari separuhnya adalah remaja usia 18-25
tahun. Hal ini menandakan semakin banyak generasi muda yang harus mendapatkan
pengetahuan tentang kesehatan reproduksi di rumah dan di sekolah (Kementrian
Pendidikan Nasional. Penderita HIV atau AIDS Terus Bertambah.
http://bkkbn.go.id/ artikel.html>( 23 Desember 2010 pukul 13.00 ). Selain ada penyakit menular seksual lainnya pemerkosaan, kehamilan remaja, aborsi,
homo seksual atau lesbian dan sebagainya. Pornografi dan pornoaksi di media massa
telah merebak dan menjadi masalah yang meresahkan masyarakat karena
mempengaruhi perkembangan moral dan mengarah kepada norma agama dan norma
yang berlaku di masyarakat.
Pornografi tidak akan menjadi masalah apabila tidak membawa dampak
negatif bagi masyarakat. Terlebih bagi masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kesusilaan dan moral agama. Pornografi berpengaruh nyata terhadap rusaknya moral
masyarakat. Kondisi masyarakat Indonesia mengakibatkan terjadinya
pergeseran-pergeseran nilai negatif. Dimana masyarakat hanya mementingkan kepentingan
pribadinya sendiri tanpa mementingkan kepentingan yang ada di masyarakat itu
sendiri, sehingga memunculkan tindak kriminalitas. Seseorang tidak dapat
membedakan baik dan buruk yang pada akhirnya akan muncul suatu masyarakat
yang hanya memikirkan kesenangan dunia seperti free sex (seks bebas), pelacuran,
pembunuhan, perjudian, pemerkosaan, kenakalan remaja. Kerusakan moral
mengakibatkan seseorang tidak mengindahkan norma-norma kesusilaan yang ada di
masyarakat yang mengakibatkan tingkat kriminalitas menjadi meningkat.
Suatu tindakan pembunuhan bayi oleh ibu kandung ( infanticide ) yang sering
terjadi adalah karena pemerkosaan atau seks bebas. Dalam pemerkosaan maka jelas
pihak perempuan yang dirugikan baik lahir maupun batin karena mengandung bayi
yang sebenarnya tidak ia inginkan dan tidak menikmati hubungan badan antara
dirinya dengan pemerkosa. Sedangkan pada seks bebas kedua belah pihak laki-laki
maupun perempuan melakukannya atas dasar suka sama suka dan bayi yang
dikandung pihak perempuan suka atau tidak suka merupakan akibat dari
hubungannya tersebut ( kehamilan di luar nikah ). “Berbeda dengan abortus yang dari
segi hukum mempunyai arti setiap keluarnya janin sebelum berakhirnya masa
kehamilannya yang lengkap atau viable” ( Sofwan Dahlan,1989:118). Sedangkan
pada pembunuhan bayi sendiri ( infanticide ) mempunyai arti setiap janin setelah
masa kehamilannya lengkap dimana bayi tersebut lahir dalam keadaan hidup, dan
Infanticide atau pembunuhan bayi sendiri adalah dimana seorang wanita
dengan sengaja atau karena kelalaiannya mengakibatkan kematian atas anaknya yang
berumur di bawah 12 bulan. Namun pada saat tindakan ataupun kelalaiannya tersebut
terjadi, didapatkan gangguan mental dikarenakan oleh alasan belum pulihnya efek
dari kelahiran anaknya, atau efek dari menyusui sebagai konsekuensi melahirkan bayi
tanpa perkecualian. Hal tersebut dapat dinyatakan sebagai pembunuhan, dan
dinyatakan bersalah sebagai infanticide.
Kesan yang didapat dari beberapa definisi tentang infanticide atau
pembunuhan bayi sendiri adalah merujuk kepada pelaku adalah ibu dari korban,
dengan korban adalah anak-anak yang dititik beratkan pada bayi, yaitu dengan usia
dibawah 12 bulan. Secara umum infanticide juga bisa dilakukan oleh orang tua secara
umum, yang di dunia barat dikenal dengan filicide. Filicide adalah pembunuhan
terrhadap seorang anak oleh orang tua nya sendiri. Filicide sendiri lebih spesifik
menggambarkan adanya pembunuhan bayi dibawah 12 bulan, pada saat 24 jam
setelah kelahiran, kurang dari pada itu disebut neonaticide.
Motif takut ketahuan ia melahirkan anak ( bayi ). Motif ini dikaitkan dengan kultur didalam masyarakat Indonesia yang menanggap tabu melahirkan anak tanpa suami. Andaikata seseorang wanita membunuh bayinya sendiri yang baru dilahirkan dari perkawinan yang sah, maka pembunuhan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai pembunuhan bayi sendiri (infanticide) sebab ia tidak mempunyai alasan yang kuat untuk takut ketahuan bahwa ia melahirkan anak ( Sofwan Dahlan,1989:125 ).
Alasan dari timbulnya motif yang demikian tidaklah merupakan syarat dalam
kejahatan Pasal 341 KUHP, asal motif takut diketahui bahwa ia melahirkan sudah ada
alasan dari sebab takutnya itu tidaklah merupakan hal yang penting benar. Biasanya
hal ini dilakukan karena sang ibu merasa malu dan takut diketahui oleh masyarakat
umum dan atau keluarga dengan kelahiran bayi tersebut. Pihak perempuan juga harus
menerima hukuman moral dari masyarakat sekitar seperti dikucilkan. Tindak pidana
menganggap kejadian ini selain tidak ada rasa kemanusiaan, dimana seorang ibu
kandung tega membunuh bayinya sendiri, juga tidak ada rasa kesusilaan pada pelaku
yang tidak mengindahkan norma agama dan budaya timur. Tidak seharusnya jika
bayi yang lahir dari perbuatan asusila pelaku membunuh, hanya untuk menutupi rasa
malu dan menghilangkan jejak perbuatan yang tidak bertanggung jawab.
Dalam penetapan berat ringannya pidana, pengadilan harus
rnempertimbangkan untung rugi (dari pidana tersebut kepada pelaku). Hal yang turut
dipertimbangkan adalah motivasi dan maksud serta tujuan dari pelaku. Keadaan
kesehatan jiwa, niatan yang tercermin dari perbuatannya, latar belakang pelaku,
situasi ekonomi pelaku dan sikapnya sekarang terhadap tindak pidana yang ia lakukan
(apakah ada penyesalan atau tidak).
“Namun ada hal pokok, pembedaan hukuman pembunuhan bayi sendiri
(infanticide) yaitu lebih ringan dari pembunuhan (murder) disebabkan karena dilihat
dari sudut keseimbangan, bahwa pelaku telah mendapat hukuman moril yaitu
timbulnya rasa bersalah dan menyesal mengakibatkan telah menjalani hukuman lebih
berat dari hukuman penjara” (Adami Chazawi, 2001: 96).
Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana ini harus
mempertimbangkan faktor sosiologis dari masyarakat yang mengganggap bahwa
perbuatan ini tidak seharusnya dilakukan oleh seorang ibu dan mengingat adanya
hubungan batin antara korban dan pelaku. Tindak pidana pembunuhan bayi sendiri ini
pada dasarnya penanganannya sama dengan tindak pembunuhan lainnya hanya saja
ada suatu perbedaan yaitu adanya hubungan emosional antara ibu sebagai pelaku dan
anak sebagai korban, juga adanya suatu yang bertentangan, karena dalam tindak
pidana ini pelaku sekaligus sebagai korban juga, dikarenakan yang dibunuh adalah
anaknya, sehingga menjadikan tindak pidana ini menarik untuk diteliti.
Berdasarkan latar belakang inilah penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam
tentang pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana
tersebut. untuk itu penulis dalam penyusunan skripsi ini mengangkat Judul
TERHADAP TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BAYI OLEH IBU KANDUNG ( Studi Di Pengadilan Karanganyar ).
B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan bagian yang sangat penting didalam suatu
penelitian, karena dengan perumusan masalah tersebut berati seorang peneliti telah
mengidentifikasi persoalan yang akan diteliti sehingga sasaran yang akan dicapai
menjadi jelas, tegas, terarah dan dapat mencapai sasaran yang diharapkan. Bertolak
dari latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas, maka penulis
merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam memberikan putusan terhadap
perkara tindak pidana pembunuhan bayi oleh ibu kandungnya di
Pengadilan Negeri Karanganyar?
2. Hambatan-hambatan apakah yang dihadapi hakim dalam memberikan
putusan dalam perkara tindak pidana pembunuhan bayi oleh ibu kandung?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mencapai tujuan sebagai berikut :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam memberikan putusan
terhadap perkara tindak pidana pembunuhan bayi oleh ibu kandungnya
di PN Karanganyar.
b. Untuk mengetahui hambatan - hambatan yang dihadapi oleh hakim
dalam memberikan putusan perkara tindak pidana pembunuhan bayi
oleh ibu kandungnya.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis mengenai hukum
acara pidana, khususnya yang menyangkut mengenai tindak pidana
b. Untuk melengkapi syarat-syarat guna memperoleh gelar akademik
sarjana dalam bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
D. Mamfaat Penelitian
Dari setiap penelitian diharapkan memberikan suatu mamfaat dan kegunaan
yang dapat ditarik dari penelitian tersebut.
1. Mamfaat Teoritis.
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan mamfaat pada
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum dan bidang
Hukum Pidana pada khususnya.
b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
dan masukan bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya.
c. Hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang hal-hal yang
menjadi pertimbangan hakim dalam memberikan putusannya terhadap
terdakwa tindak pidana pembunuhan bayi oleh ibu kandungnya.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan jawaban terhadap permasalahan yang akan diteliti.
b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi untuk
penelitian-penelitian serupa di masa yang akan datang.
c. Membantu dan memberi masukan dan pemahaman tentang
pertimbangan hakim dalam memberikan suatu putusan kepada
masyarakat banyak.
E. Metode Penelitian
Berdasarkan pada masalah yang diajukan penulis tentang pembunuhan bayi
oleh ibu kandung , maka penulis di dalam penulisan hukum ini menggunakan jenis
penelitian dalam bentuk penulisan hukum yang bersifat empiris yaitu penelitian
hukum yang menggunakan data primer dan data sekunder. Penelitian hukum adalah
suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, pemikiran tertentu
jalan menganalisanya. Selain itu, juga diadakan pemeriksaan yang mendalam
terhadap fakta hukum tersebut dan mengusahakan suatu pemecahan atas
permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.
Suatu penelitian dapat berjalan dengan baik apabila menggunakan suatu
metode penelitian yang baik dan tepat. “Metodologi pada hakekatnya memberikan
pedoman tentang cara-cara seorang ilmuwan mempelajari, menganalisa, dan
memahami lingkungan-lingkungan yang dihadapi” (Soerjono Soekanto,2006:6).
Maka metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :
1. Jenis Penelitian.
Dalam penelitian hukum ini, penulis menggunakan jenis penelitian
hukum sosiologis atau empiris. “Penelitian hukum sosiologis atau empiris
yaitu penelitian yang pada awalnya yang diteliti adalah data sekunder
yang kemudian dilanjutkan dengan penelitian data primer di lapangan atau
terhadap masyarakat” (Soerjono Soekanto,2006:52). Data sekunder
diperoleh melalui literatur-literatur kepustakaan, himpunan-himpunan
perundang-undangan yang berlaku, jurnal-jurnal hukum, dan hasil
penelitian berupa putusan hakim. Selanjutnya data primer dalam penelitian
ini berupa wawancara yang dilakukan penulis terhadap hakim yang
menangani perkara tindak pembunuhan bayi yang dilakukan oleh ibu
kandung di Pengadilan Negeri Karanganyar.
2. Sifat Penelitian.
“Penulisan hukum ini bersifat deskriptif, yaitu suatu penelitian
yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang
manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Maksudnya adalah untuk
mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu dalam memperkuat
teori lama atau dalam kerangka menyusun teori baru” (Soerjono
Soekanto,2006:10). Berkaitan dengan penulisan hukum ini, penulis
memutus perkara tindak pidana pembunuhan bayi yang dilakukan oleh ibu
kandung serta hambatan-hambatan yang dihadapi hakim dalam memeriksa
dan mengadili dalam kasus pembunuhan bayi oleh ibu kandung dengan
putusan No.75/Pid.B/2010/Pn.Kray.
3. Pendekatan Penelitian.
Pendekatan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah
pendekatan sosiologis sebagai suatu gejala empiris yang dapat diamati
dalam kehidupan. Pendekatan sosiologis dilakukan dengan penelitian
secara langsung ke lapangan. Penulis melakukan wawancara langsung
terhadap hakim yang menangani perkara tindak pidana pembunuhan bayi
oleh ibu kandung di Pengadilan Negeri Karanganyar.
4. Jenis Data.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah data
primer dan data sekunder.
a. Data primer.
Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari
sumbernya. Data primer ini berupa fakta atau keterangan yang
diperoleh secara langsung dari sumber data untuk tujuan penelitian
sehingga diharapkan nantinya penulis dapat memperoleh hasil yang
sebenarnya dari objek yang diteliti. Adapun data tentang penelitian ini
berupa wawancara yang dilakukan oleh penulis terhadap hakim yang
menangani tidak pidana pembunuhan bayi oleh ibu kandung di
Pengadilan Negeri Karanganyar yaitu Hakim Bunga Lilly, S.H.
b. Data sekunder.
Data sekunder yaitu data yang diperoleh untuk mendukung
data primer. Data sekunder meliputi data yang diperoleh dengan cara
penelitian pendapat hukum melalui literatur-literatur kepustakaan,
putusan hakim maupun laporan dalam bentuk lain yang berkaitan
dengan penelitian ini.
5. Sumber Data.
Sumber data merupakan tempat data suatu penelitian dapat
diperoleh. Sumber data yang digunakan dalam penelitian hukum ini
adalah sumber data primer dan sumber data sekunder.
a. Sumber Data Primer.
Sumber data primer yaitu sumber data yang diperoleh secara
langsung dari lapangan. Dalam hal ini data yang digunakan adalah
data hasil penelitian atau riset dengan wawancara terhadap hakim yang
menangani perkara tindak pidana pembunuhan bayi oleh ibu kandung
di lokasi penelitian yaitu di Pengadilan Negeri Karanganyar.
b. Sumber Data Sekunder.
Sumber data sekunder yaitu sumber data yang dipergunakan
sebagai bahan penunjang data primer. Dalam penelitian hukum ini
data sekunder yaitu putusan pengadilan, buku literatur, peraturan
perundang-undangan, dan laporan penelitian.
6. Teknik Pengumpulan Data.
Untuk memperoleh data yang sesuai dan mencakup permasalahan
yang penulis teliti, maka teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah
melalui studi lapangan dan studi kepustakaan.
a. Studi Lapangan.
Studi lapangan merupakan suatu penelitian melalui penelitian
secara langsung ke lapangan untuk mendapat data-data dan
keterangan-keterangan yang diperlukan. Teknik yang dipakai dalam
pengumpulan data melalui penelitian lapangan adalah wawancara.
Wawancara merupakan teknik pengumpulan data keterangan yang
diperoleh dengan mengadakan tanya jawab memakai daftar pertanyaan
Jenis wawancara yang penulis gunakan adalah wawancara
yang telah ditentukan pelaksanaannya, telah diatur catatan-catatan dan
keterangan-keterangan pertanyaan yang telah ditentukan pokok
permasalahannya serta membatasi aspek-aspek dari masalah yang
diperiksa.
7. Studi Kepustakaan.
Studi kepustakaan merupakan teknik pengumpulan data dengan
cara menginventariskan dan mempelajari bahan-bahan yang berupa
peraturan perundang-undangan, buku-buku, tulisan-tulisan, dan
dokumen-dokumen lainnya yang berhubungan dengan objek penelitian. Dalam
setiap penelitian disamping metode yang tepat dan alat pengumpulan data
yang relevan, kecermatan dalam memilih dan menyusun teknik serta alat
pengumpulan data sangat berpengaruh objektifitas hasil penelitian.
8. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik analisis data kualitatif. “ Analisis data dengan metode kualitatif
adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis,
yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan, dan
juga perilakunya yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu
yang utuh” (Soerjono Soekanto, 2006:250).
“Model analisis data kualitatif yang digunakan adalah model
analisis interaktif yaitu proses analisis dengan menggunakan tiga
komponen yaitu reduksi data, penyajian data, dan kemudian penarikan
Adapun model analisis interaktif dapat digambarkan dalam skema
sebagai berikut:
Untuk lebih jelasnya, masing-masing tahap dapat dijabarkan secara
singkat sebagai berikut :
a. Pengumpulan data.
Pengumpulan data merupakan proses pencarian data dari
berbagai sumber, yang mana data-data tersebut relevan dengan
pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian, guna
memperoleh hasil penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam penulisan hukum ini pengumpulan data dilakukan
dengan wawancara di lapangan yaitu terhadap hakim yang menangani
perkara tindak pidana pembunuhan bayi oleh ibu kandung di
Pengadilan Negeri Karanganyar yaitu hakim Bunga Lilly, S.H., guna
mendapatkan data primer dan mengumpulkan buku-buku, himpunan
perundang-undangan, jurnal-jurnal hukum, putusan pengadilan, serta
laporan penelitian yang relavan dengan penulisan hukum ini guna
mendapatkan data sekunder.
Pengumpulan data
Penyajian data Reduksi data
b. Reduksi data.
Reduksi data yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data yang kasar yang
muncul dari catatan tertulis dilapangan. Setelah data-data diperoleh
dari hasil wawancara terhadap hakim yang menangani tindak pidana
pembunuhan bayi oleh ibu kandung yaitu Bunga Lilly, S.H., putusan
pengadilan, himpunan perundang-undangan, jurnal-jurnal hukum
maupun buku-buku terkumpul, maka penulis melakukan pemilihan
dan pemusatan perhatian terhadap data-data yang dianggap penulis
dapat digunakan dalam penulisan hukum ini sesuia dengan perumusan
masalah yang akan dibahas.
c. Penyajian data.
Penyajian data yaitu sekumpulan informasi tersusun yang
memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan
pengambilan tindakan. Data-data yang telah diperoleh dan telah
melalui proses reduksi data dapat disusun oleh penulis untuk disajikan
sebagai hasil penelitian dalam penulisan hukum ini.
d. Penarikan simpulan/Verifikasi.
Penarikan simpulan yaitu mencari arti benda-benda, mencatat
keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi yang mungkin, alur
sebab-akibat dan proposisi. Makna-makna yang muncul dari data
harus diuji kebenarannya, kekokohannya dan kecocokannya yakni
yang merupakan validitasnya.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai keseluruhan isi penulisan
hukum ini dapat dikategorisasikan menjadi empat bab dengan sistimatika sebagai
Bab Satu Pendahuluan, dalam bab ini penulis akan mengemukakan tentang
latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penelitian,
metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum.
Bab Dua Tinjauan Pustaka, dalam bab ini penulis akan menguraikan
mengenai dua hal yaitu, yang pertama adalah kerangka teori yang melandasi
penelitian serta mendukung di dalam memecahkan masalah yang diangkat dalam
penulisan hukum ini, yang meliputi: Pertama mengenai tinjauan umum tentang hakim
meliputi, pengertian, kewajiban dan tanggung jawab hakim, wewenang hakim, dan
kebebasan hakim. Kedua, tinjauan umum tentang putusan pengadilan meliputi
pengertian putusan pengadilan, dasar hukum putusan pengadilan, macam-macam
putusan, jenis-jenis putusan pengadilan, sifat putusan pengadilan dan syarat putusan
pengadilan. Ketiga, tinjauan umum tentang tindak pidana yang meliputi pengertian,
unsur-unsur dan jenis tindak pidana, dan pengertian, unsur-unsur tindak pidana
pembunuhan bayi. Selain itu, untuk memudahkan pemahaman alur berfikir, maka di
dalam bab ini juga disertai dengan kerangka pemikiran.
Bab Tiga Hasil Penelitian dan Pembahasan, dalam bab ini akan diuraikan
hasil penelitian dan pembahasan tentang dasar pertimbangan hakim dalam
memberikan putusan No.75/Pid.B/2010/PN.Kray pada kasus pembunuhan bayi yang
dilakukan oleh ibu kandung dan hambatan-hambatan yang dihadapi hakim dalam
memberikan putusan pada kasus pembunuhan bayi oleh ibu kandung.
Bab Empat Penutup, dalam bab ini menguraikan secara singkat tentang
simpulan akhir dari pembahasan dan jawaban atas rumusan permasalahan, dan
diakhiri dengan saran-saran yang didasarkan atas permasalahan yang diteliti.
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Mengenai Hakim
a. Pengertian Hakim
Pengertian hakim mengandung beberapa pengertian, antara lain :
1) Pasal 1 angka (8) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Hakim adalah
pejabat peradilan negara yang di beri wewenang oleh Undang-Undang
untuk mengadili, kemudian didalam Pasal 1 butir 9 KUHAP
ditentukan bahwa yang dimaksud mengadili adalah serangkaian
tindakan hakim dalam menerima, memeriksa dan memutus perkara
pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak disidang
pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
Undang-Undang.
2) Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum, Hakim Pengadilan yaitu pejabat yang melaksanakan
tugas kekuasaan kehakiman.
3) Pasal 3l Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan
kehakiman yang diatur dalam undang-undang.
4) Kamus besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa hakim adalah :
(a) Orang yang mengadili perkara
(b) Pengadilan
(c) Juri; penilai
Syarat yang senantiasa harus dipenuhi oleh hakim yaitu jujur,
merdeka, berani mengambil keputusan, dan bebas dari pengaruh baik dari
dalam maupun dari luar. Selain syarat-syarat yang pengaturannya diatur
hakim dalam menjalankan keadilan, oleh Undang-Undang diletakan suatu
tanggung jawab yang lebih berat dan mendalam dengan menginsafkan
kepadanya dengan sumpah jabatan itu, bahwa hakim bertanggung jawab
kepada hukum, kepada diri sendiri, kepada rakyat, kepada Tuhan Yang Maha
Esa.
b. Kewajiban dan Tanggung Jawab Hakim
Kewajiban hakim yang terutama sebagai organ pengadilan yaitu
tidak boleh menolak untuk memutuskan mengadili suatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas melainkan
wajib untuk memeriksa dan mengadili ( Pasal 16 Undang-Undang Nomor
4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman).
Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dijelaskan bahwa
kewajiban hakim adalah sebagai berikut :
1) Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dalam masyarakat
(Pasal 28 ayat (1));
2) Hakim wajib memperhatikan sifat baik dan jahat dari tertuduh
pada waktu mempertimbangkan berat ringannya pidana (Pasal 28
ayat (2));
3) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila
terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat
ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai,
dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau
panitera. (Pasal 29 ayat (3));
4) Ketua Majelis, Hakim anggota dan bahkan jaksa atau panitera
yang masih terikat dalam hubungan keluarga sedarah sampai
derajat tiga atau semenda, wajib pula mengundurkan diri dari
5) Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari
persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau
tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas
kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang
berperkara (Pasal 29 ayat (5));
6) Hakim wajib bersumpah menurut agamanya sebelum memangku
jabatan (Pasal 30));
7) Dalam menjalankan tugas dan fungsinya hakim wajib menjaga
kemandirian peradilan (Pasal 33)).
c. Wewenang Hakim
Wewenang hakim diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1986. Hakim merupakan pejabat peradilan negara yang diberi wewenang
oleh Undang-Undang untuk mengadili ( Pasal 1 butir (8) KUHAP )
Selanjutnya dalam Pasal 1 butir (9) KUHAP ditentukan bahwa yang
dimaksud mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima,
memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur,
tidak memihak disidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang
diatur Undang-Undang.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Pasal 50 disebutkan bahwa
Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara pidana dan perdata ditingkat pertama Dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Pasal 16 ayat (1) berbunyi:
Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa mengadili dan memutus
suatu petkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya dan
Pasal l7 ayat (1) berbunyi: Semua pengadilan memeriksa, mengadili dan
memutus dengan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim kecuali
hakim dalam memeriksa memutus dan menyelesaikan perkara perdata dan
pidana.
d. Kebebasan Hakim
Undang-Undang Dasar melarang campur tangan pihak eksekutif
maupun pihak legislatif terhadap hukum bahkan pihak atasan langsung
dari hakim yang bersangkutan tidak mempunyai kewenangan untuk
mempengaruhi ataupun mendiktekan kehendaknya kepada hakim
bawahan. Namun kebebasan hakim tidak harus diartikan bahwa hakim
dapat melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap suatu perkara yang
diperiksanya akan tetapi hakirn tetap terikat pada hukum yang berlaku.
Didukung dengan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004. Hakim merupakan salah satu faktor pembentuk hukum,
dalam pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang
kekuasaan kehakiman menjelaskan bahwa pengadilan tidak boleh menolak
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan
dengan dalih bahwa tidak ada atau kurang jelas hukumnya, melainkan
wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
Pasal ini mengisyaratkan kepada hakim bahwa hakim dapat bertindak berdasar inisiatif sendiri untuk menyelesaikan suatu perkara bila Undang-Undang belum jelas atau tidak mengatur. Ada yang beranggapan bahwa Undang-Undang adalah lengkap, bahwa tertib hukum merupakan suatu sistem yang lengkap ataupun anggapan bahwa semua telah diatur oleh aturan-aturan hukum positif. Ada beberapa aspek hukum dimana hukum positif tidak mengaturnya secara tegas bahkan tidak ada sama sekali. Sehingga diperlukan peranan hakim untuk menemukan pemecahannya didalam Undang-Undang, dengan mempergunakan logikanya penemuan hukum secara bebas (Martiman Prodjohamidjojo,1984:2-3).
Penemuan hukum oleh hakim merupakan proses pembentukan
hukum oleh hakim dalam menyelesaikan perkara yang konkret. Penemuan
1) Penemuan Hukum Otonom
Hakim dalam menyelesaikan masalah jika perlu melakukan pencarian hukum dengan pandangan pribadi, pikiran atau apresiasi sendiri tanpa ada bantuan dari hukum yang ada. Pandangan maupun apresiasi dari hakim dalam menemukan hukum didasarkan atas pengalaman, penilaian yuridis ataupun asas-asas hukum material.
2) Penemuan Hukum Heteronom
Ketentuan yang ada dalam Undang-Undang jadi dasar pokok bagi hakim dalam memutus perkara. Keputusan ini tidak dapat menyimpang dari ketentuan hukum yang berlaku yang mendasarkan pada hukum tersebut. Disini hakim tidak mandiri karena harus tunduk pada Undang-Undang (Premis Mayor) peristiwa yang konkret merupakan premis minor sedangkan keputusan merupakan konklusi atau kesimpulan (Sudikno Mertokusumo, 1993 :12-13).
Di lndonesia, putusan hakim atas dasar peraturan perundang-undangan
yang terkait, ada kalanya peraturan tersebut tidak lengkap sehingga hakim
perlu menafsirkan dan menemukan sendiri atas dasar pengetahuan yang
dimilikinya. Peraturan perundang-undangan yang rupanya jelas, jika
diterapkan pada hal-hal konkret seringkali membutuhkan penjelasan. Doktrin
dan yurisprudensi mengajarkan kepada kita, bahwa hakim dapat
menggunakan berbagai cara penafsiran untuk mencari arti Undang-Undang :
1) Penafsiran menurut tata bahasa (gramatikal) yaitu penafsiran dengan menetapkan perkataan menurut tata bahasa. Cara penafsiran ini tidak selalu dapat dipakai, sebab perkataan-perkataan tersebut mempunyai lebih dari satu pengertian, terbukti bahwa perkataan itu harus diartikan lain daripada tata bahasa. 2) Penafsiran sistematis atau logis yaitu keseluruhan sistem
perundang-undangan jadi dasar dalam menafsirkan Undang terhadap masalah dengan menghubungkan satu Undang-Undang dengan Undang-Undang-Undang-Undang yang lain. Misalnya, pengertian pegawai negeri dalam Pasal 92 KUHP diberikan pengertian yang luas dengan Pasal-Pasal Undang-Undang korupsi.
4) Penafsiran restriktif (menyempitkan) yaitu dengan membatasi ketentuan suatu unsur peraturan (restriktif).
5) Penafsiran Historis (sejarah) yaitu cara penafsiran ini menurut maksud dari pembentuk Undang-Undang, apa yang dikehendaki oleh pembentuk Undang-Undang. Dan penyelidikan ini selalu kembali pada waktu atau zaman ketika dipersiapkan, antara lain dipergunakan memori penjelasan perslag sementara memori jawaban.
6) Penafsiran analogis yaitu cara penafsiran dengan cara memperlakukan suatu peraturan yang berpokok pangkal pada satu azas hukum pada suatu hal tertentu, yang tidak diatur dalam Undang-Undang. Dalam hukum pidana penafsiran analogis tidak diperbolehkan karena bertentangan dengan asas legalitas yang ditentukan dalam Pasal 1 KUHP, bahwa seseorang tidak dapat dijatuhi hukuman pidana, kecuali apabila berdasarkan satu ketentuan Undang-Undang. Dalam hukum perdata diperbolehkan. 7) Penafsiran Teleologis yaitu berdasarkan tujuan kemasyarakatan,
perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang sesuai dengan masyarakat.
8) Penafsiran a-contrario yaitu cara penafsiran kebalikan dari penafsiran analogis.
9) Penafsiran Autentik yaitu cara penafsiran yang didasarkan kepada pengertian-pengertian yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang itu sendiri (Martiman Prodjohamidjojo, 1983 : 9-11 ).
Dalam Pasal 28 ayat (l) Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004,
kewajiban hakim sebagai penegak hukum dan keadilan ialah hakim wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat, yang didalam penjelasan atas pasal tersebut
dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan
masyarakat, agar hal itu tercapai maka hakim harus terjun ketengah-tengah
masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. selain penafsiran
undang-undang, hakim dalam menentukan seseorang bersalah atau tidak,
harus berdasar pembuktian yang sah. Dalam sistem pembuktian dikenal
1) Conviction Raisonee
Sistem pembuktian atas dasar keyakinan hakim dan harus dilandasi alasan-alasan logis dan dapat diterima akal.
2) Conviction In time
Sistem pembuktian berdasar atas keyakinan hakim. Keyakinan hakim dapat diambil dan disimpulkan dari alat-alat bukti yang diperiksa dalam pengadilan atau dapat pula pemeriksaan alat-alat bukti ini diabaikan hakim untuk kemudian langsung menarik keyakinan dari keterangan pengakuan terdakwa. Jadi walaupun terdakwa bersalah menurut alat bukti tetapi hakim tidak menganggap bersalah, maka ia tidak dapat dijatuhi hukuman. 3) Pembuktian menurut Undang-Undang positif.
Sistem pembuktian ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan oleh Undang-Undang. Hakim dapat menghukum terdakwa berdasarkan alat bukti yang sah menurut Undang-Undang.
4) Pembuktian menurut Undang-Undang negatif.
Seorang terdakwa dapat dijatuhi hukuman jika ada dua komponen: (a) Pembuktian harus dilakukan menurut ketentuan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang.
(b) Keyakinan dari hakim yang didasarkan atas ketentuan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang. Sistem ini merupakan perpaduan antara sistem pembuktian positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim (Martiman Prodjohamidjojo, 1983 : 14-17).
2. Tinjauan Umum mengenai Putusan Pengadilan a. Pengertian Putusan Pengadilan
Istilah putusan pengadilan mengandung beberapa pengertian :
1) Putusan pengadilan menurut Pasal 1 butir l1 Undang-undang Nomor
8 tahun 1981 tentang KUHAP adalah pernyataan hakim yang
diucapkan dalam sidang terbuka berupa pemidanaan, bebas, atau
lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal dan cara menurut
2) “Putusan adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah
dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya bisa berupa
tulisan ataupun lisan” ( Martiman Prodjohamidjojo:1983:78).
b. Dasar Hukum Putusan Pengadilan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986, Hakim merupakan pejabat
peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk
mengadili (Pasal 1 butir (8) KUHAP). Selanjutnya dalam Pasal 1 butir (9)
KUHAP ditentukan bahwa yang dimaksud mengadili adalah serangkaian
tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana
berdasarkan asas bebas, jujur, tidak memihak disidang pengadilan dalam
hal dan menurut cara yang diatur Undang- Undang.
Hakim adalah satu-satunya pejabat negara yang oleh
Undang-Undang diberi wewenang untuk menyatakan seseorang bersalah
melakukan tindak pidana dan wewenang menghukumnya. Menurut Pasal
183 KUHAP seseorang dapat dijatuhi hukuman bila :
1) Kesalahan yang dilakukan terbukti bersalah minimal dengan dua
alat bukti yang sah menurut undang-undang.
2) Hakim mendapat keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar
terjadi dan terdakwa bersalah melakukannya.
c. Macam-Macam Putusan
Menurut Pasal 191 KUHAP, terdapat tiga macam putusan, yaitu:
1) Putusan yang mengandung pembebasan terdakwa.
Pasal 191 ayat (1) KUHAP berbunyi : jika pengadilan
berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan disidang, kesalahan
terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus bebas.
Dakwaan tidak terbukti berarti apa yang dipersyaratkan oleh Pasal
(a) Tiadanya sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, yang
disebut oleh Pasal 184 KUHAP.
(b) Meskipun terdapat dua alat bukti yang sah, akan tetapi hakim
tidak mempunyai keyakinan atas kesalahan terdakwa.
(c) Jika salah satu atau lebih unsur tidak terbukti dalam hal ini
makna keyakinan hakim berdasarkan atas alat bukti yang sah
menurut Undang-Undang bukan atas perasaan hakim sebagai
seorang pribadi. Setelah hakim mengeluarkan putusan maka
saat itu juga terdakwa bebas, dan untuk terdakwa yang berada
dalam tahanan maka jaksa dapat segera memerintahkan untuk
membebaskannya ( Pasal 192 ayat (1) KUHAP).
2) Putusan yang mengandung pelepasan terdakwa dari segala
tuntutan hukum.
Pasal 191 ayat (2) KUHAP berbunyi : Jika pengadilan
berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa
terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana,
maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Hal ini
terjadi jika :
(a) Terdapat kesalahan dalam merumuskan atau melukiskan
perbuatan yang dilakukan terdakwa kedalam surat
dakwaan, sehingga tidak mencocoki dengan rumusan
ketentuan peraturan hukum pidana yang didakwakan.
(b) Terdakwa dalam keadaan:
(i) Sakit jiwa, atau cacat jiwanya, Pasal 44 KUHP;
(ii)Keadaan memaksa (overmacht) Pasal43 KUHP;
(iii) Membela diri (noodweer) Pasal 49 KUHP;
(iv)Melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan
(v) Melakukan perintah yang diberikan oleh atasan
yang sah, Pasal 51 KUHP;
(vi)Baik pada putusan yang mengandung pembebasan
maupun mengandung pelepasan dari segala tuntutan
hukum, menurut Pasal 67 KUHAP tidak dapat
dimintakan pemeriksaan tingkat banding.
3) Putusan yang mengandung penghukuman terdakwa.
Pasal 193 ayat (l) KUHAP berbunyi, jika pengadilan
berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana
yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan
pidana. Terdakwa bersalah, berarti dakwaan itu terbukti, dan syarat
untuk menjatuhkan pidana telah dipenuhi. Hakim wajib
memberitahukan kepada terdakwa akan hak-haknya segera setelah
hakim mengucapkan putusannya (Pasal 196 ayat (3) KUHAP),
yaitu:
(a) Hak untuk menerima atau menolak putusan;
(b) Hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima
atau menolak putusan dalam tenggang waktu yang
ditentukan oleh Undang-Undang;
(c) Hak meminta menangguhkan pelaksanaan putusan dalam
tenggang waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang
untuk mengajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan;
(d) Hak meminta diperiksa perkaranya dalam tingkat banding
dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh
Undang-Undang, dalam hal ia menolak putusan;
(e) Hak mencabut pemyataan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh
d. Jenis Putusan Pengadilan
Menurut KUHAP putusan pengadilan ada dua macam yaitu
putusan sela dan putusan akhir. Putusan sela dijatuhkan bila perkara di
periksa tetapi belum memasuki materinya, sedangkan putusan akhir
dijatuhkan bila pemeriksaan suatu perkara telah selesai dengan materi
perkaranya. Jadi perbedaannya pada sejauh mana perkara pidana dapat
diperiksa. Dasar hukum putusan sela pada perkara pidana yaitu Pasal 156
ayat 1 KUHAP sedangkan putusan akhir diatur dalam Pasal 182 ayat 3
dan 8 KUHAP.
e. Sifat Putusan Pengadilan
Menurut Pasal 191 KUHAP dapat disimpulkan ada dua macam sifat
putusan yaitu :
(1) Putusan Pemidanaan, yaitu putusan yang bersifat menghukum
terdakwa karena yang bersangkutan terbukti secara sah dan
meyakinkan melakukan tindak pidana.
(2) Putusan yang Bukan Pemidanaan ada dua yaitu : Putusan yang bebas
dari segala dakwaan yaitu bila dakwaan tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan melakukan tindak pidana sesuai dengan dakwaan
penuntut umum dan putusan lepas dari segala tuntutan yaitu bila
persidangan terdakwa benar-benar melakukan tindak pidana tetapi
hukum yang bersangkutan tidak dapat dipidana karena dua alasan
yaitu alasan pemaaf (Pasal 44 KUHP) dan alasan pembenar (Pasal 49
KUHP).
f. Syarat-Syarat putusan pengadilan
Dalam KUHAP diatur syarat sahnya suatu putusan pengadilan
yaitu bila diucapkan pada sidang terbuka (Pasal 195 KUHAP). Jadi syarat
sahnya suatu putusan pengadilan memenuhi syarat-syarat :
(1) Memuat Hal-Hal Yang Diwajibkan ( Pasal 197 ayat 1 dan 2 KUHAP).
sedangkan isi dari suatu putusan pengadilan secara terperinci diatur
dalam Pasal 197 ayat 1 KUHAP adapun formalitas yang diwajibkan
untuk dipenuhi di dalam putusan hakim sebagaimana diatur dalam
pasai 197 (1) dan (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
yaitu:
(a) Kepala putusam yang dituliskan berbunyi: " DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA".
(b) Nama lengkap, tempat lahir, umur, atau tanggal lahir jenis
kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan
terdakwa;
(c) Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
(d) Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan
keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan
di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;
(e) Tuntutan pidana sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
(f) Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum
dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan
terdakwa;
(g) Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali
perkara diperiksa oleh hakim tunggal;
(h) Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah dipenuhinya
semua unsur dalam tindak pidana disertai dengan kualifikasinya
dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;
(i) Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan
menyebut jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang
bukti;
(j) Keterangan bahwa seluruh surat temyata palsu atau keterangan
dimana letaknya kepalsuan itu jika terdapat surat otentik dianggap
(k) Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau
dibebaskan:
(l) Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum,nama hakim yang
memutus dan nama panitera.
3. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana
a. Pengertian, Unsur-Unsur dan Jenis Tindak Pidana.
Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat oleh
karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu, ada
hubungan yang erat pula. Yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang lain.
Kejadian tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan bukan orang, dan
orang tidak dapat diancam pidana, jika tidak karena kejadian yang
ditimbulkan olehnya. “Dan justru untuk menyatakan hubungan yang erat
itu; maka dipakailah perkataan perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak
yang menunjuk kepada dua keadaan konkret: pertama, adanya kejadian
yang tertentu dan kedua, adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan
kejadian itu”( Moeljatno,2002:54).
Istilah tindak pidana sering dipakai oleh pihak menteri kehakiman,
khususnya dalam perundang-undangan. Menurut Moeljatno, meskipun
kata "tindak" lebih pendek daripada "perbuatan" tapi "tindak" tidak
menunjuk kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya
menyatakan suatu keadaan yang konkrit. Kita sering mendengar bahwa
istilah, strafbaarfeit sering diartikan dengan tindak pidana, namun
sebelumnya kita lihat dulu arti dari strafbaarfeit dari beberapa pakar
hukum, antara lain :
Simons rnenerangkan bahwa strabaarfeit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.
hukum, yang patut dipidana ktrafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan.
Jika melihat pengertian-pengertian ini maka disitu diatur dalam pokoknya ternyata:
(1) Bahwa feit dalam strabaarfeit berati handeling, kelakuan atau tingkah laku;
(2) Bahwa pengertian strabaarfeit dihubungkan dengan kesalahan orang yang mengadakan kelakuan tadi ( Moeljatno,2002:56 ).
Istilah ini kemudian berkembang menjadi sangat luas dan
melahirkan berbagai istilah, sehingga dikatakan bahwa dari strabaarfeit ini
menyebabkan penafsiran dan pengertian yang berbeda dari setiap ahli
sejarah hukum. Tindak pidana merupakan istirah yang sering dipakai
dalam tindak pidana. Istilah tindak pidana dimaksudkan sebagai
terjemahan dari istilah bahasa belanda, yaitu strabaafeit. Tindak pidana
(strabaarfeit) sendiri sering diartikan sebagai:
(a) Peristiwa pidana; (b) Perbuatan pidana; (c) Pelanggaran pidana;
(d) Perbuatan yang dapat dihukum; (e) Perbuatan yang boleh dihukum
Menurut Mezger, bahwa untuk menyimpulkan suatu hal masuk sebagai perbuatan pidana, maka ada beberapa unsur yang harus ada didalamnya yaitu :
(a) Kelakuan dan akibat;
(b) Hal ikhwal atau keadaan yang meyertai perbuatan; (c) Keadaan tambahan yang memberatkan pidana; (d) Unsur melawan hukum obyektif;
(e) Unsur melawan hukum yang subyektif ( Moeljatno, 2002:63).
Unsur-unsur tindak pidana sendiri dapat dibedakan menjadi dua
segi yaitu:
1) Unsur Subyektif
(i) Kesengajaan (Dolus) atau Kealpaan (Culpa); (ii) Niat atau maksud dengan segala bentuknya; (iii) Ada atau tidaknya perencanaan;
(iv) Adanya perasaan takut;
(v) Adanya kemampuan bertanggung jawab.
2) Unsur Obyektif
Yaitu hal-hal yang berhubungan dengan keadaan lahiriah, yaitu dalam keadaan mana tindak pelaku itu dilakukan dan berada diluar batin si pelaku unsur-unsumya meriputi Sifat melanggar hukum, Kualitas pelaku, Kausalitas, yaitu yang berhubungan antara penyebab yaitu tindakan dengan akibatnya.
Mengenai jenis-jenis tindak pidana berhubungan antara penyebab yaitu tindakan dengan akibatnya. Macam-macam delik antara lain :
(a) Delik menerus dan tidak menerus
Delik menerus adalah perbuatan yang dilarang menimbulkan keadaan yang berlangsung terus. Delik tidak menerus adalah delik yang selesai setelah timbul akibat yang dilarang.
(b) Delik Comissionis dan Delik Omissionis
Delik comissionis adalah delik yang berupa berbuat sesuatu, sedangkan delik omissionis adalah delik yang tidak berbuat sesuatu.
(c) Delik Dolus dan Delik Culpa
Delik dolus yaitu delik yang dilakukan dengan sengaja sedangkan, delik culpa yaitu delik yang dilakukan dengan alpa. (d) Delik biasa dan delik yang dikualifisir
Delik yang belakangan adalah delik biasa ditambah dengan unsur-unsur lain yang memberatkan ancaman pidananya.
Mengenai jenis-jenis tindak pidana dikelompokkan menjadi kejahatan dan pelanggaran, yang perbandingannya sebagai berikut:
(a) Kejahatan diatur dalam buku II KUHP, sedangkan
pelanggaran diatur dalam buku III KUHP.
(b) Kejahatan dimengerti sebagai delik hukum karena kejahatan dipandang mutlak bertentangan dengan tertib hukum. Pelanggaran menurut Undang-Undang disebut sebagai wetsdelicten atau politienrechts, suatu perbuatan dipandang melanggar hukum atas dasar kekuatan undang-undang, jadi semata-mata pelanggaran hukum formil.
(d) Pengaduan sebagai syarat bagi penuntutan tidak kita ketemukan dalam hal pelanggaran.
(e) Perbarengan tindak pidana kejahatan sepanjang berkenaan
dengan pidana penjara atau penahanan hanya
memperkenankan kumulasi terbatas, sedangkan dalam hal perbarengan tindak pidana berupa pelanggaran pidana dapat diakumulasikan secara tidak terbatas sepanjang merupakan pidana denda.
(f) Jangka waktu kadaluarsanya pelanggaran lebih singkat, namun tidak dengan kadaluarsa dalam kejahatan yang biasanya lebih lama tergantung dari hukuman maksimum yang diterima (Moeljatno. 2002:74-77).
b. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Pembunuhan Bayi
Tindak pidana atau dalam KUHP sering disebut sebagai tindak pidana atau kejahatan terhadap nyawa. Perkataan nyawa sering disinonimkan dengan Roh. Kata nyawa dalam kamus besar bahasa Indonesia, diartikan sebagai pemberi hidup, jiwa, roh. Roh manusia adalah apa yang ada dalam tubuh dan menyebabkan hidup dan seluruh kehidupan manusia. Nyawa dimaksudkan sebagai apa yang menyebabkan kehidupan pada batin manusia, apa yang menyebabkan kehidupan pada manusia menghilangnya nyawa berarti menghilangkan kehidupan pada manusia yang secara umum disebut sebagai pembunuhan (Leden Marpaung,2000 : 4).
Dalam KUHP kejahatan terhadap nyawa orang terdapat dalam buku II
bab XIX yang terdiri dari 13 Pasal yakni dari Pasal 338 sampai dengan Pasal
350 KUHP. Sedangkan Pasal-Pasal yang ada hubungannya dengan
pembunuhan bayi juga diterapkan ialah Pasal 305 KUHP yaitu: Barang siapa
menempatkan anak yang umurnya belum tujuh tahun untuk ditemu, atau
meninggalkan anak itu, dengan maksud untuk melepaskan diri dari padanya
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
Pasal 306 KUHP ayat 1 berbunyi jika salah satu perbuatan tersebut
dalam Pasal 304 dan 305 mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah
dikenakan pidana penjara tujuh tahun enam bulan (2). Jika mengakibatkan
Pasal 307 KUHP berbuyi Jika yang melakukan kejahatan kejahatan
tersebut Pasal 305 bapak atau ibu dari anak itu, maka pidana yang ditentukan
dalam Pasal 305 dan 306 dapat ditambah dengan sepertiga.
Pasal 308 KUHP Jika seorang ibu karena takut akan diketahui orang
tentang kelahiran anaknya, tidak lama setelah melahirkan, menempatkan
anaknya untuk ditemu atau meninggalkannya, dengan maksud untuk
melepaskan diri dari padanya, maka maksimum pidana tersebut dalam Pasal
305 dan 306 dikurangi separuh.
Kalau dicermati rumusan Pasal 305 sampai dengan Pasal 308 sudah jelas bukan mengenai pembunuhan bayi, tetapi mengatur mengenai menempatkan anak dan meninggalkan anak. Dalam Pasal 308 ancaman dikurangi separuh dengan alasan saat dilakukannya kejahatan tersebut dikaitkan dengan keadaan mental emosional dari si ibu dimana selain rasa malu , takut, benci, bingung serta rasa nyeri bercampur aduk menjadi satu sehingga perbuatannya itu dianggap dilakukan tidak dalam keadaan mental yang tenang, sadar serta dengan perhitungan yang matang Inilah yang menjelaskan mengapa ancaman hukuman pada kasus pembunuhan bayi lebih ringan bila dibandingkan dengan kasus-kasus pembunuhan lainnya (R.Soesilo.1983.88 ).
Dalam tindak pidana pembunuhan bayi diatur oleh KUHP pada Pasal
341 dan Pasal 342. Pasal 431 KUHP berbunyi:Seorang ibu yang karena takut
akan ketahuan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama
kemudian, dengan sengaja merampas nyawa anaknya, diancam, karena
membunuh anaknya sendiri, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Sedangkan Pasal 342 KUHP berbunyi: Seorang ibu yang untuk melaksanakan
niat yang ditentukan karena takut akan ketahuan bahwa akan melahirkan anak,
pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian merampas nyawa
anaknya, diancam, karena membunuh anaknya sendiri, dengan pidana penjara
Motif takut ketahuan bahwa ia melahirkan anak (bayi). Motif ini dikaitkan dengan kultur didalam masyarakat Indonesia yang menganggap tabu melahirkan anak tanpa suami. Andaikata seorang wanita membunuh bayinya sendiri yang baru dilahirkan dari perkawinan yang sah, maka pembunuhan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai pembunuhan bayi sendiri (infanticide), sebab ia tidak mempunyai alasan yang kuat untuk takut ketahuan bahwa ia melahirkan anak (Sofwan Dahlan1989 : 125).
Melahirkan bayi dari hasil hubungan dengan laki-laki lain diluar
perkawinan yang sah adalah suatu peristiwa yang memalukan suatu peristiwa
yang selalu dihindari oleh setiap perempuan oleh sebab itu patut dirahasiakan.
Dari sifat tercelanya peristiwa kelahiran seperti itulah motif takut diketahui
melahirkan bayinya itu berakar. Alasan dari timbulnya motif yang demikian
tidaklah merupakan syarat dalam kejahatan Pasal 341 KUHP, “asal motif
takut diketahui bahwa ia melahirkan sudah ada, alasan dari sebab takutnya itu
tidaklah merupakan hal yang penting benar” (Adami Chazawi, 2001 : 88).
Jika pembunuhan anak tersebut dilakukan secara spontan oleh ibu
kandungnya pada saat dilahirkan atau beberapa saat sesudah dilahirkan maka
kejahatan ini dikatakan “membunuh anak biasa” atau kinderdoodslag (Pasal
341 KUHP ) pembunuhan anak yang dilakukan dengan perencanaan lebih
dahulu maka kejahatan ini dikatakan kindermoord dan diancam dengan Pasal
342 KUHP.
Dalam menentukan kapan terjadinya ti