PERILAKU POLITIK ELIT
PARTAI GOLKAR DI MEDAN
DALAM PILPRES 2014
TESIS
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Magister Sains pada
Program Studi Antropologi Sosial
Oleh: YOPI RACHMAD
NIM: 8126152017
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
ABSTRAK
ABSTRACT
Yopi Rachmad, Political Behavior Elite Golkar Party in the 2014 presidential election in Medan Social Anthropology Studies Program Graduate University of Medan.
DAFTAR ISI
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8
1. Tujuan Penelitian ... 8
2. Manfaat Penelitian ... 8
BAB II Tinjauan Pustaka ... 9
2.1. Sejarah Partai Golkar ... 9
2.2. Paradigma Baru Partai Golkar ... 17
2.3. Arah Kebijakan Umum Partai Golkar ... 21
1. Visi Partai Golkar ... 21
2. Misi Partai Golkar ... 21
3. Tujuan Partai Golkar ... 21
4. Pokok-pokok Program Partai Golkar ... 22
2.4. Partai Golkar di Kota Medan ... 23
2.5. Perilaku Politik ... 24
2.6. Partai Politik ... 26
2.7. Teori Agensi ... 28
2.8. Teori Konflik ... 30
BAB III Metodologi Penelitian ... 36
3.1. Metode Penelitian ... 36
3.2. Subjek Penelitian ... 38
3.3. Teknik Pengumpul Data ... 38
3.4. Analisis Data ... 44
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 46
4.1. Paparan Data ... 46
4.1.2. Perilaku Politik Elit Partai Golkar Kota Medan ... 55
4.1.3. Akibat Keputusan Partai Golkar dalam Pilpres 2014 ... 67
4.1.4. Potensi Konflik Partai Golkar Kota Medan dalam Pilpres ... 70
4.2. Analisis Data dalam Perspektif Teori Konflik dan Teori Agensi ... 71
4.2.1 Perilaku Politik Elit Partai Golkar Kota Medan dalam Pilpres 2014 ... 71
4.2.2. Akibat Keputusan Partai Golkar dalam Pilpres 2014 ... 85
4.2.3. Potensi Konflik Partai Golkar Kota Medan dalam Pilpres 2014 ... 88
BAB III Simpulan dan Saran ... 101
3.1. Simpulan ... 101
3.2. Saran ... 103
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Reformasi 1998 menghadirkan perubahan proses demokrasi di
Indonesia. Pemilihan Presiden/ Wakil Presiden hingga Kepala Daerah
dilaksanakan secara langsung, sehingga menghasilkan Presiden/ Wakil
Presiden dan kepala daerah “Pilihan Rakyat”. Pilihan ini diambil sebagai
bagian dari trauma sejarah di masa orde baru yang dianggap mengekang
demokrasi. Demokratisasi atas dasar desentralisasi menjadi pilihan untuk
menunjukkan eksistensi sebagai individu yang merdeka.
Hal ini dapat kita telusuri dari berbagai peraturan yang dibuat
untuk mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah dan berbagai
peraturan pelaksananya. Semua peraturan yang mengatur tentang
pemerintahan daerah pada prinsipnya selalu menekankan desentralisasi
sebagai pilihan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Perbedaannya
hanya terletak pada sistem penyerahan dan besarnya kewenangan yang
diberikan kepada Pemerintah Daerah serta implikasinya.
Daerah diberikan kesempatan dan keleluasaan untuk
menyelenggarakan Otonomi Daerah seluas-luasnya sebagaimana
dimaksud pada Pasal 18 ayat (5) UUD 1945. Implementasi dari ketentuan
ini, penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memberikan
kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada Daerah
pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah.
Diundangkannya Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan yang
telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, maka terjadi paradigma baru dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Hal ini dikarenakan kedua
Undang-Undang tersebut telah memberi kewenangan yang luas kepada
Daerah dan didukung penyediaan dana perimbangan keuangan yang
mengandung konsekuensi perubahan sistem penyelenggaraan
pemerintahan yang mendasar baik di tingkat Pusat maupun di tingkat
Propinsi dan Kabupaten / Kota (Sihite. M. dan Gunawan Suswantoro,
1999).
Sebagai konsekuensi, daerah harus mendapatkan otonomi yang
kuat dalam arti kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga
daerah setempat berdasarkan aspirasi masyarakat dalam wadah negara
kesatuan Republik Indonesia, sehingga pembangunan daerah dapat selalu
dipahami sebagai pembangunan dalam semangat desentralisasi. Otonomi
daerah dalam pandangan seperti ini sangat menggarisbawahi keberadaan
dan kepentingan masyarakat daerah untuk menjadi sumber inspirasi utama
dalam setiap langkah kegiatan pemerintah daerah baik dari aspek
Menurut Josep Riwu Kaho (2001:63), beberapa faktor yang
menjadi penentu keberhasilan otonomi daerah yaitu :
a. Manusia pelaksana harus baik.
b. Keuangan harus cukup dan baik.
c. Peralatannya harus cukup dan baik.
d. Organisasi dan manajemennya harus baik.
Dari berbagai faktor tersebut di atas, tentunya faktor manusia yang
menjadi faktor utama dan esensial, karena manusia di samping menjadi
objek juga sebagai subjek dalam segala aktivitas pemerintahan. Faktor
manusia bisa menentukan berapa besar keuangan yang diperlukan dalam
penyelenggaraan suatu pemerintahan, selanjutnya faktor manusia juga
menentukan peralatan apa yang yang diperlukan guna mendukung semua
kegiatan pemerintahan dan seterusnya.
Oleh karena itu, faktor manusia menjadi penggerak sekaligus
pelaku dalam proses mekanisme dalam sistem pemerintahan. Kaitannya
dengan Golkar adalah bahwa otonomi menjadi sarana untuk menampilkan
kader-kader Golkar yang memiliki kapasitas dalam menggerakkan
pembangunan di era otonomi daerah, melalui praktek pemilu yang
dilakoni partai Golkar.
Sesuai dengan amandemen UUD 1945, Pemilihan Presiden/
Wakil Presiden dilaksanakan secara langsung dan demokratis. Partai
politik atau gabungan partai politik dapat mengajukan calon pasangan
atau diajukan oleh gabungan partai poltik dengan 25% perolehan suara sah
secara kumulatif .
Kehadiran partai politik dengan fungsi rekrutmennya menjadikan
partai-partai politik secara leluasa menjaring berbagai kalangan
masyarakat untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden. Sebut saja
Partai Demokrat yang menciptakan instrument konvensi, walaupun pada
prakteknya, partai Golkar sudah lebih dahulu melakukannya. Aktivis
partai politik sering menyebutnya sebagai perahu atau kendaraan politik
bagi calon Presiden dan Wakil Presiden.
Sebenarnya, mekanisme penjaringan calon dibuat sedemikian rupa
secara transparan dan demokratis serta memperhatikan respon yang
berkembang di masyarakat lewat survey-survey yang dibuat oleh berbagai
lembaga, termasuk partai politik.
Tetapi, partai politik sering lupa untuk mengajukan calon dari
kadernya sendiri dengan alasan keterbatasan sumber daya manusianya,
dan minimnya dana untuk kampanye dan pemenangan Presiden dan Wakil
Presiden, walaupun syarat paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR
atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota
DPR juga menjadi ganjalan utama, sebagaimana yang tertuang dalam
Pasal 9 UU Nomor 42 Tahun 2008. Bahkan calon dari internal partai
mengalami kekalahan pada mekanisme dan rekrutmen yang dilakukan
Pimpinan partai politik, misalkan yang teranyar adalah terpilihnya calon
Demikian juga halnya dengan pemilihan kepala daerah. Akibatnya,
banyak Kepala Daerah setelah menduduki jabatan Kepala daerah pindah
partai sesuai dengan kepentingan politiknya. Namun, fenomena ini tidak
terjadi pada Partai Golkar di Sumatera Utara. Bahkan, kader partai yang
ikut pemilihan kepala daerah yang bukan memakai perahu Golkar,
diawal-awal pencalonannya langsung dipecat dari partai golkar, tetapi ketika
terpilih sebagai kepala daerah malah diangkat sebagai Ketua Umum atau
Ketua Badan Pertimbangan Partai Golkar Sumatera Utara. Apakah ini
merupakan perilaku pragmatisme politik?
Dalam era otonomi daerah, dominasi partai politik dan gabungan
partai politik dalam mengajukan pasangan calon kepala daerah semakin
kentara. Dominasi partai tersebut bukan saja dilakukan oleh Pimpinan
partai politik di tingkat lokal seperti DPW, DPC atau DPD, tetapi ada juga
campur tangan dalam kebijakan partai yang dilakukan oleh Pimpinan
partai politik di tingkat pusat DPP. Karena pada umumnya petunjuk
pelaksanaan dan aturan main tentang Pilkada, setelah pimpinan partai di
tingkat lokal telah menjaring pasangan calon Kepala daerah kemudian
dikonsultasikan untuk mendapatkan restu pimpinan pusat partai politik.
Dalam arus besar demokrasi yang desentralisasi tersebut, di mana
peran dan fungsi sebuah partai politik begitu besar, dinamika politik
sebuah partai layak untuk diamati lebih dalam pada penyelenggaraan
otonomi daerah. Fungsi yang dimiliki sebuah partai idealnya menjadi
penentu dan berpengaruh terhadap pilihan kebijakan yang akan
sesuai dengan platform yang mereka bangun (Ibrahim Z. Fahmy Badoh
dan Abdullah Dahlan,2010).
Hal ini menjadikan studi tentang perilaku politik sebuah partai dan
aktivitasnya penting untuk ditelusuri lebih jauh. Dalam kaitannya dengan
hal tersebut di atas, saya tertarik untuk melihat lebih dalam Partai Golkar
yang secara pengalaman politik, telah lama mengitari alam dunia
perpolitikan Indonesia, sehingga secara organisasi dan orang-orang yang
bergabung di dalamnya dapat diduga sangat berbeda dengan partai politik
yang masih berusia seumur jagung, mengingat di Sumatera Utara, rekam
jejak Partai Golkar sangat kentara, sehingga bisa lebih memudahkan saya
dalam melakukan penelitian lebih dalam lagi.
Ditambah lagi ‘Intrik-intrik’ politik juga menjadi fragmen yang
bersambung layaknya sebuah episode sinetron di partai yang awal
berdirinya sejak 1964, enggan menyebut dirinya sebagai sebuah partai,
ketika masih merupakan Sekber di masa Soekarno dan Golongan Karya
pada masa Orde Baru. Partai yang sudah berkuasa selama 32 tahun di
masa orde baru, tetap melakoni politik dengan paradigma Golkar Baru
sampai saat ini, di mana posisi kadernya menjadi orang nomor dua saat
ini, dan sebelumnya menjadi gubernur di Sumatera Utara, tentunya
menarik untuk diamati bagaimana dinamika politik di Partai Golkar pada
Diawali dengan bermunculannya partai-partai baru yang dibentuk
oleh kader-kader terbaik Golkar di Era otonomi daerah, ditambah lagi
dengan dinamika dalam pencalonan Abu Rizal Bakrie alias Ical sebagai
Capres Golkar. Pertanyaannya, apa yang sesungguhnya terjadi di partai
Golkar saat ini?Apakah dinamika di lingkaran pusat kekuasaan partai
Golkar yang terkait dengan pilpres juga berdampak luas sampai kepada
tingkat politik lokal, khususnya di Kota Medan?Walaupun secara kasat
mata di berbagai media, belum ditemukan terbelahnya Partai Golkar Kota
Medan saat ini, terkait dengan pencalonan ARB sebagai calon Presiden.
Mungkin juga karena ada sebuah kalimat yang senantiasa dipegang oleh
kader-kader Golkar sejak lama bahwa “Lebih baik pecah di perut daripada
pecah di mulut”?
Hal inilah yang menjadi pertanyaan mendasar dan juga menjadi
alasan bagi peneliti untuk mencoba menelusuri Perilaku Politik Elit Partai
Golkar di Medan dalam Pilpres 2014.
1.2. Rumusan Masalah
Ada beberapa pertanyaan yang akan diungkap atau digali dalam
penelitian ini, antara lain:
1. Bagaimana Perilaku Politik Elit Partai Golkar di Medan dalam
Pilpres 2014?
2. Bagaimana Akibat Keputusan Partai Golkar dalam Pilpres 2014 di
Tingkat Lokal?
3. Bagaimana Potensi Konflik Partai Golkar di Medan dalam Pilpres
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui Perilaku Politik Elit Partai Golkar di Medan
dalam Pilpres 2014
2. Untuk mengetahui Akibat Keputusan Partai Golkar dalam Pilpres
2014 di Tingkat Lokal
3. Untuk mengetahui Potensi Konflik Partai Golkar di Medan dalam
Pilpres 2014
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk menambah referensi yang berkaitan dengan pengembangan
ilmu antropologi politik khususnya tentang managemen partai
politik dan politik lokal.
2. Memberikan masukan agar lebih profesional bagi pengurus partai
politik dalam memutuskan masalah-masalah kepartaian umumnya
dan khususnya dalam bingkai politik lokal.
3. Memberikan gambaran perilaku politik elit partai lokal dalam
BAB V
Simpulan dan Saran
5.1. Simpulan
Dari uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, ada beberapa
simpulan yang dapat ditarik di dalam penelitian ini. Adapun
simpulan-simpulan tersebut adalah:
1. Perilaku politik elit Partai Golkar Kota Medan memiliki dasar yang
berakar dari pengalaman masa kecil, mendapat pengaruh dari
pendidikan informal dalam keluarga dan dari pengalaman organisasi di
mana mereka berkecimpung di dalamnya. Elit Partai Golkar Kota
Medan melakukan berbagai hal untuk melakukan proses pemenangan
calon yang diusung Partai Golkar seperti menggunakan organisasi
tempatnya bernaung di luar Partai dengan mengoptimalkan setiap
jaringan dan momen yang ada di dalam setiap organisasi mereka,
mulai dari melakukan penyisipan kampanye dalam setiap acara
Pelantikan, Hari Ulang tahun, Baksos, Acara-acara yayasan yang
mereka naungi, fogging gratis, pemeriksaan kesehatan gratis,
mengadakan acara berbuka bersama di bulan Ramadhan hingga
memiliki anak asuh yang diharapkan dapat menyumbang suara,
sehingga fungsi partai politik seperti artikulasi kepentingan, agregasi
kepentingan, sosialisasi politik dan rekruitmen politik serta
komunikasi politik dilakukan. Hal ini menggambarkan bahwa Perilaku
yang pragmatis, di mana kepentingan melatari setiap tindakan yang
diambil.
2. Keputusan Partai Golkar yang mengusung Prabowo-Hatta dalam
pemilihan Presiden 2014 memiliki akibat perbedaan pendapat di
kalangan elit pusat Partai Golkar. Konflik (Perbedaan pendapat) yang
terjadi merupakan akibat dari kepentingan-kepentingan elit yang
saling bertentangan di tingkat pusat, namun tidak banyak berpengaruh
di tingkat lokal. Hal ini dimungkinkan juga karena faktor dinamisnya
proses yang berlangsung di tingkat lokal.
3. Pemilihan Presiden 2014 menyisakan potensi konflik yang jika tidak
dapat diantisipasi akan berujung perpecahan. Faksi-faksi yang muncul
dan berkembang di tingkat pusat harus dapat dikelola dengan
komunikasi yang lebih terbuka sehingga tidak sampai berpengaruh
terbelahnya partai ke arah yang destruktif. Potensi konflik yang terjadi
di tingkat pusat direduksi oleh elit Partai Golkar di tingkat lokal
dengan melakukan berbagai aktivitas sosialisasi dan konsolidasi
menyeluruh. Pola kepemimpinan yang demokratis menjadi praktek
politik yang dimainkan oleh elit Partai Golkar di Medan untuk
mereduksi potensi konflik yang berkembang. Sosok Ajib Shah yang
merupakan Ketua Golkar Sumatera Utara menjadi alasan hal itu,
karena pola kepemimpinan Ajib Shah adalah pola yang lebih terbuka.
Hal ini dapat kita lihat dalam setiap proses pengambilan keputusan dan
yang lebih informal. Satu hal yang menjadi catatan, bahwa konflik
yang terjadi tidak muncul ke permukaan sehingga terlihat mengerucut
hanya di kalangan elit di tingkat pusat saja.
5.2. Saran
1. Elit Partai Politik harus memiliki kesadaran kolektif terhadap
kepentingan yang lebih luas dari hanya sekedar kepentingan pribadi
yaitu kepentingan partai yang notabene adalah merupakan
pengejawantahan kepentingan bangsa dan Negara.
2. Partai politik harus menjadi sarana pendidikan politik yang lebih
bermartabat daripada hanya sekedar sabagai sarana merebut
kekuasaan, karena partai politik merupakan instrumen vital dalam
demokrasi.
3. Diperlukan penelitian lanjutan terhadap akibat yang ditimbulkan
Pemilihan Presiden bagi Partai Golkar karena saat ditulisnya penelitian
ini, Partai Golkar di tingkat pusat masih dalam kondisi terbelah.
4. Pengalaman Partai Golkar yang telah lama mengitari alam perpolitikan
Indonesia memberikan tantangan tersendiri bagi siapa saja yang ingin
melakukan penelitian dalam pendekatan antropologi sosial karena
dinamisnya partai ini.
5. Pimpinan partai di tingkat pusat maupun di tingkat lokal harus lebih
mengedepankan cara-cara yang lebih humanis, keterbukaan
bukan menjadi dasar perpecahan tetapi kekuatan untuk saling
menguatkan.
6. Partai Golkar harus mengkaji ulang batas-batas demokratisasi yang
berkembang di dalam tubuh Partai Golkar sehingga konflik dapat
direduksi sedemikian rupa. Hal ini patut dikaji karena konflik telah
berlangsung sejak reformasi di dalam Partai Golkar hingga saat ini
merugikan Partai Golkar dalam setiap pemilu di mana Partai Golkar
semakin mengecil, baik secara kualitas maupun kuantitas.Rekruitmen
melalui jalur ABG harus tetap dipertahankan karena merupakan sarana
efektif untuk mempertahankan hegemoni Partai Golkar di dalam setiap
DAFTAR PUSTAKA
Alkhatab, Umar. 2009. Dari Beringin ke Beringin: Sejarah, Kemelut,
Resistensi dan Daya Tahan Partai Golkar. Yogyakarta: Ombak.
Anna M. Grzmala-Busse. 2002. Redeeming The Communist Past: The
Regeration of Communist Parties in East Central Europe.
Cambridge University Press:Cambridge.
Bayo, Andre Ala. 1985. Hakekat Politik Siapa Melakukan Apa untuk
memperoleh Apa. Akademika:Yoyakarta.
Beilharz, Peter. 2005. Karl Marx. Dalam Peter Beiharz (ed) Teori-
teori Sosial: Observasi Kritis terhadap Para Filsuf
Terkemuka. Terjemahan:Sigit Jatmiko. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Bohannan, Paul and Mark Glazer. 1988. High Point in Antrhopology. Alffred A. Knopf: New York.
Borman, E.G. 1969. Discussion and Group Methods: Theory and
Practice. New York: Harper and Row
Budiarjo, Miriam, Prof. 2008. Dasar- Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi). (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama)
Bryan S Turner. 2000. Teori-teori Sosiologi Modernitas- Postmodernitas. Yogyakarta. Pustaka Pelajar
Causey, Andrew. 2006. Danau Toba Pertemuan Wisatawan dengan
Batak Toba di Pasar Suvenir. Bina Media Perintis: Medan
Coser, Lewis A. 1957. Social Conflict and The Theory of Social
Change. The British Journal of Sociology, Vol. 8, No. 3.
Dahrendorf , Ralf. 1959. Class and Class Conflict in Industrial
Society. California: Stanford University press
Foster G.M. 1969. Applied Anthropology. Boston:Little Brown
Francois-Robert Zakot. 2008. Orang Bajo:Suku Pengembara Laut
Gaffar, Afan. 1992. Javanese Voters: A Case Study of Election Under a
Hegemonic Party System. Yogyakarta: UGM Press.
Geertz, Clifford. 1960. The Religion of Java. Glencoe : The Free Press.
Giddens, Anhony. 2010. Teori Strukturasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Haryanto, Sindung. 2012. Spektrum Teori Sosial Dari Klasik hingga
Postmodern.Ar-Ruzz Media. Yogyakarta.
Jenkins, Richard (1992) (Terjemahan Nurhadi). 2004. Membaca Pikiran
Pierre Bourdie, Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Johnson, Doyle Paul. 2008. Contemporary Sociological Theory: An
Integrated Multi-Level Approach. Texas Tech University:Springer
Johnson, Doyle Paul. 1986.Teori-teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta : P.T. Gramedia.
Kurtz, Donald V.2001. Political Anthropology (Paradigm and Power). Westview Press: Oxford.
Moleong. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Remaja Rosda Karya: Bandung.
Mcgee R. Jon and Richard L. Warms. 1955. Anthropological Theory: An Introductory. San Marcos: History. Texas State University
Murtopo, Ali. 1981. Strategi Pembangunan Nasional. Jakarta: CSIS.
Rakhmat, Jalaluddin. 2013. Psikologi Komunikasi. Bandung:PT Remaja Rosdakarya.
Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. (Terjemahan Nurhadi). 2010.
Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai
Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmoder, Yogyakarta:
Kreasi Wacana.
Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Spradley, James P. (terj). 2007. Metode Etnografi. Tiara Wacana. Yogyakarta.
Tandjung, Akbar. 1998. Menuju Kelahiran Partai Golongan Karya:
Pokok-Pokok Paradigma Baru. Jakarta: DPP Partai Golkar.
Tandjung, Akbar. 2007. The Golkar Way: Survival Partai Golkar di
Tengah Turbulensi Politik Era Transisi. Jakarta: Gramedia.
Tandjung, Akbar. 2007. Partai Golkar dalam Pergolakan Politik Era Reformasi Tantangan dan Respons (Ringkasan Disertasi). Universitas Gadjah Mada:Yogyakarta.
Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008 tentang pemerintahan daerah. Undang-Undang RI No. 31 tahun 2002
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008
Varma, SP.2001. Teori Politik Modern. Raja Grafindo:Jakarta
Surat Kabar, Majalah dan Jurnal:
”Deliar Noer: Dosa Orde Baru Tidak Termaafkan”. 2001. April 12.
Kompas. 4.
”DPD Partai Golkar di Jakarta Jadi Sasaran Demo Kelompok
Mahasiswa”. 2001. Februari 14. Kompas. 4.
Mauluddin Anwar. 1998. Juni. ”Pohon Beringin Bergoyang: Munas
Golkar Dipercepat Sejumlah Nama Beredar sebagai Calon Ketua Umum”. Gatra. 4-7.
Analisis Sejarah, Volume 5, No. 1, 2014 © Labor Sejarah, Universitas
Internet: