• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERILAKU POLITIK ELIT PARTAI GOLKAR DI MEDAN DALAM PILPRES 2014.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERILAKU POLITIK ELIT PARTAI GOLKAR DI MEDAN DALAM PILPRES 2014."

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

PERILAKU POLITIK ELIT

PARTAI GOLKAR DI MEDAN

DALAM PILPRES 2014

TESIS

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Magister Sains pada

Program Studi Antropologi Sosial

Oleh: YOPI RACHMAD

NIM: 8126152017

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

(2)
(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

(6)

ABSTRACT

Yopi Rachmad, Political Behavior Elite Golkar Party in the 2014 presidential election in Medan Social Anthropology Studies Program Graduate University of Medan.

(7)

DAFTAR ISI

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

1. Tujuan Penelitian ... 8

2. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II Tinjauan Pustaka ... 9

2.1. Sejarah Partai Golkar ... 9

2.2. Paradigma Baru Partai Golkar ... 17

2.3. Arah Kebijakan Umum Partai Golkar ... 21

1. Visi Partai Golkar ... 21

2. Misi Partai Golkar ... 21

3. Tujuan Partai Golkar ... 21

4. Pokok-pokok Program Partai Golkar ... 22

2.4. Partai Golkar di Kota Medan ... 23

2.5. Perilaku Politik ... 24

2.6. Partai Politik ... 26

2.7. Teori Agensi ... 28

2.8. Teori Konflik ... 30

BAB III Metodologi Penelitian ... 36

3.1. Metode Penelitian ... 36

3.2. Subjek Penelitian ... 38

3.3. Teknik Pengumpul Data ... 38

3.4. Analisis Data ... 44

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 46

4.1. Paparan Data ... 46

(8)

4.1.2. Perilaku Politik Elit Partai Golkar Kota Medan ... 55

4.1.3. Akibat Keputusan Partai Golkar dalam Pilpres 2014 ... 67

4.1.4. Potensi Konflik Partai Golkar Kota Medan dalam Pilpres ... 70

4.2. Analisis Data dalam Perspektif Teori Konflik dan Teori Agensi ... 71

4.2.1 Perilaku Politik Elit Partai Golkar Kota Medan dalam Pilpres 2014 ... 71

4.2.2. Akibat Keputusan Partai Golkar dalam Pilpres 2014 ... 85

4.2.3. Potensi Konflik Partai Golkar Kota Medan dalam Pilpres 2014 ... 88

BAB III Simpulan dan Saran ... 101

3.1. Simpulan ... 101

3.2. Saran ... 103

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Reformasi 1998 menghadirkan perubahan proses demokrasi di

Indonesia. Pemilihan Presiden/ Wakil Presiden hingga Kepala Daerah

dilaksanakan secara langsung, sehingga menghasilkan Presiden/ Wakil

Presiden dan kepala daerah “Pilihan Rakyat”. Pilihan ini diambil sebagai

bagian dari trauma sejarah di masa orde baru yang dianggap mengekang

demokrasi. Demokratisasi atas dasar desentralisasi menjadi pilihan untuk

menunjukkan eksistensi sebagai individu yang merdeka.

Hal ini dapat kita telusuri dari berbagai peraturan yang dibuat

untuk mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah dan berbagai

peraturan pelaksananya. Semua peraturan yang mengatur tentang

pemerintahan daerah pada prinsipnya selalu menekankan desentralisasi

sebagai pilihan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Perbedaannya

hanya terletak pada sistem penyerahan dan besarnya kewenangan yang

diberikan kepada Pemerintah Daerah serta implikasinya.

Daerah diberikan kesempatan dan keleluasaan untuk

menyelenggarakan Otonomi Daerah seluas-luasnya sebagaimana

dimaksud pada Pasal 18 ayat (5) UUD 1945. Implementasi dari ketentuan

ini, penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memberikan

kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada Daerah

(10)

pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan

keuangan pusat dan daerah.

Diundangkannya Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan yang

telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, maka terjadi paradigma baru dalam

penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Hal ini dikarenakan kedua

Undang-Undang tersebut telah memberi kewenangan yang luas kepada

Daerah dan didukung penyediaan dana perimbangan keuangan yang

mengandung konsekuensi perubahan sistem penyelenggaraan

pemerintahan yang mendasar baik di tingkat Pusat maupun di tingkat

Propinsi dan Kabupaten / Kota (Sihite. M. dan Gunawan Suswantoro,

1999).

Sebagai konsekuensi, daerah harus mendapatkan otonomi yang

kuat dalam arti kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga

daerah setempat berdasarkan aspirasi masyarakat dalam wadah negara

kesatuan Republik Indonesia, sehingga pembangunan daerah dapat selalu

dipahami sebagai pembangunan dalam semangat desentralisasi. Otonomi

daerah dalam pandangan seperti ini sangat menggarisbawahi keberadaan

dan kepentingan masyarakat daerah untuk menjadi sumber inspirasi utama

dalam setiap langkah kegiatan pemerintah daerah baik dari aspek

(11)

Menurut Josep Riwu Kaho (2001:63), beberapa faktor yang

menjadi penentu keberhasilan otonomi daerah yaitu :

a. Manusia pelaksana harus baik.

b. Keuangan harus cukup dan baik.

c. Peralatannya harus cukup dan baik.

d. Organisasi dan manajemennya harus baik.

Dari berbagai faktor tersebut di atas, tentunya faktor manusia yang

menjadi faktor utama dan esensial, karena manusia di samping menjadi

objek juga sebagai subjek dalam segala aktivitas pemerintahan. Faktor

manusia bisa menentukan berapa besar keuangan yang diperlukan dalam

penyelenggaraan suatu pemerintahan, selanjutnya faktor manusia juga

menentukan peralatan apa yang yang diperlukan guna mendukung semua

kegiatan pemerintahan dan seterusnya.

Oleh karena itu, faktor manusia menjadi penggerak sekaligus

pelaku dalam proses mekanisme dalam sistem pemerintahan. Kaitannya

dengan Golkar adalah bahwa otonomi menjadi sarana untuk menampilkan

kader-kader Golkar yang memiliki kapasitas dalam menggerakkan

pembangunan di era otonomi daerah, melalui praktek pemilu yang

dilakoni partai Golkar.

Sesuai dengan amandemen UUD 1945, Pemilihan Presiden/

Wakil Presiden dilaksanakan secara langsung dan demokratis. Partai

politik atau gabungan partai politik dapat mengajukan calon pasangan

(12)

atau diajukan oleh gabungan partai poltik dengan 25% perolehan suara sah

secara kumulatif .

Kehadiran partai politik dengan fungsi rekrutmennya menjadikan

partai-partai politik secara leluasa menjaring berbagai kalangan

masyarakat untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden. Sebut saja

Partai Demokrat yang menciptakan instrument konvensi, walaupun pada

prakteknya, partai Golkar sudah lebih dahulu melakukannya. Aktivis

partai politik sering menyebutnya sebagai perahu atau kendaraan politik

bagi calon Presiden dan Wakil Presiden.

Sebenarnya, mekanisme penjaringan calon dibuat sedemikian rupa

secara transparan dan demokratis serta memperhatikan respon yang

berkembang di masyarakat lewat survey-survey yang dibuat oleh berbagai

lembaga, termasuk partai politik.

Tetapi, partai politik sering lupa untuk mengajukan calon dari

kadernya sendiri dengan alasan keterbatasan sumber daya manusianya,

dan minimnya dana untuk kampanye dan pemenangan Presiden dan Wakil

Presiden, walaupun syarat paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR

atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota

DPR juga menjadi ganjalan utama, sebagaimana yang tertuang dalam

Pasal 9 UU Nomor 42 Tahun 2008. Bahkan calon dari internal partai

mengalami kekalahan pada mekanisme dan rekrutmen yang dilakukan

Pimpinan partai politik, misalkan yang teranyar adalah terpilihnya calon

(13)

Demikian juga halnya dengan pemilihan kepala daerah. Akibatnya,

banyak Kepala Daerah setelah menduduki jabatan Kepala daerah pindah

partai sesuai dengan kepentingan politiknya. Namun, fenomena ini tidak

terjadi pada Partai Golkar di Sumatera Utara. Bahkan, kader partai yang

ikut pemilihan kepala daerah yang bukan memakai perahu Golkar,

diawal-awal pencalonannya langsung dipecat dari partai golkar, tetapi ketika

terpilih sebagai kepala daerah malah diangkat sebagai Ketua Umum atau

Ketua Badan Pertimbangan Partai Golkar Sumatera Utara. Apakah ini

merupakan perilaku pragmatisme politik?

Dalam era otonomi daerah, dominasi partai politik dan gabungan

partai politik dalam mengajukan pasangan calon kepala daerah semakin

kentara. Dominasi partai tersebut bukan saja dilakukan oleh Pimpinan

partai politik di tingkat lokal seperti DPW, DPC atau DPD, tetapi ada juga

campur tangan dalam kebijakan partai yang dilakukan oleh Pimpinan

partai politik di tingkat pusat DPP. Karena pada umumnya petunjuk

pelaksanaan dan aturan main tentang Pilkada, setelah pimpinan partai di

tingkat lokal telah menjaring pasangan calon Kepala daerah kemudian

dikonsultasikan untuk mendapatkan restu pimpinan pusat partai politik.

Dalam arus besar demokrasi yang desentralisasi tersebut, di mana

peran dan fungsi sebuah partai politik begitu besar, dinamika politik

sebuah partai layak untuk diamati lebih dalam pada penyelenggaraan

otonomi daerah. Fungsi yang dimiliki sebuah partai idealnya menjadi

penentu dan berpengaruh terhadap pilihan kebijakan yang akan

(14)

sesuai dengan platform yang mereka bangun (Ibrahim Z. Fahmy Badoh

dan Abdullah Dahlan,2010).

Hal ini menjadikan studi tentang perilaku politik sebuah partai dan

aktivitasnya penting untuk ditelusuri lebih jauh. Dalam kaitannya dengan

hal tersebut di atas, saya tertarik untuk melihat lebih dalam Partai Golkar

yang secara pengalaman politik, telah lama mengitari alam dunia

perpolitikan Indonesia, sehingga secara organisasi dan orang-orang yang

bergabung di dalamnya dapat diduga sangat berbeda dengan partai politik

yang masih berusia seumur jagung, mengingat di Sumatera Utara, rekam

jejak Partai Golkar sangat kentara, sehingga bisa lebih memudahkan saya

dalam melakukan penelitian lebih dalam lagi.

Ditambah lagi ‘Intrik-intrik’ politik juga menjadi fragmen yang

bersambung layaknya sebuah episode sinetron di partai yang awal

berdirinya sejak 1964, enggan menyebut dirinya sebagai sebuah partai,

ketika masih merupakan Sekber di masa Soekarno dan Golongan Karya

pada masa Orde Baru. Partai yang sudah berkuasa selama 32 tahun di

masa orde baru, tetap melakoni politik dengan paradigma Golkar Baru

sampai saat ini, di mana posisi kadernya menjadi orang nomor dua saat

ini, dan sebelumnya menjadi gubernur di Sumatera Utara, tentunya

menarik untuk diamati bagaimana dinamika politik di Partai Golkar pada

(15)

Diawali dengan bermunculannya partai-partai baru yang dibentuk

oleh kader-kader terbaik Golkar di Era otonomi daerah, ditambah lagi

dengan dinamika dalam pencalonan Abu Rizal Bakrie alias Ical sebagai

Capres Golkar. Pertanyaannya, apa yang sesungguhnya terjadi di partai

Golkar saat ini?Apakah dinamika di lingkaran pusat kekuasaan partai

Golkar yang terkait dengan pilpres juga berdampak luas sampai kepada

tingkat politik lokal, khususnya di Kota Medan?Walaupun secara kasat

mata di berbagai media, belum ditemukan terbelahnya Partai Golkar Kota

Medan saat ini, terkait dengan pencalonan ARB sebagai calon Presiden.

Mungkin juga karena ada sebuah kalimat yang senantiasa dipegang oleh

kader-kader Golkar sejak lama bahwa “Lebih baik pecah di perut daripada

pecah di mulut”?

Hal inilah yang menjadi pertanyaan mendasar dan juga menjadi

alasan bagi peneliti untuk mencoba menelusuri Perilaku Politik Elit Partai

Golkar di Medan dalam Pilpres 2014.

1.2. Rumusan Masalah

Ada beberapa pertanyaan yang akan diungkap atau digali dalam

penelitian ini, antara lain:

1. Bagaimana Perilaku Politik Elit Partai Golkar di Medan dalam

Pilpres 2014?

2. Bagaimana Akibat Keputusan Partai Golkar dalam Pilpres 2014 di

Tingkat Lokal?

3. Bagaimana Potensi Konflik Partai Golkar di Medan dalam Pilpres

(16)

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui Perilaku Politik Elit Partai Golkar di Medan

dalam Pilpres 2014

2. Untuk mengetahui Akibat Keputusan Partai Golkar dalam Pilpres

2014 di Tingkat Lokal

3. Untuk mengetahui Potensi Konflik Partai Golkar di Medan dalam

Pilpres 2014

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk menambah referensi yang berkaitan dengan pengembangan

ilmu antropologi politik khususnya tentang managemen partai

politik dan politik lokal.

2. Memberikan masukan agar lebih profesional bagi pengurus partai

politik dalam memutuskan masalah-masalah kepartaian umumnya

dan khususnya dalam bingkai politik lokal.

3. Memberikan gambaran perilaku politik elit partai lokal dalam

(17)

BAB V

Simpulan dan Saran

5.1. Simpulan

Dari uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, ada beberapa

simpulan yang dapat ditarik di dalam penelitian ini. Adapun

simpulan-simpulan tersebut adalah:

1. Perilaku politik elit Partai Golkar Kota Medan memiliki dasar yang

berakar dari pengalaman masa kecil, mendapat pengaruh dari

pendidikan informal dalam keluarga dan dari pengalaman organisasi di

mana mereka berkecimpung di dalamnya. Elit Partai Golkar Kota

Medan melakukan berbagai hal untuk melakukan proses pemenangan

calon yang diusung Partai Golkar seperti menggunakan organisasi

tempatnya bernaung di luar Partai dengan mengoptimalkan setiap

jaringan dan momen yang ada di dalam setiap organisasi mereka,

mulai dari melakukan penyisipan kampanye dalam setiap acara

Pelantikan, Hari Ulang tahun, Baksos, Acara-acara yayasan yang

mereka naungi, fogging gratis, pemeriksaan kesehatan gratis,

mengadakan acara berbuka bersama di bulan Ramadhan hingga

memiliki anak asuh yang diharapkan dapat menyumbang suara,

sehingga fungsi partai politik seperti artikulasi kepentingan, agregasi

kepentingan, sosialisasi politik dan rekruitmen politik serta

komunikasi politik dilakukan. Hal ini menggambarkan bahwa Perilaku

(18)

yang pragmatis, di mana kepentingan melatari setiap tindakan yang

diambil.

2. Keputusan Partai Golkar yang mengusung Prabowo-Hatta dalam

pemilihan Presiden 2014 memiliki akibat perbedaan pendapat di

kalangan elit pusat Partai Golkar. Konflik (Perbedaan pendapat) yang

terjadi merupakan akibat dari kepentingan-kepentingan elit yang

saling bertentangan di tingkat pusat, namun tidak banyak berpengaruh

di tingkat lokal. Hal ini dimungkinkan juga karena faktor dinamisnya

proses yang berlangsung di tingkat lokal.

3. Pemilihan Presiden 2014 menyisakan potensi konflik yang jika tidak

dapat diantisipasi akan berujung perpecahan. Faksi-faksi yang muncul

dan berkembang di tingkat pusat harus dapat dikelola dengan

komunikasi yang lebih terbuka sehingga tidak sampai berpengaruh

terbelahnya partai ke arah yang destruktif. Potensi konflik yang terjadi

di tingkat pusat direduksi oleh elit Partai Golkar di tingkat lokal

dengan melakukan berbagai aktivitas sosialisasi dan konsolidasi

menyeluruh. Pola kepemimpinan yang demokratis menjadi praktek

politik yang dimainkan oleh elit Partai Golkar di Medan untuk

mereduksi potensi konflik yang berkembang. Sosok Ajib Shah yang

merupakan Ketua Golkar Sumatera Utara menjadi alasan hal itu,

karena pola kepemimpinan Ajib Shah adalah pola yang lebih terbuka.

Hal ini dapat kita lihat dalam setiap proses pengambilan keputusan dan

(19)

yang lebih informal. Satu hal yang menjadi catatan, bahwa konflik

yang terjadi tidak muncul ke permukaan sehingga terlihat mengerucut

hanya di kalangan elit di tingkat pusat saja.

5.2. Saran

1. Elit Partai Politik harus memiliki kesadaran kolektif terhadap

kepentingan yang lebih luas dari hanya sekedar kepentingan pribadi

yaitu kepentingan partai yang notabene adalah merupakan

pengejawantahan kepentingan bangsa dan Negara.

2. Partai politik harus menjadi sarana pendidikan politik yang lebih

bermartabat daripada hanya sekedar sabagai sarana merebut

kekuasaan, karena partai politik merupakan instrumen vital dalam

demokrasi.

3. Diperlukan penelitian lanjutan terhadap akibat yang ditimbulkan

Pemilihan Presiden bagi Partai Golkar karena saat ditulisnya penelitian

ini, Partai Golkar di tingkat pusat masih dalam kondisi terbelah.

4. Pengalaman Partai Golkar yang telah lama mengitari alam perpolitikan

Indonesia memberikan tantangan tersendiri bagi siapa saja yang ingin

melakukan penelitian dalam pendekatan antropologi sosial karena

dinamisnya partai ini.

5. Pimpinan partai di tingkat pusat maupun di tingkat lokal harus lebih

mengedepankan cara-cara yang lebih humanis, keterbukaan

(20)

bukan menjadi dasar perpecahan tetapi kekuatan untuk saling

menguatkan.

6. Partai Golkar harus mengkaji ulang batas-batas demokratisasi yang

berkembang di dalam tubuh Partai Golkar sehingga konflik dapat

direduksi sedemikian rupa. Hal ini patut dikaji karena konflik telah

berlangsung sejak reformasi di dalam Partai Golkar hingga saat ini

merugikan Partai Golkar dalam setiap pemilu di mana Partai Golkar

semakin mengecil, baik secara kualitas maupun kuantitas.Rekruitmen

melalui jalur ABG harus tetap dipertahankan karena merupakan sarana

efektif untuk mempertahankan hegemoni Partai Golkar di dalam setiap

(21)

DAFTAR PUSTAKA

Alkhatab, Umar. 2009. Dari Beringin ke Beringin: Sejarah, Kemelut,

Resistensi dan Daya Tahan Partai Golkar. Yogyakarta: Ombak.

Anna M. Grzmala-Busse. 2002. Redeeming The Communist Past: The

Regeration of Communist Parties in East Central Europe.

Cambridge University Press:Cambridge.

Bayo, Andre Ala. 1985. Hakekat Politik Siapa Melakukan Apa untuk

memperoleh Apa. Akademika:Yoyakarta.

Beilharz, Peter. 2005. Karl Marx. Dalam Peter Beiharz (ed) Teori-

teori Sosial: Observasi Kritis terhadap Para Filsuf

Terkemuka. Terjemahan:Sigit Jatmiko. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Bohannan, Paul and Mark Glazer. 1988. High Point in Antrhopology. Alffred A. Knopf: New York.

Borman, E.G. 1969. Discussion and Group Methods: Theory and

Practice. New York: Harper and Row

Budiarjo, Miriam, Prof. 2008. Dasar- Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi). (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama)

Bryan S Turner. 2000. Teori-teori Sosiologi Modernitas- Postmodernitas. Yogyakarta. Pustaka Pelajar

Causey, Andrew. 2006. Danau Toba Pertemuan Wisatawan dengan

Batak Toba di Pasar Suvenir. Bina Media Perintis: Medan

Coser, Lewis A. 1957. Social Conflict and The Theory of Social

Change. The British Journal of Sociology, Vol. 8, No. 3.

Dahrendorf , Ralf. 1959. Class and Class Conflict in Industrial

Society. California: Stanford University press

Foster G.M. 1969. Applied Anthropology. Boston:Little Brown

Francois-Robert Zakot. 2008. Orang Bajo:Suku Pengembara Laut

(22)

Gaffar, Afan. 1992. Javanese Voters: A Case Study of Election Under a

Hegemonic Party System. Yogyakarta: UGM Press.

Geertz, Clifford. 1960. The Religion of Java. Glencoe : The Free Press.

Giddens, Anhony. 2010. Teori Strukturasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Haryanto, Sindung. 2012. Spektrum Teori Sosial Dari Klasik hingga

Postmodern.Ar-Ruzz Media. Yogyakarta.

Jenkins, Richard (1992) (Terjemahan Nurhadi). 2004. Membaca Pikiran

Pierre Bourdie, Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Johnson, Doyle Paul. 2008. Contemporary Sociological Theory: An

Integrated Multi-Level Approach. Texas Tech University:Springer

Johnson, Doyle Paul. 1986.Teori-teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta : P.T. Gramedia.

Kurtz, Donald V.2001. Political Anthropology (Paradigm and Power). Westview Press: Oxford.

Moleong. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Remaja Rosda Karya: Bandung.

Mcgee R. Jon and Richard L. Warms. 1955. Anthropological Theory: An Introductory. San Marcos: History. Texas State University

Murtopo, Ali. 1981. Strategi Pembangunan Nasional. Jakarta: CSIS.

Rakhmat, Jalaluddin. 2013. Psikologi Komunikasi. Bandung:PT Remaja Rosdakarya.

Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. (Terjemahan Nurhadi). 2010.

Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai

Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmoder, Yogyakarta:

Kreasi Wacana.

(23)

Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

Spradley, James P. (terj). 2007. Metode Etnografi. Tiara Wacana. Yogyakarta.

Tandjung, Akbar. 1998. Menuju Kelahiran Partai Golongan Karya:

Pokok-Pokok Paradigma Baru. Jakarta: DPP Partai Golkar.

Tandjung, Akbar. 2007. The Golkar Way: Survival Partai Golkar di

Tengah Turbulensi Politik Era Transisi. Jakarta: Gramedia.

Tandjung, Akbar. 2007. Partai Golkar dalam Pergolakan Politik Era Reformasi Tantangan dan Respons (Ringkasan Disertasi). Universitas Gadjah Mada:Yogyakarta.

Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999

Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008 tentang pemerintahan daerah. Undang-Undang RI No. 31 tahun 2002

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008

Varma, SP.2001. Teori Politik Modern. Raja Grafindo:Jakarta

Surat Kabar, Majalah dan Jurnal:

”Deliar Noer: Dosa Orde Baru Tidak Termaafkan”. 2001. April 12.

Kompas. 4.

”DPD Partai Golkar di Jakarta Jadi Sasaran Demo Kelompok

Mahasiswa”. 2001. Februari 14. Kompas. 4.

Mauluddin Anwar. 1998. Juni. ”Pohon Beringin Bergoyang: Munas

Golkar Dipercepat Sejumlah Nama Beredar sebagai Calon Ketua Umum”. Gatra. 4-7.

Analisis Sejarah, Volume 5, No. 1, 2014 © Labor Sejarah, Universitas

(24)

Internet:

Referensi

Dokumen terkait

Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh deskripsi penerapan model pem- belajaran kooperatif tipe STAD berbantuan permainan maju mundur untuk meningkatkan

LKM yang digunakan adalah LKM Terbimbing dimana LKM Terbimbing ini dapat membantu mahasiswa dalam memahami dan menyelesaikan persoalan yang ada pada perkuliahan Struktur

Perusahaan pasangan usaha yang termasuk dalam kategori bermasalah atau wanprestasi, maka dilakukan tindakan penyehatan atau penyelamatan dan penyelesaian

Dan dari segi proses kegiatan pembelajaran peneliti menyimpulkan bahwa dengan tipe make a match ini dapat memberikan manfaat bagi santri, diantaranya adalah: (1) mampu

hasil penelitian yang berasal dari ternpat lain dengan rnasalah yang sama , tidak1. dapat diadopsi begitu saja oleh para praktisi di lapangan karena

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelas kesesuain lahan aktual dan potensial tanaman dan memperoleh rekomendasi teknologi budidaya tanaman di Kecamatan simpang

Satir adalah suatu gaya/aliran dalam penulisan (yang juga ditemukan di bidang lain seperti musik, film, politik, dan lain-lain) yang menertawakan, mengolok-olok,

Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: (1) profil acara Mario Teguh Golden Ways; (2) sinopsis jalannya acara Mario Teguh Golden Ways; (3) cakupan